NEURO - INFEKSI
(MODUL INDUK)
2008
Modul Neuro-Infeksi
1. Lumbal Punksi
2. Infeksi SSP ( meningitis, ensefalitis, mielitis )
3. NeuroAIDS
4. Spondilitis
5. Tetanus
6. Malaria serebral
7. Rabies
8. Abses otak
9. Neurosistiserkosis
1
LUMBAL PUNKSI
KOMPETENSI
Melakukan tindakan lumbal pungsi (LP) dengan benar
Memiliki kompetensi secara menyeluruh mengenai pemeriksaan ini, meliputi indikasi
dan kontra indikasi, prosedur pemeriksaan, serta interpretasi hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal (LCS).
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menjelaskan teknik lumbal punksi
Menguasai anatomi dan fisiologi tulang-tulang vertebra
Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi lumbal punksi
Mengetahui efek samping dan komplikasi akibat lumbal punksi
Menentukan posisi penderita pada saat dilakukan lumbal punksi
Menentukan daerah asepsis dan antisepsis pada tindakan lumbal punksi
Menentukan arah dan posisi penusukan jarum spinal
Mengetahui cara anestesi lokal pada diskus intervertebralis
Menentukan posisi jarum spinal
Menentukan jumlah cairan serebrospinal (LCS) yang akan dibuat sampel
Mengeluarkan cairan serebrospinal (LCS) sesuai kebutuhan
Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan sererbrospinal (LCS) yang telah diambil secara
benar, termasuk rencana pengiriman spesimen ke laboratorium sesuai dengan indikasi (jenis
dan jumlah sel, protein, glukosa, serologi, mikrobiologi)
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih : Video mengenai lumbal punksi
Computer Assisted Learning Material
Materi presentasi
Daftar peralatan yang diperlukan
Jarum spinal
Dispossible spuit 2.5 cc
Tabung reaksi berisi reagen Nonne dan Pandy
Tabung reaksi kosong untuk menampung LCS
Manometer
Lidocain ampul
Kassa steril
2
Betadine
Alkohol
Duk
Penuntun belajar tindakan lumbal punksi
Daftar Tilik kompetensi lumbal punksi
Gambaran umum
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberikan bekal pengetahuan dan praktek
ketrampilan teknik punksi lumbal secara benar dengan memperhatikan a/antisepsis sesuai
prosedur. Peserta didik belajar mandiri mengenai anatomi dan fisiologi cairan serebrospinal
(LCS).
Contoh Kasus
Seorang mahasiswa laki-laki berusia 27 tahun datang ke IGD dengan keluhan utama nyeri
kepala hebat sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala disertai muntah; pasien kadang-kadang berbicara
kacau. Kejang, kelemahan sesisi disangkal. Terdapat keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan sariawan dan lidah menjadi putih. Hingga saat ini, pasien masih
menggunakan narkoba suntik sejak 5 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran apatis-somnolen. TD 140/90, N96x/menit P:
20x/menit, Suhu: 38,50 C. Pemeriksaan klinis lain dalam batas normal. Pada kulit terdapat tatto
dan neddle tract. Pada pemeriksaan tatus neurologis didapatkan SKG: E3M6V4; tanda rangsang
meningeal berupa kaku kuduk; dan tidak ditemukan refleks patologis (Babinski) kedua sisi.
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan papil batas jelas, tidak hiperemis, cupping (-), A:V:1:3.
Diskusi
1 .Apakah tindakan lumbal pungsi pada pasien ini berbahaya ?
2. Dimana lokasi yang paling aman untuk melakukan tindakan lumbal punksi?
3. Komplikasi apa yang mungkin terjadi saat dan setelah melakukan tindakan LP?
Rangkuman
Tindakan punksi lumbal dilakukan untuk diagnosis penyakit infeksi SSP. Walaupun demikian
tindakan harus berdasarkan indikasi dan memperhatikan kontraindikasi dan inform consent dan
memberikan pengeretian tentang maksud dan tujuan tindakan ini.. Apabila telah dikerjakan
maka penderita harus berbaring selama 2 jam dan mengingatkan pada penderta atau keluarganya
bahwa kemu.ngkinan nyeri kepala dapat timbul yang dapat diatasi dengan pemberian analgetik
Keadaan lain yang memperburuk umumnya disebabkan oleh penyakitnya, bukan karena
tindakannya .
TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan Lumbal Pungsi (LP)
Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan LP
Menjelaskan anatomi meninges dan sirkulasi LCS
b. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi setelah LP
Menjelaskan komplikasi tindakan LP dan patofisiologinya
Menjelaskan bagaimana tatalaksana komplikasi-komplikasi tersebut
3
c. Dapat menangani komplikasi yang ditimbulkan oleh tindakan LP
d. Mengetahui manfaat pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP
Menjelaskan kapan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP
Menjelaskan cost-benefit pemeriksaan ini
e. Mengetahui alat dan bahan yang diperlukan untuk tindakan LP
Menggunakan video dan demonstrasi alat-alat yang diperlukan
1. Memperlihatkan kepada peserta didik alat-alat yang diperlukan untuk
tindakan LP
2. Menjelaskan kegunaan dari alat-alat tersebut
3. Menjelaskan bagaimana perlakuan terhadap alat tersebut, misalnya:
sterilisasi manometer
f. Dapat melakukan tindakan LP dengan benar dan legal artist
Menggunakan video
Menjelaskan langkah-langkah dalam tindakan LP
Mendemonstrasikan tindakan LP
g. Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan serebrospinal (LCS) yang telah diambil
secara benar
Menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan setelah LCS mengalir
Menjelaskan cara membuat surat pengantar pemeriksaan LCS ke laboratorium sesuai
dengan indikasinya
Menjelaskan prioritas pemeriksaan analisis LCS sesuai indikasi dan pertimbangan biaya
Menjelaskan teknik pengiriman LCS yang benar
Menjelaskan cara interpretasi hasil analisis LCS dan hasil pemeriksaan LCS lainnya.
h. Dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarga mengenai tindakan ini (manfaat,
indikasi, prosedur, komplikasi, pemeriksaan serta hasil interpretasi pemeriksaan LCS)
Menjelaskan pentingnya penjelasan kepada maupun keluarga pasien sebelum tindakan
LP
Menjelaskan perlunya pasien atau keluarga pasien menandatangani surat persetujuan
setelah penjelasan
Menjelaskan kepada pasien maupun keluarga apakah tindakan LP perlu diulangi lagi atau
tidak
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
4
Memperkenalkan diri sebagai fasilitator/pembimbing dan tanggung jawabnya dalam proses
pembelajaran serta bagaimana fasilitator berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan
partisipasi penuh dari para peserta didik.
Kasus untuk proses pembelajaran
Seorang laki-laki, berusia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan
nyeri kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan seluruh tubuh. Sebelumnya penderita
pernah demam disertai batuk dan berkeringat sewaktu malam hari. Di puskesmas penderita
mendapat obat beberapa macam; sejak makan obat tersebut, buang air kecil berwarna
kemerahan. Penderita merasa lebih baik dan tidak kontrol lagi setelah makan obat selama 3
bulan. Selang beberapa lama, penderita mulai demam dan batuk yang kadang kadang berwarna
merah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut: kesadaran delirium; tekanan darah 130/80
mmHg; frekuensi nadi 105 x/menit; suhu 38 oC; respirasi 23 x/menit. Pemeriksaan fisik umum
didapatkan skrofuloderma pada KGB leher kanan; terdengar ronki di seluruh lapang paru, tetapi
tidak terdengar mengi pada auskultasi paru; abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba; pada
ekstremitas tidak ada edema. Pemeriksaan neurologis menunjukkan Skala Koma Glasgow
(SKG): E4M5V4; pupil bulat isokor diameter 3 mm/ 3mm RCL +/+ RCTL +/+; tanda rangsang
meningeal berupa kaku kuduk positif, Bruzinsky I positif, Kernig >135/ >135, tetapi tidak
ditemukan tanda Bruzinsky II dan III; tidak ditemukan paresis saraf kranial; tidak ditemukan
hemiparesis, refleks patologis, dan klonus pada pemeriksaan motorik. Pemeriksaan sensorik
belum dapat dilakukan, sedangkan pemeriksaan saraf otonom tidak menunjukkan kelainan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini antara lain adalah pemeriksaan
laboratorium, foto thoraks, dan pemeriksaan CT scan. Selain itu pada pasien juga dilakukan
pemantauan kesadaran, tanda-tanda vital, dan defisit neurologis fokal.
Diskusi
1.Apakah tindakan punksi lumbal segera dilakukan tanpa persetujuan keluarga?
2.Apakah pengobatan dapat segera diberikan setelah diagnosis sementara ditegakkan?
3.Apakah kegawatdaruratan yang mungkin timbul sebelum atau sesudah tindakan lumbal
pungsi?
Rangkuman
Pengobatan empirik pada penderita segera harus dilakukan walaupun punksi lumbal belum
dilakukan, karena angka kematian tinggi apabila kondisi penderita lebih berat.Walaupun
demikian pelaksanaan punksi lumbal tetap dianjurkan untuk memastikan diagnosis yang sesuai
dengan tindakan terapi.Pemantauan penderita harus diperhatikan karena gejala-gejala yang
timbul bisa menjadi lebih progresif.
EVALUASI
Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
Hasil kuesioner
Hasil penilaian peragaan ketrampilan
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
5
Lisan
Kompetensi psikomotor
Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)
6
Contoh daftar tilik (checklist) penilaian kompetensi psikomotor
Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang
diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih
REFERENSI
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
De Meyer W.E., Technique of neurologic examination a programme text, fifth ed., 2004.
637-648.
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Campbell WW., De Jong’s, The Neurologic examination, Lippincott Williams & Wilkins,
2005, 597-600.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
7
MATERI BAKU
Lumbal Punksi
Teknik Lumbal Pungsi (LP) atau spinal tap pertama kali diperkenalkan oleh Quinke pada tahun
1891. Tindakan LP sebenarnya cukup sederhana dan sudah dikenal luas, sayangnya kemampuan
LP belum banyak dikuasai oleh dokter terutama ahli neurologi. Tindakan LP yang tampak
sederhana ini ternyata juga memiliki risiko yang perlu diperhatikan.
Lumbal pungsi dilakukan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Selain itu LP juga dilakukan secara
insidental seperti pada pemeriksaan mielografi.
Indikasi
1. Infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis)
Umumnya ditemukan peningkatan tekanan, pleositosis, penurunan kadar glukosa LCS, dan
peningkatan konsentrasi protein..
2. Meningitis aseptik
Didapatkan perubahan non-spesifik pada LCS, pleositosis dan peningkatan protein.
3. Infeksi parameningeal dan abses
Pada LCS hanya tampak perubahan non-spesifik. Evaluasi lebih baik dengan pencitraan.
4. Perdarahan subarachnoid (SAH)
Ditemukan LCS dengan sel darah merah dan tampak xantokrom. Pada SAH tindakan LP
hanya dilakukan bila pemeriksaan CT scan diagnostik saja tidak dapat menegakkan
diagnosis, CT Scan tidak tersedia, serta masih dicurigai adanya meningitis.
LCS d-dimer dapat membedakan LP traumatik dengan SAH.
5. Penyakit demielinisasi
Ditemukan abnormalitas IgG yang dapat mendukung diagnosis
6. Inflammatory polyneuropathies
Terjadi peningkatan protein. LCS imunoglobulin mendukung diagnosis kelainan imunologis.
7. Leptomeningeal metastasis
Pleositosis, peningkatan protein, penurunan kadar glukosa. Pemeriksaan sitologi LCS
dengan LP berulang mempunyai spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi
sesuai jenis keganasan. Pemeriksaan tumor marker pada LCS dapat mengkonfirmasi
diagnosis tetapi tidak spesifik untuk neoplasma.
8. Sindrom paraneoplastik
Tampak abnormalitas ringan pada LCS sering disertai dengan autoantibodi yang spesifik.
9. Tumor otak
Gambaran LCS nonspesifik, beberapa memilliki marker spesifik:
Trophoblastic metastasis dan germ cell: human chorionic gonadotropin
Germ cell: fetoprotein
10. Pseudotumor serebri
LP diperlukan untuk mengetahui peningkatan tekanan intrakranial dan menyingkirkan
meningitis.
8
11. Normal pressure hydrocephalus
Perbaikan klinis setelah pengambilan 50 ml LCS dapat memprediksi respon yang baik untuk
tindakan shunting.
12. Septik serebral emboli
Tampak pleositosis.
13. Lupus eritematosa sistemik
Ditemukan kadar C4 yang menurun dan peningkatan respon imun intratekal.
14. Ensefalopati hepatik
Dapat diidentifikasi dengan cukup spesifik dan sensitif bila ditemukan peningkatan
konsentrasi glutamin LCS.
Kontra-indikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan massa intrakranial atau penyumbatan
aliran LCS yang memiliki risiko herniasi serebri dan kematian.
2. Infeksi di lokasi LP
3. Trombositopeni (< 20 000/uL) atau pemanjangan PT dan APTT yang tidak terkoreksi
4. Trauma medula spinalis akut
Komplikasi
1. Herniasi serebri
Dapat dicegah dengan tidak melakukan tindakan LP pada pasien yang berisiko atau dengan
pemberian anti-edema sebelum LP.
2. Postspinal positional headache
Merupakan komplikasi tersering (5-40%). Biasanya sakit kepala muncul 72 jam setelah LP
dan menghilang kurang dari 5 hari. Nyeri dirasakan bilateral terutama pada posisi berdiri dan
batuk. Nyeri kepala akan membaik dengan posisi berbaring.
Berdasarkan patofisiologinya pada postspinal positional headache terjadi robekan dura pada
lokasi penusukan jarum spinal. Robekan ini mengakibatkan kebocoran LCS keluar dari dura
sehingga tekanan akan menurun. Akibatnya otak akan bergeser turun dan terjadi traksi pada
area sensitif nyeri seperti bridging vessels, dura dan nervus yang menyebabkan rasa nyeri.
Pada posisi supinasi tekanan di sepanjang kolumna spinalis sama sehingga otak tidak
bergeser ke bawah dan tidak terjadi traksi pada area sensitif nyeri.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri kepala ini. Gunakan jarum spinal
berukuran kecil. Semakin kecil jarum semakin kecil pula robekan dura yang ditimbulkan.
Memasang kembali mandrein ke dalam jarum sebelum melepaskan jarum spinal dapat
menurunkan insiden nyeri kepala hingga 50%. Nyeri kepala sendiri dapat diatasi dengan
analgesik dan berbaring.
3. Nyeri punggung lokal
Kurang lebih 1/3 pasien mengeluhkan nyeri punggung lokal setelah tindakan LP yang
berlangsung selama beberapa hari. Hal ini terjadi akibat trauma lokal jaringan lunak sekitar
lokasi LP.
4. Perdarahan lokal
Dapat dicegah dengan menunda pemberian antikoagulan, mengoreksi status koagulasi dan
menggunakan jarum kecil.
5. Infeksi lokal
Dapat dicegah dengan tindakan a dan antisepsis sebelum tindakan.
9
Lumbal Pungsil Terapeutik
Indikasi
1. Infeksi
Meningitis Kriptokokus dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter. Tindakan
LP dapat dilakukan berulang kali untuk menurunkan tekanan intrakranial
2. Neoplasma
Beberapa jenis keganasan seperti leukemia serebral, leptomeningeal limfoma dan meningeal
karsinomatosis memerlukan kemoterapi intratekal.
3. Nyeri
Nyeri hebat yang sulit diatasi terutama pasca-operasi dan nyeri pada kanker dapat
disuntikkan morfin dosis kecil ke rongga subarakhnoid.
4. Nyeri kepala pada hipertensi intrakranial idiopatik
Tindakan LP dapat mengurangi nyeri kepala dengan mengeluarkan sejumlah LCS.
Kontra-indikasi
Sama dengan kontraindikasi LP diagnostik. Perlu diperhatikan apakah pasien alergi terhadap
obat yang akan disuntikkan. Dosis, jenis obat dan pelarut harus tepat. Beberapa obat dapat
menyebabkan chemical meningitis.
Tidak semua pasien yang terindikasi tindakan LP harus menjalani pemeriksaan CT Scan.
Meninges
Otak dan medula spinalis dilindungi oleh 3 selaput otak yaitu:
1. Duramater
2. Arakhnoid
3. Piamater
11
Sistem ventrikel otak terdiri dari dua ventrikel lateral, ventrikel ketiga, dan ventrikel keempat.
Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media, kornu posterior, dan
kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga
melalui foramen Monro atau foramen interventrikularis. Akuaduktus Sylvii menghubungkan
ventrikel ketiga dan keempat. Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarakhnoid
melalui tiga foramen yaitu dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie. Foramen ini
terletak di belakang medula dan menghadap sisterna magna.
Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus koroid yang terdapat pada dinding ventrikel. LCS
memasuki rongga subarakhnoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Di dalam rongga
subarakhnoid LCS bersirkulasi ke atas dan mengitari otak serta ke bawah mengitari medula
spinalis. LCS jernih seperti air mengandung sangat sedikit sel (± 2 sel/mm 3) dan sedikit protein.
Volume total LCS dalam ventrikel dan rongga subarakhnoid dalam otak orang dewasa sekitar
130-150 ml. Kira-kira 400-500 ml diproduksi setiap 24 jam. Tekanan LCS normal dalam posisi
terlentang adalah sekitar 70-120 mmHg. LCS akan diresorbsi oleh villi arakhnoidalis ke dalam
aliran darah di sinus-sinus duralis.
12
ligamentum interspinal, ligamentum flavum, duramater, arakhnoid dan masuk ke ruang
subarakhnoid.
Lokasi penusukan LP biasanya dilakukan pada tingkat L3-4 atau L4-5. Ruang intervertebra L3-4
kurang lebih setinggi krista iliaka posterior.
13
Tindakan Lumbal Pungsi
Agar LP berhasil, posisi pasien harus tepat. Biasanya LP dilakukan dengan pasien pada posisi
lateral dekubitus. Pasien berbaring di tepi tempat tidur membelakangi pemeriksa. Vertebra
lumbalis difleksikan maksimal agar ruang intervertebra terbuka. Panggul dan bahu
dipertahankan tetap pada bidang vertikal. Hiperfleksi leher tidak perlu dilakukan karena tidak
akan menambah fleksi pada punggung.
Setelah pasien berada pada posisi yang tepat, tentukan tempat penusukan. Ruang intervertebra
L3-4 dapat ditentukan dengan menarik garis imajiner dari krista iliaka posterior kanan dan kiri.
Pastikan semua perlengkapan berada dalam jangkauan tangan pemeriksa. Sesuaikan tinggi kursi
dengan tempat tidur pasien untuk memudahkan prosedur penusukan.
Selanjutnya pakai sarung tangan steril. Lakukan tindakan a dan antisepsis pada lokasi penusukan
dan sekitarnya dengan menggunakan iodine solusio dilanjutkan dengan alkohol.
Kemudian dilakukan tindakan anestesi lokal dengan lidocain 1%.
Setelah itu siapkan jarum spinal. Dengan mandrein terpasang tusukkan jarum spinal pada lokasi
yang telah ditentukan dengan jarum pararel permukaan tempat tidur dan mengarah ke sefalik
atau ke umbilikus. Bevel jarum harus menghadap ke atas.
Jarum ditusukkan sampai menembus dura (sampai terasa ”pop”). Setelah itu tarik mandrein
untuk melihat apakah LCS sudah mengalir. Bila LCS telah mengalir segera masukkan kembali
mandrein lalu siapkan manometer. Pasangkan manometer pada jarum spinal dan ukur opening
pressure. Selanjutnya masukkan LCS ke dalam tabung penampung. Setelah jumlah yang
diinginkan terpenuhi masukkan kembali mandrein dan tarik jarum spinal dengan 1 kali tarikan.
Bersihkan lokasi LP dan tutup dengan kassa steril dan plester.
Anjurkan pasien untuk tetap berbaring 1-2 jam untuk menghindari sakit kepala pasca-LP.
14
Infeksi Susunan Saraf Pusat
KOMPETENSI
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi susunan saraf pusat, mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya, serta manajemen pengobatan terpadu.
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya infeksi susunan saraf pusat
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi susunan saraf pusat
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi susunan saraf pusat
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi susunan saraf pusat
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada infeksi susunan saraf pusat
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih : Alat bantu : sarung tangan, tutup mulut dan alat-alat lumbal punksi
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based
15
learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang
terjadinya infeksi susunan saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
Contoh kasus
Kasus 1
Wanita usia 23 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama panas tinggi
mendadak disertai nyeri kepala hebat.Selang berapa lama pasien gelisah, disusul dengan kejang.
Ada riwayat keluar cairan dari telinga kanan, berbau dan bewarna kuning kental
Pada pemeriksaan ditemukan ,kesadaran delirium, TD 120/80, suhu 39C , nadi 90 X, penafasan
20X., tampak cairan keluar dari telinga kanan, kelelenjar submandibular sedikit membesar. Pada
pemeriksaan neurologi didapatkan tanda rangsang meningeal, tidak ada edema papil dan refleks
patologi.
Kasus 2
Seorang laki-laki, usia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri
kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan gerakan kepala .Riwayat makan obat lama
tidak teratur dari puskesmas
Pada Pemeriksaan, kesadaran delirium, TD 110/70, suhu 38 C, nadi 84 kali, pernafasan 28 X.
Pemeriksaan thorax Pulmo ronkhi diseluruh lap paru. Kelenjar getah bening submandibular
membesar, tampak bekas sikatrik. Pada pemeriksaan saraf kranial tampak gangguan pergerakan
bolamata ( paresis n. III dan VI)
Kasus 3
Laki-laki berusia 24 tahun, tiba-tiba sewaktu di rumah mengalami panas tinggi dan menggigau.
Sebelum itu sering radang tengorokan. Langsung dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu ada kejang.
Pada pemeriksaan umum , tanda vital Suhu 39.5 C. Pada pemeriksaan neurologi Kesadaran
delirium., Tanda rangsang meningeal ada. Motorik baik, saraf kranial normal. Refleks fisiologi
dan patologi normal.
Kasus 4
Wanita, usia 19 tahun , pelajar SMA, dibawa keluarga ke RS karena kejang dan penurunan
kesadaran. Sebelumnya penderita baik, kebetulan waktu itu penderita lelah sehabis piknik
bersama teman2nya.. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Pada pemeriksaan umum Suhu 39.5
C, Nadi 100 X /menit.TD normal, Pernafasan 24x/ menit. C/P normal, Abdomen , H/L tidak
teraba. Pemeriksaan neerologi : delirium, tanda rangsang meningeal tidak ada, motorik normal,
pupil bulat , miosis, refleks lambat. Refleks fisiologi +++/+++ meningkat, refleks patologi +/+
Kasus 5
Laki-laki, usia 38 tahun , baru PHK dari perusahaan penerbangan nasional, mengeluh kedua
tungkai dan kaki lemah. Diawali kesemutan mulai selangkangan, semakin naik keatas dan
berhenti setinggi puting susu. Demam ada, mulai susah bak, sampai keluar tanpa diketahui, bab
tidak bisa udah lebih 3 hari. Pada pemeriksaan umum, tanda vital normal kecuali suhu 39 C.
Pemeriksaan Neurologi: kompos mentis, paraparesis, hipestesia setinggi papila mamae. Refleks
fisiologi +/+ menurun, Refleks patologi -/-
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera?
2. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
3. Apakah pemeriksaan CT Scan kepala dilakukan setelah atau sebelum punksi lumbal
16
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi anatomi dan
diagnosa banding.
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi
berdasarkan usia, punksi lumbal, empiris.
TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik meningitis
Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik ensefalitis
Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik mielitis
17
g. Mengetahui komplikasi infeksi SSP
Mengetahui komplikasi infeksi SSP
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
i. Melakukan dan menjelaskan terapi infeksi SSP dan manajemen serta resistensi
antibiotika
Mengetahui manajemen dan terapi
melakukan tindakan emergensi
manajemen makanan dan cairan
pertimbangan terapi empirik
mengevaluasi hasil terapi
METODE PEMBELAJARAN
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala, pandangan ganda terutama saat
pasien melihat jauh. Keluhan demam sebelumnya dirasakan hilang timbul. Keluhan tidak
disertai kejang, bicara pelo, mulut mencong, ataupun kelemahan anggota gerak sesisi. Lebih
kurang 3 bulan terakhir pasien mengeluh batuk-batuk lama yang tidak kunjung sembuh, dan
disertai penurunan berat badan. Riwayat narkoba sebelumnya tidak ada
18
a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :
kesadaran somnolen
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Frekuensi nadi 105 x/ menit
Suhu 37,9 C
Respirasi 21 x / menit
Konjunctiva anemis, sklera tak ikterik
Jantung dalam batas normal
Paru-paru : ronki basah apeks kedua paru, whezing tidak ada
Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba
Ekstremitas tidak ada edema
Status neurologis
Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3
Status mental : belum dapat dinilai
Tanda rangsangan meningeal positif
Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
Nervi kranialis : paresis N VI kiri
Motorik : kesan hemiparesis tidak ada
Sensorik belum dapat dinilai
Refleks fisiologis ++/++
Refleks patologis -/-
Klonus –
Saraf otonom dalam batas normal
c. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Diskusi
1. Apakah keluhan demam, sakit kepala, dan tanda perangsangan meningeal
merupakan tanda klinis ptognomonik pada infeksi susunan saraf pusat
2. Apakah kelumpuhan saraf kranialis dapat terjadi pada meningitis
tuberkulosis
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
4. Berapa lama terapi OAT diberikan penderita dengan tuberkulosis otak
5. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada tuberkulosis otak
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
19
Anamnesis
Pemeriksaan fisik/neurologis
Diagnosis banding
Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
Pemeriksaan penunjang
Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
20
Contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
REFERENSI:
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
21
Materi Baku
PENDAHULUAN
Infeksi susunan saraf pusat dapat mengenai leptomeninx (meningitis), otak (ensefalitis) dan
medula spinalis (mielitis). Seluruh infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman non spesifik,
spesifik, parasit atau jamur. Selain itu infeksi dapat terjadi karena “toxic mediated syndrome”,
karena toksin bereaksi spesifik terhadap jaringan. Keadaan ini disebabkan oleh kuman
Clostridum tetani (tetanus) atau Clostridum botulinum (botulismus).
Pada kesempatan ini penjelasan dibatasi hanya mengenai infeksi leptomeninx akibat kuman non
spesifik yang menyebabkan terjadinya meningitis septik. Umumnya jenis meningitis ini terjadi
akut disertai perubahan sel dan kimiawi cairan likuor. Sindroma klinik ini dihubungkan dengan
profil likuor serebro spinalis yang akan menentukan diagnosis kerja untuk terapi empiris.
Biasanya pengobatan dilakukan atas dasar scientific guess dengan melihat usia, temuan klinis
dan data epidemiologis. Jadi sebelum jarum LP menyentuh lumbal penderita, pengobatan segera
dilakukan karena akan mempengaruhi prognosis penderita. Oleh karena itu alasan menunggu
hasil LP/pemeriksaan mikrobiologis tanpa memberikan antibiotik yang memadai dalam
pengobatan meningitis tidak dapat diterima.
Sebelum ditemukan antibiotik angka kematian sangat tinggi ( > 90 %) dan menjadi 30 % setelah
ada antimikroba. Walaupun demikian penemuan antibiotik baru ternyata tidak memperbaiki
prognosis karena selain peranan kuman tampaknya proses imunologis juga berperan terhadap
efektifitas pengobatan.
Walaupun mekanisme pasti terjadinya komplikasi tidak sepenuhnya dimengerti, namun
beberapa bukti mengatakan bahwa organisme dan produk bakteri, respon inflamasi pejamu dan
perubahan fisiologi normal otak akibat infeksi menjadi dasar terjadinya komplikasi meningitis
septik akut berupa proses akut, intermediate/spesifik dan jangka panjang dengan sekuele.
Pada dewasa, gangguan imun merupakan faktor risiko penting. Defek antibodi atau fungsi
komplemen meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang encapsulated seperti Streptokok
pneumoni, Hemofilus influenza dan Neisseria meningitidis. Sementara itu defek pada cells
mediated immunity (melibatkan T sel atau makrofag) menyebabkan infeksi dengan intraselular
patogen seperti Listeria monositogenes.
Defek neutrofil menyebabkan infeksi dengan organisme gram (-) tertentu terutama Pseudomonas
aeruginoenase dan enterobacteriase. Infeksi parameningeal seperti sinusitis, otitis, empiema
subdural/epidural dan infeksi paru dapat menjadi sumber meningitis. Faktor-faktor risiko
tertentu seperti pemakaian shunting, endokarditis, cedera kepala terbuka mempunyai
kemungkinan terjadinya meningitis Stapilokok. Pasien yang memakai respirator mempunyai
risiko meningitis karena spesies proteus, pseudomonas, serratia atau florobakterius. Sedangkan
cedera kranio-serebral terbuka, sepsis, infeksi parasit (strongiloidiasis) mempunyai risiko
menjadi meningitis karena agen gram negatif seperti Klebsiela, E.coli dan Pseudomonas.
22
PATOGENESIS RESPONS IMUN
Tanpa menggunakan antibiotik, angka mortalitas meningitis septik akut akan meningkat, dan
infeksi ini menyebabkan kerusakan jaringan SSP sebagai akibat respons imun dan radang pada
pejamu. Bakteri penyebab meningitis mempunyai dinding sel dan komponen membran luar yang
mempunyai potensi memacu radang. Semuanya mempunyai efek pada monosit, lekosit, sel
endotelial dan astrosit yang menyebabkan sel-sel ini menghasilkan sitokin proinflamatori dan
kemokin yang memperlihatkan aktivasi dengan adesi molekul. Citokin pro radang seperti TNF
dan interleukin 1 (IL 1) mempunyai implikasi pada percepatan kaskade radang yang
mengakibatkan kerusakan Sawar Darah Otak (BBB), inflamasi meningeal, edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial dan menurunnya perfusi serebral.
Implikasi dari skenario patofisiologi ini adalah pengobatan bersama menggunakan antibiotik dan
obat tambahan lain. Sehingga disarankan untuk menggunakan terapi ajuvan seperti
kortikosteroid, anti radang/pengaturan sitokin, blokade perlengketan dan aktivasi molekul,
antioksidan, nitric-oxide synthase inhibitor dan terapi anti radang lain diberikan bersama
antibiotik.
- Kinin
Bradikinin
- Endothelin
- Protease
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemberian antibiotik pada penderita meningitis septik
akut adalah :
1. Terapi segera dengan antibiotik yang bakterisid secepatnya, dilakukan sebelum ada hasil
likuor.
23
2. Semua obat yang digunakan untuk meningitis ini mempunyai rasio toksik-terapeutik yang
tinggi. Setelah itu dilakukan monitor level di serum dan likuor.
3. Obat harus mudah penetrasi ke likuor
PEMILIHAN ANTIBIOTIK
Meningitis septik akut merupakan emergensi, destruksi segera bakteri di mening dan likuor perlu
karena dapat menurunkan angka kematian. Oleh karena pemberian obat, dosis yang tepat yang
24
mempunyai aktivitas bakterisid dapat dipakai sesegera mungkin. Beberapa terapi yang di
rekomendasikan adalah :
1. Orang dewasa dengan meningitis karena pneumokok, meningokok dan listeria diberikan
Penisilin G (18 –24) juta unit i.v / 4 – 6 jam.
Ampisilin (12 – 18 gr/hari i.v) atau klorampenikol (4 – 6 gr/i.v) merupakan terapi alternatif.
Pada anak-anak dosis ampisilin (300–400 mg/kg/hari). Selain itu dapat diberikan,
sefalosporin generasi ke-3, sefotaksim (2 gr i.v setiap 4 jam) atau sefritriakson (2gr i.v/dosis
tunggal) efektif untuk meningokok & pneumokok terapi kurang baik untuk listeria.
Trimetoprin 160 mg/ sulfa metoksazal 80 mg i.v/6 jam) atau klorampenikol digunakan untuk
listeria meningitis.
2. Untuk anak-anak diatas 2 bulan meningitis karena H. Influenza atau yang penyebabnya tidak
diketahui diberikan 200mg/kg/hari/4-6 jam atau 100mg/kg/hari sefritriakson dengan dosis
maksimum 2 gr/hari/dosis tunggal.
Regimen lama yang diberikan adalah ampisilin (300 – 400) mg/kg/hari i.v ditambah dengan
klorampenikol (75-100)mg/kg/hari i.v. Alasan menggunakan kombinasi ini adalah bahwa 15
– 25% H. influenza resisten terhadap ampisilin, dan pernah dilaporkan juga H. Influenza
yang resisten klorampenicol. Untuk mencegah interferensi kedua obat ini, ampisilin
diberikan 30 menit sebelum klorampenikol.
Pada dewasa dengan meningitis H Influenza, dosis ampisilin (12 –18 gr/kg klorampenikol (4
– 6gr/hari) i.v dan sebagai alternatif di gunakan sefotaksim atau seftriakson.
3. Penderita dewasa dengan meningitis pneumokok/meningokok atau H. Influenza yang alergi
penisilin dapat diberikan hanya klorampenikol 4 – 6gr /hari atau sefalosporin generasi ke 3
4. Meningitis karena basil enterik gram (-) diberikan sefalosporin generasi ke 3 atau kombinasi
antibiotik. Terapi dimulai dengan sefotaksim (2gr.i.v/4 jam), seftazidin (2gr/i.v/6jam) atau
sefritriakson 2gr/hari dan aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin 3 – 5 mg/kg/hari).
Pemberian gentamisin intratekal (8 – 10 mg)/hari dapat digunakan.
Apabila bakteri dapat di identifikasi, gentamisin atau tobramisin parentral/intratekal dapat
bersama seftazidim trimetoprin /sulfametoksazal digunakan untuk meningitis gram (-)
(kecuali Pseudomonas aeroginosa) bila penyebab resisten terhadap selfalosporin generasi ke
3.
5. Meningitis karena stopilokok aureus diterapi dengan penisilase resisten penisilin. Nafsilin
atau oxasilin (12 –18) gr/hari. Bila alergi penisilin diberikan vancomisin i.v (1gr/8 –12 jam)
dan intratekal (10 – 20 mg/hari).
6. Apabila etilogi meningitis tidak jelas, pilihan obat pada dewasa adalah ampisilin (12 –
18)gr/hari atau penisilin (18 – 24) juta unit/hari ditambah sefotaksim atau sefritriakson. Bila
alergi penisilin diberikan klorampenikol (75 – 100)mg/kg/hari.
7. Apabila terdapat fokus infeksi di sinus/mastoid, atau shunt yang infeksi, osteomielitis
kranial. Drainage dilakukan dan kalau perlu shunt dapat diganti.
8. Pasien meningitis ini tidak perlu antibiotik melebihi 10 hari kecuali bila terdapat fokus
infeksi atau penyebab meningitis adalah P.aeruginase, listeria monocytogenes (diberikan 3
minggu untuk mencegah relaps. Antibiotik diberikan dosis penuh parentral (i.v).
9. LP ulang tidak perlu untuk menentukan efektifitas terapi bila penderita baik dan kuman
patogen telah di identifikasi.
Pemeriksaan likuor pada akhir terapi meningitis P.aeruginosa, perlu melakukan punksi
lumbal secara priodik menentukan respons terapi dan memastikan kuman. Selain itu
pemeriksaan ulang khusus indikasi pada meningitis akibat komplikasi “shunt”.
10. Meningitis pasca trauma sering kali terjadi sebagai komplikasi neurotrauma. Insiden berkisar
antara (0.2 – 17,8 %).
25
Sebagai faktor risiko meningitis pasca trauma adalah kebocoran likuor dan fraktur basis
kranii dengan manifestasi rhinorrhoe dan otorrhoe. Terapi profilaksis untuk fraktur basis
kranii ini masih kontroversial. Walaupun demikian beberapa studi menganjurkan pemberian
antibiotik sebagai profilaksis.
Dianjurkan pemberian sefriakson, sefotaksim atau piperasilin pada cedera kepala tembus,
impresi fraktur, perawatan lama (prolonged hospital stay), infeksi nosokomial dan post
operasi yang disebabkan basil gram negatif.
Piperasilin diberikan 3 – 4 gr/i.v/4 – 6 jam.
11. Telah dilakukan test kepekaan piperasilin dengan “disk 100 mgr”. Zona diameter 23 mm
atau lebih menunjukkan kepekaan piperasilin.
Kepekaan ini dipertajam dengan pelarutan menggunakan sistim mikro-titer.
Terapi penggunaan piperasilin loading dose 2gr i.v selama 20 menit diikuti continous infuse
(320 – 436 mg/kg BB) selama 24 jam digunakan pada meningitis septik akut.
12. Piperasilin merupakan ureido penisilin sebagai derivat ampisilin. Ureido penisilin ini dirusak
-lactamase dari Stapilokok aureus, E.Coli, Klebsiella dan Bacteroides. Piperasilin
mempunyai aktifitas terbaik melawan Streptokok, Neisseria, Hemofilus dan paling afektif
terhadap Pseudomonas aeruginosa. Jadi dapat digunakan untuk meningitis akut dengan
perkiraan penyebab kuman diatas.
13. Sefalosporin generasi ke 4 (sefpirom) merupakan broad spectrum mempunyai aktivitas sama
dengan seftriakson melawan kuman patogen meningeal. Obat ini dilaporkan mempunyai
aktivitas yang baik terhadap penisilin resisten strain streptokok pneumonia. Jika sefpirom
dikombinasi dengan ampisilin, penetrasi ampisilin pada likuor cerebro spinal akan
meningkat dan tidak demikian halnya bila diberikan pada generasi lain. Dari hasil evaluasi
difusi sefpirom pada pasien meningitis yang menerima terapi konvensional. Sefpirom single
dose 2 gr diinfuskan lebih dari 5 menit pada hari ke 2-3 setelah onset yang disebabkan oleh
S.pneumonia, N.meningitis, L. monositogenes. Dilakukan klasifikasi berdasarkan waktu
2,4,6 dan 12 jam setelah infus ternyata cefpirom berdifusi ke dalam Lss bila meningen
mengalami inflamasi oleh karena itu sefpirom mempunyai potensi untuk terapi meningitis
bagi organisme yang peka.
Terapi antibiotik empiris untuk meningitis akut (menurut American Academy of Neurology
1998)
- Seftriakson atau sefotaksim.
- Tambahan ampisilin untuk bayi , 3 bulan dan dewasa diatas 50
- Untuk imunosupresi gunakan seftazidim + ampisilin.
- Dewasa dengan resisten S. pneumonia tambahkan vankomisin
- Untuk trauma kepala/tindakan bedah saraf gunakan seftazidim + vankomisin
- Untuk kecurigaan listeria tambahan gentamisin
- Pada neonatus digunakan ampisilin + gentamisin
Terapi diberikan se-kurang-kurangnya 7 hari untuk N. meningitidis dan H. Influenzae, (10 – 14)
hari untuk Streptokok pneumonia, (14 – 21) hari sedangkan untuk Listeria monocytogenes dan
21 hari untuk basil gram negatif.
TERAPI TAMBAHAN
1. Steroid
Terdapat bukti bahwa sekuele neurologi terjadi akibat kerusakan otak karena efek toksik
bakteri di LSS terutama endotoksin dari hasil gram (-) dan produk toksik inflamasi sekunder.
26
Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi intensitas inflamasi dan karena itu menurunkan
insidensi komplikasi neurologi. Pada anak-anak terbukti bermanfaat sedangkan pada dewasa
masih dipertanyakan. Terdapat 2 penelitian, studi di Mesir menyarankan pemakaian steroid
sedangkan studi di Chicago tidak.
Tetapi beberapa ahli merekomendasikan pemberian rutin prednison 40-80 mg/hari pada
dewasa yang non imunosupresi dengan meningitis septik akut. Dosis besar dianjurkan
sebagai terapi edema serebal sedangkan pemberian steroid sebagai maintenans dilakukan
pada kecurigaan nekrosis adrenal (Sindroma Waterhouse Friderichfeen).
Gambaran Meningitis septik akut yang tidak perlu kortikosteroid atau diberikan dengan hati-
hati.
- Onset subakut/kronik
- LSS cairan atipik
Sedimen gram (-)
Test antigen bakteri (-)
Predominan sel mononuklear
Eosinofil atau limfosit atipik
Level glukosa (n) atau mendekati normal
Kultur bakteri menunjukkan pertumbuhan (-) selama inkubasi 24 jam.
- Diagnosis partially treated meningitis
- Imunodefisiensi
- Pemakaian Vankomisin (kortikosteroid menghambat antibiotik masuk LSS).
- Adanya kecurigaan infeksi jamur, infeksi bakteri organ lain atau diabetes mellitus
berat.
2. Terapi Imunoglobulin
Faktor virulensi bakteri pada Meningitis septik akut adalah :
- Kapsul polisakharida bakteri mempunyai konsekuensi adesi mukosa, invasi likuor
serebro spinalis dan evasi dari jalur alternatif komplemen.
- Dinding sel lipopolisakharida bakteri mempunyai konsekuensi inflamasi mening,
aktivasi lekosit, penglepasan sitokin (TNF, IL) dan kerusakan sawar darah otak.
Pada Meningitis septik akut, immunoglobulin digunakan segera untuk menetralkan yang terjadi
karena penggunaan antibiotik bakteriolisis. Kortikosteroid dan anti radang lain bekerja tidak
pada tingkat endotoksin tetapi pada tingkat kaskade yang dipacu oleh pelepasan endotoksin.
Apabila terapi immunoglobulin digunakan sebagai ajuvan, harus menetralkan endotoksin dengan
cepat untuk mem-blok endotoksin sebelum memasuki sawar darah otak. Intra vena
Imunoglobulin (IVIG) dosis besar dengan interval pendek untuk menjaga konsentrasi plasma
anti-endotoksin spesifik.
Pada salah satu clinical trial diberikan 150 mg/kgBB selama 3 hari selang 12 jam. Kecepatan
infus (40 – 60 ) tetes per jam.
Oleh karena konsentrasi antibiotik relatif rendah pada pemberian intravena, maka dicoba untuk
melakukan penyuntikan intra-tekal (langsung injeksi subarakhnoid).
Indikasi penyebab :
1. Meningitis gr (-).
27
Bila sensitif terhadap ampisilin atau sefalosporin generasi ke 3, dosis bakterisid dapat dicapai
dengan pemberian i.v. Strain-strain tertentu (Pseudomonas, serratia, Acinetobakteri, protens
biasanya resisten terhadap antibiotik diatas).
Dalam keadaan ini dapat digunakan aminoglikosida intratekal.
2. Meningitis Stapilokok
Bacitrasin (5000-10000 unit) dapat diberikan.
3. Meningitis enterokokkal (Streptokokkus faecalis).
Kuman ini sensitif ampisilin. Tetapi perlu kombinasi dengan gentamisin intratekal bila
respons tidak adekuat. Di samping itu bila ampisilin resisten strain diterapi dengan
vankomisin.
TERAPI PROFILAKTIK
Komplikasi akut :
1. Edema otak
Pada penelitian eksperimental (kelinci), edema terjadi pada meningitis karena escheria coli
yang diobati dengan antibiotik bakterisid secara cepat dan menyebabkan konsenstrasi
endotoksin dalam likuor dihubungkan dengan tingkat edema. Studi ini menerangkan bahwa
pelepasan cepat endotoksin oleh antibiotik litik mempercepat disfungsi otak. Efek yang sama
juga terjadi pada fragmen dinding sel pneumokok.
Edema menyebabkan peninggian tekanan intrakranial. Pada keadaan ekstrim terdapat tanda-
tanda impending herniasi (anisokor, pola pernafasan abnormal, refleks pupil tidak ada). Bila
ringan menimbulkan gejala subjektif nyeri kepala berat dan penurunan kesadaran.
2. Peningkatan tekanan intrakranial
Biasanya disebabkan oleh kegagalan absorpsi likuor serebro-spinalis karena akumulasi fibrin
dan sel radang sekeliling vili arakhnoid dan membaik dengan terapi. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat terjadi karena adanya edema otak atau hidrosefalus.
28
Edema terjadi pada proses difus yang disebabkan produk bakteri dan lekosit yang akan
meningkatkan permeabilitas kapiler (edema vasogenik) dan bersama dengan integritas
membran sel (edema sitotoksik).
Edema otak dapat fokal, atau sekunder karena terjadinya arteritis atau tromboplebitis venosa
kortikal dengan disertai iskemia dan infark otak.
Terapi
- Tekanan umumnya menurun cepat bila responsif terhadap antibiotik
- Bila pasien afebril, sadar tanpa tanda fokal dapat diperkirakan peningkatan CSF
membaik
- Tetapi peningkatan tekanan intrakranial (ICP) pada meningitis adalah konservatif
- Bradikardia dan peninggian tekanan darah (refleks cushing) dapat menjadi pertanda
peningkatan ICP. Tetapi bila terjadi hipotensi dan syok seringkali karena
meningkatnya ICP.
- Keseimbangan cairan
Diberikan perfusi adekuat 1500 cc NaCl 0,9 % /hari. Batasi pemberian cairan
berlebihan. Bila pasien dapat mengatur cairan serebri, cairan dibatasi < 2000 cc
intake total sehari (per oral + i.v.) sampai tekanan CSF tidak meningkat
- Steroid
Dexametason 10 mg.iv. , dilanjutkan dengan (4-6) mg.iv, setiap 6 jam sampai ICP
terkontrol. Dosis diturunkan setelah (5-10) hari.
- Zat hiperosmolar
Manitol 1,0 –1,5 gr/kg pada keadaan peningkatan ICP karena bahaya terjadinya
herniasi transtentral. Dosis diturunkan 0,25-0,5 gr/kg 2 s/d 4 jam interval.
- Furosemid (0,5 mg/kg) digunakan sebagai kekurangan Na & Air dari atas akan
mengurangi pembentuk likuor serebro-spinalis.
Terapi
Tidak ada spesifik terapi untuk memperbaiki aliran darah
Komplikasi spesifik
29
Terjadi biasanya pada 24 jam pertama. Pasien memperlihatkan oliguri biarpun tidak ada
tanda klinis dehidrasi. Seluruh pasien dengan meningitis seharusnya diperiksa elektrolit
urine dan osmolalitas.
SIADH menampakkan hiponatremia disertai osmolalitas urin lebih besar dari
osmolalitas serum.
Terapi
Bila ada SIADH, pemberian cairan dibatasi (2/3 kebutuhan maintenans). Monitor serum
elektrolit setiap 6 jam sampai natrium serum kembali normal. Setelah itu pemberian
cairan dapat seperti biasa.
2. Seizure (Kejang)
Terdapat pada (15-25 %) penderita Meningitis, dapat fokal/umum. Umumnya seizure
terjadi awal infeksi dan mungkin karena peningkatan tekanan intrakranial atau efek
iritatif infeksi dan karena respons radang. Bila kejang terjadi terlambat maka dicurigai
ada lesi masa empiema. Seandainya terjadi kejang dalam 24 jam pertama biasanya
prognosa tidak buruk, tetapi bila menetap atau refrakter antikonvulsan, menjadi petunjuk
kelainan otak serius. Apabila terjadi kejang fokal kemungkinan karena peninggian
tekanan intrakranial atau akibat adanya infark arteri/vena.
Seizure merupakan pertanda komplikasi sering infeksi susunan saraf pusat seperti :
- ensefalitis bakteri
- trombosis vena kortikal dengan infark venosa
- efusi subdural /empiema
- vaskulitis
- abses otak
- abnormalitas metabolit misalnya : Hiponatremia karena SIADH.
3. Ventrikulitis
Biasanya terjadi pada 30 % pasien meningitis. Kita curiga ventrikulitis bila seizure sukar
untuk dikontrol. Pada keadaan ini sebaiknya dibuat kultur Lss.
Komplikasi Intermediat
1. Efusi subdural
Biasanya pada anak-anak pada hari ke 5 – 7 perawatan. Pasien mengalami panas yang turun
naik disertai penurunan kesadaran. Kadang-kadang disertai tanda peninggian intrakranial
dengan akibat kelumpuhan saraf kranial dan hilangnya upward gaze. Seluruh gejala ini harus
dibedakan dengan empiema subdural/epidural menggunakan CT/MRI
Terapi
- Observasi, efusi ini jarang menyebabkan masalah klinik, tapi seringkali diragukan
dengan kelainan intrakranial lain.
- Apabila terdapat peninggian tekanan intrakranial, dilakukan evaluasi pemberian
cairan
30
2. Empiema subdural /epidural
Jarang terjadi (1-2)%. Terjadinya empiema karena penetrasi organisme melalui membran
arakhnoida atau durameter. Lebih sering terjadi akibat infeksi streptokokkus pneumonia.
Gejala dan tanda kelainan ini sama seperti efusi subdural dengan gejala kejang dan
kelumpuhan sesisi. Bila diagnosis tegak, dilakukan tindakan bedah dan pemberian antibiotik
yang tepat.
3. Panas (fever)
Panas pada penderita Meningitis septik akut akan menurun setelah hari 3,4 pengobatan. Bila
terjadi panas sekunder maka harus dicurigai penyebab lain.
4. Abses otak
Merupakan komplikasi yang jarang kecuali bila disebabkan oleh Citrobacter sp. (50% kasus)
atau Listeria. Kelainan ini timbul segera pada minggu kedua penyakit tetapi paling sering
setelah minggu ke 3 dan ke 4.
Penderita abses otak akan panas dengan tanda dan gejala lesi massa intrakranial. Terapi dan
tindakan operatif dipertimbangkan dengan melihat lokasi/besarnya abses.
Patofisiologi terjadinya abses diawali dengan edema dan kerusakan jaringan otak (serebritis).
Pada keadaan ini pengobatan antibiotik sangat bermanfaat tanpa tindakan operasi. Tetapi
apabila lebih dari 4-9 hari pusat infeksi membentuk pus semi likuid dan jaringan otak
nekrotik. Pada keadaan ini pengobatan antibiotik tidak berhasil. Selanjutnya terjadi
encapsulasi jaringan gliotik dan membentuk abses bebas dengan gambaran penyangatan
(ring enhancement) pada CT Sken.
5. Hidrosefalus
a. Hidrosefalus komunikans, merupakan komplikasi meningitis septik akut karena
gangguan absorpsi likuor serebro spinalis karena meningen menebal dan fibrotik setelah
peradangan. Sindroma ini dapat terjadi segera atau setelah dipulangkan. Umumnya
terdapat tanda peninggian intrakranial.
Keadaan ini bukan merupakan kedaruratan dan dapat membaik spontan tanpa “shunting”.
b. Hidrosefalus non komunikans
Jarang terjadi karena komplikasi meningitis septik karena umumnya yang terjadi adalah
obstruksi parsial.
- Obstruksi total “ventricular outflow” jarang.Tetapi bila ada obstruksi total ini
merupakan tindakan emergensi.
31
Bila pada pemeriksaan terdapat koma, tanda Babinski bilateral dan paralisis
“upwward gaze” dapat membantu menegakkan diagnosis yang dapat dikonfirmasi
dengan CT Scan/MRI. Kadang-kadang papiledema tidak ada.
- Obstruksi parsial pada akuaduktus atau ventrikel IV “outflow” bukan tindakan
emergensi. Pada kondisi ini perlu diperhatikan obstruksi total.
KESIMPULAN
Meningitis septik akut merupakan problema penting karena tingginya angka kematian dan
adanya skuele. Banyak kasus terjadi pada usia muda sehingga akan menurunkan produktivitas
kerja yang akan mempengaruhi ekonomi keluarga.
Dewasa ini, pengertian tentang patogenesis terjadi cedera otak karena infeksi belum dimengerti
sepenuhnya. Beberapa penelitian pada binatang dan trial klinik mencoba menerangkan secara
lebih mendasar studi masa depan. Dilakukan penelitian pada bakteri dan faktor-faktor pejamu,
metabolisme asam arakhidonat, sitokin, neuro-transmiter eksitatorik dan konsekuensi
patofisiologis dari infeksi dengan tujuan pemberian pengobatan tambahan sehingga hasil terapi
akan lebih nyata.
32
MENINGITIS SEPTIK AKUT
PEMERIKSAAN
GEJALA KLINIS TERAPI KHUSUS
PENUNJANG
Timbul akut / subakut Pemeriksaan darah Pilihan I :
Sakit kepala Darah tepi : Cephalosporin generasi III
Kaku Kuduk, Kernig (+), Lekositosis Cefotaxim 6 x 2 gr IV
Brudzinski (+) LED Ceftriaxone 1 x 2 gr IV
Demam (40 - 40,5) Gangguan Selama 15 hari
Muntah pembekuan/perdarahan Meningokok, pneumokok
Letargi / kesadaran menurun Ureum, kreatinin (bila akan
Kejang umum / fokal menggunakan Pilihan II :
cephalosporin) Untuk Listeria monocytogenes
Pada S pneumococcus gejala Pemeriksaan LCS dapat diberikan cotrimoxazole
klinis lebih berat Lekosit (> 1000 / UL, dengan dosis 10 mg/kgBB/hari
dibangdingkan 90% PMN) selama 12 hari
meningococcus / H influenza Protein > 150 mg / dl
(oleh karena mengeluarkan Glukosa < 30 mg / dl Dexamethason (0,15 mg/kgBB)
toksin a.l. hemolisin, Pewarnaan Gram ± 4 hari
imunoglobulin A protease, Untuk identifikasi kuman, Manitol / glycerol untuk
neuroaminidase dan hasil (+) bila > 103 CFU menurunkan TIK
hyaluronidase) (Colony Forming Unit)/cc Rifampisin dapat diberikan ± 2
Perubahan kesadaran dari LCS hari (pada kasus pneumokok
stupor / koma Lactat LCS yang resisten terhadap -
Kejang berulang Untuk membedakan lactam), dosis 20 mg/kgBB/hari
Defisit neurologis terjadi bakteri/virus
pada awal stadium 1. Infeksi bakteri : kadar
laktat mendekati 30 mg/dl
2. Infeksi virus : < 25 mg / dl
CRP : (+) ada inflamasi
meningeal bila > 100 mg /
ml
Brain CT: bila ada tanda
neurologis fokal/papil
edema
33
MENINGOKOKUS MENINGITIS
SIADH
SYNDROME OF INAPPROPRIATE ANTI DIURETIC HORMONE
GEJALA KLINIS
TERAPI KHUSUS
Hiponatremi (< 115 meq) Restriksi cairan 2/3 dari kebutuhan normal
Koreksi dengan NaCl 3%:
Osmolaritas serum menurun (< 280 mOsm/l) Dosis : 8 – 10 meq/l dalam 24 jam
Dosis maksimal : 12 meq/l
Natrium urin > 20 meq/l Furosemid dosis 0,5 – 1 mg / kgBB IV
Ureum (BUN) < 10 mg/dl
Normovolemik
34
KEPUSTAKAAN :
1. Scheld, MW, Whitley R.J et al, Infection of Central Neurons System 1991, page 335 – 342
2. Coyle PR, Davis LE, Neurologic Infektion ; Acute Septic Meningitis in American Academy
of Neurology, Volume 10,1998.
3. Dickinson G,et al. Penetration of Piperasillin into Cerebrospinal Fluid in Patient wise
Bacterial Meningitis.
4. J. Steven et al. Post Traumatic Infection of the Central Nervous Systim in Neurology and
Trauma, 1998
5. Goodman and Gilman’s, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 1991
6. Delire M, et al. Intravenous 5S – Imunoglobulins in Therapy of Acute Bacterial Meningitis.
7. Sager MS, Mc. Guire Dawn; Infections disease is manual of neurological therpeutic, 1999.
8. Tureen. JH, Sande MA; Complication of Bacterial Meningitis in Neurological Infection,
1996.
9. Spranger M. et.al, Excess Glutamate levels in cerebrospinal flind predict clinical outcome of
Bacterial Meningitis, Arch Neurol/Vol 53, Oct. 1996.
10. Tyler KL, Bacterial Brain Abscess, American Academy of Neurology, 1998.
11. Wispelwey, B. et al, Brain Abscess, infections of the nervous system, 1991.
12. Coyle PK, corticosteroid treatment of CNS infections the upside, American Academy of
Neurology, 1998.
13. Fitonssi F, et al; Killing activity of cefpirome against pinicillin resistant streptococcus
pneumonia isolates from patients with meningitis in a pharmacodynamic model simulating
les concentration profile, in antimicr agent chemotherapy 1995; 39; 2560 – 2563.
14. Wolff, et al, Diffusion of Cefpirome into the cerebrospinal fluid of patient with purulent
meningitis, J. Antimicrob chemother 1992, 29 (Suppl. A.) 59 – 62.
35
MATERI BAKU
MENINGITIS TUBERKULOSIS
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan terdapat 8-10 juta kasus baru setiap tahun.
Meningitis tuberkulosis yang merupakan salah satu tuberkulosis ekstrapulmoner, merupakan
penyakit infeksi SSP subakut dari fokus primer paru. Beberapa kasus diantaranya tidak
ditemukan tanda-tanda tuberkulosis sistemik aktif, tetapi pada kenyataannya penderita adalah
meningits tuberkulosis. Jadi, penyakit ini merupakan serangan lanjutan yang fatal dapat juga
terjadi akut atau kronik dengan gambaran likuor serebro-spinalis yang atipik.
Diduga terjadi penurunan kasus di negara maju, tetapi masih terdapat 15% kasus ektrapulmoner
dengan angka kematian berkisar antara (15-40)%.
Dewasa ini di negara maju penderita meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi HIV dengan
gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner difus dengan limfadenopati torakal.
GAMBARAN KLINIS
Selama (2-8) minggu meningitis tuberkulosis meperlihatkan gejala tidak spesfifk seperti malaise,
anoreksia, fatig, demam, mialgia dan seringkali nyeri kepala yang semakin memburuk (86%).
Tetapi menurut salah satu laporan gejala yang paling sering adalah kejang, perubahan mental
dan demam
Gejala prodromal nonspesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala ringan, malaise, demam,
anoreksia, muntah dan nyeri abdomen. Bila terdapat iritasi meningeal, nyeri kepala dan muntah
maka diagnosis mulai dapat diperkirakan
Stadium II ( Intermediate)
Gejala menjadi jelas disertai “drowsy”, kejang dan defisit neurologis fokal antara lain
kelumpuhan saraf III, IV, VI disertai gerakan involunter. Bila terjadi hipertensi intrakarnial
maka pada funduskopi akan tampak papil edema dengan hidrosefalus pada CT kepala
Penderita mengalami penurunan kesadaran dengan disfungsi brainstem termasuk deserbrasi dan
dekortikasi. Pupil tampak melebar disertai iregularitas denyut nadi dan pernafasan, disertai
hemaparesis..
Selain bentuk yang digambarkan di atas, ditemukan juga bentuk atipik. Penderita mengalami
demensia progresif lambat ( bulan s/d tahun) dengan perubahan kepribadian, penolakan sosial,
hilangnya gairah dan defisit neurologi. Di samping itu terdapat pula meningitis tuberkulosis
dengan infeksi HIV dengan gambaran limfadenopati superfisial intratorakal dan intraabdominal.
Kadang-kadang disertai tuberkulosis intraserebral.
GAMBARAN PATOLOGI
Pada pemeriksaan makro terlihat opasitas difus meninx dengan eksudat gelatinosa predominan
di sisterna basal sedangkan secara mikroskopik pada eksudat meningeal terlihat limfosit sel
plasma, sel epiteloid dan fibrin. Inflamasi dan eksudat predominan sekitar pembuluh darah
menigeal. Radang akan mengenai tunika adventitia, media dan bahkan intima. Lumen pembuluh
darah jadi menyempit disertai oklusi arteri serebral dengan akibat infark. Nekrosis fibrinoid dan
kaseosa dapat juga terjadi pada arteri (flebitis serebral). Pembuluh darah dasar otak pada
meningitis tuberkulosis dapat terkena terutama a karotis interna, a serebri media proksimal dan
pembuluh darah di ganglia basalis seperti arteri thalamoperforans. Konsekwensinya, infark
37
serebri sering terjadi di dasar otak sekeliling bibir fisura Sylvii dan didalam ganglia basal.
Disamping itu hidrosefalus juga terjadi sebagai konsekwensi obstruksi sisterna basal, dan oklusi
akuaduktus.
EPIDEMIOLOGI
Tuberkuloasis pada 1997 diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari satu juta penderita di
negara-negara Asia :
India 457.000
Cina 258.000
Indonesia 140.000
Bangladesh 66.000
Pakistan 64.000
Filipina 47.000
Vietnam 20.000
Birma 16.000
Thailand 17.000
Kamboja 9.000
Sumber : Journal of the American Medical Association (Reader Digest Oct 1999)
Berdasarkan otopsi (Riggs, 1956) menyatakan bahwa antara (5-10%) penderita tuberkulosis aktif
diperkirakan berlanjut menjadi infeksi SSP. Pada tahun 1940 di Amerika, meningitis
tuberkulosis didapatkan pada 32% kasus meningitis dan menurun drastis <8% pada 25 tahun
kemudian. Sedangkan di India pada tahun yang sama 60% kasus pada anak 9 bulan - 5 tahun.
Menurut data di Bagian Neurologi (IRNA B) RSUPNCM, tahun 1996 terdapat 15 kasus
meningitis tuberkulosis dengan kematian 40%, 13 kasus dengan kematian 53,85% tahun 1997
dan 13 kasus dengan kematian 46,15% pada tahun 1998.
PENCEGAHAN
Dilakukan metode kontrol dengan identifikasi kasus dan mengenal kontak dalam arti diagnosis
dini dengan pemakaian khemoterapeutik.
Namun sebetulnya kondisi sosial juga akan meningkatkan risiko transmisi seperti kepadatan
penduduk dan gizi buruk yang perlu ditanggulangi dan diperbaiki. Masyarakat harus dididik
tentang penularan tuberkulosis dan metode kontrol
Test tuberkulin selektif dilakukan pada kelompok “ high risk” dan terapi preventif isoniazid
selama 1 tahun ternyata cukup efektif untuk membatasi progresi infeksi laten lebih 90% tetapi
keampuhan terhadap HIV tidak diketahui.
Di Amerika, metode kontrol dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dokter dan petugas
kesehatan untuk menemukan secara dini penderita kontak.
Strategi pencegahan termasuk vaksinasi BCG mempunyai efisiensi + 80% untuk melindung
anak-anak (0-6 tahun) dari komplikasi TBC termasuk milier dan meningeal.
38
JALUR KLINIS MENINGITIS TUBERKULOSIS DEWASA
UNIT GAWAT DARURAT
Dokter Jaga :
Anamnesis
Demam
Nyeri Kepala
Penurunan Kesadaran
Pemeriksaan Fisik Tanda Iritasi Meningeal (-)
Tanda Iritasi Meningeal (+) Terapi/tindakan emergensi
Normal Abses
Pleiositosis
Rawat di Unit Perawatan protein meningkat Sitologi
Neurologi/Bangsal Glukosa menurun
+ -
Latex
+ -
Kultur
Tegak berdasarkan :
1. Anamnesis
demam, nyeri kepala disertai mual, muntah dan kejang, perubahan perilaku tampak
selama 2-6 minggu.
riwayat keluarga dengan tuberkulosis
riwayat exposure dengan penderita tuberkulosis
pernah menderita tuberkulosis
2. Pemeriksaan fisik
panas tidak terlalu tinggi
penurunan kesadaran
tanda-tanda tuberkulosis paru
3. Pemeriksaan neurologi
funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada koroid
papil edema memperlihatkan adanya peninggian tekanan intrakranial
5. Foto toraks
kemungkinan adanya penyebaran miliar dan infiltrat padat di apeks paru.
40
terdapat hipokloremi
kultur kuman tahan asam, kultur positif pada 75% kasus selama 6 minggu untuk melihat
pertumbuhan.
sediaan hapus kuman tahan asam dilakukan secara serial. Pertama kali hanya positif pada
37% dan meningkat menjadi 87 % setelah 4 kali pemeriksaan. Sentrifugasi 10-20 cc
selama 30 menit direkomendasikan minimal 3 kali LP setiap hari.
Tes tidak langsung mengukur respon pejamu terhadap organisme level adenosin
daeminase dalam LSS, penurunan permeabilitas sawar darah otak dengan mengukur tes
partisi bromida dan antibodi terhadap basil tahan asam dalam LSS.
Tes langsung dilakukan identifikasi komponen kimia atau antigen basil.
Termasuk dalam hal ini :
ELISA (Enzyme-linked immunoabsorbent assay) untuk antigen
Kromatografi atau spektroskopi dengan menentukan asam tuberkulostearat
Tes aglutinin partikel lateks untuk antigen
PCR (polymerase chain reaction) (1,6,13)
Menentukan fragmen mikobakterial DNA dalam LSS. Pemeriksaan yang
cepat dan alat diagnostik yang sensitif untuk mikobakterium tbc,
walaupun bukan merupakan pemeriksaan yang rutin.
Foto kepala
Tampak kalsifikasi di mening basal dekat fossa posterior atau dalam parenkim otak
(terutama anak-anak)
2. Radioisotop - Brain Scan
Terdapat uptake supra dan para selar radionuklida, keadaan ini merupakan
refleksi inflamasi ekstensif leptomening basal.
3. Angiografi
Lehrer mengemukakan angiography triad
pola hidrosefalus pembuluh darah
penyempitan pembuluh darah pada dasar otak
penyempitan pembuluh darah kecil atau sedang dengan kolateralnya
4. Brain CT scan
Abnormalitas parenkim otak, pembuluh darah dan meningen
hidrosefalus
41
dengan kontras tampak penyangatan sisterna basal, pelebaran dan pengaburan susunan
arteri basilar.
setelah beberapa hari penyangatan (enhancement) meluas ke permukaan korteks, fissura
hemisfer. Terdapat lusensi periventrikuler merupakan refleksi eksudat tbc
periventrikuler dan pembentukan tuberkel sepanjang ependim dan koroid.
Gambaran awal tuberkuloma pada otak adalah 4 S (small, subcortical, surrounding
edema, solid enhancement)
kadang-kadang tampak daerah isodens ddan hipodens dengan
penyangatan cincin. CT scan serial akan memperlihatkan resolusi
setelah 12-15 minggu pengobatan antituberkulosis.
5. MRI
Tampak inflamasi meningeal basiler dan dengan kontras tampak penebalan meningeal lokal,
inflamasi dan pembentukan tuberkuloma kecil.
6. Tes tuberkulin
Tes yang positif menunjukkan merupakan nilai diagnostik pada anak.
Pada dewasa tes yang positif menunjukkan exposure antigen TBC. Tes
yang negatif ditemukan pada malnutrisi, infeksi berat atau pada
imunosupresi
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Akibat manifestasi klinik yang tidak spesifik maka meningitis tuberkulosis dibedakan dengan :
Meningitis kriptokokkosis
sukar dibedakan
pada populasi, meningitis tuberkulosis lebih sering pada peminum, sedangkan
kroptokokkosis lebih biasa pada pengguna imunosupresi
2. Neurosarkoidosis
jarang melibatkan saraf kranial
glukosa dan potein sedikit meningkat
3. Meningoensefalitis virus
glukosa dan protein sedikit meningkat
4. Meningitis karsinomatosa
MANAJEMEN
Keluaran meningitis tuberkulosis tergantung stadium waktu pengobatan. Oleh karena itu
pengobatan dilakukan secepatnya setelah dugaan tuberkulosis tanpa menunggu hasil kultur dan
sensitifitas. Prinsip seleksi obat didasarkan sifat farmakologik (bakterisid / bakteriostatik),
konsentrasi LSS, interaksi obat dan toksisitas)
42
Terdapat beberapa regimen yang dianjurkan
3. Kelompok Amerika
Pemberian INH,RIF dan PRZ selama 2 bulan kemudian dilanjutkan dengan
INH dan RIF untuk 7 bulan. Bila ada resistensi obat tambahkan streptomisin
atau etambutol
43
TERAPI TAMBAHAN :
PPD intratekal
Dilakukan pemberian PPD intraktekal pada penderita yang diramalkan tidak
tertolong. Setelah penderita meninggal dilakukan otopsi, ternyata eksudat
di basal tidak tampak. Oleh karena itu pemberian PPD ini mengurangi
serius sekuele.
2. Kortikosteroid
Pemberian bersama INH pada model binatang banyak mengurangi sekuele
bila dibandingkan tanpa kortikosteroid.
Indikasi :
stadium II dan III
peningkatan tekanan intrakranial / sindrom herniasi
blok spinal
ada tuberkuloma
Protokol
PROGNOSIS :
RINGKASAN
44
45
KEPUSTAKAAN
1. Zuger A. Lowy FD: Tuberculosis of the Central nervous System. In: Infection of the Central
nervous System . 1991 page 425 - 451
2. Leonad JM, Des Prez RM ; Tuberculosis of the Central nervous System. In: Neurology and
General Medicine, second edition, 1995, page 703-716.
3. Berenger J, Moreno et al, Tuberculous meningitis in Patient Infection with the Human Imuno
- deficiency virus ; New England Journal Med, Marc 9, 1992.
4. Klein NC, Damsker B, Hirsman Sl; Mycobaterial Meningitis, Retrospective analysis from
1970 - 1983. The Am Journal of Medicine, Volume 79, 1985.
5. Bradley WG, et al ; Tuberculosis of the Central Nervous System. In: Neurology in Clinical
Practice, 1991, page 1932 -1937.
7. Weisbag LA, Strub L ; Decision Making in Adult Neurology, 1988, page 218-219.
9. Kasik J.E, Central Nervous System Tuberculous. In: Infection of the Nervous System edited
by David Schlossberg, 1990, page 207 - 217.
11. Berger J.R, Tuberculosis of the Central Nervous System, Neurobase, third edition 1999.
13. Jain KK, Molecular diagnosis of Central Nervous System Infections, Neurobase, third
edition, 1999.
46
Materi Baku
Virus awalnya masuk ke host dengan penetrasi lewat mukosa, kulit, saluran cerna atau
urogenital. Akses ke SSP melalui hematogen dan neuronal. Penyebaran hematogen lebih umum,
akibat replikasi virus pada tempat masuk, diikuti viremia sekunder dan berkembang di lokasi
yang lebih jauh. Virus dapat menyebar dari pleksus koroid ke LCS, ke sel ependimal di ventrikel
dan masuk ke jaringan otak. Banyak enterovirus melalui rute ini ke SSP setelah replikasi primer
dalam GIT. Sebaliknya, virus yang menyebar ke SSP lewat ujung saraf perifer disebut transmisi
aksonal retrograde, seperti rabies, j Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV)
dan virus polio (gambar 1). Virus neurotropik menyebar ke SSP secara hematogen, juga
menyebar melalui saraf secara transmisi aksonal retrograde (Tyler, 2001).
Viral
Meningitis
Klinisi harus dapat membedakan ensefalitis dari ensefalopati, dan sindrom parainfeksius
dan postinfeksius seperti Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM). Parainfeksius dan
postinfeksius dengan mediasi imun terjadi setelah banyak infeksi virus. ADEM menyebabkan
demielinisasi yang menyebar luas dalam pola monofasik, mengikuti infeksi virus atau imunisasi.
Mulriple Scelerosis (MS), diagnosis banding ADEM walau terdapat pada usai yang lebih tua,
dan pola demielinisasi tak tipikal monofasik.
ADEM sering pada anak, sebulan setelah vaksinasi atau setelah sakit seperti eksantem,
infeksi saluran napas atas atau saluran cerna. Gejala neurologi terjadi di akhir masa prodomal
penyakit dan tidak bersamaan. Gejalanya monofasik, berkembang dalam beberapa hari. Ditandai
fokal multipel, dengan keterlibatan nervus optikus, medula spinalis dan serebelar lebih sering
dari ensefalitis. Sering berkembang cepat menjadi koma. MRI dapat membedakan ADEM dari
ensefalitis karena lesi white matter disseminated dengan sinyal T2 tinggi dan T1 rendah, yang
47
menyangat pada pemberian gadolinium. Terdapat protein myelin base dan oligoclonal band di
LSC mengarah ke diagnosis ADEM, mungkin terdapat juga pada beberapa tipe ensefalitis.
Namun pada ADEM tak terdeteksi virus di SSP, kultur LCS atau jaringan otak dan PCR
biasanya negatif.
Ensefalitis dibedakan dengan ensefalopati, baik metabolic, toksik atau penyebab lain. Pasien
biasanya tidak demam atau sakit kepala dan LCS normal. Kejang dan tanda neurologis fokal tak
umum, deteriorasi mental lebih stabil dibanding status mental yang fluktuatif pada ensefalitis.
48
Diagnosis
Walaupun tiap etiologi mempunyai gejala yang hampir serupa, tiap penyakit punya gambaran
unik yang mengarah ke penyebabnya. Meningitis dan ensefalitis paling umum di Amerika Utara
ada pada tabel 1. Penyebab tambahan ensefalitis viral yang harus dipertimbangkan pada pasien
yang bepergian ke luar negeri diperlihatkan pada tabel 2. Penyebab non viral pada tabel 3.
Penting untuk mengidentifikasi meningitis bacterial dan atau ensefalitis HSV. Walau
antimikronial yang efektif tersedia untuk keduanya dengan kemampuan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas. Diagnostic awal, perlu diberikan antibakterial secara empiris. Setelah
diagnosis disingkirkan dengan pewarnaan Gram dan kultur LCS dan PVR HSV, pendekatan
untuk identifikasi penyebab non bakterial dimulai. Algoritma pendekatan pada gambar 2,
menyarankan evaluasi segera etiologi yang dapat mengancam hidup, diikuti penyebab-penyebab
umum lain. Ketiga, etiologi untuk penyebab yang lebih langka bagi yang belum dapat
ditegakkan diagnosisnya.
Arbovirus
Togavirus Karibia, Amerika Selatan (ditambah AS)
Mosquito-borne Eastern equine
Sentral dan utara Amerika Selatan (ditambah
Venezuelan equine AS)
50
fever hiponatremia, rash petekial
Karakteristik meningitis dan ensefalitis viral adalah onset demam dan sakit kepala,
disertai kaku kuduk. Bisa terdapat perubahan status mental, disorientasi, perubahan perilaku dan
bicara, tanda neurologis fokal atau difus disertai hemiparesis atau kejang. Pada meningitis
umumya tak disertai gejala-gejala ini (tabel 4).
Riwayat yang dapat membantu adalah musim, riwayat perjalanan, pengetahuan tentang
pencegahan penyakit di masyarakat, riwayat kontak dengan hewan dengan nyamuk atau tick
(arbovirus). Aktivitas seksual dan penggunaan obat intravena juga penting. Semua pasien
diperiksa umum dan neurologik dengan perhatian khusus pada perubahan status mental,
papiledema, defisit saraf kranial, refleks abnormal atau kelemahan fokal.
51
Sakit kepala, nuchal rigidity, demam
Ya Tidak
Ya Tidak
Kultur darah dan mulai terapi antimikrobial empirik
ADEM
Intervensi
Medikal dan/atau
Surgikal yang
sesuai
Ensefalitis Kultur darah dan LP segera
52
Second-Tier Evaluation (If above negative)
EBV: serum serologi, pertimbangkan PCR LCS
Mikoplasma: serum serologi, PCR LCS dan respiratorik
Bartonella: serum serologi, PCR LCS
Third-Tier Evaluation
Evaluasi LCS dan pencitraan adalah gambaran esensial bagi evaluasi laboratorium.
LCSharus diambil dan diperiksa secepat mungkin. Pada kebanyakan bentuk penyakit SSP, LCS
dengan pleositosis ringan atau sedang, dari beberapa sampai 1000 sel darah putih /mm3. Sel
darah putih predominan limfositik atau mononuklear adalah umum, membedakan dengan
etiologi bakterial yang dikarakteristik dengan predominan sel polimorfonuklear. Jika LCS
diperiksa di awal, sel polimorfonuklear bisa juga terdapat pada infeksi non bakterial (termasuk
viral). Pada infeksi viral SSP pola pergeseran dalam 8 sampai 24 jam kearah predominan
mononuklear. Infeksi EV dan HSV mempunyai pola ini daripada virus lain. Predominan
polimorfonuklear yang menetap adalah khas untuk poliradikulomielitis cytomegalovirus (CMV)
sehubungan dengan HIV. Glukosa LCS biasanya normal pada meningitis dan ensefalitis viral,
walau hypoglycorrhachia dikenali baik pada meningitis LCMV dan mumps.walau pada kondisi
ini, glukosa biasanya lebih dari 25 mg/dl. Nilai dibawah 25 mg/dl diduga mengarah pada infeksi
bakterial atau jamur dan meningitis sarkoid atau karsinomatous. Protein LCS biasanya normal
atau sedikit meningkat. Tabel 4 merangkum temuan LCS umum. Tabel 7 menggaris bawahi
kegunaan LCS dan PCR serum, serologi dan kultur. Kultur dari specimen lain seperti
tenggorok/pulasan respiratori, swab rektal, vesikel kulit, urin, liur atau darah dapat membantu
tapi tak selalu membuktikan keterlibatan SSP.
Diagnosis serologikal akut dan konvalesen juga membantu, namun kegunaan metode ini
dibatasi oleh lamanya waktu yang perlu untuk menegakkan infeksi akut (mingguan pada banyak
53
kasus). Satu pengecualian pada infeksi EBV akut, dengan adanya immunoglobulin M (IgM)
pada antigen kapsid viral sangat mengarah pada infeksi akut. Serologi tetap yang paling tersedia
untuk mendiagnosa infeksi arboviral.
Perkembangan yang paling menjanjikan dalam diagnosis infeksi SSP adalah
teknik PCR, dengan kemampuan mendeteksi jumlah permenit DNA atau RNA virus dalam LCS
atau cairan tubuh lain. MRI dan CT scan juga memberi informasi dalam evaluasi infeksi SSP.
Walau CT scan dapat memperlihatkan abnormalitas pada ensefalitis, dengan hipodensitas
parenkim otak yang terkena dan zona iregular penyangatan kontras, perubahan ini lambat
berkembang dan sering non spesifik. MRI dengan kontras gadolinium lebih sensitive dan
merupakan prosedur pilihan pencitraan. Perubahan pada ensefalitis akut bisa meliputi edema dan
abnormalitas ganglia basalis, korteks, dab gray-white matter junction. Abnormalitas fokal pada
MRI dapat mengarah pada diagnosa khusus, seperti hipointens pada T1 dab hiperintens pada T2
di orbitofrontal dan lobus temporal pada ensefalitis HSV. MRI juga membantu membedakan
ensefalitis dan ADEM, dimana area prominen demielinisasi (biasanya simetris) dari medula
spinalis white matter dan ganglia basalis biasa terdapat. Positron emission tomography dan
single-photon emission CT adalah modalitas baru yang menyediakan data fungsional dan
metabolik yang lebih sensitive pada ensefalitis viral.
Tiga penyebab paling umum meningitis dan ensefalitis viral di AS adalah EV, arbovirus
(khususnya West Nile Virus) dan HSV. Pada remaja dan dewasa HSV-1 lebih umum
menyebabkan ensefalitis, sedang HSV-2 menyebabkan meningitis.
Terapi Antiviral
Acyclovir dan pleconaril adalah dua agen spesifik antiviral yang paling efektif yang
tersedia bagi penanganan ensefalitis viral untuk HSV dan penyakit enteroviral. Perawatan
suportif umum, termasuk perhatian ketat bagi kontrol kejang, antipiretik, monitoring untuk
SIADH, dan bukti adanya peningkatan TIK, harus dilaksanakan pada semua pasien dengan
ensefalitis. Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.
Paling penting dari agen ini adalah acyclovir, yang telah memperbaiki survival dan
keluaran pasien dengan ensefalitis herpetika. Acyclovir bekerja dengan menginhibisi polimerase
DNA virus, sehingga mempengaruhi replikasi virus. Bentuk aktif dari obat ini adalah suatu
trifosfat tahap awal fosforilasi adalah katalisasi oleh suatu timidin kinase firally encoded, dengan
fosforilasi lanjutan oleh kinase sel host. Karena aksi dan metode aktifasinya, acyclovir hanya
efektif terhadap DNA virus dengan encode timidin kinase atau enzim yang berhubungan. Untuk
tujuan praktis, membatasi efikasi acyclovir terhadap herpes virus tertentu termasuk HSV, VZV
dan TBV. Acycovir bukan terapi efektif untuk cytomegalovirus, dimana lebih sesuai dengan
ganciclovir atau foscarnet.
Pada dewasa dengan ensefalitis HSV acyclovir menurunkan angka kematian dari 70% ke
19% pada pasien dengan plasebo dan 50% pada pasien dengan vidarabin. Usia pasien dan
derajat kesadaran saat dimulai terapi merupakan faktor prognostik penting dalam suatu studi
kecil, skor GCS > 6 memprediksi 100% survival, sedangkan pasien dengan GCS < 6 mempunyai
100% insiden akan gejala sisa yang berat atau kematian. Pada neonatus dengan HSV, angka
mortalitas turun dari 85% ke 54% dengan acyclovir dosis tinggi (60 mg / kg BB / Hari diberi
tiap 8 jam selama 21 hari) ; namun, 20% bayi yang bertahan mengalami gangguan neurologis.
Penggunaan PCR LCS untuk DNA HSV dalam memonitor efikasi terapi acyclovir untuk
ensefalitis HSV menarik banyak perhatian. Banyak pasien dengan terapi standar acyclovir IV 14
hari tak lagi terdeteksi adanya DNA HSV dalam LCSnya. Laporan konsensus terbaru
menyarankan bahwa pasien yang masih terdeteksi DNA HSV dalam LCSnya diakhir 14 hari
seharusnya mendapat terapi tambahan.
54
Penggunaan kortikosteroid IV masih kontroversi bagi ensefalitis dan ADEM. Bagi
ensefalitis HSV pada dewasa, steroid IV kadang diberikan untuk menurunkan pembengkakkan
lobus temporal, dimana dapat menginvasi sisterna perimesensefalik, mengakibatkan pergeseran
ke lateral dan kompresi dari batang otak. Pada kasus ADEM steroid IV secara luas digunakan
dan dilaporkan efektif secara anekdot. Namun, dalam beberapa studi pasien dengan atau tanpa
terapi tersebut, ditemukan tak ada perbedaan dalam perjalanan klinis atau penyembuhan. Suatu
varietas terapi imunomodulator lain, termasuk obat imunosupresif, plasmaferesis, dan
imunoglobulin IV, juga telah digunakan, namun kurang penelitian klinis terkontrol.
Tindakan supportif diimplikasikan dalam semua bentuk ensefalitis viral termasuk kontrol
kejang dengan antikonvulsan standar, monitor tanda peningkatan TIK, dan tata laksana
peningkatan TIK dengan terapi standar seperti hiperventilasi dan diuresis osmotik. Perlu
memonitor untuk SIADH, dan penggunaan cairan hipotonik harus dihindari. Bila terjadi SIADH
harus dilakukan restriksi cairan. Hipertermi harus dikontrol dengan antipiretik.
55
Materi Baku
ENSEFALITIS VIRAL
Pendahuluan
Ensefalitis merupakan kegawat daruratan dalam bidang neurologi. Pada sebagian kasus,
tanda-tanda neurologis fokal maupun kejang fokal dapat membedakan ensefalitis dari
ensefalopati. Ensefalitis yang terjadi umumnya disebabkan oleh virus antara lain Herpes
Simplex Encephalitis (HSE).
Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat perubahan
kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi pada susunan saraf
pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut. Herpes Simplex Virus (HSV),
Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV), mumps, measles, dan enterovirus
merupakan penyebab sebagian kasus ensefalitis viral akut pada imunokompeten.. Pada
penelitian disebutkan bahwa VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis, seperti
meningitis dan mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan virus
Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika merupakan
penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut, namun tidak akan dibahas dalam
artikel ini. Ensefalomialitis diseminata akut maupun bentuk yang lebih parah, leukoensefalitis
hemoragik akut mewakili penyakit inflamasi sistem saraf pusat. Disfungsi otak difus akibat
proses non-inflamasi merupakan nama lain dari ensefalopati, misalnya disfungsi karena
metabolik dan intoksikasi.
Pada ensefalitis, derajat peradangan leptomeningeal bervariasi dan gejala klinis
memperlihatkan kelainan fokal dan difus serebral dengan demam, sakit kepala, dan tanda
meningismus. Derajat penurunan kesadaran menunjukkan keparahan ensefalitis akut dan
bervariasi sampai koma. Kejang, fokal atau umum sering ditemukan. Berbeda dengan meningitis
viral aseptik, gejala neuropsikiatri seperti anomia, halusinasi, psikosis, perubahan kepribadiaan
dan agitasi.
Ensefalitis akut merupakan kegawatan neurologis yang harus segera di terapi berdasarkan
diagnosis klinis yang ditegakkan (lihat tabel 1).
Selain itu, VZV / EBV, mumps, measles(campak) dan enterovirus juga dapat
menyebabkan ensefalitis terutama bila imunokompeten.
Diagnosis
Secara umum diagnosis ensefalitis tegak berdasarkan pada anamnesis (allo/auto),
pemeriksaan fisik neurologis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Seluruh hasil yang diperoleh
akan menegakkan diagnosis pasti untuk menuju pada pengobatan yang efisien dan efektif. Tetapi
harus diperhatikan bahwa pengobatan infeksi ini tetap berdasarkan klinis dan epidemiologis,
dalam arti segera mengobati untuk memperoleh prognosis baik.
Anamnesis
Alloanamnesis sangat berperan karena biasanya penderita datang ke rumah sakit dengan
penurunan kesadaran. Faktor-faktor seperti geografi dan musim (hujan) dapat menjadi petunjuk
penting kejadian Japanese Encephalitis di daerah endemik. Oleh karena hewan dapat menjadi
56
reservoir utama penyebab ensefalitis maka harus diingat jika terdapat bersamaan dengan
penyakit-penyakit di ternak.
Tabel 1. Diagnosis
Viral:
Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya (HHV-6, EBV, VZV,
cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh serotipe 1,6,7,12,32)
Virus RNA: virus influenza (serotipe A), enterovirus (serotipe 9,71), virus polio, measles,
rubella, mumps, rabies, arbovirus (contoh: Japanese B encephalitis virus, lymphotic
choriomeningitis virus, Eastern, Western dan Venezuelan equine encephalitis virus), reovirus
(Colorado Tick Fever virus), dan retrovirus (HIV)
Bakterial:
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria monocytogenes, Borrelia burdgorferi
(lyme disease), Tropheryma whippeli (Whipple’s disease), Bartonella hanselae (cat scratch fever),
lepstospira, brucella (khususnya Brucella melitensis), legionella, Salmonella typhii (typhoid fever),
nocardia, actinomyces, Treponema pallidum (meningovascular syphilis) dan seluruh penyebab meningitis
bakterial (piogenik).
Rickettsial:
Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii (endemic typhus)
Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q fever), Erlichia chaffeensis (human
monocytic erlichiosis)
Fungal:
Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American Blastomycosis, candidiasis
Parasitic:
Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gonsii, Nagleria fowleri, Echinococcus granulosus,
schistosomiasis
57
Tabel 3. Penyebab umum ensefalopati
Anoksia/iskemi
Metablik
Defisiensi nutrien
Toksik
Infeksi sistemik
Penyakit-penyakit kritis
Hiperensi malignan
Mitochondrial cytopathy (Reye’s dan MELAS syndrome)
Hashimoto’s encephalophaty
Paraneoplastik
Neuroleptic malignant syndrome
Cedera kepala traumatik
Epilepsi (status non konvulsan)
Perlu pemeriksaan sistematis dan teliti pada pasien (lihat tabel 5)’
Riwayat:
Faktor musim dan geografi
Riwayat migrasi atau bepergian ke luar negeri
Kontak dengan hewan (sebagai contoh: di peternakan) atau gigitan serangga
Status imun
Pekerjaan
Gejala klinis:
Umum: membran mukosa dan kulit, kelenjar getah bening
Neurologis: kortikal fokal, batang otak, gejala otonom
Pemeriksaan penunjang:
Darah (biokimia dan hematologi), foto thoraks
Elektroensefalografi
Computed Tomography, MRI kepala (dengan kontras)
Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT; opsional, tergantung fasilitas yang
ada)
Likuor serebrospinalis: sel, biokimia dan tes diagnostik molekuler (polymerase chain reaction)
58
Biopsi otak (hanya pada beberapa kasus
Riwayat
Riwayat lengkap diperlu karena umumnya pasien ensefalitis sering datang dengan
penurunan kesadaran, disorientasi, delirium, atau bahkan koma. Baik faktor musim dan geografi
menjadi petunjuk penting. Japanese encephalitis yang endemik di negara-negara Asia dan
umumnya terjadi pada musim hujan. Penyakit hewan peternakan menjadi risiko ensefalitis di
komunitas karena hewan merupakan reservoir virus penyebab ensefalitis pada manusia. Pada
tahun 1999 terjadi wabah virus West Nile di New York, didahului dengan kematian burung-
burung kota akibat ensefalitis. 4 minggu setelah wabah ensefalitis pada manusia, ditemukan
flavivirus dari spesimen burung Flaminggo chilean di kebun binatang setempat sebagai
penyebab ensefalitis virus West Nile pada manusia dan burung. Infeksi akibat virus Nipah dan
beberapa virus influenza penyebab ensefalitis diduga terjadi pada area geografi tertentu.
Riwayat bepergian ke luar negeri, gigitan serangga dan kemungkinan kontak dengan
individu yang menderita penyakit infeksi. Keadaan kesehatan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi karena pasien-pasien dengan imunosupresan lebih rentan terhadap ensefalitis
infektif tertentu, misalnya listeriosis, cryptococcus dan cytomegalovirus. Ensefalitis
cytomegalovirus sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV, khususnya neonatus. Onset dan
progresifitas penyakit virus juga merupakan petunjuk etiologi, misalnya tipe bifasik dari infeksi
enterovirus.
Komplikasi neurologis demam berdarah viral sering disebabkan oleh meningitis aseptik dan
perdarahan intraserebral. Rabies merupakan contoh ensefalitis hewan yang memiliki gejala
klinis awal dari Human African Trypanosomiasis (irritabilitas, gangguan tidur dan perubahan
kepribadian). Sulit dibedakan dengan ensefalitis viral dan sering juga dihubungkan dengan
hiperestesia di jaringan lunak, khususnya di Eropa. Selain itu riwayat pekerjaan, misalnya
pekerja hutan yang menghuni geografi tertentu. Sering mengalami Lyme disease atau Kyanasur
Forst Disease
Gejala Klinis
Kemerahan pada kulit sering disebabkan oleh demam Rickettsia, Varisela Zoster, Colorado Tick
Fever. Parotitis dan Erythema nodosum mempunyai hubungan dengan infeksi granulomatous
(tuberkolosis dan histoplasmosis). Selain itu lesi pada membran mukosa sering terjadi pada
infeksi virus herpes sedangkan infeksi saluran pernapasan merupakan penyebab.
b.Pemeriksaan neurologis
Gejala neurologis pada ensefalitis akut tidak menggambarkan penyebab meskipun virus
neurotropik tertentu dapat mengenai area tertentu pada sistem saraf pusat.
Kelainan fokal yang ditemukan adalah hemiparesis, afasia, ataksia, gejala piramidal (refleks
tendon dan respon plantar ekstensor), defisit saraf kranial (okulomotor dan fasial), gerakan-
gerakan involunter (nioklonus dan tremor), dan kejang parsial. Perkembangan gejala klinis
bergantung jenis virus, usia pasien dan status imun pasien. Umumnya pasien yang terlalu muda
atau terlalu tua memiliki manifestasi klinis yang serius. Gejala frontotemporal dengan afasia,
perubahan kepribadian dan kejang fokal merupakan karakteristik dari HSE. Gejala otonom atau
disfungsi hipotalamus dapat terlihat pada ensefalitis akut dengan manifestasi hilangnya kontrol
vasomotor dan suhu (disotonomia), diabetes insipidus dan SIADH.
59
Pemeriksaan Penunjang
a.Umum
Limfositosis relatif pada darah tepi umumnya terjadi pada ensefalitis akut dan bila
ditemukan leukopenia/trombositopenia cenderung pada penyakit Ricketts dan demam berdarah
viral. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada malaria serebral perlu pemeriksaan
darah tepi tebal dan tipis. Monosit darah tepi dapat menunjukkan inklusii sitoplasmik
karakteristik pada pasien Human Monocytic Ehrlichiosis, 10% dari antaranya akan berkembang
menjuadi sindrom meningoensefalitik.
b. EEG
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus ensefalitis akut karena dapat membedakan
ensefalitis fokal dan ensefalopati. Gambaran EEG menunjukkan bentuk gelombang lambat
bihemisfer dan difus. EEG abnormal bervariasi pada HSE, meskipun awalnya perubahan
tersebut bersifat non spesifik (lambat). Pada fase akhir terdapat setengah dari kasus yang
menunjukkan perubahan karakteristik (epileptiform lateralisasi dengan periode 2-3 Hz yang
disebabkan lesi di lobus temporal)
c. Pencitraan
Pencitraan otak saat ini dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis akut, dan
biasanya mendahului pemeriksaan lain. MRI merupakan pencitraan pilihan, meskipun CT
skening juga cukup berarti. Perubahan yang dilihat melalui pencitraan menjadi petunjuk etiologi
infektif spesifik, sebagai contoh perubahan frontotemporal pada HSE dan pendarahan talamus
pada Japanese Encephalitis. Pendarahan kecil dan lesi patognomonik di sistem limbik pada HSE
lebih baik dilihat dengan MRI daripada CT. Pelebaran girus dan meningeal setelah pemberian
Gd-DTPA pernah dilaporkan pada HSE. Pada Eastearn Equine Encephalitis terdapat lesi
diseminata di batang otak dan ganglia basalis.
d. Pencitraan Fungsional
Hiperperfusi bitemporal pada studi aliran darah otak dengan menggunakan technetium
labeled hexamethylpropyleneamineoxime (99m TC-HmPAO) dan single photon emission
computed tomografi (SPECT) dapat mendukung diagnosis HSE. Hiperperfusi lobus temporal
dengan SPECT selebral menggunakan 99m TC-HmPAO merupakan petanda sensitif dari HSE dan
hal ini tetap bertahan saat gejala klinis telah membaik pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan
jika tersedia fasilitas khususnya pada pasien dengan gejala yang relatif sub akut karena MRI
otak pada ensefalitis limbik paraneoplastik dapat menyerupai HSE. Sebuah studi awal tentang
localized 1H1 –Proton magnetic resonance spectroscopy cukup menjanjikan dalam menilai
hilangnya neuron pada HSE.
Pencitraan
- MRI merupakan pencitraan pilihan dan sebaiknya dilakukan segera
- Gambaran MRI dapat menegakkan diagnostik (HSE, Eastearn Equine Encephalitis, Japanese
Encephalitis)
- CT merupakan pilihan jika MRI tidak tersedia
- Skaning dengan SPECT (HrPAO) pada otak merupakan pemeriksaan opsional pada HSE dan
60
memiliki nilai prognostik
EEG
- Dapat membedakan diagnostik differensial ensefalitis dan ensefalopati
- Beberapa perubahan pada EEG dapat bermakna spesifik (misalnya periodic lateralized
epileptiform discharge / PLEDS pada HSE atau gelombang lambat trifasik pada ensefalopati
hepatik)
Ini merupakan pemeriksaan utama pada ensefalitis dan merupakan langkah selanjutnya
dari pemeriksaan pencitraan yang mendukung bahwa pungsi lumbal aman untuk dilakukan.
Meskipunkelainan pada likuor serebrospinalis menunjang diagnosis sindrom meningoensefalitis,
seringkali kelainan tersebut tidak spesifik dan tidak menolong dalam mencari etiologi. Likuor
serebrospinalis pada ensefalitis viral akut umumnya menunjukkan pleositosis limfositik dengan
kadar glukosa normal dan protein yang normal atau meningkat ringan. Profil ini dapat dibedakan
dengan meningitis aseptik. Pleositosis (> limfosit/mm3) dijumpai pada > 95% kasus ensefalitis
viral akut.
Jika tidak dijumpai limfositosis pada LCS dapat dipikirkan etiologi alternatif
(ensefalopati). Dugaan lain adalah kemungkinan sel pada LCS mengalami lisis selama
penyimpanan dan pengiriman yang menyebabkan analisis terlambat dialakukan. Pleositosis LCS
inisial dapat tidak ditemukan pada HSE atipikal. Pasien imunokompromais (contohnya pasien
kanker dengan kemoterapi atau radiasi) sering gagal menimbulkan respon inflamasi. Jumlah sel
melebihi 500/mm3 ditemukan pada 10% kasus ensefalitis viral akut.
Limfositosis yang tinggi pada LCS mengindikasikan kemungkinan meningitis
tuberkulosis, ensefalitis mumps, atau virus yang tidak umum seperti ensefalitis Eastern equine,
ensefalitis California, lymphocytic choriomeningitis virus. Limfosistis atipikal pada LCS
umumnya dijumpai pada EBV, CMV, dan jarang pada ensefalitis HSE. Adanya leukosit PMN
dalam jumlah besar pada LCS setelah 48 jam menunjukkan etiologi meningitis bakterial. Selain
itu hal ini dijumpai pula pada ADEM dan AHLE, meningoensefalitis amoeba primer oleh
Naegleria gowlerii, dan pada enteroviral, echovirus 9, dan ensefalitis virus eastern equine. Lebih
kurang 20% pasien dengan ensefalitis akut mengalami peningkatan sel darah merah (> 500/mm 3)
pada LCS. Hal ini dihubungkan dengan ensefalitis dengan perdarahan dan proses nekrosis (HSE
dan AHLE), meningoensefalitis amoeba primer dan listerial. LCS yang xantokrom dihubungkan
dengan meningitis TB dan jarang dijumpai pada HSE. Namun ada tidaknya sel darah merah atau
xantokrom pada LCS tidak dapat membedakan HSE dari ensefalitis karena penyebab lain.
Penurunan kadar glukosa yang bermakna pada LCS (sebagai rasio dengan glukosa plasma)
jarang terdapat pada ensefalitis viral. Pleositosis limfosit dan penurunan kadar glukosa
merupakan karakteristik dari meningitis TB. Kadar glukosa yang rendah ini juga ditemukan pada
meningitis bakterial lainnnya, jamur, parasit, maupun meningoensefalitis neoplasmatik,
umumnya pada mumps dan ensefalitis virus choriomeningitis, dan jarang terlihat pada akhir
HSE. Membedakan ensefalitis viral dan meningitis TB pada area endemik cukup sulit,
khususnya pada anak-anak karena limfositosis umum terjadi pada kedua keadaan itu dan
pembiakan M tuberkulosis pada LCS sulit didapat. Pada kasus ini disarankan untuk melakukan
pungsi lumbal secara serial ditunjang dengan pencitraan menggunakan kontras (CT/MRI).
61
Tabel 7. Pungsi lumbal pada ensefalitis akut
62
Gejala-gejala Pada Ensefalitis Viral
HSE merupakan meningoensefalitis akut paling sering di dunia barat, dan akan
didiskusikan di bawah ini karena penting dalam klinis. Ensefalitis viral lain yang akan dibahas
adalah ensefalitis pada penderita imunokompromais (ensefalitis CMV) dan ensefalitis zoonotik
kegawatan (Nipah virus ensefalitis).
Ensefalitis CMV
Ensefalitis CMV jarang dijumpai pada subyek normal, namun sering terdapat pada
neonatus dan imunosupresi. Pada sebuah studi otopsi, 12% dari pasien terinfeksi HIV dan 2%
dari penerima transplantasi menderita ensefalitis CMV. Pada pasien dengan imunokompeten,
ensefalitis CMV biasanya self limiting, dengan gejala episode demam dan gejala klinis yang non
spesifik dari meningoensefalitis (sakit kepala, bingung, kejang, disfasia dan koma). LCS
menunjukkan gambaran pleositosis, peningkatan protein ringan dan kadar glukosa normal.
Kasus dimana terjadi bersamaan ensefalitis CMV dan HSV pernah dilaporkan pada penderita
dengan imunokompeten dan imunokompromais. Ensefalitis CMV umum ditemukan pada
penderita terinfeksi HIV, biasanya dalam infeksi CMV sistemik, radikulomielitis CMV, atau
retinitis. Kelainan neurologis yang khas adalah ventrikuloensefalitis dan hampir separuhnya
bersamaan dengan ensefalopati akibat HIV, ensefalitis toxoplasmik atau limfoma sistem saraf
pusat primer.
Gambaran klinis ensefalitis CMV pada imunosupresi umumnya didominasi oleh
kelemahan dan bingung yang dengan cepat dapat menjadi koma atau bahkan meninggal.
Pleositosis PMN pada LCS hanya terdapat pada pasien dengan disertai radikulomielitis dimana
pleositosis umumnya didominasi mononuklear. Kadar protein umumnya tinggi (> 1 gr/L) dan
kultur virus pada LCS negatif pada penderita AIDS dan ensefalitis CMV. Sensitivitas PCR pada
LCS untuk mendeteksi ensefalitis CMV 79% dengan spesifisitas 95%. PCR sebagai alat
diagnostik untuk ensefalitis CMV dianggap terlalu sensitif sehingga dapat mendeteksi CMV
pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menderita ensefalitis.
64
equine), yang membutuhkan vektor. Lebih dari 200 orang terkena di Malaysia dan wabah ini
merusak industri peternakan babi di negara ini. Babi yang terkena meninggal secara mendadak
dan tidak wajar. Pada manusia gejala didahului dengan riwayat kontak langsung dengan babi di
peternakan, masa inkubasi yang pendek (2 minggu), penurunan keasadaran yang cepat, disfungsi
batang otak prominen dan angka kematian yang tinggi. Gejala klinis adalah mioklonus
segmental, arefleksia, hipotoni, dan disotonomia (hipertensi dan takikardi). Penemuan abnormal
pada LCS mencapai 75% kasus, EEG menunjukkan gelombang lambat difus dengan
abnormalitas fokal di daerah temporal (75%), CT scan kepala umumnya normal dan MRI pada
fase akut menunjukkan lesi fokal yang tersebar luas di subkortikal dan area abu-abu.
66
tanpa gejala sisa). Hiperperfusi unilateral persisten pada SPECT juga memiliki prognosis yang
jelek.
Komplikasi yang cukup banyak terjadi pada ensefalitis viral akut adalah peningkatan
tekanan intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion
of antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi
saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut
bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. Epilepsi, anomia persisten,
afasia, defisit motorik dan status amnestik kronik yang sesuai dengan psikosis Korsakoff pernah
ditemukan sebagai gejala sisa HSE berat. Sangat jarang ditemukan gejala neuropsikiatri berupa
sindrom Kluver-Bucy inkomplit pada fase awal penyembuhan HSE. Sindrom ekstrapiramidal
(parkinsonism) juga pernah dilaporkan sebagai gejala sisa pada saat epidemi ensefalitis virus
infuenza, diatandai adanya somnolen-oftalmoplegi dan letargi (ensefalitis letargi atau von
Economo’s disease). Beberapa kasus parkinson pasca ensefalitis dilaporkan pasca ensefalitis
viral sporadik, khususnya ensefalitis Japanese. Hampir sepertiga anak dengan ensefalitis
Japanese meninggal dan 75% anak yang bertahan hidup mengalami sequele neurologis mayor
termasuk retardasi mental, epilepsi, penyimpangan perilaku (kepribadian obsesif kompulsif),
gangguan bicara dan gejala ekstra piramidal. Gejala fatiq persisten dan memanjang, mialgia,
gugup, gangguan konsentrasi dan malaise postexertional juga didapatkan pasca ensefalitis viral
(sindrom fatiq kronik pasca viral).
Kesimpulan
Pada seluruh kasus ensefalitis akut, pemeriksaan yang tepat dan perawatan suportif
merupakan bagian integral dari strategi manajemen. Ketersediaan acyclovir, terapi anti HSV
yang sangat baik pada pengobatan dini telah memperbaiki prognosis klinis dari HSE. Pada
ensefalitis viral non herpes seperti ensefalitis Japanese, prognosis masih belum memuaskan,
meskipun telah ditemukan berbagai antiviral yang baru seperti ribavarin dan pleoconaril.
Beberapa infeksi viral dapat dicegah dengan imunisasi (misalnya mumps, measles, rubella,
ensefaltis Japanese dan rabies). Kendali terhadap vektor dan sanitasi lingkungan merupakan hal
yang penting dalam mencegah wabah ensefalitis arboviral seperti ensefalitis Japanese. Wabah
ensefalitis virus West Nile di kota New York dan ensefalitis zoonotik oleh virus Nipah di
Malaysia telah membuka mata publik bahwa wabah baru yang tidak lazim dan fatal pada hewan
dapat berasal dari atau menyebabkan infeksi baru pada manusia.
Materi Baku
Myelitis
Myelitis Transversa merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi yang
menyilang pada kedua sisi pada satu level atau segmen pada medulla spinalis.
Pengertian myelitia merujuk pada proses inflamasi pada medulla spinalis, sedangkan transversa
dideskripsikan pada posisi inflamasi yang bersilangan pada medulla spinalis.
Serangan pada proses inflamasi pada kerusakan myelin, substansi lemak yang membungkus sel
serabut saraf. Kerusakan ini dapat yang menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf sehingga
dapat mengakibatkan mengganggu komunikasi diantara persarafan pada medulla spinalis dan
proses istirahat dari tubuh.
67
Gejala pada Myelitis Transversa antara lain adalah hilangnya fungsi dari medulla spinalis
lebih dari beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya gejala awal yang muncul adalah nyeri
tulang belakang, kelemahan otonom, sensasi yang abnormal pada jemari kaki dan tungkai yang
sangat cepat dan terkadang dapat menunjukkan gejala yang lebih berat seperti paralisis, retensi
urin, dan hilangnya fungsi kandung kemih. Meskipun pada beberapa pasien sembuh dari
penyakit ini ataupun masih terdapat gejala sisa, gejala permanen ternyata benyak menimbulkan
dampak pada aktivitas hidup sehari-hari. Kebanyakan pasien hanya memiliki satu kali episode
myelitis transversa dan hanya persentase yang sangat kecil saja yang dapat menimbulkan
rekurensi.
Segmen medulla spinalis yang terkena kerusakan dapat menentukan bagian dari tubuh
yang terkena. Regio saraf cervical dapat mengontrol sinyal pada bagian leher, bahu, tangan dan
otot pernafasan ( diafragma). Sedangkan persarafan yang berkaitan pada bagian dada akan
menghantarkan sinyal ke batang tubuh dan beberapa bagian dari bahu. Persarafan pada lumbal
mengontrol sinyal pinggul, pangkal paha dan tungkai. Persarafan bagian sacral mempersarafi
bagian jari, bebrapa bagian dengan tungkai, sebagian pangkal paha.
Myelitis Transversa dapat muncul pada dewasa dan anak-anak, pada kedua jenis kelamin
dan semua ras. Tidak didapatkan faktor predisposisi dari keluarga. Insidensi tertinggi terdapat
pada usia antara 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Meskipun baru beberapa studi yang meneliti rasio
insidensi, Di USA meperkirakan didapatkan 1400 kasus dari myelitis transversa yang didiagnosa
pada setiap tahunnya
Etiologi
Para peneliti masih belum yakin penyebab dari mielitis transversa. Suatu peradangan
yang menyebabkan kerusakan serabut saraf di medula spinalis yang sangat berat dapat terjadi
akibat infeksi virus, reaksi imun abnormal, insufisiensi aliran darah pada pembuluh darah
didaerah medula spinalis. Penyebab lain dari mielitis transversa antara lain akibat komplikasi
sifilis, measles, penyakit lyme, dan beberapa komplikasi vaksinasi rabies dan cacar air. Pada
kasus yang tidak ditemukan penyebabnya disebakan kelainan idiopatik.
Mielitis transversa biasanya berkembang akibat suatu infeksi virus. Agen infeksi
penyebab mielitis transversa diantaranya varicella zooster, herpes simplex, cytomegalovirus,
Epstein-Barr, influenza, echovirus, HIV,hepatitis, rubella. Infeksi kulit yang disebabkan
bacterial, infeksi telinga tengah (otitis media), Mycoplasma pneumoniae.
Pada mielitis transversa paska infeks, mekanisme sistem imun memegang peranan
penting dari penyebab kerusakan pada saraf spinalis. Stimulasi sistem imun sebagai respon
terhadap infeksi mengindikasikan suatu reaksi autoimun yang bertanggung jawab terjadinya
mielitis transversa.
Kasus pada individu yang sudah menderita penyakit autoimun seperti lupus eritematosus
sistemik (LES), sindroma Sjogren, dan sarkoidosis, para peneliti memperkirakan juga bahwa
mielitis transversa juga termasuk suatu kelainan autoimun. Sebagai tambahan, keadaan
keganasan (kanker) dapak menginduksi terjadinya respon imun yang abnormal sehingga terjadi
mielitis transversa.
68
Pada beberapa kasus mielitis transversa dapat disebabkan karena adanya malformasi
arteriovenous atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang dapat menyebabkan
iskemik pada jaringan medula spinalis. Iskemik juga dapat terjadi akibat rupturnya pembuluh
darah di medula spinalis. Kerusakan akibat iskemik ini dapat menyebabkan inflamasi sehingga
terjadi mielitis transversa. Kebanyakan penderita adalah berusia diatas 50 tahun, menderita
penyakit kardiovaskular, atau sebelumnya mengalami operasi di daerah thorakal dan abdomen.
Manifestasi Klinis
Mielitis dapat terjadi akut (berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari) atau
subakut (berkembang dalam 1 hingga 2 minggu). Gejala awal biasanya berupa nyeri lokal di
bagian punggung bawah, parestesi akut (rasa seperti terbakar, geli, tekan, atau kesemutan) pada
kedua tungkai, hipestesi, dan paraparesis. Paraparesis ini dapat berkembang hingga terjadi
keadaan paraplegi. Kelainan berkemih dan disfungsi saluran cerna sering terjadi. Kebanyakan
pasien juga mengeluh perasaan seperti tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan berkurangnya
nafsu makan. Beberapa pasien juga dapat mengalami gangguan pernafasan, tergantung segmen
medula spinalis yang terkena.
Terdapat empat gejala klasik mielitis transversa : (1) kelemahan tungkai dan lengan, (2)
nyeri , (3) gangguan sensoris, (4) disfungsi saluran cerna dan kandung kemih. Berat ringannya
gejala yang timbul sangat bervariasi dari berbagai pasien. Progresivitas penyakit ini dapat
mencapai beberapa minggu hingga terjadi keadaan paraplegi hingga pasien harus menggunakan
kursi roda.
Hampir sepertiga hingga setengah pasien mengalami gejala nyeri. Biasanya lokasi di
bagian punggung bagian bawah berupa rasa nyeri tajam, sensasi seperti tersetrum yang menjalar
ke ujung distal ekstremitas.
Gangguan sensoris yang timbul dapat berupa rasa kebas, kesemutan, rasa dingin atau
terbakar. Hampir 80 % pasien dengan mielitis transversa mengalami hipersensitifitas terhadap
sentuhan, seperti saat berpakaian dan disentuh ringan dengan jari kulitnya pasien merasakan
tidak nyaman dan nyeri (alodinia). Sebagian lain juga mengalami hipersensitifitas terhadap suhu
atau keadaaan yang sangat dingin atau panas.
Masalah kandung kemih dan saluran cerna biasanya berupa urgensi untuk berkemih atau
pergerakan saluran cerna, inkontinensia, kesulitan berkemih, rasa seperti masih ada sisa setelah
berkemih, dan konstipasi.
Penegakan Diagnosis
Bila pada pemeriksaan penunjang tidak ditemukan penyebab spesifik dapat dikatakan
sebagai mielitis transversa idiopatik.
Tatalaksana
Kebanyakan suatu kelainan yang terjadi pada medula spinalis, belum ada terapi yang
efektif untuk menyembuhkan kelainan tersebut. Terapi yang diberikan untuk mengatasi gejala
yang timbul dan tergantung dari berat ringannya penyakit. Terapi diberikan pada awal gejala
timbul. Kortikosteroid biasanya diberikan pada satu minggu pertama untuk mengurangi efek
inflamasi dan mengurangi aktivitas sistem imun. Steroid yang diberikan dapat metil prednisolon
atau deksametason. Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri dan tirah baring pada hari-hari
awal minggu setelah onset gejala.
Initial terapi yang penting sebenarnya yaitu menjaga fungsi dari anggota gerak tubuh
(fisioterapi) dengan harapan terjadi penyembuhan yang komplit ataupun parsial dari sistem
saraf. Fisioterapi yang diberikan akan menjaga otot tetap fleksibel dan kuat, dan untuk
mengurangi terjadinya dekubitus pada pasien yang imobilisasi.
Pada kasus yang mengalami defisit neurologis yang permanen, fisioterapi dengan tim
termasuk pekerja sosial, psikiater, terapis fisik, terapis okupasional, dan terapis vokasional tetap
membantu rehabilitasi pasien agar pasien tersebut dapat hidup setidaknya mandiri sehingga
meningkat kualitas hidupnya.
Prognosis
Pengurangan gejala yang timbul akibat mielitis transversa biasanya terjadi 2 hingga 12
minggu setelah onset gejala dan dapat terjadi hingga 2 tahun. Bila tidak terjadi perbaikan gejala
dalam 3 hingga 6 bulan pertama, kesembuhan biasanya tidak terjadi. Hampir sekitar sepertiga
pasien dengan mielitis transversa mengalami perbaikan atau kesembuhan gejala yang timbul.
Sepertiganya lagi mengalaimi perbaikan minimal dan mengalami defisit neurologis yang nyata
seperti spastic gait, disfungsi sensoris, urgensi atau inkontinensia. Sepertiganya lagi tidak
mengalami kesembuhan sama sekali, dimana merekan tetap di kursi roda atau berbaring di
tempat tidur, tergantung terhadap orang lain untuk aktivitas hidup sehari-hari tertentu. Suatu
penelitian mengatakan onset yang cepat suatu gejala secara umum menunjukkan prognosis yang
buruk.
70
NEURO-AIDS
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih : Alat bantu : sarung tangan, tutup mulut dan alat-alat lumbal punksi
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KOMPETENSI
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi oportunstik ke otak mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menjelaskan aspek masuknya HIV ke otak
Menguasai mekanisme terjadinya infeksi oportunistik ke otak
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi oportunistik ke otak
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi oportunistik ke otak
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi oportunistik ke otak
dan obat anti retroviral
Menngetahui infeksi oportunistik ke otak karena toksoplasma, kriptokorkus,
tuberkulosis, dan limfoma primer susunan saraf pusat
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
oportunistik secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning).
71
Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang dasar-dasar
HIV sampai terjadi infeksi oportunistik, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
Contoh kasus
Kasus 1
Seorang laki-laki selalu berobat teratur ke pokdiksus dengan HIV dan sejak sebelum pemberian
obat antiiretroviral sering mengeluh kesemutan. Akhor2 ini setelah teratur makan obat penderita
meneluh kesemutan seluruh ekstremitas yang semakin berat setiap hari. Sudah mendapat
virtamin tetapi keluhan tidak kunjung hilang. Setelah itu dikonsulkan ke bagian neurologi. Pada
pemeriksaan didapatkan , kesadaran kompos mentis, refleks fisiologi di seluruh ekstremitas
menurun,
Tidak ada refleks patologi. Dilakukan pemeriksaan NCV/EMG terdapat tanda-tanda ineuropati
perifer
Kasus 2
Seorang laki mengeluh sering lupa bila meletakkan kunci, topi atau barang-barang lain. Padahal
sebelumnya tidak demikian. Penderita mengatakan bahwa ia adalah seorang pengguna narkoba
suntik yang sudah lama berhenti, ia diketahui seminggu yang lalu menderita HIV, diperiksa
karena sering seriawan yang tidak sembuh-sembuh.Pada pemeriksaan Neurologi, kompos
mentis, gangguan memori baru, MMSE dibawah rata-rata
Kasus 3
Seorang laki laki sia 26 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sebelah kiri lumpuh secara
bertahap. Penderita serang oemakai narkoba sebelumnya, tetapi sudah berhenti sejak 6 tahun
yanglalu. Malahan sekarang dikenal sebagai penceramah tentang bahaya narkoba untuk generasi
muda.Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala hebat. Pada pemeriksaan fisik
neurologis di dapatkan: Kesadaran kompos mentis, tanda rangsang meningeal -,parese N fasialis
dan n. Hipoglossus. Selain itu ditemuakan juga hemiparesis kiri, terleks fisiologi sebelah liri
meningkat, refleks patologi+/-. Pada pemeriksaan CT Sken otak tampak lesi multipel dengan
penyangatan cincin. Telah dilakukan terapi penyakitnya , disusul pemberian ARV
Kasus 4
Seorang laki-laki , seorang penderita HIV datang da pemeriksaan neurologi penderita tampak
sakit berat menekan-nekan kepalanya kadang dibenturkan ke dinding, kompos mentis,
pergerakan bola mata baik, tidak ada papil edema.
Pada CT sken kepala normal, dilakukan LP. Dengan pemeriksaan Tinta india + jamur,
kultur +, serologi +. Pada penderita dilakukan Lumbal punksi terapeutik
Diskusi
1. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS dapat menyebabkan
kesemutan dan baal di ekstremitas
2. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan
demensia
3. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan
penurunan kesadaran, hemiparesis, dan tanda peninggian intrakranial
4. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan sakit
kepala hebat, dan batuk-batuk
72
Tujuan pembelajaran
a. Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga
memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada
penderita
memberitahu tentang penularan penyakit
memberitahu bahwa pengobatan akan berlangsung lama
b. Mengetahui mekanisme masuknya virus HIV ke otak
mengetahui proses menumpang virus ke limfosit masuk menembus sawar darah otak
mengetahui proses terjadinya destruksi neuron
c. Mengetahui cara diagnostik infeksi langsung dengan tes fungsi luhur, pemeriksaan
klinik, dan EMG/ Evoke potensial
melakukan tes fungsi luhur, pemeriksaan klinik, EMG /Evoke potensial tersebut
menjelaskan tentang kegunaan tes dan pemeriksaan
d. Mengetahui cara diagnosis infeksi opurtunistik dan jenis-jenisnya
mengetahui presumtif diagnosis toksoplasmosis serebral
mengetahui diagnosis kriptokokkosis serebral
mengetahui diagnosis tuberculosis dengan HIV
memperkirakan kemungkinan diagnosis limfoma primer
e. Mengetahui manajemen umum komplikasi neurologi AIDS
mengetahui manajemen penurunan kesadaran
mengetahui manejemen nyeri kepala
termasuk indikasi lumbal punksi
mengetahui manajemen kejang
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus HIV
mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS
mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita
g. Mengetahui cara dan waktu pem berian terapi ARV
mengetahui waktu pemberian anti retroviral (ARV)
mengetahui jenis obat ARV dan efek samping dapat mengatasi efek samping yang timbul
akibat pemberian ARV
h. Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium
melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi
melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan
mengirimkan ke laboratorium yang sesuai
i. Mengetahui terapi infeksi langsung dan tidak langsung
melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis
memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai
j. Melakukan konsultasi dengan bidang terkait
melakukan konsultasi dengan peyakit dalam
melakukan konsultasi dengan ilmi kesehatan kulit
melakukan konsultasi dengan ilmu kesehatan mata
Metode Pembelajaran
73
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai berjalan
seperti diseret terutama anggota gerak sebelah kiri pasien, demam dirasakan hilang timbul, tidak
disertai kejang. Pasien saat masa sekolah pernah menggunakan narkoba suntik dan sering
bergantian dengan teman sesama pemakainya.
74
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, CD 4,
tes HIV
Pemeriksaan foto thoraks
Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras
f. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Diskusi
1. Apakah penurunan kesadaran terjadi pada infeksi oportunistik HIV
2. Apakah hemiparesis terjadi pada infeksi oportunistik HIV
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
4. Apakah terapi antiretroviral diberikan segera atau setelah berapa lama pengobatan
oportunistik
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
PENUNTUN BELAJAR
Materi Baku
Neuro AIDS
Pendahuluan
Para ahli memperkirakan jumlah penderita HIV di Indonesia saat ini antara 130.000 –
140.000 orang.(1) Selama lima tahun terakhir terjadi peningkatan penderita HIV secara
bermakna terutama pada pengguna narkoba suntik. Prevalensi HIV pada penderita yang dirawat
di Rumah Sakit Ketergantungan Obat ( RSKO ) di Jakarta adalah 18 % pada tahun 1999, 40 %
pada tahun 2000 dan 48 % tahun 2001.(2) Prevalensi HIV positif pada pengguna narkoba suntik
di Indonesia diperkirakan antara 50 – 90 %.(3) Prevalensi HIV juga meningkat secara bermakna
di kalangan pekerja seks, pada tahun 2003 di Jakarta Utara 3,36 %, Jawa Barat 5,5 % dan di
Merauke 26,5 %.(2)
Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus
tersebut dan tidak langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara
barat melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30 – 70 % penderita HIV, bahkan
terdapat laporan neuropatologik yang mendapatkan kelainan pada 90 % spesimen posmortem
dari penderita HIV yang diperiksa.(4) Spektrum penyakit neurologik pada HIV dapat dilihat
pada tabel 1.(5)
Saat ini infeksi HIV merupakan penyebab tersering infeksi intrakranial yang dirawat di
departemen neurologi RSCM. Periode Januari – April 2004 terdapat 44 penderita di bagian
neuro infeksi, 26 penderita ( 60 % ) didapatkan serologi HIV positif.(6) Diagnosis pada
penderita tersebut adalah ensefalitis toksoplasma ( 8 penderita ), tuberkuloma otak ( 1
penderita ), meningitis purulenta ( 2 penderita ), Stroke ( 2 penderita ), ensefalitis CMV ( 1
penderita ) dan klinis meningoensefaltis yang etiologinya tidak jelas ( 12 orang ). Pada saat
tulisan ini dibuat terdapat dua kasus HIV dengan meningitis kriptokokus sedang dirawat di
departemen neurologi. Diagnosis dibuat berdasarkan kultur dan tinta india. Selain itu identifikasi
meningitis cryptococus melalui pemeriksaan tinta india dan serologi juga pernah dilaporkan di
RSCM pada tahun 2003.(7) Angka kematian komplikasi neurologi infeksi HIV di RSCM pada
saat ini masih cukup tinggi, yaitu 58 %.(6)
Anti retroviral terbukti efektif menekan jumlah virus dalam peredaran darah sisitemik.
Penggunaan obat ini mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan penderita HIV.(4)
76
Tabel 1. Manifestasi neurologi HIV
Blood
78
Neuronal Damage
monocytes
Blood
Blood brain barrier
macrophages astrocyte
microglial
neuron
Infeksi Sitomegalovirus
Merupakan penyakit mematikan yang sering dijumpai pada penderita HIV. Manifestasi
sitomegalovirus pada penderita HIV tersering adalah retinitis sitomegalovirus kemudian diikuti
oleh gangguan pada saluran cerna pada urutan kedua dan manifestasi neurologi pada urutan
selanjutnya (15)
Dokter dengan pemeriksaan neuro-oftalmologi dapat membantu menemukan kasus
retinitis sitomegalovirus yang banyak menyebabkan kebutaan, karena funduskopi juga banyak
dilakukan oleh dokter saraf. Pemeriksaan funduskopi secara rutin sebaiknya dilakukan pada
penderita HIV dengan jumlah sel CD 4 dibawah 100 sel/L.(16)
Gambar 2. Retinitis sitomegalovirus Gejala klinis retinitis sitomegalovirus adalah
penurunan tajam penglihatan, gangguan lapangan
pandang dan melihat benda-benda yang bergerak pada
lapangan penglihatan ( floaters ).(16) Retinitis
sitomegalovirus merupakan hemorrhagic necrotizing
retinitis seperti terlihat pada gambar 2.(17)
Sumber : Whitcup SM
80
Manifestasi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat dapat terjadi pada otak, medula
spinalis dan saraf tepi. Presentasi klinik yang sering dijumpai adalah ensefalitis,
meningoensefalitis, lesi desak ruang, ventrikuloensefalitis, mielitis transversa, poliradikulitis
progresif dan mielopoliradikulitis. Diagnosis infeksi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat
tidak mudah dibuat. (18) Diagnosis hanya dapat tegak berdasarkan gambaran klinik yang
disokong oleh imajing dan pemeriksaan marker virus.
Gejala klinis ensefalitis sitomegalovirus tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakterial maupun virus lainnya yang awitannya subakut. Pada ensefalitis sitomegalovirus
dapat dijumpai gangguan kognitif yang progresif disertai dengan kelemahan motorik dan
defisit sensorik yang dapat disertai kelumpuhan saraf kranial, ataksia, hemiparesis dan
hemianopia.(18) Oleh karena awitannya yang bersifat subakut keadaan ini menyerupai
demensia HIV.
Poliradikulopati-progresif karena sitomegalovirus memperlihatkan gejala sindroma
kauda-equina. Keadaan ini berkembang selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Biasanya dimulai dengan kelemahan pada kedua tungkai yang kemudian diikuti oleh saddle
anesthesia dan inkontinensia urin.(19)
Gambar 3. Ventrikulitis sitomegalovirus Penyangatan pada daerah
periventrikular ( Owl’s eyes )
merupakan gambaran yang khas untuk
ventrikulitis karena sitomegalovirus,
gambar 3 (20) tetapi frekuensi
ventrikulitis jarang ditemukan.
Manifestasi infeksi sitomegalovirus di
otak yang lebih sering dijumpai adalah
ensefalitis, namun tidak ada gambaran
sken maupun MRI yang spesifik.(18)
Sumber: Rubin
Pada pemeriksaan cairan serebro spinal dapat dijumpai peningkatan sel dan protein
dan penurunan glukosa seperti infeksi virus dan bakteri lain.
Pemeriksaan antigen sitomegalovirus dengan dari cairan serebro spinal sangat
membantu penegakan diagnosis. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais pemeriksaan ini dapat
dilakukan. Pemeriksaan serologik lainnya seperti IgG dan IgM sitomegalovirus tidak bersifat
spesifik.(18)
Gansiklovir 5 mg/KgBB dua kali sehari secara parenteral diberikan dapat diberikan
selama 14 – 21 hari sebagai terapi induksi untuk infeksi CMV pada sistim saraf. Setelah itu
dapat dilanjutkan terapi rumatan menggunakan dosis 5 mg/KgBB sekali sehari.(18) Terapi
rumatan dianjurkan diberikan sampai CD 4 lebih dari 100 sel/L. Sebaiknya sewaktu
menggunakan obat ini harus diingat harga yang mahal dan efek samping yang berat terhadap
sistim hematopoetik dan ginjal.
81
Ensefalitis Toksoplasma (ET)
ET di jumpai pada 30 - 50 % penderita HIV dengan lesi massa intrakranial.(21) Kasus
ET yang didiagnosis berdasarkan imajing dan serologi dijumpai pada 30,7 % penderita HIV
yang dirawat di departemen neurologi.(6) Mungkin angka ini lebih rendah dari yang semestinya
karena pemeriksaan imajing dan serologik toksoplasma hanya dapat dilakukan pada sebagian
kecil penderita.
ET biasanya dijumpai pada penderita HIV dengan kadar CD 4 dibawah 200 sel/L.(22)
Banyak kasus ET pada penderita AIDS terjadi karena reaktivasi dari infeksi laten yang
sudah ada sebelumnya. Gambaran klinik biasanya subakut berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri kepala disertai demam. Defisit
neurologi fokal, dengan manifestasi hemiparesis, ataksia, defisit saraf kranial dan gangguan
lapangan pandang merupakan kelainan neurologi yang dapat dijumpai disertai kesadaran
menurun dan tanda peningkatan tekanan intrakranial. (8,21) Gejala lain yang juga dapat
ditemukan adalah kejang, gejala mirip parkinson dan korea-athetosis.
Pemeriksaan imajing memperlihatkan lesi otak multipel dengan cincin atau penyangatan
homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan di sekitarnya. Lesi ini dapat dijumpai pada
bagian superfisial, yaitu pada daerah cortico-medullary junction dan lokasi yang lebih dalam
misalnya di daerah basal ganglia dan thalamus.(8) MRI lebih superior dibanding dengan CT
sken dalam memperlihatkan lesi fokal pada ET, namun dalam praktek sehari-hari CT sken lebih
mudah terjangkau. Pada kasus-kasus yang meragukan dapat digunakan MRI dan bahkan MR
Spektroskopi untuk membedakan lesi toksoplasma dengan lesi lainnya seperti limfoma secara
lebih akurat.
Pemeriksaan serologi sangat penting dalam diagnosis ET. Bila dijumpai serologi IgG
toksoplasma negatif, peluang ET menjadi sangat berkurang walaupun dalam kepustakaan
keadaan itu dapat saja terjadi pada penderita HIV dengan defek imunitas yang berat. Di RSCM
titer IgG toksoplasma yang dianggap positif bila lebih besar dari 300 IU/ml.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak. Pemeriksaan biopsi terutama dianjurkan
untuk kasus-kasus dengan pemeriksaan imajing yang tidak jelas atau pada keadaan terapi
presumtif menunjukkan kegagalan.
Nilai CD 4 penderita HIV dengan gambaran imajing dan hasil serologi sudah cukup
sebagai dasar untuk memulai terapi presumtif. Terapi ini dilakukan selama 2 minggu. Perbaikan
klinis dapat dilihat dalam 1 – 2 minggu, sedangkan perbaikan gambaran imajing dapat terlihat
pada 4 – 6 minggu.(23)
Menurut kepustakaan terapi ET yang efektif terdiri dari pirimetamin 50 – 75 mg per hari
disertai dengan Sulfadiazin 100mg/KgBB/hari.(24) Mengingat efek samping kedua obat tersebut
adalah supresi sistim hemapoetik maka perlu ditambahkan folinic acid 10-20 mg per hari. Di
Jakarta tidak mudah untuk mendapatkan regimen seperti yang disebutkan diatas, oleh karena itu
terapi ET di RSCM dipakai fansidar dan klindamisin. Dosis fansidar 2 – 3 tablet per hari dan
klindamisin 4 X 600 mg per hari disertai dengan leukoverin 10 mg per hari. (fansidar
mengandung pirimetamine 25 mg + sulfadoksin 500 mg ). Untuk terapi pencegahan
kekambuhan maupun terapi profilaksis pada penderita AIDS dapat diberikan kotrimoksazol
dosis dewasa 2 tablet per hari.
82
Gambar 4a. Gambar 4b. Gambar 4c. Gambar 4d
Gambar 4. Seorang penderita wanita 23 tahun HIV positif di RSCM
dengan keluhan sakit kepala dan demam. Gambar 4a, CT scan tanpa
kontras saat penderita baru masuk dalam perawatan. Gambar 4b, 4c dan
4d, MRI beberapa hari kemudian memperlihatkan lesi multiple yang
menyangat kontras yang sebelumnya tidak terlihat pada CT scan. Gambar
4e. CT scan lima bulan kemudian setelah terapi toksoplasma.
Gambar 4e.
Meningitis Kriptokokus
Angka kejadian meningitis kriptokokus pada penderita HIV di Indonesia belum
diketahui. Penelitian di Thailand melaporkan prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV
sebesar 18,5 %.(25)
Awitan meningitis kriptokokus bersifat subakut berlangsung selama 2 – 4 minggu
dengan gejala sakit kepala, demam, kesadaran menurun, perubahan kepribadian dan gangguan
memori. Suatu penelitian di Zimbabwe pada 89 penderita meningitis kriptokokus mendapatkan
gejala sakit kepala 96 %, demam 51 %, muntah 41 % dan kaku kuduk 48 %.(26)
Frekuensi peningkatan tekanan intrakranial pada meningitis kriptokokus terhitung tinggi
seperti pada penelitian Graybill dkk yang melaporkan pada 53 % penderita dijumpai tekanan
cairan serebro spinal ( CSS) diatas 250 mmHg.(27) Tekanan intrakranial tinggi ini akan
menimbulkan gangguan penglihatan dan pendengaran. Dari penelitian yang sama didapatkan
data yang menarik yaitu, ternyata pada kelompok dengan tekanan CSS diatas 250 mmHg hanya
dijumpai papil edema pada 26 % penderita dan tidak satupun memperlihatkan gambaran imajing
hidrosefalus obstruktif.
Pemeriksaan imajing tidak memberikan gambaran yang khas. Pada pemeriksaan
neuroradiologi dapat dijumpai gambaran edema serebri, lesi fokal, atrofi, hidrosefalus dan
penyangatan pada meningen ( meningeal enhancement ).(8,28) Pada pemeriksaan foto torak
dapat dijumpai gambaran kriptokokosis paru.
Pemeriksaan analisis CSS biasanya dijumpai sedikit peningkatan sel, peningkatan protein
yang moderat dan penurunan glukosa. (27,28) Pemeriksaan sedian langsung CSS dengan
pewarnaan tinta India memberikan hasil positif pada 75 % kasus.(28) Pada gambar 5 dapat
dilihat identifikasi kriptokokus dengan tinta india.
83
Gambar 5. Preparat tinta india kriptokokus
84
Kesimpulan
Terjadi peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia, demikian pula komplikasi
neurologi yang menyertainya baik langsung atau infeksi oportunistik. Tetapi sejak ditemukan
ARV yang efektif mensupresi virus dalam darah penderita HIV, maka terjadi penurunan angka
kematian dan kesakitan disertai meningkatnya usia harapan hidup
Sehingga makin bertambah panjangnya umur penderita HIV maka diperkirakan dimasa
datang akan banyak kita jumpai penderita HIV yang datang dengan problem neurologi.
Penyakit HIV saat ini dianggap merupakan penyakit kronik yang dapat di tatalaksana
dengan baik. Oleh karena itu pengetahuan tentang patofisiologi, diagnosis dan terapi HIV
menjadi sangat penting dipahami oleh komunitas dokter saraf.
85
JALUR KLINIS PENDERITA HIV (+) DENGAN INFEKSI SSP DI RSCM
Dokter Jaga :
Anamnesis
Nyeri Kepala
Penurunan Kesadaran
Kejang
HIV (+), CD4 < 200
Pemeriksaan Fisik
Terapi/tindakan emergensi resusitasi
+ -
Perbaikan
Gagal Terapi
86
CRYPTOCOCCAL MENINGITIS
GEJALA KLINIS
TERAPI KHUSUS
Demam, sakit kepala, mual dan muntah dan disfungsi Terapi akut:
kognitif Amphoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari IV
LCS: kultur Cryptococcus neoformans (+) atau tes dibagi 4 dosis selama 2 minggu diikuti
antigen cryptococcal LCS dengan flukonazole 400 mg/hari PO
Kultur darah Cryptococcus seringkali (+) dan Ag sampai lengkap 10 minggu pemberian
Cryptococcal serum sangat sensitif Terapi akut sebaiknya dilanjutkan sampai
Neuroimaging: CT atau MRI biasanya normal atau LCS steril
memperlihatkan abnormalitas nonspesifik
Pemeliharaan jangka panjang
Flukonazole 200 mg/hari PO
KEPUSTAKAAN
87
12. Wesselingh SL, Thompson KA. Immunopathogenesis of HIV-associated dementia.
Current Opinion in Neurology 2001,14:375-379.
13. Sacktor N. The epidemiology of human immunodeciency virus associated neurological
disease in the era of highly active antiretroviral therapy. J NeuroVirology
2002;8(suppl.2):115-121.
14. American Academy of Neurology AIDS Task Force. Nomenclature and research case
definition for neurologic manifestations of human immunodeficiency virus-type 1 (HIV-1)
infection. Neurology 1991;41:778-785.
15. Ives DV. Cytomegalovirus disease in AIDS. AIDS,1997;11(15)1791-1797.
16. Moraes HV. Ocular manifestations of HIV/AIDS. Current Opinion in
Opthalmology,2002;13(6)397-403.
17. Whitcup SM. Ocular Manifestations of AIDS. JAMA,1996;275:(2)142-144.
18. Maschke M,Kastrp O,Diener H-C. CNS Manifestations of Cytomegalovirus Infections:
Diagnosis and Treatment. CNS Drug,2002;16(5):303-315.
19. Verma A. Epidemiology and clinical features of HIV-1 associated neuropathies. J
Peripher Nerv Syst. 2001;6(1): 8-13.
20. Rubin DI. Owl’s eyes of CMV ventriculitis. Neurology,2000;54:2217
21. Skiest DJ. Focal Neurological Disease in Patients with Acquired Immunodeficiency
Syndrome. Clinical Infectious Diseases 2002; 34:103-115.
22. Belanger F, Derouin F. Incidence and Risk Factors of Toxoplasmosis in a Cohort of
Human Immunodeficiency VirusInfected Patients : 1988-1995. Clinical Infectious
Diseases 1999;575-581
23. Jannis J, Imran D. SOP Komplikasi Neurologi pada HIV. Subbagian Neuroinfeksi
FKUI/RSCM 2003.
24. Duval X, Leport C. Toxoplasmosis in AIDS. Current Treatment Options in Infectious
Diseases 2001;3:113-128
25. Chariyalertsak S, Sirisanthana T,1 Saengwonloey O, Nelson KE. Clinical Presentation and
Risk Behaviors of Patients with Acquired Immunodeficiency Syndrome in Thailand,
1994-1998: Regional Variation and Temporal Trends.
26. Heyderman RS, Gangaidious zo IT, Hakim JG. Cryptococcal Meningitis in Human
Immunodeficiency Virus - Infected Patients in Harare, Zimbabwe. Clinical Infectious
Disease. 1998; 26:284-9
27. Graybill JR, sobel J, Powderly W. Diagnosis and Management of Increased Intracranial
Pressure in patients with AIDS and Cryptococcal meningitis. Clinical Infectious Disease
2000;30;47-54
28. Houff SA. Cryptococcal Meningitis. Neurobase Compact Disk Second 1998 edition.
Arbor Publishing Corp.
29. Djauzi S. Mengenal Terapi Antiretroviral. Jakarta: Pokdisus AIDS FKUI-Yayasan Pelita
Ilmu, 2003;7-8.
30. World Health Organisation. The Use of Antiretroviral Therapy: A Simplified Approach
for Resource-Constrained Countries. Regional Office for South East Asia, New Delhi June
2004.
88
SPONDILITIS
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana spondilitis mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 : clinical practice session diskusi kasus
spondilitis dan mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clnical practice session
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya spondilitis
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis spondilitis
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan spondilitis
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada spondilitis
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada spondilitis
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen spondilitis
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya infeksi susunan
saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
89
Contoh kasus
Wanita usia 24 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kedua
tungkainya sejak 1 bulan terakhir. Keluhan diawali dengan riwayat nyeri seperti terikat pada
bagian perut dan dada pasien, keluhan kadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi, terutama
malam hari dan disertai penurunan berat badan, kemudian keluhan dirasakan memberat hingga
pasien mengeluh tungkainya berjalan terasa berat hingga 1 bulan terakhir kesulitan berjalan.
Lebih kurang 6 bulan terakhir pasien menjalai terapi pengobatan TB paru, dan tidak teratur
pengobatannya
Diskusi
1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ?
2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami
kelemahn ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk
melakukan pengobatan segera?
4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan
diagnosis?
5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau
sebelum punksi lumbal?
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi anatomi dan
diagnosa banding.
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi
berdasarkan usia, empiris.
Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik spondilitis
b. Mengetahui penyebab spondilitis
Mengetahui penyebab spondilitis
Mengetahui anatomi tulang dan medula spinalis
Mengetahui jenis bakteri, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
spondilitis
Mengetahui farmakologi obat dan efek samping
c. Menjelaskan epidemiologi spondilitis
Mengetahui penyebab spondilitis
Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang terjadi
mengetahui farmakologi OAT dan efek samping
d. Mengetahui komplikasi
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada spondilitis
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
Antisipasi kelainan otonom
90
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
Mengetahui interpretasi pemeriksaan rontgen polos vertebra
Mengetahui kelainan khas dan interpretasi CT Scan dan MRI vertebra
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebral, CT Scan dan MRI torak
dan lumbal
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
91
Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba
Punggung daerah thorakal teaba gibus, tidak terasa nyeri
Ekstremitas tidak ada edema
Status neurologis
Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5
Status mental : dalam batas normal
Tanda rangsangan meningeal negatif
Pupil isokor, refleks positif/positif
Nervi kranialis : paresis (-)
Motorik : paraparesis inferior, spastis
Sensorik hipestesi setinggi thorakal VII kebawah
Refleks fisiologis +++/+++
Refleks patologis -/-
Klonus +/+
Saraf otonom : retensi urin
h. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Diskusi
1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ?
2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami kelemahn ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan
segera?
4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau sebelum punksi
lumbal ?
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik/neurologis
3. Diagnosis banding
4. Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
5. Pemeriksaan penunjang
6. Sistem rujukan
b. Penilaian kompetensi
1. Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
92
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
93
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
REFERENSI
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
94
MATERI BAKU
Spondilitis Tuberkulosis
Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau penyakit Pott telah terdokumentasi pada mumi dari
Mesir dan Peru dan merupakan penyakit tertua yang diketahui pada manusia. Pada tahun 1779,
Percivall Pott menggambarkan deskripsi klasik dari tuberkulosis spinal. Sejak penemuan obat
anti tuberkulosis, tuberkulosis tulang belakang mulai jarang ditemukan di negara maju, namun
masih banyak ditemukan di negara berkembang.
Dari seluruh kasus TB 17,9%-19.4% adalah kasus ekstra pulmonal, dimana 11%nya
melibatkan osteoartikuler.
Spondilitis TB pada orang dewasa biasanya merupakan infeksi sekunder dengan fokus
infeksi di tempat lain dan tidak selalu berasal dari paru. Banarjee dan Tow menemukan 31% dari
499 pasien spondilitis TB menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan rontgen paru, dimana
78%nya adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya menunjukkan hasil negatif. Pada orang
dewasa fokus primer dapat juga berasal dari usus, ginjal dan tonsil.
Karena distribusi suplai arteri vertebralis, tulang vertebra yang berdekatan dapat terkena.
Perubahan tulang terlihat dalam 2 hingga 5 bulan setelah infeksi. Biasanya bagian subkondral
dari korpus vertebra terkena. Bila bagian anterior dan lateral korpus yang terkena maka akan
mengakibatkan terjadinya kifosis dan gibus. Bila bagian posterior korpus yang terkena
mengakibatkan kavitasi dan massa ekstradura. Selain itu didapatkan penyebaran limfogen yang
berasal dari tuberkulosis ginjal yang tidak bermanifestasi.
Tuberkulosis menyebar dari fokus tulang belakang melalui penyebaran langsung melalui
ruang diskus. Bola abses paravertebral terbentuk, penyakit kemudian menyebar melalui
ligamentum longitudinalis anterior/posterior hingga ruang pleura. Abses dapat juga menyebar
melalui fasia menimbulkan abses psoas atau menyebar ke posterior membentuk abses ekstradura.
95
intradural oleh jaringan granulasi dan kompresi dari pecahan tulang yang hancur, destruksi
diskus intervertrebralis, atau dislokasi tulang vertebra. Penyebab yang jarang adalah insufisiensi
vaskuler arteri spinalis anterior. Kelainan neurologi ini dapat terjadi pada semua stadium
spondilitis dan bahkan terjadi bertahun-tahun setelah pengobatan akibat tarikan medula spinalis
di dalam kanalis spinalis yang mengalami deformasi.
Nyeri lokal memiliki karakteristik dalam, membosankan, dan seperti pegal (deep, boring,
aching). Nyeri ini dibangkitkan oleh stres mekanik pada vertebra. Tirah baring biasanya dapat
mengurangi nyeri. Nyeri lokal timbul sebagai akibat dari iritasi pada vertebra pada bagian yang
memiliki persarafan (periosteum, ligamen, duramater, apophiseal joint) dan struktur-struktur
penunjuangnya.
Nyeri radiluker ditimbulkan oleh iritasi dorsalis dan disroyeksikan sesuai dengan
distribusi dermatom. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditembak/ditikam. Nyeri bertambah berat
dengan aktifitas yang meningkatkan kompresi pada nervus ataupun menimbulkan regangan pada
radiks seperti batuk, bersin, hiperekstensi tulang belakang.
Kompresi medula spinalis oleh paraspinal abses ataupun korpus vertebra yang kolaps
dapat menimbulkan kelainan neurologis. Gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung pada
level dari medula spinalis atau radiks yang terkompresi. Kelainan neurologis ditemukan pada
13% pasien, dapat berupa paraparesis (66%), gangguan sensorik (34%) dan gangguan otonom
(31%). Defisit neurologis dapat muncul segera setelah infeksi terjadi.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan deformitas dari tulang belakang (gibus) yang disertai
spasme otot disekitarnya dan nyeri tekan. Pergerakan menjadi terbatas. Dapat pula ditemukan
massa di pangkal paha, paha ataupun panggul. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan
defisit neurologis sesuai dengan kompresi medula spinalisnya.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan LED, dan tuberkulin tes positif. CRP
yang meningkat menunjukkan telah terbentuk pus (abses). Mantoux test biasanya positif (84-
95%), namun hal ini hanya menunjukkan riwayat pernah terpapar TB. Selain itu juga
pemeriksaan ini juga tidak spesifik karena pada orang-orang yang pernah terinfeksi
mycobakterium non tuberkulosis juga akan memberikan hasil yang positif. Kultur sampel urin
pagi positif bila ada tuberkulosis renal. Pemeriksaan sputum positif hanya bila infeksi akut paru-
paru. Pemeriksaan laboratorium yang memastikan penyakit adalah kultur positif dari hasil biopsi
lesi vertebra.
96
X Foto rontgen
Foto polos vertebra menunjukkan gambaran destruksi korpus vertebra terutama di bagian
anterior, kolaps vertebra, diskus intervertebra menyempit atau bahkan hancur. Juga gambaran
abses paravertebra, berupa bayangan di daerah paravertebra.
Imejing
Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) menunjukkan gambaran tulang, jaringan
lunak sekitar vertebra dan dalam kanalis dengan lebih jelas. CT Scan dapat mendeteksi
kerusakan tulang yang baru timbul serta lebih efektif untuk melihat bentuk tulang dan kalsifikasi
abses paravertebra yang merupakan gambaran klasik dari penyakit Pott.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) merupakan pilihan pencitraan karena dapat melihat baik
tulang maupun jaringan lunak yang terkena dan penyebaran di bawah ligamentum longitudinal
anterior dan posterior, juga dapat membedakan antara tuberkulosis dan piogenik.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ditujukan untuk eradikasi infeksi, mencegah atau memperbaiki defisit
neurologi dan deformitas tulang belakang. Penatalaksanaan primer adalah medikamentosa. US
CDC dan British Medical Research Council merekomendasikan kombinasi OAT selama 6-9
bulan pada spondilitis Tuberkulosis. Pada kasus yang melibatkan beberapa vertebra dianjurkan
pengobatan selama 9-12 bulan. Kombinasi yang digunakan paling sedikit terdiri dari 3 jenis
OAT dan salah satunya harus bersifat bakterisidal. Diberikan pada 2 bulan pertama dilanjutkan
dengan INH dan Rifampisin sampai masa terapi selesai. Dosis yang digunakan adalah INH 300
mg oral, rifampisin 10 mg/KgBB, tidak melebihi 600 mg. Untuk pirazinamid dosis yang
diberikan adalah 15-30 mg/KgBB, etambutol 15-25 mg/KgBB dan Streptomisin 15 mg/KgBB,
tidak melebihi 1 g/hari.
Penatalaksanaan nyeri juga penting. Pengobatan akut dapat menggunakan antiinflamasi
nonsteroid, inhibitor COX-2, opioid lemah (kodein dan tramadol). Bila masih timbul nyeri dapat
diberikan opioid yang kuat (morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri kronik dapat diberikan
antidepresan trisiklik atau anti konvulsi. Fisioterapi untuk mengatasi nyeri dilakukan pemanasan,
pendinginan, terapi ultrasound, massotherapy, TENS, dan akupuntur. Pasien juga diajarkan
teknik relaksasi dengan biofeedback, guided imagery, meditasi. Kadang-kadang diperlukan
konseling psikologi.
Penatalaksanaan bedah dilakukan pada pasien bila terdapat defisit neurologi, deformitas
tulang belakang dengan instabilitas, tidak ada respon terhadap pengobatan medikamentosa, tidak
patuh minum obat, dan diagnostik belum jelas. Pembedahan dikontraindikasikan jika prolaps
tulang vertebra tidak besar (korpus vertebra yang kolaps kurang dari 50% atau deformitas tulang
belakang kurang dari 50.
Teknik operasi yang sering digunakan adalah debridemen radikal fokal anterior dan
stabilisasi posterior, selain itu dapat juga dilakukan debridemen radikal anterior, dekompresi dan
fusi menggunakan instrumentasi tulang belakang anterior dan penggantian dengan alograft dari
fibula. Darwish et al (2001) berpendapat bahwa dalam penatalaksanaan penyakit ini, kombinasi
kemoterapi dengan pembedahan merupakan kombinasi terbaik.
Fisioterapi diperlukan untuk mencegah timbulnya dekubitus, pencegahan fraktur dan
deformitas tulang belakang yang lebih berat. Kadang-kadang diperlukan frame, plaster bed,
plaster jacket, dan brace. Pasien dilatih untuk mobilisasi aktif namun dengan menjaga stabilitas
tulang belakang direncanakan pemasangan korset torakolumbal.
97
Diagnosis Banding
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis adalah infestasi jamur, kanker metastasis, abses
medula spinalis, tumor tulang belakang, infeksi mikobakterioum lainnya (avium, kansasii).
Prognosis
Prognosis tergantung dari derajat penyakit. Bila tidak ada deformitas tulang belakang berat dan
defisit neurologi yang jelas maka hasil pengobatan akan baik. Prognosis juga bergantung pada
kepatuhan pasien minum obat. Paraplegia yang timbul juga mengalami perbaikan dengan
kemoterapi yang tepat, bila tidak ada perbaikan maka diperlukan pertimbangan tindakan operatif.
Paraplegi ini dapat menetap jika terjadi kerusakan medula spinalis yang permanen.
98
TETANUS
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana tetanus mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya tetanus
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis tetanus
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan tetanus
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tetanus
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tetanus
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen tetanus
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya tetanus, diagnosis,
dan evaluasi serta terapi farmakologi.
99
Contoh kasus
Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang
seperti kaku seluruh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang dan
kaku seluruh tubuh, kaku pada mulut dan sukar dibuka, dan bila mendengar suara atau
dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan
seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada
telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter.
Diskusi
1. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada tetanus ?
2. Kenapa pasien sensitif terhadap suara ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan
segera?
4. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya toksin tetanus ?
5. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien tetanus ?
Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik tetanus
b. Mengetahui penyebab tetanus
Mengetahui penyebab tetanus
Mengetahui mekanisme terjadinya tetanus
Mengetahui jenis bakteri anaerob, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai
terjadi tetanus
Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat
c. Menjelaskan epidemiologi tetanus
Mengetahui distribusi penderita tetanus di negara berkembang
Mengetahui jumlah penderita yang mempunyai prognosis
d. Mengetahui komplikasi
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada tetanus
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
Mengetahui interpretasi pemeriksaan elektromiografi
f. Melakukan dan menjelaskan terapi tetanus dan manajemen, resistensi antibiotik, serta
penggunaan serum anti-tetanus
Mengetahui manajemen dan pengobatan tetanus
Mengetahui cara pemberian anti toksin dan toksoid tetanus
melakukan tindakan emergensi dan terapi kejang pada tetanus
pertimbangan terapi empirik
mengevaluasi hasil terapi
Mengatasi dan mencari fokus infeksi dari masuknya toksin tetanus
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
Mempertimbangkan tindakan perawatan luka yang diperkirakan menjadi fokus infeksi
Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan
100
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
101
b. Hasil pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,
3. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Diskusi
1. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh
pada tetanus ?
2. Kenapa pasien sensitif terhadap suara ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis untuk melakukan pengobatan segera?
4. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan
masuknya toksin tetanus ?
5. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan
intensif pada pasien tetanus ?
Rangkuman
Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
Anamnesis
Pemeriksaan fisik/neurologis
Diagnosis banding
Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
Pemeriksaan penunjang
Sistem rujukan
Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
102
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
103
MATERI BAKU
TETANUS
Pendahuluan
Tetanus di karakteristikkan dengan adanya trismus, risus sardonicus, rigiditas general dan
spasme otot. Hal itu disebabkan adanya neurotoksin tetanospasmin, yang diproduksi oleh
Clostridium tetani yang masuk melalui luka yang terkontaminasi. Organisme tersebut
menghasilkan spora dan merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan di dalam tanah
dan feses dari kuda, domba, anjing, kucing dan ayam.
Epidemiologi
Kejadian tetanus di seluruh dunia sekitar 1 juta kasus per tahunnya. Kebanyakan kasus
tetanus terjadi setelah terjadi trauma akut pada kulit, baik itu luka tusuk atau laserasi, pada orang
yang belum mendapatkan imunisasi atau imunisasi primer yang tidak lengkap. Tetanus juga
dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan obat-obatan parenteral dan tindik lidah, hidung,
umbilikus dan bagian tubuh yang lain. Pada kasus tetanus pada neonatus terjadi pada infan yang
ibunya tidak diimunisasi atau imunisasinya tidak lengkap dan berhubungan dengan instrumen
yang tidak steril yang digunakan saat persalinan. Pemberian imunisasi pada ibu-ibu hamil
bersifat protektif. Dengan bertambahnya umur kadar antitoksin antibodi tetanus semakin
menurun, sehingga risiko lebih tinggi pada geriatri. Pada dewasa umur 60 tahun, risiko tetanus
sekitar tujuh kalinya dibandingkan dengan umur 5 – 19 tahun.
Patofisiologi
Toksin tetanus di transmisikan secara retrograd melalui axon saraf perifer dari tempat
masukya Clostridium tetani yaitu luka yang terinfeksi, sehingga masuk ke badan sel saraf
motorik di massa abu-abu bagian ventral dari medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus
mengikat ke bagian membran presinap perikarion melalui jalur sinap-sinap saraf, sehingga toksin
tersebut mencegah pelepasan dari neurotransmiter inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric
(GABA) dari ujung presinap. Blokade dari neurotransmiter tersebut mengakibatkan spasme otot,
eksitasi yang terduga dari alfa motor neuron di medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus
juga mengakibatkan overaktif dari sistem saraf simpatis dengan menghambat sinap di
preganglion sel kolumna intermediolateral dari medula spinalis bagian torakal.
Manifestasi Klinis
Ada empat bentuk gejala klinis tetanus : neonatus, generalis, lokal dan sefalik. Gejala
yang paling sering muncul pada tetanus neonatus antara lain spastisitas, kurang menghisap,
trismus, demam, iritabilitas, risus sardonicus, dan opitotonus.
Masa inkubasi dari saat timbulnya luka hingga munculnya gejala tetanus yaitu 8 hari.
Gejala yang paling sering pada tetanus generalis yaitu nyeri atau kekakuan dari otot-otot kepala
dan leher yang disertai trismus dan disfagia. Gejala dini lainnya yaitu risus sardonicus. Spasme
otot berkembang dalam 24 jam dari onset gejala. Selain itu juga terdapat spasme reflek yaitu
kontraksi tonik dari beberapa grup otot yang menyebabkan opistotonus, fleksi dan aduksi dari
lengan, menegang pada bagian dada dan ekstensi dari ekstremitas bawah.
104
Tetanus lokal hanya terbatas pada ekstremitas yang mengalami luka dan terkontaminasi
oleh kuman C tetani. Pada awalnya pasien mengeluh kekakuan pada otot-otot tersebut pada saat
digerakkan. Kemudian gejala berkembang hingga timbulnya spasme yang terus menerus atau
rigiditas pada otot-otot terdekat dengan luka yang disertai nyeri saat otot tersebut mengalami
spasme. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus generalis. Pada tetanus lokal gejala
menyembuh dalam hitungan minggu dan bulan.
Tetanus sefalik terjadi biasanya pada pasien yang mengalami luka pada bagian wajah,
kepala atau leher, dan memiliki periode inkubasi yang pendek sekitar 1 atau 2 hari.
Diagnosis
Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Kuman Clostridium tetani
tidak tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka yang terkontaminasi. Diagnosis
diferensial diantaranya intoksikasi strichnin, rekasi distonia akibat oabt-obat penghambat
dopamin, kejang, dan sindroma stiff man.
Tatalaksana
Tatalaksana tetanus antara lain rawat luka, menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan
imuno globulin tetanus manusia, mengatasi spasme otot, mencegah gagal nafas dan mengatasi
disfungsi otonom. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan memperkirakan kebutuhan
intubasi bila terjadi kegagalan nafas. Dimana jalan nafas bagian atas sering mengalami oklusi
akibat spasme yang terjadi sehingga terjadi suatu episode hipoksia pada pasien. Serum antibodi
antitetanus sebaiknya diukur konsentrasi di dalam tubuh, dengan kadar 0,01 IU/ mL secara
umum merupakan kadar protektif minimum. Berbagai stimulus yang berasal dari luar dapat
mencetuskan terjadinya spasme tetanik yang berat, obat golongan benzodiazepin (diazepan atau
lorazepam) dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut yang harus diberikan sebelum
penyuntikkan Human tetanus immuno globulin (HTIG). Benzodiazepin memiliki sifat GABA
agonis sehingga obat-obat golongan ini merupakan pilihan utama. Penggunaan dosis besar pada
diazepam (500 mg atau lebih) atau lorazepam (200 mg atau lebih) sangat diperlukan untuk
mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat tersebut digunakan dalam dosis besar akan
menyebabkan komplikasi terjadinya asidosis metabolik karena kandungan glikol propilen yang
terlarut. Untuk mengatasinya dapat digunkan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat
larut dalam air . Dosis midazolam yang diberikan 5-15 mg/ jam melalui infus secara continu.
Obat golongan lain yang dapat diberikan pada tetanus generalis yaitu baclofen secara intratekal
melalui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen dosis tinggi baik secara bolus atau dosis harian
dapat menyebabkan koma, hipotonia, hipotensi, bradikardi, dan depresi nafas. Pemberian
dantrolen secara infus harian (dosis bolus 1-1,5 mg/kg, diikuti dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg per 4-
6 jam selama lebih kurang 25 hari) dilaporkan dapat diberikan untuk mengatasi spasme tetanus.
Tetapi dapat menyebabkan hepatotoksik.
Toksin tetanus yang bersirkulasi dinetralisir dengan memberikan HTIG intramuskular
dengan dosis 500 IU.
Imunisasi aktif toksoid tetanus diberikan sebagai tambahan HTIG. Setidaknya untuk
menjaga status imunitas diberikan tiga kali suntikan intramuskular dengan jarak kurang dari 1
bulan. Dua dosis pertama diberikan dengan jarak setidaknya 4 minggu, dan dosis ketiga dengan
jarak 6 bulan setelah dosis kedua.
105
Untuk meneradikasi kuman C. Tetani diberikan intravena metronidazol 500 mg tiap 6 jam (atau
400 mg per rectal tiap 6 jam) selama 7-10 hari.
Jalur nafas bagian atas dapat mengalami oklusi dan diperlukan tindakan intubasi untuk
menjaga jalan nafas tetap baik. Dalam melakukan intubasi kadang diberlukan suatu obat
penghambat neuromuskular. Sebagai pilihan dapat digunakan vecuronium atau pancuronium
sebagai pilihan utama dan efek kardiovaskular yang rendah. Pemberian propofol juga dapat
digunakan untuk mengatasi spasme saat melakukan intubasi. Dan bila pemakaian ventilasi
mekanik selama 7 – 10 hari dapat dilakukan trakeostomi.
Hiperaktifitas simpatis menyebabkan keadaan hipertensi yang labil, takikadi, hipertemi,
produksi salivasi yang berlebihan dan sekresi bronkus dan keadaan hipermetabolisme. Untuk
mengatasi overaktif simpatis ini dapat diberikan labetolol intravena dengan dosis 0,25 – 1
mg/menit atau 50 – 100 mg tiap 6 jam. Sebagai alternatif dari labetolol dapat diberikan clonidin
0,2-0,4 mg/hari. Propanolol dalam dosis rendah telah dilaporkan menyebabkan henti jantung dan
edema pulmonal pada pasien tetanus. Sebagai obat-obatan pembantu dalam mengatasi
ketidakstabilan otonom yang berat dapat diberikan magnesium sulfat ( 4 gr bolus diikuti dengan
2-3 g per jam). Konsentrasi magnesium dalam serum dipertahankan antara 4 hingga 8 mEq/L.
Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan diberikan rutin pada pasien tetanus.
106
MALARIA SEREBRAL
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana malaria serebral mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih : Lab : Apus darah tebal
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya malaria serebral
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis malaria serebral
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan malaria serebral
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada malaria
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada malaria serebral
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based
learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang
terjadinya malaria serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
107
Contoh kasus
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam
tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali tampak
menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu
riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur.
Diskusi
1. Apakah seseorang dengan kejang mengalami malaria serebral
2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan
kecurigaan terjadinya malaria serebral
3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral
4. Apakah malarial serebral akan mempengaruhi status mental
seseorang
Rangkuman
Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis (riwayat mengunjungi daerah
endemis), pemeriksaan fisik neurologi, pemeriksaan penunjang (apus darah tebal, serologi,
imajing), dan manajemen penyakit dan pemberian obat anti malaria.
Tujuan pembelajaran
a. Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga
memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada
penderita
menjelaskan tentang pengaruh infeksi malaria pada sistem organ lain
memberitahu tentang penularan penyakit malaria serebral
b. Mengetahui mekanisme masuknya plasmodium ke otak
mengetahui proses masuknya plasmodium masuk menembus sawar darah otak
mengetahui proses terjadinya destruksi neuron
c. Mengetahui cara diagnostik malaria serebral dengan pemeriksaan apus darah tebal,
dan serologi
menjelaskan interpretasi tes pemeriksaan apus darah tebal dan serologi malaria
d. Mengetahui cara diagnosis infeksi malaria serebral dan etiologi plasmodium
penyebabnya berdasarkan klinis periode terjadinya demam
mengetahui diagnosis malaria serebral
memperkirakan kemungkinan diagnosis etiologi plasmodium berdasarkan gejala klinis
yang timbul
memperkirakan kemungkinan diagnosis lain dengan gejala yang menyerupai
e. Mengetahui manajemen umum komplikasi serebral malaria
mengetahui manajemen penurunan kesadaran
mengetahui manejemen nyeri kepala
termasuk indikasi lumbal punksi
mengetahui manajemen kejang
mengetahui tatalaksana malaria serebral
108
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus serebral malaria
mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS
mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita
g. Mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah tebal
mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah tebal
h. Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium
melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi
melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan
mengirimkan ke laboratorium yang sesuai
i. Mengetahui cara dan efek samping pemberian obat-obatan anti malaria
melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis
memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai
j. Melakukan konsultasi dengan bidang terkait
melakukan konsultasi dengan disiplin ilmu lain dalam menangani keterlibatan infeksi
ataupun komplikasi pada sistem organ selain otak
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam
tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali serta tampak
menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu
riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur.
109
Konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik
Jantung dan paru dalam batas normal
Abdomen supel,
hepar dan lien teraba membesar
Ekstremitas tidak ada edema
Status neurologis
Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3
Status mental : belum dapat dinilai
Tanda rangsangan meningeal negatif
Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
Nervi kranialis : paresis (-)
Motorik : kesan hemiparesis (-)
Sensorik belum dapat dinilai
Refleks fisiologis ++/++
Refleks patologis -/-
Klonus –
Saraf otonom dalam batas normal
5. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Diskusi
1. Apakah seseorang dengan penurunan kesadaran, gangguan status mental
dan kejang mengalami malaria serebral
2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan kecurigaan
terjadinya malaria serebral
3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral
4. Bagaimana menginterpretasi hasil pemeriksaan apus darah tebal dan
identifikasi plasmodium berdasarkan pemeriksaan apus darah tebal
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
110
111
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
112
MATERI BAKU
MALARIA SEREBRAL
PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit parasit yang umum terdapat di daerah endemik. 1,2,3
Penyebabnya adalah protozoa genus Plasmodium yang terdiri dari P.vivax, P.falciparum, P.
Ovale dan P. malaria.3,4,5
Saat ini malaria mengenai lebih dari 2.400 juta orang melebihi 1,2 40 % penduduk dunia,
dan dari 100 negara di daerah tropik 1,2,7. Di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena beberapa daerah masih merupakan daerah endemik terutama di daerah
Indonesia Timur8.
Species yang paling banyak ditemukan adalah plasmodium falciparum dan plasmodium
vivax. Proporsi malaria falciparum 35 – 45 % mengenai orang dewasa, namun demikian anak
mempunyai risiko lebih tinggi. 1
Penyakit malaria dapat mengancam hidup dan melibatkan berbagai organ termasuk
sistem saraf pusat maupun tepi. Beberapa komplikasi neurologik berhubungan dengan malaria
falciparum, walaupun demikian tidak berarti semua malaria ini mengalami komplikasi
neurologik. Selain itu komplikasi dapat juga disebabkan oleh keadaan lain seperti demam tinggi
dan bahkan obat antimalaria itu sendiri. Kasus kematian malaria falciparum kira-kira 1% dari 1-3
juta kematian / tahun di seluruh dunia.
Berikut ini akan dibahas mengenai manifestasi dan komplikasi neurologik yang paling
umum yaitu malaria serebral 1,2,3,4,5, dan komplikasi neurologik lainnya, seperti sindrom
serebelar, kejang, gangguan medula spinalis dan neuropati serta beberapa manifestasi serebral
lain.
EPIDEMIOLOGI
Plasmodium falciparum umumnya terdapat di daerah endemik tropik dan subtropik. 6
Afrika sub Sahara dan Melanesia (Papua New Guinea, kepulauan Salomon). P. vivax di Amerika
Tengah dan Selatan, India, Afrika Utara dan Timur Tengah, sedangkan p. Ovale di Afrika Barat
dan P.malariae sporadik di seluruh dunia.2,4
Di Indonesia, Sulawesi Utara khususnya Minahasa merupakan daerah endemik dan di
daerah ini ditemukan komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8 – 6,4%. 10 Setiap tahun
malaria menyebabkan penyakit pada 300-500 juta orang diseluruh dunia dan lebih dari 1 juta 1,2
meninggal.1,4 Malaria menduduki tempat ketiga teratas di antara penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian dari data WHO.4,7 Dari 10 % pasien malaria falciparum yang dirawat
rumah sakit 80 % kematian akibat komplikasi pada sistem saraf pusat 8,9.
MALARIA SEREBRAL
Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti :
1. Usia tua
2. Kehamilan, terutama primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua
3. Pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-obat anti kanker,atau obat
imunosupresan
4. Pasien dengan imunokompromise disertai tuberkulosis atau kanker stadium lanjut
5. Splenektomi
6. Pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya imunitas
113
Malaria serebral memperlihatkan gejala – gejala ensefalopati yang umumnya disebabkan
oleh infeksi Plasmodium falciparum11. Laporan mengenai frekuensi malaria serebral pada infeksi
malaria berkisar antara 0,01 % 16 %. Dapat mengenai anak-anak, dewasa muda serta orangtua.
Disamping itu juga orang dewasa non imun yang bepergian ke daerah endemik terutama bila
pengobatan preventifnya terputus. Wanita hamil berisiko karena menurunnya imunitas selama
kehamilan. Diperkirakan bahwa AIDS dapat merupakan salah satu faktor predisposisi di daerah
tropik.11
DEFINISI
Untuk menentukan diagnosis dan manajemen segera dan tepat, perlu kesepakatan definisi
tentang malaria serebral. Digunakan definisi pragmatik berdasarkan Skor Koma Glasgow (SKG)
dan dibagi atas 3 kriteria : 8,12,13
1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan; respons motorik atau stimuli nyeri tak dapat
dilokalisasi atau tidak ada respons.
2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit –
6 jam setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang.
Hipoglokemia, meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskuler dan
gangguan metabolik harus disingkirkan sebagai penyebab koma.
3. Konfirmasi infeksi P.falciparum : bentuk aseksual dari P.falciparum harus dapat
ditunjukkan sedian apus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup
atau pada hapusan jaringan otak setelah meninggal.
Jika malaria serebral terjadi pada anak – anak, maka digunakan Skala Koma Blantyre sebagai
alat bantu untuk menilai kesadaran dan diagnostik.12
Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustama D dan Hoffman, membagi malaria serebral
atas 3 tingkatan:14
I. Malaria serebral sedang : penderita malaria dengan delirium dan obtudansi
II. Malaria serebral berat : penderita dengan stupor
III. Malaria serebral sangat berat : penderita malaria dengan koma atau penderita malaria
sedang/berat yang tidak menunjukkan kemajuan klinis dalam 6 jam setelah dimulai
terapi dengan kinin dihidroklorida intravena.
Sesuai dengan perjalanan klinik penderita maka terdapat dua fase pada malaria serebral, yaitu :
15,16
1. Fase prodormal : gejala yang timbul tidak spesifik,penderita mengeluh sakit pinggang,
mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala
2. Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala
yang hebat, mual, muntah, diare, batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan
kesadaran, kejang, hemiplegia dan dapat berakhir dengan kematian.
PATOFISIOLOGI
Secara makroskopik berdasarkan hasil otopsi terdapat edema serebral 3,6,16 baik edema
vasogenik maupun sitotoksik18 disertai perdarahan petekial difus terutama pada substansia alba
6 11
, . Secara mikroskopik, perdarahan pitekial ini memperlihatkan gambaran spesifik perdarahan
terjadi disekeliling arteriol substansia alba.3,6,11,19 Tampaknya ini disebabkan oleh vaskulopati
114
yang dipengaruhi oleh imunitas sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas endotelial,
edema perivaskuler, diapedesis eritrosit dan leukosit, nekrosis dinding pembuluh darah dan
mikrotrombosis intravaskuler serta trombosis kapiler11.
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa
hipotesis yang pernah dikemukakan, antara lain :3
1. Hipotesis mekanik : cytoadherence (Miller 1969), rosette (Carlson 1993)
2. Hipotesis permeabilitas (Maegraith dan Fletcher 1972)
3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) (Punyagupta dkk 1974)
4. Demielinisasi post-infeksi – vaskulomiopati (Toro dan Roman 1978).
5. Hipotesis Toksin/mediator : endotoksin (Clark 1978), sitokin (Clark dkk 1981),
radikal oksigen bebas (Clark dan Hunt 1983), Nitrat oksida (Clark dkk 1992)
6. Kerusakan kompleks imun (Adam dkk 1981)
Dari sekian hipotesis, dewasa ini yang berkembang adalah hipotesis mekanik dan
humoral, karena kedua hipotesis ini dapat menjelaskan etiologi malaria serebral.12
1. Hipotesis mekanik.
Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami11 hampir seabad lalu mengenai penyumbatan
kapiler dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah
pada sirkulasi kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk
tonjolan (knob) 1,2,3,6,17 pada permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent 3,6,12,19,20,21 sehingga
cenderung melekat pada endotel kapiler-kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa
terdapat interaksi spesifik antara protein membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan
pada sel endotelial, seperti ICAM-1 3,6,11,12,20,21,22 atau E-selektin, menurunkan aliran darah
mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia12. Selanjutnya terjadi sekuestrasi parasit-parasit pada
pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence selektif dan
dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs).
Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan
mikrosirkulasi.23 Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena
obstruksi pada mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat
yang menyebabkan ke glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. 12,24 Pada pasien dengan
malaria serebral, level laktat CSS tinggi 3,6 dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal
dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau
substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total terhadap aliran darah tak mungkin
terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit neurologik permanen. 12 Jadi,
gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak menjadi faktor penting
dalam terjadinya komplikasi serebral.
2. Hipotesis humoral.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan
TNF- 25,26 , sitokin seperti IL-112. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan
menginduksi Nitrat Oksida (NO)27,28. NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan
menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi
tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran. Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat
menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel,1,2,23 kejang dan kematian.21,28 Disintegrasi sawar
darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis malaria serebral 28.
Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe serin
115
protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal
dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck 3,6,11 serta perdarahan dan
pitekia disekitar astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan
dengan uPAR berperan dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien
malaria serebral.29
GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi malaria falciparum 9-10 hari rata-rata 12 hari. Gejala prodromal yang
sering dijumpai adalah lesu, lemah, nyeri tulang-tulang, sakit kepala, rasa dingin, tidak nafsu
makan, mual, muntah dan diare, serta dapat disertai panas.15
Manifestasi klinik berbeda pada anak - anak dan orang dewasa. Walaupun demikian
terdapat tiga gejala utama pada dewasa dan anak-anak 16: (1) penurunan kesadaran dengan
demam tak spesifik; (2) kejang umum dan gejala sisa neurologik; (3) koma yang terjadi selama
24-72 jam, awalnya dapat dibangunkan tetapi kemudian tidak sadar.
Pada orang dewasa biasanya malaria serebral terjadi setelah beberapa hari panas dengan
gejala non spesifik lainnya, tetapi pada anak biasanya kurang dari dua hari. Seringkali diawali
dengan kejang umum terutama pada anak, selanjutnya diikuti kesadaran menurun. Malaria
serebral ditandai dengan koma yang tidak dapat dibangunkan. Hilangnya kesadaran dapat
berkembang dengan cepat, sampai koma dan beberapa pasien dapat disertai status epileptikus.7,31
Pada daerah endemik31 pasien dengan malaria sering tanpa gejala atau hanya demam
ringan yang segera dapat dikontrol oleh imunitas yang didapat atau pemberian obat segera.
Tetapi beberapa infeksi P. falciparum, terutama pada anak-anak sering kali terjadi komplikasi
yang mengancam hidup seperti anemia berat, gangguan metabolik, atau ensefalopati. Perubahan
kesadaran pada malaria dapat terjadi setelah kejang, hipoglikemia atau asidosis disertai gejala
meningismus.
Perdarahan retina terjadi lebih kurang 15% kasus, papil dan pupil normal. Berbagai
kelainan gerakan mata dapat terjadi misalnya disconjugate gaze rahang sering terkatup dan
bruxism. Refleks kornea tetap ada kecuali pada koma dalam. Sebagian besar pasien juga
mengalami anemia, ikterus dan hepatomegali .
Malaria serebral juga dikenal sebagai ensefalopati simetrik oleh karena terdapatnya
tanda-tanda UMN simetrik . Tonus otot dan refleks dalam atau refleks tendon biasanya
meningkat disertai klonus lutut dan kaki, bersama dengan respons plantar ekstensor yang
bervariasi. Refleks dinding perut dan refleks kremaster tak dapat dibangkitkan. Tanda-tanda ini
berguna untuk membedakan dari gangguan perilaku akibat demam atau penyebab lain. Postur
ekstensi menunjukkan disfungsi batang otak, dapat terjadi pada malaria serebral atau
hipoglikemia. Pada stadium deserebrasi dan dekortikasi sering ditemukan deviasi mata ke atas,
ekstensi leher, bibir mencucur, tetapi refleks primitif lain biasanya tidak dijumpai. Umumnya
pola nafas mendengkur periodik. Setelah itu terjadi perburukan progresif fungsi batang otak dan
dapat mengarah ke gagal nafas atau gagal jantung.
Kejang terjadi pada 40% pasien dewasa dan umumnya anak-anak dengan malaria
serebral. Paling sering kejang umum dibanding kejang parsial. Penyebab kejang tersebut
mungkin disebabkan hipoksia serebral, demam, hipoglikemia, gangguan metabolik lain seperti
asidosis laktat, obat antimalaria, eklampsia pada wanita hamil dan sindrom Reye pada anak. Van
Hensbroek menetapkan adanya hubungan antara kejang berulang dan timbulnya gejala sisa
116
neurologik dalam jangka waktu lama dan menyarankan supaya mengontrol kejang sedini
mungkin.
Epilepsi simptomatik kronik mungkin berhubungan dengan perkembangan astrosit yang
disebabkan oleh invasi organisme tersebut ke vaskuler. Pada pemeriksaan patologik jaringan
otak penderita yang meninggal pada stadium lanjut, tampak gambaran granuloma Durck yang
terbentuk dari reaksi astroglia 11.Sulit membedakan kejang demam dengan kejang yang
disebabkan oleh malaria serebral pada anak-anak. Malaria vivax juga sering menyebabkan
kejang demam pada pasien di daerah endemik.
Kejang pada pasien seringkali tak terkontrol saat ia menderita malaria serebral. Meflokin
adalah antimalaria penting yang digunakan pada pasien yang resisten terhadap klorokuin, tetapi
merupakan kontraindikasi relatif bagi pasien dengan riwayat kejang oleh karena potensi
epileptogeniknya.32
Disamping gejala – gejala tersebut diatas, beberapa gangguan serebral dapat terjadi
seperti : 11
1. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan serebral menyebabkan tanda neurologik fokal seperti hemiplegia dan afasia.
Pada binatang percobaan ditemukan paralisis ekstremitas yang berhubungan dengan
perdarahan serebral, dan diduga proses ini akibat mekanisme imunopatologik karena
TNF berperan sebagai mediator inflamasi. Ada beberapa laporan dari India tentang
perdarahan subaraknoid.
2. Oklusi arteri serebral
Beberapa tanda neurologik fokal terjadi karena oklusi arteri. Pada kasus malaria
gejalanya seperti tumor otak tetapi ternyata pada pemeriksaan post mortem menunjukkan
terjadi trombosis pembuluh batang otak dan perdarahan perivaskuler di korteks serebelar.
3. Gerakan ekstrapiramidal
Gerakan ekstrapiramidal dapat terjadi pada malaria serebral. Gejalanya berupa gerakkan
involunter tonik-diskinetik, mioklonik, korea, dan gerakan atetoid. Tremor dapat terjadi
pada masa penyembuhan dan gejala ini menghilang sempurna dalam 1-2 minggu.
4. Hipertensi intrakranial benigna
Ada laporan tentang seorang wanita Afrika muda dengan malaria resisten menunjukkan
gejala khas peningkatan tekanan intrakranial, tampak papiledema bilateral. Akhirnya
didiagnosis sebagai hipertensi intrakranial benigna.
117
Aktivasi dari beberapa virus neurotropik akibatkan sindrom ini dianggap merupakan salah satu
mekanisme yang mungkin terjadi.1,11
118
Merupakan suatu sindrom neurologik lain, terlihat sesaat setelah pemulihan dari infeksi
malaria berat. Kriterianya adalah infeksi malaria simptomatik yang baru saja dialami dengan
tidak ditemukan parasit dalam darah, kesadaran pulih sempurna pada kasus malaria serebral dan
timbulnya gejala-gejala neurologik atau psikiatrik terjadi dalam 2 bulan dari penyakit akut.
Sindrom ini sembuh sendiri dan pada beberapa kasus berhubungan dengan penggunaan meflokin
oral. Gejala paling sering berupa manifestasi neuropsikiatrik, ada juga yang berupa konfusi akut
atau psikosis, kejang umum, kejang umum diikuti konfusi akut atau tremor.
119
3. CT scan otak biasanya normal
Manejemen37
1. Umum
Merupakan aspek paling penting dalam manejemen pasien malaria serebral :
Memelihara jalan nafas dilakukan pada penderita dengan koma dalam dan
indikasi pemasangan intubasi endotrakea
Merubah posisi pasien tiap 2 jam
Hindari tempat tidur basah atau lembab
Posisi semi pronasi dengan elevasi kaki untuk mencegah aspirasi
Memelihara keseimbangan cairan intake/output serta mengamati perubahan warna
urin ( hitam/coklat) bila terjadi.
Monitor tanda vital tiap 4-6 jam
Mengobservasi terjadinya kejang dan harus segera diatasi
Bila suhu di atas 39oC harus dilakukan kompres di dahi atau lipatan ketiak dan
diberikan parasetamol.
Pemasangan NGT dilakukan pada pasien kesadaran menurun atau sulit menelan
untuk menghindari aspirasi pneumonia.
2. Pemasangan kateter uretra
Dilakukan untuk memonitor keseimbangan cairan.
3. Terapi kejang
Tahap premonitoring diazepam 10 mg iv atau rektal dapat diulang setelah 10 – 15 menit
bila kejang masih terjadi, dosis maksimum diazepam 50 mg dalam 4 jam pertama, bila
diberikan dalam 24 jam, boleh sampai 100 mg. Status konvulsif lanjut fenitoin 15-18 mg/
kg iv, kecepatan 50 mg / menit diberikan dalam waktu 20 – 30 menit ( dengan lorazepam
bila belum diberikan ) dan atau phenobarbital 10 mg / kg iv, kecepatan 100 mg / menit.
Phenobarbital dapat menurunkan insidens kejang sampai 54 %38.
4. Jangan berikan obat-obat sebagai berikut ;
Kortikosteriod
Obat anti inflamasi lain
Obat anti edema seperti manitol, urea, invert sugar ,
low molecular weight dextran
adrenalin
heparin
pentoksifilin
oksigen hiperbarik
siklosporin
dll.
Penggunaan deksametason merupakan kontraindikasi pada malaria serebral 1 karena tidak
menunjukkan hasil yang bermanfaat 39,40,41, tetapi justru mengakibatkan penurunan
kesadaran menjadi makin lama, dan mempertinggi kemungkinan infeksi dan perdarahan
saluran cerna. .
5. Obat antimalaria
Malaria serebral menjadi fatal setelah beberapa hari infeksi. Pengobatan segera sangat
penting karena imunitas alamiah malaria belum diketahui sehingga pencegahan adalah
120
cara yang terbaik. Semua kasus malaria berat harus dirawat di rumah sakit untuk
dilakukan pemeriksaan, pengobatan dan pengawasan. Pengobatan yang diberikan adalah
suntikan antimalaria intravena (klorokuin, kinin, artemisin) untuk mencapai kadar level
plasma obat yang adekuat. Obat – obat baru yang ada penggunaannya secara oral seperti
meflokin, halofantrin harus dihindari pada kasus malaria berat. 37 Penggunaan dosis tinggi
apalagi dalam jangka waktu lama tidak memberikan manfaat yang lebih baik, sebaliknya
hanya menambah efek samping obat42.
PROGNOSIS
Infeksi malaria P. falciparum yang tidak diobati prognosisnya buruk dengan angka
kematian tinggi.42 Malaria serebral menyebabkan kematian pada dewasa berkisar 20 % dan pada
anak-anak 15 %. Gejala sisa jarang pada dewasa 3%, dan lebih kurang 10 % pada anak-anak
(terutama mereka yang mengalami hipoglikemia berulang, anemia berat, kejang berulang dan
koma dalam), mereka yang bertahan hidup dapat mengalami defisit neurologik menetap. Dengan
diagnosis dini dan terapi yang sesuai akan mempunyai prognosis baik 43.
Indikator prognosis buruk adalah kejang, koma dalam, perdarahan retina, leukosit
>12.000/mm kubik, laktat CSS tinggi dan glukosa LCS rendah, level antitrombin III rendah dan
parasitemia perifer.44,45
PENUTUP
Komplikasi sistem saraf karena malaria dapat terjadi di saraf pusat dan saraf perifer.
Keluhan dan gejala yang terjadi seperti ensefalopati , gangguan serebelar ataupun neuritis
perifer.
Malaria P. falciparum sering menyebabkan komplikasi sistem saraf karena merusak
sirkulasi mikrovaskuler. Namun demikian patofisiologinya masih belum diketahui dengan pasti.
Efek samping neurologik obat antimalaria dan gangguan metabolisma yang terjadi
menimbulkan manifestasi klinis serta komplikasi neurologik yang kompleks. Diagnosis cepat
dan tepat serta manejemen yang sedini mungkin dapat mempengaruhi hasil prognosis.
MALARIA SEREBRAL
PEMERIKSAAN
GEJALA KLINIS TERAPI KHUSUS
PENUNJANG
121
Demam Pemeriksaan hapusan Kemoterapi anti malaria:
Ensefalopati darah tipis tebal dengan 1. Untuk daerah yang tidak resisten
sindrom otak pewarnaan Field untuk Kloroquin fosfat 600 mg (10 mg/kgBB)
organic akut: tetes tebal 10 mg/kgBB untuk 24 jam 5 mg/kgBB
Delirium pada 48 jam
Disorientasi Kuantitatif buffy coat: Untuk kasus berat:
Agitasi pewarnaan DNA dan Kloroquin HCl 0,83 mg/kgBB/jam
Mental disorder RNA parasit maksimum 30 jam atau kloroquinoral 25
Kejang umum mg/kgBB
Kesadaran menurun Uji serologis zat anti 2. Untuk daerah yang resisten kloroquin dipakai
(koma persisten) malaria: (+ / -) quinine
Lesi UMN simetris 3. Pada malaria tanpa komplikasi
Sindrom ekstra Pemeriksaan LCS: Quinine sulfat 10 mg/kgBB/8 jam selama 7
pyramidal: liquor jernih hari atau sulfadoxine 20 mg/kgBB
chorea tekanan < 200 mm maksimum 1500 mg dan pyrimethamine 1
athetosis limfosit < 10 / mikro mg/kgBB maksimum 75 mg
myoklonus liter Jika resisten: doxycycline 3 mg/kgBB/hari
sindrom Parkinson rasio glukosa LCS dan selama 7 hari
Sikap eksitasi darah normal 4. Jika resistensi obat ganda
Perdarahan retina protein < 150 mg / dl Mefloquine 15 mg/kgBB lalu diikuti 10
Anemia berat mg/kgBB selama 8 – 24 jam maksimal 1500
Ikterus Gula darah mg
Oliguria Darah rutin 5. Pada kasus yang berat dan resistensi obat
Edema paru AGD ganda
Hipoglikemia Ureum / kreatinin Quinine HCl 20 mg/kgBB IV loading dose
Infeksi penyerta lain lebih dari 4 jam, disusul maintenance 10
Elektrolit
Hepatosplenomegali mg/kgBB selama 3 kali (lebih dari 4 jam)
Kultur darah untuk
atau quinidine 10 mg/kgBB/infus (lebih dari
menyingkirkan
1 jam) diikuti 0,02 mg/kgBB/menit dengan
bakteremia
monitoring EKG
Brain CT scan 6. Arthemeter 3,2 mg/kgBB IM dilanjutkan 1,6
mg/kgBB/hari
7. Halofantrine dosis tinggi (8 mg/kgBB diulang
pada jam ke-6 dan 1). Hati-hati pada
memanjangnya interval QT dan aritmia
ventrikular.
KEPUSTAKAAN
1. Garg RK, Karak B, Misra S. Neurological Manifestation of Malaria: An Update.
Neurology India vol.47# 2, 1999
2. Bhabha SK, Bharucha NE, Bharucha EP. Fungal and Parasitic Infections, in : Bradley
WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Neurology in Clinical Practice, Vol. II, 2 nd
Ed., Butterworth-Heinemann, Boston, 1996, p.1249-51.
3. Warrell DA. Cerebral Malaria. In: Shakir RA, Newman PK,, Posser CM.
Tropical Neurology, WB. Saunders Co.Ltd. London ,1996, pp. 213-45
4. Kakkilaya BS. Malaria. Simplified. http // www. rational medicine.
org/malaria/malaria_india.htm.
5. Fernandez MC, Bobb BS. Malaria from Emergency Medicine/Infectious Diseases.
122
6. Cegielski JP, Durack DT. Protozoal Infections of the Central Nervous System. In : Scheld
WM, Whitley RJ, Durack DT. Infections of the Central Nerous System, Raven Press,
New York, 1991,pp. 767-77.
7. Gilles HM. Management of the Severe and Complicated Malaria. A Practical Handbook,
WHO, Geneva, 1991
8. Kakkilaya BS. Complications of P. falciparum Malaria. http//www. rationalmedicine.org/
malaria_india.htm.
9. Kakkilaya BS. Central Nervous System Involvement in Falciparum Malaria. Http //
www. malariasite.com.
10. Harianto PN, Datau E. Presentasi Klinik, Komplikasi dan Mortaliti malaria Serebral di
RS. Bethesda, Minahasa. Bul.Penelit.Kesehat.19(2),1991, hal. 22-30.
11. Senanayake N, Roman GC. Neurological Complications of Malaria . Southeast Asean
J.Trop.Med.Publ.Htlh. vol 23,no.4 Dec 1992.pp.672-9
12. Cerebral Malaria. http//www.malariasite.com
13. White NJ, Warrell DA. The Management of Severe Malaria. In : Malaria
14. Sarumpaet B, Hoffmah SL, Punjabi NH, Dimpudus AJ, dkk. Malaria Serebral pada
Penderita Dewasa di RSUP Jayapura.
15. Zulkarnain A. Malaria, dalam : Suparman. Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, FKUI,
Jakarta, 1993, hal :
16. White NJ, Plorde JJ. Malaria, in : Harrison’s Principle of Internal Medicine, vol.1, 12 th
ed., Mc graw Hill Inc., New York, 1991; p.782-8.
17. Pongponratn E, Riganti M, Harisuta T, Bunnag D. Electron Microscopy of the Human
Brain in Cerebral Malaria. Southeast Asian J.Trop.MedPub.Hlth. vol.16 No.2, June 1985,
pp. 219-26
18. ArdanaK, Soehaaaryo, KarnadiE. Malaria Serebral.
19. Boonpucknavig V, Boonpucknavig S, Udomsangpetch R, Nitiyanant P. An
Immunoflorecence Study of Cerebral Malaria. Ach.Pathol.Lab.Med.-vol114, October
1990,pp1028-34.
20. Phillips RH, Solomon T. Cerebral Malaria in Children. The Lancet vol.336, Dec 1
1009,pp.1355-60.
21. Carlson J, Helmry H, Hill AV, Brewster D, et al. Human Cerebral Malaria : Association
with Erythrocyte Rosetting and Lack of Anti-rosetting Antibodies. The Lancet vol 336,
Dec15, 1990,pp.1457-60.
22. Fredrickson R. Identification of a Plasmodium falciparum intercellulear adhesion
molecule-1 binding dominan : a parasite adhesion trait implicated in serebral malaria.
Proc.Natl.Acad.Sci.USA 97, 2000; p.1766-1771
23. Mori O, Ohaki Y, Oguro T, Shimizu H, et al. Adhesion Molecule Detection in a Case of
Early Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.gov.
24. Warrell DA, White NJ, Veall N, Looareensuwan S, et al. Cerebral Anaerobic Glycolysis
and Reduced Cerebral Oxygen Transport in Human Cerebral Malaria. The Lancet , Sept
3, 1988,pp.534-7.
25. Kern P, Hemmer CJ, van Damme J, GrussH, Dietriech MR. Elevated Tumor Necrosis
Factor Alpha and Interleukin-6 Serum Levels as Markers for Complicated P.falciparum
Malaria. American Juornal of Medicine vol 87, August 1989,pp.139-43.
123
26. Hemmer CJ,Kern P, Holst FGE, Radtke KP, et al. Activation of the Host Response in
Human P. falciparum Malaria : Relation of Parasitemia to Tumor Necrosis
Factor/Cachectin, Thrombin-Antithrombin III, and Protein C Levels.
27. Maneerat Y, Viriyavejakul P, Punpoowong B, Jones M, et al. Inducible Nitric Oxide
Synthase Expression is Increased in the Brain in Fatal Malaria Cerebral.
Http//www.ncbi.nlm.gov.2000.
28. Inducible Nitric Oxide Synthase Polymorphism and Fatal Cerebral Malaria.
Http//www.thelancet.com.1998.
29. Fauser S, Deininger MH, Kremsner PG, Magdolen V, et al. Lesion Associated
Expression of Urokinase-tipe Plasminogen Activator Receptor (uPAR, CD87) in Human
Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov.2000.
30. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF.Severe and Complicated Malaria. 2nd ed., WHO,
London, 1990
31. Molynux ME. Impact of Malaria on the Brain and its Prevention.
Http//www.findarticles.com.2000.
32. Roy MK, Gangopadhyay PK, Guha D, Roy T, Maiti B. Malaria in Epileptics-An
Additional Hazard.Http//www.thelancet.com
33. Newton CR, Hien TY, White N. Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov.
34. Eadie MJ, Ferrier TM. Chloroquine Myopathy. J.Neurol.Neurosurg.Psychiat.,
1966,pp.331-7.
35. Nguyen THM. Post-malaria Neurological Syndrome. Http//www.findarticles.com. 1996
36. Aung KZ, Khin MU, Myo T. Endotoxaemia in Complicated Falciparum Malaria.
Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1988, 82, pp.
513-4.
37. Areekul S, Churdchu K, Yamarat P. Acetylcholinesterase Activites in Cerebrospinal
Fluid of Patienrs with P.falciparum Cerebral Malaria. Southeast Asian
J.Trop.Med.Pub.Hlth.vol.16, Sept 3, 1985, pp.431-4.
38. Kakkilaya BS. Treatment of Malaria .Http//www.rationalmedicine.org
39. White NJ, Looareensuwan S, Phillips RE, Chanthavanich P, et al. Single Dose
Phenobarbitone Prevents Convulsions in Cerebral Malaria. The Lancet July 9, 1988,
pp.64-5.
40. Prasad K, GarnerP. Steroids for Treating Cerebral Malaria. Http//www.update-
software.com.
41. White NJ. Not Much Progress in Treatment of Cerebral Malaria.
Http//www.thelancet.com.1998.
42. Hoffman SL, Rustama D, Punjabi NH, Sarumpaet B, et al. High –Dose Dexamethasone
in Quinine Treated Patients with Cerebral Malaria : A Double-Blind, Placebo-Controlled
Trial. The Juornal of Infectious Diseases vol.158, August, 1988, pp.326-31.
43. Kakkilaya BS. Error File. Http//www.rationalmedicine.org. 2000.
44. Molyneux ME, Taylor TE, Wirima JJ, Borgstein A. Clinical Features and Prognostic
Indicators in Paediatric Cerebral Malaria : A Study of 131 Comatose Malawian Children.
Quarterly Journal of Medicine, May 1989, pp. 441-59.
45. Stuby U, Kaiser W, Beisenbach G, Zazgornik J. Succesful Treaaatment of Malaria
Tropica with Acute Renal Faileure and Cerebral Involvement by Plasmapheresis and
Hemodialysis. Infection 16,1988, pp. 362-4.
124
RABIES
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana rabies mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya rabies
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis rabies
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan rabies
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada rabies
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada rabies
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya rabies, diagnosis,
dan evaluasi serta terapi farmakologi.
Contoh kasus
Laki-laki usia 24 tahun, pemelihara hewan, datang kerumah sakit dengan keluhan utama gelisah
dan rasa seperti tercekik. Lebih kurang 7 hari yang lalu pasien mengeluh kakinya digigit anjing
kampung saat dia bekerja. Tiga hari kemudian pasien mengeluh demam, sakit kepala, pegal-
pegal otot, dan terasa lemas. Keluhan juga disertai rasa nyeri pada tenggorokan. Rasa baal
125
dirasakan pada luka bekas gigitan. Dua hari kemudian pasien tampak gelisah dan ketakutan
terutama bila mendengar suara atau melihat air, atau bila wajahnya terkena hembusan angin,
pasien masih tetap sadar, pasien juga tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari
mulutnya. Keluhan tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara pelo
ataupun mulut mencong.
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?
Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan rabies
b. Mengetahui penyebab rabies
Mengetahui penyebab rabies
Mengetahui mekanisme terjadinya rabies
Mengetahui jenis virus, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
rabies
Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat anti rabies
c. Menjelaskan daerah endemis dengan hewan menderita rabies
mengetahui distribusi hewan menderita rabies di negara berkembang
d. Mengetahui komplikasi rabies
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada rabies
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
Mengetahui interpretasi pemeriksaan EEG dan MRI kepala pada penderita rabies
f. Melakukan dan menjelaskan terapi rabies dan manajemen penggunaan serum anti-
rabies
Mengetahui manajemen dan pengobatan rabies
Mengetahui cara pemberian anti serum rabies
melakukan tindakan emergensi pada rabies
mengevaluasi hasil terapi
Mengatasi dan mencari hewan yang menggigit pasien
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
Mempertimbangkan tindakan perawatan luka menjadi fokus masuknya virus rabies
Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan
126
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
127
a. Hasil pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, AGD
6. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Ancaman gagal nafas
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
128
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
129
MATERI BAKU
RABIES
Pendahuluan
Rabies adalah suatu penyakit saraf pusat yang disebabkan oleh virus RNA yang tergolong
dalam famili Rhabdoviridae. Penyakit ini selalu berakibat fatal yaitu kematian bagi penderita
yang terkontak dan tidak di vaksinasi. Tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang.
Negara yang dnyatakan bebas rabies saat ini Australia, Swedia, Selandia Baru, Jepang,
Kepulauan Britania dan Antartika. Diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies manusia tiap tahun,
terutama negara berkembang seperti India, Asia tenggara, Amerika Selatan.
Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas (termasuk manusia) dan
burung. Penularannya ssebagian besar terjadi melalui gigitan dari berbagai hewan reservoir
misalnya anjig, kucing, srigala, kelelawar, dan lain-lain. Dan dapat juga secara aerosol tertuma
pada berbagai jenis kelelawar di Amerika.
Penatalaksanaan penyakit ini umumnya adalah suportif, karena sampai saat ini terapi
yang tepat untuk penyakit ini bila sudah timbul gejalanya adalah belum ada. Tindakan
pencegahan berupa pemberian vaksinasi adalah yang terbaik karena terbukti dapat mencegah
manifestasi penyakit ini.
Biologi
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang dalam klasifikasi termasuk pada grup
V negatif-stranded RNA genom ((-) ss RNA), ordo : mononegalovirales, famili : rhabdoviridae,
genus : lyssavirus, spesies : Rabies virus. Virus ini berukuran sekitara 180 nm panjang dan 75
nm lebar yang disusun oleh lima jenis protein yaitu : nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), matriks
protein (M), glikoprotein (G), dan polimerase (L). Pada umumnya Rhabdoviridae terdiri dari dua
komponen dasar : ribonukleoprotein (RNP) di bagian tengah dan diselimuti envelope pada
bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan
polimerase (L-protein). Sedangkan glikoprotein membentuk spike (paku) pada daerah permukaan
luar (envelope/membran) dan virus dengan panjang +/- 10 nm. Sedangkan envelope dengan RNP
dihubungkan dengan matriks protein (M).
Genom dari virus rabies adalah rantai tunggal, antisense, nonsegmented RNA dengan
panjang sekitar 12 kb. Replikasi virus ini dalam sel pejamu diawali dengan fusi dari envelope
dengan membran sel pejamu, kemudian terjadi interaksi antara glikoprotein dengan reseptor
permukaan sel pejamu yang spesifik (absorbsi) diikuti penetrasi virus kesitoplasma dengan
mekanisme pinositosis. Terjadi agregasi virion dengan vesikel pada sitoplasma (endosom)
kemudian membran virus akan berfusi dengan mebran endosom yang mengakibatkan RNP virus
bebas ke dalam sitoplasma (uncoatinag). Karena virus ini memiliki genom RNA yang tunggal
dan linier maka dibutuhkan mRNA ( messenggerRNA) untuk merekam agar virus dapat
berreplikasi (transkripsi). Perekaman ini akan diikuti dengan proses ”pencetakan” protein sesuai
”pesanan” yang sudah direkam tadi di ribosom bebas dalam sitoplasma sel (translasi). Proses ini
akan semakin dilengkapi di retikulum endoplasma dan badan golgi (processing) sesudah itu
terjadi proses perbanyakan virus.
130
Patogenesis
Pada manusia ketika sel saraf terkontak dengan virus rabies maka glikoprotein dari virus
akan berikatan dengan reseptor nikotinik (reseptor asetilkolin) pada ermukaan membran sel
saraf. Awalnya virus akan memperbanyak diri di tempat inokulasi, kemudian virus akan
memasuki sel saraf motorik dan sensorik perifer kemudian akan bermigrasi melalui akson ke
sentral dengan kecepatan 50 – 100 mm/hari sampai ke medula spinalis, lalu melanjutkan
perjalanan ke atas sampai ke otak dan menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus.
Bila hal tersebut sudah terjadi maka akan terjadi replikasi besar-besaran dari virus dan imunisasi
menjadi tidak efektif. Penyebaran secara luas akan terjadi ke semua susunan saraf somatik dan
otonom. Dan replikasi virus yang produktif adalah kelenjar ludah.
Ada beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap kerentanan seseorang terhadap
rabies. Contohnya adalah : luka gigitan pada kulit terbuka dianggap lebih rentan daripada luka
gigitan pada kulit terbungkus pakaian karena sebagian virus diabsorbsi bahan pakaian. Faktor
lain adalah spesies resistensi, besarnya tempat inokulasi (luka), konsentrasi dari resptor nikotinik
yang terpapar, besarnya persarafan di daerah inokulasi, jarak tempat inokulasi dengan susunan
saraf pusat, dan status imunitas dari penderita. Faktor variasi spesies juga berpengaruh, serigala,
rubah, kecing lebih mudah terpapar sedangkan opposum lebih resisten. Inokulasi pada daerah
yang dekat otak lebih cepat daripada gigitan pada ekstremitas bawah. Masa inkubasi dari
penyakit ini umumnya berkisar 3-12 minggu. Laporan lain masa inkubasi penyakit ini dapat
terjadi sekitar satu tahun hingga 6 tahun.
Di negara-negara berkembang penularan rabies lebih dari 90% lewat gigitan terutama
anjing. Kasus penularan tanpa gigitan pernah dilaporkan di AS terhadap seorang gadis yang
tertular rabies dari kelelawar. Laporan lain adanya peularan rabies pada transplantasi kornea.
Manifestasi Klinis
Gejala penyakit ini pada fase awal menyerupai flu berupa malaise, anoreksia, demam,
nyeri kepala, mual dan muntah, rasa tidak enak di kerongkongan, kadang-kadang ditemukan
adanya parestesia di tempat gigitan. Keluhan ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari kemudian
akan diikuti dengan timbulnya gejala patognomonik suatu ensefalitis rabies yaitu agitasi, demam
tinggi yang persisten, kesadaran fluktuatif, nyeri pada faring, terkadang seperti rasa tercekik
(inspiratory spasm), hipersalivasi, kejang, hidrofobia, dan aerofobia. Kadang-kadang ada juga
manifestasi non neurogenik berupa aritmia dan miokarditis yang merupakan tanda dari adanya
hiperadrenergik dan infeksi langsung pada jantung. Keadaan tersebut akan memberat dan diikuti
dengan koma yang akan berlanjut kematian. Selain gejala khas rabies tersebut dapat juga
ditemukan gejala yang lebih jarang yaitu adanya kelumpuhan, berupa adanya paresis pada
keempat ekstremitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang timbul terkadang mirip suatu
sindroma Gullian Barre dan tidak ditemukan bukti adanya keterlibatan seerebral sampai penyakit
ini berlanjut.
Fase awal dari penyakit ini terkadang diagnosis agak sulit ditegakkan sehingga perlu
diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain misalnya infeksi virus lain (arbovirus,
enterovirus, dan lain-lain), ataupun dengan sindroma GB.
Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis dari penyakit ini pada fase awal kadangkala sukar
mengingat gejalanya yang mirip dengan penyakit lain. Hal ini semakin sulit bila riwayat kontak
131
gigitan dengan binatang tidak jelas. Untuk membantu penegakkan diagnosis perlu diperiksakan
laboratorium.
Pada pemeriksaan darah laboratorium tidak ada gambaran yang khas untuk merujuk suatu
keadaaan infeksi rabies, kadang ditemukan leukositosis ringan. Untuk penegakkan diagnosis
adalah deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus dalam jaringan kultur.
Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap virus rabies dengan
menggunakan serum darah dan cairan serebrospinal, namun seringkali hasil positif timbul
beberapa saat setelah timbulnya gejala klinis. Pada orang yang belum diimunisasi hasil positif
dapat menjadi tanda yang bernilai diagnostik, bila sudah di imunisasi maka penngkatan kadar
antibodi beberapa waktu setelah pemeriksaan pertama dapat mempunyai arti diagnostik. Pada
cairan serebrospinal (CSS) adanya antibodi terhadap virus rabies menunjukkan adanya infeksi
virus rabies.
Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis rabies. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara mengambil sepotong kulit di daerah leher bagian belakang pada batas
garis rambut diusahakan paling tidak ada 10 folikel rambut yang terambil termasuk saraf
kutaneus yang berada pada bagian basal dari folikel, kemudian dilakukan pemeriksaan RT/PCR
dan tes imunoflouresence staining pada antigen virus dengan menggunakan teknik Direct
Flourescent antibody test(dFA). Tes ini didasarkan pada observasi bahwa seorang yang
terinfeksi virus rabies mempunyai antigen rabies dalam jaringan. Karena virus ini berada dalam
jaringan saraf maka jaringan yang diambil adalah jaringan saraf terutama yang paling ideal
adalah jaringan otak. Antibodi yang berlabel ini diinkubasikan pada jaringan otak yang dicurigai
terinfeksi . Hasil positif bila terjadi ikatan antigen antibodi sehingga terlihat gambaran
fluoresensi hijau apel pada pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens. Bila tidak terinfeksi maka
pemeriksaan tidak terlihat adanya fluoresensi. Pemeriksaan dFA ini biasanya dilakukan post
mortem tapi dapat juga ante mortem bahkan pada pemeriksaan sebelum timbul gejala. Di
Amerika pemeriksaan ini sudah merupakan standar pemeriksaan untuk rabies dan digunakan
sejak 40 tahun untuk evaluasi rabies.
Pemeriksaan lain yang digunakan dalam memastikan penyakit rabies adalah pemeriksaan
histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan yang terinfeksi dan diberi pewarnaan.
Pada pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan rutin (HE) maka akan terlihat gambaran :
infiltrasi mononuklear, adanya cuffing dari limfosit atau polimononuklear, ”Babes nodules”dari
sel glia, adanya “Negri bodies” (NB). NB ini merupakan tanda yang patognomonik untuk
diagnosis dari rabies yang paling sering ditemukan pada sel berbentuk piramidal dan sel purkinje
di serebelum juga pada medula dan ganglia basal. Pemeriksaan ini sekarang dianggap tidak
begitu spesifik dalam menegakkan diagnosis rabies sebab dengan pewarnaan rutin hasil positif
hanya ditemukan kurang dari 50 % dari semua kasus terinfeksi juga dibandingkan dengan
pemeriksaan dFA yang dapat mencapai 100 %.
Pemeriksaan imunohistokimia dapat dilakukan dalam penentuan diagnosis dari rabies.
Pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan histopatologi namun menggunakan antibodi spesifik
untuk mendeteksi inklusi dari virus rabies, yang idgunakan yaitu antibodi monoklonal.
Diagnosis infeksi rabies ditegakkan melalui gejala klinis dan pemeriksaan laboratorik
untuk konfirmasi diagnosis rabies.
132
Tatalaksana
Manajemen terapi pada kasus infeksi rabies pada manusia belum memuaskan terutama
bila penyakit ini sudah menunjukkan gejala. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat
bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit ini timbul. Banyak uji terapi yang dilakukan tapi
tidak menunjukkan hasil yang menggemberikan. Pemberian antiviral ataupun penggunaan
interferon (IFN) secara tunggal ataupun kombinasi belum pernah ada yang sukses. Jackson et.al
merekomendasikan penatalaksanaan rabies yang sudah bergejala dengan rejimen sebagai
berikut : pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk mempercepat respon imun,
pemberian serum anti rabies untuk peghentian proses infeksi rabies, pemberian ribavirin dan
interferon alfa secara intravena dan intraventrikuler. Pemberian ketamin inravena konsentrasi
tinggi terbukti secara invitro dapat menghambat replikasi dari virus rabies. Penelitian ini masih
perlu pembentukan lebih lanjut. Penggunaan steroid tidak dianjurkan pada kasus rabies sebab
pada beberapa kasus pemberian steroid dapat mempercepat kematian dan memperpendek periode
inkubasi.
Perawatan hendaknya dilakukan pada ruangan isolasi dan untuk menghindari
kemungkinan penularan dari penderita maka hendaknya dokter dan paramedik memakai sarung
tangan, kacamata dan masker saat menangani kasus ini dan pasien sebaiknya di fiksasi di tempat
tidur. Mengingat keadaan akhir dari penyakit ini adalah kematian akibat paralisis otot pernafasan
maka dipertimbangkan pula penggunaan alat bantu pernafasan.
Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Bila ditemukan adanya kasus
gigitan dari binatang tersangka rabies maka dilakukan usaha mematikan/mengurangi virus rabies
dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit
kemudian diberikan antiseptik. Luka tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila
perlu dijahit, luka diinfiltrasi dengan SAR (serum anti rabies). Serta dipertimbangkan pemberian
anti tetanus, antibiotik dan pemberian analgetik. Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies
dilakukan melalui 2 cara : imunisasi sesudah terkontak dan imunisasi sebelum terkontak.
Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan vaksin anti
rabies (VAR) saja atau dengan SAR. VAR diberikan bila ada gigitan dengan luka yang tidak
berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan atau kaki. Sedangkan pemberian VAR
dengan SAR bila luka berbahaya, jilatan atau luka pada mukosa, luka pada tubuh diatas bahu
(muka, kepala, leher), luka pada daerah lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam atau luka
yang banyak (multipel).
133
Pada anak dosis vaksinasi awal adalah 1 ml dengan cara dan pemberian sama seperti
dewasa sedangkan dosis ulangan 0,1 ml. Dosis ini tetap sama bila hendak diberikan
bersamaan dengan serum anti rabies (SAR).
Bila hendak melakukan pencegahan dari penularan rabies maka kita dapat melakukan
vaksinasi dengan PVRV. Dengan cara penyuntikan IM di daerah deltoid 0,5 ml pada kunjungan
pertama dilanjutkan 0,5 ml pada hari ke 28 diikuti dengan vaksinasi ulangan 1 tahun setelah
pemberian pertama dengan dosis yang sama. Diulangi samapai seterusnya setiap 3 tahun. Untuk
penggunaan klinik ada beberapa jenis vaksin ataupun serum anti rabies yang dapat ditemukan
tapi jenis yang dikemukakan tadi adalah yang dapat ditemukan di Indonesia.
KEPUSTAKAAN
1. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA : Mikrobiologi kedokteran,
alih bahasa Edi Nugroho, RF Maulany; editor Irawati Setiawan -edisi 20-, EGC.
Jakarta.1996
2. Smith JS. Rabies infection (serial online) 2003 jan-jun (cited 2006
march 02) Available from : URL : http :// www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/nathist.htm
3. O’ Reilly M, Rupprecht CE. Clinical manifestation, diagnosis, and
treatment of rabies. Lancet Inf Dis, 2004 : 6 :243
4. Fishbein DB, Robinson LD; Rabies, N England J Med 1993; 392:
1632
134
ABSES SEREBRAL
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana abses serebral mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya abses serebral
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis abses serebral
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan abses serebral
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada abses serebral
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada abses serebral
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral,
diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
Contoh kasus
Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan
anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama
semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan
135
mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari.
Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS
pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah
dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga
terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang
hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien
mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan
dan berbau busuk.
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien abses serebral ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien abses
serebral ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?
5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses
serebral ?
6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan abses serebral ?
Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan abses serebral
b. Mengetahui kuman penyebab tersering abses serebral
Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
abses serebral
c. Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral
Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya abses serebal
d. Mengetahui komplikasi abses serebral
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada abses serebral
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada
penderita abses serebral
f. Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen pasien abses
serebral
Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral
melakukan tindakan emergensi pada abses serebral
mengevaluasi hasil terapi
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral
136
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
137
Klonus -/-
Saraf otonom : dalam batas normal
7. Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Ancaman gagal nafas
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada abses serebral ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke intrakranial ?
4. Apakah penyebab secara empiris kuman dari penyebab abses serebral ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?
6. Kapan pasien terindikasi untuk terapi operatif ?
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
138
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
139
MATERI BAKU
ABSES SEREBRAL
Pendahuluan
Hingga akhir abad ke 19, abses serebral hampir selalu penyakit yang fatal. Terapi yang
sukses dalam menangani abses serebral pertama kali dilaporkan oleh Dr. JF Weeds, pada tahun
1868 beliau melakukan drainase abses serebral lobus frontal dari seorang letnan kavaleri yang
telah ditembak pada bagian kepalanya. Seorang pionir operasi abses serebral, Sir William
Macewen, pada tahun 1893, mempublikasikan suatu monograf yang terkenal dengan judul
Pyogenic Infective Disease of the Brain and Spinal Cord. Pada laporannya disebutkan dari
sembilan belas pasien yang dioperasi dengan abses serebral dan sereberal, delapan belas
diantaranya membaik dan hanya satu yang mengalami kematian. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan pada akhir abad ke 20, dengan penggunaan antibiotik, metode operasi yang semakin
canggih, fasilitas perawatan intensif, dan teknik neuromajing yang semakin canggih, angka
kesembuhan semakin meningkat, pada periode 1981-1986 studi Mampalam dan Rosenblum
mengatakan kejadian kematian pada periode tersebut sekitar 4 % saja. Namun pada saat yang
bersamaan merupakan suatu periode yang banyak ditemukannya kejadian supresi sistem imun
sehingga kejadian abses serebral pada pasien tersebut semakin melonjak hingga sampai 97%,
peningkatan pengetahuan mengenai tatalaksana abses serebral saat ini sangatlah dibutuhkan.
Epidemiologi
Perkiraan angka kejadian abses serebral sekitar 0,3 – 1,3 per 100.000 orang per tahun,
dengan perbandingan antara pria dibanding wanita = 2 : 1 hingga 3 : 1. Bila dihitung dari total
populasi kejadian abses serebral ini relatif rendah, namun kejadian ini meningkat pada pasien-
pasien tertentu yang dapat dilihat pada tabel berikut.
140
Etiologi
Ada tiga grup besar etiologi dari abses serebral : (1) infeksi berasal dari penyebaran
kontigious dari organ yang berhubungan langsung; (2) penyebaran infeksi melalui hematogen;
(3) infeksi berasal dari trauma kepala atau operasi prosedural bedah saraf. Grup etiologi yang
berbeda biasanya berhubungan dengan lokasi abses dan flora mikroba (tabel 2).
Penyebaran infeksi secara kontigious dari organ yang dekat dengan otak biasanya berasal
dari infeksi di mastoid atau telinga tengah, sinus paranasal (sinusitis frontal, etmoiditis,
pansinusitis dan jarang sekali pada sinusitis sphenoid), atau gigi (ekstraksi gigi, karies, penyakit
periodontal). Masih belum jelas bagaimana suatu mikroba dapat menembus duramater;
penyebaran diduga melalui drainase vena dari otak yang tidak memiliki katup. Penyebaran dari
rongga subarakhnoid (meningitis) sangat jarang terjadi. Penyebab lain yang jarang yaitu pada
kejadian osteomielitis atau infeksi pada scalp. Pada anak-anak suatu kelainan kongenital berupa
sinus dermal, encephalocele, atau kista epidermoid dapat menjadi sumber penyebaran infeksi ke
intrakranial.
141
Trauma penetrasi atau Tergantung lokasi Staphylococcus Meropenem +
paska operasi aureus, vancomycin
Staphylococcus
epidermidis,
streptococci,
enterobacteria,
Clostridium sp
Tidak diketahui Lobus mana saja Streptococci, Cephalosporin III +
Peptostreptococcus metronidazol +
sp., Bacteriodes sp., vancomycin
Haemophillus sp.,
straphylococci
Pasien dengan Sering abses multipel, Aspergillus sp., Amphotericin B +
imunosupresi: berbagai lobus dapat Candida sp., Nocardia trimethroprim +
resipien sumsum terkena sp., Toxoplasma Sulfamethoxazole
tulang atau organ gondii
solid
Pasien AIDS Sering multipel abses, Toxoplasma gondii, Pyrimethamine +
berbagai lobus dapat Cryptococcus Sulfadiazine atau
terkena neoformans, Listenia pyrimethamine +
monocytogenes, clindamycin
Mycobacterium sp.,
Candida, Aspergillus
142
awal pembentukan kapsul (hari 10-14). Pada fase ini terjadi resolusi daerah serebritis dan terjadi
penyusutan daerah nekrotik. Makrofag dn fibroblast secara progresif meningkat jumlahnya dan
mulai membentuk kapsul yang mengelilingi lesi. Fase pembentukan kapsul akhir (setelah hari
14). Daerah pusat nekrotik semakin jelas terbentuk dikelilingi oleh daerah inflamasi, jaringan
kolagen dan lapisan neovaskular.
Manifestasi klinis
Gambaran klinis abses berkembang dalam 2-3 minggu. Pada abses intrakranial, sakit kepala
merupakan gejala yang paling sering timbul dan dapat merupakan satu-satunya gejala. Abses
yang terletak pada lobus temporal biasanya menimbulkan sakit kepala frontotemporal ipsilateral,
bila terletak di hemisfer dominan dapat disertai afasia. Abses serebellar menimbulkan nyeri
kepala suboksipital dan retroaurikular yang menjalar ke leher. Nyeri kepala hemikranial persisten
berupa rasa ditekan yang dalam atau seperti ditusuk-tusuk dan dapat disertai nyeri tekan kulir
kepala. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain :
1. Gejala sistemik, berupa demam, tetapi tidak semua penderita
disertai demam
2. Gejala serebral umum, lebih banyak diakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial dapat berupa sakit kepala yang kronik progresif, mual muntah dan
penurunan kesadaran
3. Gejala serebral fokal, seperti kejang, defisit motorik atau sensorik
Gambaran klinis tersebut tergantung beberapa faktor yaitu , virulensi organisme penginfeksi,
status imun pejamu, lokasi abses, jumlah lesi dan ada tidaknya meningitis atau ruptur ventrikel.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutih pada abses intrakranial biasanya terlihat leukositosis PMN dan
peningkatan laju endap darah (LED). Lumbal punksi berisiko herniasi dengan meningkatnya
tekanan intrakranial. Manfaat dan risiko harus dipertimbangkan dengan hati-hati sebelum
membuat keputusan punksi lumbal. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal tidak spesifik,
dengan kadar glukosa dan protein dalam batas normal, sel yang meningkat biasanya dominan
polimorfonuklear, jumlah sel biasanya < 200 namun dapat juga mencapai 7000/mm 3. Tekanan
cairan serebrospinal dapat meningkat. Protein dapat meningkat sebanyak 100 mg/dl dan glukosa
sering dalam rentang normal, kecuali terdapat juga meningitis.
Foto rontgen tergantung fokus infeksinya bisa didapat tanda-tanda radang pada sinus
paranasal, mastoid atau paru.
Pemeriksaan sken kepala sangat berarti dalam membuat diagnosis dan rencana tindak
lanjut tergantung stadium infeksinya. Apabila sudah terbentuk abses dengan kapsulnya maka
tampak gambaran kapsul berbentuk cincin yang mengelilingi lesi hipodens disertai dengan
edema disekiling kapsul. Dengan kontras tampak penyengatan disekitar kapsul.
Magnetic resonanceimaging (MRI) merupakan pilihan prosedur diagnostik untuk melihat
abses intrakranial, karena bebas dari artefak tulang dan memperlihatkan dengan jelas kumpulan
cairan diluar otak. Kumpulan cairan dibandingkan densitasnya dengan CSS pada T1 dan T2.
MRI juga berguna untuk memvisualisasi abses yang kecil yang dapat terabaikan dengan sken
dan membedakan abses dari perdarahan atau efusi steril paska operasi.
Pemeriksaan penunjang yang lain adalah :
143
1. Elektro ensefalografi (EEG), biasanya abdnormal pada sisi lesi, terapi
ketepatan untuk menentukan lokasi < 50 %. Gelombang delta dengan frekuensi
rendah dengan phase reversal mengarah pada abses otak.
2. Arteriografi dan ventrikulografi, jarang dilakukan. Hasil arteriografi akan
abnormal pada 80% dengan gambaran ring shadow dengan pola massa avaskuler
dengan hiperemi pada sekitarnya
Tatalaksana
Penanganan abses serebri harus dilakukan dengan segera meliputi penggunaan antibiotika
yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi), kontrol edema serebri dan pengobatan lokal
infeksi primernya.
Secara umum pemilihan antibiotik dilakukan secara empiris. Pemberian beberapa jenis
antibiotik pada pengobatan awal abses serebri adalah dengan asumsi bahwa penyebab abses
serebri umumnya adalah campuran dari beberapa mikroorganisme. Sebagai contoh bila abses
diperkirakan akibat penyebaran infeksi telinga/paranasal yang etiologinya meliputi
Staphylococcus, aerob dan anaerob maka dibutuhkan lebih dari satu jenis antibiotik.
Terapi antibiotik yang diberikan harus dapat menembus sawar darah otak dan sensitif
terhadap organisme aerob maupun anaerob. Sefalosporin generasi ketiga (ceftriakson;cefotaxim;
ceftazidim) terbanyak direkomendasikan untuk gram (+) dan gram (-) serta metronidazol untuk
bakteri anaerob. Vancomicin direkomendasikan untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin.
Waktu pemberian antibiotik ditentukan oleh respon terhadap pengobatan dan penyerapan abses
pada follow up dengan sken maupun dengan MRI.
Pada abses serebri terapi hanya dengan antibiotik lebih berhasil bila : terapi dimulai
sebelum enkapsulasi komplit, diamater lesi kurang dari 2,5 cm dan pasien menunjukkan
kesembuhan setelah pengobatan selama 2 minggu. Bila diameter lesi > 2,5 cm diberikan terapi
kombinasi yaitu antibiotika dan terapi pembedahan (drainase atau eksisi). Indkasi operasi bila :
terdapat efek massa yang signifikan, lesi dekat dengan ventrikel, kondisi neurologis memburuk,
setelah terpi antibiotik 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak
berkurang. Bila tidak dilakukan tindakan pembedahan maka antibiotik diberikan selama 8
minggu kemudian dilakukan sken otak untuk melihat respon terapi. Bila dilakukan pembedahan
maka antibiotik diberikan secara parenteral 6-8 minggu lalu dilanjutkan dengan pemberian
peroral selama 2-3 bulan.
Prognosis
Angka kematian umum (operasi dan tanpa operasi) 33-70 %, sedangkan angka kematian
dengan operasi berkisar 17-54 %. Prognosis abses intrakranial dipengaruhi oleh virulensi
organisme, resistensi pejamu, usia penderita, kondisi komorbid, deteriorasi neurologik dan cepat
serta tepatnya terapi. Jika terdapat tanda-tanda herniasi angka kematian menjadi lebih dari 50 %.
Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi angka kematian antara lain :
1. Usia
2. Etiologi dari abses
3. Lokasi dari abses
4. Status neurologi sebelum operasi
5. Abses multipel yang tidak terdeteksi seluruhnya
144
Dari yang berhasil survive 30-55 % diantaranya ditemukan gejala sisa. Cukup sering
muncul pada orang dewasa adalah kejang/epilepsi. Pengguaan profilaksis masih kontroversi.
KEPUSTAKAAN
1. Scheld NW, Whitley JR, Marra CM. Infections of central nervous system
3rd ed. Lippincott William & Wilkins, 2004: 513-19
2. Victor M, Ropper Ah. Infections of the nervous system. In : Adam and
Victor’s principles of neurology 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001; 821-74
3. Heiran NS, Steinbok P, Cochrane DD. Conservative surgical management
of intracranial abscess. J neurosurg. 2004 Jul; 55(1): 260-2
145
NEUROSISTISERKOSIS
Kompetensi
Menegakkan diagnosis dan tatalaksana neurosistiserkosis mencakup epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang
dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.
PERSIAPAN SESI
Ruang Kuliah
Peralatan Audiovisual
Kasus Pembelajaran
Alat Bantu Latih
Materi presentasi
Penuntun belajar
Daftar Tilik kompetensi
KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
Menguasai mekanisme terjadinya neurosistiserkosis
Identifikasi, anamnesis dan diagnosis neurosistiserkosis
Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan neurosistiserkosis
Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada neurosistiserkosis
Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral,
diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.
Contoh kasus
Laki-laki usia 27 tahun, pegawai, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang-kejang.
Lebih kurang 2 minggu yang lalu pasien tampak kejang-kejang, diawali dengan kaku pada
lengan dan tungkai kanan tak lama kemudian os tampak kaku seluruh tubuh dan tidak sadarkan
146
diri. Lamanya kejang lebih kurang 10 menit setelah itu pasien sadar kembali. Lebih kurang 4
minggu sebelumnya os menderita demam naik turun tidak terlalu tinggi disertai rasa sakit kepala
berdenyut terutama pada sisi kiri hilang timbul yang terasa semakin nyeri dan kadang disertai
muntah tanpa didahului mual pada pagi hari. Sakit kepala semakin berat terutama saat os BAB.
Os masih terkadang sulit diajak berkomunikasi dan tidak menjawab bila ditanyakan. Sebelumnya
pasien bertugas di Irian jaya di daerah pedalaman.
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien neurosistiserkosis ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien
neurosistiserkosis ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan neurosistiserkosis ?
5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses
neurosistiserkosisi ?
6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan neurosistiserkosis ?
Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan
neurosistiserkosis
b. Mengetahui kuman penyebab tersering neurosistiserkosis
Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
neurosistiserkosis
Mengetahui daerah endemi penyebab neurosistiserkosis
c. Mengetahui patogenesis terjadinya neurosistiserkosis
Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya neurosistiserkosis
d. Mengetahui komplikasi neurosistiserkosis
Mengetahui komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis
Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada
penderita neurosistiserkosis
f. Melakukan dan menjelaskan tatalaksana dan manajemen pasien neurosistiserkosis
Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral
melakukan tindakan emergensi pada neurosistiserkosis
mengevaluasi hasil terapi
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien neurosistiserkosis
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
147
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance
148
Monitoring
Kesadaran
Tanda vital
Defisit fokal
Ancaman gagal nafas
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?
Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
Pre-test
Essay
MCQ
Lisan
Ujian pasien
149
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR
Referensi :
Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
Wood. M, Neurological Infection, 1988
150
MATERI BAKU
SISTISERKOSIS
Pendahuluan
Infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh cacing merupakan tantangan
besar dalam penanganan kesehatan di komunitas. Hal ini dapat menjadi suatu masalah besar
dalam komunitas. Infeksi cacing pada SSP banyak terjadi terutama pada negara-negara
berkembang seperti Amerika latin, Asia, dan Afrika. Cacing diklasifikasikan menjadi dua cacing
datar (flatworm) dan cacing bulat (roundworm) atau nematoda. Flatworm dibagi lagi menjadi
cacing pita (tapeworms) dan trematoda. Cacing merupakan parasit yang memiliki siklus hidup
yang kompleks dimana manusia menjadi pejamu intermediat ataupun definitif. Infeksi SSP yang
disebabkan oleh cacing menimbulkan beragam bentuk klinis, termasuk subakut atau kronik
meningitis, ensefalitis akut atau subakut, lesi otak berupa desak ruang (space-occupying lession),
stroke, dan myelopathy.
Sistiserkosis
Sistiserkosis terjadi pada manusia karena menjadi pejamu intermediate dari Taenia
solium, yang masuk ke tubuh manusia melewati makanan yang terkontaminasi feses yang
mengandung telur T.solium. Setelah masuk ke dalam saluran cerna telur tersebut berubah
menjadi onkosper. Onkosper kemudian menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah
kemudian tersebar ke seluruh organ pejamu, tempat sistiserko tumbuh. Organ target yang terkena
diantaranya adalah mata, otot, dan susunan saraf pusat.
Pejamu untuk parasit cestoda dewasa, Taenia solium di dalam usus adalah manusia.
Keadaan tersebut terjadi akibat pejamu memakan daging babi yang tidak dimasak tidak matang
yang mengandung larva Taenia (sistisersi). Larva kemudian mengevaginati ke dalam usus
hingga berubah menjadi cacing dewasa. Cacing ini terdiri dari scolex, yang menempel pada
dinding usus, dan beberapa proglotid (segmen). Proglotid dan telur ini keluar bersamaan dengan
feses.
Babi yang merupakan pejamu intermediate terinfeksi karena memakan telur parasit atau
proglotid yang mengandung telur (porcine cysticercosis). Oncosphere ini keluar dari telur,
kemudian masuk kedalam mukosa usus, bermigrasi ke dalam aliran darah, dan berdiam di dalam
jaringan. Dalam beberapa minggu dan bulan, kemudian larva membesar dan menjadi matang
berubah menjadi sistisersi. Siklus kehidupan ini menjadi lengkap setelah manusia memakan
daging babi yang terkontaminasi oleh kista.
151
Patologi
Sistiserkos merupakan vesikel yang mengandung skolex. Terdapat pada parenkim otak,
rongga subarakhnoid, sistem ventrikel dan atau medula spinalis. Kista pada jaringan otak dapat
tumbuh hingga 20 mm dalam diameter, sedangkan kista pada rongga subarakhnoid dan ventrikel
dapat tumbuh mencapai 50 mm atau lebih diameternya. Kista pada parenkim otak biasanya
tumbuh pada korteks serebri atau daerah basal ganglia. Pada kista rongga subarakhnoid biasanya
terdapat pada fisura silvii atau sisterna pada basis otak. Sistiserkos pada ventrikel dapat
menempel pada pleksus koroid atau bebas mengapung di rongga ventrikel.
Setelah masuk ke dalam SSP, sistiserkos dapat bertahan hingga bertahun-tahun,
menimbulkan inflamasi pada jaringan sekitar. Pada kasus lain, sistiserkos yang masuk ke dalam
SSP mendapat serangan imun kompleks dari pejamu, sehingga terjadi proses degenerasi dan
kematian atau kalsifikasi parasit. Reaksi inflamasi yang terjadi berupa edema, gliosis reaktif,
penebalan leptomening, terjepitnya kiasma optik dan saraf kranial yang lain, angiitis,
hidrosefalus dan ependimitis.
Manifestasi Klinis
Gejala klinis neurologis yang sering timbul pada sistiserkosis adalah kejang. Pada daerah
endemik, kejadian kejang yang baru terjadi pada usia dewasa lebih diduga penyebabnya adalah
neurosistiserkosis. Manifestasi klinis yang terjadi lebih sering subakut sehingga membuat sulit
membedakannya dengan suatu keadaan abses atau tumor intrakranial lain. Gejala fokal juga
dapat terjadi tiba-tiba yang terjadi akibat infark serebral karena angiitis sistiserkosis.
Hidrosefalus dan ensefalitis sistiserkosis merupakan penyebab utama hipertensi intrakranial.
Ensefalitis sistiserkosis merupakan bentuk neurosistiserkosis yang berat, yang menimbulkan
inflamasi disekitar sistiserkos dan edema difus, yang dikarakteristikkan dengan gejala sakit
kepala, muntah, kejang umum, menurunnya tajam penglihatan, dan penurunan kesadaran. Spinal
sistiserkosis menimbulkan manifestasi berupa motor dan sensoris defisit yang bervariasi
tergantung lokasi level yang terjadi.
Diagnosis
Penegakkan diagnosis neurosistiserkosis yang akurat melalui klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik neurologis) bersamaan dengan hasil dari neuroimajing dan hasil dari tes
imunologis. Temuan imajing yang khas yaitu lesi kistik (imajing dari skolex) dan kalsifikasi
parenkim otak. Lesi lain yang dapat timbul dan tidak spesifik diantaranya lesi cincin dan
leptomening yang menyangat kontras, hidrosefalus serta infark serebral.
Cairan serebrospinal (CSS) dapat menunjukkan hasil yang normal pada pasien dengan
neurosistiserkosis parenkimal. Pada bentuk neurosistiserkosis di ventrikel dan subarakhnoid hasil
CSS menunjukkan pleositosis limfositik, peningkatan konsentrasi protein, dan kadar glukosa
yang normal. Hasil tes serologi yang akurat yaitu imunoblot. Namun hasil positif palsu dapat
terjadi pada pasien dengan sistiserkosis diluar SSP dan negatif palsu biasanya pada pasien
dengan lesi kista tunggal. Pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), yang
merupakan pengukuran terhadap kadar antibodi imunoglobulin G (IgG) terpercaya hasilnya bila
diambil sampel dari CSS, dan keakuratannya tergantung dari viabilitas kuman. Tidak adanya
bentuk aktif dari kuman menghasilkan ELISA yang negatif.
152
Terapi
Lokasi lesi dan viabilitas parasit neurosistiserkosis, juga ringan beratnya respon imun dari
pejamu menjadi faktor penting dalam merencanakan terapi pada pasien. Pendekatan terapi pada
pasien yaitu dengan penggunaan agen sistisid, anti kejang dan obat-obatan simptomatis lain.
Sebagai tambahan terapi operatif dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.
Obat-obatan Sistisid. Praziquantel telah digunakan untuk mengobati sistiserkosis sejak tahun
1979. Studi yang telah dilakukan pada penggunaan praziquantel dikatakan obat tersebut dapat
menghancukan lesi parenkim otak sistiserkosis sekitar 60 – 70 % dengan pemberian selama 15
hari dengan dosis 50 mg/kg per hari. Kemudian dosis ini diperbaharui dengan pemberian
praziquantel dosis rentangnya dari 10 hingga 100 mg/kg per hari selama periode 3 hingga 21
hari. Kadar praziquantel yang optimum dan tinggi di dalam darah hingga 6 jam dapat
dipertahankan dengan pemberian dosis individual sekitar 25 hingga 35 mg/kg tiap interval 2 jam
merupakan dosis yang dianjurkan untuk menghancurkan parasit.
Albendazol juga memiliki efek sistisid. Obat ini diberikan dengan dosis 15 mg/kg per
hari selama 1 bulan. Studi terbaru mengatakan pemberian dapat dipersingkat hingga 1 minggu
tanpa mengurangi efikasi obat. Albendazol menghancurkan sekitar 75% hingga 90 % kista otak
dan lebih superior dibanding praziquantel, termasuk kemampuannya menghancurkan
sistiserkosis di meningen dan ventrikel. Pengontrolan kejang akan jadi lebih mudah setelah
pemberian obat-obatan sistisid.
Penggunaan obat antisid juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien dengan
kejang dan penyangatan lesi tunggal pada CT dan MRI. Walaupun hal tersebut terjadi pada
daerah endemis, lesi tersebut dapat berupa tuberkuloma, granuloma mikotik, atau glioma.
Pasien dengan ensefalitis sistiserkosis sebaiknya tidak diberikan obat-obatan sistisid
karena dapat timbul eksaserbasi gejala. Pada pasien dengan kista serebral dan hidrosefalus, obat
sistisid diberikan setelah dilakukan shunting ventrikel untuk menghindari peningkatan tekanan
intrakranial akibat efek obat yang diberikan. Pemberian obat-obatan sistisid, hati-hati pada
cistiserkosis subarakhnoid yang besar (giant) karena inflamasi yang ditimbulkan akibat respon
penghancuran parasit dapat menyumbat pembuluh darah leptomeningeal. Pada kasus tersebut
pemberian kortikosteroid dapat membantu. Pada pasien dengan kista ventrikular respon
inflamasi dapat terjadi hidrosefalus akut bila lokasinya terlerak pada ventrikel ke-4 atau dekat
foramen Monro. Pasien dengan lesi kalsifikasi saja juga sebaiknya tidk diberikan antisistisid,
karena kalsifikasi tersebut merupakan parasit yang sudah mati
Obat-obatan simptomatis seperti obat anti kejang diberikan untuk mengontrol kejadian
kejang pada neurosistiserkosis dan dibantu dengan pemberian obat sistisid seperti praziquatel
atau albendazol yang dapat mengontrol kejang hingga 83 % pasien. Lamanya pemberian obat-
obatan anti epilepsi belum ada standar yang baku. Pada 50 % kasus mengalami relaps kejang
setelah dihentikan pemberian obat anti epilepsi setelah pasien bebas kejang selama 2 tahun dan
telah diberikan albendazol. Rekurensi kejang berhubungan dengan timbulnya kalsifikasi setelah
pemberian albendazol dan terdapatnya kejang rekuren dan kista multipel di otak sebelum
pemberian obat sistisid.
Kortikosteroid diberikan pada sistiserkosis dengan bentuk ensefalitis sistiserkosis yang
bertujuan untuk mengurangi edema. Kortikosteroid dapat diberikan tunggal atau bersamaan
dengan manitol dengan dosis 2 mg/kg per hari. Pemberian kortikosteroid intravena pada kasus
angiitis sistiserkosis bermanfaat untuk mencegah terjadinya infark rekuren. Kortikosteroid
153
dilanjutkan dengan pemberian oral prednison (1 mg/kg per hari) untuk mebantu mengurangi
inflamasi di rongga subarakhnoid akibat angiitis. Kortikosteroid diberikan sampai inflamasi di
subarakhnoid reda yang dapat dievaluasi melalui hasil cairan serebrospinal.
Operatif. Sekunder hidrosefalus akibat arakhnoiditis sistiserkosis membutuhkan
diakukannya shunting. Komplikasi yang terjadi akibat tindakan ini yaitu terjadinya disfungsi dari
shunting itu sendiri yang dapat meningkatkan angka kematian hingga 50 %. Sekarang telah
dikembangkan alat shunt yang baru yang menghasilkan aliran yang konstan dan CSS dialirkan
dengan baik hingga tidak masuk ke sistem ventrikular.
Kasus lain yang membutuhkan tindakan operatif diantaranya kista yang terdapat di
ventrikel. Kista ventrikel ini dapat dieksisi melalui operatif atau aspirasi endoskopi.
154