Anda di halaman 1dari 13

BELL’S

PALSY
Anbiya Khairul Umam 1902612086
Wayan Rismayanti 1902612100
Isadora Tiofunda Budiman 1902612115
Reyneldis Karmelita Robert 1902612125
Ida Ayu Ari Utami 1902612130
DEFINISI
• Bell’s palsy adalah paralisis nervus fasialis idiopatik, merupakan penyebab
tersering dari paralisis fasialis unilateral.
• Bell’s palsy bersifat akut, unilateral dan merupakan paralisis tipe perifer
(LMN), secara gradual mengalami perbaikan pada 80-90% kasus

ETIOLOGI
Etiologi pasti dari Bell’s Palsy belum diketahui , diduga merupakan bentuk
polyneuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi, autoimun, dan etiologi iskemik.
PATOFISIOLOGI
• Dalam perjalanannya, nervus fasialis melalui berbagai kanal sempit sehingga proses
yang menyebabkan nervus fasialis mengalami edema atau inflamasi bisa
menyebabkan kompresi dan menimbulkan gangguan inervasi
• Nervus fasialis mempunyai percabangan motorik, sensorik dan parasimpatik, sehingga
gejala paralisis saraf ini akan menimbulkan paralisis otot wajah, gangguan pendengaran,
gangguan pengecapan, nyeri di area wajah dan mastoid, serta gangguan lakrimasi dan
salivasi
: • Manifestasi klinis Bell’s
Manifestasi Klinis palsy dapat berbeda-beda
(Anamnesis) sesuai dengan lesi pada
perjalanan nervus fasialis
• Selain kelemahan otot
ipsilateral, pasien mungkin
akan mengeluhkan mata
atau bibir yang terasa
kering, gangguan atau
kehilangan pengecapan,
dan hiperakusis. Pasien juga
mungkin mengeluhkan
nyeri di leher, mastoid,
sekitar telinga atau wajah
ipsilateral
Manifestasi Klinis (Anamnesis)
1. Lesi setinggi meatus akustikus internus mengakibatkan
kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan
pendengaran (tuli) dan gangguan vestibular
2. Lesi setinggi ganglion geniculatum akan menimbulkan
kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan
pengecapan, lakrimasi dan salivasi.
3. Lesi setinggi percabangan ke muskulus stapedius dapat
menimbulkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral,
gangguan pengecapan dan salivasi serta hiperakusis
4. Lesi setinggi kanalis facialis (sebelum bersilangan dengan korda
timpani) akan menunjukkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pengecapan, dan salivasi.
5. Lesi setinggi foramen stylomastoideus, dapat terjadi paralisis
semua otot ekspresi wajah.
Pemeriksaan Fisik : • Pemeriksaan nervus fasialis perlu dilakukan untuk menilai
adanya paralisis otot wajah. Periksa gerakan dan ekspresi
wajah sesuai dengan otot yang diinervasi oleh nervus fasialis.
Otot-otot wajah bagian atas mendapatkan inervasi bilateral dari
hemisfer kanan dan kiri otak. Pada lesi sentral (upper motor
neuron), muskulus frontalis, orbicularis oculi, dan corrugator
tidak mengalami paralisis. Sebaliknya pada lesi lower motor
neuron (seperti pada Bell’s palsy), semua otot ekspresi wajah
akan terlibat sehingga paralisis akan ditemukan pada semua
otot wajah ipsilateral
• Selain pemeriksaan nervus fasialis, sebaiknya juga dilakukan
pemeriksaan untuk nervus kranialis lainnya, baik pemeriksaan
sensorik maupun motorik.
Pemeriksaan : • Pemeriksaan telinga perlu dilakukan bila ada kecurigaan ke arah
Fisik otitis media akut atau kronik, termasuk adanya perforasi
membran timpani, otorea, cholesteatoma, atau adanya jaringan
granulasi. Adanya vesikel atau rash pada liang telinga, daun
telinga, atau lubang telinga menunjukkan kecurigaan ke arah
infeksi herpes zoster oticus
• Hiperakusis diperiksa dengan menggunakan tes stetoskop,
dengan cara pasien diminta memakai stetoskop yang kemudian
disentuhkan ke garputala yang sudah digetarkan. Pasien dengan
hiperakusis akan mengalami lateralisasi ke arah telinga yang
mengalami paralisis muskulus stapedius
• Pemeriksaan lain adalah pemeriksaan gerakan bola mata,
pendengaran, dan pengecapan. Ketika pasien diminta untuk
menutup mata, maka bola mata akan melakukan rotasi ke
atas. Karena nervus fasialis menginervasi sensori dua pertiga
anterior lidah, maka pada Bell’s palsy bisa terjadi kehilangan
sensasi pengecapan pada dua pertiga anterior lidah
: • Kelemahan otot bisa diperiksa dengan menggunakan
Pemeriksaan pemeriksaan elektromyografi (EMG), terutama pada pasien
Penunjang dengan paralisis komplit. Namun pemeriksaan EMG bukanlah
pemeriksaan yang mendesak untuk dilakukan segera
• Pemeriksaan aliran saliva (salivary flow test) yaitu dengan
menempatkan kateter yang bisa mengalirkan saliva di area buccal
pada sisi normal dan sisi paralisis. Jumlah saliva yang mengalir
ketika pasien distimulasi dengan makanan asam dibandingkan
• Schirmer blotting test untuk memeriksa fungsi air mata. Benzene
digunakan untuk memicu reflek nasolacrimal. Aliran air mata sisi
paralisis dan normal kemudian dibandingkan

Diagnosis : • Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan secara klinis


• Hal terpenting adalah menentukan apakah paralisis nervus
fasial bersifat sentral atau perifer
• Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain,
kelumpuhan motoric dan gangguan sensorik, maka penyakit
neurologis lain harus dipikirkan.
ALGORITMA TATALAKSANA
Tatalaksana : • Hal yang pertama kali harus dilakukan setelah penegakan diagnosis adalah
segera memulai farmakoterapi dan melindungi mata
• Karena paralisis otot wajah akan berdampak terhadap penampilan, kualitas
hidup, dan psikologis, maka seringkali farmakoterapi diberikan untuk
menurunkan resiko terjadinya pemulihan yang tidak sempurna

Farmakologi
• Terapi steroid : Dosis steroid yang direkomendasikan adalah prednisolon 1 mg/
kg atau 60 mg/ hari selama 6 hari, diikuti dengan tapering off, dengan total
pengobatan selama 10 hari
• Terapi antiviral: antiviral mungkin dapat digunakan dalam kondisi tertentu,
terutama bila dicurigai terdapat etiologi viral. Asiklovir dapat digunakan dengan
dosis 400 mg oral 5x sehari selama 10 hari. Jika dicurigai infeksi virus varisella
zoster, maka mungkin dibutuhkan dosis lebih tinggi (800 mg oral 5x sehari)

Pembedahan
• Dekompresi nervus fasialis dapat dipertimbangkan pada pasien yang tidak
responsif terhadap terapi farmakologi dan dengan degenerasi aksonal > 90%
• Degenerasi aksonal dapat dilihat pada pemeriksaan EMG nervus fasialis
dalam 3 minggu setelah awitan paralisis
Prognosis : Bell’s palsy adalah self limiting disease yang bisa membaik
sendiri, namun penyakit ini bisa menimbulkan berbagai
komplikasi seperti kerusakan mata akibat kelopak mata yang
tidak bisa menutup. Prognosis bervariasi mulai dari sembuh
sempurna sampai sekuele permanen. Sebagian besar pasien
akan mulai mengalami pemulihan pada 2-3 minggu setelah
onset dan sembuh sempurna dalam 3-4 bulan tanpa pemberian
terapi. Sekitar 70% pasien dengan paralisis komplit dan 94%
pasien dengan paralisis tidak komplit sembuh sempurna dalam 6
bulan
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai