Anda di halaman 1dari 83

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik pada saluran napas yang

melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, menyebabkan peningkatan hiper-

responsivitas jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi,

sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam atau dini hari.

Gejala periodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi

dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan

Asma dan rinitis alergi merupakan penyakit alergi yang saat ini masih menjadi

problem kesehatan karena pengaruhnya dalam menurunkan tingkat kualitas hidup dan

dibutuhkan biaya besar dalam penatalaksanaannya. Dengan angka prevalensi yang

berbeda-beda antara satu kota dengan kota lainnya dalam satu negara, di Indonesia

prevalensi asma berkisar antara 5-7%

Menurut Sundaru (2005) pada penelitian di delapan Negara se Asia-Pasifik yang

dilaporkan dalam Jurnal of Allergi and Clinical Imunology tahun 2003 menunjukkan,

bahwa asma mengganggu kualitas hidup manusia, seperti gejala batuk, termasuk batuk

malam dalam sebulan terakhir 44-51% dari 3.207 kasus yang diteliti, bahkan 28,3%

penderita mengaku terganggu tidurnya paling tidak seminggu sekali dalam satu minggu.

Ada 43,6% penderita mengaku dalam satu tahun terakhir menggunakan fasilitas gawat

darurat, perawatan inap atau kunjungan darurat ke dokter. Dampak asma terhadap

kualitas hidup juga ditunjukan dari laporan tersebut, seperti keterbatasan berkreasi atau

olahraga 52,7%, aktivitas fisik44,1% pemeliharaan karir 37,9% aktivitas social 38%,

1 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


cara hidup 37,1%, dan pekerjaan rumah tangga 32,6%, absen dari sekolah maupun

pekerjaan dalam 12 bulan terakhir dialami oleh anak 36,5% orang dewasa 26,5%

Sedangkan dalam kasus asma, fisioterapi berperan untuk mengurangi derajat

sesak napas, memanagemen kekambuhan serangan asma dan menjegah terjadinya

komplikasi lebih lanjut, mengembalikan kemampuan aktivitas fungsional pasien.

Modalitas fisioterapi pada kondisi asma akut yang bertujuan untuk mengurangi derajat

sesak napas, mengeluarkan dahak, mengurangi nyeri, dan spasme otot yaitu dengan

menggunakan modalitas breathing exercise dan terapi latihan.

2 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


BAB II

TINJAUAN KASUS

A. Anatomi Fisiologi

1. Anatomi

a. Saluran Pernafasan

Bagian-bagian saluran pernafasan yaitu Cavum nasi, faring, laring, trakea,

karina, bronchus principalis, bronchus lobaris, bronchus segmentalis, bronchiolus

terminalis, bronchiolus respiratoryus, saccus alveolus, ductus alveolus dan alveoli.

Gambar 2.1 Sistem organ pernapasan


Sumber: Sobotta, 2018

Terdapat Lobus, dextra ada 3 lobus yaitu lobus superior, lobus media dan

lobus inferior. Sinistra ada 2 lobus yaitu lobus superior dan lobus inferior. Pulmo

dextra terdapat fissura horizontal yang membagi lobus superior dan lobus media,

sedangkan fissura oblique membagi lobus media dengan lobus inferior. Pulmo

sinistra terdapat fissura oblique yang membagi lobus superior dan lobus inferior.

3 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Gambar 2.2 Proyeksi Paru
Sumber: Sobotta, 2018

1) Hidung

Tersusun atas tulang dan tulang rawan hialin, kecuali naris anterior yang

dindingnya tersusun atas jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan. Permukaan luarnya

dilapisi kulit dengan kelenjar sebasea besar dan rambut. Terdapat epitel respirasi:

epitel berlapis silindris bersilia bersel goblet dan mengandung sel basal. Didalamnya

ada konka nasalis superior, medius dan inferior. Lamina propria pada mukosa hidung

umumnya mengandung banyak pleksus pembuluh darah.

2) Sinus paranasal

Merupakan rongga-rongga berisi udara yang terdapat dalam tulang tengkorak

yang berhubungan dengan rongga hidung. Ada 4 sinus: maksilaris, frontalis,

etmoidalis dan sphenoidalis.

3) Faring

Lanjutan posterior dari rongga mulut. Saluran napas dan makanan menyatu dan

menyilang. Pada saat makan makanan dihantarkan ke oesophagus. Pada saat bernapas

4 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


udara dihantarkan ke laring. Ada 3 rongga : nasofaring, orofaring, dan laringofaring.

Mukosa pada nasofaring sama dengan organ respirasi, sedangkan orofaring dan

laringofaring sama dengan saluran cerna. Mukosa faring tidak memilki muskularis

mukosa. Lamina propria tebal, mengandung serat elastin. Lapisan fibroelastis

menyatu dengan jaringan ikat interstisiel. Orofaring dan laringofaring dilapisi epitel

berlapis gepeng, mengandung kelenjar mukosa murni.

4) Laring

Organ berongga dengan panjang 42 mm dan diameter 40 mm. Terletak antara

faring dan trakea. Dinding dibentuk oleh tulang rawan tiroid dan krikoid. Muskulus

ekstrinsik mengikat laring pada tulang hyoid. Muskulus intrinsik mengikat laring

pada tulang tiroid dan krikoid berhubungan dengan fonasi. Lapisan laring merupakan

epitel bertingkat silia. Epiglotis memiliki epitel selapis gepeng, tidak ada kelenjar.

Fungsi laring untuk membentuk suara, dan menutup trakea pada saat menelan

(epiglotis). Ada 2 lipatan mukosa yaitu pita suara palsu (lipat vestibular) dan pita

suara (lipat suara). Celah diantara pita suara disebut rima glotis. Pita suara palsu

terdapat mukosa dan lamina propria. Pita suara terdapat jaringan elastis padat, otot

suara ( otot rangka). Vaskularisasi: A.V Laringeal media dan Inferior. Inervasi: N

Laringealis superior.

5) Trakea

Tersusun atas 16 – 20 cincin tulang rawan. Celah diantaranya dilapisi oleh

jaringan ikat fibro elastik. Struktur trakea terdiri dari: tulang rawan, mukosa, epitel

bersilia, jaringan limfoid dan kelenjar.

5 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Gambar 2.3 Trakea dan Bronchus
Sumber: Sobotta, 2018

6) Bronchus

Cabang utama trakea disebut bronki primer atau bronki utama. Bronki primer

bercabang menjadi bronki lobar  bronki segmental  bronki subsegmental. Struktur

bronkus primer mirip dengan trakea hanya cincin berupa lempeng tulang rawan tidak

teratur. Makin ke distal makin berkurang, dan pada bronkus subsegmental hilang

sama sekali. Otot polos tersusun atas anyaman dan spiral. Mukosa tersusun atas

lipatan memanjang. Epitel bronkus : kolumnar bersilia dengan banyak sel goblet dan

kelenjar submukosa. Lamina propria : serat retikular, elastin, limfosit, sel mast,

eosinofil.

6 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


7) Bronchiolus

Cabang ke 12 – 15 bronkus. Tidak mengandung lempeng tulang rawan, tidak

mengandung kelenjar submukosa. Otot polos bercampur dengan jaringan ikat

longgar. Epitel kuboid bersilia dan sel bronkiolar tanpa silia (sel Clara). Lamina

propria tidak mengandung sel goblet.

8) Bronchiolus respiratorius

Merupakan peralihan bagian konduksi ke bagian respirasi paru. Lapisan : epitel

kuboid, kuboid rendah, tanpa silia. Mengandung kantong tipis (alveoli). [9] 10.

Duktus alveolaris Lanjutan dari bronkiolus. Banyak mengandung alveoli. Tempat

alveoli bermuara.

9) Alveolus

Kantong berdinding sangat tipis pada bronkioli terminalis. Tempat terjadinya

pertukaran oksigen dan karbondioksida antara darah dan udara yang dihirup.

Jumlahnya 200 - 500 juta. Bentuknya bulat poligonal, septa antar alveoli disokong

oleh serat kolagen, dan elastis halus. Sel epitel terdiri sel alveolar gepeng ( sel

alveolar tipe I ), sel alveolar besar ( sel alveolar tipe II). Sel alveolar gepeng ( tipe I)

jumlahnya hanya 10% , menempati 95 % alveolar paru. Sel alveolar besar (tipe II)

jumlahnya 12 %, menempati 5 % alveolar. Sel alveolar gepeng terletak di dekat septa

alveolar, bentuknya lebih tebal, apikal bulat, ditutupi mikrovili pendek, permukaan

licin, memilki badan berlamel. Sel alveolar besar menghasilkan surfaktan pulmonar.

Surfaktan ini fungsinya untuk mengurangi kolaps alveoli pada akhir ekspirasi.

Jaringan diantara 2 lapis epitel disebut interstisial. Mengandung serat, sel septa

(fibroblas), sel mast, sedikit limfosit. Septa tipis diantara alveoli disebut pori Kohn.

Sel fagosit utama dari alveolar disebut makrofag alveolar. Pada perokok sitoplasma

7 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


sel ini terisi badan besar bermembran. Jumlah sel makrofag melebihi jumlah sel

lainnya.

10) Pleura

Setiap paru diselubungi oleh kantung pleura berdinding ganda yang membrannya

melapisi bagian dalam toraks dan menyelubungi permukaan luar paru. Setiap pleura

mengandung beberapa lapis jaringan ikat elastik dan mengandung banyak kapiler.

Diantara lapisan pleura tersebut terdapat cairan yang bervolume sekitar 25-30 mL

yang disebut cairan pleura. Cairan pleura tersebut berfungsi sebagai pelumas untuk

gerakan paru di dalam rongga.

Membran serosa pembungkus paru. Jaringan tipis ini mengandung serat elastin,

fibroblas, kolagen. Yang melekat pada paru disebut pleura viseral, yang melekat pada

dinding toraks disebut pleura parietal. Ciri khas mengandung banyak kapiler dan

pembuluh limfe. Saraf adalah cabang n. frenikus dan n. interkostal. Pembungkus paru

(pleura) terbagi menjadi 2 yaitu parietalis (luar) dan Visceralis (dalam), diantara 2

lapisan tersebut terdapat rongga pleura (cavum pleura).

Gambar 2.4 Lapisan Pleura

8 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


b. Persarafan Paru

Paru dipersyarafi oleh pleksus pulmonalis yang terletak di pangkal paru.

Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut

parasimpatis (dari nervus vagus). Serabut eferen dari pleksus mensarafi otot-otot

bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli dan alveoli.

c. Otot-Otot Pernapasan

Gerakan diafragma menyebabkan perubahan volume intratoraks sebesar 75%

selama inspirasi tenang. Otot diafragma melekat di sekeliling bagian dasar rongga

toraks, yang membentuk kubah diatas hepar dan bergerak ke arah bawah seperti

piston pada saat berkontraksi. Jarak pergerakan diafragma berkisar antara 1,5 cm

sampai 7 cm saat inspirasi dalam.

Gambar 2.5 Otot-otot pernapasan

Otot inspirasi utama lainnya adalah musculus interkostalis eksternus, yang

berjalan dari iga ke iga secara miring ke arah bawah dan ke depan. Poros iga

bersendi pada vertebra sehingga ketika musculus intercostalis eksternus

berkontraksi, iga-iga dibawahnya akan terangkat. Gerakan ini akan mendorong

9 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


sternum ke luar dan memperbesar diameter anteroposterior rongga dada. Diameter

transversal juga meningkat, tetapi dengan derajat yang lebih kecil. Musculus

interkostalis eksternus dan diafragma dapat mempertahankan ventilasi yang

adekuat pada keadaan istirahat. Musculus scalenus dan musculus

sternocleidomastoideus merupakan otot inspirasi tambahan yang ikut membantu

mengangkat rongga dada pada pernapasan yang sukar dan dalam.

Otot ekspirasi akan berkontraksi jika terjadi ekspirasi kuat dan menyebabkan

volume intratoraks berkurang. Musculus intercostalis internus bertugas untuk

melakukan hal tersebut karena otot-otot ini berjalan miring ke arah bawah dan

belakang dari iga ke iga sehingga ketika berkontraksi, otot-otot ini akan menarik

rongga dada ke bawah. Kontraksi otot dinding abdomen anterior juga membantu

proses ekspirasi dengan cara menarik iga-iga ke bawah dan ke dalam serta dengan

meningkatkan tekanan intra-abdomen yang akan mendorong diafragma ke atas.

2. Fisiologi

Dalam keadaan normal, volume udara paru-paru manusia mencapai 4500 cc.

Udara ini dikenal sebagai kapasitas total udara pernapasan manusia. Walaupun

demikian, kapasitas vital udara yang digunakan dalam proses bernapas mencapai

3500 cc, yang 1000 cc merupakan sisa udara yang tidak dapat digunakan tetapi

senantiasa mengisi bagian paru-paru sebagai residu atau udara sisa. Kapasitas vital

adalah jumlah udara maksimun yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi

paruparunya secara maksimum.

Dalam keadaaan normal, kegiatan inspirasi dan ekpirasi atau menghirup dan

menghembuskan udara dalam bernapas hanya menggunakan sekitar 500 cc volume

udara pernapasan (kapasitas tidal = ± 500 cc). Kapasitas tidal adalah jumlah udara

10 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


yang keluar masuk pare-paru pada pernapasan normal. Dalam keadaan luar biasa,

inspirasi maupun ekspirasi dalam menggunakan sekitar 1500 cc udara pernapasan

(expiratory reserve volume = inspiratory reserve volume = 1500 cc). Lihat skema

udara pernapasan berikut ini

Jumlah oksigen yang diambil melalui udara pernapasan tergantung pada

kebutuhan dan hal tersebut biasanya dipengaruhi oleh jenis pekerjaan, ukuran tubuh,

serta jumlah maupun jenis bahan makanan yang dimakan. Pekerja-pekerja berat

termasuk atlit lebih banyak membutuhkan oksigen dibanding pekerja ringan.

Demikian juga seseorang yang memiliki ukuran tubuh lebih besar dengan

sendirinya membutuhkan oksigen lebih banyak. Selanjutnya, seseorang yang

memiliki kebiasaan memakan lebih banyak daging akan membutuhkan lebih banyak

oksigen daripada seorang vegetarian. Dalam keadaan biasa, manusia membutuhkan

sekitar 300 cc oksigen sehari (24 jam) atau sekitar 0,5 cc tiap menit. Kebutuhan

tersebut berbanding lurus dengan volume udara inspirasi dan ekspirasi biasa kecuali

dalam keadaan tertentu saat konsentrasi oksigen udara inspirasi berkurang atau karena

sebab lain, misalnya konsentrasi hemoglobin darah berkurang. Oksigen yang

dibutuhkan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi

alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau pigmen

darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh.

Hemoglobin yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun oleh

senyawa hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan globin yang berupa

protein.

11 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


a. Pernapasan Dada

Pada pernafasan dada otot yang erperan penting adalah otot antar tulang rusuk.

Otot tulang rusuk dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otot tulang rusuk luar yang

berperan dalam mengangkat tulang-tulang rusuk dan tulang rusuk dalam yang

berfungsi menurunkan atau mengembalikan tulang rusuk ke posisi semula. Bila otot

antar tulang rusuk luar berkontraksi, maka tulang rusuk akan terangkat sehingga

volume dada bertanbah besar. Bertambah besarnya akan menybabkan tekanan dalam

rongga dada lebih kecil dari pada tekanan rongga dada luar. Karena tekanan uada

kecil pada rongga dada menyebabkan aliran udara mengalir dari luar tubuh dan

masuk ke dalam tubuh, proses ini disebut proses ’inspirasi’

Sedangkan pada proses ekspirasi terjadi apabila kontraksi dari otot dalam, tulang

rusuk kembali ke posisi semuladan menyebabkan tekanan udara didalam tubuh

meningkat. Sehingga udara dalam paru-paru tertekan dalam rongga dada, dan aliran

udara terdorong ke luar tubuh, proses ini disebut ’ekspirasi’.

b. Pernapasan perut

Pada pernafasan ini otot yang berperan aktif adalah otot diafragma dan otot

dinding rongga perut. Bila otot diafragma berkontraksi, posisi diafragma akan

mendatar. Hal itu menyebabkan volume rongga dada bertambah besar sehingga

tekanan udaranya semakin kecil. Penurunan tekanan udara menyebabkan

mengembangnya paru-paru, sehingga udara mengalir masuk ke paru-

paru(inspirasi).

12 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


B. Asma

1. Definisi

Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang memiliki reaksi berlebihan

terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversibel (Padila, 2015). Definisi asma juga

disebutkan oleh Reeves dalam buku Padila yang menyatakan bahwa asma adalah

obstruksi pada bronkus yang mengalami inflamasi dan memiliki respon yang sensitif

serta bersifat reversible.

Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas akibat adanya

inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga menjadi sangat

sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi berlebihan.

Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang masuk dalam paru-paru

berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya napas berbunyi (wheezing), batuk-batuk,

dada sesak, dan gangguan bernapas terutama pada malam hari dan dini hari (Soedarto.

2012).

Tidak mudah membedakan antara satu jenis asma dengan jenis asma lainnya.

Dahulu asma dibedakan menjadi asma alergi (ekstrinsik) yang muncul pada waktu

kanak-kanak dengan mekanisme serangan melalui reaksi alergi tipe 1 terhadap

alergen dan asma non-alergik (intrinsik) bila tidak ditemukan reaksi hipersensitivitas

terhadap alergen. Namun, dalam prakteknya seringkali ditemukan seorang pasien

dengan kedua sifat alergi dan non-alergi, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi

asma kedalam 3 kategori,

1) Asma alergi/ekstrinsik;

2) Asma non-alergi/intrinsik;

3) Asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksif kronik.

13 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) asma dibagi menjadi 4 yaitu :

- Asma intermitten, ditandai dengan :

1) gejala kurang dari 1 kali seminggu;

2) eksaserbasi singkat;

3) gejala malam tidak lebih dari 2 kali sebulan;

4) bronkodilator diperlukan bila ada serangan;

5) jika serangan agak berat mungkin memerlukan kortikosteroid;

6) APE atau VEP1 ≥ 80% prediksi;

7) variabiliti APE atau VEP1 < 20%

- Asma persisten ringan, ditandai dengan :

1) gejala asma malam >2x/bulan;

2) eksaserbasi >1x/minggu, tetapi 1x/minggu;

3) eksaserbasi mempengaruhi aktivitas dan tidur;

4) membutuhkan steroid inhalasi dan bronkhodilator setiap hari;

5) APE atau VEP1 60-80%;

6) variabiliti APE atau VEP1 >30%

- Asma persisten berat, ditandai dengan :

1) APE atau VEP1, < 60% prediksi,

2) Variability APE atau VEP1, < 30%

2. Etiologi

Etiologi asma masih menjadi perdebatan di kalangan para ahli, namun secara

umum terjadinya asma dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor

genetik diantaranya riwayat atopi, pada penderita asma biasanya mempunyai keluarga

dekat yang juga memiliki alergi. Hipereaktivitas bronkus ditandai dengan saluran

14 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


napas yang sangat sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen atau iritan. Jenis

kelamin, pada pria merupakan faktor risiko asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun,

prevalensi asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan.

Menjelang dewasa perbandingan tersebut kurang lebih berjumlah sama dan

bertambah banyak pada perempuan usia menopause. Obesitas, ditandai dengan

peningkatan Body Mass Index (BMI) > 30kg/m2. Mekanismenya belum diketahui

pasti, namun diketahui penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma dapat

memperbaiki gejala fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.

Alergen dalam lingkungan tempat tinggal seperti tungau, debu rumah, spora

jamur, kecoa, serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dll adalah faktor

lingkungan yang dapat mencetuskan terjadinya asma. Begitu pula dengan serbuk sari

dan spora jamur yang terdapat di luar rumah. Faktor lainnya yang berpengaruh

diantaranya alergen makanan (susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,

coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap, pengawet, dan pewarna makanan), bahan iritan

(parfum, household spray, asap rokok, cat, sulfur,dll), obat-obatan tertentu (golongan

beta blocker seperti aspirin), stress/gangguan emosi, polusi udara, cuaca, dan aktivitas

fisik. 16

Terdapat berbagai keadaan yang memicu terjadinya serangan asma, diantara

lain:

a. Kegiatan fisik (exercise)

b. Kontak dengan alergen dan irritan Allergen dapat disebabkan oleh berbagai

bahan yang ada di sekitar penderita asma seperti misalnya kulit, rambut, dan

sayap hewan. Selain itu debu rumah yang mengandung tungau debu rumah

(house dust mites) juga dapat menyebabkan alergi. Hewan seperti lipas atau bulu

15 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


kucing dapat menjadi pemicu timbulnya alergi bagi penderita asma. Bagian dari

tumbuhan seperti tepung sari dan ilalang serta jamur (nold) juga dapat bertindak

sebagai allergen. Irritans atau iritasi pada penderita asma dapat disebabkan oleh

berbagai hal seperti asap rokok, polusi udara. Faktor lingkungan seperti udara

dingin atau perubahan cuaca juga dapat menyebabkan iritasi. Bau-bauan yang

menyengat dari cat atau masakan dapat menjadi penyebab iritasi. Selain itu,

ekspresi emosi yang berlebihan (menangis, tertawa) dan stres juga dapat memicu

iritasi pada penderita asma.

c. Akibat terjadinya infeksi virus

d. Penyebab lainnya. Berbagai penyebab dapat memicu terjadinya asma yaitu:

1) Obat-obatan (aspirin, beta-blockers)

2) Sulfite (buah kering wine)

3) Gastroesophageal reflux disease, menyebabkan terjadinya rasa terbakar pada

lambung (pyrosis, heart burn) yang memperberat gejala serangan asma

terutama yang terjadi pada malam hari

4) Bahan kimia dan debu di tempat kerja

5) Infeksi

3. Patoanatomi dan Patofisiologi

Penyakit asma merupakan proses inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas yang

akan mempermudah terjadinya obstruksi jalan napas. Kerusakan epitel saluran napas,

gangguan saraf otonom, dan adanya perubahan pada otot polos bronkus juga diduga

berperan pada proses hipereaktivitas saluran napas. Peningkatan reaktivitas saluran

nafas terjadi karena adanya inflamasi kronik yang khas dan melibatkan dinding

saluran nafas, sehingga aliran udara menjadi sangat terbatas tetapi dapat kembali

16 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


secara spontan atau setelah pengobatan. Hipereaktivitas tersebut terjadi sebagai

respon terhadap berbagai macam rangsang.

Dikenal dua jalur untuk bisa mencapai keadaan tersebut. Jalur imunologis yang

terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf otonom. Pada jalur yang didominasi oleh

IgE, masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting

Cells), kemudian hasil olahan alergen akan dikomunikasikan kepada sel Th ( T

penolong ) terutama Th2 . Sel T penolong inilah yang akan memberikan intruksi

melalui interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, sel-sel radang

lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit

untuk mengeluarkan mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG),

leukotrien (LT), platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin (TX), dan

lain-lain. Sel-sel ini bekerja dengan mempengaruhi organ sasaran yang dapat

menginduksi kontraksi otot polos saluran pernapasan sehingga menyebabkan

peningkatan permeabilitas dinding vaskular, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel

radang, hipersekresi mukus, keluarnya plasma protein melalui mikrovaskuler bronkus

dan fibrosis sub epitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran napas. Faktor

lainnya yang dapat menginduksi pelepasan mediator adalah obat-obatan, latihan,

udara dingin, dan stress.

Selain merangsang sel inflamasi, terdapat keterlibatan sistem saraf otonom pada

jalur non-alergik dengan hasil akhir berupa inflamasi dan hipereaktivitas saluran

napas. Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag alveolar,

nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Reflek bronkus terjadi karena

adanya peregangan nervus vagus, sedangkan pelepasan mediator inflamasi oleh sel

mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan

17 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi

yang terjadi. Keterlibatan sel mast tidak ditemukan pada beberapa keadaan seperti

pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut dan SO2. Reflek saraf

memegang peranan pada reaksi asma yang tidak melibatkan sel mast. Ujung saraf

eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik

senyawa P, neurokinin A dan calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida

itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokontriksi, edema bronkus, eksudasi

plasma, hipersekresi lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.14

4. Gambaran Klinis

a. Mayoritas pasien adalah anak-anak

b. Serangan asma termasuk serangan sesak napas yang berat bila pasien kontak

dengan bahan allergen tertentu. Serangan asma adapt juga disebabkan oleh

aktivitas fisik yang berat atau biasa disebut exercise induced asthma. Pasien

mengalami peningkatan kecepatan respirasi yang hebat dan utamanya

penggunaan accessory muscle untuk bernapas.

c. Terdengar bunyi napas wheezing dan rochi serta pasien merasa sangat lelah pada

chestnya, batuk dan ekspirasi yang tidak lengkap dan panjang.

d. Perubahan patologi, berupa:

1) Spasme hebat pada otot halus di cabang bronchial

2) Penyempitan jalan napas

3) Inflamasi terjadi pada mukosa lining dari cabang trakealbronchial dan

hypersekresi mucus yang melengket sehingga terjadi obstruksi yang

mnyebabkan ukuran dan jumlah sel goblet meningkat

4) Asma berat yang sangat kronis dapat menyebabkan emfisema

18 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


e. Gambaran umum:

1) Pola napas cepat dan dangkal

2) Kelelahan yang kronik

3) Sering nampak kurus

4) Postur yang buruk berupa rounded shoulder (protraksi shoulder), forward

head dan hypertropi accessory muscle.

C. Intervensi Fisioterapi

1. Breathing Control Exercise

Breathing Control telah lama digunakan dalam yoga untuk fokus dan

mempromosikan meditasi. Ini adalah kunci untuk memaksimalkan rehabilitasi. Sangat

penting untuk menilai pernapasan pasien saat istirahat dan selama berolahraga. Orang

sering menahan napas saat melakukan aktivitas, terutama selama aktivitas baru, jadi

penting untuk menilai respons kardiopulmoner dan neuromuskuler untuk setiap

aktivitas baru. Di banyak pusat rehabilitasi dan klub kesehatan, rejimen latihan Pilates

telah digunakan untuk membantu pasien mencapai kekuatan inti dan stabilisasi

punggung. Pilates adalah metode pengkondisian fisik dan mental yang

dikombinasikan dengan integrasi tubuh, pikiran, dan jiwa; itu juga telah digunakan

oleh penari dan koreografer untuk meningkatkan kontrol postur tubuh, meningkatkan

kemudahan gerakan, dan meningkatkan penampilan mereka. Fase pertama Pilates

menggabungkan pernapasan diafragma sebelum dilanjutkan dengan langkah-langkah

untuk mengaktifkan otot-otot inti (multifidus, diafragma, dasar panggul, dan

abdominis transversal). Keyakinannya adalah ketika individu memiliki inti yang kuat

maka postur tubuh akan meningkat dan kinerja aktivitas fungsional lainnya akan

meningkat. Ini serupa dengan konsep kami mengajarkan kontrol pernapasan

19 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


diafragma sebelum aktivitas fungsional pada orang dengan gangguan pernapasan.

Joseph Pilates sebenarnya menggunakan istilah contrology untuk mendefinisikan

konsepnya. Itulah yang ingin kami ajarkan kepada pasien kami - kontrol napas, lalu

fungsi.

Indikasi pemberian breathing control, antara lain:

- Disfungsi paru, baik penyebab primer maupun sekunder

- Nyeri akibat pembedahan, trauma, atau penyakit

- Ketakutan atau kegugupan

- Bronkospasme atau bronkospasme yang akan datang pada asma

Disfungsi klirens jalan nafas

- Pembatasan inspirasi akibat disfungsi muskuloskeletal, seperti skoliosis,

kyphoscoliosis, atau pectus excavatum; kegemukan; kehamilan; patologi paru

seperti fibrosis; jaringan parut akibat terapi radiasi; kelemahan neurologis seperti

cedera sumsum tulang belakang, penyakit Parkinson, atau miastenia gravis

- Gagal jantung kongestif, edema paru, atau emboli paru

- patah tulang rusuk

- Pasien berventilasi pada kontrol bantuan atau ventilasi wajib intermiten

- Gangguan metabolisme yang memiliki respon pernapasan kompensasi

- Pasien yang lemah atau terbaring di tempat tidur, yang cenderung memiliki

volume ventilasi yang konstan dan menahan sekret dan rentan terhadap

pneumonia dan atelektasis karena klirens saluran napas yang buruk

2. Mobilization and Execise

Mobilisasi adalah aplikasi terapeutik dan preskriptif dari aktivitas beban kerja

rendah dalam penanganan disfungsi kardiovaskular dan paru. Terutama, tujuan

20 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


mobilisasi adalah untuk memanfaatkan efek akut dari olahraga untuk mengoptimalkan

pengangkutan oksigen. Meskipun aktivitas ini dianggap sebagai beban kerja yang

rendah, aktivitas ini dapat menimbulkan permintaan metabolik relatif khusus pasien

yang tinggi. Bahkan dosis stimulus mobilisasi yang relatif rendah dapat menimbulkan

kebutuhan metabolik yang cukup besar pada pasien dengan gangguan kardiovaskular

atau paru, itulah sebabnya ia diresepkan untuk pasien yang sakit akut. Mobilisasi juga

digunakan karena efek menguntungkannya pada sistem organ lain seperti sistem

muskuloskeletal, neurologis, integumen, gastrointestinal, dan ginjal. Jika

memungkinkan, mobilisasi dilakukan dalam posisi tegak, yaitu posisi, untuk

mengoptimalkan tekanan gravitasi pada perpindahan cairan dan hemodinamik sentral

dan perifer. Mobilisasi dengan demikian ditentukan sebagai stimulus gravitasi dan

stimulus latihan.

Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh

kontraksi otot yang meningkatkan kebutuhan metabolik secara substansial selama

keadaan istirahat. Oleh karena itu, olahraga diartikan sebagai bentuk aktivitas fisik

yang terstruktur dan berulang. Olahraga biasanya membutuhkan setidaknya aktivitas

fisik sedang, sehingga laju pernapasan dan detak jantung dipercepat secara nyata,

terutama bila dilakukan untuk mengembangkan atau mempertahankan kebugaran.

Latihan ditentukan oleh ahli terapi fisik dalam pengelolaan disfungsi kardiovaskular

atau paru subakut dan kronis. Tujuan akhir latihan adalah memaksimalkan fungsi di

semua langkah jalur transportasi oksigen ke struktur pendukung (yaitu, otot dan

jaringan lain). Tujuan jangka pendek dari latihan adalah mengeksploitasi efek

fisiologis kumulatifnya untuk beradaptasi dengan latihan jangka panjang.

21 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Meskipun prinsip khusus pelatihan telah dirancang untuk atlet yang terlibat

dalam aktivitas berbasis kinerja, prinsip ini juga berlaku untuk setiap pasien yang

ditemui terapis fisik. Pelatihan dalam kedua kasus tersebut, didefinisikan sebagai

penerapan sistematis dari rangsangan latihan progresif untuk memperoleh tujuan (atau

sasaran) fisiologis, fungsional, atau berbasis keterampilan tertentu. Biasanya, untuk

mencapai tujuan spesifik berbasis pasien, penerapan beberapa mode latihan dan

pedoman pelatihan diperlukan. Jenis pelatihan ini sering kali melibatkan latihan

aerobik dan anaerobik menggunakan latihan siklik dan berbasis resistensi.

Gambar 2.6 Komponen sesi latihan latihan: peregangan, pemanasan, zona latihan,
pendinginan, dan peregangan.
Sumber : American College of Sports Medicine: Guidelines for exercise testing and
prescription, ed 6, Philadelphia, 2010
Resep untuk mobilisasi dan olahraga untuk merangsang manfaat akutnya sama

dengan resep olahraga untuk efek aerobik jangka panjang, sentral, dan perifernya.

Parameter latihan untuk mencapai adaptasi jangka panjang pada orang sehat telah

ditentukan dan secara umum diterima dengan baik: individu melakukan latihan

22 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


aerobik dengan intensitas detak jantung 40% -85% dari cadangan detak jantung

(HRR) selama 20 hingga 40 menit , 3 hingga 5 hari seminggu (HRR berdasarkan

rumus Karvonen: HRrest + 40% -85% [HRpeak / HRmax - HRrest]). Formula

tradisional latihan latihan (HR 70% -85% dari perkiraan usia maksimum atau

maksimum yang diuji, selama 20 sampai 40 menit, 3 sampai 5 hari seminggu)

mungkin memiliki kegunaan yang lebih besar pada orang dengan kondisi kronis

ringan. Efek latihan aerobik biasanya terlihat dalam 2 bulan.

a. Efek Kardiovaskular dan Pulmonal

Kebugaran otot pernapasan dapat memengaruhi kinerja olahraga pada individu

yang sehat. Latihan otot pernapasan terisolasi meningkatkan daya tahan otot

pernapasan dan waktu ketahanan sebagai respons terhadap latihan seluruh tubuh.

Meskipun _VO2max tidak terpengaruh, _VE dan laktat darah menurun setelah

pelatihan. Selain itu, latihan otot pernafasan dapat meredakan sesak napas pada

orang sehat saat berolahraga. Namun, peningkatan kekuatan dan daya tahan otot

pernapasan dengan pelatihan khusus telah dilaporkan tidak dapat ditransfer ke _VO2

max pada atlet. Meskipun mengoptimalkan kebugaran otot pernapasan melalui

latihan fungsional seluruh tubuh adalah tujuan dalam perawatan pasien, temuan ini

memiliki beberapa implikasi klinis.

Permintaan metabolik yang meningkat dari hasil latihan akut dalam sedikit

peningkatan diameter jalan nafas dan peningkatan pada:

• Ventilasi alveolar menit

• Ventilasi alveolar

• Volume pasang surut

• Tingkat pernapasan

23 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


• Laju aliran udara

• Keluaran jantung

• Volume langkah

• Denyut jantung

• Tekanan darah

• Produk tekanan detak jantung (RPP; produk detak jantung dan TD sistolik)

Pada orang sehat dan orang dengan penyakit jantung, RPP sangat berkorelasi

dengan miokard _VO2 dan dengan demikian dengan kerja miokard122), _VO2, dan

produksi karbon dioksida (_VCO2). Umumnya, SV meningkat secara tidak

proporsional lebih banyak daripada HR pada intensitas latihan yang rendah untuk

mempengaruhi CO. Dengan meningkatnya intensitas, SV berkontribusi lebih sedikit

pada HR, yang terus meningkat hingga HR maksimum dicapai dengan latihan

tambahan. Pada wanita muda yang cukup aktif, bagaimanapun, SV mengalami

dataran tinggi melalui intensitas latihan sedang hingga berat dan kemudian

mengalami peningkatan sekunder pada beban kerja yang sangat berat. Dengan

pelatihan ketahanan, SV meningkat, sebagian besar mencerminkan peningkatan

pengisian diastolik dan tingkat pengosongan dan peningkatan darah volume. Orang

yang lebih tua mungkin tidak meningkatkan CO dan SV maksimal mereka sebagai

respons terhadap pelatihan, demi adaptasi perifer. Area pencocokan ventilasi-ke-

perfusi terbesar di zona tengah paru-paru, zona 2, meningkat akibat peningkatan

dilatasi dan perekrutan kapiler paru.

Manfaat hemodinamik dari latihan dimaksimalkan dalam posisi tegak

(berlawanan dengan posisi berbaring) karena latihan saja gagal untuk melawan

hilangnya mekanisme pengatur volume yang terkait dengan posisi berbaring. Yang

24 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


terpenting adalah peran tekanan gravitasi dalam mempertahankan kontrol dan

pengurangan tekanan darah. intoleransi ortostatik. Selama latihan, volume diastolik

akhir dan SV telah dilaporkan lebih besar pada posisi tegak daripada posisi

terlentang pada atlet ketahanan, yang mendukung ketergantungan yang lebih besar

pada hukum Frank-Starling. Dengan demikian posisi tubuh menentukan kontribusi

relatif dari HR, miokardial. kontraktilitas, dan mekanisme Frank-Starling menjadi

CO selama latihan. Pasien dengan gangguan aliran balik vena dan kontraktilitas

miokard dapat mengambil manfaat dari bersepeda telentang intensitas sedang di

mana sirkulasi sentral dan vasodilatasi lokal lebih disukai. Volume plasma

meningkat dengan latihan intens akut, dan ini telah terbukti bergantung pada posisi.

Kandungan albumen plasma peningkatan posisi tegak dibandingkan dengan posisi

terlentang, dan ini dianggap bertanggung jawab atas peningkatan volume plasma.

Dengan menggabungkan posisi tegak dengan olahraga, ahli terapi fisik dapat secara

langsung membantu menormalkan keseimbangan cairan dan hemodinamik pada

pasien yang terancam homeostasis cairan.

Efek latihan akut pada pembekuan darah dan agregasi trombosit menjadi

perhatian khusus pada individu dengan faktor risiko pembekuan yang ada. Risiko

stroke, misalnya, secara klinis penting pada orang dengan fibrilasi atrium. Tingkat

aktivitas sedang dikaitkan dengan efek prokoagulasi minimal dibandingkan dengan

latihan intensitas tinggi, yang meningkatkan aktivitas platelet. Apakah peningkatan

aktivitas platelet ini merupakan faktor risiko secara klinis masih harus ditentukan.

Peran olahraga dalam mencegah trombosis vena dalam sudah mapan. Meskipun

kontroversi telah ada mengenai perannya dalam mengelola trombosis vena dalam,

pendekatan agresif, termasuk berjalan berdasarkan penilaian yang bijaksana, telah

25 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


diajukan. Bukti terbaru menunjukkan bahwa kompresi kaki yang digabungkan

dengan berjalan lebih baik daripada istirahat di tempat tidur dalam pengelolaan vena

dalam akut. trombosis pada pasien rawat jalan. Selanjutnya, tinjauan sistematis dan

metaanalisis telah menguatkan bahwa mobilisasi tidak meningkatkan laju emboli

paru atau komplikasi di atas yang ditemukan dengan tirah baring.

b. Efek Muskuloskeletal

Latihan otot ketahanan pada pasien yang sakit kritis telah terbukti memiliki

manfaat umum dan lokal dalam hal efek akut dan jangka panjang, serta efek

pencegahannya. Otot perifer dan pernapasan merupakan target penting dari resep

latihan pada populasi pasien ini, dan pelatihan semacam itu mungkin memiliki

implikasi untuk menghindari ventilasi mekanis atau, jika ventilasi mekanis

diindikasikan, memfasilitasi penyapihan. Latihan resistansi adalah tindakan

pencegahan yang efektif untuk atrofi otot saat pasien telentang.

Pelatihan otot ketahanan telah menjadi andalan terapi fisik untuk pemulihan

motorik dan efek pengkondisian pada populasi pasien. Ada peningkatan minat pada

efek hemodinamik dari pelatihan ketahanan dan interaksinya. Khususnya, setelah

program pelatihan ketahanan, orang dewasa yang lebih tua yang sehat menunjukkan

respons latihan aerobik yang lebih baik. Respon kardiovaskular terhadap pengerahan

tenaga berkurang, respon puncak tertunda, dan pemulihan dari pengerahan tenaga

maksimum lebih cepat. Efek latihan ditentukan oleh hubungan yang bergantung

pada dosis antara intensitas latihan ketahanan dan respons latihan aerobik, di

samping status pra-latihan individu. Efek ini bermanfaat bagi pasien dengan

disfungsi kardiovaskular dan paru primer; sehingga pelatihan ketahanan yang

dimodifikasi telah menjadi komponen integral dari program rehabilitasi jantung dan

26 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


paru tradisional. Latihan otot resisten, bagaimanapun, dikaitkan dengan peningkatan

kekakuan dinding arteri, sehingga mengurangi kepatuhan dan meningkatkan tekanan

nadi. Peningkatan tekanan nadi merupakan faktor risiko penyakit jantung iskemik,

yang menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam meresepkan latihan yang memiliki

efek selektif pada tekanan nadi.

Perhatian harus diambil dengan latihan ketahanan tinggi, yang ditentukan relatif

terhadap kekuatan individu dan status ketahanan. Sit-up, misalnya, membutuhkan

kontraksi abdomen yang relatif kuat dan dapat menimbulkan kontraksi resistensi

yang berat atau upaya isometrik yang kuat pada individu yang lemah. Pada

gilirannya, tekanan intratoraks meningkat, SV menurun, dan cedera vaskular dapat

dipicu. Ada laporan tentang konsekuensi neurologis katastropik (stroke dan

hematoma epidural spinal) pada dua pria muda yang sehat. Jadi sebelum latihan

perut diresepkan, pasien harus diskrining untuk faktor-faktor risikonya. Kontrol

pernapasan harus digabungkan untuk mengurangi tekanan intratoraks dan

intraabdominal. Terapis fisik perlu waspada dalam mendeteksi tanda dan gejala

neurologis sejak dini.

Pekerjaan tubuh bagian atas dan bagian bawah memiliki karakteristik fisiologis

yang berbeda. Respons ini mungkin harus dihindari (seperti pada tekanan

hemodinamik pekerjaan tubuh bagian atas pada individu dengan disfungsi miokard)

atau dieksploitasi (seperti pada individu dengan tubuh bagian bawah). kelumpuhan).

Kinetika oksigen berbeda untuk kedua jenis pekerjaan, seperti halnya respons

hemodinamiknya. Kinetika _VO2 diperpanjang pada pengengkolan lengan

dibandingkan dengan bersepeda kaki. Perubahan ini konsisten dengan peningkatan

27 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


perekrutan serat tipe II. Serat tipe II tidak efisien secara metabolik dibandingkan

dengan serat cepat, glikolitik, tipe I.

c. Efek Endokrin

Mobilisasi dan olahraga merangsang sistem endokrin. Katekolamin, dilepaskan

untuk mendukung sistem kardiovaskular, mempertahankan kecepatan kerja olahraga

tertentu. Peningkatan aktivitas simpatis akibat mobilisasi dapat membantu

mengurangi kebutuhan pasien akan agen farmakologis simpatomimetik, hasil terapi

fisik yang penting. Stimulasi saraf simpatis meningkat, sehingga neurotransmiter

simpatis diproses lebih efisien (yaitu, disintesis dan terurai secara hayati). Ini adalah

efek signifikan yang dapat digunakan sebagai tujuan saat meresepkan mobilisasi.

Ketika katekolamin eksogen digunakan untuk menambah DO2 (secara optimal

hingga 600 mL / menit / m2) pada pasien di ICU bedah, tingkat kelangsungan hidup

meningkat dan tidak ada peningkatan kejadian jantung dibandingkan dengan pasien

kontrol. Apakah efek ini, yaitu mungkin dimediasi oleh peningkatan cadangan

jantung, dapat dicapai dengan studi waran stimulasi simpatis yang diinduksi oleh

olahraga. Manfaat tambahan dari gairah simpatik pada pasien yang sakit kritis

mungkin termasuk efek antiinflamasi yang terkait dengan peningkatan katekolamin.

d. Efek Sistem Saraf Pusat

Respon SSP untuk mobilisasi termasuk gairah melalui aktivasi sistem aktivasi

retikuler dan priming dari berbagai sistem organ yang terlibat. Sehubungan dengan

fungsi otonom, penghambatan parasimpatis terjadi pada awal latihan, diikuti oleh

aktivasi simpatis untuk menambah kekuatan dan kecepatan miokard. kontraksi.

Penggunaan substrat dan transfer ke jaringan kerja, serta kapasitas oksigen untuk

disuplai ke otot, diatur secara tepat melalui kontrol terkoordinasi dari suhu tubuh,

28 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


pernapasan, fungsi jantung, dan vasoaktivitas, baik secara sistemik maupun lokal; di

tingkat jaringan, mereka diatur oleh kontrol metabolisme lokal dan produksi zat

vasoaktif dan kemoaktif.

e. Efek Metabolik

Efek metabolik dari olahraga akut, khususnya, pada metabolisme glukosa dan

sintesis hormon pertumbuhan memiliki relevansi klinis yang cukup besar karena

fungsi ini sangat penting untuk kesehatan dan pemulihan. Aktivitas fisik yang

dibatasi menyebabkan hiperinsulinemia dan hiperglikemia serta mengurangi sintesis

hormon pertumbuhan. Jadi, efek akut dari olahraga berperan penting dalam

mengimbangi perubahan ini.

f. Efek Imunologikal

Olahraga akut memiliki efek yang sangat besar pada sistem kekebalan tubuh.

Bahkan satu kali olahraga ringan memiliki efek positif pada kekebalan. Apakah ada

efek ketergantungan dosis tidak diketahui. Juga tidak diketahui apakah ada efek

kumulatif dari latihan yang kurang intens dalam waktu singkat, seperti untuk pasien

yang sakit parah atau yang memiliki kapasitas fungsional rendah.

Latihan menginduksi produksi sel darah putih, sehingga dapat mengoptimalkan

kekebalan alami. Umumnya, latihan aerobik teratur tingkat sedang dikaitkan dengan

peningkatan fungsi kekebalan. Dalam 10 menit pertama latihan intensif, leukositosis

meningkat, seperti halnya trombosit yang bertanggung jawab untuk meningkatkan

produksi trombosit. Perubahan ini tidak terkait dengan hipovolemia atau hipertermia

terkait olahraga. Apakah leukositosis dan olahraga bergantung pada dosis atau

apakah ada intensitas latihan kritis yang harus dicapai untuk merangsang

leukositosis, masih belum ditetapkan. Olahraga panjang yang melelahkan telah

29 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


dikaitkan dengan kekebalan yang terganggu, yang dapat dihindari dengan istirahat

dan pemulihan yang optimal, bersama dengan nutrisi yang baik dan mungkin

suplemen vitamin C. Setelah latihan berat yang berkepanjangan pada atlet, "jendela

terbuka" dari kerentanan terhadap infeksi yang berlangsung selama 3 hingga 72 jam

setelah olahraga telah dijelaskan. Risiko infeksi dapat diperburuk oleh kurang

istirahat dan tidur, pola makan yang tidak tepat, penurunan berat badan, dan

ketegangan mental, dan itu dapat dicegah atau dibalik dengan istirahat yang lebih

baik dan diet dan olahraga. Pelatihan Strategi yang direkomendasikan untuk atlet

untuk mengoptimalkan kompetensi imun mereka memiliki relevansi untuk populasi

klinis. Sesi latihan dipantau untuk kerentanan individu terhadap infeksi, kesehatan

umum mereka, dan intensitas dan durasi sesi latihan, serta pemulihan, istirahat, diet

optimal, dan manajemen stres.

g. Efek Psikologi

Olahraga akut juga telah dilaporkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis

dan suasana hati. Terlepas dari manfaat yang mapan dari olahraga pada kesehatan

mental (misalnya, mengurangi kecemasan dan ketegangan serta menghilangkan

depresi), tidak cukup sering digunakan. Untuk mendapatkan keuntungan penuh dari

manfaat nonfarmasi yang hemat biaya ini, olahraga perlu menjadi rekomendasi yang

lebih sering.

3. Body Positioning

Penentuan posisi tubuh memiliki efek yang kuat dan langsung pada sebagian

besar tahapan jalur transportasi oksigen, sehingga dapat ditentukan untuk memperoleh

efek ini secara istimewa. Karena manusia berfungsi secara optimal saat berdiri dan

bergerak, intervensi terapeutik yang memunculkan atau mensimulasikan tegak dan

30 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


bergerak (yaitu, menimbulkan stres gravitasi dan olahraga) paling dapat dibenarkan

secara fisiologis. Posisi telentang telentang, posisi umum yang dilakukan oleh pasien

yang dirawat di rumah sakit, bersifat nonfisiologis dan merusak transportasi oksigen.

Posisi berbaring miring memiliki pengaruh antara posisi tegak dan terlentang. Posisi

tengkurap, yang kurang dimanfaatkan secara klinis, dapat memiliki pengaruh yang

sangat kuat pada pengangkutan oksigen sehingga harus dibuat alasan yang baik untuk

tidak memasukkan posisi ini ke dalam resep pengobatan.

a. Posisi tegak (upright position)

Meskipun posisi tegak sama dengan posisi fisiologis dan anatomis, namun

gerakan tegak merupakan posisi fisiologis yang sebenarnya dimana posisi tegak

dibarengi dengan gerakan (misalnya berjalan, bersepeda, atau gerakan dalam duduk)

konsisten dengan kebutuhan aktivitas sehari-hari. . Untuk memenuhi permintaan

energik dari aktivitas ini, transportasi oksigen dioptimalkan hingga tingkat terbesar,

dalam ventilasi dan perfusi yang lebih seragam daripada tanpa stimulus olahraga

tambahan. Posisi berdiri tegak memaksimalkan volume dan kapasitas paru-paru,

kecuali volume penutupan, yang diturunkan. Kapasitas residu fungsional (FRC),

volume udara yang tersisa di paru-paru pada akhir ekspirasi pasang-akhir, lebih

besar saat berdiri dibandingkan dengan duduk dan melebihi posisi terlentang

sebanyak 50%. Memaksimalkan FRC dikaitkan dengan penurunan penutupan jalan

napas dan oksigenasi arteri maksimal. Karena perubahan paru terkait usia, kapasitas

penutupan saluran napas yang bergantung meningkat seiring bertambahnya usia;

efek ini lebih jauh ditekankan dengan posisi berbaring. Penutupan jalan napas

terlihat pada posisi terlentang pada orang berusia 45 tahun yang sehat dan dalam

posisi duduk tegak pada orang berusia 65 tahun yang sehat. Atelektasis kompresi

31 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


disebabkan oleh berat jantung, tekanan perut, dan efusi pleura, efeknya yang

ditentukan oleh posisi spesifik pasien.13 Efek posisi ini lebih ditekankan pada

populasi pasien dengan patologi kardiovaskular dan paru, toraks, dan perut,

sehingga posisi tegak disukai, dan posisi terlentang harus diminimalkan sehingga

mencegah penutupan jalan nafas dan gangguan pertukaran gas.

Posisi tegak dikaitkan dengan efek hemodinamik yang nyata. Efek ini terutama

mencerminkan volume darah sentral, yang bergeser dari kompartemen toraks ke

kompartemen vena dependen ketika seseorang mengambil posisi tegak dari posisi

terlentang. Volume enddiastolik dan volume stroke menurun, yang mengakibatkan

peningkatan kompensasi denyut jantung. Curah jantung juga menurun. Efek bersih

dari perubahan fisiologis ini adalah penurunan kerja miokard. Temuan ini diperkuat

oleh pengamatan bahwa ambang anginal meningkat pada pasien dengan kondisi

jantung saat mereka tegak. Selanjutnya, tekanan gravitasi intermiten setelah infark

miokard atau operasi bypass mempertahankan toleransi ortostatik dan dengan

demikian mencegah dekondisi tirah baring

Gambar 2.7 Efek body position terhadap aliran darah perifer


Sumber : Donna Frownfelter, 2012

Resistensi pembuluh darah perifer meningkat dan aliran darah menurun dengan

asumsi posisi tegak lebih dari derajat untuk mengimbangi pergeseran cairan yang

32 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


bergantung dan potensi penurunan tekanan darah. Sudut tegak minimal derajat

diperlukan untuk mengoptimalkan curah jantung dan tonus simpatis. Efek penting

lainnya dari posisi tubuh pada volume cairan adalah peningkatan drainase urin dari

pelvi ginjal ke kandung kemih ketika dalam posisi tegak, sebagai akibatnya. dari

area yang berkurang untuk stasis urin ketika dalam posisi ini berlawanan dengan

posisi terlentang. Fungsi ginjal yang optimal penting untuk mempertahankan status

hemodinamik yang normal.

Orang yang lebih tua yang relatif tidak bergerak cenderung duduk dalam waktu

lama. Namun, tanpa sering terpapar dengan berdiri tegak, fenomena hipotensi

postural duduk dapat terjadi. Selain itu, stasis peredaran darah yang bergantung dan

konsekuensi lain dari mobilitas terbatas seperti dekondisi dipromosikan dalam posisi

ini.

b. Posisi terlentang (supine position)

Posisi terlentang yang melekat kaitannya pada tirah baring mengubah

konfigurasi dinding dada, posisi anteroposterior hemidiafragma, tekanan intratoraks,

tekanan intraabdominal sekunder akibat pergeseran visera abdomen pada posisi ini,

dan mekanisme fungsi jantung. Konfigurasi anteroposterior normal menjadi lebih

melintang. Hemidiafragma tergeser cephalad, yang mengurangi FRC pada posisi ini.

Prefaut dan Engel mengamati bahwa vasokonstriksi hipoksia sekunder akibat

penutupan saluran napas dalam posisi terlentang berkontribusi pada perfusi

preferensial dari zona paru nondependen. Akhirnya, pada posisi terlentang,

kelebihan sekresi paru cenderung berkumpul di sisi-sisi saluran udara yang

bergantung. Sisi atas mungkin mengering, membuat pasien terkena infeksi dan

obstruksi

33 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Peningkatan volume darah intratoraks dalam posisi terlentang juga berkontribusi

pada penurunan FRC dan kepatuhan paru-paru dan peningkatan resistensi jalan

napas. Secara kolektif, efek ini mempengaruhi pasien untuk menutup jalan napas

dan meningkatkan kerja pernapasan. Meskipun orang yang sehat dapat

menyesuaikan diri dengan perubahan fisiologis ini, orang yang sehat tidak

mengambil posisi ini untuk waktu yang lama tanpa secara tidak sadar bergeser.

Namun, pasien yang dirawat di rumah sakit cenderung tidak beradaptasi dengan

perubahan langsung ini dan efek jangka panjangnya. Mereka mungkin kurang

responsif terhadap kebutuhan untuk mengubah posisi atau tidak mampu menanggapi

rangsangan aferen yang mendorong kebutuhan untuk mengubah posisi. Efek ini

ditekankan pada orang tua yang tekanan oksigen arterialnya semakin berkurang

seiring bertambahnya usia. Dibandingkan dengan orang yang lebih muda, tekanan

oksigen arteri pada orang tua terutama lebih rendah pada posisi terlentang

dibandingkan dengan posisi duduk referensi.

Gambar 2.8 Pengaruh body position pada level dan pergerakan diafragma selama
respirasi
Sumber : Charles C. Thomas, 1965

Posisi diafragma dan fungsinya sangat bergantung pada posisi tubuh. Pada posisi

terlentang, tingkat istirahat diafragma dipengaruhi secara berbeda oleh anestesi dan

34 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


blokade neuromuskuler. Pada subjek yang bernafas spontan, ekskursi diafragma

lebih besar ke posterior karena visera yang bergantung di bawah bagian posterior

diafragma. Selama anestesi dengan atau tanpa kelumpuhan, diafragma naik 2 cm ke

dalam dada. Ketika kelumpuhan diinduksi, hilangnya tonus diafragma menghasilkan

ekskursi yang lebih besar dari bagian nondependen daripada bagian dependen

diafragma.

Sebuah studi tentang efek postural hemodinamik pada subjek sehat mendukung

bahwa posisi horizontal memaksimalkan volume darah sentral. Posisi ini,

bagaimanapun, tidak dapat dianggap optimal secara klinis karena efek seperti

kompresi intratoraks dan intraabdominal.

c. Posisi miring ke samping (side lying position)

Berbaring miring mungkin secara teoritis kurang merusak dibandingkan dengan

posisi terlentang. Posisi berbaring menyamping menonjolkan ekspansi

anteroposterior dengan mengorbankan ekskursi transversal dari dinding dada

dependen. Pada posisi ini, hemidiafragma dependen tergeser cephalad karena

kompresi visera di bawahnya. Hal ini menghasilkan ekskursi yang lebih besar

selama respirasi dan kontribusi yang lebih besar pada ventilasi paru-paru tersebut

dan pertukaran gas secara keseluruhan. FRC dalam posisi miring berada di antara

posisi tegak dan terlentang. Dibandingkan dengan posisi terlentang, kepatuhan

berbaring menyamping meningkat, resistensi berkurang, dan kerja pernapasan

berkurang, sedangkan tindakan ini dibalik ketika berbaring menyamping

dibandingkan dengan posisi tegak. Meskipun ventilasi ditingkatkan ke paru-paru

dependen, volume paru-paru inspirasi dan FRC berkurang. Dibandingkan dengan

referensi posisi duduk, FEV1 dan FVC berkurang sama di kiri dan kanan berbaring,

35 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


tanpa efek diferensial dari berbaring samping pada kapasitas difusi dan volume

penutupan. Efek fungsi paru-paru ini saat menyamping mungkin mencerminkan

geometri paru yang berubah dengan perubahan posisi dan penurunan diameter

vertikal setiap paru-paru dalam posisi miring dibandingkan dengan yang terjadi pada

posisi terlentang.

Posisi berbaring meningkatkan tekanan ventrikel akhir diastolik pada sisi

dependen sekunder akibat kompresi visera di bawah diafragma dan mengurangi

kepatuhan paru-paru pada sisi tersebut. Meskipun perubahan tersebut dapat dengan

mudah diakomodasi dalam kesehatan, perubahan tersebut selanjutnya dapat

mengganggu pertukaran gas pada individu. dengan defisit transportasi oksigen.

Pada orang sehat dan pasien, tekanan oksigen arteri lebih besar pada posisi

berbaring menyamping daripada pada posisi terlentang. Hal ini berlaku untuk pasien

yang menerima oksigen tambahan, dan juga pada mereka yang tidak. Dengan

demikian, posisi miring dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi pertukaran

gas dan dengan demikian meminimalkan atau menghindari penggunaan oksigen

tambahan. Gas darah arteri telah dilaporkan meningkat pada pasien dengan penyakit

paru-paru unilateral ketika mereka ditempatkan dengan paru-paru yang baik turun

dan memburuk ketika paru-paru yang terkena turun. Jika patologi paru bilateral,

nilai gas darah arteri lebih baik saat pasien berbaring miring ke kanan daripada saat

berbaring di kiri. Hal ini dapat dijelaskan dengan ukuran paru-paru kanan yang lebih

besar dan kompresi jantung yang berkurang pada paru-paru pada posisi ini

dibandingkan dengan berbaring miring ke kiri. Praktek “turun dengan paru-paru

yang baik,” bagaimanapun, telah banyak dilakukan. dipertanyakan pada pasien

dengan kolaps paru unilateral akibat lesi saluran napas sentral. Tidak semua pasien

36 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


merespon dengan baik ketika paru-paru yang baik turun. Diperlukan penelitian

untuk membedakan karakteristik responden dan non responden untuk

menyempurnakan resep posisi tubuh.

Posisi berbaring menyamping daripada terlentang sering kali merupakan posisi

yang disukai untuk pasien yang dirawat di rumah sakit; namun konsekuensi

fisiologisnya tidak dipahami dengan baik. Efek paru dari berbaring samping telah

dilaporkan untuk orang tua yang sehat. FEV1 dan FVC berkurang sebanding untuk

berbaring miring ke kanan dan kiri dibandingkan dengan posisi duduk referensi.

Meskipun kapasitas penyebaran dan homogenitas ventilasi tampaknya tidak

berubah, mereka dapat berdampak buruk pada populasi pasien dengan patologi

tunggal dan gabungan yang mempengaruhi transportasi oksigen.

Pasien yang secara hemodinamik tidak stabil memerlukan pertimbangan khusus

sehubungan dengan posisi tubuh. Pasien-pasien ini mungkin kurang bisa

mendapatkan keuntungan dari mobilisasi aktif dan lebih bergantung pada gangguan

posisi daripada pergerakan untuk mempromosikan pertukaran gas yang optimal.

Dalam satu penelitian pada pasien dengan kegagalan pernafasan yang parah dan

menerima dukungan inotropik, posisi ekstrim kiri berkontribusi pada keadaan

hiperdinamik, dan posisi lateral kanan menyebabkan pasien hipotensi, kemungkinan

sebagai akibat dari gangguan preload ventrikel kanan. Bukti spirometri dari pasien

yang diintubasi mendukung penurunan kepatuhan paru dinamis pada posisi lateral

dan tengkurap dibandingkan dengan posisi terlentang. Posisi tubuh memerlukan

resep yang bijaksana, dengan perhatian khusus pada sudut posisi lateral dan durasi

serta pemantauan untuk mengamati efeknya.

37 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


d. Posisi telungkup (prone position)

Ada banyak pembenaran fisiologis dan ilmiah untuk penggunaan posisi

tengkurap untuk meningkatkan oksigenasi arteri dan mengurangi kerja pernapasan

pada pasien dengan disfungsi kardiovaskular dan paru yang mungkin mendapat

ventilasi mekanis atau tidak. Posisi tengkurap menggeser struktur mobile rongga

dada dan perut.84,85 Jantung dan pembuluh darah besar bergeser ke anterior. Hati,

limpa, dan ginjal bergeser ke anterior dan kaudal.

Posisi tengkurap meningkatkan tekanan oksigen arteri, volume tidal, dan

komplians paru dinamis. Gradien tekanan pleura dihomogenisasi; karenanya

distribusi _VA dan inflasi alveolar ditingkatkan. Ventilasi yang cocok dengan

perfusi telah terbukti lebih seragam pada posisi horizontal, mencerminkan gradien

tekanan pleura yang lebih seragam dan kompresi paru yang lebih sedikit oleh

jantung. Selain itu, posisi tengkurap mengurangi volume stroke, meningkatkan

aktivitas simpatis, dan menambah output urin. Ada minat yang meningkat untuk

memanfaatkan manfaat ini pada pasien yang sakit kritis di mana pilihan mobilisasi

lebih terbatas. Posisi tengkurap memiliki beberapa peran dalam menghindari

ventilasi mekanis pada pasien yang sadar dan waspada, sehingga mengurangi risiko

komplikasi terkait ventilator. Selama bertahun-tahun, penelitian tentang posisi

rawan telah dilakukan sebagian besar pada pasien dengan sindrom gangguan

pernapasan akut. Rawan dikaitkan dengan peningkatan oksigenasi pada 70% hingga

80% kasus. Pengaruh durasi yang berkepanjangan pada posisi tengkurap telah

dipelajari, dan manfaatnya tampaknya bergantung pada dosis. Hasil fisiologis posisi

tengkurap dalam penatalaksanaan cedera paru akut dianggap mencerminkan

patoetiologi tertentu.

38 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Meskipun pasien dengan gagal napas telah terbukti mendapat manfaat dari posisi

tengkurap, tindakan pencegahan tertentu harus diperhatikan. Pasien harus

diposisikan sedemikian rupa sehingga semua tekanan titik tekanan (terutama di

kepala dan wajah), serta tekanan pada pipa dan sirkuit pipa ventilator mekanis,

diminimalkan. Pasien harus dipantau terus menerus. Posisi semiprone dapat

memberikan banyak manfaat fisiologis dari posisi tengkurap penuh dan dapat

meminimalkan risikonya, terutama pada pasien yang berventilasi mekanis dan

dengan kelainan tulang belakang leher. Selain itu, posisi semiprone mensimulasikan

posisi tengkurap tanpa perut. Posisi semiprone mungkin lebih konservatif, lebih

nyaman, dan lebih aman untuk pasien yang sakit parah, berpotensi secara

hemodinamik tidak stabil, lebih tua, atau memiliki perut yang menonjol.

Untuk pasien yang tidak dapat dimobilisasi, penggunaan beberapa varian posisi

tengkurap bahkan lebih penting. Telentang yang berlebihan, terutama pada pasien

yang ditempatkan melalui busur terbatas (misalnya, terlentang dan seperempat

putaran ke kedua sisi), harus diimbangi dengan beberapa varian posisi tengkurap,

dan posisi ini harus sering digabungkan. Tak terelakkan, pasien yang terpapar busur

posisi terbatas dapat dengan mudah mengembangkan atelektasis di bidang paru-paru

yang bergantung. Pasien dengan ventilasi mekanis dan memiliki pola ventilasi

pasang surut yang monoton berada pada risiko tertentu. Satu-satunya cara untuk

mencegah dan melawan kompresi dan atelektasis yang diinduksi secara hidrostatis

adalah dengan memposisikan area dependen paling atas dan sering memposisikan

ulang pasien.

Indikasi pemberian body positioning terhadap trasnportasi okseigen, antara

lain:

39 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


a. Indikasi pada kardiopulmonal, meliputi:

- Penurunan volume alveolar regional

- Penurunan ventilasi regional

- Penurunan regional

- Penurunan difusi regional

- Ventilasi yang dikompromikan dengan pencocokan perfusi

- Shunting paru

- Volume dan kapasitas paru-paru menurun, terutama kapasitas residu

fungsional, kapasitas vital, dan volume tidal

- Penutupan saluran udara yang tergantung

- Frekuensi pernapasan tidak normal

- Ventilasi menit yang tidak normal

- Pola ventilasi pasang surut yang monoton

- Posisi hemidiafragma yang suboptimal

- Efisiensi otot pernapasan menurun

- Resistensi jalan napas

- Kepatuhan paru-paru suboptimal

- Laju aliran yang kurang optimal

- Batuk tidak efektif yang lemah

- Efisiensi biomekanik yang buruk dari kekuatan dan produktivitas batuk

- Peningkatan kerja pernapasan

- Gas darah arteri abnormal, pertukaran gas, dan oksigenasi

- Gangguan transportasi mukosiliar dan pembersihan lendir

- Gaya gravitasi, mekanik, dan kompresi yang tidak diinginkan pada

40 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- paru-paru, dinding dada, diafragma, dan usus

- Gangguan pernapasan viscerodiaphragmatic

- Pola pernapasan yang kurang optimal

b. Indikasi pada kardiovaskular dan limpatik, meliputi:

- Preload dan afterload kurang optimal

- Peningkatan kerja hati

- Gangguan fraksi ejeksi sistolik ke sirkulasi paru dan sistemik

- Pengembalian vena suboptimal

- Gaya gravitasi, mekanik, dan kompresi yang tidak diinginkan pada

miokardium, pembuluh darah besar, struktur mediastinal, dan sistem limfatik

- Pergeseran fluida yang kurang optimal dari pusat ke daerah dependen

(ekstremitas) dan sebaliknya untuk mempertahankan mekanisme pengaturan

volume fluida

c. Sistem Lainnya

- Penurunan gairah pasien

- Pengeluaran energi yang tidak semestinya

- Tidak nyaman

- Rasa sakit

- Tonus otot meningkat secara postur

- Peningkatan tekanan intratoraks

- Peningkatan tekanan intraabdominal

- Peningkatan tekanan intrakranial

- Posisi tubuh secara biomekanik suboptimal

- Penurunan drainase chest tube

41 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- Penurunan drainase urin

- Gangguan perfusi perifer

Indikasi pemberian body positioning secara berkala, antara lain:

a. Indikasi pada kardiopulmonal, meliputi:

- Pergeseran distribusi volume alveolar

- Pergeseran distribusi ventilasi

- Geser distribusi perfusi

- Pergeseran distribusi difusi

- Geser distribusi ventilasi ke pencocokan perfusi

- Geser kompresi fisik mekanis jantung pada alveoli yang berdekatan

- Menggeser posisi jantung, sehingga mengubah tekanan pengisian diastolik

ujung ruang, preload, afterload, dan kerja jantung

- Pergeseran distribusi transportasi dan akumulasi lendir

- Merangsang batuk efektif dan produktif

- Memfasilitasi aksi pemompaan yang diperlukan untuk drainase limfatik yang

optimal

- Pola gangguan ventilasi pasang surut yang monoton

- Mengganggu pola pernapasan

- Pergeseran gaya gravitasi, mekanis, dan kompresi pada paru-paru, dinding

dada, diafragma, dan usus

- Simulasikan siklus keluhan deflasi inflasi normal

- Geser tekanan intraabdominal

42 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


b. Indikasi pada kardiovaskular dan limpatik, antara lain:

- Pergeseran gaya gravitasi, mekanis, dan kompresi pada miokardium,

pembuluh darah besar, struktur mediastinal, dan sistem limfatik

- Merangsang pergeseran volume cairan terutama ke anggota tubuh yang

bergantung

c. Indikasi pada system lainnya, meliputi:

- Ubah kondisi gairah

- Tingkatkan relaksasi

- Tingkatkan kenyamanan

- Kendalikan rasa sakit

- Mencegah kerusakan kulit, risiko infeksi, dan mengakibatkan keterbatasan

posisi

- Ubah pola nada postur tubuh yang tidak normal

- Optimalkan drainase chest tube

- Promosikan drainase urin

43 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


BAB III

PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI

A. Data Medis

Diagnosa medis : Asma

Vital sign :

- TD : 110/80 mmHg

- P : 20x/menit

- DN : 84x/menit

- S : 36C

B. Identitas Pasien

- Nama : Tn. N

- Usia : 42 tahun

- Jenis Kelamin : Laki-laki

- Pekerjaan : Karyawan Swasta

- Alamat : Komp. Ex Rudis Kertago No.146, Gowa

C. History Taking

- Keluhan utama : sesak napas dan batuk

- Riwayat perjalanan penyakit : keluhan sesak napas dialami sejak pasien duduk

di bangku SMP dan terasa memberat apabila suhu udara panas atau dingin. Pasien

juga mengalami sesak apabila pasien merasa lelah.

- Riwayat penyakit penyerta :

D. Inspeksi/Observasi

 Kesadaran : normal

44 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


 Keadaan fisik

- Anterior : pasien nampak pectus excavatum, hipertropi otot SCM

- Lateral : pasien nampak rounded shoulder/protraksi, forward

head.

- Posterior : tidak nampak kelainan

 Kulit : tidak nampak kelainan

 Mulut : tidak nampak kelainan

 Kuku : tidak nampak kelainan

E. Pemeriksaan/Pengukuran Kardiovaskular Pulmonal

1. Palpasi

- Tujuan : mendeteksi adanya spasme otot-otot pernapasan, taktif

fremitus dan nyeri dada

- Prosedur :

a. Fisioterapis menekan dinding dada anterior kanan dan kiri kemudian

menanyakan apakah ada nyeri yang dirasakan oleh pasien.

b. Fisioterapis mempalpasi otot pectoralis major dan upper trapezius untuk

mendeteksi adanya spasme

c. Fisioterapis meletakkan kedua tangan di upper , middle dan lower chest lalu

instruksikan pasien menyebut 99 untuk medeteksi taktil fremitus

- Hasil : normal

- Interpretasi hasil : tidak terdapat nyeri dada, spasme otot dan taktil fremitus

normal

45 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


2. Auskultasi

- Tujuan : mendeteksi bunyi pola suara napas

- Prosedur : memakai stetoskop, tempatkan stetoskop langsung,

diatas kulit anterior dan posterior langsung diatas kulit anterior dan posterior

dinding dada pasien. Stetoskop digerakkan dengan pola simetris (S) pada dinding

dada anterior dan posterior lalu posisi lateral dinding dada tinggi T 2 T 6 T 10

- Hasil : positif

- Interpretasi hasil : terdengar bunyi ronchi indikasi congestion proksimal

airway.

3. Pemeriksaan Mobilitas Thorax

- Tujuan : mendeteksi pengembangan/mobilitas thorax

- Prosedur :

a) Upper : Pasien berdiri dengan meteran berada sejajar dengan clavicula pasien,

anjurkan pasien menarik napas dan hembuskan.

b) Middle : Posisi pasien berdiri, meteran berada sejajar dengan papilla mamae,

anjurkan pasien untuk menarik napas dan hembuskan

c) Lower : Posisi pasien duduk, meteran berada sejajar pada processus xypoideus

anjurkan pasien untuk menarik napas dan hembuskan

46 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- Hasil :

Awal Inspirasi Ekspirasi


Upper 77 78 77
Middle 73 76 73
Lower 61 66 61

- Interpretasi: penurunan mobilitass upper lobus

4. Pemeriksaan Volume Paru

- Tujuan : mendeteksi gangguan penurunan volume paru

- Prosedur : pemeriksaan ini dilakukan menggunakan spirometri

- Hasil :

Best Pred %Pred


FVC 19.49 3.42 17.54
FEV1/FVC 13.88 84.30 16.46

- Interpretasi hasil : mild obstructive abnormality

5. Pemeriksaan Gas Darah

(Tidak dilakukan)

6. Pengukuran Skala BORG

Sesak Napas Keterangan


0 Tidak ada
0,5 Tidak nyata
1 Sangat ringan
2 Ringan
3 Sedang
4 Sedikit berat
5
Berat
6
7
8 Sangat berat
9
10 Sangat-sangat berat

- Hasil :3

- Interpretasi hasil : sesak napas sedang

47 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


7. Asthma Control Test

Hasil: 20

Interpretasi hasil: asma terkontrol sebagian

8. London Chest ADL

Hasil: 20

Interpretasi hasil:

9. Pengukuran Daya Tahan Jantung – Paru

Uji jalan selama 6 menit merupakan pemeriksaan toleransi aktivitas yang bertujuan

untuk menilai kapasitas fungsional, Tes ini dilakukan sepanjang 30 m selama 6

menit, sebelum melakukan test terlebih dahulu pasien diukur vital sign (TD, RR,

DN, dan suhu).

Hasil : VO2max : 8,82

10. METs (Metabolic Eqivalents)

METs Interpretasi
2 Jalan santai (kecepatan kurang dari 3km/jam)
1,5 Bekerja menggunakan computer (duduk)
3 Pekerjaan rumah tangga
4 Naik tangga
5 Jalan cepat (kecepatan lebih dari 6km/jam)
7 Bermain sepak bola
2-5 Berkebun
1,3 Nonton TV
2,3 Belajar

Hasil : 2,52

Interpretasi hasil : pasien dapat jalan santai, bekerja menggunakan computer,

berkebun, nonton TV, belajar.

F. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)

Gangguan respirasi sesak napas, batuk dan penurunan mobilitas thorax akibat Asma

G. Problematik Fisioterapi

48 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


No. Komponen ICF Pemeriksaan/Pengukuran Yang
Membuktikan
1 Impairment
a. Sesak napas BORG, Asthma Control Test
b. Gangguan pengembangan thoraks Pemeriksaan mobilitas thoraks
c. Batuk History taking
d. Deviasi postural Inspeksi
e. Penurunan volume paru Spirometri
f. Gangguan pembersihan jalan napas Auskultasi
2. Activity Limitation
a. Kesulitan aktivitas naik turun tangga London Chest ADL kuesionner
b. Kesulitan aktivitas berjalan ≥ 250 m 6 m walk test, METs
3. Participation Restriction
Kesulitan menyelesaikan pekerjaan Pengukuran derajat sesak napas,
Pemeriksaan mobilitas thoraks, History
taking, Inspeksi, Spirometri, London
Chest ADL kuesionner, 6 m walk test,
METs.

49 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan aktivitas fungsional secara optimal tanpa keluhan batuk dan

sesak napas.

2. Tujuan Jangka Pendek

- Memperbaiki pola napas atau penurunan frekuensi sesak napas

- Memperbaiki pengembangan/mobilitas thoraks

- Membersihkan jalan napas

- Mengajarkan batuk efektif

- Memperbaiki deviasi postural

- Meningkatkan volume paru

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No. Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


1. Impairment
Memperbaiki pola napas
Pursed lip breathing,
a. Sesak napas atau penurunankan
diafragma breathing
frekuensi sesak napas
b. Gangguan Memperbaiki Segmental breathing,
pengembangan thoraks pengembangan thoraks mobilisasi chest

c. Batuk Mengajarkan batuk efektif ACBT

Memperbaiki deviasi
d. Deviasi postural Koreksi postur
postural
Deep breathing exercise,
Meningkatkan volume sustained maximal
e. Penurunan volume paru
paru Inspiration, Segmental
Breathing

50 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


f. Gangguan pembersihan Membersihkan jalan Nebulizer, Postural
jalan napas napas drainage
2. Activity Limitation
Pursed lip breathing,
diafragma breathing,
Segmental breathing,
Mengembalikan aktivitas
a. Kesulitan aktivitas naik mobilisasi chest, ACBT,
Naik turun tangga secara
turun tangga Koreksi postur, Deep
optimal
breathing exercise, sustained
maximal Inspiration,
Nebulizer, Postural drainage
Pursed lip breathing,
diafragma breathing,
Segmental breathing,
b. Kesulitan aktivitas Mengembalikan aktivitas mobilisasi chest, ACBT,
Berjalan jauh ≥ 250 m Berjalan secara optimal Koreksi postur, Deep
breathing exercise, sustained
maximal Inspiration,
Nebulizer, Postural drainage
3. Participation Restriction
Pursed lip breathing,
diafragma breathing,
Segmental breathing,
Kesulitan menyelesaikan Mengembalikan aktivitas mobilisasi chest, ACBT,
pekerjaan pekerjaan tanpa keluhan Koreksi postur, Deep
breathing exercise, sustained
maximal Inspiration,
Nebulizer, Postural drainage

C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

1. Nebulizer

- Posisi pasien : duduk di kursi

- Posisi fisioterapis : di samping pasien

- Teknik pelaksanaan : Fisioterapis memasukkan obat berupa meptin dan

pulmicort pada cannula oksigen. Fisioterapis kemudian memasangkan masker

oksigen pada pasien, kemudian pasien diarahkan untuk bernapas melalui

mukut bantuan tapotement pada posterior paru dan diarahkan untuk huffing.

- Dosis : 1x sehari, dalam 10 hari.

51 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


2. Postural Drainage

- Posisi pasien : tidur miring ke sisi kanan. Kaki bed di tinggikan 35

cm.

- Posisi fisioterapis : di belakang pasien

- Teknik pelaksanaan : pasien diberikan tapotement dan diarahkan untuk

batuk.

- Dosis : posisi dipertahanakan 20-30 menit.

3. Breathing Exercise

a. Pursed lip breathing + Diafragma Breathing

- Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat

- Posisi fisioterapis : di samping bed pasien dengan , kedua tangan pada

perut pasien

- Teknik pelaksanaan : minta pasien untuk menarik napas melalui hidung

selama 2 detik (hitungan 1-2) sambil mngembangkan perut dan

menghembuskan napas melalui mulut seperti meniup lilin selama 4 detik

(hitungan 3-6).

- Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

52 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


b. Active Cycle of Breathing Technique

- Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat

- Posisi fisioterapis : di samping bed pasien

- Teknik pelaksanaan :

1) Fase 1 Breathing control, pasien diminta untuk melakukan pernapasan

dengan menarik napas melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut

dengan tangan diletakkan di atas perut. Fase ini diulangi sebanyak 3 kali

sebelum dilanjutkan ke fase selanjutnya.

2) Fase 2 Thoracic Expansion Exercise, pasien diminta untuk menarik napas

melalui hidung dan menghembuskan melalui mulut dengan tangan berada

pada lateral lower costa untuk memobilisasi costa saat melakukan

inspirasi dan ekspirasi. Fase ini diulangi sebanyak 3 kali sebelum

dilanjutkan ke fase selanjutnya.

3) Fase 3 Huffing, pasien diminta untuk menarik napas dalam melalui hitung

dan menghembuskan dengan menggunakan teknik huffing. Fase ini

diulangi sebanyak 3 kali

- Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

c. Deep Breathing

- Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat

- Posisi fisioterapis : di samping bed

- Teknik pelaksanaan : minta pasien untuk full inspirasi melalui hidung dan

menghembuskan melalui mulut

- Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

53 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


d. Sustained Maximal Inspiration

- Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat

- Posisi fisioterapis : di samping bed pasien

- Teknik pelaksanaan : minta pasien untuk full inspirasi kemudian ditahan 3-5

detik lalu menghembuskan napas melalui mulut

- Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

e. Segmental Breathing Lingula Basal Expansion

- Posisi pasien : bersandar pada bed dengan posisi 30-45 derajat

- Posisi fisioterapis : di samping bed pasien dengan , kedua tangan pada

lateral costa bawah

- Teknik pelaksanaan : minta pasien untuk ekspirasi dengan diberi penekanan

ringan pada costa. Sebelum inspirasi atau pada akhir ekspirasi berikan

penekanan kuat cepat pada dinding costa. Anjurkan pasien untuk menarik

napas melalui hidung dengan melawan tahanan ringan pada costa dan

dikeluarkan melalui mulut saat melakukan ekspirasi.

- Dosis : diulangi 3-5 kali per sesi, frekuensi setiap hari.

4. Koreksi Postur

- Posisi pasien : berdiri di depan cermin

- Posisi fisioterapis : di samping atau di belakang pasien

- Teknik pelaksanaan : fisioterapis memberikan contoh postur yang benar

pada pasien sambil pasien melihat ke cermin.

- Dosis : dilakukan setiap saat.

54 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


5. Chest Mobilization Exercise

- Posisi pasien : Pasien dalam posisi duduk.

- Posisi fisioterapis : di depan pasien

- Teknik Pelaksanaan

a) Pasien membengkokkanchest kesamping sehingga terjadi penguluran dan

ekspansi samping berlawanan selama inspirasi.

b) Kemudian pasien meletakkan genggaman tangan disamping chest lalu

bengkokkan chest ke lateral kea rah genggaman tangan sambil ekspirasi.

c) Posisi pasien duduk dikursi dengan lengan lurus diatas kepala selama

inspirasi

d) Kemudian pasien melakukan bungkuk ke depan sehingga hip fleksi lalu

kedua tangan menyentuh lantai selama ekspirasi.

55 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

Pasien diedukasi untuk tetap melakukan latihan-latihan secara mandiri namun

tidak melewati batas kemampuannya dan menghindari paparan allergen yang dapat

menjadi pemicu timbulnya sesak dan batuk

2. Home Program

Latihan –latihan yang diberikan oleh fisioterapis seperti breathing exercise dan

terapi latihan juga dapat pasien lakukan di rumah dengan memperhatikan hasil dari

METs.

E. Evaluasi

Evaluasi
No. Problematik Intervensi Fisioterapi
Awal Terapi Akhir Terapi
Pursed lip
Penurunan
breathing,
1 Sesak napas Napas sedang derajat sesak
diafragma napas
breathing
Gangguan Segmental Peningkatan
Pengembangan
2 pengembangan breathing, thorax minimal
pengembangan
thoraks mobilisasi chest thorax

Batuk kadang Masih terdapat


3 Batuk ACBT timbul batuk

Postur
Belum terjadi
4
Deviasi postural Koreksi postur protraksi/rounde
perbaikan postur
d shoulder
Deep breathing
exercise, sustained
Terjadi
Penurunan volume maximal Tidak dilakukan
5 penurunan
paru Inspiration, volume paru
evaluasi
Segmental
Breathing
Gangguan Terdapat Masih terdapat
Nebulizer, Postural
6 pembersihan jalan penumpukan penumpukan
drainage dahak/sputum dahak/sputum
napas

56 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


BAB V

PEMBAHASAN

B. Assessment Fisioterapi

1. Anamnesis

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan oleh pasien

melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang pemeriksa sudah

mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam pemeriksaan klinis

selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik membawa kita menempuh setengah

jalan kea rah diagbosis yang tepat. Secara umum sekitar 60-70 % kemungkinan

diagnosis yang benar dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis yang benar.

Satu tujuan penting dari anamnesis adalah membangun hubungan pasien-terapis

yang baik. Pasien harus diizinkan untuk menjelaskan riwayat dengan kata-katanya

sendiri dan dengan kecepatan yang nyaman. Jika terapis tampak terburu-buru,

terganggu, sibuk, jengkel, atau tidak peduli; sering terputus; atau gagal menjadi

pendengar yang penuh perhatian, hubungan pasien-terapis kemungkinan besar akan

rusak.

Pewawancara harus berhati-hati untuk tidak membiarkan perasaan pribadi tentang

perawatan, penampilan, sikap, atau perilaku pasien selama wawancara untuk terlalu

mempertanyakan validitas keluhan utama. Pada saat pasien dirujuk untuk terapi fisik,

dia mungkin telah menemui satu atau lebih dokter, telah menjalani sejumlah

penelitian non-invasif atau invasif, atau telah diberi resep obat-obatan oral atau hirup

dengan pengurangan gejala yang bervariasi atau tidak memuaskan. Pasien cenderung

menunjukkan tingkat kecemasan dan frustrasi. Oleh karena itu, pendekatan terapis,

57 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


metode pengambilan sejarah, dan gaya wawancara penting untuk mendapatkan

kepercayaan diri dan kerjasama pasien.

2. History Taking

History taking pasien dapat dibagi menjadi bagian pengumpulan data dan

interpretatif. Segmen pengumpulan data dimulai dengan menanyakan mengapa pasien

mencari perhatian medis dan telah dirujuk ke layanan terapi fisik.

Pandangan pasien tentang apa masalahnya dan sarannya untuk mengatasi masalah

harus disertakan dalam wawancara. Pasien lebih puas jika diizinkan dan didorong

untuk berpartisipasi dalam wawancara. Keterlibatan pasien dalam proses juga

mengarah pada perbaikan dalam penetapan tujuan jangka pendek dan jangka panjang.

Kedalaman riwayat yang diambil oleh ahli terapi fisik dapat bervariasi sesuai dengan

faktor-faktor berikut:

- Apakah individu tersebut merupakan pasien rawat inap atau rawat jalan?

Banyak pasien rawat inap memiliki catatan medis terperinci yang tersedia untuk

ditinjau oleh terapis. Ini mengurangi jumlah informasi yang dibutuhkan ahli

terapi fisik dari pasien selama wawancara. Jika informasi dalam bagan kurang,

atau jika individu tersebut adalah pasien rawat jalan dengan hanya rujukan

pengobatan dan sedikit atau tidak ada catatan medis yang tersedia, ahli terapi

fisik harus mendapatkan riwayat yang lebih rinci.

- Apakah urutan pengobatan sempit atau cakupannya luas?

- Ketajaman penyakit pasien, tingkat kesadaran, dan kemampuan untuk

memberikan informasi yang akurat

58 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


a. Riwayat merokok

Pasien harus ditanyai tentang riwayat merokoknya. Jumlah tahun merokok

bungkus dapat dihitung (jumlah rata-rata bungkus per hari dikalikan dengan jumlah

tahun merokok) sebagai risiko relatif untuk kanker paru dan COPD. Merokok secara

teratur mariyuana lebih merusak kesehatan paru-paru dalam jangka pendek maupun

jangka panjang

b. Sejarah keluarga

Riwayat keluarga berguna dalam mengevaluasi kemungkinan penyakit paru

herediter, seperti defisiensi alfa1-antitripsin, fibrosis kistik, asma alergi, telangiektasia

hemoragik herediter, dan lain-lain. Riwayat keluarga diabetes, hipertensi, penyakit

arteri koroner (CAD ), atau demam rematik meningkatkan kemungkinan bahwa

kondisi ini mungkin ada pada pasien juga

c. Sejarah Pekerjaan

History taking pekerjaan sangat penting bagi pasien paru yang datang untuk

terapi fisik dengan sedikit atau tanpa informasi medis. Permukaan bagian dalam paru-

paru berukuran 50 hingga 100 m3 dan terus-menerus bersentuhan dengan lingkungan.

Pekerjaan yang melibatkan paparan silika atau silikat (misalnya, penambang, pembuat

pasir, pekerja pengecoran, pemotong batu, pelapis batu bata, dan pekerja penggalian)

atau zat anorganik lainnya menempatkan pekerja pada risiko kombinasi penyakit paru

obstruktif dan restriktif (misalnya silikosis). Pekerja konstruksi, pekerja galangan

kapal, pemipaan pipa, dan pekerja industri lainnya yang terpapar asbes berisiko lebih

tinggi untuk mengembangkan penyakit paru-paru restriktif seperti asbestosis. Plak

pleura jinak dapat ditemukan pada pleura diafragma dan secara bilateral antara rusuk

ke-6 dan ke-10 pada dinding dada anterolateral atau posterolateral. Penebalan pleura

59 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


progresif jarang terjadi. Orang-orang ini mengalami peningkatan insiden penyakit

neoplastik ganas seperti karsinoma bronkogenik dan mesothelioma ganas. Beberapa

petugas pemadam kebakaran, pekerja besi, dan penyelamat lainnya yang bekerja di

lokasi bencana World Trade Center setelah 11 September 2001, telah

mengembangkan gejala dan gangguan pernapasan.

Pekerja batubara terkena debu tambang batubara. Sekitar 10% menderita

pneumokoniosis sederhana, sedangkan sebagian kecil berkembang menjadi bentuk

komplikasi — fibrosis paru masif progresif.

Riwayat batuk paroksismal, sesak dada, atau dispnea yang memburuk selama

minggu kerja tetapi hilang pada akhir pekan (atau hari libur kerja lainnya) sangat

menunjukkan asma akibat kerja. Kondisi ini sulit didiagnosis karena gejala biasanya

muncul beberapa jam setelah mantan terpapar agen pemicu. Agen penyebab termasuk

debu biji-bijian, serbuk kayu, formalin, deterjen enzim, etanolamina (dalam cat

semprot dan fluks solder), nikel, dan logam keras (misalnya tungsten karbida).

Pekerja yang terpapar kapas rami dan debu rami dapat mengembangkan byssinosis,

penyakit paru obstruktif. Pada tahap awal, kondisi ini bisa dibalik, tetapi berjangka

panjang selama beberapa tahun menyebabkan penyakit paru obstruktif kronis yang

tidak dapat disembuhkan.

Riwayat demam, batuk, sesak napas, dan pneumonia berulang pada petani di

Amerika Serikat bagian utara menunjukkan adanya paru-paru petani. Ini adalah

pneumonitis hipersensitif yang paling umum; itu disebabkan oleh menghirup agen

jamur seperti aktinomisetes termofilik. Paparan jangka panjang dapat menyebabkan

fibrosis paru. Banyak pekerjaan membuat pekerja terpapar faktor-faktor yang

menyebabkan pneumonitis hipersensitif.

60 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


d. Perawatan sebelumnya

Penting untuk menentukan perawatan apa yang telah diterima pasien untuk

kondisinya. Secara khusus, apakah pasien pernah menerima terapi fisik untuk kondisi

ini atau kondisi lainnya? Jenis perawatan apa yang dilakukan? Apakah mereka

membantu dalam memperbaiki atau mengatasi kondisi tersebut? Dengan cara ini,

adalah mungkin untuk menentukan modalitas pengobatan apa yang telah digunakan,

yang mana yang diyakini pasien mungkin bermanfaat, dan yang menurut pasien tidak

menyenangkan atau kurang percaya diri, sehingga menghindari mengasingkan pasien

dengan mengulangi apa yang dia yakini. menjadi terapi yang tidak efektif.

3. Inspeksi/Observasi

Inspeksi dada anterior juga dilakukan saat istirahat (statis) dan saat respirasi

(dinamis).

a. Inspeksi dada anterior dalam keadaan istirahat/ statis

Bentuk dada normal apabila didapatkan diameter lateral (samping) lebih besar

daripada diameter anteroposterior (depan belakang). Kelainan bentuk dinding dada

dapat berupa :

- Pektus karinatus (pigeon breast) : dada berbentuk dada burung dengan

penonjolan sternum ke depan, dengan penyempitan rongga toraks. Sering terjadi

pada sindroma Marfan.

- Pektus ekskavatus (funnel breast) : dada berbentuk cerobong, kebalikan dari

pektus karinatus, dimana bagian bawah sternum dan iga tertarik mendekati

vertebra. Dapat disebabkan karena pekerjaan (misalnya tukang sepatu),

pemakaian kemben atau pada sindrom Marfan.

61 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- Barrel chest : dada berbentuk tong, biasanya karena emfisema pulmonum atau

karena kifosis senilis (perubahan rangka yang menyertai proses penuaan). Perlu

diketahui bahwa bentuk dada ini normal pada anak – anak.

- Voussure cardiaque :penonjolan bagian depan hemitoraks kiri. Keadaan ini

hampir selalu terdapat pada kelainan jantung bawaan atau karena demam

rematik, terutama berkaitan dengan aktifitas jantung yang berlebihan pada masa

pertumbuhan.

b. Inspeksi dada dalam keadaan dinamis/ saat respirasi

Pada saat respirasi kita menilai :

- Asimetri gerakan dada/ keterlambatan gerak salah satu sisi dada.

- Retraksi dinding dada : di dada anterior, retraksi sering terjadi di supraklavikula

dan suprasternal.

- Pada inspeksi dada saat respirasi, perlu juga dinilai frekuensi, irama, kedalaman

dan usaha pasien untuk bernapas.

- Dinilai juga adanya pola respirasi abnormal, misalnya takhipnea, hiperpnea,

orthopnea, Cheyne-Stokes, Kusmaull dan lain-lain

4. Palpasi

Dengan pemeriksaan palpasi dada kita menilai adanya kelainan/ lesi pada

kulit, massa, nyeri tekan local,spasme, kemungkinan adanya fraktur, serta taktil

fremitus. Fremitus taktil adalah getaran yang dihantarkan melalui bronchopulmonary

tree ke dinding dada saat pasien berbicara, yang terasa pada palpasi. Cara

pemeriksaan adalah sebagai berikut :

- Untuk membandingkan fremitus kedua sisi dada, pergunakan telapak tangan di

bagian basal jari-jari atau permukaan ulnar dari telapak tangan.

62 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- Mintalah pasien mengulang-ulang kata : ”sembilan puluh sembilan” atau ”dua

puluh dua”. Jika belum jelas, mintalah pasien untuk bersuara lebih keras atau

lebih dalam.

- Bandingkan fremitus taktil di lapangan paru kanan dan kiri di sebelah posterior

dada pada beberapa lokasi.

- Identifikasi lokasi di mana fremitus meningkat, menurun atau menghilang.

Fremitus lebih jelas di daerah interskapula dibandingkan di lapangan paru

bagian bawah. Paru kanan lebih jelas dibandingkan paru kiri. Fremitus umumnya

menurun atau menghilang di atas prekordium dan di bawah diafragma. Apabila

pemeriksaan ini dilakukan pada perempuan, geser payudara dengan perlahan apabila

diperlukan.

Fremitus akan meninggi pada konsolidasi paru seperti pneumonia. Sedangkan

pada efusi pleura, tumor mediastinum, penyakit paru obstruktif kronis, obstruksi

bronkus, fibrosis pleura, pneumotoraks, tumor paru dan dinding dada yang sangat

tebal, fremitus akan menurun karena adanya gangguan hantaran aliran udara dari

paru ke dinding dada.

5. Perkusi

Perkusi pada dinding dada akan menggerakkan dinding dada dan jaringan di

bawahnya, menghasilkan suara yang dapat didengar dan getaran yang dapat

dirasakan. Perkusi membantu menentukan apakah jaringan di bawah dinding dada

berisi udara, cairan atau massa padat. Akan tetapi getaran perkusi hanya menembus

dinding dada sedalam 5-7 cm sehingga kurang membantu menentukan adanya lesi

yang berada jauh di bawah rongga dada.

Berikut ini adalah cara melakukan perkusi untuk pemeriksa yang tidak kidal:

63 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


- Pemeriksa duduk di samping-belakang pasien.

- Hiperekstensi jari tengah tangan kiri, sendi interphalangeal distal ditekankan

pada permukaan dada dengan lembut. Jari yang lain dan bagian lain dari telapak

tangan tidak boleh menyentuh permukaan perkusi.

- Posisikan telapak tangan kanan agak dekat ke permukaan. Jari tengah dalam

keadaan fleksi sebagian, relaksasi dan siap untuk mengetuk.

- Ketukkan distal jari tengah tangan kanan ke arah sendi interphalangeal distal

tangan kiri dengan gerakan cepat tapi rileks. Dengan demikian, kita mencoba

untuk mentransmisikan getaran melalui tulang sendi ke dinding dada. Ketuklah

dengan menggunakan ujung jari dan bukan badan jari. Gerakan pergelangan

tangan bertumpu pada sendi pergelangan tangan kanan.

- Tarik tangan sesegera mungkin untuk menghindari tumpukan getaran yang telah

diberikan.

- Lakukan perkusi secara beraturan, bandingkan antara kanan dan kiri .

- Lakukan 2 kali ketukan di tiap-tiap titik perkusi.

- Kenali jenis-jenis suara perkusi.

a) Bila suara perkusi yang terdengar kurang keras, tambahkan tekanan pada

sendi interphalangeal distal yang menempel di dada pasien.

b) Perkusi paru normal adalah sonor karena jaringan paru yang mengandung

udara. Suara perkusi menjadi pekak atau redup bila jaringan paru normal

terisi oleh konsolidasi (campuran antara cairan dan sel darah) seperti pada

pneumonia; digantikan oleh jaringan padat (fibrosis pleura/ paru, tumor)

atau terdapat cairan yang menempati cavum pleura, dapat berupa cairan

serosa (efusi pleura), darah (hematothoraks) atau pus (empiema).

64 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


c) Identifikasi lokasi atau area yang perkusinya abnormal.

Table 5.1 Jenis Suara Perkusi


Intensitas Pitch Durasi Contoh Contoh
relatif relatif relatif lokasi kelainan
Datar Lembut Tinggi Pendek Paha Efusi pleura
massif
Redup Sedang Sedang Sedang Hati Pneumonia
lobaris
Resonansi/ Keras Rendah Panjang Paru Bronchitis
Sonor normal kronis
sederhana
Hipersonor Sangat Lebih Lebih Tidak ada Emfisema,
keras rendah panjang pneumo-
thorax,
asma
Timpani Keras Tinggi - Lambung Pneumo-
thorax luas

6. Auskultasi

Auskultasi paru merupakan pemeriksaan yang paling penting untuk menilai

aliran udara melalui tracheobronchial tree. Membandingkan auskultasi daerah yang

simetris adalah salah satu cara yang baik pada auskultasi. Hal-hal yang harus

diperhatikan pola suara napas berdasarkan intensitas, nada dan durasinya selama fase

inspirasi dan ekspirasi.

Dengarkan menggunakan stetoskop. Pasien diminta untuk bernapas dalam.

Auskultasi dilakukan dengan pola seperti perkusi supaya dapat membandingkan area

secara simetris. Dengarkan minimal satu siklus inspirasi dan ekspirasi di satu titik

auskultasi. Bila suara yang terdengar kurang jelas, minta pasien untuk bernapas lebih

dalam. Dengarkan intensitas, nada dan durasinya selama inspirasi dan ekspirasi;

perhatikan apakah suara napas terdistribusi di seluruh lapang paru ataukah terdengar

di lokasi yang jauh dari lokasi normalnya .

65 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Suara bronkovesikuler mungkin dapat terdengar di atas saluran napas besar

khususnya pada sisi kanan. Bila suara bronkial atau bronkovesikuler terdengar di

lokasi yang jauh dari lokasi normalnya, kemungkinan terjadi penggantian jaringan

paru yang berisi udara dengan cairan atau jaringan padat. Intensitas suara napas

biasanya lebih keras di lapang paru posterior bawah.

Intensitas suara napas dapat menurun pada orang normal dengan dinding dada

yang tebal; jika aliran udara menurun (misalnya pada penyakit paru obstruktif atau

kelemahan otot) atau terdapat gangguan transmisi suara (misalnya karena efusi pleura,

pneumotoraks atau emfisema).

Tabel 5. 2 Karakteristik Suara Napas Normal

Durasi Bunyi Intensitas Pitch Suara Lokasi


Suara Ekspirasi Normal
Ekspirasi
Vesicular Suara inspirasi Lembut Relative Kebanyakan
lebih lama rendah di kedua
disbanding lapang paru
ekspirasi
Bronco Suara inspirasi Intermediate Intermediate Umumnya
Vesikuler dan ekspirasi pada sela iga
ekual 2 dan 3
anterior dan
di antara
scapula
Bronkial Suara ekspirasi Keras Relatif tinggi Di atas
lebih lam manubrium
disbanding
inspirasi
trakeal Suara inspirasi Sangat keras Relatif tinggi Di atas trakea
dan ekspirasi dan leher
seimbang

66 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


7. Pemeriksaan Ventilasi Paru

Ventilasi dipengaruhi oleh saluran napas, paru dan dinding dada. Dua bagian

terakhir mengatur besarnya volume dan aliran udara pada saat istirahat dan ketika

beraktivitas, seperti: kegiatan fisik, bersuara, batuk, tertawa, perubahan posisi tubuh,

dan lain-lain. Pada penyakit kardiopulmoner, volume paru

a. Volume Statik

Volume statik terdiri dari : Volume Tidal (TV/ Tidal Volume), Volume

Cadangan Inspirasi (IRV/ Inspiratory Residual Volume), Volume Cadangan Ekspirasi

(ERV/Expiratory Residual Volume), Volume Residu (RV/ Residual Volume),

Kapasitas Paru Total (TLC/Total Lung Capacity), Kapasitas Vital (VC/Vital

Capacity), Kapasitas Inspirasi (IC/ Inspiratory Capacity), Kapasitas Residu

Fungsional (FRC/Functional Residual Volume).

b. Volume Dinamis

- Kapasitas Vital Paksa/Force Vital Capacity (FVC)

- Pengukuran yang diperoleh dari ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat

mungkin.

- Kapasitas Vital Lambat/ Slow Vital Capacity (SVC)

- Volume gas yang diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara

perlahan setelah atau sebelum inspirasi maksimal.

- Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/ Force Expiration Volume

(FEV1)

- Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyak- banyaknya dalam 1 detik pertama

pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal (volume udara

67 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


yang dapat diekspirasi dalam waktu standar selama pengukuran kapasitas

vital paksa).

- Maximal Voluntary Ventilation (MVV)

- Jumlah udara yang bisa dikeluarkan sebanyak- banyaknya dalam 2 menit

dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal.

Indikasi spirometri dibagi dalam 4 manfaat, yaitu:

a. Diagnostik : evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau hasil

laboratorium yang abnormal; skrining individu yang mempunyai risiko penyakit

paru; mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai penyakit paru;

menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit yang berkaitan dengan

respirasi dan menilai status kesehatan sebelum memulai program latihan.

b. Monitoring : menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan penyakit

yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang terpajan agen berisiko

terhadap fungsi paru dan efek samping obat yang mempunyai toksisitas pada paru.

c. Evaluasi kecacatan/kelumpuhan : menentukan pasien yang membutuhkan

program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan hukum.

d. Kesehatan masyarakat : survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan

restriktif) menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis.

Kontraindikasi Spirometri terbagi dalam kontra indikasi absolut dan relatif.

Kontraindikasi absolut meliputi: Peningkatan tekanan intrakranial, space occupying

lesion (SOL) pada otak, ablasio retina, dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk dalam

kontraindikasi relatif antara lain: hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya,

pneumotoraks, angina pektoris tidak stabil, hernia skrotalis, hernia inguinalis, hernia

68 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


umbilikalis, Hernia Nucleous Pulposus (HNP) tergantung derajat keparahan, dan lain-

lain.

Sebelum melakukan interprestasi hasil pemeriksaan terdapat beberapa

standar yang harus dipenuhi. American Thoracic Society (ATS) mendefinisikan

bahwa hasil spirometri yang baik adalah suatu usaha ekspirasi yang menunjukkan

(1) gangguan minimal pada saat awal ekspirasi paksa, (2) tidak ada batuk pada

detik pertama ekshalasi paksa, dan (3) memenuhi 1 dari 3 kriteria valid end-of-test:

(a) peningkatan kurva linier yang halus dari volume- time ke fase plateau dengan

durasi sedikitnya 1 detik;

(b) jika pemeriksaan gagal untuk memperlihatkan gambaran plateau ekspirasi,

waktu ekspirasi paksa/ forced expiratory time (FET) dari 15 detik; atau (c)

ketika pasien tidak mampu atau sebaiknya tidak melanjutkan ekshalasi paksa

berdasarkan alasan medis.

Setelah standar terpenuhi, tentukan nilai referensi normal FEV1 dan FVC

pasien berdasarkan jenis kelamin, umur dan tinggi badan (beberapa tipe spirometri

dapat menghitung nilai normal dengan memasukkan data pasien). Kemudian pilih 3

hasil FEV1 dan FVC yang konsisten dari pemerikssan spirometri yang selanjutnya

dibandingkan dengan nilai normal yang sudah ditentukan sebelumnya untuk

mendapatkan persentase nilai prediksi.

Secara umum gangguan fungsi pernapasan memiliki dua pola yaitu

gangguan restriktif dan gangguan obstruktif. Perbandingan volume dan kapasitas

paru pada berbagai kondisi dijelaskan dalam gambar berikut:

69 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Normal                 Restriksi               Obstruksi

Gambar 5.1 Perbandingan Volume dan Kapasitas Paru


Sumber : Uyainah, 2014

Dari hasil penilaian pemeriksaan spirometri, penilaian fungsi faal paru

dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 5.3 Penilaian Spirometri

a. Fungsi normal paru

Hasil spirometri normal menunjukkan FEV1>80% dan FVC >80%.

70 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Gambar 5.2 Normal Spirometri

b. Obstructive Ventilatory Defects (OVD)

Gangguan obstruktif pada paru, dimana terjadi penyempitan saluran napas dan

gangguan aliran udara di dalamnya, akan mempengaruhi kerja pernapasan dalam

mengatasi resistensi nonelastik danakan bermanifestasi pada penurunan volume

dinamik. Kelainan ini berupa penurunan rasio FEV1:FVC <70%. FEV1 akan selalu

berkurang pada OVD dan dapat dalam jumlah yang besar, sedangkan FVC dapat

tidak berkurang. Pada orang sehat dapat ditemukan penurunan rasio FEV1:FVC,

namun nilai FEV1 dan FVC tetap normal.

71 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Gambar 5.3 Spirometri Obstruktif

Ketika sudah ditetapkan diagnosis OVD, maka selanjutnya menilai: beratnya

obstruksi, kemungkinan reversibelitas dari obstruksi, menentukan adanya

hiperinflasi, dan air trapping.

Tabel 5.4 Derajat Obstruksi


Derajat Obstruksi% pred FEV1
Ringan 70–79% pred
Sedang 60–69% pred
Sedang-berat 50–59% pred
Berat 35–49% pred
Sangat berat < 35% pred

c. Restrictive Ventilatory Defects (RVD)

Gangguan restriktif yang menjadi masalah adalah hambatan dalam

pengembangan paru dan akan mempengaruhi kerja pernapasan dalam mengatasi

resistensi elastik. Manifestasi spirometrik yang biasanya timbul akibat gangguan

ini adalah penurunan pada volume statik. RVD menunjukkan reduksi patologik pada

TLC (<80%).

Gambar 5.4 Spiromteri Restriktif

72 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Tabel 5.5 Derajat Restriktif
Derajat Restriksi% pred FVC
Ringan 70–79% pred
Sedang 60–69% pred
Sedang-berat 50–59% pred
Berat 35–49% pred
Sangat berat < 35% pred

8. Asthma Control Test

Pengenalan dini terhadap perubahan tingkat kontrol asma pasien yang dapat

dideteksi sendiri oleh pasien merupakan tindakan yang sangat penting, karena dapat

mencegah terjadinya serangan akut asma berat. Pasien dapat segera mengenali

tandatanda perburukan penyakit mereka, sehingga intervensi yang sesuai dengan

keadaan pasien dapat segera dilakukan.

Salah satu alat yang dapat dipakai oleh pasien dalam mendeteksi tingkat kontrol

asmanya adalah dengan menggunakan kuesioner Asthma Control Test (ACT) yang

terdiri dari lima pertanyaan yang dapat mendeteksi adanya perburukan penyakit hal

tersebut berdasarkan gejala harian, gejala malam, hambatan aktifitas, penggunaan

obat pelega serta penilaian sendiri pasien terhadap penyakitnya.

Disebabkan hal diatas maka sangat penting bagi pasien asma untuk segera

mengenal tanda-tanda perburukan penyakit karena penanganan dini yang tepat akan

mencegah terjadinya serangan eksaserbasi akut asma yang berat. Penanganan dini

terhadap asma yang tidak terkontrol dapat menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas penyakit.

73 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


9. London Chest ADL

Pada penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), gangguan status

fungsional berkaitan dengan peningkatan risiko eksaserbasi, rawat inap dan kematian.

Peningkatan status fungsional merupakan salah satu tujuan utama Program

Rehabilitasi Paru (PRP) dan, oleh karena itu, evaluasinya sangat penting.

Direkomendasikan untuk memilih instrumen dengan sifat pengukuran yang baik dan

yang memiliki kriteria interpretabilitas, sebagai titik potong yang membedakan pasien

dengan hasil yang lebih baik atau lebih buruk. Penerapan yang mudah dan biaya

rendah adalah fitur penting yang harus dipertimbangkan ketika memilih instrumen

untuk digunakan dalam praktik klinis, yang dapat diperoleh dengan menggunakan

kuesioner dan timbangan.

Skala London Chest Activity of Daily Living (LCADL) valid dan dapat

diandalkan untuk menilai keterbatasan fungsional pada pasien PPOK akibat dispnea,

serta responsif. Skala memiliki empat domain yang didistribusikan menjadi 15 item

dengan setiap item diberi skor dari 0 sampai 5, dan skor yang lebih tinggi berarti

batasan fungsional yang lebih besar. Dari penjumlahan skor, skor total (LCADLtotal)

diperoleh, dan semakin besar skornya, semakin besar batasan fungsional pasien.

Namun, item dengan skor '' 0 '' (yaitu aktivitas yang dimiliki pasien. tidak pernah

dilakukan karena mereka tidak pernah melakukan aktivitas atau menganggapnya tidak

relevan) dapat mengurangi LCADLtotal, melebih-lebihkan status fungsional mereka.

Persentase skor total (LCADL% total) dibuat untuk menetapkan ukuran yang lebih

andal dan sensitif, mengabaikan aktivitas dengan skor '' 0 ".

74 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


10. Skala Borg

Skala BORG merupakan suatu skala ordinal dengan nilai-nilai dari 0 sampai

dengan 10. Skala BORG digunakan untuk mengukur sesak napas selama

melaksanakan kegiatan/pekerjaan. Pemantauan sesak napas dapat membantu dalam

menyesuaikan aktivitas dengan mempercepat atau memperlambat gerakan. Hal ini

juga dapat memberikan informasi penting kepada dokter. Skala BORG ini disediakan

untuk menstandarisasikan suatu perbandingan-perbandingan antar individu dalam

melaksanakan tugas yang sama. Indikasi nilai pada skala yang digunakan adalah

besarnya perasaan kelelahan, kesakitan, ataupun kadar berkurangnya kemampuan

tubuh dalam melakukan pekerjaanya. Semakin besar perasaan sakit yang dirasakan

pada otot maka semakin besar nilai BORG yang digunakan. Skala ini dapat dilakukan

pada pengukuran-pengukuran fisiologis seperti intensitas latihan meningkat (laju

deyut jantung), juga ada korelasi yang tinggi untuk pengukuran lainnya seperti

respirasi yang meningkat, CO2 produksi, akumulasi laktat dan suhu tubuh, keringat

sampai dengan kelelahan otot. Skala ini memiliki keterbatasan yaitu pengukuran

dilakukan secara subyektif, sehingga penilaian yang digunakan oleh seorang tersebut

dilakukan secara menaksir secara wajar baik dari denyut jantung selama kerja fisik.

Korelasi antara nilai Skala BORG dengan laju denyut jantung adalah dengan

menggunakan nilai Skala BORG, laju denyut jantung dapat diketahui dengan cara

mengalikan nilai ordinal dari Skala BORG dengan nilai 10, seperti contoh jika nilai

seorang pekerja terhadap kelelahan yang dirasa (Skala BORG) adalah 12, lalu untuk

menghitung laju denyut jantung adalah 12 x 10 = 120; sehingga laju denyut jantung

harus kira-kira 120 denyut per menit. Namun, perhitungan seperti yang telah

75 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


dijelaskan, merupakan suatu perkiraan awal saja, pada faktanya laju denyut jantung

seseorang akan berbeda tergantung pada usia dan kondisi badan.

Prinsip dasar penggunaan atau pengisian data Skala BORG adalah pada saat

melakukan pekerjaan, peneliti akan menanyakan presepsi tingkat keluhan yang

dirasakan operator pada otot yang bekerja atau otot yang diteliti. Presepsi tingkat

keluhan dapat mencerminkan seberapa besar beban kerja yang dirasakan, karena

semakin besar beban kerja maka semakin maksimal otot akan berkontraksi. Persepsi

tingkat keluhan dilakukan secara terfokus pada otot yang diteliti, karena pada saat

pekerjaan berlangsung banyak otot yang bekerja ataupun perasaan sakit yang bukan

berasal dari otot yang akan diteliti. Penilaian tingkat keluhan dilakukan secara jujur,

tanpa berfikir untuk menjadi yang terbaik antara individu lain atau menyamakan

nilainya dengan individu lain. Perhatikan presepsi tingkat keluhan yang dirasa

kemudian diubah menjadi satuan nilai.

C. Intervensi Fisioterapi

1. Nebulizer

Nebulizer merupakan suatu alat pengobatan dengan cara pemberian obatobatan

dengan penghirupan, setelah obat-obatan tersebut terlebih dahulu di pecahkan

menjadi partikel-partikel yang lebih kecil melalui cara aerosol atau humidifikasi.

Nebulizer mengubah cairan menjadi droplet aerosol sehingga dapa dihirup oleh

pasien. Obat yang digunakan untuk nebulizer dapat berupa solusio atau suspensi

(Tanto, 2014). Tujuan dari pemberian nebulizer yaitu rileksasi dari psasme bronchial,

mengencerkan sekret melancarkan jalan nafas, melembabkan saluran pernafasan

Tujuan tekhnik ini adalah untuk mendapatkan pengaturan nafas yang lebih baik

dari yang awalnya sesak yaitu pernafasan yang cepat dan dangkal agar menjadi

76 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


ekspirasi yang memanjang dengan pernafasan yang lebih lambat dan dalam. Selain itu

tujuannya untuk mengeluarkan sekresi yang tetahan. Serta berguna juga untuk melatih

ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimiti

2. Breathing Exercise

Penatalaksanaan fisioterapi antara lain nebulizer, breating exercise/ olahraga,

correct posture, postural drainage. Chest physiotherapy merupakan tindakan

fisioterapi dengan melakukan drainase postural, tepukan dan vibrasi pada pasien yang

mengalami gangguan sistem pernafasan. Terapi Fisik Dada adalah daerah segi praktek

profesional yang berhubungan dengan evaluasi dan pengobatan pasien dari segala

usia dengan gangguan paru-paru akut atau kronis. Tujuan fisioterapi dada untuk

mencegah obstruksi jalan napas dan akumulasi sekret yang mengganggu respirasi,

meningkatkan pembersihan jalan napas, batuk yang efektif, dan ventilasi dengan

mobilisasi dan draiase sekret, meningkatkan endurance, toleransi terhadap latihan,

mengurangi energi cost yang dikeluarkan selama respirasi dengan latihan napas,

mencegah dan memperbaiki energi deformitas postural yang berhubungan

dengangagguan paru dan pernafasan. Mempertahankan atau meningkatkan mobilitas

sangkar thoraks. Semua tujuan diatas bertujuan untuk meninggkatkan kemampuan

pasien untuk memenuhi kebutuhan fungsional yang diperlukan dan diinginkan.

3. Mobilization dan Exercise

Selama latihan, volume diastolik akhir dan SV telah dilaporkan lebih besar pada

posisi tegak daripada posisi terlentang pada atlet ketahanan, yang mendukung

ketergantungan yang lebih besar pada hukum Frank-Starling. Dengan demikian posisi

tubuh menentukan kontribusi relatif dari HR, miokardial. kontraktilitas, dan

mekanisme Frank-Starling menjadi CO selama latihan. Pasien dengan gangguan

77 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


aliran balik vena dan kontraktilitas miokard dapat mengambil manfaat dari bersepeda

telentang intensitas sedang di mana sirkulasi sentral dan vasodilatasi lokal lebih

disukai. Volume plasma meningkat dengan latihan intens akut, dan ini telah terbukti

bergantung pada posisi. Kandungan albumen plasma peningkatan posisi tegak

dibandingkan dengan posisi terlentang, dan ini dianggap bertanggung jawab atas

peningkatan volume plasma. Dengan menggabungkan posisi tegak dengan olahraga,

ahli terapi fisik dapat secara langsung membantu menormalkan keseimbangan cairan

dan hemodinamik pada pasien yang terancam homeostasis cairan.

4. Body Positioning

Posisi berbaring menyamping menonjolkan ekspansi anteroposterior dengan

mengorbankan ekskursi transversal dari dinding dada dependen. Pada posisi ini,

hemidiafragma dependen tergeser cephalad karena kompresi visera di bawahnya. Hal

ini menghasilkan ekskursi yang lebih besar selama respirasi dan kontribusi yang lebih

besar pada ventilasi paru-paru tersebut dan pertukaran gas secara keseluruhan. FRC

dalam posisi miring berada di antara posisi tegak dan terlentang. Dibandingkan

dengan posisi terlentang, kepatuhan berbaring menyamping meningkat, resistensi

berkurang, dan kerja pernapasan berkurang, sedangkan tindakan ini dibalik ketika

berbaring menyamping dibandingkan dengan posisi tegak. Meskipun ventilasi

ditingkatkan ke paru-paru dependen, volume paru-paru inspirasi dan FRC berkurang.

Dibandingkan dengan referensi posisi duduk, FEV1 dan FVC berkurang sama di kiri

dan kanan berbaring, tanpa efek diferensial dari berbaring samping pada kapasitas

difusi dan volume penutupan. Efek fungsi paru-paru ini saat menyamping mungkin

mencerminkan geometri paru yang berubah dengan perubahan posisi dan penurunan

78 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


diameter vertikal setiap paru-paru dalam posisi miring dibandingkan dengan yang

terjadi pada posisi terlentang.

5. Chest Mobilization Exercise

Chest mobilization exercise atau latihan mobilisasi dada adalah latihan yang

dikombinasikan dengan gerakan aktif trunk atau anggota badan dengan nafas dalam

( deep breathing exercise).

Mobilisasi chest muncul sebagai tujuan spesifik untuk fisioterapi, karena

mobilitas chest tampaknya bermanfaat dengan penyakit paru obstruktif. Mobilisasi

dinding dada meningkatkan mobilitas dinding dada, mengurangi laju pernapasan,

meningkatkan volume tidal, meningkatkan pertukaran gas ventilasi, mengurangi

dispnea, menurunkan kerja pernapasan dan memfasilitasi relaksasi

Menurut penelitian Dharmesh and Anjali yang berjudul “The Immediate effect of

Chest Mobilization Technique on Oxygen Saturation in Patients of COPD with

Restrictive Impairment” bahwa dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa

mobilisasi dinding dada berpengaruh signifikan terhadap saturasi oksigen pada pasien

PPOK yang mengalami gangguan restriktif dinding dada pada stadium lanjut

penyakit. Sama halnya pada penelitian Sonia et al yang berjudul “Effectiveness of

Shoulder and Thoracic Mobility Exercise on Chest Expansion and Dyspnoe in

Moderate Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients” bahwa dapat disimpulkan

latihan mobilitas bahu dan toraks lebih efektif dalam meningkatkan ekspansi dada dan

mengurangi dispnea pada pasien PPOK.

79 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


DAFTAR PUSTAKA

Bachert C., Patou J., Cauwanberge P.V. The role of sinus disease in asthma. Current
Opinion in Allergy and Clinical Immunology. 2006; 6:29-36.

Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar sp, et
al. Allergy and asthma, The scenario in Indonesia. In Shaikh WA. Editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vikash Medical
Publishers; 2006.707-36.

Barrios RJ, Kheradmand F, Batts L, Cory DB. Asthma pathology and pathophysiology.
Arch Pathol Lab Med. 2006; 130 (4) : 447-450

Bateman ED, Hurd SS, Barnes PJ, et al. Global strategy for asthma management and
prevention: GINA executive summary. Eur Respir J 2008;31:143–78. 4

Bates, B; 1995, A Guide to Physical Examination and History Taking, Sixth Edition,
Lippincott.

Bellarny D. Spirometry in Practice: A Practical Guide to Using Spirometry in Primary


Care. 2nd Edition. British: BTS COPD Consortium. 2005.

Benninger MS, Ferguson BJ, Hadley JA, et al. Adult Chronic Rhinosinusitis:
definitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Arch Otolaryngol
Head Neck Surg. 2003; 129: 1 – 32.

Blackwell DL, Collins JG, Coles R. Summary health statistic for U.S. adults : National
Health Interview Survey, 1997. Vital Health Stat 10.2002 May(205):1-109

Bresciani M, Paradis L, Des Roches A, et al. Rhinosinusitis in severe asthma. J Allergy


Clin Immunol 107:73-80, 2001.

Brinke A., Sterk P.J., Masclee A.A.M et al. Chronic sinusitis in severe asthma is related
to sputum eoshinophilia . J. Allergy Clin Immunol .2002; 109 : 621-626.

Brinke A., Sterk P.J., Masclee A.A.M. et al. Risk factor of frequent exacerbations in
difficult-to-treat asthma. Eur Respir Journal 2005; (26) : 812-818. Available
from : www.ersj.org.uk

Departemen Kesehatan. Asma di Indonesia. http://www.depkes.co.id

Dixon A E, Kaminsky DA, Holbrook JT, Wise RA,Shade DM, Irvin CG. Allergic
rhinitis and sinusitis in asthma:differential effects on symptoms and pulmonary
function .Chest 2006; 130(2):429-35. Available from : www.chestnet.org

80 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Dursun AB, Sin BA., Dursun E, Misirligil Z. Clinical aspects of the link between
chronic sinonasal diseases and asthma.Allergy Asthma Proc 2006;27(6):510-5

Endang Mangunkusumo, N Rifki. Sinusitis. Dalam :Soepardi EA, Iskandar NH (eds).


Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT-KL,edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI;2001.hal 120-4

Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma.
National Heart, Lung and Blood institute. National Asthma Education and
Prevention Program. Full Report 2007.
www.nhlbi.nib.gov/guidelines/asthsumm.htr.

Fokkens W, Lund V, Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and nasal


polyps. Rhinology 2012; l20:5-111.

Frownfelter, D., & Dean, E. (2014). Cardiovascular and pulmonary physical therapy-E-
Book: evidence to practice. Elsevier health sciences.

Global strategy for asthma management and prevention. Global initiative for asthma
(GINA) 2011. Downloaded from www.ginasthma.org

Heil, M., Hazel, A. and Smith, J. (2008). The mechanics of airway closure. Respiratory
Physiology & Neurobiology, 163(1-3), pp.214-221.

Hilty M, Burke C, Pedro H, Cardenas P, Bush A, Bossley C, et al. Disordered microbial


communities in asthmatic airways. Plos One. 2010;5(1):e8578

Kelly, F. (2014). Influence of Air Pollution on Respiratory Disease. European Medical


Journal, 2, pp.96-103.

Kennedy, J. (2012). Clinical Anatomy Series‐ Lower Respiratory Tract Anatomy.


Scottish Universities Medical Journal., 1(2), pp.174‐179.

Lavoie KL, Bacon SL, Labrecque M, Cartier A, Ditto B. Higher BMI is associated with
worse asthma control and quality of life but not asthma severity. Respir Med
2006;100:648-57.

Lesauskaite, V. and Ebejer, M. (1999). Age-related changes in the respiratory system.


Maltese Medical Journal, 11(1), p.25.

Lin et al. Association between severity of asthma and degree of chronic rhinosinusitis.
Am J Rhinol Allergy. 2011; 25 (4): 205-208. Available from :
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3390198/

Majumder, N. (2015). Physiology of Respiration. IOSR Journal of Sports and Physical


Education, 2(3), pp.16-17.

81 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Mccarthy K.”Spirometri”.2012 (dikutip: Des 2013).tersedia dari:
http://emedicine.medscape.com/article/303239-overview

Meltzer E.O., Hamilos D.L., Hadley J.A. et al. Rinosinusitis : establishing definitions
for clinical research and patient care. Otolaryngology Head Neck Surgery. 2004;
131:S1-S62. 24.

Mitrouska, I., Klimathianaki, M. and Siafakas, N. (2004). Effects of Pleural Effusion on


Respiratory Function. Canadian Respiratory Journal, 11(7), pp.499-503.

Patwa, A. and Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia, 59(9), p.533.

Paulsen, F., & Waschke, J. (2018). Sobotta Atlas of Anatomy, Vol. 2, English/Latin:
Internal Organs. " Elsevier, Urban&FischerVerlag".

Pellegrino R, Antonelli A.Static and Dynamic Lung Volumes dalam ERS Handbook
Respiratory Medicine First Edition.2010: 58-62.

Primary Care Commisioning. A Guide to Performing Quality Assured Diagnostic


Spirometry. British: PCC. 2013.

Reid, W. D., Chung, F., & Hill, K. (2014). Cardiopulmonary physical therapy:


management and case studies. Slack Incorporated.

Rr. Vetria. Hubungan Rinosinusitis Dengan Serangan Asma Pada Anak [tesis].
Yogyakarta (Indonesia): Universitas Gadjah Mada; 2012

Sabry, Yessy Susanti, Yusrizal Chan. Penggunaan Asthma Control Test (ACT) secara
Mandiri oleh Pasien untuk Mendeteksi Perubahan Tingkat Kontrol Asmanya.
Jurnal Kesehatan Andalas. 2014; 3(3)

Schatz, M., Sorkness, C. A., Li, J. T., Marcus, P., Murray, J. J., Nathan, R. A., ... &
Jhingran, P. (2006). Asthma Control Test: reliability, validity, and responsiveness
in patients not previously followed by asthma specialists. Journal of Allergy and
Clinical Immunology, 117(3), 549-556.

Schleimer RT et al. Relationship Between Severity Of Rhinosinusitis and Nasal


Polyposis, Asthma, and Atopy. Am J Rhinol Allergy. 2009; 23: 145- 148.
Available from : http://onlinelibrary.wiley.com

Section 2, definition ,pathophysiology and pathogenesis of asthma, and natural history


of asthma [homepage on internet].c2007[updated 2007 Aug 28; cited 2011 Jan
12]. Available from :
http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/asthma/03_sec_sec2_def.pdf

82 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal


Shifren A. Pulmonary Function Test dalam Washington Manual(R) Pulmonary
Subspeciality Consult, The, 1st Edition. 2006.

Srinivas, P. (2012). Steady State and Stability Analysis of Respiratory Control System
using Labview. International Journal of Control Theory and Computer Modeling,
2(6), pp.13-23.

Sundaru H, Asma Bronkial. Dalam: Alwi , Setiati S, Sudoyo AW, Simadibrata KM .


Eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I. Edisi V. Jakarta : Interna Publishing;
2010. hal. 404-406.

Uyainah, A, dkk. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med. Vol. 1, No. 1

White, S., Danowitz, M. and Solounias, N. (2016). Embryology and evolutionary


history of the respiratory tract. Edorium Journal of Anatomy and Embryology, 3,
pp.54-62.

Yunus F. The Asthma Control Test, A new tool to improve the quality of asthma
management. Dalam: Suryanto E, Suradi, Reviono, Rima A, Widysanto A,
Widiyawati, editors. Preceeding Book Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 1st
ed. Surakarta: Indah Comp 2005, 361.

83 |Laporan Kasus Stase Kardiovaskular Pulmonal

Anda mungkin juga menyukai