Anda di halaman 1dari 155

MODUL

NEURO - INFEKSI

(MODUL INDUK)

KOLEGIUM NEUROLOGI INDONESIA

PERHIMPUNAN DOKTER SPESIALIS SARAF INDONESIA

2008
Modul Neuro-Infeksi

Modul Neuro-infeksi terdiri dari :

1. Lumbal Punksi
2. Infeksi SSP ( meningitis, ensefalitis, mielitis )
3. NeuroAIDS
4. Spondilitis
5. Tetanus
6. Malaria serebral
7. Rabies
8. Abses otak
9. Neurosistiserkosis

1
LUMBAL PUNKSI
KOMPETENSI
 Melakukan tindakan lumbal pungsi (LP) dengan benar
 Memiliki kompetensi secara menyeluruh mengenai pemeriksaan ini, meliputi indikasi
dan kontra indikasi, prosedur pemeriksaan, serta interpretasi hasil pemeriksaan cairan
serebrospinal (LCS).

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menjelaskan teknik lumbal punksi
 Menguasai anatomi dan fisiologi tulang-tulang vertebra
 Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi lumbal punksi
 Mengetahui efek samping dan komplikasi akibat lumbal punksi
 Menentukan posisi penderita pada saat dilakukan lumbal punksi
 Menentukan daerah asepsis dan antisepsis pada tindakan lumbal punksi
 Menentukan arah dan posisi penusukan jarum spinal
 Mengetahui cara anestesi lokal pada diskus intervertebralis
 Menentukan posisi jarum spinal
 Menentukan jumlah cairan serebrospinal (LCS) yang akan dibuat sampel
 Mengeluarkan cairan serebrospinal (LCS) sesuai kebutuhan
 Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan sererbrospinal (LCS) yang telah diambil secara
benar, termasuk rencana pengiriman spesimen ke laboratorium sesuai dengan indikasi (jenis
dan jumlah sel, protein, glukosa, serologi, mikrobiologi)

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas 1 X 2 jam (classroom session)
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 1 minggu (coaching session)
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 12 minggu (facilitation, assessment, psychomotor)

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih : Video mengenai lumbal punksi
Computer Assisted Learning Material
 Materi presentasi
 Daftar peralatan yang diperlukan
 Jarum spinal
 Dispossible spuit 2.5 cc
 Tabung reaksi berisi reagen Nonne dan Pandy
 Tabung reaksi kosong untuk menampung LCS
 Manometer
 Lidocain ampul
 Kassa steril
2
 Betadine
 Alkohol
 Duk
 Penuntun belajar tindakan lumbal punksi
 Daftar Tilik kompetensi lumbal punksi

Gambaran umum
Pelatihan dengan modul ini dimaksudkan untuk memberikan bekal pengetahuan dan praktek
ketrampilan teknik punksi lumbal secara benar dengan memperhatikan a/antisepsis sesuai
prosedur. Peserta didik belajar mandiri mengenai anatomi dan fisiologi cairan serebrospinal
(LCS).

Contoh Kasus
Seorang mahasiswa laki-laki berusia 27 tahun datang ke IGD dengan keluhan utama nyeri
kepala hebat sejak 2 hari SMRS. Nyeri kepala disertai muntah; pasien kadang-kadang berbicara
kacau. Kejang, kelemahan sesisi disangkal. Terdapat keluhan demam sejak 1 minggu yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan sariawan dan lidah menjadi putih. Hingga saat ini, pasien masih
menggunakan narkoba suntik sejak 5 tahun lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan, kesadaran apatis-somnolen. TD 140/90, N96x/menit P:
20x/menit, Suhu: 38,50 C. Pemeriksaan klinis lain dalam batas normal. Pada kulit terdapat tatto
dan neddle tract. Pada pemeriksaan tatus neurologis didapatkan SKG: E3M6V4; tanda rangsang
meningeal berupa kaku kuduk; dan tidak ditemukan refleks patologis (Babinski) kedua sisi.
Pemeriksaan funduskopi menunjukkan papil batas jelas, tidak hiperemis, cupping (-), A:V:1:3.

Diskusi
1 .Apakah tindakan lumbal pungsi pada pasien ini berbahaya ?
2. Dimana lokasi yang paling aman untuk melakukan tindakan lumbal punksi?
3. Komplikasi apa yang mungkin terjadi saat dan setelah melakukan tindakan LP?

Rangkuman
Tindakan punksi lumbal dilakukan untuk diagnosis penyakit infeksi SSP. Walaupun demikian
tindakan harus berdasarkan indikasi dan memperhatikan kontraindikasi dan inform consent dan
memberikan pengeretian tentang maksud dan tujuan tindakan ini.. Apabila telah dikerjakan
maka penderita harus berbaring selama 2 jam dan mengingatkan pada penderta atau keluarganya
bahwa kemu.ngkinan nyeri kepala dapat timbul yang dapat diatasi dengan pemberian analgetik
Keadaan lain yang memperburuk umumnya disebabkan oleh penyakitnya, bukan karena
tindakannya .

TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi tindakan Lumbal Pungsi (LP)
 Menjelaskan indikasi dan kontraindikasi tindakan LP
 Menjelaskan anatomi meninges dan sirkulasi LCS
b. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi setelah LP
 Menjelaskan komplikasi tindakan LP dan patofisiologinya
 Menjelaskan bagaimana tatalaksana komplikasi-komplikasi tersebut

3
c. Dapat menangani komplikasi yang ditimbulkan oleh tindakan LP
d. Mengetahui manfaat pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP
 Menjelaskan kapan perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan sebelum tindakan LP
 Menjelaskan cost-benefit pemeriksaan ini
e. Mengetahui alat dan bahan yang diperlukan untuk tindakan LP
 Menggunakan video dan demonstrasi alat-alat yang diperlukan
1. Memperlihatkan kepada peserta didik alat-alat yang diperlukan untuk
tindakan LP
2. Menjelaskan kegunaan dari alat-alat tersebut
3. Menjelaskan bagaimana perlakuan terhadap alat tersebut, misalnya:
sterilisasi manometer
f. Dapat melakukan tindakan LP dengan benar dan legal artist
 Menggunakan video
 Menjelaskan langkah-langkah dalam tindakan LP
 Mendemonstrasikan tindakan LP
g. Mengetahui teknik perlakuan terhadap cairan serebrospinal (LCS) yang telah diambil
secara benar
 Menjelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan setelah LCS mengalir
 Menjelaskan cara membuat surat pengantar pemeriksaan LCS ke laboratorium sesuai
dengan indikasinya
 Menjelaskan prioritas pemeriksaan analisis LCS sesuai indikasi dan pertimbangan biaya
 Menjelaskan teknik pengiriman LCS yang benar
 Menjelaskan cara interpretasi hasil analisis LCS dan hasil pemeriksaan LCS lainnya.
h. Dapat menjelaskan kepada pasien maupun keluarga mengenai tindakan ini (manfaat,
indikasi, prosedur, komplikasi, pemeriksaan serta hasil interpretasi pemeriksaan LCS)
 Menjelaskan pentingnya penjelasan kepada maupun keluarga pasien sebelum tindakan
LP
 Menjelaskan perlunya pasien atau keluarga pasien menandatangani surat persetujuan
setelah penjelasan
 Menjelaskan kepada pasien maupun keluarga apakah tindakan LP perlu diulangi lagi atau
tidak

METODE PEMBELAJARAN
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

4
Memperkenalkan diri sebagai fasilitator/pembimbing dan tanggung jawabnya dalam proses
pembelajaran serta bagaimana fasilitator berupaya untuk mencapai tujuan pembelajaran dengan
partisipasi penuh dari para peserta didik.
Kasus untuk proses pembelajaran
Seorang laki-laki, berusia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan
nyeri kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan seluruh tubuh. Sebelumnya penderita
pernah demam disertai batuk dan berkeringat sewaktu malam hari. Di puskesmas penderita
mendapat obat beberapa macam; sejak makan obat tersebut, buang air kecil berwarna
kemerahan. Penderita merasa lebih baik dan tidak kontrol lagi setelah makan obat selama 3
bulan. Selang beberapa lama, penderita mulai demam dan batuk yang kadang kadang berwarna
merah.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan sebagai berikut: kesadaran delirium; tekanan darah 130/80
mmHg; frekuensi nadi 105 x/menit; suhu 38 oC; respirasi 23 x/menit. Pemeriksaan fisik umum
didapatkan skrofuloderma pada KGB leher kanan; terdengar ronki di seluruh lapang paru, tetapi
tidak terdengar mengi pada auskultasi paru; abdomen supel, hepar dan lien tidak teraba; pada
ekstremitas tidak ada edema. Pemeriksaan neurologis menunjukkan Skala Koma Glasgow
(SKG): E4M5V4; pupil bulat isokor diameter 3 mm/ 3mm RCL +/+ RCTL +/+; tanda rangsang
meningeal berupa kaku kuduk positif, Bruzinsky I positif, Kernig >135/ >135, tetapi tidak
ditemukan tanda Bruzinsky II dan III; tidak ditemukan paresis saraf kranial; tidak ditemukan
hemiparesis, refleks patologis, dan klonus pada pemeriksaan motorik. Pemeriksaan sensorik
belum dapat dilakukan, sedangkan pemeriksaan saraf otonom tidak menunjukkan kelainan.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini antara lain adalah pemeriksaan
laboratorium, foto thoraks, dan pemeriksaan CT scan. Selain itu pada pasien juga dilakukan
pemantauan kesadaran, tanda-tanda vital, dan defisit neurologis fokal.

Diskusi
1.Apakah tindakan punksi lumbal segera dilakukan tanpa persetujuan keluarga?
2.Apakah pengobatan dapat segera diberikan setelah diagnosis sementara ditegakkan?
3.Apakah kegawatdaruratan yang mungkin timbul sebelum atau sesudah tindakan lumbal
pungsi?

Rangkuman
Pengobatan empirik pada penderita segera harus dilakukan walaupun punksi lumbal belum
dilakukan, karena angka kematian tinggi apabila kondisi penderita lebih berat.Walaupun
demikian pelaksanaan punksi lumbal tetap dianjurkan untuk memastikan diagnosis yang sesuai
dengan tindakan terapi.Pemantauan penderita harus diperhatikan karena gejala-gejala yang
timbul bisa menjadi lebih progresif.

EVALUASI
 Penilaian kompetensi
 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan
 Hasil kuesioner
 Hasil penilaian peragaan ketrampilan
 Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ

5
 Lisan
 Kompetensi psikomotor

Berikut contoh prosedur informed choice:


PENUNTUN BELAJAR
PROSEDUR INFORMED CHOICE

Nilailah kinerja setiap langkah yang diamati menggunakan skala sebagai berikut.:
1 Perlu perbaikan: langkah tidak dikerjakan atau tidak sesuai dengan yang seharusnya atau
urutannya tidak sesuai (jika harus berurutan)
2 Mampu: langkah dikerjakan sesuai dengan yang seharusnya dan urutannya (jika harus berurutan).
Pelatih hanya membimbing untuk sedikit perbaikan atau membantu untuk kondisi di luar normal
3 Mahir: langkah dikerjakan dengan benar, sesuai urutannya dan waktu kerja yang sangat efisien
T/D Langkah tidak diamati (penilai menganggap langkah tertentu tidak perlu diperagakan)

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
2. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
3. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah
sudah mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan
dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
4. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
5. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap
pasien, termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan
bahasa yang mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
6. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang
menurut pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif
dan benar dari operator/dokter
7. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang
telah disediakan

6
Contoh daftar tilik (checklist) penilaian kompetensi psikomotor

DAFTAR TILIK PENILAIAN KINERJA


PROSEDUR OPERASI

Berikan penilaian tentang kinerja psikomotorik atau keterampilan yang diperagakan oleh
peserta pada saat melaksanakan statu kegiatan atau prosedur, dengan ketentuan seperti yang
diuraikan dibawah ini:
: Memuaskan: Langkah atau kegiatan diperagakan sesuai dengan prosedur atau panduan
standar
: Tidak memuaskan: Langkah atau kegiatan tidak dapat ditampilkan sesuai dengan
prosedur atau panduan standar
T/T: Tidak Ditampilkan: Langkah, kegiatan atau keterampilan tidak diperagakan oleh
peserta selama proses evaluasi oleh pelatih

PESERTA: _____________________________ TANGGAL :______________


KEGIATAN NILAI
Kaji Ulang Diagnosis dan Prosedur Operatif
1. Nilai kesesuaian nama, diagnosis dan rencana tindakan yang dituliskan di
status pasien dengan apa yang ditanyakan pada pasien
2. Kaji kelengkapan prosedur administratif untuk tindakan operatif dan
ketersediaan bahan yang diperlukan
3. Pastikan persiapan fisik dan psikis pasien telah dilaksanakan secara benar
Persiapan Prosedur
4. Kaji kelengkapan peralatan dan bahan untuk prosedur operasi
5. Pastikan pelaksana dan prosedur anestesi telah siap untuk pelaksanaan
prosedur operasi

REFERENSI
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 De Meyer W.E., Technique of neurologic examination a programme text, fifth ed., 2004.
637-648.
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Campbell WW., De Jong’s, The Neurologic examination, Lippincott Williams & Wilkins,
2005, 597-600.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12

7
MATERI BAKU

Lumbal Punksi

Teknik Lumbal Pungsi (LP) atau spinal tap pertama kali diperkenalkan oleh Quinke pada tahun
1891. Tindakan LP sebenarnya cukup sederhana dan sudah dikenal luas, sayangnya kemampuan
LP belum banyak dikuasai oleh dokter terutama ahli neurologi. Tindakan LP yang tampak
sederhana ini ternyata juga memiliki risiko yang perlu diperhatikan.
Lumbal pungsi dilakukan untuk tujuan diagnostik dan terapi. Selain itu LP juga dilakukan secara
insidental seperti pada pemeriksaan mielografi.

Lumbal Pungsi Diagnostik

Indikasi
1. Infeksi susunan saraf pusat (meningitis, ensefalitis)
Umumnya ditemukan peningkatan tekanan, pleositosis, penurunan kadar glukosa LCS, dan
peningkatan konsentrasi protein..
2. Meningitis aseptik
Didapatkan perubahan non-spesifik pada LCS, pleositosis dan peningkatan protein.
3. Infeksi parameningeal dan abses
Pada LCS hanya tampak perubahan non-spesifik. Evaluasi lebih baik dengan pencitraan.
4. Perdarahan subarachnoid (SAH)
Ditemukan LCS dengan sel darah merah dan tampak xantokrom. Pada SAH tindakan LP
hanya dilakukan bila pemeriksaan CT scan diagnostik saja tidak dapat menegakkan
diagnosis, CT Scan tidak tersedia, serta masih dicurigai adanya meningitis.
LCS d-dimer dapat membedakan LP traumatik dengan SAH.
5. Penyakit demielinisasi
Ditemukan abnormalitas IgG yang dapat mendukung diagnosis
6. Inflammatory polyneuropathies
Terjadi peningkatan protein. LCS imunoglobulin mendukung diagnosis kelainan imunologis.
7. Leptomeningeal metastasis
Pleositosis, peningkatan protein, penurunan kadar glukosa. Pemeriksaan sitologi LCS
dengan LP berulang mempunyai spesifisitas yang tinggi dan sensitivitas yang bervariasi
sesuai jenis keganasan. Pemeriksaan tumor marker pada LCS dapat mengkonfirmasi
diagnosis tetapi tidak spesifik untuk neoplasma.
8. Sindrom paraneoplastik
Tampak abnormalitas ringan pada LCS sering disertai dengan autoantibodi yang spesifik.
9. Tumor otak
Gambaran LCS nonspesifik, beberapa memilliki marker spesifik:
 Trophoblastic metastasis dan germ cell: human chorionic gonadotropin
 Germ cell:  fetoprotein
10. Pseudotumor serebri
LP diperlukan untuk mengetahui peningkatan tekanan intrakranial dan menyingkirkan
meningitis.

8
11. Normal pressure hydrocephalus
Perbaikan klinis setelah pengambilan 50 ml LCS dapat memprediksi respon yang baik untuk
tindakan shunting.
12. Septik serebral emboli
Tampak pleositosis.
13. Lupus eritematosa sistemik
Ditemukan kadar C4 yang menurun dan peningkatan respon imun intratekal.
14. Ensefalopati hepatik
Dapat diidentifikasi dengan cukup spesifik dan sensitif bila ditemukan peningkatan
konsentrasi glutamin LCS.

Kontra-indikasi
1. Peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan massa intrakranial atau penyumbatan
aliran LCS yang memiliki risiko herniasi serebri dan kematian.
2. Infeksi di lokasi LP
3. Trombositopeni (< 20 000/uL) atau pemanjangan PT dan APTT yang tidak terkoreksi
4. Trauma medula spinalis akut

Komplikasi
1. Herniasi serebri
Dapat dicegah dengan tidak melakukan tindakan LP pada pasien yang berisiko atau dengan
pemberian anti-edema sebelum LP.
2. Postspinal positional headache
Merupakan komplikasi tersering (5-40%). Biasanya sakit kepala muncul 72 jam setelah LP
dan menghilang kurang dari 5 hari. Nyeri dirasakan bilateral terutama pada posisi berdiri dan
batuk. Nyeri kepala akan membaik dengan posisi berbaring.
Berdasarkan patofisiologinya pada postspinal positional headache terjadi robekan dura pada
lokasi penusukan jarum spinal. Robekan ini mengakibatkan kebocoran LCS keluar dari dura
sehingga tekanan akan menurun. Akibatnya otak akan bergeser turun dan terjadi traksi pada
area sensitif nyeri seperti bridging vessels, dura dan nervus yang menyebabkan rasa nyeri.
Pada posisi supinasi tekanan di sepanjang kolumna spinalis sama sehingga otak tidak
bergeser ke bawah dan tidak terjadi traksi pada area sensitif nyeri.
Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengurangi nyeri kepala ini. Gunakan jarum spinal
berukuran kecil. Semakin kecil jarum semakin kecil pula robekan dura yang ditimbulkan.
Memasang kembali mandrein ke dalam jarum sebelum melepaskan jarum spinal dapat
menurunkan insiden nyeri kepala hingga 50%. Nyeri kepala sendiri dapat diatasi dengan
analgesik dan berbaring.
3. Nyeri punggung lokal
Kurang lebih 1/3 pasien mengeluhkan nyeri punggung lokal setelah tindakan LP yang
berlangsung selama beberapa hari. Hal ini terjadi akibat trauma lokal jaringan lunak sekitar
lokasi LP.
4. Perdarahan lokal
Dapat dicegah dengan menunda pemberian antikoagulan, mengoreksi status koagulasi dan
menggunakan jarum kecil.
5. Infeksi lokal
Dapat dicegah dengan tindakan a dan antisepsis sebelum tindakan.

9
Lumbal Pungsil Terapeutik

Indikasi
1. Infeksi
Meningitis Kriptokokus dengan peningkatan tekanan intrakranial yang refrakter. Tindakan
LP dapat dilakukan berulang kali untuk menurunkan tekanan intrakranial
2. Neoplasma
Beberapa jenis keganasan seperti leukemia serebral, leptomeningeal limfoma dan meningeal
karsinomatosis memerlukan kemoterapi intratekal.
3. Nyeri
Nyeri hebat yang sulit diatasi terutama pasca-operasi dan nyeri pada kanker dapat
disuntikkan morfin dosis kecil ke rongga subarakhnoid.
4. Nyeri kepala pada hipertensi intrakranial idiopatik
Tindakan LP dapat mengurangi nyeri kepala dengan mengeluarkan sejumlah LCS.

Kontra-indikasi
Sama dengan kontraindikasi LP diagnostik. Perlu diperhatikan apakah pasien alergi terhadap
obat yang akan disuntikkan. Dosis, jenis obat dan pelarut harus tepat. Beberapa obat dapat
menyebabkan chemical meningitis.

Lumbal Pungsi Insidental

Untuk pemeriksaan mielografi, LP perlu dilakukan untuk menyuntikkan media kontras.


Tindakan ini dilakukan dengan panduan fluoroskopi setelah dilakukan foto polos vertebra.
Sebaiknya lokasi tindakan menghindari daerah dugaan lesi. Analisis LCS tidak harus dilakukan
kecuali ada indikasi untuk LP diagnostik.

Pertimbangan CT Scan sebelum LP

Tidak semua pasien yang terindikasi tindakan LP harus menjalani pemeriksaan CT Scan.

Anatomi Meninges, Ventrikel, dan Cairan Serebrospinal

Meninges
Otak dan medula spinalis dilindungi oleh 3 selaput otak yaitu:
1. Duramater
2. Arakhnoid
3. Piamater

Piamater dan arakhnoid disebut juga leptomening.


Duramater terdiri atas 2 lapisan. Lapisan yang terluar melekat erat pada tulang. Lapisan yang
lebih dalam adalah selaput otak yang sebenarnya dan menghadap rongga subdural yang sangat
sempit. Arteri duralis atau arteria meningealis berjalan di antara kedua lapisan ini. Lapisan
meningeal dalam dura terpisah dari lapisan luar di tempat terbentuknya sinus duralis dari lapisan
terluar. Sepanjang sinus longitudinalis superior dan sinus transversus, lapisan dalam terbagi dan
menyekat rongga kranial sebagai falks dan tentorium.
10
Lapisan kedua setelah duramater adalah arakhnoid. Strukturnya halus dan kuat serta terdiri dari
membran selular luar dan lapisan jaringan ikat dalam di mana melekat jaringan longgar
trabekula yang tipis. Jaringan ini melintasi rongga subarakhnoid seperti sarang laba-laba
(araknoidea). Arakhnoid tidak terikat pada dura kecuali daerah sepanjang sinus duralis, di sini
arakhnoid melekat melalui granulationes pachioni atau villi.
Piamater adalah lapisan yang menutupi semua permukaan otak dan medula spinalis baik yang
terlihat maupun yang tersembunyi, kecuali permukaan ventrikel. Membran ini mengikuti semua
pembuluh darah yang memasuki atau meninggalkan parenkim saraf dan merupakan batas perifer
dari spasium perivaskular Virchow-Robin.
Rongga subarakhnoid berisi cairan serbrospinal yang bersirkulasi. Semua pembuluh darah dan
saraf otak dan medula spinalis melewati cairan ini. Area pada rongga yang melebar disebut
sisterna.

Ventrikel dan Cairan Serebrospinalis

11
Sistem ventrikel otak terdiri dari dua ventrikel lateral, ventrikel ketiga, dan ventrikel keempat.
Masing-masing ventrikel lateral mempunyai kornu anterior, sela media, kornu posterior, dan
kornu inferior atau temporal. Kedua ventrikel tersebut berhubungan dengan ventrikel ketiga
melalui foramen Monro atau foramen interventrikularis. Akuaduktus Sylvii menghubungkan
ventrikel ketiga dan keempat. Ventrikel keempat berhubungan dengan rongga subarakhnoid
melalui tiga foramen yaitu dua foramen Luschka dan satu foramen Magendie. Foramen ini
terletak di belakang medula dan menghadap sisterna magna.
Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus koroid yang terdapat pada dinding ventrikel. LCS
memasuki rongga subarakhnoid melalui foramen Luschka dan Magendie. Di dalam rongga
subarakhnoid LCS bersirkulasi ke atas dan mengitari otak serta ke bawah mengitari medula
spinalis. LCS jernih seperti air mengandung sangat sedikit sel (± 2 sel/mm 3) dan sedikit protein.
Volume total LCS dalam ventrikel dan rongga subarakhnoid dalam otak orang dewasa sekitar
130-150 ml. Kira-kira 400-500 ml diproduksi setiap 24 jam. Tekanan LCS normal dalam posisi
terlentang adalah sekitar 70-120 mmHg. LCS akan diresorbsi oleh villi arakhnoidalis ke dalam
aliran darah di sinus-sinus duralis.

Anatomi Lumbal Pungsi


Lumbal pungsi biasanya dilakukan pada diskus intervertebralis L2-3. Pada orang dewasa medula
spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula spinalis berakhir kira-kira pada tingkat
diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis pertama dan kedua. Sebelum usia 3 bulan
segmen medula spinalis langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Sesudah itu
kolumna tumbuh lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina
intervertebralis asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula (konus terminalis)
yang pada akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium
subarakhnoid yang seperti kantong hanya mengandung radiks posterior dan anterior yang
membentuk kauda ekuina. Kadang-kadang konus terminalis dapat mencapai tingkat vertebra
lumbalis ke-3.
Pada tindakan LP, jarum spinal ditusukkan di distal L2 untuk mencegah trauma medula spinalis.
Hal ini berarti jarum spinal akan masuk ke rongga subarakhnoid pada tingkat kauda ekuina yang
mobile. Jarum spinal akan menembus kulit, jaringan subkutis, ligamentum supraspinal,

12
ligamentum interspinal, ligamentum flavum, duramater, arakhnoid dan masuk ke ruang
subarakhnoid.

Lokasi penusukan LP biasanya dilakukan pada tingkat L3-4 atau L4-5. Ruang intervertebra L3-4
kurang lebih setinggi krista iliaka posterior.

Peralatan Lumbal Pungsi


Peralatan yang diperlukan untuk tindakan lumbal pungsi adalah sebagai berikut.
1. Sarung tangan steril
2. Iodine solusio
3. Alkohol
4. Kassa steril
5. Duk
6. Lidocaine (1%)
7. Syringe 5 ml
8. Jarum spinal (22G)
9. Manometer
10. Tabung LCS
11. Reagen Nonne dan Pandy
12. Plester

13
Tindakan Lumbal Pungsi
Agar LP berhasil, posisi pasien harus tepat. Biasanya LP dilakukan dengan pasien pada posisi
lateral dekubitus. Pasien berbaring di tepi tempat tidur membelakangi pemeriksa. Vertebra
lumbalis difleksikan maksimal agar ruang intervertebra terbuka. Panggul dan bahu
dipertahankan tetap pada bidang vertikal. Hiperfleksi leher tidak perlu dilakukan karena tidak
akan menambah fleksi pada punggung.
Setelah pasien berada pada posisi yang tepat, tentukan tempat penusukan. Ruang intervertebra
L3-4 dapat ditentukan dengan menarik garis imajiner dari krista iliaka posterior kanan dan kiri.
Pastikan semua perlengkapan berada dalam jangkauan tangan pemeriksa. Sesuaikan tinggi kursi
dengan tempat tidur pasien untuk memudahkan prosedur penusukan.
Selanjutnya pakai sarung tangan steril. Lakukan tindakan a dan antisepsis pada lokasi penusukan
dan sekitarnya dengan menggunakan iodine solusio dilanjutkan dengan alkohol.
Kemudian dilakukan tindakan anestesi lokal dengan lidocain 1%.
Setelah itu siapkan jarum spinal. Dengan mandrein terpasang tusukkan jarum spinal pada lokasi
yang telah ditentukan dengan jarum pararel permukaan tempat tidur dan mengarah ke sefalik
atau ke umbilikus. Bevel jarum harus menghadap ke atas.
Jarum ditusukkan sampai menembus dura (sampai terasa ”pop”). Setelah itu tarik mandrein
untuk melihat apakah LCS sudah mengalir. Bila LCS telah mengalir segera masukkan kembali
mandrein lalu siapkan manometer. Pasangkan manometer pada jarum spinal dan ukur opening
pressure. Selanjutnya masukkan LCS ke dalam tabung penampung. Setelah jumlah yang
diinginkan terpenuhi masukkan kembali mandrein dan tarik jarum spinal dengan 1 kali tarikan.
Bersihkan lokasi LP dan tutup dengan kassa steril dan plester.
Anjurkan pasien untuk tetap berbaring 1-2 jam untuk menghindari sakit kepala pasca-LP.

14
Infeksi Susunan Saraf Pusat

Infeksi susunan saraf pusat terdiri dari:


 Meningitis
 Ensefalitis
 Mielitis

KOMPETENSI
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi susunan saraf pusat, mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya, serta manajemen pengobatan terpadu.

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya infeksi susunan saraf pusat
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi susunan saraf pusat
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi susunan saraf pusat
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi susunan saraf pusat
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada infeksi susunan saraf pusat

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
meningitis, ensefalitis dan mielitis. Klasifikasi,
patofisiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, manajemen terapi disertai
pelatihan pemeriksaan pasien dan mengatasi
kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3,4,5 : clinical practice session diskusi kasus 1
meningitis, ensefalitis, mielitis dan mengelola komplikasi
Minggu 6,7,8 : clinical practice session diskusi kasus 2
Meningitis, ensefalitis, miielitis, dan mengelola
komplikasi
Minggu 9, 10 : clinical practice session diskusi kasus 3
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 11, 12 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih : Alat bantu : sarung tangan, tutup mulut dan alat-alat lumbal punksi
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi
Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based
15
learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang
terjadinya infeksi susunan saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus
Kasus 1
Wanita usia 23 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama panas tinggi
mendadak disertai nyeri kepala hebat.Selang berapa lama pasien gelisah, disusul dengan kejang.
Ada riwayat keluar cairan dari telinga kanan, berbau dan bewarna kuning kental
Pada pemeriksaan ditemukan ,kesadaran delirium, TD 120/80, suhu 39C , nadi 90 X, penafasan
20X., tampak cairan keluar dari telinga kanan, kelelenjar submandibular sedikit membesar. Pada
pemeriksaan neurologi didapatkan tanda rangsang meningeal, tidak ada edema papil dan refleks
patologi.

Kasus 2
Seorang laki-laki, usia 35 tahun, pekerja bangunan, datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri
kepala hebat, demam disertai kejang pada lengan dan gerakan kepala .Riwayat makan obat lama
tidak teratur dari puskesmas
Pada Pemeriksaan, kesadaran delirium, TD 110/70, suhu 38 C, nadi 84 kali, pernafasan 28 X.
Pemeriksaan thorax Pulmo ronkhi diseluruh lap paru. Kelenjar getah bening submandibular
membesar, tampak bekas sikatrik. Pada pemeriksaan saraf kranial tampak gangguan pergerakan
bolamata ( paresis n. III dan VI)

Kasus 3
Laki-laki berusia 24 tahun, tiba-tiba sewaktu di rumah mengalami panas tinggi dan menggigau.
Sebelum itu sering radang tengorokan. Langsung dibawa ke Rumah Sakit. Saat itu ada kejang.
Pada pemeriksaan umum , tanda vital Suhu 39.5 C. Pada pemeriksaan neurologi Kesadaran
delirium., Tanda rangsang meningeal ada. Motorik baik, saraf kranial normal. Refleks fisiologi
dan patologi normal.

Kasus 4
Wanita, usia 19 tahun , pelajar SMA, dibawa keluarga ke RS karena kejang dan penurunan
kesadaran. Sebelumnya penderita baik, kebetulan waktu itu penderita lelah sehabis piknik
bersama teman2nya.. Tidak ada riwayat kejang sebelumnya. Pada pemeriksaan umum Suhu 39.5
C, Nadi 100 X /menit.TD normal, Pernafasan 24x/ menit. C/P normal, Abdomen , H/L tidak
teraba. Pemeriksaan neerologi : delirium, tanda rangsang meningeal tidak ada, motorik normal,
pupil bulat , miosis, refleks lambat. Refleks fisiologi +++/+++ meningkat, refleks patologi +/+

Kasus 5
Laki-laki, usia 38 tahun , baru PHK dari perusahaan penerbangan nasional, mengeluh kedua
tungkai dan kaki lemah. Diawali kesemutan mulai selangkangan, semakin naik keatas dan
berhenti setinggi puting susu. Demam ada, mulai susah bak, sampai keluar tanpa diketahui, bab
tidak bisa udah lebih 3 hari. Pada pemeriksaan umum, tanda vital normal kecuali suhu 39 C.
Pemeriksaan Neurologi: kompos mentis, paraparesis, hipestesia setinggi papila mamae. Refleks
fisiologi +/+ menurun, Refleks patologi -/-
Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan segera?
2. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
3. Apakah pemeriksaan CT Scan kepala dilakukan setelah atau sebelum punksi lumbal
16
Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi anatomi dan
diagnosa banding.
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi
berdasarkan usia, punksi lumbal, empiris.

TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik meningitis
 Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik ensefalitis
 Mengetahui anamnesis dan pemeriksaan klinik mielitis

b. Mengetahui penyebab meningitis, ensefalitis, dan mielitis


 Mengetahui penyebab Meningitis, ensefalitis dan mielitis
 Mengetahui anatomi meningen, otak, mielum dan fisiologis likuor serebrospinalis
 Mengetahui jenis bakteri, viruus penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai
terjadi infeksi
 Mengetahui farmakologi obat dan efek samping

c. Menjelaskan epidemiologi meningitis tuberkulosis


 Mengetahui penyebab meningitis tuberkulosis
 mengetahui anatomi meningen dan fisiologi likuor serebrospinalis
 Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang terjadi
 mengetahui farmakologi OAT dan efek samping

d. Menjelaskan epidemiologi meningitis virus


 Mengetahui penyebab meningitis virus
 Mengetahui virus penyebab dan mekanisme
 Mengetahui farmakologi obat anti virus dan efek samping

e. Menjelaskan epidemiologi ensefalitis virus


 Mengetahui penyebab ensefalitis virus
 Mengetahui patogenesis terjadinya
 Mengetahui jenis-jenis virus
 Mengetahui farmakologi obat-obatan

f. Menjelaskan epidemiologi mielitis


 Mengetahui penyebab mielitis
 Mengetahui mekanisme terjadinya
 Antisipasi kelainan otonom
 Manajemen dan pengobatan
 Rehabilitasi

17
g. Mengetahui komplikasi infeksi SSP
 Mengetahui komplikasi infeksi SSP
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi

h. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang


 Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui jenis pemeriksaan penunjang
 Dapat menginterpretasikan pemeriksaan likuor serebrospinalis
 Mengetahui indikasi pemeriksaan CT Sken
 interpertasi hasil CT Sken
 mempertimbangkan tindakan operatif pada hidrosefalus

i. Melakukan dan menjelaskan terapi infeksi SSP dan manajemen serta resistensi
antibiotika
 Mengetahui manajemen dan terapi
 melakukan tindakan emergensi
 manajemen makanan dan cairan
 pertimbangan terapi empirik
 mengevaluasi hasil terapi

METODE PEMBELAJARAN
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran

Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala, pandangan ganda terutama saat
pasien melihat jauh. Keluhan demam sebelumnya dirasakan hilang timbul. Keluhan tidak
disertai kejang, bicara pelo, mulut mencong, ataupun kelemahan anggota gerak sesisi. Lebih
kurang 3 bulan terakhir pasien mengeluh batuk-batuk lama yang tidak kunjung sembuh, dan
disertai penurunan berat badan. Riwayat narkoba sebelumnya tidak ada

18
a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :
 kesadaran somnolen
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 105 x/ menit
 Suhu 37,9 C
 Respirasi 21 x / menit
 Konjunctiva anemis, sklera tak ikterik
 Jantung dalam batas normal
 Paru-paru : ronki basah apeks kedua paru, whezing tidak ada
 Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3
 Status mental : belum dapat dinilai
 Tanda rangsangan meningeal positif
 Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
 Nervi kranialis : paresis N VI kiri
 Motorik : kesan hemiparesis tidak ada
 Sensorik belum dapat dinilai
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis -/-
 Klonus –
 Saraf otonom dalam batas normal

b. Hasil pemeriksaan penunjang :


 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah
 Pemeriksaan foto thoraks
 Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras

c. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal

Diskusi
1. Apakah keluhan demam, sakit kepala, dan tanda perangsangan meningeal
merupakan tanda klinis ptognomonik pada infeksi susunan saraf pusat
2. Apakah kelumpuhan saraf kranialis dapat terjadi pada meningitis
tuberkulosis
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
4. Berapa lama terapi OAT diberikan penderita dengan tuberkulosis otak
5. Komplikasi apa yang dapat terjadi pada tuberkulosis otak

Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
19
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik/neurologis
 Diagnosis banding
 Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
 Pemeriksaan penunjang
 Sistem rujukan

b. Penilaian kompetensi
 Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan

EVALUASI
Kompetensi Kognitif

 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

20
Contoh prosedur informed choice:

PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
1. Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
2. Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
3. Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
4. Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
5. Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
6. Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara
pengobatan yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah
disediakan

REFERENSI:
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

21
Materi Baku

MENGITIS SEPTIK AKUT

PENDAHULUAN

Infeksi susunan saraf pusat dapat mengenai leptomeninx (meningitis), otak (ensefalitis) dan
medula spinalis (mielitis). Seluruh infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman non spesifik,
spesifik, parasit atau jamur. Selain itu infeksi dapat terjadi karena “toxic mediated syndrome”,
karena toksin bereaksi spesifik terhadap jaringan. Keadaan ini disebabkan oleh kuman
Clostridum tetani (tetanus) atau Clostridum botulinum (botulismus).
Pada kesempatan ini penjelasan dibatasi hanya mengenai infeksi leptomeninx akibat kuman non
spesifik yang menyebabkan terjadinya meningitis septik. Umumnya jenis meningitis ini terjadi
akut disertai perubahan sel dan kimiawi cairan likuor. Sindroma klinik ini dihubungkan dengan
profil likuor serebro spinalis yang akan menentukan diagnosis kerja untuk terapi empiris.
Biasanya pengobatan dilakukan atas dasar scientific guess dengan melihat usia, temuan klinis
dan data epidemiologis. Jadi sebelum jarum LP menyentuh lumbal penderita, pengobatan segera
dilakukan karena akan mempengaruhi prognosis penderita. Oleh karena itu alasan menunggu
hasil LP/pemeriksaan mikrobiologis tanpa memberikan antibiotik yang memadai dalam
pengobatan meningitis tidak dapat diterima.
Sebelum ditemukan antibiotik angka kematian sangat tinggi ( > 90 %) dan menjadi 30 % setelah
ada antimikroba. Walaupun demikian penemuan antibiotik baru ternyata tidak memperbaiki
prognosis karena selain peranan kuman tampaknya proses imunologis juga berperan terhadap
efektifitas pengobatan.
Walaupun mekanisme pasti terjadinya komplikasi tidak sepenuhnya dimengerti, namun
beberapa bukti mengatakan bahwa organisme dan produk bakteri, respon inflamasi pejamu dan
perubahan fisiologi normal otak akibat infeksi menjadi dasar terjadinya komplikasi meningitis
septik akut berupa proses akut, intermediate/spesifik dan jangka panjang dengan sekuele.

FAKTOR RISIKO MENINGITIS SEPTIK AKUT

Pada dewasa, gangguan imun merupakan faktor risiko penting. Defek antibodi atau fungsi
komplemen meningkatkan risiko infeksi dengan organisme yang encapsulated seperti Streptokok
pneumoni, Hemofilus influenza dan Neisseria meningitidis. Sementara itu defek pada cells
mediated immunity (melibatkan T sel atau makrofag) menyebabkan infeksi dengan intraselular
patogen seperti Listeria monositogenes.
Defek neutrofil menyebabkan infeksi dengan organisme gram (-) tertentu terutama Pseudomonas
aeruginoenase dan enterobacteriase. Infeksi parameningeal seperti sinusitis, otitis, empiema
subdural/epidural dan infeksi paru dapat menjadi sumber meningitis. Faktor-faktor risiko
tertentu seperti pemakaian shunting, endokarditis, cedera kepala terbuka mempunyai
kemungkinan terjadinya meningitis Stapilokok. Pasien yang memakai respirator mempunyai
risiko meningitis karena spesies proteus, pseudomonas, serratia atau florobakterius. Sedangkan
cedera kranio-serebral terbuka, sepsis, infeksi parasit (strongiloidiasis) mempunyai risiko
menjadi meningitis karena agen gram negatif seperti Klebsiela, E.coli dan Pseudomonas.

22
PATOGENESIS RESPONS IMUN

Tanpa menggunakan antibiotik, angka mortalitas meningitis septik akut akan meningkat, dan
infeksi ini menyebabkan kerusakan jaringan SSP sebagai akibat respons imun dan radang pada
pejamu. Bakteri penyebab meningitis mempunyai dinding sel dan komponen membran luar yang
mempunyai potensi memacu radang. Semuanya mempunyai efek pada monosit, lekosit, sel
endotelial dan astrosit yang menyebabkan sel-sel ini menghasilkan sitokin proinflamatori dan
kemokin yang memperlihatkan aktivasi dengan adesi molekul. Citokin pro radang seperti TNF 
dan interleukin 1 (IL 1) mempunyai implikasi pada percepatan kaskade radang yang
mengakibatkan kerusakan Sawar Darah Otak (BBB), inflamasi meningeal, edema serebral,
peningkatan tekanan intrakranial dan menurunnya perfusi serebral.
Implikasi dari skenario patofisiologi ini adalah pengobatan bersama menggunakan antibiotik dan
obat tambahan lain. Sehingga disarankan untuk menggunakan terapi ajuvan seperti
kortikosteroid, anti radang/pengaturan sitokin, blokade perlengketan dan aktivasi molekul,
antioksidan, nitric-oxide synthase inhibitor dan terapi anti radang lain diberikan bersama
antibiotik.

Faktor-faktor Pejamu yang mengkontribusi kerusakan pada Meningitis Septik Akut


- Sitokin
 proinflamatori : TNF, IL 1, IL6
 chemokin : IL 8
- Spesies oksigen reaktif
 NO
 Superoxide
 Peroxynitrite
- Asam amino excitatory
 glutamat
 glisin
 aspartat
 taurine
 alanin

- Metabolik as. Arakhidonat


 Prostaglandin

- Kinin
 Bradikinin

- Endothelin
- Protease

PRINSIP PEMBERIAN ANTIBIOTIK

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemberian antibiotik pada penderita meningitis septik
akut adalah :
1. Terapi segera dengan antibiotik yang bakterisid secepatnya, dilakukan sebelum ada hasil
likuor.
23
2. Semua obat yang digunakan untuk meningitis ini mempunyai rasio toksik-terapeutik yang
tinggi. Setelah itu dilakukan monitor level di serum dan likuor.
3. Obat harus mudah penetrasi ke likuor

Beberapa faktor menentukan penetrasi likuor adalah :


- Kelarutan lipid
Kelarutan yang tinggi dalam lipid akan meningkatkan level obat dalam likuor.
Penetrasi aminoglikosida buruk.
- Ionisasi
Molekul nonpoler menembus membran lipid lebih baik dari pada molekul ionized.
Obat-obat asam seperti penisilin dan sefaloporin di ionisasi pada PH plasma, karena itu
penetrasi buruk ke likuor, sedangkan obat-obat seperti trimetoprin dan klorampenikol, un-
ionized pada PH plasma, kelarutan lipid tinggi dan penetrasi baik.
- Gradient PH
Normal gradient PH antara plasma (PH = 7,4) dan likuor (PH = 7,3) kecil. Apabila PH
gradient meningkat, penetrasi obat meningkat. Penetrasi obat menurun selama asidosis
metabolik sistemik dan meningkat pada meningitis bila PH likuor menurun karena lepasnya
metabolit asam.
- Pengikatan protein
Senyawa protein yang mempunyai ikatan tinggi seperti sulfonamid, penetrasi ke likuor
buruk. Generasi ke – 3 sefalosporin termasuk pengecualian.
- Susunan dan ukuran molekular
Makin luas molekul, transportasi melintasi sawar darah otak lambat, seperti aminoglikosida.
- Transport aktif
Pleksus khoroideus aktif mentransport beberapa asam organik dan glukosa pada likuor,
seperti penisilin.
- Inflamasi meningeal
Merupakan faktor utama peningkatan penetrasi obat di likuor. Perubahan permeabilitas
kapiler (meningkat) akan mengubah transpot aktif. Transport ampisilin meningkat (2 – 5)
kali selama meningitis.
4. Konsentrasi obat
Penisilin dan aminoglikosida, memerlukan konsentrasi (20 – 100) x MIC (minimum
inhibitory consentration) diperlukan untuk membunuh bakteri.
5. Pada awal terapi, bila penyebab tidak diketahui, digunakan kombinasi obat, tetapi kombinasi
antara bakteriostatik & bakterisid tidak tepat karena terjadi peningkatan angka kematian dari
30% menjadi 79% (kombinasi tetrasiklin dan penisilin), sebaliknya kombinasi antara
penisilin (bakterisid) dan klorampenikol (bakteriostatik) sangat efektif.
6. Antibiotik diberikan sesuai dengan sensitifitas.
7. Pemberian antibiotik i.v. selama 10 hari untuk golongan streptokok dan listeria
monocytogenes. Selama (2-3) minggu, untuk entrobaktericea.
8. Kuman pneumokok yang resisten penisilin, dianjurkan vankomisin, rifampisin, sefotaksin,
sefritriakson dan seftazidim.

PEMILIHAN ANTIBIOTIK

Meningitis septik akut merupakan emergensi, destruksi segera bakteri di mening dan likuor perlu
karena dapat menurunkan angka kematian. Oleh karena pemberian obat, dosis yang tepat yang
24
mempunyai aktivitas bakterisid dapat dipakai sesegera mungkin. Beberapa terapi yang di
rekomendasikan adalah :
1. Orang dewasa dengan meningitis karena pneumokok, meningokok dan listeria diberikan
Penisilin G (18 –24) juta unit i.v / 4 – 6 jam.
Ampisilin (12 – 18 gr/hari i.v) atau klorampenikol (4 – 6 gr/i.v) merupakan terapi alternatif.
Pada anak-anak dosis ampisilin (300–400 mg/kg/hari). Selain itu dapat diberikan,
sefalosporin generasi ke-3, sefotaksim (2 gr i.v setiap 4 jam) atau sefritriakson (2gr i.v/dosis
tunggal) efektif untuk meningokok & pneumokok terapi kurang baik untuk listeria.
Trimetoprin 160 mg/ sulfa metoksazal 80 mg i.v/6 jam) atau klorampenikol digunakan untuk
listeria meningitis.
2. Untuk anak-anak diatas 2 bulan meningitis karena H. Influenza atau yang penyebabnya tidak
diketahui diberikan 200mg/kg/hari/4-6 jam atau 100mg/kg/hari sefritriakson dengan dosis
maksimum 2 gr/hari/dosis tunggal.
Regimen lama yang diberikan adalah ampisilin (300 – 400) mg/kg/hari i.v ditambah dengan
klorampenikol (75-100)mg/kg/hari i.v. Alasan menggunakan kombinasi ini adalah bahwa 15
– 25% H. influenza resisten terhadap ampisilin, dan pernah dilaporkan juga H. Influenza
yang resisten klorampenicol. Untuk mencegah interferensi kedua obat ini, ampisilin
diberikan 30 menit sebelum klorampenikol.
Pada dewasa dengan meningitis H Influenza, dosis ampisilin (12 –18 gr/kg klorampenikol (4
– 6gr/hari) i.v dan sebagai alternatif di gunakan sefotaksim atau seftriakson.
3. Penderita dewasa dengan meningitis pneumokok/meningokok atau H. Influenza yang alergi
penisilin dapat diberikan hanya klorampenikol 4 – 6gr /hari atau sefalosporin generasi ke 3
4. Meningitis karena basil enterik gram (-) diberikan sefalosporin generasi ke 3 atau kombinasi
antibiotik. Terapi dimulai dengan sefotaksim (2gr.i.v/4 jam), seftazidin (2gr/i.v/6jam) atau
sefritriakson 2gr/hari dan aminoglikosida (gentamisin atau tobramisin 3 – 5 mg/kg/hari).
Pemberian gentamisin intratekal (8 – 10 mg)/hari dapat digunakan.
Apabila bakteri dapat di identifikasi, gentamisin atau tobramisin parentral/intratekal dapat
bersama seftazidim trimetoprin /sulfametoksazal digunakan untuk meningitis gram (-)
(kecuali Pseudomonas aeroginosa) bila penyebab resisten terhadap selfalosporin generasi ke
3.
5. Meningitis karena stopilokok aureus diterapi dengan penisilase resisten penisilin. Nafsilin
atau oxasilin (12 –18) gr/hari. Bila alergi penisilin diberikan vancomisin i.v (1gr/8 –12 jam)
dan intratekal (10 – 20 mg/hari).
6. Apabila etilogi meningitis tidak jelas, pilihan obat pada dewasa adalah ampisilin (12 –
18)gr/hari atau penisilin (18 – 24) juta unit/hari ditambah sefotaksim atau sefritriakson. Bila
alergi penisilin diberikan klorampenikol (75 – 100)mg/kg/hari.
7. Apabila terdapat fokus infeksi di sinus/mastoid, atau shunt yang infeksi, osteomielitis
kranial. Drainage dilakukan dan kalau perlu shunt dapat diganti.
8. Pasien meningitis ini tidak perlu antibiotik melebihi 10 hari kecuali bila terdapat fokus
infeksi atau penyebab meningitis adalah P.aeruginase, listeria monocytogenes (diberikan 3
minggu untuk mencegah relaps. Antibiotik diberikan dosis penuh parentral (i.v).
9. LP ulang tidak perlu untuk menentukan efektifitas terapi bila penderita baik dan kuman
patogen telah di identifikasi.
Pemeriksaan likuor pada akhir terapi meningitis P.aeruginosa, perlu melakukan punksi
lumbal secara priodik menentukan respons terapi dan memastikan kuman. Selain itu
pemeriksaan ulang khusus indikasi pada meningitis akibat komplikasi “shunt”.
10. Meningitis pasca trauma sering kali terjadi sebagai komplikasi neurotrauma. Insiden berkisar
antara (0.2 – 17,8 %).
25
Sebagai faktor risiko meningitis pasca trauma adalah kebocoran likuor dan fraktur basis
kranii dengan manifestasi rhinorrhoe dan otorrhoe. Terapi profilaksis untuk fraktur basis
kranii ini masih kontroversial. Walaupun demikian beberapa studi menganjurkan pemberian
antibiotik sebagai profilaksis.
Dianjurkan pemberian sefriakson, sefotaksim atau piperasilin pada cedera kepala tembus,
impresi fraktur, perawatan lama (prolonged hospital stay), infeksi nosokomial dan post
operasi yang disebabkan basil gram negatif.
Piperasilin diberikan 3 – 4 gr/i.v/4 – 6 jam.
11. Telah dilakukan test kepekaan piperasilin dengan “disk 100 mgr”. Zona diameter 23 mm
atau lebih menunjukkan kepekaan piperasilin.
Kepekaan ini dipertajam dengan pelarutan menggunakan sistim mikro-titer.
Terapi penggunaan piperasilin loading dose 2gr i.v selama 20 menit diikuti continous infuse
(320 – 436 mg/kg BB) selama 24 jam digunakan pada meningitis septik akut.
12. Piperasilin merupakan ureido penisilin sebagai derivat ampisilin. Ureido penisilin ini dirusak
-lactamase dari Stapilokok aureus, E.Coli, Klebsiella dan Bacteroides. Piperasilin
mempunyai aktifitas terbaik melawan Streptokok, Neisseria, Hemofilus dan paling afektif
terhadap Pseudomonas aeruginosa. Jadi dapat digunakan untuk meningitis akut dengan
perkiraan penyebab kuman diatas.
13. Sefalosporin generasi ke 4 (sefpirom) merupakan broad spectrum mempunyai aktivitas sama
dengan seftriakson melawan kuman patogen meningeal. Obat ini dilaporkan mempunyai
aktivitas yang baik terhadap penisilin resisten strain streptokok pneumonia. Jika sefpirom
dikombinasi dengan ampisilin, penetrasi ampisilin pada likuor cerebro spinal akan
meningkat dan tidak demikian halnya bila diberikan pada generasi lain. Dari hasil evaluasi
difusi sefpirom pada pasien meningitis yang menerima terapi konvensional. Sefpirom single
dose 2 gr diinfuskan lebih dari 5 menit pada hari ke 2-3 setelah onset yang disebabkan oleh
S.pneumonia, N.meningitis, L. monositogenes. Dilakukan klasifikasi berdasarkan waktu
2,4,6 dan 12 jam setelah infus ternyata cefpirom berdifusi ke dalam Lss bila meningen
mengalami inflamasi oleh karena itu sefpirom mempunyai potensi untuk terapi meningitis
bagi organisme yang peka.
Terapi antibiotik empiris untuk meningitis akut (menurut American Academy of Neurology
1998)
- Seftriakson atau sefotaksim.
- Tambahan ampisilin untuk bayi , 3 bulan dan dewasa diatas 50
- Untuk imunosupresi gunakan seftazidim + ampisilin.
- Dewasa dengan resisten S. pneumonia tambahkan vankomisin
- Untuk trauma kepala/tindakan bedah saraf gunakan seftazidim + vankomisin
- Untuk kecurigaan listeria tambahan gentamisin
- Pada neonatus digunakan ampisilin + gentamisin
Terapi diberikan se-kurang-kurangnya 7 hari untuk N. meningitidis dan H. Influenzae, (10 – 14)
hari untuk Streptokok pneumonia, (14 – 21) hari sedangkan untuk Listeria monocytogenes dan
21 hari untuk basil gram negatif.

TERAPI TAMBAHAN

1. Steroid
Terdapat bukti bahwa sekuele neurologi terjadi akibat kerusakan otak karena efek toksik
bakteri di LSS terutama endotoksin dari hasil gram (-) dan produk toksik inflamasi sekunder.
26
Kortikosteroid diberikan untuk mengurangi intensitas inflamasi dan karena itu menurunkan
insidensi komplikasi neurologi. Pada anak-anak terbukti bermanfaat sedangkan pada dewasa
masih dipertanyakan. Terdapat 2 penelitian, studi di Mesir menyarankan pemakaian steroid
sedangkan studi di Chicago tidak.
Tetapi beberapa ahli merekomendasikan pemberian rutin prednison 40-80 mg/hari pada
dewasa yang non imunosupresi dengan meningitis septik akut. Dosis besar dianjurkan
sebagai terapi edema serebal sedangkan pemberian steroid sebagai maintenans dilakukan
pada kecurigaan nekrosis adrenal (Sindroma Waterhouse Friderichfeen).

Gambaran Meningitis septik akut yang tidak perlu kortikosteroid atau diberikan dengan hati-
hati.
- Onset subakut/kronik
- LSS cairan atipik
 Sedimen gram (-)
 Test antigen bakteri (-)
 Predominan sel mononuklear
 Eosinofil atau limfosit atipik
 Level glukosa (n) atau mendekati normal
 Kultur bakteri menunjukkan pertumbuhan (-) selama inkubasi 24 jam.
- Diagnosis partially treated meningitis
- Imunodefisiensi
- Pemakaian Vankomisin (kortikosteroid menghambat antibiotik masuk LSS).
- Adanya kecurigaan infeksi jamur, infeksi bakteri organ lain atau diabetes mellitus
berat.
2. Terapi Imunoglobulin
Faktor virulensi bakteri pada Meningitis septik akut adalah :
- Kapsul polisakharida bakteri mempunyai konsekuensi adesi mukosa, invasi likuor
serebro spinalis dan evasi dari jalur alternatif komplemen.
- Dinding sel lipopolisakharida bakteri mempunyai konsekuensi inflamasi mening,
aktivasi lekosit, penglepasan sitokin (TNF, IL) dan kerusakan sawar darah otak.
Pada Meningitis septik akut, immunoglobulin digunakan segera untuk menetralkan yang terjadi
karena penggunaan antibiotik bakteriolisis. Kortikosteroid dan anti radang lain bekerja tidak
pada tingkat endotoksin tetapi pada tingkat kaskade yang dipacu oleh pelepasan endotoksin.
Apabila terapi immunoglobulin digunakan sebagai ajuvan, harus menetralkan endotoksin dengan
cepat untuk mem-blok endotoksin sebelum memasuki sawar darah otak. Intra vena
Imunoglobulin (IVIG) dosis besar dengan interval pendek untuk menjaga konsentrasi plasma
anti-endotoksin spesifik.
Pada salah satu clinical trial diberikan 150 mg/kgBB selama 3 hari selang 12 jam. Kecepatan
infus (40 – 60 ) tetes per jam.

TERAPI INTRA-TEKAL MENINGITIS SEPTIK AKUT

Oleh karena konsentrasi antibiotik relatif rendah pada pemberian intravena, maka dicoba untuk
melakukan penyuntikan intra-tekal (langsung injeksi subarakhnoid).
Indikasi penyebab :
1. Meningitis gr (-).

27
Bila sensitif terhadap ampisilin atau sefalosporin generasi ke 3, dosis bakterisid dapat dicapai
dengan pemberian i.v. Strain-strain tertentu (Pseudomonas, serratia, Acinetobakteri, protens
biasanya resisten terhadap antibiotik diatas).
Dalam keadaan ini dapat digunakan aminoglikosida intratekal.
2. Meningitis Stapilokok
Bacitrasin (5000-10000 unit) dapat diberikan.
3. Meningitis enterokokkal (Streptokokkus faecalis).
Kuman ini sensitif ampisilin. Tetapi perlu kombinasi dengan gentamisin intratekal bila
respons tidak adekuat. Di samping itu bila ampisilin resisten strain diterapi dengan
vankomisin.

TERAPI PROFILAKTIK

Diberikan pada kontak


- Keluarga
- Pegawai RS yang langsung merawat penderita.

Obat yang diberikan adalah :


1. Jika sensitif sulfonamid dapat digunakan sulfadiazin 1 gr. peroral/12 jam pada dewasa, 500
mg/12 jam (usia 1-12 tahun) dan 500 mg (0-1 tahun).
2. Bila sensitif terhadap organisme yang tidak diketahui terapi resisten sulfa, maka diberikan
rifampisin 600 mg/peroral/12 jam untuk 4 dosis (dewasa), 10 mg/kg/(anak-anak) 1 tahun)
dan 5 mg minosiklin (200 mg) per oral kemudian 100 mg per oral /12 jam/5 dosis.
3. Kontak dekat.
Orang lain yang kontak langsung dengan penderita dapat diberikan procain penisilin 600.000
u i.m/8 jam untuk 6 dosis kemudian penisilin v 500 mg per oral/8 jam untuk 8 hari.

Komplikasi Meningitis Septik Akut


Pada meningitis septik akut, komplikasi dapat terjadi :
- Akut (terjadi hari 1 dan kedua perawatan) dan spesifik
- Intermediate (manifest selama perawatan dan menetap setelah dipulangkan)
- Lanjut dengan gejala sisa infeksi

Komplikasi akut :
1. Edema otak
Pada penelitian eksperimental (kelinci), edema terjadi pada meningitis karena escheria coli
yang diobati dengan antibiotik bakterisid secara cepat dan menyebabkan konsenstrasi
endotoksin dalam likuor dihubungkan dengan tingkat edema. Studi ini menerangkan bahwa
pelepasan cepat endotoksin oleh antibiotik litik mempercepat disfungsi otak. Efek yang sama
juga terjadi pada fragmen dinding sel pneumokok.
Edema menyebabkan peninggian tekanan intrakranial. Pada keadaan ekstrim terdapat tanda-
tanda impending herniasi (anisokor, pola pernafasan abnormal, refleks pupil tidak ada). Bila
ringan menimbulkan gejala subjektif nyeri kepala berat dan penurunan kesadaran.
2. Peningkatan tekanan intrakranial
Biasanya disebabkan oleh kegagalan absorpsi likuor serebro-spinalis karena akumulasi fibrin
dan sel radang sekeliling vili arakhnoid dan membaik dengan terapi. Peningkatan tekanan
intrakranial dapat terjadi karena adanya edema otak atau hidrosefalus.
28
Edema terjadi pada proses difus yang disebabkan produk bakteri dan lekosit yang akan
meningkatkan permeabilitas kapiler (edema vasogenik) dan bersama dengan integritas
membran sel (edema sitotoksik).
Edema otak dapat fokal, atau sekunder karena terjadinya arteritis atau tromboplebitis venosa
kortikal dengan disertai iskemia dan infark otak.

Terapi
- Tekanan umumnya menurun cepat bila responsif terhadap antibiotik
- Bila pasien afebril, sadar tanpa tanda fokal dapat diperkirakan peningkatan CSF
membaik
- Tetapi peningkatan tekanan intrakranial (ICP) pada meningitis adalah konservatif
- Bradikardia dan peninggian tekanan darah (refleks cushing) dapat menjadi pertanda
peningkatan ICP. Tetapi bila terjadi hipotensi dan syok seringkali karena
meningkatnya ICP.
- Keseimbangan cairan
Diberikan perfusi adekuat 1500 cc NaCl 0,9 % /hari. Batasi pemberian cairan
berlebihan. Bila pasien dapat mengatur cairan serebri, cairan dibatasi < 2000 cc
intake total sehari (per oral + i.v.) sampai tekanan CSF tidak meningkat
- Steroid
Dexametason 10 mg.iv. , dilanjutkan dengan (4-6) mg.iv, setiap 6 jam sampai ICP
terkontrol. Dosis diturunkan setelah (5-10) hari.
- Zat hiperosmolar
Manitol 1,0 –1,5 gr/kg pada keadaan peningkatan ICP  karena bahaya terjadinya
herniasi transtentral. Dosis diturunkan 0,25-0,5 gr/kg 2 s/d 4 jam interval.
- Furosemid (0,5 mg/kg) digunakan sebagai kekurangan Na & Air dari atas akan
mengurangi pembentuk likuor serebro-spinalis.

3. Abnormalitas Aliran Darah Otak (CBF)


Mekanisme terjadi karena melibatkan beberapa faktor, termasuk penurunan CPP
disebabkan oleh hipertensi intrakranial, hipotensi sistemik atau trombus antara vaskulitis
serebral, vasospasmus atau trombosis atau kemungkinan penurunan metabolisme otak.
Ditambahkan, hilangnya autoregulasi cerebrovaskuler dengan menurunnya CPA. Cerebral
Perfusion Pressure (CPP) Iskemia serebral ditandai dengan menurunnya kesadaran.

Terapi
Tidak ada spesifik terapi untuk memperbaiki aliran darah

Komplikasi spesifik

1. Syndrome of Inappropriate Antiduretic Hormon Release (SIADH). Sindrom ini terjadi


kira-kira pada 30 % penderita Meningitis akut pada anak-anak. ADH dilepaskan oleh
neuron pada Nucleus Supraoptik hipotalamus dan disimpan dalam lobus posterior
kelenjar hipofise. Dalam keadaan tidak normal, hormon ini dilepaskan untuk
menurunkan volume sirkulasi dan bekerja untuk meningkatkan absorpsi air bebas dari
duktu di nephron. Pada beberapa pasien meningitis, mungkin dilepaskan dalam jumlah
banyak, menyebabkan intoksikasi air.

29
Terjadi biasanya pada 24 jam pertama. Pasien memperlihatkan oliguri biarpun tidak ada
tanda klinis dehidrasi. Seluruh pasien dengan meningitis seharusnya diperiksa elektrolit
urine dan osmolalitas.
SIADH menampakkan hiponatremia disertai osmolalitas urin lebih besar dari
osmolalitas serum.

Terapi
Bila ada SIADH, pemberian cairan dibatasi (2/3 kebutuhan maintenans). Monitor serum
elektrolit setiap 6 jam sampai natrium serum kembali normal. Setelah itu pemberian
cairan dapat seperti biasa.

2. Seizure (Kejang)
Terdapat pada (15-25 %) penderita Meningitis, dapat fokal/umum. Umumnya seizure
terjadi awal infeksi dan mungkin karena peningkatan tekanan intrakranial atau efek
iritatif infeksi dan karena respons radang. Bila kejang terjadi terlambat maka dicurigai
ada lesi masa empiema. Seandainya terjadi kejang dalam 24 jam pertama biasanya
prognosa tidak buruk, tetapi bila menetap atau refrakter antikonvulsan, menjadi petunjuk
kelainan otak serius. Apabila terjadi kejang fokal kemungkinan karena peninggian
tekanan intrakranial atau akibat adanya infark arteri/vena.

Seizure merupakan pertanda komplikasi sering infeksi susunan saraf pusat seperti :
- ensefalitis bakteri
- trombosis vena kortikal dengan infark venosa
- efusi subdural /empiema
- vaskulitis
- abses otak
- abnormalitas metabolit misalnya : Hiponatremia karena SIADH.

3. Ventrikulitis
Biasanya terjadi pada 30 % pasien meningitis. Kita curiga ventrikulitis bila seizure sukar
untuk dikontrol. Pada keadaan ini sebaiknya dibuat kultur Lss.

Komplikasi Intermediat

1. Efusi subdural
Biasanya pada anak-anak pada hari ke 5 – 7 perawatan. Pasien mengalami panas yang turun
naik disertai penurunan kesadaran. Kadang-kadang disertai tanda peninggian intrakranial
dengan akibat kelumpuhan saraf kranial dan hilangnya upward gaze. Seluruh gejala ini harus
dibedakan dengan empiema subdural/epidural menggunakan CT/MRI

Terapi
- Observasi, efusi ini jarang menyebabkan masalah klinik, tapi seringkali diragukan
dengan kelainan intrakranial lain.
- Apabila terdapat peninggian tekanan intrakranial, dilakukan evaluasi pemberian
cairan

30
2. Empiema subdural /epidural
Jarang terjadi (1-2)%. Terjadinya empiema karena penetrasi organisme melalui membran
arakhnoida atau durameter. Lebih sering terjadi akibat infeksi streptokokkus pneumonia.
Gejala dan tanda kelainan ini sama seperti efusi subdural dengan gejala kejang dan
kelumpuhan sesisi. Bila diagnosis tegak, dilakukan tindakan bedah dan pemberian antibiotik
yang tepat.

3. Panas (fever)
Panas pada penderita Meningitis septik akut akan menurun setelah hari 3,4 pengobatan. Bila
terjadi panas sekunder maka harus dicurigai penyebab lain.

4. Abses otak
Merupakan komplikasi yang jarang kecuali bila disebabkan oleh Citrobacter sp. (50% kasus)
atau Listeria. Kelainan ini timbul segera pada minggu kedua penyakit tetapi paling sering
setelah minggu ke 3 dan ke 4.
Penderita abses otak akan panas dengan tanda dan gejala lesi massa intrakranial. Terapi dan
tindakan operatif dipertimbangkan dengan melihat lokasi/besarnya abses.
Patofisiologi terjadinya abses diawali dengan edema dan kerusakan jaringan otak (serebritis).
Pada keadaan ini pengobatan antibiotik sangat bermanfaat tanpa tindakan operasi. Tetapi
apabila lebih dari 4-9 hari pusat infeksi membentuk pus semi likuid dan jaringan otak
nekrotik. Pada keadaan ini pengobatan antibiotik tidak berhasil. Selanjutnya terjadi
encapsulasi jaringan gliotik dan membentuk abses bebas dengan gambaran penyangatan
(ring enhancement) pada CT Sken.

Tanda dan Gejala frekuensi


Nyeri kepala ……………………………… 75 %
Perubahan mental ……………………….…… 50 %
Demam ………………….………………. 40 – 80 %
Hemiparesis……………………………………. 30 %
Kelumpuhan saraf kranial ………………… 15 – 30 %
Kejang ……………………………………….. 25 – 45 %
Nausea & Muntah …………………………. 20 – 50 %
Kaku Kuduk ………………………………….. 25-30 %
Edema papil ………………………………. 25 – 30 %
Aphasia………………………… ………. 10 %

5. Hidrosefalus
a. Hidrosefalus komunikans, merupakan komplikasi meningitis septik akut karena
gangguan absorpsi likuor serebro spinalis karena meningen menebal dan fibrotik setelah
peradangan. Sindroma ini dapat terjadi segera atau setelah dipulangkan. Umumnya
terdapat tanda peninggian intrakranial.
Keadaan ini bukan merupakan kedaruratan dan dapat membaik spontan tanpa “shunting”.
b. Hidrosefalus non komunikans
Jarang terjadi karena komplikasi meningitis septik karena umumnya yang terjadi adalah
obstruksi parsial.
- Obstruksi total “ventricular outflow” jarang.Tetapi bila ada obstruksi total ini
merupakan tindakan emergensi.

31
Bila pada pemeriksaan terdapat koma, tanda Babinski bilateral dan paralisis
“upwward gaze” dapat membantu menegakkan diagnosis yang dapat dikonfirmasi
dengan CT Scan/MRI. Kadang-kadang papiledema tidak ada.
- Obstruksi parsial pada akuaduktus atau ventrikel IV “outflow” bukan tindakan
emergensi. Pada kondisi ini perlu diperhatikan obstruksi total.

Komplikasi lanjut dan gejala sisa infeksi

1. Kegagalan fungsi kognitif


Dapat terjadi ringan (“learning disability”) sampai kelainan global. Usia merupakan
determinan kritis terhadap keluaran, skuele serius terjadi pada usia muda.
2. Deafness (Tuli)
Kejadian berkisar antara (5-25) %. Tidak diketahui pasti apakah cedera karena kerusakan
vaskuler N VIII atau straktur telinga dalam. Biasanya terjadi pada awal-awal kejadian, tetapi
diketahui setelah dipulangkan.
3. Handicap (cacat) motorik
Dapat terjadi paresis saraf kranial kuadriplegia. Kelemahan terjadi pada kelompok otot-otot
tertentu seperti ptosis, hemiparesis/plegia. Semua kelainan ini bila diketahui setelah
dipulangkan, umumnya menetap sampai dengan 1 tahun follow up.

KESIMPULAN
Meningitis septik akut merupakan problema penting karena tingginya angka kematian dan
adanya skuele. Banyak kasus terjadi pada usia muda sehingga akan menurunkan produktivitas
kerja yang akan mempengaruhi ekonomi keluarga.
Dewasa ini, pengertian tentang patogenesis terjadi cedera otak karena infeksi belum dimengerti
sepenuhnya. Beberapa penelitian pada binatang dan trial klinik mencoba menerangkan secara
lebih mendasar studi masa depan. Dilakukan penelitian pada bakteri dan faktor-faktor pejamu,
metabolisme asam arakhidonat, sitokin, neuro-transmiter eksitatorik dan konsekuensi
patofisiologis dari infeksi dengan tujuan pemberian pengobatan tambahan sehingga hasil terapi
akan lebih nyata.

32
MENINGITIS SEPTIK AKUT

PEMERIKSAAN
GEJALA KLINIS TERAPI KHUSUS
PENUNJANG
 Timbul akut / subakut  Pemeriksaan darah Pilihan I :
 Sakit kepala  Darah tepi :  Cephalosporin generasi III
 Kaku Kuduk, Kernig (+), Lekositosis  Cefotaxim 6 x 2 gr IV
Brudzinski (+) LED   Ceftriaxone 1 x 2 gr IV
 Demam (40 - 40,5) Gangguan Selama 15 hari
 Muntah pembekuan/perdarahan  Meningokok, pneumokok
 Letargi / kesadaran menurun  Ureum, kreatinin (bila akan
Kejang umum / fokal menggunakan Pilihan II :
cephalosporin) Untuk Listeria monocytogenes
 Pada S pneumococcus gejala  Pemeriksaan LCS dapat diberikan cotrimoxazole
klinis lebih berat  Lekosit  (> 1000 / UL, dengan dosis 10 mg/kgBB/hari
dibangdingkan 90% PMN) selama 12 hari
meningococcus / H influenza  Protein > 150 mg / dl
(oleh karena mengeluarkan  Glukosa < 30 mg / dl  Dexamethason (0,15 mg/kgBB)
toksin a.l. hemolisin,  Pewarnaan Gram ± 4 hari
imunoglobulin A protease, Untuk identifikasi kuman,  Manitol / glycerol untuk
neuroaminidase dan hasil (+) bila > 103 CFU menurunkan TIK
hyaluronidase) (Colony Forming Unit)/cc  Rifampisin dapat diberikan ± 2
 Perubahan kesadaran dari LCS hari (pada kasus pneumokok
stupor / koma  Lactat LCS yang resisten terhadap -
 Kejang berulang Untuk membedakan lactam), dosis 20 mg/kgBB/hari
 Defisit neurologis terjadi bakteri/virus
pada awal stadium 1. Infeksi bakteri : kadar
laktat mendekati 30 mg/dl
2. Infeksi virus : < 25 mg / dl
 CRP : (+) ada inflamasi
meningeal bila > 100 mg /
ml
 Brain CT: bila ada tanda
neurologis fokal/papil
edema

33
MENINGOKOKUS MENINGITIS

GEJALA KLINIS PEMERIKSAAN PENUNJANG TERAPI KHUSUS


 Ruam eritema makulopapular difus  Pemeriksaan ruam petekiae  Penicillin G 250.000
pada tubuh dan ekstremitas bawah secara mikroskopis dengan cara U/kg/hari IV dalam dosis
aspirasi. terbagi setiap 4 jam dengan
 Petekiae dapat dijumpai pada : dosis maksimum 20 juta unit
 Kulit, membrane mukosa atau  Apusan darah tepi pada selama 7 hari adalah
konjungtiva tetapi tak pernah meningokok fulminan antibiotik pilihan untuk terapi
dijumpai pada kuku, memudar dalam meningitis yang disebabkan
3 – 4 hari.  LCS: Sel 10 – 65.000/ mm3 N meningitides
 Terdapat pada 50 – 75% anak Glukosa rendah  Jika terdapat resistensi dapat
Protein > 1 g/l dipergunakan Ceftriaxone
 Pada septikemia meningokok fulminan Kultur LCS dapat menunjukkan atau Cefuroxim 200
dapat dijumpai sindroma Waterhouse hasil positif terutama pada mg/kg/hari
Friderichsen, ditandai dengan: meningitis meningokok awal  Plasmaferesis untuk
 Demam mendadak menghilangkan endotoksin
 Petekiae yang besar pada kulit dan  Kultur serum bakterial, kompleks imun dan
membran mukosa tromboplastin jaringan
 Kolaps kardiovaskuler  Tes CIE monosit dari sirkulasi.
 DIC (Counterimmuneelectrophoresis
) mempunyai sensitivitas 50 –
Pada pasien dengan infeksi meningokok, 90%.
10 – 20% mendapat septikemia
meningokok fulminan

SIADH
SYNDROME OF INAPPROPRIATE ANTI DIURETIC HORMONE
GEJALA KLINIS
TERAPI KHUSUS
 Hiponatremi (< 115 meq)  Restriksi cairan 2/3 dari kebutuhan normal
 Koreksi dengan NaCl 3%:
 Osmolaritas serum menurun (< 280 mOsm/l)  Dosis : 8 – 10 meq/l dalam 24 jam
 Dosis maksimal : 12 meq/l
 Natrium urin > 20 meq/l  Furosemid dosis 0,5 – 1 mg / kgBB IV
 Ureum (BUN) < 10 mg/dl

 Asam urat plasma < 4 mg/dl

 Normovolemik

 Fungsi tiroid dan adrenal normal

34
KEPUSTAKAAN :

1. Scheld, MW, Whitley R.J et al, Infection of Central Neurons System 1991, page 335 – 342
2. Coyle PR, Davis LE, Neurologic Infektion ; Acute Septic Meningitis in American Academy
of Neurology, Volume 10,1998.
3. Dickinson G,et al. Penetration of Piperasillin into Cerebrospinal Fluid in Patient wise
Bacterial Meningitis.
4. J. Steven et al. Post Traumatic Infection of the Central Nervous Systim in Neurology and
Trauma, 1998
5. Goodman and Gilman’s, The Pharmacological Basis of Therapeutics, 1991
6. Delire M, et al. Intravenous 5S – Imunoglobulins in Therapy of Acute Bacterial Meningitis.
7. Sager MS, Mc. Guire Dawn; Infections disease is manual of neurological therpeutic, 1999.
8. Tureen. JH, Sande MA; Complication of Bacterial Meningitis in Neurological Infection,
1996.
9. Spranger M. et.al, Excess Glutamate levels in cerebrospinal flind predict clinical outcome of
Bacterial Meningitis, Arch Neurol/Vol 53, Oct. 1996.
10. Tyler KL, Bacterial Brain Abscess, American Academy of Neurology, 1998.
11. Wispelwey, B. et al, Brain Abscess, infections of the nervous system, 1991.
12. Coyle PK, corticosteroid treatment of CNS infections the upside, American Academy of
Neurology, 1998.
13. Fitonssi F, et al; Killing activity of cefpirome against pinicillin resistant streptococcus
pneumonia isolates from patients with meningitis in a pharmacodynamic model simulating
les concentration profile, in antimicr agent chemotherapy 1995; 39; 2560 – 2563.
14. Wolff, et al, Diffusion of Cefpirome into the cerebrospinal fluid of patient with purulent
meningitis, J. Antimicrob chemother 1992, 29 (Suppl. A.) 59 – 62.

35
MATERI BAKU

MENINGITIS TUBERKULOSIS

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menimbulkan masalah kesehatan masyarakat.
WHO memperkirakan terdapat 8-10 juta kasus baru setiap tahun.
Meningitis tuberkulosis yang merupakan salah satu tuberkulosis ekstrapulmoner, merupakan
penyakit infeksi SSP subakut dari fokus primer paru. Beberapa kasus diantaranya tidak
ditemukan tanda-tanda tuberkulosis sistemik aktif, tetapi pada kenyataannya penderita adalah
meningits tuberkulosis. Jadi, penyakit ini merupakan serangan lanjutan yang fatal dapat juga
terjadi akut atau kronik dengan gambaran likuor serebro-spinalis yang atipik.
Diduga terjadi penurunan kasus di negara maju, tetapi masih terdapat 15% kasus ektrapulmoner
dengan angka kematian berkisar antara (15-40)%.
Dewasa ini di negara maju penderita meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi HIV dengan
gejala yang lebih kompleks, seperti infiltrat pulmoner difus dengan limfadenopati torakal.

GAMBARAN KLINIS

Selama (2-8) minggu meningitis tuberkulosis meperlihatkan gejala tidak spesfifk seperti malaise,
anoreksia, fatig, demam, mialgia dan seringkali nyeri kepala yang semakin memburuk (86%).
Tetapi menurut salah satu laporan gejala yang paling sering adalah kejang, perubahan mental
dan demam

Gambaran lain yang menyertai adalah :

 Kaku kuduk pada ¼ penderita


 Kelumpuhan saraf otak (15-40%), paling sering N.VI dan dapat juga N III, IV,II,VIII,X,XI
dan XII.
 Funduskopi tampak tuberkel di khoroid
 Gangguan penglihatan karena
 Arakhnoiditis optico khiasmatis
 Tuberkuloma yang menekan N II
 Toksisitas etambutol
 “Gaze palsy” dan “Internuklear optalmoplegi” yang terjadi karena lesi parenkim akibat
vaskulitis.
 Hemiparesis dan hemiplegi, gerakan involunter (korea, hemibalismus, atetosis, ataksia
serebelar dan mioklonus) biasanya disebabkan infark karena vaskulitis tuberkulosis, tetapi
dapat juga terjadi sebagai akibat lesi massa dari tuberkuloma
 Stroke biasanya terjadi di daerah lokasi a serebri anterior dan pernah juga di vertebrobasiler.
 Selain itu dapat juga terjadi meningitis spinalis, mielitis transversa dan sindroma arteri
spinalis anterior.
36
 Risiko tuberkulosis ekstrapulmoner meningkat bila terdapat infeksi HIV dan ternyata
mortalitas penderita menjadi 33% bila terdapat HIV, 21% pada individu tanpa HIV.

Meningitis tuberkulosis bila tidak diobati secara klinis memperlihatkan 3 stadium :

Stadium I ( stadium awal )

Gejala prodromal nonspesifik yaitu apatis, iritabilitas, nyeri kepala ringan, malaise, demam,
anoreksia, muntah dan nyeri abdomen. Bila terdapat iritasi meningeal, nyeri kepala dan muntah
maka diagnosis mulai dapat diperkirakan

Stadium II ( Intermediate)

Gejala menjadi jelas disertai “drowsy”, kejang dan defisit neurologis fokal antara lain
kelumpuhan saraf III, IV, VI disertai gerakan involunter. Bila terjadi hipertensi intrakarnial
maka pada funduskopi akan tampak papil edema dengan hidrosefalus pada CT kepala

Stadium III (advanced)

Penderita mengalami penurunan kesadaran dengan disfungsi brainstem termasuk deserbrasi dan
dekortikasi. Pupil tampak melebar disertai iregularitas denyut nadi dan pernafasan, disertai
hemaparesis..

Selain bentuk yang digambarkan di atas, ditemukan juga bentuk atipik. Penderita mengalami
demensia progresif lambat ( bulan s/d tahun) dengan perubahan kepribadian, penolakan sosial,
hilangnya gairah dan defisit neurologi. Di samping itu terdapat pula meningitis tuberkulosis
dengan infeksi HIV dengan gambaran limfadenopati superfisial intratorakal dan intraabdominal.
Kadang-kadang disertai tuberkulosis intraserebral.

GAMBARAN PATOLOGI

Pada meningitis tuberkulosis tampak :


 Eksudat meningeal radang
 Vaskulitis arteri di daerah yang melewati eksudat, terutama pembuluh darah kecil dan
sedang.
 Gangguan “flow” cairan serebrospinal

Pada pemeriksaan makro terlihat opasitas difus meninx dengan eksudat gelatinosa predominan
di sisterna basal sedangkan secara mikroskopik pada eksudat meningeal terlihat limfosit sel
plasma, sel epiteloid dan fibrin. Inflamasi dan eksudat predominan sekitar pembuluh darah
menigeal. Radang akan mengenai tunika adventitia, media dan bahkan intima. Lumen pembuluh
darah jadi menyempit disertai oklusi arteri serebral dengan akibat infark. Nekrosis fibrinoid dan
kaseosa dapat juga terjadi pada arteri (flebitis serebral). Pembuluh darah dasar otak pada
meningitis tuberkulosis dapat terkena terutama a karotis interna, a serebri media proksimal dan
pembuluh darah di ganglia basalis seperti arteri thalamoperforans. Konsekwensinya, infark
37
serebri sering terjadi di dasar otak sekeliling bibir fisura Sylvii dan didalam ganglia basal.
Disamping itu hidrosefalus juga terjadi sebagai konsekwensi obstruksi sisterna basal, dan oklusi
akuaduktus.

EPIDEMIOLOGI

Tuberkuloasis pada 1997 diperkirakan menyebabkan kematian lebih dari satu juta penderita di
negara-negara Asia :

India 457.000
Cina 258.000
Indonesia 140.000
Bangladesh 66.000
Pakistan 64.000
Filipina 47.000
Vietnam 20.000
Birma 16.000
Thailand 17.000
Kamboja 9.000
Sumber : Journal of the American Medical Association (Reader Digest Oct 1999)

Berdasarkan otopsi (Riggs, 1956) menyatakan bahwa antara (5-10%) penderita tuberkulosis aktif
diperkirakan berlanjut menjadi infeksi SSP. Pada tahun 1940 di Amerika, meningitis
tuberkulosis didapatkan pada 32% kasus meningitis dan menurun drastis <8% pada 25 tahun
kemudian. Sedangkan di India pada tahun yang sama 60% kasus pada anak 9 bulan - 5 tahun.
Menurut data di Bagian Neurologi (IRNA B) RSUPNCM, tahun 1996 terdapat 15 kasus
meningitis tuberkulosis dengan kematian 40%, 13 kasus dengan kematian 53,85% tahun 1997
dan 13 kasus dengan kematian 46,15% pada tahun 1998.

PENCEGAHAN

Dilakukan metode kontrol dengan identifikasi kasus dan mengenal kontak dalam arti diagnosis
dini dengan pemakaian khemoterapeutik.
Namun sebetulnya kondisi sosial juga akan meningkatkan risiko transmisi seperti kepadatan
penduduk dan gizi buruk yang perlu ditanggulangi dan diperbaiki. Masyarakat harus dididik
tentang penularan tuberkulosis dan metode kontrol
Test tuberkulin selektif dilakukan pada kelompok “ high risk” dan terapi preventif isoniazid
selama 1 tahun ternyata cukup efektif untuk membatasi progresi infeksi laten lebih 90% tetapi
keampuhan terhadap HIV tidak diketahui.
Di Amerika, metode kontrol dilakukan dengan cara meningkatkan kesadaran dokter dan petugas
kesehatan untuk menemukan secara dini penderita kontak.
Strategi pencegahan termasuk vaksinasi BCG mempunyai efisiensi + 80% untuk melindung
anak-anak (0-6 tahun) dari komplikasi TBC termasuk milier dan meningeal.

38
JALUR KLINIS MENINGITIS TUBERKULOSIS DEWASA
UNIT GAWAT DARURAT

Dokter Jaga :
Anamnesis
 Demam
 Nyeri Kepala
 Penurunan Kesadaran
Pemeriksaan Fisik Tanda Iritasi Meningeal (-)
Tanda Iritasi Meningeal (+) Terapi/tindakan emergensi

Konsul ahli Saraf CT Scan Kepala


Defisit Fokal (+) Defisit Fokal (-)
Penyangatan Normal
Meningeal & Abses
CT Scan Kepala X-ray Thoraks
X-ray Thoraks Pungsi Lumbal
Normal Abses
Penyangatan
Meningeal & Abses
Normal Abses Normal
CT Scan Kepala

Ada Tidak ada


Anggap
Penyangatan Metabolik ensefalopati
Meningeal & Abses
X-ray Thoraks

Normal Abses

Pleiositosis
Rawat di Unit Perawatan protein meningkat Sitologi
Neurologi/Bangsal Glukosa menurun

BTA Pleiositosi Meningkat Sel tumor


Leptomeningitis
Carcinomateous

+ -

Latex
+ -

Kultur

Kultur anti TBC terapi Mulai anti TBC terapi + - 39


DIAGNOSIS (1,2)

Tegak berdasarkan :
1. Anamnesis
 demam, nyeri kepala disertai mual, muntah dan kejang, perubahan perilaku tampak
selama 2-6 minggu.
 riwayat keluarga dengan tuberkulosis
 riwayat exposure dengan penderita tuberkulosis
 pernah menderita tuberkulosis

2. Pemeriksaan fisik
 panas tidak terlalu tinggi
 penurunan kesadaran
 tanda-tanda tuberkulosis paru

3. Pemeriksaan neurologi
 funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada koroid
 papil edema memperlihatkan adanya peninggian tekanan intrakranial

4. Pemeriksaan darah / sputum


 hitung jenis dengan predominant limfosit
 LED meningkat
 hiponatremi dan hipokloremi pada SIADH
 kemungkinan BTA ditemukan pada sputum

5. Foto toraks
 kemungkinan adanya penyebaran miliar dan infiltrat padat di apeks paru.

6. Pemeriksaan likuor serebro-spinal (1,2,6)


Pemeriksaan yang paling penting untuk diagnosis meningitis tuberkulosis
Gambaran likour memperlihatkan
 pleiositosis biasanya antara 100-500 sel-sel / mm3, tapi pada beberapa kasus terdapat
melebihi 1500 sel / mm3. Bahkan kadang-kadang sampai 3000 - 4000 / mm3. Sel yang
predominan adalah limfosit. Kemungkinan menunjukkan respon anergi pada sejumlah
besar tuberkulo-protein yang dilepaskan tuberkel, biasanya sementara. Bila terdapat
infeksi campuran terdapat gambaran PMN dan monosit.
 protein LCS biasanya antara 100 - 500 mg / dl, tapi dapat saja normal. Bila terjadi reaksi
eksudasi dan blok jalur LCS, terutama pada level spinal konsentrasi protein sangat tinggi
1 gr / dl sehingga menimbulkan bekuan otopellikel pada tabung (Sindrom Froin) karena
terdapat faktor pembekuan serum (fibrinogen).
 glukosa biasanya rendah di bawah 40 mg % pada euglycemia akibat gangguan transport
glukosa di pleksus khoroideus karena reaksi inflamasi. Peningkatan glukosa selama
pengobatan anti tuberkulosis menunjukkan prognosis yang lebih baik.

40
 terdapat hipokloremi
 kultur kuman tahan asam, kultur positif pada 75% kasus selama 6 minggu untuk melihat
pertumbuhan.
 sediaan hapus kuman tahan asam dilakukan secara serial. Pertama kali hanya positif pada
37% dan meningkat menjadi 87 % setelah 4 kali pemeriksaan. Sentrifugasi 10-20 cc
selama 30 menit direkomendasikan minimal 3 kali LP setiap hari.

Selain prosedur tersebut diatas dilakukan tes-tes lainnya :

 Tes tidak langsung mengukur respon pejamu terhadap organisme level adenosin
daeminase dalam LSS, penurunan permeabilitas sawar darah otak dengan mengukur tes
partisi bromida dan antibodi terhadap basil tahan asam dalam LSS.
 Tes langsung dilakukan identifikasi komponen kimia atau antigen basil.
Termasuk dalam hal ini :
 ELISA (Enzyme-linked immunoabsorbent assay) untuk antigen
 Kromatografi atau spektroskopi dengan menentukan asam tuberkulostearat
 Tes aglutinin partikel lateks untuk antigen
 PCR (polymerase chain reaction) (1,6,13)
Menentukan fragmen mikobakterial DNA dalam LSS. Pemeriksaan yang
cepat dan alat diagnostik yang sensitif untuk mikobakterium tbc,
walaupun bukan merupakan pemeriksaan yang rutin.

GAMBARAN NEURORADIOLOGI (1,2)

Pemeriksaan neuroradiologi membantu membedakan meningitis tuberkulosis dengan infeksi


opportunistik lain atau proses neoplastik pada pasien dengan AIDS dengan manifestasi
neurologi. Ditemukannya abses multiloculated, penyangatan sinterna, infark ganglia basalis dan
hidrosefalus komunikans merupakan gambaran meningitis tuberkulosis.

Foto kepala
Tampak kalsifikasi di mening basal dekat fossa posterior atau dalam parenkim otak
(terutama anak-anak)
2. Radioisotop - Brain Scan
Terdapat uptake supra dan para selar radionuklida, keadaan ini merupakan
refleksi inflamasi ekstensif leptomening basal.
3. Angiografi
Lehrer mengemukakan angiography triad
 pola hidrosefalus pembuluh darah
 penyempitan pembuluh darah pada dasar otak
 penyempitan pembuluh darah kecil atau sedang dengan kolateralnya
4. Brain CT scan
 Abnormalitas parenkim otak, pembuluh darah dan meningen
 hidrosefalus

41
 dengan kontras tampak penyangatan sisterna basal, pelebaran dan pengaburan susunan
arteri basilar.
 setelah beberapa hari penyangatan (enhancement) meluas ke permukaan korteks, fissura
hemisfer. Terdapat lusensi periventrikuler merupakan refleksi eksudat tbc
periventrikuler dan pembentukan tuberkel sepanjang ependim dan koroid.
 Gambaran awal tuberkuloma pada otak adalah 4 S (small, subcortical, surrounding
edema, solid enhancement)
kadang-kadang tampak daerah isodens ddan hipodens dengan
penyangatan cincin. CT scan serial akan memperlihatkan resolusi
setelah 12-15 minggu pengobatan antituberkulosis.

5. MRI
Tampak inflamasi meningeal basiler dan dengan kontras tampak penebalan meningeal lokal,
inflamasi dan pembentukan tuberkuloma kecil.

6. Tes tuberkulin
Tes yang positif menunjukkan merupakan nilai diagnostik pada anak.
Pada dewasa tes yang positif menunjukkan exposure antigen TBC. Tes
yang negatif ditemukan pada malnutrisi, infeksi berat atau pada
imunosupresi

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Akibat manifestasi klinik yang tidak spesifik maka meningitis tuberkulosis dibedakan dengan :

Meningitis kriptokokkosis
 sukar dibedakan
 pada populasi, meningitis tuberkulosis lebih sering pada peminum, sedangkan
kroptokokkosis lebih biasa pada pengguna imunosupresi

2. Neurosarkoidosis
 jarang melibatkan saraf kranial
 glukosa dan potein sedikit meningkat

3. Meningoensefalitis virus
 glukosa dan protein sedikit meningkat

4. Meningitis karsinomatosa

MANAJEMEN

Keluaran meningitis tuberkulosis tergantung stadium waktu pengobatan. Oleh karena itu
pengobatan dilakukan secepatnya setelah dugaan tuberkulosis tanpa menunggu hasil kultur dan
sensitifitas. Prinsip seleksi obat didasarkan sifat farmakologik (bakterisid / bakteriostatik),
konsentrasi LSS, interaksi obat dan toksisitas)

42
Terdapat beberapa regimen yang dianjurkan

Kelompok Oxford (Inggris) memberikan INH, Rifampisin, Pyrazinamid dan streptomisin,


termasuk streptomisin intratekal 50 mg / kg dan selang hari sampai dengan minggu ke II.
Selain itu mencegah pembentukan eksudat diberikan PPD (purified protein desensitifity)
intratekal

Hongkong dan Bangkok


Menganjurkan memberikan 4 obat : INH,RIF,PRZ dan Streptomisin

3. Kelompok Amerika
Pemberian INH,RIF dan PRZ selama 2 bulan kemudian dilanjutkan dengan
INH dan RIF untuk 7 bulan. Bila ada resistensi obat tambahkan streptomisin
atau etambutol

4. American Thoracic Society


Mengusulkan pemberian selama 6 bulan. INH - RIF - PRZ selama 2 bulan,
selanjutnya 4 bulan INH dan RIF saja tiap hari atau 2 kali seminggu.

OBAT DOSIS FREKUENSI LAMANYA


Kemungkinan resistensi obat yang rendah

A INH 300 mg setiap hari 6 bulan


RIF 600 mg setiap hari 6 bulan
PRZ 15-30 mg/kg setiap hari 2 bulan

B INH 300 mg setiap hari 9 bulan


RIF 600 mg setiap hari 9 bulan
Etambutol 25 mg/kg setiap hari 2 bulan
atau
Streptomisin 1 gr setiap hari 2 bulan

C INH 300 mg setiap hari 1 bulan


900 mg 2 kali seminggu 8 bulan

RIF 600 mg setiap hari 1 bulan


600 mg 2 kali seminggu 8 bulan

Kemungkinan resistensi obat yang tinggi

A INH 300 mg setiap hari 1 tahun


RIF 600 mg setiap hari 1 tahun
PRZ 15-30 mg / kg setiap hari 2 bulan
Etambutol atau 25 mg / kg setiap hari 2 bulan
Streptomisin 1 gr setiap hari 2 bulan
Kasus dengan resistensi obat, diberikan setelah tes resistensi

43
TERAPI TAMBAHAN :

PPD intratekal
Dilakukan pemberian PPD intraktekal pada penderita yang diramalkan tidak
tertolong. Setelah penderita meninggal dilakukan otopsi, ternyata eksudat
di basal tidak tampak. Oleh karena itu pemberian PPD ini mengurangi
serius sekuele.

2. Kortikosteroid
Pemberian bersama INH pada model binatang banyak mengurangi sekuele
bila dibandingkan tanpa kortikosteroid.

Indikasi :
 stadium II dan III
 peningkatan tekanan intrakranial / sindrom herniasi
 blok spinal
 ada tuberkuloma

Protokol

 Dewasa : Prednison 1 mg / kg / hari atau deksametason 8 - 16 mg / hari


 Anak : Prednison 4 mg / kg / hari atau deksametason 8 mg / hari
(0,3- 0,6 mg / kg / hari)
 Diberikan selama 3 - 6 minggu, “tapered” ( 2 - 4 ) mg

PROGNOSIS :

Stadium I mortalitas ( <10 % )


II mortalitas ( 4 - 55% )
III mortalitas ( 37 - 87 % )

RINGKASAN

Meningitis tuberkulosis merupakan kelanjutan dari tuberkulosis paru tetapi di negara


maju penyakit ini merupakan komplikasi HIV Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan LSS. Setelah itu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya bila pada pemeriksaan biasa
meragukan meningitis tuberkulosis
Steroid biasanya diberikan pada stadium II & III

44
45
KEPUSTAKAAN

1. Zuger A. Lowy FD: Tuberculosis of the Central nervous System. In: Infection of the Central
nervous System . 1991 page 425 - 451

2. Leonad JM, Des Prez RM ; Tuberculosis of the Central nervous System. In: Neurology and
General Medicine, second edition, 1995, page 703-716.

3. Berenger J, Moreno et al, Tuberculous meningitis in Patient Infection with the Human Imuno
- deficiency virus ; New England Journal Med, Marc 9, 1992.

4. Klein NC, Damsker B, Hirsman Sl; Mycobaterial Meningitis, Retrospective analysis from
1970 - 1983. The Am Journal of Medicine, Volume 79, 1985.

5. Bradley WG, et al ; Tuberculosis of the Central Nervous System. In: Neurology in Clinical
Practice, 1991, page 1932 -1937.

6. Tuberculosis Meningitis in American Academy of Neurology, 1997, page 006-6-006-9

7. Weisbag LA, Strub L ; Decision Making in Adult Neurology, 1988, page 218-219.

8. Hopkins A, Clinical Neurology, A Modern Approach, 1993, page 297 - 299.

9. Kasik J.E, Central Nervous System Tuberculous. In: Infection of the Nervous System edited
by David Schlossberg, 1990, page 207 - 217.

10. Coyle.P.K, Corticosteroid treatment of CNS infections : The up date American


Academic of Neurology, 1977.

11. Berger J.R, Tuberculosis of the Central Nervous System, Neurobase, third edition 1999.

12. Jannis. J, Tatalaksana dan Diagnosis Meningitis Tuberkulosis, Pertemuan Regional


Jakarta - Bandung - Palembang, Ciloto 24-25 Oktober 1998.

13. Jain KK, Molecular diagnosis of Central Nervous System Infections, Neurobase, third
edition, 1999.

46
Materi Baku

MENINGITIS DAN ENSEFALITIS VIRAL

Masuknya Virus dan Penyebaran ke Sistem Saraf Pusat

Virus awalnya masuk ke host dengan penetrasi lewat mukosa, kulit, saluran cerna atau
urogenital. Akses ke SSP melalui hematogen dan neuronal. Penyebaran hematogen lebih umum,
akibat replikasi virus pada tempat masuk, diikuti viremia sekunder dan berkembang di lokasi
yang lebih jauh. Virus dapat menyebar dari pleksus koroid ke LCS, ke sel ependimal di ventrikel
dan masuk ke jaringan otak. Banyak enterovirus melalui rute ini ke SSP setelah replikasi primer
dalam GIT. Sebaliknya, virus yang menyebar ke SSP lewat ujung saraf perifer disebut transmisi
aksonal retrograde, seperti rabies, j Herpes Simplex Virus (HSV), Varicella Zoster Virus (VZV)
dan virus polio (gambar 1). Virus neurotropik menyebar ke SSP secara hematogen, juga
menyebar melalui saraf secara transmisi aksonal retrograde (Tyler, 2001).

Disseminatiom to the CNS


Hematogenous Retrograde Axonal Transport
 Viremia  Ascent Along Peripheral Nerves
 Passage Across Capillaries
 Replication in Endothelial Cells
 Replication in Choroid Plexus

Viral
Meningitis

Host Immune Response


 Humoral Antibody Viral Tropism
 Cytotoxic T Cells
 Cytokines Meningoencephalitis
or
Encephalitis

Gambar 1. Patogenesis infeksi viral SSP

Ensefalitis, Acute Disseminated Encephalomyelitis

Klinisi harus dapat membedakan ensefalitis dari ensefalopati, dan sindrom parainfeksius
dan postinfeksius seperti Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM). Parainfeksius dan
postinfeksius dengan mediasi imun terjadi setelah banyak infeksi virus. ADEM menyebabkan
demielinisasi yang menyebar luas dalam pola monofasik, mengikuti infeksi virus atau imunisasi.
Mulriple Scelerosis (MS), diagnosis banding ADEM walau terdapat pada usai yang lebih tua,
dan pola demielinisasi tak tipikal monofasik.
ADEM sering pada anak, sebulan setelah vaksinasi atau setelah sakit seperti eksantem,
infeksi saluran napas atas atau saluran cerna. Gejala neurologi terjadi di akhir masa prodomal
penyakit dan tidak bersamaan. Gejalanya monofasik, berkembang dalam beberapa hari. Ditandai
fokal multipel, dengan keterlibatan nervus optikus, medula spinalis dan serebelar lebih sering
dari ensefalitis. Sering berkembang cepat menjadi koma. MRI dapat membedakan ADEM dari
ensefalitis karena lesi white matter disseminated dengan sinyal T2 tinggi dan T1 rendah, yang
47
menyangat pada pemberian gadolinium. Terdapat protein myelin base dan oligoclonal band di
LSC mengarah ke diagnosis ADEM, mungkin terdapat juga pada beberapa tipe ensefalitis.
Namun pada ADEM tak terdeteksi virus di SSP, kultur LCS atau jaringan otak dan PCR
biasanya negatif.
Ensefalitis dibedakan dengan ensefalopati, baik metabolic, toksik atau penyebab lain. Pasien
biasanya tidak demam atau sakit kepala dan LCS normal. Kejang dan tanda neurologis fokal tak
umum, deteriorasi mental lebih stabil dibanding status mental yang fluktuatif pada ensefalitis.

Tabel 1. Penyebab primer meningitis dan ensefalitis viral di Amerika Utara


Postinfectious
Agen Meningitis Ensefalitis
ADEM
Echovirus *** *
Nonpolio enterovirus
Coxsackievirus *** *
Arbovirus (AS & St Louis encephalitis virus
* **
Kanada) (SLE)
* **
Togavirus West Nile Virus
**
Powassan
Alphavirus Eastern equine (EEE) * ***
Western equine (WEE) * **
Venezuelan equine (VEE) ** *
Reoviridae: orbivirus Colorado Tick Fever ** *
Bunyavirus California (La Crosse) * **
Jamestown Canyon * *
Snowshoe hare * *
Virus Herpes HSV-1
* **
HSV-2
** *
VZV
* **
CMV *
* **
EBV
* *
HHV-6 (Human Herpes *
* **
Virus 6)
***
Virus herpes B
Lymphocytic
choriomeningitis virus ** *
(LCMV)
Virus Mumps ** * *
HIV ** *
Virus rabies *** *
Virus measles * ***
Virus rubella *
Poliovirus * * ** *
Adenovirus * **
Vaccinia *
Inluenza ? ? *
Parainfluenza * * *
Rotavirus *
Parvovirus B-19 *
* occasional ** common *** very common
? unknown

48
Diagnosis
Walaupun tiap etiologi mempunyai gejala yang hampir serupa, tiap penyakit punya gambaran
unik yang mengarah ke penyebabnya. Meningitis dan ensefalitis paling umum di Amerika Utara
ada pada tabel 1. Penyebab tambahan ensefalitis viral yang harus dipertimbangkan pada pasien
yang bepergian ke luar negeri diperlihatkan pada tabel 2. Penyebab non viral pada tabel 3.
Penting untuk mengidentifikasi meningitis bacterial dan atau ensefalitis HSV. Walau
antimikronial yang efektif tersedia untuk keduanya dengan kemampuan menurunkan angka
morbiditas dan mortalitas. Diagnostic awal, perlu diberikan antibakterial secara empiris. Setelah
diagnosis disingkirkan dengan pewarnaan Gram dan kultur LCS dan PVR HSV, pendekatan
untuk identifikasi penyebab non bakterial dimulai. Algoritma pendekatan pada gambar 2,
menyarankan evaluasi segera etiologi yang dapat mengancam hidup, diikuti penyebab-penyebab
umum lain. Ketiga, etiologi untuk penyebab yang lebih langka bagi yang belum dapat
ditegakkan diagnosisnya.

Tabel 2. Additional causes of viral encephalitis resulting from foreign exposure


Agen Distribusi geografis
Virus Nipah Indonesia
Filovirus Ebola Afrika
Marburg

Arbovirus
Togavirus Karibia, Amerika Selatan (ditambah AS)
Mosquito-borne Eastern equine
Sentral dan utara Amerika Selatan (ditambah
Venezuelan equine AS)

St Louis Karibia, sentral dan utara Amerika Selatan


(ditambah AS)
Japanese B Jepang, Cina, Asia Tenggara, India
Murray valley Australia, New Guinea
West Nile Afrika, Timur Tengah, sebagian Eropa
Ilheus (ditambah AS)
Rocio Amerika selatan dan sentral
Brazil
Far Eastern
Tick Borne complex Rusia timur
Sentral Eropa
Eropa timur dan sentral, Skandinavia
Kyansur Forest
India
Louping III
Inggris, Skotlandia, Utara Irlandia
Negishi
Jepang
Russian spring-
Eropa Timur, Asia
summer
Bunyavirus Tahyna Republik Ceko, Slovakia, Yugoslavia, Italia,
Selatan Perancis
Inkoo Finlandia
Rift Valley Afrika timur
Rabies Banyak di negara-negara berkembang

Tabel 3. Diseases that can masquerade as viral meningitis or encephalitis


49
Etiologi Gambaran sugestif
Reoviridae: Bakterial Fokus parameningeal Pleositosis sangat ringan,
Infeksi (sinusitis, abses abnormalitas neurologis fokal
orbivirus intracranial)
Mendahului terapi antibiotik, LCS
Meningitis bakterial right shifted
dengan terapi parsial
Tick exposure, arthritis, sesuai
Lyme disease geografi, eritema migrans

Protein sangat tinggi,


Tuberkulosis hypoglycorrhachia

Leptospirosis Subfusi konjunktival, jaundice

Sifilis Perjalanan kronis

Brucella Terpapar binatang peternakan

Whipple’s disease Keluhan gastrointestinal

Bartonela Terpapar kucing, adenopati

Listeria Ensefalitis batang otak

Demam tifoid Riwayat terpapar, bradikardia

Jamur Kriptokokus Biasanya pasien imunokompromais

Coccidioides Paparan southwestern US, gejala


pulmoner

Histoplasma Nodul pulmoner

Blastomikosis Midwest, gejala pulmoner

Kandida Pasien imunokompromais

Nokardia Pasien imunokompromais

Parasit Toksoplasma Retinits, terpapar kucing

Sistiserkosis Lesi kalsifikasi

Amubik Air segar: naegleria

Malaria (Plasmodium Riwayat terpapar


falsifarum)

Ricketssial Rocky mountain spotted Leukopenia, trombositopenia,

50
fever hiponatremia, rash petekial

Ehrlichia Lihat atas

Coxiela burnetii (Q Terpapar domba, penyakit pulmoner


fever)

Mikoplasma Precedent gejala pulmoner

Parainfeksius ADEM MRI karakteristik

Non infeksius Connective- SLE Malar rash, keterlibatan organ


tissue disorders multisistem

Sarkoidosis Hilar adenopathy, eritema nodosum


Sindrom Behcet’s Ulkus genital/oral, uveitis
Uveomeningiti
s
Tumor dan Episode rekuren, dermal sinus tract
kista
intracranial
Obat-obatan NSAID, antibiotik, Riwayat paparan
imunomodulator,
antikonvulsi
Perdarahan Temuan neuroimaging karakteristik
intracranial
Ensefalopati Toksis atau metabolik

Gambaran Umum Meningitis dan Ensefalitis Viral

Karakteristik meningitis dan ensefalitis viral adalah onset demam dan sakit kepala,
disertai kaku kuduk. Bisa terdapat perubahan status mental, disorientasi, perubahan perilaku dan
bicara, tanda neurologis fokal atau difus disertai hemiparesis atau kejang. Pada meningitis
umumya tak disertai gejala-gejala ini (tabel 4).
Riwayat yang dapat membantu adalah musim, riwayat perjalanan, pengetahuan tentang
pencegahan penyakit di masyarakat, riwayat kontak dengan hewan dengan nyamuk atau tick
(arbovirus). Aktivitas seksual dan penggunaan obat intravena juga penting. Semua pasien
diperiksa umum dan neurologik dengan perhatian khusus pada perubahan status mental,
papiledema, defisit saraf kranial, refleks abnormal atau kelemahan fokal.

51
Sakit kepala, nuchal rigidity, demam

Perubahan Status Mental?

Ya Tidak

Ensefalitis, ADEM, Ensefalopati, Massa atau Abses Meningitis


Lession

Papiledema dan/atau defisit neurologis fokal?

Ya Tidak
Kultur darah dan mulai terapi antimikrobial empirik

Imaging: CT Kepala atau MRI bila tersedia

Mass Lession No Mass Lession

Focal or Generilized White matter


Abses atau Gray Matter abnormalities
tumor Abnormalities or
Normal

ADEM
Intervensi
Medikal dan/atau
Surgikal yang
sesuai
Ensefalitis Kultur darah dan LP segera

Pleositosis With Left Shift, Pleositosis With Right Shift,


Elevated Protein Normal or Increased Protein
Decreased Glucose Normal or Decreased Glucose
Gram’s Stain Positive Gram’s Stain Negative

First-Tier Evaluation (No Unusual Historical Points


Proses or Exposures)
bakterial Viral: PCR LCS untuk enterovirus, HSV
IgM LCS untuk WNV
Kultur viral: LCS, tenggorokan, rektal, respiratorik,
lesi kulit DFA untuk HSV< VZV
Jamur: Antigen kriptokokal LCS
Bakterial: VDRL dan kultur bakteri

52
Second-Tier Evaluation (If above negative)
EBV: serum serologi, pertimbangkan PCR LCS
Mikoplasma: serum serologi, PCR LCS dan respiratorik
Bartonella: serum serologi, PCR LCS

Third-Tier Evaluation

Mosquito or Tick Parotitis Wild Rodent or IVDA Recent


Exposure Hamster Exposure Mononucleosislike precedent
illness illnes or
vaccines
Mumps
CTFV LCMV
Arbovirus HIV
Rickettsial Measles
Mumps
Rubella
Varicella
Polio
Rabies
Influenza

Gambar 2. Algoritma Manajemen Pasien Dengan Dugaan Infeksi SSP

Evaluasi LCS dan pencitraan adalah gambaran esensial bagi evaluasi laboratorium.
LCSharus diambil dan diperiksa secepat mungkin. Pada kebanyakan bentuk penyakit SSP, LCS
dengan pleositosis ringan atau sedang, dari beberapa sampai 1000 sel darah putih /mm3. Sel
darah putih predominan limfositik atau mononuklear adalah umum, membedakan dengan
etiologi bakterial yang dikarakteristik dengan predominan sel polimorfonuklear. Jika LCS
diperiksa di awal, sel polimorfonuklear bisa juga terdapat pada infeksi non bakterial (termasuk
viral). Pada infeksi viral SSP pola pergeseran dalam 8 sampai 24 jam kearah predominan
mononuklear. Infeksi EV dan HSV mempunyai pola ini daripada virus lain. Predominan
polimorfonuklear yang menetap adalah khas untuk poliradikulomielitis cytomegalovirus (CMV)
sehubungan dengan HIV. Glukosa LCS biasanya normal pada meningitis dan ensefalitis viral,
walau hypoglycorrhachia dikenali baik pada meningitis LCMV dan mumps.walau pada kondisi
ini, glukosa biasanya lebih dari 25 mg/dl. Nilai dibawah 25 mg/dl diduga mengarah pada infeksi
bakterial atau jamur dan meningitis sarkoid atau karsinomatous. Protein LCS biasanya normal
atau sedikit meningkat. Tabel 4 merangkum temuan LCS umum. Tabel 7 menggaris bawahi
kegunaan LCS dan PCR serum, serologi dan kultur. Kultur dari specimen lain seperti
tenggorok/pulasan respiratori, swab rektal, vesikel kulit, urin, liur atau darah dapat membantu
tapi tak selalu membuktikan keterlibatan SSP.

Diagnosis serologikal akut dan konvalesen juga membantu, namun kegunaan metode ini
dibatasi oleh lamanya waktu yang perlu untuk menegakkan infeksi akut (mingguan pada banyak
53
kasus). Satu pengecualian pada infeksi EBV akut, dengan adanya immunoglobulin M (IgM)
pada antigen kapsid viral sangat mengarah pada infeksi akut. Serologi tetap yang paling tersedia
untuk mendiagnosa infeksi arboviral.
Perkembangan yang paling menjanjikan dalam diagnosis infeksi SSP adalah
teknik PCR, dengan kemampuan mendeteksi jumlah permenit DNA atau RNA virus dalam LCS
atau cairan tubuh lain. MRI dan CT scan juga memberi informasi dalam evaluasi infeksi SSP.
Walau CT scan dapat memperlihatkan abnormalitas pada ensefalitis, dengan hipodensitas
parenkim otak yang terkena dan zona iregular penyangatan kontras, perubahan ini lambat
berkembang dan sering non spesifik. MRI dengan kontras gadolinium lebih sensitive dan
merupakan prosedur pilihan pencitraan. Perubahan pada ensefalitis akut bisa meliputi edema dan
abnormalitas ganglia basalis, korteks, dab gray-white matter junction. Abnormalitas fokal pada
MRI dapat mengarah pada diagnosa khusus, seperti hipointens pada T1 dab hiperintens pada T2
di orbitofrontal dan lobus temporal pada ensefalitis HSV. MRI juga membantu membedakan
ensefalitis dan ADEM, dimana area prominen demielinisasi (biasanya simetris) dari medula
spinalis white matter dan ganglia basalis biasa terdapat. Positron emission tomography dan
single-photon emission CT adalah modalitas baru yang menyediakan data fungsional dan
metabolik yang lebih sensitive pada ensefalitis viral.
Tiga penyebab paling umum meningitis dan ensefalitis viral di AS adalah EV, arbovirus
(khususnya West Nile Virus) dan HSV. Pada remaja dan dewasa HSV-1 lebih umum
menyebabkan ensefalitis, sedang HSV-2 menyebabkan meningitis.

Terapi Antiviral
Acyclovir dan pleconaril adalah dua agen spesifik antiviral yang paling efektif yang
tersedia bagi penanganan ensefalitis viral untuk HSV dan penyakit enteroviral. Perawatan
suportif umum, termasuk perhatian ketat bagi kontrol kejang, antipiretik, monitoring untuk
SIADH, dan bukti adanya peningkatan TIK, harus dilaksanakan pada semua pasien dengan
ensefalitis. Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial.
Paling penting dari agen ini adalah acyclovir, yang telah memperbaiki survival dan
keluaran pasien dengan ensefalitis herpetika. Acyclovir bekerja dengan menginhibisi polimerase
DNA virus, sehingga mempengaruhi replikasi virus. Bentuk aktif dari obat ini adalah suatu
trifosfat tahap awal fosforilasi adalah katalisasi oleh suatu timidin kinase firally encoded, dengan
fosforilasi lanjutan oleh kinase sel host. Karena aksi dan metode aktifasinya, acyclovir hanya
efektif terhadap DNA virus dengan encode timidin kinase atau enzim yang berhubungan. Untuk
tujuan praktis, membatasi efikasi acyclovir terhadap herpes virus tertentu termasuk HSV, VZV
dan TBV. Acycovir bukan terapi efektif untuk cytomegalovirus, dimana lebih sesuai dengan
ganciclovir atau foscarnet.
Pada dewasa dengan ensefalitis HSV acyclovir menurunkan angka kematian dari 70% ke
19% pada pasien dengan plasebo dan 50% pada pasien dengan vidarabin. Usia pasien dan
derajat kesadaran saat dimulai terapi merupakan faktor prognostik penting dalam suatu studi
kecil, skor GCS > 6 memprediksi 100% survival, sedangkan pasien dengan GCS < 6 mempunyai
100% insiden akan gejala sisa yang berat atau kematian. Pada neonatus dengan HSV, angka
mortalitas turun dari 85% ke 54% dengan acyclovir dosis tinggi (60 mg / kg BB / Hari diberi
tiap 8 jam selama 21 hari) ; namun, 20% bayi yang bertahan mengalami gangguan neurologis.
Penggunaan PCR LCS untuk DNA HSV dalam memonitor efikasi terapi acyclovir untuk
ensefalitis HSV menarik banyak perhatian. Banyak pasien dengan terapi standar acyclovir IV 14
hari tak lagi terdeteksi adanya DNA HSV dalam LCSnya. Laporan konsensus terbaru
menyarankan bahwa pasien yang masih terdeteksi DNA HSV dalam LCSnya diakhir 14 hari
seharusnya mendapat terapi tambahan.
54
Penggunaan kortikosteroid IV masih kontroversi bagi ensefalitis dan ADEM. Bagi
ensefalitis HSV pada dewasa, steroid IV kadang diberikan untuk menurunkan pembengkakkan
lobus temporal, dimana dapat menginvasi sisterna perimesensefalik, mengakibatkan pergeseran
ke lateral dan kompresi dari batang otak. Pada kasus ADEM steroid IV secara luas digunakan
dan dilaporkan efektif secara anekdot. Namun, dalam beberapa studi pasien dengan atau tanpa
terapi tersebut, ditemukan tak ada perbedaan dalam perjalanan klinis atau penyembuhan. Suatu
varietas terapi imunomodulator lain, termasuk obat imunosupresif, plasmaferesis, dan
imunoglobulin IV, juga telah digunakan, namun kurang penelitian klinis terkontrol.
Tindakan supportif diimplikasikan dalam semua bentuk ensefalitis viral termasuk kontrol
kejang dengan antikonvulsan standar, monitor tanda peningkatan TIK, dan tata laksana
peningkatan TIK dengan terapi standar seperti hiperventilasi dan diuresis osmotik. Perlu
memonitor untuk SIADH, dan penggunaan cairan hipotonik harus dihindari. Bila terjadi SIADH
harus dilakukan restriksi cairan. Hipertermi harus dikontrol dengan antipiretik.

55
Materi Baku

ENSEFALITIS VIRAL

Pendahuluan

Ensefalitis merupakan kegawat daruratan dalam bidang neurologi. Pada sebagian kasus,
tanda-tanda neurologis fokal maupun kejang fokal dapat membedakan ensefalitis dari
ensefalopati. Ensefalitis yang terjadi umumnya disebabkan oleh virus antara lain Herpes
Simplex Encephalitis (HSE).
Diagnosis ensefalitis akut dicurigai pada pasien dengan demam dan terdapat perubahan
kesadaran dengan tanda-tanda disfungsi serebral difus. Secara umum, infeksi pada susunan saraf
pusat merupakan penyebab tersering dari ensefalitis akut. Herpes Simplex Virus (HSV),
Varicella Zoster Virus (VZV), Epstein-Barr Virus (EBV), mumps, measles, dan enterovirus
merupakan penyebab sebagian kasus ensefalitis viral akut pada imunokompeten.. Pada
penelitian disebutkan bahwa VZV merupakan virus tersering menyebabkan ensefalitis, seperti
meningitis dan mielitis, diikuti oleh HSV dan enterovirus (masing-masing 11%), dan virus
Influenza A (7%). Tuberkulosis, penyakit Ricketts, dan tripanosomiasis Afrika merupakan
penyebab penting non-viral pada meningoensefalitis akut, namun tidak akan dibahas dalam
artikel ini. Ensefalomialitis diseminata akut maupun bentuk yang lebih parah, leukoensefalitis
hemoragik akut mewakili penyakit inflamasi sistem saraf pusat. Disfungsi otak difus akibat
proses non-inflamasi merupakan nama lain dari ensefalopati, misalnya disfungsi karena
metabolik dan intoksikasi.
Pada ensefalitis, derajat peradangan leptomeningeal bervariasi dan gejala klinis
memperlihatkan kelainan fokal dan difus serebral dengan demam, sakit kepala, dan tanda
meningismus. Derajat penurunan kesadaran menunjukkan keparahan ensefalitis akut dan
bervariasi sampai koma. Kejang, fokal atau umum sering ditemukan. Berbeda dengan meningitis
viral aseptik, gejala neuropsikiatri seperti anomia, halusinasi, psikosis, perubahan kepribadiaan
dan agitasi.
Ensefalitis akut merupakan kegawatan neurologis yang harus segera di terapi berdasarkan
diagnosis klinis yang ditegakkan (lihat tabel 1).
Selain itu, VZV / EBV, mumps, measles(campak) dan enterovirus juga dapat
menyebabkan ensefalitis terutama bila imunokompeten.

Diagnosis
Secara umum diagnosis ensefalitis tegak berdasarkan pada anamnesis (allo/auto),
pemeriksaan fisik neurologis dan beberapa pemeriksaan penunjang. Seluruh hasil yang diperoleh
akan menegakkan diagnosis pasti untuk menuju pada pengobatan yang efisien dan efektif. Tetapi
harus diperhatikan bahwa pengobatan infeksi ini tetap berdasarkan klinis dan epidemiologis,
dalam arti segera mengobati untuk memperoleh prognosis baik.

Anamnesis
Alloanamnesis sangat berperan karena biasanya penderita datang ke rumah sakit dengan
penurunan kesadaran. Faktor-faktor seperti geografi dan musim (hujan) dapat menjadi petunjuk
penting kejadian Japanese Encephalitis di daerah endemik. Oleh karena hewan dapat menjadi

56
reservoir utama penyebab ensefalitis maka harus diingat jika terdapat bersamaan dengan
penyakit-penyakit di ternak.
Tabel 1. Diagnosis

Disfungsi serebral global akut atau subakut:


3 kategori diagnostik
 Ensefalitis infektif (umumnya viral; lihat tabel 2)
 Ensefalopati (umumnya metabolik atau toksik; lihat tabel 3)
 Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM)
Pertanyaan penting yang diajukan dokter:
 Berapa mungkin diagnosis ensefalitis?
 Apa penyebab ensefalitis?
 Apa yang merupakan rencana terapi terbaik pada pasien dengan ensefalitis?

Tabel 2. Penyebab meningoensefalitis infektif

Viral:
 Virus DNA: herpes simplex virus (HSV-1, HSV-2), virus herpes lainnya (HHV-6, EBV, VZV,
cytomegalovirus) dan adenovirus (sebagai contoh serotipe 1,6,7,12,32)
 Virus RNA: virus influenza (serotipe A), enterovirus (serotipe 9,71), virus polio, measles,
rubella, mumps, rabies, arbovirus (contoh: Japanese B encephalitis virus, lymphotic
choriomeningitis virus, Eastern, Western dan Venezuelan equine encephalitis virus), reovirus
(Colorado Tick Fever virus), dan retrovirus (HIV)
Bakterial:
Mycobacterium tuberculosis, Mycoplasma pneumoniae, Listeria monocytogenes, Borrelia burdgorferi
(lyme disease), Tropheryma whippeli (Whipple’s disease), Bartonella hanselae (cat scratch fever),
lepstospira, brucella (khususnya Brucella melitensis), legionella, Salmonella typhii (typhoid fever),
nocardia, actinomyces, Treponema pallidum (meningovascular syphilis) dan seluruh penyebab meningitis
bakterial (piogenik).
Rickettsial:
 Rickettsia rickettsii (Rocky Mountain Spotted Fever), Rickettsia typhii (endemic typhus)
 Rickettsia prowazekii (epidemic typhus), Coxiella burnetii (Q fever), Erlichia chaffeensis (human
monocytic erlichiosis)
Fungal:
Cryptococcosis, coccidioidomycosis, histoplasmosis, North American Blastomycosis, candidiasis
Parasitic:
Human African Trypanosomiasis, Toxoplasma gonsii, Nagleria fowleri, Echinococcus granulosus,
schistosomiasis

57
Tabel 3. Penyebab umum ensefalopati
 Anoksia/iskemi
 Metablik
 Defisiensi nutrien
 Toksik
 Infeksi sistemik
 Penyakit-penyakit kritis
 Hiperensi malignan
 Mitochondrial cytopathy (Reye’s dan MELAS syndrome)
 Hashimoto’s encephalophaty
 Paraneoplastik
 Neuroleptic malignant syndrome
 Cedera kepala traumatik
 Epilepsi (status non konvulsan)

Tabel 4. Penunjang Diagnostik Pada Ensefalopati


 Tidak adanya demam, sakit kepala, kaku kuduk
 Penurunan status mental yang menetap
 Tidak adanya gejala neurologis fokal atau kejang fokal (kecuali hipoglikemi)
 Kelainan biokimia karakteristik pada darah dan urin
 Tidak terdapat leukositosis perifer
 Likuor serebrospinal normal
 Elektroensefalografi melambat secara difus
 Pencitraan resonansi magnetik normal

Menegakkan Penyebab Ensefalitis Infeksi

Perlu pemeriksaan sistematis dan teliti pada pasien (lihat tabel 5)’

Tabel 5. Evaluasi Pasien Ensefalitis Infektif

Riwayat:
 Faktor musim dan geografi
 Riwayat migrasi atau bepergian ke luar negeri
 Kontak dengan hewan (sebagai contoh: di peternakan) atau gigitan serangga
 Status imun
 Pekerjaan
Gejala klinis:
 Umum: membran mukosa dan kulit, kelenjar getah bening
 Neurologis: kortikal fokal, batang otak, gejala otonom
Pemeriksaan penunjang:
 Darah (biokimia dan hematologi), foto thoraks
 Elektroensefalografi
 Computed Tomography, MRI kepala (dengan kontras)
 Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT; opsional, tergantung fasilitas yang
ada)
 Likuor serebrospinalis: sel, biokimia dan tes diagnostik molekuler (polymerase chain reaction)

58
 Biopsi otak (hanya pada beberapa kasus

Riwayat

Riwayat lengkap diperlu karena umumnya pasien ensefalitis sering datang dengan
penurunan kesadaran, disorientasi, delirium, atau bahkan koma. Baik faktor musim dan geografi
menjadi petunjuk penting. Japanese encephalitis yang endemik di negara-negara Asia dan
umumnya terjadi pada musim hujan. Penyakit hewan peternakan menjadi risiko ensefalitis di
komunitas karena hewan merupakan reservoir virus penyebab ensefalitis pada manusia. Pada
tahun 1999 terjadi wabah virus West Nile di New York, didahului dengan kematian burung-
burung kota akibat ensefalitis. 4 minggu setelah wabah ensefalitis pada manusia, ditemukan
flavivirus dari spesimen burung Flaminggo chilean di kebun binatang setempat sebagai
penyebab ensefalitis virus West Nile pada manusia dan burung. Infeksi akibat virus Nipah dan
beberapa virus influenza penyebab ensefalitis diduga terjadi pada area geografi tertentu.
Riwayat bepergian ke luar negeri, gigitan serangga dan kemungkinan kontak dengan
individu yang menderita penyakit infeksi. Keadaan kesehatan juga merupakan faktor yang
mempengaruhi karena pasien-pasien dengan imunosupresan lebih rentan terhadap ensefalitis
infektif tertentu, misalnya listeriosis, cryptococcus dan cytomegalovirus. Ensefalitis
cytomegalovirus sering terjadi pada pasien yang terinfeksi HIV, khususnya neonatus. Onset dan
progresifitas penyakit virus juga merupakan petunjuk etiologi, misalnya tipe bifasik dari infeksi
enterovirus.
Komplikasi neurologis demam berdarah viral sering disebabkan oleh meningitis aseptik dan
perdarahan intraserebral. Rabies merupakan contoh ensefalitis hewan yang memiliki gejala
klinis awal dari Human African Trypanosomiasis (irritabilitas, gangguan tidur dan perubahan
kepribadian). Sulit dibedakan dengan ensefalitis viral dan sering juga dihubungkan dengan
hiperestesia di jaringan lunak, khususnya di Eropa. Selain itu riwayat pekerjaan, misalnya
pekerja hutan yang menghuni geografi tertentu. Sering mengalami Lyme disease atau Kyanasur
Forst Disease

Gejala Klinis

Kemerahan pada kulit sering disebabkan oleh demam Rickettsia, Varisela Zoster, Colorado Tick
Fever. Parotitis dan Erythema nodosum mempunyai hubungan dengan infeksi granulomatous
(tuberkolosis dan histoplasmosis). Selain itu lesi pada membran mukosa sering terjadi pada
infeksi virus herpes sedangkan infeksi saluran pernapasan merupakan penyebab.

b.Pemeriksaan neurologis
Gejala neurologis pada ensefalitis akut tidak menggambarkan penyebab meskipun virus
neurotropik tertentu dapat mengenai area tertentu pada sistem saraf pusat.
Kelainan fokal yang ditemukan adalah hemiparesis, afasia, ataksia, gejala piramidal (refleks
tendon dan respon plantar ekstensor), defisit saraf kranial (okulomotor dan fasial), gerakan-
gerakan involunter (nioklonus dan tremor), dan kejang parsial. Perkembangan gejala klinis
bergantung jenis virus, usia pasien dan status imun pasien. Umumnya pasien yang terlalu muda
atau terlalu tua memiliki manifestasi klinis yang serius. Gejala frontotemporal dengan afasia,
perubahan kepribadian dan kejang fokal merupakan karakteristik dari HSE. Gejala otonom atau
disfungsi hipotalamus dapat terlihat pada ensefalitis akut dengan manifestasi hilangnya kontrol
vasomotor dan suhu (disotonomia), diabetes insipidus dan SIADH.
59
Pemeriksaan Penunjang
a.Umum
Limfositosis relatif pada darah tepi umumnya terjadi pada ensefalitis akut dan bila
ditemukan leukopenia/trombositopenia cenderung pada penyakit Ricketts dan demam berdarah
viral. Pemeriksaan yang paling sensitif dan spesifik pada malaria serebral perlu pemeriksaan
darah tepi tebal dan tipis. Monosit darah tepi dapat menunjukkan inklusii sitoplasmik
karakteristik pada pasien Human Monocytic Ehrlichiosis, 10% dari antaranya akan berkembang
menjuadi sindrom meningoensefalitik.

b. EEG
EEG sangat dianjurkan pada setiap kasus ensefalitis akut karena dapat membedakan
ensefalitis fokal dan ensefalopati. Gambaran EEG menunjukkan bentuk gelombang lambat
bihemisfer dan difus. EEG abnormal bervariasi pada HSE, meskipun awalnya perubahan
tersebut bersifat non spesifik (lambat). Pada fase akhir terdapat setengah dari kasus yang
menunjukkan perubahan karakteristik (epileptiform lateralisasi dengan periode 2-3 Hz yang
disebabkan lesi di lobus temporal)

c. Pencitraan
Pencitraan otak saat ini dilakukan pada pasien yang dicurigai ensefalitis akut, dan
biasanya mendahului pemeriksaan lain. MRI merupakan pencitraan pilihan, meskipun CT
skening juga cukup berarti. Perubahan yang dilihat melalui pencitraan menjadi petunjuk etiologi
infektif spesifik, sebagai contoh perubahan frontotemporal pada HSE dan pendarahan talamus
pada Japanese Encephalitis. Pendarahan kecil dan lesi patognomonik di sistem limbik pada HSE
lebih baik dilihat dengan MRI daripada CT. Pelebaran girus dan meningeal setelah pemberian
Gd-DTPA pernah dilaporkan pada HSE. Pada Eastearn Equine Encephalitis terdapat lesi
diseminata di batang otak dan ganglia basalis.

d. Pencitraan Fungsional
Hiperperfusi bitemporal pada studi aliran darah otak dengan menggunakan technetium
labeled hexamethylpropyleneamineoxime (99m TC-HmPAO) dan single photon emission
computed tomografi (SPECT) dapat mendukung diagnosis HSE. Hiperperfusi lobus temporal
dengan SPECT selebral menggunakan 99m TC-HmPAO merupakan petanda sensitif dari HSE dan
hal ini tetap bertahan saat gejala klinis telah membaik pemeriksaan ini dapat dipertimbangkan
jika tersedia fasilitas khususnya pada pasien dengan gejala yang relatif sub akut karena MRI
otak pada ensefalitis limbik paraneoplastik dapat menyerupai HSE. Sebuah studi awal tentang
localized 1H1 –Proton magnetic resonance spectroscopy cukup menjanjikan dalam menilai
hilangnya neuron pada HSE.

Tabel 6. Pencitraan dan EEG pada ensefalitis akut

Pencitraan
- MRI merupakan pencitraan pilihan dan sebaiknya dilakukan segera
- Gambaran MRI dapat menegakkan diagnostik (HSE, Eastearn Equine Encephalitis, Japanese
Encephalitis)
- CT merupakan pilihan jika MRI tidak tersedia
- Skaning dengan SPECT (HrPAO) pada otak merupakan pemeriksaan opsional pada HSE dan

60
memiliki nilai prognostik
EEG
- Dapat membedakan diagnostik differensial ensefalitis dan ensefalopati
- Beberapa perubahan pada EEG dapat bermakna spesifik (misalnya periodic lateralized
epileptiform discharge / PLEDS pada HSE atau gelombang lambat trifasik pada ensefalopati
hepatik)

d. Analisis likuor serebrospinalis dengan pungsi lumbal

Ini merupakan pemeriksaan utama pada ensefalitis dan merupakan langkah selanjutnya
dari pemeriksaan pencitraan yang mendukung bahwa pungsi lumbal aman untuk dilakukan.
Meskipunkelainan pada likuor serebrospinalis menunjang diagnosis sindrom meningoensefalitis,
seringkali kelainan tersebut tidak spesifik dan tidak menolong dalam mencari etiologi. Likuor
serebrospinalis pada ensefalitis viral akut umumnya menunjukkan pleositosis limfositik dengan
kadar glukosa normal dan protein yang normal atau meningkat ringan. Profil ini dapat dibedakan
dengan meningitis aseptik. Pleositosis (> limfosit/mm3) dijumpai pada > 95% kasus ensefalitis
viral akut.
Jika tidak dijumpai limfositosis pada LCS dapat dipikirkan etiologi alternatif
(ensefalopati). Dugaan lain adalah kemungkinan sel pada LCS mengalami lisis selama
penyimpanan dan pengiriman yang menyebabkan analisis terlambat dialakukan. Pleositosis LCS
inisial dapat tidak ditemukan pada HSE atipikal. Pasien imunokompromais (contohnya pasien
kanker dengan kemoterapi atau radiasi) sering gagal menimbulkan respon inflamasi. Jumlah sel
melebihi 500/mm3 ditemukan pada 10% kasus ensefalitis viral akut.
Limfositosis yang tinggi pada LCS mengindikasikan kemungkinan meningitis
tuberkulosis, ensefalitis mumps, atau virus yang tidak umum seperti ensefalitis Eastern equine,
ensefalitis California, lymphocytic choriomeningitis virus. Limfosistis atipikal pada LCS
umumnya dijumpai pada EBV, CMV, dan jarang pada ensefalitis HSE. Adanya leukosit PMN
dalam jumlah besar pada LCS setelah 48 jam menunjukkan etiologi meningitis bakterial. Selain
itu hal ini dijumpai pula pada ADEM dan AHLE, meningoensefalitis amoeba primer oleh
Naegleria gowlerii, dan pada enteroviral, echovirus 9, dan ensefalitis virus eastern equine. Lebih
kurang 20% pasien dengan ensefalitis akut mengalami peningkatan sel darah merah (> 500/mm 3)
pada LCS. Hal ini dihubungkan dengan ensefalitis dengan perdarahan dan proses nekrosis (HSE
dan AHLE), meningoensefalitis amoeba primer dan listerial. LCS yang xantokrom dihubungkan
dengan meningitis TB dan jarang dijumpai pada HSE. Namun ada tidaknya sel darah merah atau
xantokrom pada LCS tidak dapat membedakan HSE dari ensefalitis karena penyebab lain.
Penurunan kadar glukosa yang bermakna pada LCS (sebagai rasio dengan glukosa plasma)
jarang terdapat pada ensefalitis viral. Pleositosis limfosit dan penurunan kadar glukosa
merupakan karakteristik dari meningitis TB. Kadar glukosa yang rendah ini juga ditemukan pada
meningitis bakterial lainnnya, jamur, parasit, maupun meningoensefalitis neoplasmatik,
umumnya pada mumps dan ensefalitis virus choriomeningitis, dan jarang terlihat pada akhir
HSE. Membedakan ensefalitis viral dan meningitis TB pada area endemik cukup sulit,
khususnya pada anak-anak karena limfositosis umum terjadi pada kedua keadaan itu dan
pembiakan M tuberkulosis pada LCS sulit didapat. Pada kasus ini disarankan untuk melakukan
pungsi lumbal secara serial ditunjang dengan pencitraan menggunakan kontras (CT/MRI).

61
Tabel 7. Pungsi lumbal pada ensefalitis akut

- Penting untuk memastikan patologi dari meningoensefalitis (limfositosis pada LCS)


- Harus menunggu hasil pencitraan (CT/MRI)
Selama prosedur
- penting untuk mengukur tekanan pembukaan LCS
- sampel harus segera dilakukan pemeriksaan hitung sel dan morfologi
- Secara rutin harus dilakukan pewarnaan gram atau BTA
- Harus diperiksa secara simultan glukosa darah
Pemeriksaan mikrobiologi pada LCS
- PCR untuk HSV< VZV< dan M tuberkulosis
- Enterovirus untuk kasus tertentu
- PCR untuk tes antigen CMV dan cryptococcal (khususnya pada imunosupresi)
- Antibodi dan antigen virus spesifik
LP harus ditunda pada:
- Jika CT/MRI menunjukkan adanya peningkatan tekanan intrakranial
- Jika pasien dalam status epileptikus
- Segera setelah kejang umum
- Jika terdapat koagulopati atau trombositopenia berat (misalnya pad demam berdarah)

f. Studi virologis dari likuor serebrospinalis


Pengukuran antibodi anti HSV pada LCS dapat bermanfaat untuk diagnostik, namun
baru dapat dideteksi setelah minggu pertama penyakit timbul, sehingga pemeriksaan ini kurang
bermanfaat pada hari-hari pertama penyakit timbulnya penyakit dimana diperlukan diagnosis
dan penatalaksanaan dini. Terdapat beberapa masalah dalam interpretasi antibodi viral LCS dan
serum. Pertama hal ini memerlukan waktu yang cukup lama sementara klinisi dituntut bertindak
cepat, kedua peningkatan titer antibodi antiviral tidak spesifik dan hanya menunjukkan aktivitas
poliklonal akibat adanya infeksi. Peningkatan antibodi antiviral pada sampel serum tunggal juga
dapat merupakan gambaran level antibodi viral persisten dari infeksi terdahulu, atau reaktivasi
dibandingkan infeksi primer. Lebih jauh, waktu yang tepat untuk pengambilan sampel juga sulit
karena hasil negatif palsu bisa diperoleh dan ini tidak meniadakan diagnosis ensefalitis infektif.
Saat ini PCR diagnostik untuk virus DNA dengan teknik amplifikasi memiliki
kemaknaan penting dalam diagnostik ensefalitis infektif. Hal ini dapat dilakukan pada HSV,
VZV, CMV, dan EBV. Keuntungan dari PCR adalah teknik ini cukup sensitif terhadap adanya
genom virus di LCS, cepat (hasil diperoleh dalam 6-8 jam), hanya memerlukan sedikit volume
LCS dan sangat spesifik terhadap beberapa jenis virus (misalnya HSV).
g. Biopsi otak
Isolasi HSV dari jaringan otak yang diperoleh dari biopsi merupakan baku emas untuk
diagnostik HSE. Biopsi otak merupakan bagian dari seluruh percobaan terapi mayor HSE yang
dilakukan oleh National Institutes of Alergy and Infectious Diseases Collaborative Antiviral
Study Group (NINAID-CASG) pada periode 80-an. Pada percobaan ini, sebesar 1 cm 3 jaringan
otak diambil dari daerah anterior girus temporal inferior yang terlibat melalui kraniotomi
subtemporal dalam anastesi umum. Sensitifitas biopsi otak mencapai 95% dan spesifisitas
melebihi 99%. Biopsi otak pada ensefalitis akut sering dianjurkan pada masa dimana vidarabine
merupakan satu-satunya obat HSE. Pengenalan acyclovir dalam terapi HSE mulai
menyingkirkan peran biopsi otak. Saat ini biopsi otak hanya dilakukan bila diagnosis HSE masih
meragukan, atau bila operasi dekompresi diperlukan sebagai terapi pilihan untuk mengurangi
tekanan intrakranial yang meningkat.

62
Gejala-gejala Pada Ensefalitis Viral
HSE merupakan meningoensefalitis akut paling sering di dunia barat, dan akan
didiskusikan di bawah ini karena penting dalam klinis. Ensefalitis viral lain yang akan dibahas
adalah ensefalitis pada penderita imunokompromais (ensefalitis CMV) dan ensefalitis zoonotik
kegawatan (Nipah virus ensefalitis).

Ensefalitis Herpes Simplex


Insiden HSE mencapai 2000 kasus setiap tahunnya di USA. HSV-1 meliputi lebih dari
90% kasus HSE pada anak dan dewasa. HSV-2 terbanyak terjadi pada neonatal dan orang
dewasa tertentu. Tidak seperti HSV-1, HSV-2 merupakan penyebab umum meningitis aseptik
(biasanya pada pasien dengan herpes genital primer). Keduanya sering dihubungkan dengan
meningitis rekuren (meningitis Mollaret). HSE pada neonatal disebabkan penyebaran infeksi
HSV-2 pada bayi baru lahir saat melewati genital. HSE dapat mengenai siapa saja, anak dan
dewasa, pria dan wanita, sepanjang tahun. Secara patologi, HSE merupakan ensefalitis dengan
proses nekrotis akut, dan predileksi di frontotemporal, cinguli dan korteks insular. Tidak terdapat
gejala dan tanda yang spesifik maupun sensitif untuk HSE. Riwayat penyakit demam dan luka di
labia tidak selalu ada. Onset umumnya cepat dan gejala klinis progresif dalam beberapa hari.
Anomia akut dan hilangnya memori kini terjadi pada seperlima kasus. Perubahan kepribadian
sukar untuk diamati, kejang sering terjadi umumnya parsial kompleks dan jarang berkembang
menjadi umum. Defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, afasia, muncul jika HSE tidak
diobati, dan dapat berkembang menjadi koma. Pada suatu analisis klinikopatologi retrospektif
terhadap 46 kasus HSE, gejala saat masuk RS adalah gejala menyerupai influenza (48%), sakit
kepala mendadak, penurunan kesadaran (52%), kaku kuduk (65%), afasia atau bisu (46%), koma
dalam (35%), peningkatan tekanan intrakranial (33%), gejala neurologis fokal (89%), dan kejang
(61%). Sepertiga kasus terjadi pada pasien dibawah 20 tahun dan setengah kasus terjadi pada
pasien diatas 50 tahun.
Penegakan diagnosis HSE merupakan kombinasi dari gejala klinis dan penemuan
laboratorium. Leukosit perifer dapat meningkat dengan pergeseran ke kiri. Sejumlah 50% pasien
HSE memiliki kelainan pada CT scan kepala tanpa kontras, dan 50% dari mereka terdapat
midline shift. Ct scan kepala dalam 4-5 hari pertama gejala klinis sering kali normal. MRI
merupakan pemeriksaan pencitraan yang paling sensitif tidak saja untuk penegakan diagnosis
dini tapi juga untuk mengetahui letak dan seberapa luas lesi. Gambaran yang terlihat pada MRI
adalah adanya udem fokal pada daerah medial lobus temporal, permukaan orbital dari lobus
frontal, korteks insular, dan girus singuli (gambar 1). MRI merupakan pencitraan pilihan dalam
HSE dan dianjurkan sebagai pemeriksaan pertama setelah pemeriksaan fisik. EEG seringkali
abnormal dalam banyak kasus. LCS dapat normal atau terjadi peningkatan tekanan,
menunjukkan limfositosis pleositik (10-200 sel/mm3), glukosa normal dan peningkatan protein
(0,6 – 6 gr/L)> pada beberapa kasus terdapat eritrosit pada LCS (10 – 500 sel/mm 3) dan sedikit
kasus menunjukkan hypoglycorrhacia (2 – 2,5 mmol/L). PCR pada LCS 100% spesifik dan
sensitivitas melebihi 90%. Negatif palsu sangat jarang terjadi dan umumnya disebabkan
penganmbilan LCS yang terlalu awal (24 – 48 jam pertama) atau terlalu lambat (setelah 10 – 14
hari), setelah pemberian terapi acyclovir, terdapat heparin/hemoglobin pada LCS atau jika proses
penyimpanan dan pengiriman LCS ke laboratorium terlalu lama.
Saat ini berbagai kasus HSE atipikal telah dapat dijelaskan. Kasus ini umumnya ringan,
dengan gejala demam ensefalopati, tidak ditemukan gejala neurologis fokal, LCS pleositosis dan
CT scan kepala abnormal. HSE atipikal atau ringan ini umumnya disebabkan infeksi HSV-1 atau
HSV-2, sering dihubungkan dengan imunokompromais dan infeksi HSV asimetrik yang
63
mempengaruhi lobus temporal non-dominan, meliputi 20% dari seluruh kasus HSE. Kasus ini
menunjukkan pentingnya pemeriksaan PCR pada LCS untuk semua pasien dengan demam
ensefalopati meskipun tidak ditemukan pleositosis dan gejala neurologis fokal.

Tabel 8. Ensefalitis Herpes Simplex

 Penyebab umum ensefalitis fatal akut non-endemis di dunia barat


 Kecurigaan klinis tingkat tinggi diperlukan
 Infeksi viral sistem saraf pusat pertama yang berhasil diterapi dengan terapi antiviral
 Salah satu yang pertama memiliki pemeriksaan rutin PCR pada LCS dengan spesifisitas dan sensitivitas
yang tinggi
 Terdapat pada neonatus dan orang dewasa
 Onset mendadak dengan predileksi di frontotemporal
 Terapi inisial berdasarkan kecurigaan klinis diperlukan
 Kombinasi MRI, EEG, dan pemeriksaan LCS sebagai alat diagnostik
 Angka mortalitas dan morbiditas tinggi pada pasien yang tidak mendapat terapi
 Gejala lebih ringan pada HSE atipikal

Ensefalitis CMV
Ensefalitis CMV jarang dijumpai pada subyek normal, namun sering terdapat pada
neonatus dan imunosupresi. Pada sebuah studi otopsi, 12% dari pasien terinfeksi HIV dan 2%
dari penerima transplantasi menderita ensefalitis CMV. Pada pasien dengan imunokompeten,
ensefalitis CMV biasanya self limiting, dengan gejala episode demam dan gejala klinis yang non
spesifik dari meningoensefalitis (sakit kepala, bingung, kejang, disfasia dan koma). LCS
menunjukkan gambaran pleositosis, peningkatan protein ringan dan kadar glukosa normal.
Kasus dimana terjadi bersamaan ensefalitis CMV dan HSV pernah dilaporkan pada penderita
dengan imunokompeten dan imunokompromais. Ensefalitis CMV umum ditemukan pada
penderita terinfeksi HIV, biasanya dalam infeksi CMV sistemik, radikulomielitis CMV, atau
retinitis. Kelainan neurologis yang khas adalah ventrikuloensefalitis dan hampir separuhnya
bersamaan dengan ensefalopati akibat HIV, ensefalitis toxoplasmik atau limfoma sistem saraf
pusat primer.
Gambaran klinis ensefalitis CMV pada imunosupresi umumnya didominasi oleh
kelemahan dan bingung yang dengan cepat dapat menjadi koma atau bahkan meninggal.
Pleositosis PMN pada LCS hanya terdapat pada pasien dengan disertai radikulomielitis dimana
pleositosis umumnya didominasi mononuklear. Kadar protein umumnya tinggi (> 1 gr/L) dan
kultur virus pada LCS negatif pada penderita AIDS dan ensefalitis CMV. Sensitivitas PCR pada
LCS untuk mendeteksi ensefalitis CMV 79% dengan spesifisitas 95%. PCR sebagai alat
diagnostik untuk ensefalitis CMV dianggap terlalu sensitif sehingga dapat mendeteksi CMV
pada pasien terinfeksi HIV yang tidak menderita ensefalitis.

Ensefalitis Virus Nipah


Ensefalitis virus nipah pertama kali ditemukan pada peternak babi di Malaysia antara
tahun 1998-1999 dan dijumpai pula pada para pekerja di Singapura. Contoh LCS dari penderita
menunjukkan paramyxovirus baru (disebut virus Nipah). Virus ini mirip, namun tidak identik
dengan virus hewan lain (virus Hendra) yang sebelumnya telah menyerang kuda dan 3 pasien di
Australia. Ensefalitis virus nipah adalah ensefalitis epizoonotik berskala luas pertama yang
ditransmisikan secara langsung dari hewan ke manusia, tidak seperti ensefalitis zoonotik lainnya
(sebagai contoh ensefalitis Japanese, ensefalitis virus West Nile, ensefalitis virus Eastern

64
equine), yang membutuhkan vektor. Lebih dari 200 orang terkena di Malaysia dan wabah ini
merusak industri peternakan babi di negara ini. Babi yang terkena meninggal secara mendadak
dan tidak wajar. Pada manusia gejala didahului dengan riwayat kontak langsung dengan babi di
peternakan, masa inkubasi yang pendek (2 minggu), penurunan keasadaran yang cepat, disfungsi
batang otak prominen dan angka kematian yang tinggi. Gejala klinis adalah mioklonus
segmental, arefleksia, hipotoni, dan disotonomia (hipertensi dan takikardi). Penemuan abnormal
pada LCS mencapai 75% kasus, EEG menunjukkan gelombang lambat difus dengan
abnormalitas fokal di daerah temporal (75%), CT scan kepala umumnya normal dan MRI pada
fase akut menunjukkan lesi fokal yang tersebar luas di subkortikal dan area abu-abu.

Pengobatan Ensefalitis Viral Akut


Jika mungkin, terapi spesifik harus diterapkan terhadap agen penyebab yang
diidentifikasi atau dicurigai. Terapi antiviral dengan acyclovir merupakan indikasi pada HSE.
Acyclovir merupakan analog 2’-deoxyguanosine dan menghambat secara selektif replikasi virus.
Tahap pertama pada proses ini adalah monofosforilasi dan dikatalisis oleh timidin kinase yang
diinduksi sel tertentu yang terinfeksi HSV, VZV atau fosfotransferase yang diproduksi CMV.
Enzim pejamu mengubah monofosfat menjadi difosfat dan trifosfat. Trifosfat acyclovir
menghambat sintesis virus DNA dengan berkompetisi dengan 2’-deoxyguanosine tryphosphate
sebagai substrat untuk polimerase virus DNA. Potensi trifosfat acyclovir dalam menghambat
polimerase DNA HSV-1 sebesar 30 – 50 kali dibandingkan kemampuannya menghambat
polimerase DNA-alpha sel manusia. Acyclovir memiliki waktu paruh yang relatif singkat di
plasma, dan lebih dari 80% diekskresi tanpa perubahan melalui fungsi ginjal. Studi secara
konsisten membuktikan bahwa acyclovir paling efektif diberikan pada awal serangan HSE
sebelum muncul keadaan koma pada pasien dan secara efektif menurunkan morbiditas dan
mortalitas. Dosis standar pada HSE adalah 10 mg/kgBB 3x/hari (30 mg/kgBB/hari) selama 14
hari. Dosis pada neonatal 60 mg/kgBB/hari. Pada imunosupresi lama pengobatan menjadi 21
hari. Acyclovir efektif untuk HSV-1, HSV-2, dan VZV. Dosis untuk VZV sesuai dengan HSV.
Saat ini umum dilakukan untuk memulai terapi acyclovir pada pasien yang diduga
menderita ensefalitis infektif akut. Meskipun hal ini dapat dibenarkan dan bermanfaat dalam
pengobatan secara dini HSE, terdapat beberapa masalah akibat penggunaan secara luas
acyclovir. Pertama dan paling utama pemberian acyclovir dapat menghambat atau mengaburkan
diagnosis sesungguhnya (jika bukan HSE), sehingga diagnosis ensefalitis infektif lainnya seperti
ADEM, atau ensefalitis non infektif seperti sindroma Reye, MELAS, atau ensefalopati
Hashimoto dapat terlambat atau tidak terdiagosis. Kedua, pemberian acyclovir yang tidak tepat
dapat menimbulkan ensefalopati toksik yang juga membingungkan dengan gejala ensefalitisnya.
Karena pengobatan acyclovir untuk HSV merupakan hal yang esensial, lebih banyak
pasien dari penderita HSE sesungguhnya yang diberi terapi ini berdasarkan kecurigaan klinis.
Pada pejamu yang imunokompeten, gambaran MRI adanya lesi di lobus frontobasal atau
temporal akan mendukung diagnosis dan menunjang pemberian acyclovir selama 14 hari. Jika
acyclovir telah diberikan sebagai terapi inisial dan gambaran MRI menunjukkan hal yang
normal, terapi acyclovir tetap diteruskan sampai hasil PCR LCS menunjukkan adanya HSE atau
jika hasil tersebut negatif maka dipikirkan kemungkinan diagnosis lain. Jika tidak berhasil
ditegakkan diagnosis lain dan hasil PCR adalah negatif, maka merupakan kebijaksanaan untuk
terus memberikan terapi acyclovir selama 10 hari. Hanya terdapat satu kasus HSE dengan
pencitraan yang normal pada literatur. Pada pasien ini, diagnosis HSE ditegakkan berdasarkan
PCR LCS yang diperoleh pada hari pertama perawatan, namun PCR yang diperoleh dari LCS
hari ke-8 setelah pemberian terapi acyclovir menunjukkan hasil negatif. Kekambuhan HSE
pernah dilaporkan terjadi beberapa minggu hingga bulan jika terapi diberikan hanya 10 hari atau
65
kurang. Angka kekambuhan berkisar 5% namun pada pemberian terapi dosis tinggi dengan lama
21 hari kekambuhan tersebut belum terdokumentasi. Meskipun pernah dilaporkan resistensi
terhadap acyclovir pada herpes simplex mucocutaneus di antara penderita AIDS, perkembangan
resistensi acyclovir pada HSE belum pernah dilaporkan.

Tabel 10. Terapi Acyclovir Pada HSE


 Spesifik da cukup efektif
 Aman, namun memerlukan penyesuaian dosis pada gangguan ginjal
 Terapi meningkatkan angka survival 65 – 100% jika diberikan hari ke-4 atau lebih dini
 Dosis 10 mg/kgBB setiap 8 jam selama paling sedikit 14 hari pada pasien imunokompeten
Respon klinis pada ensefalitis CMV terhadap antiviral belum diketahui secara pasti.
Acyclovir tidak efektif pada kasus ini. Terapi kombinasi dengan gansiclovir (5 mg/kgBB IV,
2x/hari) dengan atau tanpa foscarnet (60 mg/kgBB setiap 8 jam atau 90 mg/kgBB setiap 12 jam)
saat ini direkomendasi. Alternatif lain adalah cidofovir. Terapi antiretroviral harus ditambahkan
atau dilanjutkan pada pasien HIV. Antibakterial yang tepat juga perlu diberikan jika dicurigai
terdapat infeksi ricketsial, tuberkulosis dan listerial sebagai penyebab meningoensefalitis. Peran
dosis besar kortokosteroid (dexamethason atau metilprednisolon) pada ensefalitis infektif akut
masih dalam perdebatan. Meskipun peran steroid dalam beberapa kasus seperti
meningoensefalitis tuberkulosis atau angiitis granulomatosis pasca infeksi VZV telah terbukti
efektif, namun dalam kasus ensefalitis viral hal ini tidak terbukti bermanfaat dan tidak
direkomendasi. Sebuah studi yang mengevaluasi pemberian steroid pada ensefalitis Japanese
terbukti tidak bermanfaat.
Terapi suportif pada ensefalitis akut merupakan hal yang sangat penting. Kejang dapat
dikendalikan dengan fosphenytoin intravena. Prinsip penatalaksanaan tekanan intrakranial harus
dilakukan jika ada indikasi. Perhatian khusus perlu diberikan pada sistem pernapasan, irama
jantung, balans cairan, pencegahan trombosis vena dalam, pneumoni aspirasi, dan infeksi
bakterial sekunder. Karena beberapa terapi dapat menyebabkan toksisitas (misalnya acyclovir
menyebabkan nefrotoksik, peningkatan enzim hati, dan trombositopenia) pemeriksaan darah dan
parameter biokimia perlu diperhatikan. Dosis acyclovir diberikan intravena secara perlahan
sekurangnya 1 jam dengan memperhatikan fungsi ginjal. Seluruh kasus ensefalitis akut harus
dirawat dan memiliki akses ke ICU dengan fasilitas ventilator mekanik. Isolasi pasien tidak
diperlukan kecuali pada ensefalitis rabies, pasien dengan imunosupresi, pasien dengan ensefalitis
exanthematous, dan pasien dengan potensi penularan demam berdarah.

Komplikasi dan Prognosis Ensefalitis Viral Akut


Mortalitas pada ensefalitis viral non herpes bervariasi dari sangat rendah (misalnya
ensefalitis EBV) sampai sangat tinggi (misalnya ensefalitis Eastern equine). Ensefalitis rabis
juga berakibat fatal. Mortalitas pada HSE yang tidak diterapi berkisar 70% dan kurang dari 3%
yang dapat kembali normal. Pada analisis retrospektif pasien dengan HSE, hanya 16% pasien
yang tidak diterapi dapat bertahan hidup. Diagnosis dini dengan acuclovir menurunkan
mortalitas hingga 20 – 30%. Pada pasien yang mendapat terapi acyclovir dalam penelitian
NINAID-CASG, 26 dari 32 (81%) pasien dapat bertahan hidup dan disabilitas neurologi yang
serius melibatkan hampir separuh pasien yang bertahan. Pasien tua dengan tingkat kesadaran
yang rendah (GCS 6 atau kurang) memiliki prognosis yang paling buruk. Pasien muda (usia 30
atau kurang) dengan fungsi neurologis yang baik pada permulaan terapi acyclovir memiliki
prognosis yang baik (hampir 100% bertahan hidup dan lebih dari 60% memiliki sedikit atau

66
tanpa gejala sisa). Hiperperfusi unilateral persisten pada SPECT juga memiliki prognosis yang
jelek.
Komplikasi yang cukup banyak terjadi pada ensefalitis viral akut adalah peningkatan
tekanan intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion
of antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi
saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut
bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. Epilepsi, anomia persisten,
afasia, defisit motorik dan status amnestik kronik yang sesuai dengan psikosis Korsakoff pernah
ditemukan sebagai gejala sisa HSE berat. Sangat jarang ditemukan gejala neuropsikiatri berupa
sindrom Kluver-Bucy inkomplit pada fase awal penyembuhan HSE. Sindrom ekstrapiramidal
(parkinsonism) juga pernah dilaporkan sebagai gejala sisa pada saat epidemi ensefalitis virus
infuenza, diatandai adanya somnolen-oftalmoplegi dan letargi (ensefalitis letargi atau von
Economo’s disease). Beberapa kasus parkinson pasca ensefalitis dilaporkan pasca ensefalitis
viral sporadik, khususnya ensefalitis Japanese. Hampir sepertiga anak dengan ensefalitis
Japanese meninggal dan 75% anak yang bertahan hidup mengalami sequele neurologis mayor
termasuk retardasi mental, epilepsi, penyimpangan perilaku (kepribadian obsesif kompulsif),
gangguan bicara dan gejala ekstra piramidal. Gejala fatiq persisten dan memanjang, mialgia,
gugup, gangguan konsentrasi dan malaise postexertional juga didapatkan pasca ensefalitis viral
(sindrom fatiq kronik pasca viral).

Kesimpulan
Pada seluruh kasus ensefalitis akut, pemeriksaan yang tepat dan perawatan suportif
merupakan bagian integral dari strategi manajemen. Ketersediaan acyclovir, terapi anti HSV
yang sangat baik pada pengobatan dini telah memperbaiki prognosis klinis dari HSE. Pada
ensefalitis viral non herpes seperti ensefalitis Japanese, prognosis masih belum memuaskan,
meskipun telah ditemukan berbagai antiviral yang baru seperti ribavarin dan pleoconaril.
Beberapa infeksi viral dapat dicegah dengan imunisasi (misalnya mumps, measles, rubella,
ensefaltis Japanese dan rabies). Kendali terhadap vektor dan sanitasi lingkungan merupakan hal
yang penting dalam mencegah wabah ensefalitis arboviral seperti ensefalitis Japanese. Wabah
ensefalitis virus West Nile di kota New York dan ensefalitis zoonotik oleh virus Nipah di
Malaysia telah membuka mata publik bahwa wabah baru yang tidak lazim dan fatal pada hewan
dapat berasal dari atau menyebabkan infeksi baru pada manusia.

Materi Baku

Myelitis

Myelitis Transversa merupakan kelainan neurologis yang disebabkan oleh proses inflamasi yang
menyilang pada kedua sisi pada satu level atau segmen pada medulla spinalis.
Pengertian myelitia merujuk pada proses inflamasi pada medulla spinalis, sedangkan transversa
dideskripsikan pada posisi inflamasi yang bersilangan pada medulla spinalis.
Serangan pada proses inflamasi pada kerusakan myelin, substansi lemak yang membungkus sel
serabut saraf. Kerusakan ini dapat yang menyebabkan jaringan parut pada sistem saraf sehingga
dapat mengakibatkan mengganggu komunikasi diantara persarafan pada medulla spinalis dan
proses istirahat dari tubuh.
67
Gejala pada Myelitis Transversa antara lain adalah hilangnya fungsi dari medulla spinalis
lebih dari beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya gejala awal yang muncul adalah nyeri
tulang belakang, kelemahan otonom, sensasi yang abnormal pada jemari kaki dan tungkai yang
sangat cepat dan terkadang dapat menunjukkan gejala yang lebih berat seperti paralisis, retensi
urin, dan hilangnya fungsi kandung kemih. Meskipun pada beberapa pasien sembuh dari
penyakit ini ataupun masih terdapat gejala sisa, gejala permanen ternyata benyak menimbulkan
dampak pada aktivitas hidup sehari-hari. Kebanyakan pasien hanya memiliki satu kali episode
myelitis transversa dan hanya persentase yang sangat kecil saja yang dapat menimbulkan
rekurensi.

Segmen medulla spinalis yang terkena kerusakan dapat menentukan bagian dari tubuh
yang terkena. Regio saraf cervical dapat mengontrol sinyal pada bagian leher, bahu, tangan dan
otot pernafasan ( diafragma). Sedangkan persarafan yang berkaitan pada bagian dada akan
menghantarkan sinyal ke batang tubuh dan beberapa bagian dari bahu. Persarafan pada lumbal
mengontrol sinyal pinggul, pangkal paha dan tungkai. Persarafan bagian sacral mempersarafi
bagian jari, bebrapa bagian dengan tungkai, sebagian pangkal paha.

Myelitis Transversa dapat muncul pada dewasa dan anak-anak, pada kedua jenis kelamin
dan semua ras. Tidak didapatkan faktor predisposisi dari keluarga. Insidensi tertinggi terdapat
pada usia antara 10-19 tahun dan 30-39 tahun. Meskipun baru beberapa studi yang meneliti rasio
insidensi, Di USA meperkirakan didapatkan 1400 kasus dari myelitis transversa yang didiagnosa
pada setiap tahunnya

Etiologi

Para peneliti masih belum yakin penyebab dari mielitis transversa. Suatu peradangan
yang menyebabkan kerusakan serabut saraf di medula spinalis yang sangat berat dapat terjadi
akibat infeksi virus, reaksi imun abnormal, insufisiensi aliran darah pada pembuluh darah
didaerah medula spinalis. Penyebab lain dari mielitis transversa antara lain akibat komplikasi
sifilis, measles, penyakit lyme, dan beberapa komplikasi vaksinasi rabies dan cacar air. Pada
kasus yang tidak ditemukan penyebabnya disebakan kelainan idiopatik.

Mielitis transversa biasanya berkembang akibat suatu infeksi virus. Agen infeksi
penyebab mielitis transversa diantaranya varicella zooster, herpes simplex, cytomegalovirus,
Epstein-Barr, influenza, echovirus, HIV,hepatitis, rubella. Infeksi kulit yang disebabkan
bacterial, infeksi telinga tengah (otitis media), Mycoplasma pneumoniae.

Pada mielitis transversa paska infeks, mekanisme sistem imun memegang peranan
penting dari penyebab kerusakan pada saraf spinalis. Stimulasi sistem imun sebagai respon
terhadap infeksi mengindikasikan suatu reaksi autoimun yang bertanggung jawab terjadinya
mielitis transversa.

Kasus pada individu yang sudah menderita penyakit autoimun seperti lupus eritematosus
sistemik (LES), sindroma Sjogren, dan sarkoidosis, para peneliti memperkirakan juga bahwa
mielitis transversa juga termasuk suatu kelainan autoimun. Sebagai tambahan, keadaan
keganasan (kanker) dapak menginduksi terjadinya respon imun yang abnormal sehingga terjadi
mielitis transversa.
68
Pada beberapa kasus mielitis transversa dapat disebabkan karena adanya malformasi
arteriovenous atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang dapat menyebabkan
iskemik pada jaringan medula spinalis. Iskemik juga dapat terjadi akibat rupturnya pembuluh
darah di medula spinalis. Kerusakan akibat iskemik ini dapat menyebabkan inflamasi sehingga
terjadi mielitis transversa. Kebanyakan penderita adalah berusia diatas 50 tahun, menderita
penyakit kardiovaskular, atau sebelumnya mengalami operasi di daerah thorakal dan abdomen.

Manifestasi Klinis

Mielitis dapat terjadi akut (berkembang dalam beberapa jam hingga beberapa hari) atau
subakut (berkembang dalam 1 hingga 2 minggu). Gejala awal biasanya berupa nyeri lokal di
bagian punggung bawah, parestesi akut (rasa seperti terbakar, geli, tekan, atau kesemutan) pada
kedua tungkai, hipestesi, dan paraparesis. Paraparesis ini dapat berkembang hingga terjadi
keadaan paraplegi. Kelainan berkemih dan disfungsi saluran cerna sering terjadi. Kebanyakan
pasien juga mengeluh perasaan seperti tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan berkurangnya
nafsu makan. Beberapa pasien juga dapat mengalami gangguan pernafasan, tergantung segmen
medula spinalis yang terkena.

Terdapat empat gejala klasik mielitis transversa : (1) kelemahan tungkai dan lengan, (2)
nyeri , (3) gangguan sensoris, (4) disfungsi saluran cerna dan kandung kemih. Berat ringannya
gejala yang timbul sangat bervariasi dari berbagai pasien. Progresivitas penyakit ini dapat
mencapai beberapa minggu hingga terjadi keadaan paraplegi hingga pasien harus menggunakan
kursi roda.

Hampir sepertiga hingga setengah pasien mengalami gejala nyeri. Biasanya lokasi di
bagian punggung bagian bawah berupa rasa nyeri tajam, sensasi seperti tersetrum yang menjalar
ke ujung distal ekstremitas.

Gangguan sensoris yang timbul dapat berupa rasa kebas, kesemutan, rasa dingin atau
terbakar. Hampir 80 % pasien dengan mielitis transversa mengalami hipersensitifitas terhadap
sentuhan, seperti saat berpakaian dan disentuh ringan dengan jari kulitnya pasien merasakan
tidak nyaman dan nyeri (alodinia). Sebagian lain juga mengalami hipersensitifitas terhadap suhu
atau keadaaan yang sangat dingin atau panas.

Masalah kandung kemih dan saluran cerna biasanya berupa urgensi untuk berkemih atau
pergerakan saluran cerna, inkontinensia, kesulitan berkemih, rasa seperti masih ada sisa setelah
berkemih, dan konstipasi.

Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap neurologis.


Sangat sulit membedakan antara pasien yang mengalami mielitis transversa idiopatik dan pasien
yang sudah mengalami penyakit yang mendasari, seorang neurologis harus mencari pertama kali
kondisi penyebab yang dapat diatasi terlebih dahulu. Apabila terjadi suatu trauma pada medula
spinalis, seorang neurologis harus mencari lesi penyebab tertekannya atau kompresi dari medula
spinalis. Lesi potensial yang menyebabkan penekanan diantaranya tumor, hernia nukleus
pulposus, stenosis dan abses. Untuk menegakkan diagnosisnya dapat dilakukan magnetic
resonance imaging (MRI) dan atau mielografi.
69
Pemeriksaan darah dilakukan untuk menyingkirkan penyebab penyakit lain seperti LES,
infeksi HIV, dan defisiensi vitamin B 12. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya terjadi
peningkatan protein dan jumlah leukosit pada kasus karena infeksi.

Bila pada pemeriksaan penunjang tidak ditemukan penyebab spesifik dapat dikatakan
sebagai mielitis transversa idiopatik.

Tatalaksana

Kebanyakan suatu kelainan yang terjadi pada medula spinalis, belum ada terapi yang
efektif untuk menyembuhkan kelainan tersebut. Terapi yang diberikan untuk mengatasi gejala
yang timbul dan tergantung dari berat ringannya penyakit. Terapi diberikan pada awal gejala
timbul. Kortikosteroid biasanya diberikan pada satu minggu pertama untuk mengurangi efek
inflamasi dan mengurangi aktivitas sistem imun. Steroid yang diberikan dapat metil prednisolon
atau deksametason. Analgetik diberikan untuk mengatasi nyeri dan tirah baring pada hari-hari
awal minggu setelah onset gejala.

Initial terapi yang penting sebenarnya yaitu menjaga fungsi dari anggota gerak tubuh
(fisioterapi) dengan harapan terjadi penyembuhan yang komplit ataupun parsial dari sistem
saraf. Fisioterapi yang diberikan akan menjaga otot tetap fleksibel dan kuat, dan untuk
mengurangi terjadinya dekubitus pada pasien yang imobilisasi.

Pada kasus yang mengalami defisit neurologis yang permanen, fisioterapi dengan tim
termasuk pekerja sosial, psikiater, terapis fisik, terapis okupasional, dan terapis vokasional tetap
membantu rehabilitasi pasien agar pasien tersebut dapat hidup setidaknya mandiri sehingga
meningkat kualitas hidupnya.

Prognosis

Pengurangan gejala yang timbul akibat mielitis transversa biasanya terjadi 2 hingga 12
minggu setelah onset gejala dan dapat terjadi hingga 2 tahun. Bila tidak terjadi perbaikan gejala
dalam 3 hingga 6 bulan pertama, kesembuhan biasanya tidak terjadi. Hampir sekitar sepertiga
pasien dengan mielitis transversa mengalami perbaikan atau kesembuhan gejala yang timbul.
Sepertiganya lagi mengalaimi perbaikan minimal dan mengalami defisit neurologis yang nyata
seperti spastic gait, disfungsi sensoris, urgensi atau inkontinensia. Sepertiganya lagi tidak
mengalami kesembuhan sama sekali, dimana merekan tetap di kursi roda atau berbaring di
tempat tidur, tergantung terhadap orang lain untuk aktivitas hidup sehari-hari tertentu. Suatu
penelitian mengatakan onset yang cepat suatu gejala secara umum menunjukkan prognosis yang
buruk.

70
NEURO-AIDS

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1 dan 2 :Classroom – Menjelaskan tentang
epidemiologi, infeksi langsung/tidak langsung, Dasar
diagnosis dan identifikasi kelainan
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 dan 4-Cinical practice session : diskusi kasus
1 infeksi langsung
Minggu 5 dan 6 – Clinical practice session
diskusi kasus 2 infeksi langsung dan tidak langsung
(opurtunistik)
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 7 dan 8 : Clinical practice session : diskusi
kasus 3 infeksi langsung
Minggu 9 dan 10 : Clinical practice session : diskusi
kasus 4 infeksi tidak langsung (oputunistik)

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih : Alat bantu : sarung tangan, tutup mulut dan alat-alat lumbal punksi
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KOMPETENSI
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana infeksi oportunstik ke otak mencakup
epidemiologi, etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik,
pemeriksaan penunjang dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menjelaskan aspek masuknya HIV ke otak
 Menguasai mekanisme terjadinya infeksi oportunistik ke otak
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis infeksi oportunistik ke otak
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan infeksi oportunistik ke otak
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada infeksi oportunistik ke otak
dan obat anti retroviral
 Menngetahui infeksi oportunistik ke otak karena toksoplasma, kriptokorkus,
tuberkulosis, dan limfoma primer susunan saraf pusat

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
oportunistik secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning).

71
Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang dasar-dasar
HIV sampai terjadi infeksi oportunistik, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus

Kasus 1
Seorang laki-laki selalu berobat teratur ke pokdiksus dengan HIV dan sejak sebelum pemberian
obat antiiretroviral sering mengeluh kesemutan. Akhor2 ini setelah teratur makan obat penderita
meneluh kesemutan seluruh ekstremitas yang semakin berat setiap hari. Sudah mendapat
virtamin tetapi keluhan tidak kunjung hilang. Setelah itu dikonsulkan ke bagian neurologi. Pada
pemeriksaan didapatkan , kesadaran kompos mentis, refleks fisiologi di seluruh ekstremitas
menurun,
Tidak ada refleks patologi. Dilakukan pemeriksaan NCV/EMG terdapat tanda-tanda ineuropati
perifer

Kasus 2
Seorang laki mengeluh sering lupa bila meletakkan kunci, topi atau barang-barang lain. Padahal
sebelumnya tidak demikian. Penderita mengatakan bahwa ia adalah seorang pengguna narkoba
suntik yang sudah lama berhenti, ia diketahui seminggu yang lalu menderita HIV, diperiksa
karena sering seriawan yang tidak sembuh-sembuh.Pada pemeriksaan Neurologi, kompos
mentis, gangguan memori baru, MMSE dibawah rata-rata

Kasus 3
Seorang laki laki sia 26 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan sebelah kiri lumpuh secara
bertahap. Penderita serang oemakai narkoba sebelumnya, tetapi sudah berhenti sejak 6 tahun
yanglalu. Malahan sekarang dikenal sebagai penceramah tentang bahaya narkoba untuk generasi
muda.Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri kepala hebat. Pada pemeriksaan fisik
neurologis di dapatkan: Kesadaran kompos mentis, tanda rangsang meningeal -,parese N fasialis
dan n. Hipoglossus. Selain itu ditemuakan juga hemiparesis kiri, terleks fisiologi sebelah liri
meningkat, refleks patologi+/-. Pada pemeriksaan CT Sken otak tampak lesi multipel dengan
penyangatan cincin. Telah dilakukan terapi penyakitnya , disusul pemberian ARV

Kasus 4
Seorang laki-laki , seorang penderita HIV datang da pemeriksaan neurologi penderita tampak
sakit berat menekan-nekan kepalanya kadang dibenturkan ke dinding, kompos mentis,
pergerakan bola mata baik, tidak ada papil edema.
Pada CT sken kepala normal, dilakukan LP. Dengan pemeriksaan Tinta india + jamur,
kultur +, serologi +. Pada penderita dilakukan Lumbal punksi terapeutik

Diskusi
1. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS dapat menyebabkan
kesemutan dan baal di ekstremitas
2. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan
demensia
3. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan
penurunan kesadaran, hemiparesis, dan tanda peninggian intrakranial
4. Apakah infeksi oportunistik pada HIV AIDS menyebabkan sakit
kepala hebat, dan batuk-batuk
72
Tujuan pembelajaran
a. Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga
 memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada
penderita
 memberitahu tentang penularan penyakit
 memberitahu bahwa pengobatan akan berlangsung lama
b. Mengetahui mekanisme masuknya virus HIV ke otak
 mengetahui proses menumpang virus ke limfosit masuk menembus sawar darah otak
 mengetahui proses terjadinya destruksi neuron
c. Mengetahui cara diagnostik infeksi langsung dengan tes fungsi luhur, pemeriksaan
klinik, dan EMG/ Evoke potensial
 melakukan tes fungsi luhur, pemeriksaan klinik, EMG /Evoke potensial tersebut
 menjelaskan tentang kegunaan tes dan pemeriksaan
d. Mengetahui cara diagnosis infeksi opurtunistik dan jenis-jenisnya
 mengetahui presumtif diagnosis toksoplasmosis serebral
 mengetahui diagnosis kriptokokkosis serebral
 mengetahui diagnosis tuberculosis dengan HIV
 memperkirakan kemungkinan diagnosis limfoma primer
e. Mengetahui manajemen umum komplikasi neurologi AIDS
 mengetahui manajemen penurunan kesadaran
 mengetahui manejemen nyeri kepala
 termasuk indikasi lumbal punksi
 mengetahui manajemen kejang
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus HIV
 mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS
 mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita
g. Mengetahui cara dan waktu pem berian terapi ARV
 mengetahui waktu pemberian anti retroviral (ARV)
 mengetahui jenis obat ARV dan efek samping dapat mengatasi efek samping yang timbul
akibat pemberian ARV
h. Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium
 melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi
 melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan
mengirimkan ke laboratorium yang sesuai
i. Mengetahui terapi infeksi langsung dan tidak langsung
 melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis
 memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai
j. Melakukan konsultasi dengan bidang terkait
 melakukan konsultasi dengan peyakit dalam
 melakukan konsultasi dengan ilmi kesehatan kulit
 melakukan konsultasi dengan ilmu kesehatan mata

Metode Pembelajaran

73
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk proses pembelajaran

Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai berjalan
seperti diseret terutama anggota gerak sebelah kiri pasien, demam dirasakan hilang timbul, tidak
disertai kejang. Pasien saat masa sekolah pernah menggunakan narkoba suntik dan sering
bergantian dengan teman sesama pemakainya.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran somnolen
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 105 x/ menit
 Suhu 37,9 C
 Respirasi 21 x / menit
 Teradapat Oral trust
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3
 Status mental : belum dapat dinilai
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
 Nervi kranialis : paresis N VII kiri UMN
 Motorik : hemiparesis sinistra
 Sensorik belum dapat dinilai
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis -/-
 Klonus –
 Saraf otonom dalam batas normal

e. Hasil pemeriksaan penunjang :

74
Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, CD 4,
tes HIV
 Pemeriksaan foto thoraks
 Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras
f. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal

Diskusi
1. Apakah penurunan kesadaran terjadi pada infeksi oportunistik HIV
2. Apakah hemiparesis terjadi pada infeksi oportunistik HIV
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
4. Apakah terapi antiretroviral diberikan segera atau setelah berapa lama pengobatan
oportunistik

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

Berikut contoh prosedur informed choice:

PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................


II. INFORMED CHOICE
1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan
Referensi :
75
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12

Materi Baku

Neuro AIDS

Pendahuluan
Para ahli memperkirakan jumlah penderita HIV di Indonesia saat ini antara 130.000 –
140.000 orang.(1) Selama lima tahun terakhir terjadi peningkatan penderita HIV secara
bermakna terutama pada pengguna narkoba suntik. Prevalensi HIV pada penderita yang dirawat
di Rumah Sakit Ketergantungan Obat ( RSKO ) di Jakarta adalah 18 % pada tahun 1999, 40 %
pada tahun 2000 dan 48 % tahun 2001.(2) Prevalensi HIV positif pada pengguna narkoba suntik
di Indonesia diperkirakan antara 50 – 90 %.(3) Prevalensi HIV juga meningkat secara bermakna
di kalangan pekerja seks, pada tahun 2003 di Jakarta Utara 3,36 %, Jawa Barat 5,5 % dan di
Merauke 26,5 %.(2)
Keterlibatan sistim saraf pada infeksi HIV dapat terjadi secara langsung karena virus
tersebut dan tidak langsung akibat infeksi oportunistik akibat imunokompromis. Studi di negara
barat melaporkan komplikasi pada sistim saraf terjadi pada 30 – 70 % penderita HIV, bahkan
terdapat laporan neuropatologik yang mendapatkan kelainan pada 90 % spesimen posmortem
dari penderita HIV yang diperiksa.(4) Spektrum penyakit neurologik pada HIV dapat dilihat
pada tabel 1.(5)
Saat ini infeksi HIV merupakan penyebab tersering infeksi intrakranial yang dirawat di
departemen neurologi RSCM. Periode Januari – April 2004 terdapat 44 penderita di bagian
neuro infeksi, 26 penderita ( 60 % ) didapatkan serologi HIV positif.(6) Diagnosis pada
penderita tersebut adalah ensefalitis toksoplasma ( 8 penderita ), tuberkuloma otak ( 1
penderita ), meningitis purulenta ( 2 penderita ), Stroke ( 2 penderita ), ensefalitis CMV ( 1
penderita ) dan klinis meningoensefaltis yang etiologinya tidak jelas ( 12 orang ). Pada saat
tulisan ini dibuat terdapat dua kasus HIV dengan meningitis kriptokokus sedang dirawat di
departemen neurologi. Diagnosis dibuat berdasarkan kultur dan tinta india. Selain itu identifikasi
meningitis cryptococus melalui pemeriksaan tinta india dan serologi juga pernah dilaporkan di
RSCM pada tahun 2003.(7) Angka kematian komplikasi neurologi infeksi HIV di RSCM pada
saat ini masih cukup tinggi, yaitu 58 %.(6)
Anti retroviral terbukti efektif menekan jumlah virus dalam peredaran darah sisitemik.
Penggunaan obat ini mampu menurunkan angka kematian dan kesakitan penderita HIV.(4)

76
Tabel 1. Manifestasi neurologi HIV

Sumber : Justin McArthur 2003

Sistim Saraf dan HIV


Pemahaman tentang neuropatogenesis HIV hingga saat masih belum lengkap, hal ini
terutama karena tindakan diagnostik untuk membuktikan kelainan di sistim saraf pusat
kebanyakan bersifat invasif, seperti pungsi lumbal dan biopsi otak.
HIV merupakan suatu retrovirus anggota famili lentiviridae. Lentivirus ini dikenal sejak
lama memiliki tropisme pada sistim saraf.(8)
Efek utama HIV pada sistim imun adalah berkurangnya secara progresif sel limfosit CD
4. Keadaan ini menyebabkan disfungsi imunitas selular dan aktifasi infeksi laten yang sudah ada
atau infeksi oleh organisme yang sebelumnya tidak bersifat patogen. Berkurangnya sel limfosit
CD 4 juga mengakibatkan disregulasi makrofag yang menimbulkan produksi berlebihan sitokin
proinflamasi dan berbagai khemokin.(9)
Untuk masuk ke dalam sistim saraf pusat, HIV terlebih dahulu harus menginfeksi sel
yang memiliki reseptor CD 4. Reseptor CD 4 terdapat pada sel limfosit T, monosit, makrofag
dan sel dendritik. Selain itu dalam proses infeksi sel oleh HIV juga diperlukan koreseptor
khemokin yaitu CCR5 dan CXCR4.(10)
Mekanisme masuknya virus HIV kedalam sistim saraf pusat adalah dengan cara
menumpang pada monosit yang terinfeksi virus. Seperti telah diketahui dalam keadaan normal
monosit dapat melewati sawar darah otak. Selanjutnya di dalam sistim saraf pusat, monosit yang
telah terinfeksi berdeferensiasi menjadi mikroglia ( perivascular microglia ) dan makrofag (
meningeal macrophages ; choroid plexus macrophages). Kedua jenis sel ini kemudian
bertanggung jawab dalam penyebaran HIV di otak dan medula spinalis. Mediator kimia dan
77
protein virus HIV yang dihasilkan oleh kedua jenis sel ini berperanan menimbulkan gangguan
permeabilitas sawar darah otak. Disfungsi sawar darah otak lebih lanjut memudahkan masuknya
virion HIV baik secara langsung melintasi sawar darah otak ataupun dengan cara menumpang
seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.(11)
Terdapat beberapa mekanisme yang secara bersama terlibat dalam patogenesis kerusakan
neuron. Makrofag dan mikroglia yang terinfeksi menghasilkan protein virus yang bersifat
neurotoksik baik secara langsung maupun tidak langsung. Selain itu makrofag dan mikroglia
yang terinfeksi melepaskan sitokin dan mediator yang bersifat neurotoksik terdiri dari
proinflammatory cytokines (TNF- dan IL-1),  chemokines ( MIP-1, MIP-1 dan Rantes ), 
chemokines IP-10, arachidonic acid, platelet activating factor, quinolinic acid, nitric oxide, dan
superoxide anions.(11,12)
Secara kumulatif komponen viral yang bersifat neurotoksik, sitokin dan khemokin
bersama-sama membangkitkan berbagai kaskade sitotoksik dan disfungsi sistim imun yang pada
akhirnya menyebabkan kerusakan neuron seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.(12)

Blood

Brain parechyma Scarano et al Nature Vol 5 Jan 2005

Blood BBB CNS Neuronal Cognitive


Infections damage Motor weakness
Encephalopathy

78
Neuronal Damage
monocytes
Blood
Blood brain barrier
macrophages astrocyte

microglial

neuron

Brain parenchyma Scarano et al Nature


Vol 5 Jan 2005
Demensia HIV
Prevalensi demensia pada penderita HIV pada masa sebelum HAART ( highly active anti
retroviral therapy ) adalah 20 – 30 %, angka ini turun 50 % setelah HAART secara luas
digunakan di negara barat.(13)
Demensia HIV adalah suatu sindrom klinis yang ditandai dengan gangguan kognitif dan
motorik yang menyebabkan hambatan menjalankan aktifitas hidup sehari-hari. Selain itu juga
dijumpai bentuk klinis yang lebih ringan walaupun penderita masih dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari yang disebut sebagai HIV-associated minor cognitive / motor disorder ( MCMD ).
(14)
Beberapa istilah yang sering digunakan dalam literatur berbahasa Inggeris bagi demensia
HIV adalah ADC ( AIDS Dementia Complex ), HIVD ( HIV Dementia ), HIVE ( HIV
Encephalopathy ) dan HAD ( HIV associated Dementia ), namun istilah yang umum dipakai saat
ini adalah HAD.
Keluhan motorik awal yang sering dijumpai adalah kelambanan motorik, kesukaran
menulis, gangguan berjalan, bila memegang suatu benda sering kali terlepas. Gangguan gait
merupakan manifestasi awal motorik yang paling sering dijumpai namun tidak terdiagnosa.(8)
Manifestasi awal gangguan kognitif pada HIV sangat samar, sering kali disalah artikan
sebagai depresi, pengaruh alkohol dan narkoba atau manifestasi penyakit oportunistik. Gejalanya
dimulai dengan gangguan memori dan kelambatan psikomotor. Keluhan kognitif dan perilaku
pada tahap dini yang sering dijumpai adalah mudah lupa ( forgetfullness ), sukar berkonsentrasi,
apatis, hilangnya libido dan menarik diri dari kehidupan sosial. Seringkali dijumpai problem
79
sewaktu mengikuti alur suatu percakapan, sulit memahami cerita baik saat membaca atau
menonton film. Timbul kesukaran melakukan aktifitas sehari-hari yang kompleks. Lupa
terhadap perjanjian yang sudah dibuat, lupa waktu minum obat dan lain sebagainya.(8)
Diagnosis demensia pada HIV seringkali tidak mudah untuk dibuat karena banyaknya
kemungkinan etiologi lain yang dapat menimbulkan manifestasi gangguan kognitif, perilaku dan
motorik pada penderita HIV. Petunjuk pada tabel 2 dapat digunakan dalam menegakkan
diagnosis demensia HIV.(8)

Tabel 2. Gejala klinis yang menuntun kearah diagnosis demensia HIV


1. Serologi HIV positif
2. Terdapat gangguan yang bersifat progresif : kognitif, perilaku, memori dan
perlambatan mental
3. Pemeriksaan neurologik : gambaran gejala neurologik yang bersifat difus,
perlambatan rapid eye movement dan motorik ekstremitas, hiperrefleksia, hipertonia
dan dijumpainya release sign.
4. Pemeriksaan neuropsikologi : impairmen pada dua jenis pemeriksaan yaitu : fungsi
lobus frontal, kecepatan motorik dan memori non verbal.
5. Cairan otak : tidak dijumpai neurosifilis dan meningitis kriptokokkus.
6. Pemeriksaan radiologik : atrofi cerebri dan disingkirkan adanya lesi fokal
7. Tidak dijumpai penyakit psikiatrik mayor dan intoksikasi
8. Tidak dijumpai gangguan metabolik ; hipoksemia, sepsis dan lain-lain
9. Tidak dijumpai penyakit oportunistik otak yang aktif

Demensia HIV perlu mendapat perhatian komunitas neurologi di Indonesia karena


penyakit ini sangat mempengaruhi adherence penderita HIV terhadap terapi anti retroviral. Di
Amerika saat ini merupakan penyebab terbesar demensia pada orang dewasa muda.

Infeksi Sitomegalovirus
Merupakan penyakit mematikan yang sering dijumpai pada penderita HIV. Manifestasi
sitomegalovirus pada penderita HIV tersering adalah retinitis sitomegalovirus kemudian diikuti
oleh gangguan pada saluran cerna pada urutan kedua dan manifestasi neurologi pada urutan
selanjutnya (15)
Dokter dengan pemeriksaan neuro-oftalmologi dapat membantu menemukan kasus
retinitis sitomegalovirus yang banyak menyebabkan kebutaan, karena funduskopi juga banyak
dilakukan oleh dokter saraf. Pemeriksaan funduskopi secara rutin sebaiknya dilakukan pada
penderita HIV dengan jumlah sel CD 4 dibawah 100 sel/L.(16)
Gambar 2. Retinitis sitomegalovirus Gejala klinis retinitis sitomegalovirus adalah
penurunan tajam penglihatan, gangguan lapangan
pandang dan melihat benda-benda yang bergerak pada
lapangan penglihatan ( floaters ).(16) Retinitis
sitomegalovirus merupakan hemorrhagic necrotizing
retinitis seperti terlihat pada gambar 2.(17)

Sumber : Whitcup SM

80
Manifestasi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat dapat terjadi pada otak, medula
spinalis dan saraf tepi. Presentasi klinik yang sering dijumpai adalah ensefalitis,
meningoensefalitis, lesi desak ruang, ventrikuloensefalitis, mielitis transversa, poliradikulitis
progresif dan mielopoliradikulitis. Diagnosis infeksi sitomegalovirus pada sistim saraf pusat
tidak mudah dibuat. (18) Diagnosis hanya dapat tegak berdasarkan gambaran klinik yang
disokong oleh imajing dan pemeriksaan marker virus.
Gejala klinis ensefalitis sitomegalovirus tidak dapat dibedakan dengan infeksi
bakterial maupun virus lainnya yang awitannya subakut. Pada ensefalitis sitomegalovirus
dapat dijumpai gangguan kognitif yang progresif disertai dengan kelemahan motorik dan
defisit sensorik yang dapat disertai kelumpuhan saraf kranial, ataksia, hemiparesis dan
hemianopia.(18) Oleh karena awitannya yang bersifat subakut keadaan ini menyerupai
demensia HIV.
Poliradikulopati-progresif karena sitomegalovirus memperlihatkan gejala sindroma
kauda-equina. Keadaan ini berkembang selama beberapa hari sampai beberapa minggu.
Biasanya dimulai dengan kelemahan pada kedua tungkai yang kemudian diikuti oleh saddle
anesthesia dan inkontinensia urin.(19)
Gambar 3. Ventrikulitis sitomegalovirus Penyangatan pada daerah
periventrikular ( Owl’s eyes )
merupakan gambaran yang khas untuk
ventrikulitis karena sitomegalovirus,
gambar 3 (20) tetapi frekuensi
ventrikulitis jarang ditemukan.
Manifestasi infeksi sitomegalovirus di
otak yang lebih sering dijumpai adalah
ensefalitis, namun tidak ada gambaran
sken maupun MRI yang spesifik.(18)

Sumber: Rubin
Pada pemeriksaan cairan serebro spinal dapat dijumpai peningkatan sel dan protein
dan penurunan glukosa seperti infeksi virus dan bakteri lain.
Pemeriksaan antigen sitomegalovirus dengan dari cairan serebro spinal sangat
membantu penegakan diagnosis. Di Rumah Sakit Kanker Dharmais pemeriksaan ini dapat
dilakukan. Pemeriksaan serologik lainnya seperti IgG dan IgM sitomegalovirus tidak bersifat
spesifik.(18)
Gansiklovir 5 mg/KgBB dua kali sehari secara parenteral diberikan dapat diberikan
selama 14 – 21 hari sebagai terapi induksi untuk infeksi CMV pada sistim saraf. Setelah itu
dapat dilanjutkan terapi rumatan menggunakan dosis 5 mg/KgBB sekali sehari.(18) Terapi
rumatan dianjurkan diberikan sampai CD 4 lebih dari 100 sel/L. Sebaiknya sewaktu
menggunakan obat ini harus diingat harga yang mahal dan efek samping yang berat terhadap
sistim hematopoetik dan ginjal.

81
Ensefalitis Toksoplasma (ET)
ET di jumpai pada 30 - 50 % penderita HIV dengan lesi massa intrakranial.(21) Kasus
ET yang didiagnosis berdasarkan imajing dan serologi dijumpai pada 30,7 % penderita HIV
yang dirawat di departemen neurologi.(6) Mungkin angka ini lebih rendah dari yang semestinya
karena pemeriksaan imajing dan serologik toksoplasma hanya dapat dilakukan pada sebagian
kecil penderita.
ET biasanya dijumpai pada penderita HIV dengan kadar CD 4 dibawah 200 sel/L.(22)
Banyak kasus ET pada penderita AIDS terjadi karena reaktivasi dari infeksi laten yang
sudah ada sebelumnya. Gambaran klinik biasanya subakut berlangsung beberapa hari sampai
beberapa minggu. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri kepala disertai demam. Defisit
neurologi fokal, dengan manifestasi hemiparesis, ataksia, defisit saraf kranial dan gangguan
lapangan pandang merupakan kelainan neurologi yang dapat dijumpai disertai kesadaran
menurun dan tanda peningkatan tekanan intrakranial. (8,21) Gejala lain yang juga dapat
ditemukan adalah kejang, gejala mirip parkinson dan korea-athetosis.
Pemeriksaan imajing memperlihatkan lesi otak multipel dengan cincin atau penyangatan
homogen dan disertai edema vasogenik pada jaringan di sekitarnya. Lesi ini dapat dijumpai pada
bagian superfisial, yaitu pada daerah cortico-medullary junction dan lokasi yang lebih dalam
misalnya di daerah basal ganglia dan thalamus.(8) MRI lebih superior dibanding dengan CT
sken dalam memperlihatkan lesi fokal pada ET, namun dalam praktek sehari-hari CT sken lebih
mudah terjangkau. Pada kasus-kasus yang meragukan dapat digunakan MRI dan bahkan MR
Spektroskopi untuk membedakan lesi toksoplasma dengan lesi lainnya seperti limfoma secara
lebih akurat.
Pemeriksaan serologi sangat penting dalam diagnosis ET. Bila dijumpai serologi IgG
toksoplasma negatif, peluang ET menjadi sangat berkurang walaupun dalam kepustakaan
keadaan itu dapat saja terjadi pada penderita HIV dengan defek imunitas yang berat. Di RSCM
titer IgG toksoplasma yang dianggap positif bila lebih besar dari 300 IU/ml.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak. Pemeriksaan biopsi terutama dianjurkan
untuk kasus-kasus dengan pemeriksaan imajing yang tidak jelas atau pada keadaan terapi
presumtif menunjukkan kegagalan.
Nilai CD 4 penderita HIV dengan gambaran imajing dan hasil serologi sudah cukup
sebagai dasar untuk memulai terapi presumtif. Terapi ini dilakukan selama 2 minggu. Perbaikan
klinis dapat dilihat dalam 1 – 2 minggu, sedangkan perbaikan gambaran imajing dapat terlihat
pada 4 – 6 minggu.(23)
Menurut kepustakaan terapi ET yang efektif terdiri dari pirimetamin 50 – 75 mg per hari
disertai dengan Sulfadiazin 100mg/KgBB/hari.(24) Mengingat efek samping kedua obat tersebut
adalah supresi sistim hemapoetik maka perlu ditambahkan folinic acid 10-20 mg per hari. Di
Jakarta tidak mudah untuk mendapatkan regimen seperti yang disebutkan diatas, oleh karena itu
terapi ET di RSCM dipakai fansidar dan klindamisin. Dosis fansidar 2 – 3 tablet per hari dan
klindamisin 4 X 600 mg per hari disertai dengan leukoverin 10 mg per hari. (fansidar
mengandung pirimetamine 25 mg + sulfadoksin 500 mg ). Untuk terapi pencegahan
kekambuhan maupun terapi profilaksis pada penderita AIDS dapat diberikan kotrimoksazol
dosis dewasa 2 tablet per hari.

82
Gambar 4a. Gambar 4b. Gambar 4c. Gambar 4d
Gambar 4. Seorang penderita wanita 23 tahun HIV positif di RSCM
dengan keluhan sakit kepala dan demam. Gambar 4a, CT scan tanpa
kontras saat penderita baru masuk dalam perawatan. Gambar 4b, 4c dan
4d, MRI beberapa hari kemudian memperlihatkan lesi multiple yang
menyangat kontras yang sebelumnya tidak terlihat pada CT scan. Gambar
4e. CT scan lima bulan kemudian setelah terapi toksoplasma.

Gambar 4e.

Meningitis Kriptokokus
Angka kejadian meningitis kriptokokus pada penderita HIV di Indonesia belum
diketahui. Penelitian di Thailand melaporkan prevalensi kriptokokosis pada penderita HIV
sebesar 18,5 %.(25)
Awitan meningitis kriptokokus bersifat subakut berlangsung selama 2 – 4 minggu
dengan gejala sakit kepala, demam, kesadaran menurun, perubahan kepribadian dan gangguan
memori. Suatu penelitian di Zimbabwe pada 89 penderita meningitis kriptokokus mendapatkan
gejala sakit kepala 96 %, demam 51 %, muntah 41 % dan kaku kuduk 48 %.(26)
Frekuensi peningkatan tekanan intrakranial pada meningitis kriptokokus terhitung tinggi
seperti pada penelitian Graybill dkk yang melaporkan pada 53 % penderita dijumpai tekanan
cairan serebro spinal ( CSS) diatas 250 mmHg.(27) Tekanan intrakranial tinggi ini akan
menimbulkan gangguan penglihatan dan pendengaran. Dari penelitian yang sama didapatkan
data yang menarik yaitu, ternyata pada kelompok dengan tekanan CSS diatas 250 mmHg hanya
dijumpai papil edema pada 26 % penderita dan tidak satupun memperlihatkan gambaran imajing
hidrosefalus obstruktif.
Pemeriksaan imajing tidak memberikan gambaran yang khas. Pada pemeriksaan
neuroradiologi dapat dijumpai gambaran edema serebri, lesi fokal, atrofi, hidrosefalus dan
penyangatan pada meningen ( meningeal enhancement ).(8,28) Pada pemeriksaan foto torak
dapat dijumpai gambaran kriptokokosis paru.
Pemeriksaan analisis CSS biasanya dijumpai sedikit peningkatan sel, peningkatan protein
yang moderat dan penurunan glukosa. (27,28) Pemeriksaan sedian langsung CSS dengan
pewarnaan tinta India memberikan hasil positif pada 75 % kasus.(28) Pada gambar 5 dapat
dilihat identifikasi kriptokokus dengan tinta india.

83
Gambar 5. Preparat tinta india kriptokokus

Pemeriksaan serologik untuk menentukan antigen capsular merupakan pemeriksaan yang


sangat bermanfaat karena dapat dilakukan dengan cepat.
Di RSCM terapi primer terhadap meningitis kriptokokokus fase akut adalah Amfoterisin
B 0,7 mg/kg BB/hari intravena selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan dengan Fluconazole 400
mg per hari per oral selama 8 – 10 minggu. Terapi pencegahan kekambuhan menggunakan
Fluconazole 100 mg per hari diberikan untuk seterusnya selama jumlah sel CD 4 masih dibawah
300 sel/L.(23) Selama terapi perlu dipantau kemungkinan terjadinya reaksi alergi, gangguan
fungsi ginjal dan hepar.
Pungsi lumbal berulang, pemasangan lumbal drain dan ventriculoperitoneal shunt
dilaporkan bermanfaat mencegah kebutaan dan kematian pada penderita dengan tekanan CSS
yang tinggi pada infeksi kriptokokus di serebral.(28)

Anti Retroviral (ARV)


Angka harapan hidup penderita HIV dilaporkan meningkat di negara barat sejak
dimulainya penggunaan HAART( highly active anti retroviral therapy ). Supresi virus dalam
peredaran darah sistemik mampu menurunkan angka kejadian infeksi oportunistik yang
merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan pada penderita HIV. Kini HIV dianggap
merupakan salah satu penyakit kronik yang dapat ditatalaksana dengan baik dalam jangka
panjang.
ARV mulai dipakai di Indonesia sejak tahun 1990 namun pada sat itu harganya masih
sangat mahal. Pada tahun 1997 Pokdisus AIDS FKUI mencanangkan program akses diagnosis
dan terapi AIDS, melalui program itu dilakukan kerjasama dengan perusahaan farmasi yang
memproduksi ARV dalam bentuk obat paten sehingga harganya dapat ditekan.(29) Pada tahun
2001 tim Pokdisus AIDS FKUI yang dikirim ke India dapat mendatangkan obat retroviral
generik ke Indonesia.(29) Sejak saat itu penderita HIV di Indonesia dapat menikmati ARV
generik. Akses terhadap terapi ARV bagi penderita HIV di Indonesia menjadi semakin luas
semenjak Kimia Farma ikut memproduksi ARV generik pada tahun 2004.
Rekomendasi WHO pada Juni 2004 ARV utama untuk negara berkembang sebagai ARV
first-line adalah kombinasi berikut :(30)
 d4T/3TC/NVP (stavudin/lamifudin/nevirapin)
 d4T/3TC/EFV (stavudin/lamifudin/efavirens)
 AZT/3TC/NVP (zidovudin/lamifudin/nevirapin)
 AZT/3TC/EFV (zidovudin/lamifudin/efavirens)
Kombinasi AZT/3TC/NVP merupakan kombinasi ARV yang digunakan oleh Pokdisus
AIDS FKUI. Dosisnya adalah AZT 2 X 300 mg/hari, 3TC 2 X 150 mg/hari dan NVP 2 X 200
mg/hari. Selain ketiga obat tersebut juga disediakan obat lain misalnya d4T, EFV dan ddI untuk
digunakan sebagai alternatif bagi penderita yang tidak dapat mentoleransi salah satu dari
komponen kombinasi AZT/3TC/NVP.

84
Kesimpulan
Terjadi peningkatan prevalensi HIV/AIDS di Indonesia, demikian pula komplikasi
neurologi yang menyertainya baik langsung atau infeksi oportunistik. Tetapi sejak ditemukan
ARV yang efektif mensupresi virus dalam darah penderita HIV, maka terjadi penurunan angka
kematian dan kesakitan disertai meningkatnya usia harapan hidup
Sehingga makin bertambah panjangnya umur penderita HIV maka diperkirakan dimasa
datang akan banyak kita jumpai penderita HIV yang datang dengan problem neurologi.
Penyakit HIV saat ini dianggap merupakan penyakit kronik yang dapat di tatalaksana
dengan baik. Oleh karena itu pengetahuan tentang patofisiologi, diagnosis dan terapi HIV
menjadi sangat penting dipahami oleh komunitas dokter saraf.

85
JALUR KLINIS PENDERITA HIV (+) DENGAN INFEKSI SSP DI RSCM

UNIT GAWAT DARURAT

Dokter Jaga :
Anamnesis
 Nyeri Kepala
 Penurunan Kesadaran
 Kejang
 HIV (+), CD4 < 200
Pemeriksaan Fisik
Terapi/tindakan emergensi resusitasi

Konsul ahli Saraf

Defisit neurologi Fokal


Gejala klinis infesi SSP

CT Scan Kepala kontras/MRI kepala kontras

Lesi Fokal Otak

+ -

Terapi Empirik Pungsi Lumbal


Anti
Toksoplasmosis
Kriptokokus, Tuberkulosis,
Bakterialis, dan lainnya

Perbaikan
Gagal Terapi

Toksoplasmosis Serebral Penilaian Ulang


Klinis, Pencitraan, Laboratorium, Limfoma, PML,
Biopsi CMV, Tuberkulosis

86
CRYPTOCOCCAL MENINGITIS
GEJALA KLINIS
TERAPI KHUSUS
 Demam, sakit kepala, mual dan muntah dan disfungsi  Terapi akut:
kognitif  Amphoterisin B 0,7 mg/kgBB/hari IV
 LCS: kultur Cryptococcus neoformans (+) atau tes dibagi 4 dosis selama 2 minggu diikuti
antigen cryptococcal LCS dengan flukonazole 400 mg/hari PO
 Kultur darah Cryptococcus seringkali (+) dan Ag sampai lengkap 10 minggu pemberian
Cryptococcal serum sangat sensitif  Terapi akut sebaiknya dilanjutkan sampai
 Neuroimaging: CT atau MRI biasanya normal atau LCS steril
memperlihatkan abnormalitas nonspesifik
 Pemeliharaan jangka panjang
Flukonazole 200 mg/hari PO

KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia: Laporan eksekutif Menteri Kesehatan RI


tentang penanggulangan HIV/AIDS pada sidang kabinet Maret 2002.
2. Menko Kesra, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Strategi Nasional
Penanggulangan HIV/AIDS 2003 – 2007. Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat 2003.
3. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan Infeksi HIV di Pelayanan Kesehatan Dasar.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2003;3-4.
4. Maschke M, Kastrup O, Esser S, et al. Incidence and Prevalence of Neurological
Disorders Associated with HIV since the Introduction of Highly Active Antiretroviral
Therapy (HAART). J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:376-380.
5. McArthur JC, Haughey N, Gartner S, Conant K, Pardo C, et al. Human immunodeficiency
virus-associated dementia: An evolving disease. Journal of NeuroVirology 2003;9: 205-
221.
6. Tiksnadi A, Imran D, Jannis J. Penelitian Kasus HIV yang Dirawat di Bangsal Neurologi.
Subbagian Neuroinfeksi FKUI/RSCM 2004.
7. Imran D, Wiweka S, Sujatmiko A, Marshal, Jannis J. Kriptokokosis SSP: Serial Kasus
pada Penderita HIV. Subbagian Neuroinfeksi FKUI/RSCM 2003.
8. Mancall EL, Cascino TL, Devereaux MW, et al. The Molecular Biology of HIV
Dementia. In: Mancal EL, ed The Neurologic Complications of AIDS. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins, 2000;17-29.
9. Tan SV, Guiloff RJ. Hypothesis on the pathogenesis of vacuolar myelopathy, dementia,
and peripheral neuropathy in AIDS. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1998;65:23-28.
10. Wu DT, Woodman SE, Weiss JM, McManus CM, D'Aversa TG. Mechanisms of
leukocyte traficking into the CNS. Journal of NeuroVirology,2000;6:Suppl1,S82-S85.
11. Albright AV, Soldan SS, Gonz´alez-Scarano SF. Pathogenesis of human
immunodeficiency virus-induced neurological disease. Journal of NeuroVirology,2003;9:
222-227.

87
12. Wesselingh SL, Thompson KA. Immunopathogenesis of HIV-associated dementia.
Current Opinion in Neurology 2001,14:375-379.
13. Sacktor N. The epidemiology of human immunodeciency virus associated neurological
disease in the era of highly active antiretroviral therapy. J NeuroVirology
2002;8(suppl.2):115-121.
14. American Academy of Neurology AIDS Task Force. Nomenclature and research case
definition for neurologic manifestations of human immunodeficiency virus-type 1 (HIV-1)
infection. Neurology 1991;41:778-785.
15. Ives DV. Cytomegalovirus disease in AIDS. AIDS,1997;11(15)1791-1797.
16. Moraes HV. Ocular manifestations of HIV/AIDS. Current Opinion in
Opthalmology,2002;13(6)397-403.
17. Whitcup SM. Ocular Manifestations of AIDS. JAMA,1996;275:(2)142-144.
18. Maschke M,Kastrp O,Diener H-C. CNS Manifestations of Cytomegalovirus Infections:
Diagnosis and Treatment. CNS Drug,2002;16(5):303-315.
19. Verma A. Epidemiology and clinical features of HIV-1 associated neuropathies. J
Peripher Nerv Syst. 2001;6(1): 8-13.
20. Rubin DI. Owl’s eyes of CMV ventriculitis. Neurology,2000;54:2217
21. Skiest DJ. Focal Neurological Disease in Patients with Acquired Immunodeficiency
Syndrome. Clinical Infectious Diseases 2002; 34:103-115.
22. Belanger F, Derouin F. Incidence and Risk Factors of Toxoplasmosis in a Cohort of
Human Immunodeficiency VirusInfected Patients : 1988-1995. Clinical Infectious
Diseases 1999;575-581
23. Jannis J, Imran D. SOP Komplikasi Neurologi pada HIV. Subbagian Neuroinfeksi
FKUI/RSCM 2003.
24. Duval X, Leport C. Toxoplasmosis in AIDS. Current Treatment Options in Infectious
Diseases 2001;3:113-128
25. Chariyalertsak S, Sirisanthana T,1 Saengwonloey O, Nelson KE. Clinical Presentation and
Risk Behaviors of Patients with Acquired Immunodeficiency Syndrome in Thailand,
1994-1998: Regional Variation and Temporal Trends.
26. Heyderman RS, Gangaidious zo IT, Hakim JG. Cryptococcal Meningitis in Human
Immunodeficiency Virus - Infected Patients in Harare, Zimbabwe. Clinical Infectious
Disease. 1998; 26:284-9
27. Graybill JR, sobel J, Powderly W. Diagnosis and Management of Increased Intracranial
Pressure in patients with AIDS and Cryptococcal meningitis. Clinical Infectious Disease
2000;30;47-54
28. Houff SA. Cryptococcal Meningitis. Neurobase Compact Disk Second 1998 edition.
Arbor Publishing Corp.
29. Djauzi S. Mengenal Terapi Antiretroviral. Jakarta: Pokdisus AIDS FKUI-Yayasan Pelita
Ilmu, 2003;7-8.
30. World Health Organisation. The Use of Antiretroviral Therapy: A Simplified Approach
for Resource-Constrained Countries. Regional Office for South East Asia, New Delhi June
2004.

88
SPONDILITIS

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana spondilitis mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
spondilitis. Klasifikasi, patofisiologi, patogenesis,
diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan penunjang,
manajemen terapi disertai pelatihan pemeriksaan pasien
dan mengatasi kegawatdaruratan.

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 : clinical practice session diskusi kasus
spondilitis dan mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya spondilitis
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis spondilitis
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan spondilitis
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada spondilitis
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada spondilitis

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen spondilitis
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya infeksi susunan
saraf pusat, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

89
Contoh kasus

Wanita usia 24 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kedua
tungkainya sejak 1 bulan terakhir. Keluhan diawali dengan riwayat nyeri seperti terikat pada
bagian perut dan dada pasien, keluhan kadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi, terutama
malam hari dan disertai penurunan berat badan, kemudian keluhan dirasakan memberat hingga
pasien mengeluh tungkainya berjalan terasa berat hingga 1 bulan terakhir kesulitan berjalan.
Lebih kurang 6 bulan terakhir pasien menjalai terapi pengobatan TB paru, dan tidak teratur
pengobatannya

Diskusi
1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ?
2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami
kelemahn ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk
melakukan pengobatan segera?
4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan
diagnosis?
5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau
sebelum punksi lumbal?

Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik
neurologis, pemeriksaan penunjang, diagnosis klinik, topis, etiologi, patologi anatomi dan
diagnosa banding.
b. Kompetensi pengobatan dicapai dengan cara keragaman epidemiologi
berdasarkan usia, empiris.

Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik spondilitis
b. Mengetahui penyebab spondilitis
 Mengetahui penyebab spondilitis
 Mengetahui anatomi tulang dan medula spinalis
 Mengetahui jenis bakteri, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
spondilitis
 Mengetahui farmakologi obat dan efek samping
c. Menjelaskan epidemiologi spondilitis
 Mengetahui penyebab spondilitis
 Mengetahui jenis bakteri spesifik penyebab dan proses yang terjadi
 mengetahui farmakologi OAT dan efek samping
d. Mengetahui komplikasi
 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada spondilitis
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi
 Antisipasi kelainan otonom

90
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui interpretasi pemeriksaan rontgen polos vertebra
 Mengetahui kelainan khas dan interpretasi CT Scan dan MRI vertebra
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan Rontgen polos vertebral, CT Scan dan MRI torak
dan lumbal

g. Melakukan dan menjelaskan terapi spondilitis dan manajemen serta resistensi


antibiotik
 Mengetahui manajemen dan pengobatan spondilitis
 Mengetahui manajemen dan terapi
 melakukan tindakan emergensi
 pertimbangan terapi empirik
 mengevaluasi hasil terapi
h. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif
 Mempertimbangkan tindakan operatif pada spondilitis

Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran


Laki-laki usia 24 tahun, tidak bekerja , datang kerumah sakit dengan keluhan utama nyeri seperti
terikat pada dada dan perutnya. Sejak 1 bulan terakhir pasien mengeluh nyeri seperti terikat pada
bagian perut dan dada pasien, keluhan kadang disertai demam yang tidak terlalu tinggi, terutama
malam hari dan disertai penurunan berat badan, kemudian keluhan dirasakan memberat hingga
pasien mengeluh tungkainya berjalan terasa berat kesulitan memakai sendal. Keluhan terkadang
disertai gangguan saat buang air kecil dan buang air besar. Lebih kurang 6 bulan terakhir pasien
menjalai terapi pengobatan TB paru, dan tidak teratur pengobatannya.

a. Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran compos mentis
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 85 x/ menit
 Suhu 37 C
 Respirasi 21 x / menit
 Jantung dan paru dalam batas normal

91
 Abdomen supel, hepar dan lien tak teraba
 Punggung daerah thorakal teaba gibus, tidak terasa nyeri
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5
 Status mental : dalam batas normal
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif
 Nervi kranialis : paresis (-)
 Motorik : paraparesis inferior, spastis
 Sensorik hipestesi setinggi thorakal VII kebawah
 Refleks fisiologis +++/+++
 Refleks patologis -/-
 Klonus +/+
 Saraf otonom : retensi urin

g. Hasil pemeriksaan penunjang :


 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,
 Pemeriksaan foto thoraks dan vertebra
 Pemeriksaan CT Scan dan MRI vertebral dengan kontras

h. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal

Diskusi
1. Mengapa terjadi suatu kelemahan kedua tungkai pada spondilitis ?
2. Apakah terdapat spastisitas pada kedua tungkai yang mengalami kelemahn ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan
segera?
4. Apakah punksi lumbal segera dilakukan untuk menegakkan diagnosis?
5. Apakah pemeriksaan CT Scan/MRI vertebra dilakukan setelah atau sebelum punksi
lumbal ?

Rangkuman
a. Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik/neurologis
3. Diagnosis banding
4. Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
5. Pemeriksaan penunjang
6. Sistem rujukan

b. Penilaian kompetensi
1. Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan

92
EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

93
Berikut contoh prosedur informed choice:

PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

REFERENSI
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

94
MATERI BAKU

Spondilitis Tuberkulosis

Spondilitis Tuberkulosis (TB) atau penyakit Pott telah terdokumentasi pada mumi dari
Mesir dan Peru dan merupakan penyakit tertua yang diketahui pada manusia. Pada tahun 1779,
Percivall Pott menggambarkan deskripsi klasik dari tuberkulosis spinal. Sejak penemuan obat
anti tuberkulosis, tuberkulosis tulang belakang mulai jarang ditemukan di negara maju, namun
masih banyak ditemukan di negara berkembang.
Dari seluruh kasus TB 17,9%-19.4% adalah kasus ekstra pulmonal, dimana 11%nya
melibatkan osteoartikuler.
Spondilitis TB pada orang dewasa biasanya merupakan infeksi sekunder dengan fokus
infeksi di tempat lain dan tidak selalu berasal dari paru. Banarjee dan Tow menemukan 31% dari
499 pasien spondilitis TB menunjukkan hasil positif pada pemeriksaan rontgen paru, dimana
78%nya adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya menunjukkan hasil negatif. Pada orang
dewasa fokus primer dapat juga berasal dari usus, ginjal dan tonsil.

Patogenesis dan Patofisiologi


Penyebaran dari fokus primer dapat secara hematogen dan limfogen. Infeksi korpus
vertebra biasanya dimulai pada bagian tulang yang berdekatan dengan diskus intervertebralis
atau dibagian anterior dibawah periosteum korpus vertebra, sedangkan arkus neuralis jarang
terkena. Mycobacterium tuberculosis mengakibatkan resorpsi masif vertebra spinal. Patogenesis
penyakit Pott belum jelas, namun telah diidentifikasi sebuah protein M tuberkulosis (Mt)
chaperonin (cpn) 10 yang bertanggung jawab untuk aktifitas proteolitik bakteri ini. Mt cpn10
rekombinan ini merupakan stimulator poten untuk resorpsi tulang dan menginduksi rekrutmen,
menginhibisi proliferasi pembentukan tulang oleh osteoblast. Chaperonin 60 (cpn60) memiliki
struktur heptamer yang homolog dengan cpn10. Cpn60 ini akan menghambat pembentukan
heptamer cpn10 sehingga diperkirakan pada masa mendatang menjadi target teraputik untuk
tuberkulosis tulang.

Karena distribusi suplai arteri vertebralis, tulang vertebra yang berdekatan dapat terkena.
Perubahan tulang terlihat dalam 2 hingga 5 bulan setelah infeksi. Biasanya bagian subkondral
dari korpus vertebra terkena. Bila bagian anterior dan lateral korpus yang terkena maka akan
mengakibatkan terjadinya kifosis dan gibus. Bila bagian posterior korpus yang terkena
mengakibatkan kavitasi dan massa ekstradura. Selain itu didapatkan penyebaran limfogen yang
berasal dari tuberkulosis ginjal yang tidak bermanifestasi.

Tuberkulosis menyebar dari fokus tulang belakang melalui penyebaran langsung melalui
ruang diskus. Bola abses paravertebral terbentuk, penyakit kemudian menyebar melalui
ligamentum longitudinalis anterior/posterior hingga ruang pleura. Abses dapat juga menyebar
melalui fasia menimbulkan abses psoas atau menyebar ke posterior membentuk abses ekstradura.

Destruksi vertebra ,mengakibatkan kolapsnya korpus vertebra bersamaan dengan


pembentukan baji anterior. Kompresi medula spinalis pada spondilitis terutama diakibatkan oleh
tekanan dari abses paraspinal yang berada retrofaringeal pada daerah cervikal dan terbentuk
spindel pada daerah torakal dan torakolumbal. Defisit neurologis juga dapat berasal dari invasi

95
intradural oleh jaringan granulasi dan kompresi dari pecahan tulang yang hancur, destruksi
diskus intervertrebralis, atau dislokasi tulang vertebra. Penyebab yang jarang adalah insufisiensi
vaskuler arteri spinalis anterior. Kelainan neurologi ini dapat terjadi pada semua stadium
spondilitis dan bahkan terjadi bertahun-tahun setelah pengobatan akibat tarikan medula spinalis
di dalam kanalis spinalis yang mengalami deformasi.

Gejala dan Tanda


Spondilitis TB dapat memberikan gambaran yang sangat bervariasi. Gambaran yang
sering dan paling awal didapatkan adalah nyeri tulang belakang, dapat berupa nyeri lokal
maupun radikuler. Selain itu didapatkan juga gambaran manifestasi penyakit kronis seperti
penurunan berat badan, rasa lemah, demam, dan / atau keringat malam. Gejala timbul antara 2
minggu hingga 3 tahun, dengan rata-rata 1 tahun.

Nyeri lokal memiliki karakteristik dalam, membosankan, dan seperti pegal (deep, boring,
aching). Nyeri ini dibangkitkan oleh stres mekanik pada vertebra. Tirah baring biasanya dapat
mengurangi nyeri. Nyeri lokal timbul sebagai akibat dari iritasi pada vertebra pada bagian yang
memiliki persarafan (periosteum, ligamen, duramater, apophiseal joint) dan struktur-struktur
penunjuangnya.

Nyeri radiluker ditimbulkan oleh iritasi dorsalis dan disroyeksikan sesuai dengan
distribusi dermatom. Nyeri dirasakan tajam, seperti ditembak/ditikam. Nyeri bertambah berat
dengan aktifitas yang meningkatkan kompresi pada nervus ataupun menimbulkan regangan pada
radiks seperti batuk, bersin, hiperekstensi tulang belakang.

Kompresi medula spinalis oleh paraspinal abses ataupun korpus vertebra yang kolaps
dapat menimbulkan kelainan neurologis. Gambaran klinis yang ditimbulkan tergantung pada
level dari medula spinalis atau radiks yang terkompresi. Kelainan neurologis ditemukan pada
13% pasien, dapat berupa paraparesis (66%), gangguan sensorik (34%) dan gangguan otonom
(31%). Defisit neurologis dapat muncul segera setelah infeksi terjadi.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan deformitas dari tulang belakang (gibus) yang disertai
spasme otot disekitarnya dan nyeri tekan. Pergerakan menjadi terbatas. Dapat pula ditemukan
massa di pangkal paha, paha ataupun panggul. Pada pemeriksaan neurologis dapat ditemukan
defisit neurologis sesuai dengan kompresi medula spinalisnya.

Pemeriksaan Penunjang
 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium memberikan hasil peningkatan LED, dan tuberkulin tes positif. CRP
yang meningkat menunjukkan telah terbentuk pus (abses). Mantoux test biasanya positif (84-
95%), namun hal ini hanya menunjukkan riwayat pernah terpapar TB. Selain itu juga
pemeriksaan ini juga tidak spesifik karena pada orang-orang yang pernah terinfeksi
mycobakterium non tuberkulosis juga akan memberikan hasil yang positif. Kultur sampel urin
pagi positif bila ada tuberkulosis renal. Pemeriksaan sputum positif hanya bila infeksi akut paru-
paru. Pemeriksaan laboratorium yang memastikan penyakit adalah kultur positif dari hasil biopsi
lesi vertebra.

96
 X Foto rontgen
Foto polos vertebra menunjukkan gambaran destruksi korpus vertebra terutama di bagian
anterior, kolaps vertebra, diskus intervertebra menyempit atau bahkan hancur. Juga gambaran
abses paravertebra, berupa bayangan di daerah paravertebra.
 Imejing
Pemeriksaan pencitraan tomografi komputer (CT Scan) menunjukkan gambaran tulang, jaringan
lunak sekitar vertebra dan dalam kanalis dengan lebih jelas. CT Scan dapat mendeteksi
kerusakan tulang yang baru timbul serta lebih efektif untuk melihat bentuk tulang dan kalsifikasi
abses paravertebra yang merupakan gambaran klasik dari penyakit Pott.
Pencitraan resonansi magnetik (MRI) merupakan pilihan pencitraan karena dapat melihat baik
tulang maupun jaringan lunak yang terkena dan penyebaran di bawah ligamentum longitudinal
anterior dan posterior, juga dapat membedakan antara tuberkulosis dan piogenik.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ditujukan untuk eradikasi infeksi, mencegah atau memperbaiki defisit
neurologi dan deformitas tulang belakang. Penatalaksanaan primer adalah medikamentosa. US
CDC dan British Medical Research Council merekomendasikan kombinasi OAT selama 6-9
bulan pada spondilitis Tuberkulosis. Pada kasus yang melibatkan beberapa vertebra dianjurkan
pengobatan selama 9-12 bulan. Kombinasi yang digunakan paling sedikit terdiri dari 3 jenis
OAT dan salah satunya harus bersifat bakterisidal. Diberikan pada 2 bulan pertama dilanjutkan
dengan INH dan Rifampisin sampai masa terapi selesai. Dosis yang digunakan adalah INH 300
mg oral, rifampisin 10 mg/KgBB, tidak melebihi 600 mg. Untuk pirazinamid dosis yang
diberikan adalah 15-30 mg/KgBB, etambutol 15-25 mg/KgBB dan Streptomisin 15 mg/KgBB,
tidak melebihi 1 g/hari.
Penatalaksanaan nyeri juga penting. Pengobatan akut dapat menggunakan antiinflamasi
nonsteroid, inhibitor COX-2, opioid lemah (kodein dan tramadol). Bila masih timbul nyeri dapat
diberikan opioid yang kuat (morfin dan oksikodon). Bila timbul nyeri kronik dapat diberikan
antidepresan trisiklik atau anti konvulsi. Fisioterapi untuk mengatasi nyeri dilakukan pemanasan,
pendinginan, terapi ultrasound, massotherapy, TENS, dan akupuntur. Pasien juga diajarkan
teknik relaksasi dengan biofeedback, guided imagery, meditasi. Kadang-kadang diperlukan
konseling psikologi.
Penatalaksanaan bedah dilakukan pada pasien bila terdapat defisit neurologi, deformitas
tulang belakang dengan instabilitas, tidak ada respon terhadap pengobatan medikamentosa, tidak
patuh minum obat, dan diagnostik belum jelas. Pembedahan dikontraindikasikan jika prolaps
tulang vertebra tidak besar (korpus vertebra yang kolaps kurang dari 50% atau deformitas tulang
belakang kurang dari 50.
Teknik operasi yang sering digunakan adalah debridemen radikal fokal anterior dan
stabilisasi posterior, selain itu dapat juga dilakukan debridemen radikal anterior, dekompresi dan
fusi menggunakan instrumentasi tulang belakang anterior dan penggantian dengan alograft dari
fibula. Darwish et al (2001) berpendapat bahwa dalam penatalaksanaan penyakit ini, kombinasi
kemoterapi dengan pembedahan merupakan kombinasi terbaik.
Fisioterapi diperlukan untuk mencegah timbulnya dekubitus, pencegahan fraktur dan
deformitas tulang belakang yang lebih berat. Kadang-kadang diperlukan frame, plaster bed,
plaster jacket, dan brace. Pasien dilatih untuk mobilisasi aktif namun dengan menjaga stabilitas
tulang belakang direncanakan pemasangan korset torakolumbal.

97
Diagnosis Banding
Diagnosis banding spondilitis tuberkulosis adalah infestasi jamur, kanker metastasis, abses
medula spinalis, tumor tulang belakang, infeksi mikobakterioum lainnya (avium, kansasii).

Prognosis
Prognosis tergantung dari derajat penyakit. Bila tidak ada deformitas tulang belakang berat dan
defisit neurologi yang jelas maka hasil pengobatan akan baik. Prognosis juga bergantung pada
kepatuhan pasien minum obat. Paraplegia yang timbul juga mengalami perbaikan dengan
kemoterapi yang tepat, bila tidak ada perbaikan maka diperlukan pertimbangan tindakan operatif.
Paraplegi ini dapat menetap jika terjadi kerusakan medula spinalis yang permanen.

98
TETANUS

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana tetanus mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
tetanus. Patofisiologi, patogenesis, diagnosis,
diagnosis banding, pemeriksaan penunjang,
manajemen terapi disertai pelatihan pemeriksaan
pasien dan mengatasi kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 : clinical practice session diskusi kasus
tetanus dan mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya tetanus
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis tetanus
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan tetanus
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada tetanus
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada tetanus

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen tetanus
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya tetanus, diagnosis,
dan evaluasi serta terapi farmakologi.

99
Contoh kasus
Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan , datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang
seperti kaku seluruh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang dan
kaku seluruh tubuh, kaku pada mulut dan sukar dibuka, dan bila mendengar suara atau
dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan
seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada
telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter.

Diskusi
1. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh pada tetanus ?
2. Kenapa pasien sensitif terhadap suara ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis untuk melakukan pengobatan
segera?
4. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan masuknya toksin tetanus ?
5. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien tetanus ?

Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik tetanus
b. Mengetahui penyebab tetanus
 Mengetahui penyebab tetanus
 Mengetahui mekanisme terjadinya tetanus
 Mengetahui jenis bakteri anaerob, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai
terjadi tetanus
 Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat
c. Menjelaskan epidemiologi tetanus
 Mengetahui distribusi penderita tetanus di negara berkembang
 Mengetahui jumlah penderita yang mempunyai prognosis
d. Mengetahui komplikasi
 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada tetanus
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui interpretasi pemeriksaan elektromiografi
f. Melakukan dan menjelaskan terapi tetanus dan manajemen, resistensi antibiotik, serta
penggunaan serum anti-tetanus
 Mengetahui manajemen dan pengobatan tetanus
 Mengetahui cara pemberian anti toksin dan toksoid tetanus
 melakukan tindakan emergensi dan terapi kejang pada tetanus
 pertimbangan terapi empirik
 mengevaluasi hasil terapi
 Mengatasi dan mencari fokus infeksi dari masuknya toksin tetanus
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
 Mempertimbangkan tindakan perawatan luka yang diperkirakan menjadi fokus infeksi
 Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan

100
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran


Laki-laki usia 24 tahun, pekerja bangunan , datang kerumah sakit dengan keluhan utama
kejang seperti kaku seluruh tubuh. Lebih kurang 2 hari yang lalu pasien mengeluh tampak kejang
dan kaku seluruh tubuh, kaku pada mulut dan sukar dibuka, dan bila mendengar suara atau
dikagetkan pasien kembali kejang. Pasien masih tetap sadar. Keluhan disertai demam tinggi dan
seperti menggigil. Lebih kurang 1 minggu sebelumnya, pasien mengalami tertusuk paku pada
telapak kaki kanannya, namun lukanya hanya kecil sehingga pasien tidak berobat ke dokter.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran compos mentis
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 110 x/ menit
 Suhu 37,3 C
 Respirasi 21 x / menit
 Risus sardonicus
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba
 Punggung tegang dan tampak melinting (epistotonus)
 Ekstremitas t
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5
 Status mental : dalam batas normal
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif
 Nervi kranialis : paresis (-)
 Motorik : tidak terdapat paresis
 Sensorik: baik
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis -/-
 Klonus -/-
 Saraf otonom : dalam batas normal

101
b. Hasil pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,

3. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal

Diskusi
1. Mengapa terjadi kejang kaku pada seluruh tubuh
pada tetanus ?
2. Kenapa pasien sensitif terhadap suara ?
3. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis untuk melakukan pengobatan segera?
4. Apakah luka yang kecil dapat menyebabkan
masuknya toksin tetanus ?
5. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan
intensif pada pasien tetanus ?

Rangkuman
 Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara :
 Anamnesis
 Pemeriksaan fisik/neurologis
 Diagnosis banding
 Diagnosis (klinis, topis, etiologi, patologi-anatomi)
 Pemeriksaan penunjang
 Sistem rujukan

 Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

102
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

Referensi :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

103
MATERI BAKU

TETANUS

Pendahuluan
Tetanus di karakteristikkan dengan adanya trismus, risus sardonicus, rigiditas general dan
spasme otot. Hal itu disebabkan adanya neurotoksin tetanospasmin, yang diproduksi oleh
Clostridium tetani yang masuk melalui luka yang terkontaminasi. Organisme tersebut
menghasilkan spora dan merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan di dalam tanah
dan feses dari kuda, domba, anjing, kucing dan ayam.

Epidemiologi
Kejadian tetanus di seluruh dunia sekitar 1 juta kasus per tahunnya. Kebanyakan kasus
tetanus terjadi setelah terjadi trauma akut pada kulit, baik itu luka tusuk atau laserasi, pada orang
yang belum mendapatkan imunisasi atau imunisasi primer yang tidak lengkap. Tetanus juga
dapat terjadi pada kasus penyalahgunaan obat-obatan parenteral dan tindik lidah, hidung,
umbilikus dan bagian tubuh yang lain. Pada kasus tetanus pada neonatus terjadi pada infan yang
ibunya tidak diimunisasi atau imunisasinya tidak lengkap dan berhubungan dengan instrumen
yang tidak steril yang digunakan saat persalinan. Pemberian imunisasi pada ibu-ibu hamil
bersifat protektif. Dengan bertambahnya umur kadar antitoksin antibodi tetanus semakin
menurun, sehingga risiko lebih tinggi pada geriatri. Pada dewasa umur 60 tahun, risiko tetanus
sekitar tujuh kalinya dibandingkan dengan umur 5 – 19 tahun.

Patofisiologi
Toksin tetanus di transmisikan secara retrograd melalui axon saraf perifer dari tempat
masukya Clostridium tetani yaitu luka yang terinfeksi, sehingga masuk ke badan sel saraf
motorik di massa abu-abu bagian ventral dari medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus
mengikat ke bagian membran presinap perikarion melalui jalur sinap-sinap saraf, sehingga toksin
tersebut mencegah pelepasan dari neurotransmiter inhibitor glisin dan asam gamma-aminobutiric
(GABA) dari ujung presinap. Blokade dari neurotransmiter tersebut mengakibatkan spasme otot,
eksitasi yang terduga dari alfa motor neuron di medula spinalis dan batang otak. Toksin tetanus
juga mengakibatkan overaktif dari sistem saraf simpatis dengan menghambat sinap di
preganglion sel kolumna intermediolateral dari medula spinalis bagian torakal.

Manifestasi Klinis
Ada empat bentuk gejala klinis tetanus : neonatus, generalis, lokal dan sefalik. Gejala
yang paling sering muncul pada tetanus neonatus antara lain spastisitas, kurang menghisap,
trismus, demam, iritabilitas, risus sardonicus, dan opitotonus.
Masa inkubasi dari saat timbulnya luka hingga munculnya gejala tetanus yaitu 8 hari.
Gejala yang paling sering pada tetanus generalis yaitu nyeri atau kekakuan dari otot-otot kepala
dan leher yang disertai trismus dan disfagia. Gejala dini lainnya yaitu risus sardonicus. Spasme
otot berkembang dalam 24 jam dari onset gejala. Selain itu juga terdapat spasme reflek yaitu
kontraksi tonik dari beberapa grup otot yang menyebabkan opistotonus, fleksi dan aduksi dari
lengan, menegang pada bagian dada dan ekstensi dari ekstremitas bawah.

104
Tetanus lokal hanya terbatas pada ekstremitas yang mengalami luka dan terkontaminasi
oleh kuman C tetani. Pada awalnya pasien mengeluh kekakuan pada otot-otot tersebut pada saat
digerakkan. Kemudian gejala berkembang hingga timbulnya spasme yang terus menerus atau
rigiditas pada otot-otot terdekat dengan luka yang disertai nyeri saat otot tersebut mengalami
spasme. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus generalis. Pada tetanus lokal gejala
menyembuh dalam hitungan minggu dan bulan.
Tetanus sefalik terjadi biasanya pada pasien yang mengalami luka pada bagian wajah,
kepala atau leher, dan memiliki periode inkubasi yang pendek sekitar 1 atau 2 hari.

Diagnosis
Tetanus didiagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Kuman Clostridium tetani
tidak tumbuh pada saat dikultur yang diambil dari luka yang terkontaminasi. Diagnosis
diferensial diantaranya intoksikasi strichnin, rekasi distonia akibat oabt-obat penghambat
dopamin, kejang, dan sindroma stiff man.

Tatalaksana
Tatalaksana tetanus antara lain rawat luka, menetralisir toksin yang bersirkulasi dengan
imuno globulin tetanus manusia, mengatasi spasme otot, mencegah gagal nafas dan mengatasi
disfungsi otonom. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif dengan memperkirakan kebutuhan
intubasi bila terjadi kegagalan nafas. Dimana jalan nafas bagian atas sering mengalami oklusi
akibat spasme yang terjadi sehingga terjadi suatu episode hipoksia pada pasien. Serum antibodi
antitetanus sebaiknya diukur konsentrasi di dalam tubuh, dengan kadar 0,01 IU/ mL secara
umum merupakan kadar protektif minimum. Berbagai stimulus yang berasal dari luar dapat
mencetuskan terjadinya spasme tetanik yang berat, obat golongan benzodiazepin (diazepan atau
lorazepam) dapat digunakan untuk mengatasi hal tersebut yang harus diberikan sebelum
penyuntikkan Human tetanus immuno globulin (HTIG). Benzodiazepin memiliki sifat GABA
agonis sehingga obat-obat golongan ini merupakan pilihan utama. Penggunaan dosis besar pada
diazepam (500 mg atau lebih) atau lorazepam (200 mg atau lebih) sangat diperlukan untuk
mengatasi spasme yang terjadi. Ketika kedua obat tersebut digunakan dalam dosis besar akan
menyebabkan komplikasi terjadinya asidosis metabolik karena kandungan glikol propilen yang
terlarut. Untuk mengatasinya dapat digunkan obat lain yaitu midazolam yang merupakan obat
larut dalam air . Dosis midazolam yang diberikan 5-15 mg/ jam melalui infus secara continu.
Obat golongan lain yang dapat diberikan pada tetanus generalis yaitu baclofen secara intratekal
melalui infus, dengan dosis bolus awal 300-500 ug dan dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
dengan rata-rata 500-1000 ug/hari. Baclofen dosis tinggi baik secara bolus atau dosis harian
dapat menyebabkan koma, hipotonia, hipotensi, bradikardi, dan depresi nafas. Pemberian
dantrolen secara infus harian (dosis bolus 1-1,5 mg/kg, diikuti dengan dosis 0,5 – 1 mg/kg per 4-
6 jam selama lebih kurang 25 hari) dilaporkan dapat diberikan untuk mengatasi spasme tetanus.
Tetapi dapat menyebabkan hepatotoksik.
Toksin tetanus yang bersirkulasi dinetralisir dengan memberikan HTIG intramuskular
dengan dosis 500 IU.
Imunisasi aktif toksoid tetanus diberikan sebagai tambahan HTIG. Setidaknya untuk
menjaga status imunitas diberikan tiga kali suntikan intramuskular dengan jarak kurang dari 1
bulan. Dua dosis pertama diberikan dengan jarak setidaknya 4 minggu, dan dosis ketiga dengan
jarak 6 bulan setelah dosis kedua.

105
Untuk meneradikasi kuman C. Tetani diberikan intravena metronidazol 500 mg tiap 6 jam (atau
400 mg per rectal tiap 6 jam) selama 7-10 hari.
Jalur nafas bagian atas dapat mengalami oklusi dan diperlukan tindakan intubasi untuk
menjaga jalan nafas tetap baik. Dalam melakukan intubasi kadang diberlukan suatu obat
penghambat neuromuskular. Sebagai pilihan dapat digunakan vecuronium atau pancuronium
sebagai pilihan utama dan efek kardiovaskular yang rendah. Pemberian propofol juga dapat
digunakan untuk mengatasi spasme saat melakukan intubasi. Dan bila pemakaian ventilasi
mekanik selama 7 – 10 hari dapat dilakukan trakeostomi.
Hiperaktifitas simpatis menyebabkan keadaan hipertensi yang labil, takikadi, hipertemi,
produksi salivasi yang berlebihan dan sekresi bronkus dan keadaan hipermetabolisme. Untuk
mengatasi overaktif simpatis ini dapat diberikan labetolol intravena dengan dosis 0,25 – 1
mg/menit atau 50 – 100 mg tiap 6 jam. Sebagai alternatif dari labetolol dapat diberikan clonidin
0,2-0,4 mg/hari. Propanolol dalam dosis rendah telah dilaporkan menyebabkan henti jantung dan
edema pulmonal pada pasien tetanus. Sebagai obat-obatan pembantu dalam mengatasi
ketidakstabilan otonom yang berat dapat diberikan magnesium sulfat ( 4 gr bolus diikuti dengan
2-3 g per jam). Konsentrasi magnesium dalam serum dipertahankan antara 4 hingga 8 mEq/L.
Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan diberikan rutin pada pasien tetanus.

106
MALARIA SEREBRAL

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana malaria serebral mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas  Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
malaria serebral.Identifikasi, patofisiologi,
patogenesis, diagnosis, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, manajemen terapi disertai
pelatihan pemeriksaan pasien dan mengatasi
kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing  Minggu 3 : clinical practice session
diskusi kasus 1 meningitis, ensefalitis, mielitis dan
mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi  Minggu 4 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih : Lab : Apus darah tebal
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya malaria serebral
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis malaria serebral
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan malaria serebral
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada malaria
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada malaria serebral

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen infeksi
susunan saraf pusat secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based
learning). Subyek yang dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang
terjadinya malaria serebral, diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

107
Contoh kasus
Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam
tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali tampak
menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu
riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur.

Diskusi
1. Apakah seseorang dengan kejang mengalami malaria serebral
2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan
kecurigaan terjadinya malaria serebral
3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral
4. Apakah malarial serebral akan mempengaruhi status mental
seseorang

Rangkuman
Kompetensi pendekatan klinik dicapai dengan cara anamnesis (riwayat mengunjungi daerah
endemis), pemeriksaan fisik neurologi, pemeriksaan penunjang (apus darah tebal, serologi,
imajing), dan manajemen penyakit dan pemberian obat anti malaria.

Tujuan pembelajaran
a. Mengetahui cara memberitahu pasien dan keluarga
 memperkenalkan diri dan memberi tahu keluarga proses penyakit yang terjadi pada
penderita
 menjelaskan tentang pengaruh infeksi malaria pada sistem organ lain
 memberitahu tentang penularan penyakit malaria serebral
b. Mengetahui mekanisme masuknya plasmodium ke otak
 mengetahui proses masuknya plasmodium masuk menembus sawar darah otak
 mengetahui proses terjadinya destruksi neuron
c. Mengetahui cara diagnostik malaria serebral dengan pemeriksaan apus darah tebal,
dan serologi
 menjelaskan interpretasi tes pemeriksaan apus darah tebal dan serologi malaria
d. Mengetahui cara diagnosis infeksi malaria serebral dan etiologi plasmodium
penyebabnya berdasarkan klinis periode terjadinya demam
 mengetahui diagnosis malaria serebral
 memperkirakan kemungkinan diagnosis etiologi plasmodium berdasarkan gejala klinis
yang timbul
 memperkirakan kemungkinan diagnosis lain dengan gejala yang menyerupai
e. Mengetahui manajemen umum komplikasi serebral malaria
 mengetahui manajemen penurunan kesadaran
 mengetahui manejemen nyeri kepala
 termasuk indikasi lumbal punksi
 mengetahui manajemen kejang
 mengetahui tatalaksana malaria serebral

108
f. Mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken/ MRI pada kasus serebral malaria
 mengetahui indikasi pemeriksaan CT sken, MRI atau MRS
 mengetahui waktu pelaksanaan pemeriksaan radiologis berdasarkan klinis penderita
g. Mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah tebal
 mengetahui cara dan waktu pengambilan darah untuk pemeriksaan apus darah tebal
h. Mengetahui indikasi Lumbal punksi dan pemeriksaan laboratorium
 melakukan lumbal punksi bila tidak ada kontra Indikasi
 melakukan pemeriksaan laboratorium likuor sesuai dengan kemungkinan diagnosis dan
mengirimkan ke laboratorium yang sesuai
i. Mengetahui cara dan efek samping pemberian obat-obatan anti malaria
 melakukan terapi segera berdasarkan perkiraan di agnosis
 memberitahu keluarga tentang target pengobatan yang akan dicapai
j. Melakukan konsultasi dengan bidang terkait
 melakukan konsultasi dengan disiplin ilmu lain dalam menangani keterlibatan infeksi
ataupun komplikasi pada sistem organ selain otak

Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk proses pembelajaran

Seorang laki-laki umur 27 tahun, datang ke rumah sakit dengan keluhan utama penurunan
kesadaran. Sejak tiga hari yang lalu pasien tampak cenderung diam dan sulit diajak bicara, tujuh
hari sebelumnya pasien tampak bicara tidak nyambung tidak sesuai isi pembicaraannya. Keluhan
disertai sakit kepala terasa berdenyut di seluruh bagian kepala. Keluhan juga disertai demam
tinggi hingga menggigil dirasakan hilang timbul dengan periode tiga hari sekali serta tampak
menggigil, kadang disertai kejang kelojotan seluruh tubuh. Pasien sekitar 6 bulan yang lalu
riwayat dinas didaerah Nusa Tenggara Timur.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran somnolen
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 85 x/ menit
 Suhu 40 C
 Respirasi 23 x / menit

109
 Konjunctiva anemis, sklera tidak ikterik
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen supel,
 hepar dan lien teraba membesar
 Ekstremitas tidak ada edema
Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 3 M 5 V 3
 Status mental : belum dapat dinilai
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
 Nervi kranialis : paresis (-)
 Motorik : kesan hemiparesis (-)
 Sensorik belum dapat dinilai
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis -/-
 Klonus –
 Saraf otonom dalam batas normal

4. Hasil pemeriksaan penunjang :


 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, apus
darah tebal, serologi
 Pemeriksaan foto thoraks
 Pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras

5. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal

Diskusi
1. Apakah seseorang dengan penurunan kesadaran, gangguan status mental
dan kejang mengalami malaria serebral
2. Apakah riwayat mengunjungi daerah endemis merupakan kecurigaan
terjadinya malaria serebral
3. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran pada malaria serebral
4. Bagaimana menginterpretasi hasil pemeriksaan apus darah tebal dan
identifikasi plasmodium berdasarkan pemeriksaan apus darah tebal

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

110
111
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

Referensi :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

112
MATERI BAKU
MALARIA SEREBRAL

PENDAHULUAN
Malaria merupakan penyakit parasit yang umum terdapat di daerah endemik. 1,2,3
Penyebabnya adalah protozoa genus Plasmodium yang terdiri dari P.vivax, P.falciparum, P.
Ovale dan P. malaria.3,4,5
Saat ini malaria mengenai lebih dari 2.400 juta orang melebihi 1,2 40 % penduduk dunia,
dan dari 100 negara di daerah tropik 1,2,7. Di Indonesia malaria masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat karena beberapa daerah masih merupakan daerah endemik terutama di daerah
Indonesia Timur8.
Species yang paling banyak ditemukan adalah plasmodium falciparum dan plasmodium
vivax. Proporsi malaria falciparum 35 – 45 % mengenai orang dewasa, namun demikian anak
mempunyai risiko lebih tinggi. 1
Penyakit malaria dapat mengancam hidup dan melibatkan berbagai organ termasuk
sistem saraf pusat maupun tepi. Beberapa komplikasi neurologik berhubungan dengan malaria
falciparum, walaupun demikian tidak berarti semua malaria ini mengalami komplikasi
neurologik. Selain itu komplikasi dapat juga disebabkan oleh keadaan lain seperti demam tinggi
dan bahkan obat antimalaria itu sendiri. Kasus kematian malaria falciparum kira-kira 1% dari 1-3
juta kematian / tahun di seluruh dunia.
Berikut ini akan dibahas mengenai manifestasi dan komplikasi neurologik yang paling
umum yaitu malaria serebral 1,2,3,4,5, dan komplikasi neurologik lainnya, seperti sindrom
serebelar, kejang, gangguan medula spinalis dan neuropati serta beberapa manifestasi serebral
lain.

EPIDEMIOLOGI
Plasmodium falciparum umumnya terdapat di daerah endemik tropik dan subtropik. 6
Afrika sub Sahara dan Melanesia (Papua New Guinea, kepulauan Salomon). P. vivax di Amerika
Tengah dan Selatan, India, Afrika Utara dan Timur Tengah, sedangkan p. Ovale di Afrika Barat
dan P.malariae sporadik di seluruh dunia.2,4
Di Indonesia, Sulawesi Utara khususnya Minahasa merupakan daerah endemik dan di
daerah ini ditemukan komplikasi malaria serebral berkisar antara 3,8 – 6,4%. 10 Setiap tahun
malaria menyebabkan penyakit pada 300-500 juta orang diseluruh dunia dan lebih dari 1 juta 1,2
meninggal.1,4 Malaria menduduki tempat ketiga teratas di antara penyakit infeksi yang
menyebabkan kematian dari data WHO.4,7 Dari 10 % pasien malaria falciparum yang dirawat
rumah sakit 80 % kematian akibat komplikasi pada sistem saraf pusat 8,9.

MALARIA SEREBRAL
Beberapa faktor dapat menjadi predisposisi malaria serebral seperti :
1. Usia tua
2. Kehamilan, terutama primigravida dengan kehamilan pada paruh kedua
3. Pasien imunosupresi menggunakan steroid, obat-obat anti kanker,atau obat
imunosupresan
4. Pasien dengan imunokompromise disertai tuberkulosis atau kanker stadium lanjut
5. Splenektomi
6. Pernah terpapar malaria sebelumnya (non-imun) atau menurunnya imunitas

113
Malaria serebral memperlihatkan gejala – gejala ensefalopati yang umumnya disebabkan
oleh infeksi Plasmodium falciparum11. Laporan mengenai frekuensi malaria serebral pada infeksi
malaria berkisar antara 0,01 % 16 %. Dapat mengenai anak-anak, dewasa muda serta orangtua.
Disamping itu juga orang dewasa non imun yang bepergian ke daerah endemik terutama bila
pengobatan preventifnya terputus. Wanita hamil berisiko karena menurunnya imunitas selama
kehamilan. Diperkirakan bahwa AIDS dapat merupakan salah satu faktor predisposisi di daerah
tropik.11

DEFINISI
Untuk menentukan diagnosis dan manajemen segera dan tepat, perlu kesepakatan definisi
tentang malaria serebral. Digunakan definisi pragmatik berdasarkan Skor Koma Glasgow (SKG)
dan dibagi atas 3 kriteria : 8,12,13
1. Koma dalam, tak dapat dibangunkan; respons motorik atau stimuli nyeri tak dapat
dilokalisasi atau tidak ada respons.
2. Ensefalopati penyebab lain telah disingkirkan. Koma harus menetap lebih dari 30 menit –
6 jam setelah kejang umum untuk menyingkirkan koma sesaat setelah kejang.
Hipoglokemia, meningoensefalitis, cedera kepala, penyakit serebrovaskuler dan
gangguan metabolik harus disingkirkan sebagai penyebab koma.
3. Konfirmasi infeksi P.falciparum : bentuk aseksual dari P.falciparum harus dapat
ditunjukkan sedian apus tebal darah tepi atau hapusan sumsum tulang saat masih hidup
atau pada hapusan jaringan otak setelah meninggal.
Jika malaria serebral terjadi pada anak – anak, maka digunakan Skala Koma Blantyre sebagai
alat bantu untuk menilai kesadaran dan diagnostik.12
Berdasarkan tingkat kesadaran maka Rustama D dan Hoffman, membagi malaria serebral
atas 3 tingkatan:14
I. Malaria serebral sedang : penderita malaria dengan delirium dan obtudansi
II. Malaria serebral berat : penderita dengan stupor
III. Malaria serebral sangat berat : penderita malaria dengan koma atau penderita malaria
sedang/berat yang tidak menunjukkan kemajuan klinis dalam 6 jam setelah dimulai
terapi dengan kinin dihidroklorida intravena.
Sesuai dengan perjalanan klinik penderita maka terdapat dua fase pada malaria serebral, yaitu :
15,16

1. Fase prodormal : gejala yang timbul tidak spesifik,penderita mengeluh sakit pinggang,
mialgia, demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil dan sakit kepala
2. Fase akut : gejala yang timbul menjadi bertambah berat karena menyebabkan sakit kepala
yang hebat, mual, muntah, diare, batuk darah. Setelah itu penderita mengalami gangguan
kesadaran, kejang, hemiplegia dan dapat berakhir dengan kematian.

PATOFISIOLOGI
Secara makroskopik berdasarkan hasil otopsi terdapat edema serebral 3,6,16 baik edema
vasogenik maupun sitotoksik18 disertai perdarahan petekial difus terutama pada substansia alba
6 11
, . Secara mikroskopik, perdarahan pitekial ini memperlihatkan gambaran spesifik perdarahan
terjadi disekeliling arteriol substansia alba.3,6,11,19 Tampaknya ini disebabkan oleh vaskulopati

114
yang dipengaruhi oleh imunitas sehingga menyebabkan perubahan permeabilitas endotelial,
edema perivaskuler, diapedesis eritrosit dan leukosit, nekrosis dinding pembuluh darah dan
mikrotrombosis intravaskuler serta trombosis kapiler11.
Patogenesis malaria serebral sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Beberapa
hipotesis yang pernah dikemukakan, antara lain :3
1. Hipotesis mekanik : cytoadherence (Miller 1969), rosette (Carlson 1993)
2. Hipotesis permeabilitas (Maegraith dan Fletcher 1972)
3. Koagulasi Intravaskuler Diseminata (DIC) (Punyagupta dkk 1974)
4. Demielinisasi post-infeksi – vaskulomiopati (Toro dan Roman 1978).
5. Hipotesis Toksin/mediator : endotoksin (Clark 1978), sitokin (Clark dkk 1981),
radikal oksigen bebas (Clark dan Hunt 1983), Nitrat oksida (Clark dkk 1992)
6. Kerusakan kompleks imun (Adam dkk 1981)

Dari sekian hipotesis, dewasa ini yang berkembang adalah hipotesis mekanik dan
humoral, karena kedua hipotesis ini dapat menjelaskan etiologi malaria serebral.12
1. Hipotesis mekanik.
Penelitian yang dilakukan Machiafava dan Bignami11 hampir seabad lalu mengenai penyumbatan
kapiler dan venula serebral oleh sel darah merah berparasit akan memperlihatkan sludging darah
pada sirkulasi kapiler akibat infeksi malaria. Sel-sel darah merah yang berparasit ini membentuk
tonjolan (knob) 1,2,3,6,17 pada permukaan dan meningkatkan sifat cytoadherent 3,6,12,19,20,21 sehingga
cenderung melekat pada endotel kapiler-kapiler dan venulae. Hipotesis ini menunjukkan bahwa
terdapat interaksi spesifik antara protein membran eritrosit P.falciparum (PfEMP-1) dan ligan
pada sel endotelial, seperti ICAM-1 3,6,11,12,20,21,22 atau E-selektin, menurunkan aliran darah
mikrovaskuler sehingga terjadi hipoksia12. Selanjutnya terjadi sekuestrasi parasit-parasit pada
pembuluh darah yang lebih dalam. Juga, pembentukan rosette yaitu cytoadherence selektif dan
dari sel darah merah yang berparasit (PRBCs) maupun yang tidak berparasit (non PRBCs).
Setelah terjadi deformabilitas sel darah yang terinfeksi dan meningkatnya penyumbatan
mikrosirkulasi.23 Ternyata kemampuan adesif lebih besar pada parasit yang matang. Oleh karena
obstruksi pada mikrosirkulasi serebral maka timbul hipoksia dan meningkatnya produksi laktat
yang menyebabkan ke glikolisis anaerobik yang menghasilkan laktat. 12,24 Pada pasien dengan
malaria serebral, level laktat CSS tinggi 3,6 dan semakin meningkat pada kasus-kasus fatal
dibandingkan yang hidup. Aderens eritrosit dapat juga dipengaruhi oleh pertukaran gas atau
substrat diseluruh otak. Meskipun demikian, obstruksi total terhadap aliran darah tak mungkin
terjadi , oleh karena penderita yang hidup jarang memiliki defisit neurologik permanen. 12 Jadi,
gabungan dari Plasmodium falciparum dengan eritrosit pada venulae otak menjadi faktor penting
dalam terjadinya komplikasi serebral.

2. Hipotesis humoral.
Hipotesis ini menunjukkan bahwa toksin malaria dapat menstimulasi makrofag dan melepaskan
TNF- 25,26 , sitokin seperti IL-112. Sitokin-sitokin tersebut tidak berbahaya, tetapi akan
menginduksi Nitrat Oksida (NO)27,28. NO akan berdifusi melalui sawar darah otak dan
menyebabkan perubahan pada fungsi sinaps seperti pada anestesi umum dan etanol konsentrasi
tinggi, menyebabkan penurunan kesadaran. Peristiwa biokimia dari interaksi ini dapat
menjelaskan mengapa terjadi koma reversibel,1,2,23 kejang dan kematian.21,28 Disintegrasi sawar
darah otak dan peran sel inflamasi adalah proses kunci dalam patogenesis malaria serebral 28.
Data terbaru menunjukkan bukti yang jelas bahwa reseptor aktivator plasminogen tipe serin

115
protease urokinase (uPAR) adalah molekul yang menyebabkan adesi sel. Proses akumulasi fokal
dari uPAR terjadi pada sel makrofag/mikroglia di granuloma Durck 3,6,11 serta perdarahan dan
pitekia disekitar astrosit dan sel endotelial. Sehingga disimpulkan bahwa lesi yang berhubungan
dengan uPAR berperan dalam perubahan sawar darah otak dan disfungsi imunologi pasien
malaria serebral.29

GAMBARAN KLINIS
Masa inkubasi malaria falciparum 9-10 hari rata-rata 12 hari. Gejala prodromal yang
sering dijumpai adalah lesu, lemah, nyeri tulang-tulang, sakit kepala, rasa dingin, tidak nafsu
makan, mual, muntah dan diare, serta dapat disertai panas.15
Manifestasi klinik berbeda pada anak - anak dan orang dewasa. Walaupun demikian
terdapat tiga gejala utama pada dewasa dan anak-anak 16: (1) penurunan kesadaran dengan
demam tak spesifik; (2) kejang umum dan gejala sisa neurologik; (3) koma yang terjadi selama
24-72 jam, awalnya dapat dibangunkan tetapi kemudian tidak sadar.
Pada orang dewasa biasanya malaria serebral terjadi setelah beberapa hari panas dengan
gejala non spesifik lainnya, tetapi pada anak biasanya kurang dari dua hari. Seringkali diawali
dengan kejang umum terutama pada anak, selanjutnya diikuti kesadaran menurun. Malaria
serebral ditandai dengan koma yang tidak dapat dibangunkan. Hilangnya kesadaran dapat
berkembang dengan cepat, sampai koma dan beberapa pasien dapat disertai status epileptikus.7,31
Pada daerah endemik31 pasien dengan malaria sering tanpa gejala atau hanya demam
ringan yang segera dapat dikontrol oleh imunitas yang didapat atau pemberian obat segera.
Tetapi beberapa infeksi P. falciparum, terutama pada anak-anak sering kali terjadi komplikasi
yang mengancam hidup seperti anemia berat, gangguan metabolik, atau ensefalopati. Perubahan
kesadaran pada malaria dapat terjadi setelah kejang, hipoglikemia atau asidosis disertai gejala
meningismus.
Perdarahan retina terjadi lebih kurang 15% kasus, papil dan pupil normal. Berbagai
kelainan gerakan mata dapat terjadi misalnya disconjugate gaze rahang sering terkatup dan
bruxism. Refleks kornea tetap ada kecuali pada koma dalam. Sebagian besar pasien juga
mengalami anemia, ikterus dan hepatomegali .
Malaria serebral juga dikenal sebagai ensefalopati simetrik oleh karena terdapatnya
tanda-tanda UMN simetrik . Tonus otot dan refleks dalam atau refleks tendon biasanya
meningkat disertai klonus lutut dan kaki, bersama dengan respons plantar ekstensor yang
bervariasi. Refleks dinding perut dan refleks kremaster tak dapat dibangkitkan. Tanda-tanda ini
berguna untuk membedakan dari gangguan perilaku akibat demam atau penyebab lain. Postur
ekstensi menunjukkan disfungsi batang otak, dapat terjadi pada malaria serebral atau
hipoglikemia. Pada stadium deserebrasi dan dekortikasi sering ditemukan deviasi mata ke atas,
ekstensi leher, bibir mencucur, tetapi refleks primitif lain biasanya tidak dijumpai. Umumnya
pola nafas mendengkur periodik. Setelah itu terjadi perburukan progresif fungsi batang otak dan
dapat mengarah ke gagal nafas atau gagal jantung.
Kejang terjadi pada 40% pasien dewasa dan umumnya anak-anak dengan malaria
serebral. Paling sering kejang umum dibanding kejang parsial. Penyebab kejang tersebut
mungkin disebabkan hipoksia serebral, demam, hipoglikemia, gangguan metabolik lain seperti
asidosis laktat, obat antimalaria, eklampsia pada wanita hamil dan sindrom Reye pada anak. Van
Hensbroek menetapkan adanya hubungan antara kejang berulang dan timbulnya gejala sisa

116
neurologik dalam jangka waktu lama dan menyarankan supaya mengontrol kejang sedini
mungkin.
Epilepsi simptomatik kronik mungkin berhubungan dengan perkembangan astrosit yang
disebabkan oleh invasi organisme tersebut ke vaskuler. Pada pemeriksaan patologik jaringan
otak penderita yang meninggal pada stadium lanjut, tampak gambaran granuloma Durck yang
terbentuk dari reaksi astroglia 11.Sulit membedakan kejang demam dengan kejang yang
disebabkan oleh malaria serebral pada anak-anak. Malaria vivax juga sering menyebabkan
kejang demam pada pasien di daerah endemik.
Kejang pada pasien seringkali tak terkontrol saat ia menderita malaria serebral. Meflokin
adalah antimalaria penting yang digunakan pada pasien yang resisten terhadap klorokuin, tetapi
merupakan kontraindikasi relatif bagi pasien dengan riwayat kejang oleh karena potensi
epileptogeniknya.32
Disamping gejala – gejala tersebut diatas, beberapa gangguan serebral dapat terjadi
seperti : 11
1. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan serebral menyebabkan tanda neurologik fokal seperti hemiplegia dan afasia.
Pada binatang percobaan ditemukan paralisis ekstremitas yang berhubungan dengan
perdarahan serebral, dan diduga proses ini akibat mekanisme imunopatologik karena
TNF berperan sebagai mediator inflamasi. Ada beberapa laporan dari India tentang
perdarahan subaraknoid.
2. Oklusi arteri serebral
Beberapa tanda neurologik fokal terjadi karena oklusi arteri. Pada kasus malaria
gejalanya seperti tumor otak tetapi ternyata pada pemeriksaan post mortem menunjukkan
terjadi trombosis pembuluh batang otak dan perdarahan perivaskuler di korteks serebelar.
3. Gerakan ekstrapiramidal
Gerakan ekstrapiramidal dapat terjadi pada malaria serebral. Gejalanya berupa gerakkan
involunter tonik-diskinetik, mioklonik, korea, dan gerakan atetoid. Tremor dapat terjadi
pada masa penyembuhan dan gejala ini menghilang sempurna dalam 1-2 minggu.
4. Hipertensi intrakranial benigna
Ada laporan tentang seorang wanita Afrika muda dengan malaria resisten menunjukkan
gejala khas peningkatan tekanan intrakranial, tampak papiledema bilateral. Akhirnya
didiagnosis sebagai hipertensi intrakranial benigna.

SINDROM SEREBELAR 1,3,6,11,32


Sindrom serebelar adalah manifestasi komplikasi neurologik paling konsisten yang dapat
terjadi pada malaria serebral dan malaria tanpa komplikasi. Sel Purkinje mudah rusak oleh
karena hiperpireksia1,11. Tanda-tanda serebelar biasanya bersamaan dengan manifestasi serebral.
Ada juga laporan dari India mengenai gangguan fungsi serebelar tanpa adanya gangguan
kesadaran 3 . Suatu sindrom ataksia serebelar lambat telah dilaporkan dari Sri Langka 1,3,6,11
dengan gejala – gejala ataksia gait dan lengan atas, vertigo, disartria, sakit kepala 3-4 minggu
setelah demam sesaat akibat malaria falciparum tetapi dapat terjadi sembuh sendiri tanpa
keterlibatan serebral. Ataksia gait dan trunkal adalah gambaran yang jelas menunjukkan bahwa
penyakit itu predominan pada struktur serebelar tengah. Pada umumnya pasien mengalami
periode afebril sebelum timbul gejala-gejala serebelar. Ini selalu berhubungan dengan infeksi P.
falciparum. Mekanisme pasti dari ataksia serebelar lambat tidak diketahui, meskipun demikian,
terdapat beberapa bukti yang menunjukkan keterlibatan faktor imunologik pada patogenesisnya.

117
Aktivasi dari beberapa virus neurotropik akibatkan sindrom ini dianggap merupakan salah satu
mekanisme yang mungkin terjadi.1,11

NEUROPATI PERIFER1 6,34


Literatur-literatur terdahulu memasukkan neuritis, polineuritis, paralisis Landry dan
kelumpuhan nervi kranialis sebagai neuropati perifer yang berhubungan dengan malaria.
Polineuritis malaria, dulu paling sering terjadi, saat ini sudah jarang. Malaria dapat menimbulkan
gambaran seperti sindrom Guillain Barre, sindrom mononeuritik seperti kelumpuhan wajah,
neuralgia trigeminal, neuritis optikus retrobulber dan terlibatnya nervus ulnaris, sirkumfleksus
dan popliteal lateral. Pernah dilaporkan poliradikuloneuritis yang diinduksi oleh malaria, tetapi
patogenesisnya tak diketahui dengan pasti. Mungkin akibat emboli parasit yang menyumbat vasa
nervosum, terlepasnya neurotoksin dari parasit dan atau gangguan metabolik nutrisi.

GANGGUAN PADA MEDULA SPINALIS 33,37


Sindroma medula spinalis pada malaria mirip dengan sklerosis lateral amiotropik,
mielosis funikuler, paralisis spinalis spastik dan tabes dorsalis. Tetapi sebagian orang
menginterpretasikan sebagai gejala sisa yang timbul lambat. Berbeda dengan tabes dorsalis
murni, pada penderita ini tidak terlihat pupil Argill-Robertson yang khas. Pada kasus-kasus
dengan serebral dan spinal, gambaran klinisnya dapat menyerupai ensefalomielitis diseminata,
dengan gejala seperti gait spastik, tremor dan kadang-kadang nistagmus disertai gangguan
bicara. Dapat membaik dengan pengobatan kinin.

PARALISIS PERIODIK 16,30


Laporan dari Sri Langka menyatakan bahwa pada malaria terjadi paralisis otot yang tak
menetap menyerupai paralisis periodik. Diikuti oleh rigor, kelemahan pertama kali tampak pada
anggota gerak bawah, dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh menyebabkan paralisis yang
mengenai seluruh tubuh kecuali otot pernafasan. Pasien tetap sadar selama serangan. Perbaikan
akan tampak dalam 4-6 jam dan sembuh sempurna setelah 8-10 jam. Otot yang pertama kali
terkena paling akhir membaik. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh peningkatan sesaat dari
konsentrasi kalium serum akibat lisis sel darah merah dan kontraksi otot berlebihan saat rigor,
sedangkan kelelahan otot menyebabkan rigor selama masa demam. Mekanisme ini yang
mungkin menjadi dasar dari paralisis otot. Fenomena ini jarang ditemukan, mungkin disebabkan
oleh faktor genetik.

MANIFESTASI NEUROLOGIK AKIBAT OBAT ANTIMALARIA 1,31,34


Hipotensi postural umum terjadi pada malaria tanpa komplikasi atau dieksaserbasi oleh
obat anti malaria klorokuin. Klorokuin biasanya ditoleransi dengan baik, Meskipun demikian
dapat menimbulkan sindrom neuropsikiatri sesaat, dengan manifestasi halusinasi dan bahkan
psikosis. Terjadi juga disfungsi serebelar. Pemberian obat ini dalam jangka waktu lama dapat
menyebabkan miopati vakuolar. Meflokin suatu obat antimalaria baru, berhubungan dengan
reaksi neuropsikiatri serius tetapi dapat sembuh sendiri. Dilaporkan pemberian artesunat untuk
malaria falciparum menyebabkan ataksia dan bicara pelo. Obat-obat anti malaria dapat
mengubah perilaku, atau menyebabkan kejang.

SINDROM NEUROLOGIK POST MALARIA35

118
Merupakan suatu sindrom neurologik lain, terlihat sesaat setelah pemulihan dari infeksi
malaria berat. Kriterianya adalah infeksi malaria simptomatik yang baru saja dialami dengan
tidak ditemukan parasit dalam darah, kesadaran pulih sempurna pada kasus malaria serebral dan
timbulnya gejala-gejala neurologik atau psikiatrik terjadi dalam 2 bulan dari penyakit akut.
Sindrom ini sembuh sendiri dan pada beberapa kasus berhubungan dengan penggunaan meflokin
oral. Gejala paling sering berupa manifestasi neuropsikiatrik, ada juga yang berupa konfusi akut
atau psikosis, kejang umum, kejang umum diikuti konfusi akut atau tremor.

MANIFESTASI PSIKIATRIK 1,11


Psikosis malaria serebral terjadi karena ensefalopati. Manifestasinya berupa sindrom
paranoid, depresi dan manik pada stadium akut. Gejala klinik lain seperti bingung, delirium
dengan halusinasi, amnesia sesaat dan skizofrenik. Kadang-kadang dapat timbul gangguan
kepribadian permanen dan gejala yang menyerupai demensia. Agitasi dan bingung dapat timbul
setelah pasien pulih dari koma. Manifestsi psikiatri ini terutama berhubungan dengan
hiperpireksia. Manifestasi neuropsikiatri jarang disebabkan oleh obat antimalaria. Kebanyakan
penderita yang hidup tampak pulih sempurna, tetapi 4-12% memiliki gejala sisa neurologik,
seperti hemiparesis, ataksia, buta kortikal atau spastisitas.

Manifestasi neurologik pada malaria dapat juga disebabkan oleh :9


1. Demam tinggi
Demam tinggi ( suhu rektal di atas 40o C ) dapat menimbulkan gangguan kesadaran,
kejang demam (pada anak) dan psikosis. Beberapa kasus pasien dengan kesadaran tidak
menurun setelah kejang cenderung prognosisnya baik.
2. Hipoglikemia
Kadar gula darah kurang dari 60mg/dl dapat terjadi pada malaria berat yang diobati
dengan kinin dan wanita hamil Pada saat itu harus segera diberikan dekstose 40 %
intravena.
3. Hiponatremia
Paling sering terjadi pada pasien usia tua disebabkan gejala sistemik seperti muntah
berulang yang menimbulkan manifestasi neurologik.
4. Anemia berat
Anemia gravis dengan hemoglobin kurang dari 5g/dL dan hematokrit kurang dari 15%
dapat terjadi pada malaria berat sehingga menyebabkan hipoksemia sehingga terjadi
disfungsi serebral, terutama pada anak.
6. Penyebab lain
Ada beberapa penyebab lain terjadinya disfungsi neurologik pada pasien dengan malaria
seperti penyakit vaskuler (gangguan perdarahan dan pembekuan seperti perdarahan gusi,
hidung, traktus gastrointestinalis, perdarahan retina dan atau terjadinya koagulasi
intravaskuler luas (DIC) ], infeksi bakterial lain seperti pneumonia ortostatik, saluran
kemih, dekubitus dan penyakit neurologik lainnya.36
DIAGNOSTIK PENUNJANG
1. Punksi lumbal dan analisis CSS harus dilakukan pada semua kasus yang meragukan dan
untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis. Pada malaria tekanan CSS normal sampai
meningkat, CSS jernih dan leukosit kurang dari 10/l; level asam laktat dan protein
meningkat. Level asetilkolin CSS lebih rendah dari orang normal37.
2. EEG menunjukkan kelainan yang tidak spesifik.

119
3. CT scan otak biasanya normal

Manejemen37
1. Umum
Merupakan aspek paling penting dalam manejemen pasien malaria serebral :
 Memelihara jalan nafas dilakukan pada penderita dengan koma dalam dan
indikasi pemasangan intubasi endotrakea
 Merubah posisi pasien tiap 2 jam
 Hindari tempat tidur basah atau lembab
 Posisi semi pronasi dengan elevasi kaki untuk mencegah aspirasi
 Memelihara keseimbangan cairan intake/output serta mengamati perubahan warna
urin ( hitam/coklat) bila terjadi.
 Monitor tanda vital tiap 4-6 jam
 Mengobservasi terjadinya kejang dan harus segera diatasi
 Bila suhu di atas 39oC harus dilakukan kompres di dahi atau lipatan ketiak dan
diberikan parasetamol.
 Pemasangan NGT dilakukan pada pasien kesadaran menurun atau sulit menelan
untuk menghindari aspirasi pneumonia.
2. Pemasangan kateter uretra
Dilakukan untuk memonitor keseimbangan cairan.
3. Terapi kejang
Tahap premonitoring diazepam 10 mg iv atau rektal dapat diulang setelah 10 – 15 menit
bila kejang masih terjadi, dosis maksimum diazepam 50 mg dalam 4 jam pertama, bila
diberikan dalam 24 jam, boleh sampai 100 mg. Status konvulsif lanjut fenitoin 15-18 mg/
kg iv, kecepatan 50 mg / menit diberikan dalam waktu 20 – 30 menit ( dengan lorazepam
bila belum diberikan ) dan atau phenobarbital 10 mg / kg iv, kecepatan 100 mg / menit.
Phenobarbital dapat menurunkan insidens kejang sampai 54 %38.
4. Jangan berikan obat-obat sebagai berikut ;
 Kortikosteriod
 Obat anti inflamasi lain
 Obat anti edema seperti manitol, urea, invert sugar ,
 low molecular weight dextran
 adrenalin
 heparin
 pentoksifilin
 oksigen hiperbarik
 siklosporin
 dll.
Penggunaan deksametason merupakan kontraindikasi pada malaria serebral 1 karena tidak
menunjukkan hasil yang bermanfaat 39,40,41, tetapi justru mengakibatkan penurunan
kesadaran menjadi makin lama, dan mempertinggi kemungkinan infeksi dan perdarahan
saluran cerna. .
5. Obat antimalaria
Malaria serebral menjadi fatal setelah beberapa hari infeksi. Pengobatan segera sangat
penting karena imunitas alamiah malaria belum diketahui sehingga pencegahan adalah

120
cara yang terbaik. Semua kasus malaria berat harus dirawat di rumah sakit untuk
dilakukan pemeriksaan, pengobatan dan pengawasan. Pengobatan yang diberikan adalah
suntikan antimalaria intravena (klorokuin, kinin, artemisin) untuk mencapai kadar level
plasma obat yang adekuat. Obat – obat baru yang ada penggunaannya secara oral seperti
meflokin, halofantrin harus dihindari pada kasus malaria berat. 37 Penggunaan dosis tinggi
apalagi dalam jangka waktu lama tidak memberikan manfaat yang lebih baik, sebaliknya
hanya menambah efek samping obat42.

Obat Dosis Awal Dosis pemeliharaan


Klorokuin 10 mg basa/kg IV infus 15 mg basa/kg infus IV
selama 8 jam selama 24 jam, atau 3,5
mg/kg IM atau SC disuntik
4-8 jam, setiap 8 jam, atau
10 mg/kg IM setiap 8 jam
Artemeter 3,2 mg/kg IM 1,6 mg/kg setiap 24 jam
untuk selama hari
Artesunat 2,4 mg/kg IV atau IM 1,2 mg/kg IM pada 12 dan
24 jam, kemudian 1,2 mg/kg
IM perhari selama 4 hari
Kuinidin 10 mg/kg IV infus selama 0,2 mg/kg/min infus IV
1 jam dengan monitor EKG

PROGNOSIS
Infeksi malaria P. falciparum yang tidak diobati prognosisnya buruk dengan angka
kematian tinggi.42 Malaria serebral menyebabkan kematian pada dewasa berkisar 20 % dan pada
anak-anak 15 %. Gejala sisa jarang pada dewasa 3%, dan lebih kurang 10 % pada anak-anak
(terutama mereka yang mengalami hipoglikemia berulang, anemia berat, kejang berulang dan
koma dalam), mereka yang bertahan hidup dapat mengalami defisit neurologik menetap. Dengan
diagnosis dini dan terapi yang sesuai akan mempunyai prognosis baik 43.
Indikator prognosis buruk adalah kejang, koma dalam, perdarahan retina, leukosit
>12.000/mm kubik, laktat CSS tinggi dan glukosa LCS rendah, level antitrombin III rendah dan
parasitemia perifer.44,45

PENUTUP
Komplikasi sistem saraf karena malaria dapat terjadi di saraf pusat dan saraf perifer.
Keluhan dan gejala yang terjadi seperti ensefalopati , gangguan serebelar ataupun neuritis
perifer.
Malaria P. falciparum sering menyebabkan komplikasi sistem saraf karena merusak
sirkulasi mikrovaskuler. Namun demikian patofisiologinya masih belum diketahui dengan pasti.
Efek samping neurologik obat antimalaria dan gangguan metabolisma yang terjadi
menimbulkan manifestasi klinis serta komplikasi neurologik yang kompleks. Diagnosis cepat
dan tepat serta manejemen yang sedini mungkin dapat mempengaruhi hasil prognosis.

MALARIA SEREBRAL
PEMERIKSAAN
GEJALA KLINIS TERAPI KHUSUS
PENUNJANG

121
 Demam  Pemeriksaan hapusan Kemoterapi anti malaria:
 Ensefalopati darah tipis tebal dengan 1. Untuk daerah yang tidak resisten
sindrom otak pewarnaan Field untuk Kloroquin fosfat 600 mg (10 mg/kgBB) 
organic akut: tetes tebal 10 mg/kgBB untuk 24 jam  5 mg/kgBB
 Delirium pada 48 jam
 Disorientasi  Kuantitatif buffy coat:  Untuk kasus berat:
 Agitasi pewarnaan DNA dan Kloroquin HCl 0,83 mg/kgBB/jam
 Mental disorder RNA parasit maksimum 30 jam atau kloroquinoral 25
 Kejang umum mg/kgBB
 Kesadaran menurun  Uji serologis zat anti 2. Untuk daerah yang resisten kloroquin dipakai
(koma persisten) malaria: (+ / -) quinine
 Lesi UMN simetris 3. Pada malaria tanpa komplikasi
 Sindrom ekstra  Pemeriksaan LCS: Quinine sulfat 10 mg/kgBB/8 jam selama 7
pyramidal:  liquor jernih hari atau sulfadoxine 20 mg/kgBB
 chorea  tekanan < 200 mm maksimum 1500 mg dan pyrimethamine 1
 athetosis  limfosit < 10 / mikro mg/kgBB maksimum 75 mg
 myoklonus liter Jika resisten: doxycycline 3 mg/kgBB/hari
 sindrom Parkinson  rasio glukosa LCS dan selama 7 hari
 Sikap eksitasi darah normal 4. Jika resistensi obat ganda
 Perdarahan retina  protein < 150 mg / dl Mefloquine 15 mg/kgBB lalu diikuti 10
 Anemia berat mg/kgBB selama 8 – 24 jam maksimal 1500
 Ikterus  Gula darah mg
 Oliguria  Darah rutin 5. Pada kasus yang berat dan resistensi obat
 Edema paru  AGD ganda
 Hipoglikemia  Ureum / kreatinin Quinine HCl 20 mg/kgBB IV loading dose
 Infeksi penyerta lain lebih dari 4 jam, disusul maintenance 10
 Elektrolit
 Hepatosplenomegali mg/kgBB selama 3 kali (lebih dari 4 jam)
 Kultur darah untuk
atau quinidine 10 mg/kgBB/infus (lebih dari
menyingkirkan
1 jam) diikuti 0,02 mg/kgBB/menit dengan
bakteremia
monitoring EKG
 Brain CT scan 6. Arthemeter 3,2 mg/kgBB IM dilanjutkan 1,6
mg/kgBB/hari
7. Halofantrine dosis tinggi (8 mg/kgBB diulang
pada jam ke-6 dan 1). Hati-hati pada
memanjangnya interval QT dan aritmia
ventrikular.

KEPUSTAKAAN
1. Garg RK, Karak B, Misra S. Neurological Manifestation of Malaria: An Update.
Neurology India vol.47# 2, 1999
2. Bhabha SK, Bharucha NE, Bharucha EP. Fungal and Parasitic Infections, in : Bradley
WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Neurology in Clinical Practice, Vol. II, 2 nd
Ed., Butterworth-Heinemann, Boston, 1996, p.1249-51.
3. Warrell DA. Cerebral Malaria. In: Shakir RA, Newman PK,, Posser CM.
Tropical Neurology, WB. Saunders Co.Ltd. London ,1996, pp. 213-45
4. Kakkilaya BS. Malaria. Simplified. http // www. rational medicine.
org/malaria/malaria_india.htm.
5. Fernandez MC, Bobb BS. Malaria from Emergency Medicine/Infectious Diseases.

122
6. Cegielski JP, Durack DT. Protozoal Infections of the Central Nervous System. In : Scheld
WM, Whitley RJ, Durack DT. Infections of the Central Nerous System, Raven Press,
New York, 1991,pp. 767-77.
7. Gilles HM. Management of the Severe and Complicated Malaria. A Practical Handbook,
WHO, Geneva, 1991
8. Kakkilaya BS. Complications of P. falciparum Malaria. http//www. rationalmedicine.org/
malaria_india.htm.
9. Kakkilaya BS. Central Nervous System Involvement in Falciparum Malaria. Http //
www. malariasite.com.
10. Harianto PN, Datau E. Presentasi Klinik, Komplikasi dan Mortaliti malaria Serebral di
RS. Bethesda, Minahasa. Bul.Penelit.Kesehat.19(2),1991, hal. 22-30.
11. Senanayake N, Roman GC. Neurological Complications of Malaria . Southeast Asean
J.Trop.Med.Publ.Htlh. vol 23,no.4 Dec 1992.pp.672-9
12. Cerebral Malaria. http//www.malariasite.com
13. White NJ, Warrell DA. The Management of Severe Malaria. In : Malaria
14. Sarumpaet B, Hoffmah SL, Punjabi NH, Dimpudus AJ, dkk. Malaria Serebral pada
Penderita Dewasa di RSUP Jayapura.
15. Zulkarnain A. Malaria, dalam : Suparman. Ilmu Penyakit Dalam jilid I, Edisi II, FKUI,
Jakarta, 1993, hal :
16. White NJ, Plorde JJ. Malaria, in : Harrison’s Principle of Internal Medicine, vol.1, 12 th
ed., Mc graw Hill Inc., New York, 1991; p.782-8.
17. Pongponratn E, Riganti M, Harisuta T, Bunnag D. Electron Microscopy of the Human
Brain in Cerebral Malaria. Southeast Asian J.Trop.MedPub.Hlth. vol.16 No.2, June 1985,
pp. 219-26
18. ArdanaK, Soehaaaryo, KarnadiE. Malaria Serebral.
19. Boonpucknavig V, Boonpucknavig S, Udomsangpetch R, Nitiyanant P. An
Immunoflorecence Study of Cerebral Malaria. Ach.Pathol.Lab.Med.-vol114, October
1990,pp1028-34.
20. Phillips RH, Solomon T. Cerebral Malaria in Children. The Lancet vol.336, Dec 1
1009,pp.1355-60.
21. Carlson J, Helmry H, Hill AV, Brewster D, et al. Human Cerebral Malaria : Association
with Erythrocyte Rosetting and Lack of Anti-rosetting Antibodies. The Lancet vol 336,
Dec15, 1990,pp.1457-60.
22. Fredrickson R. Identification of a Plasmodium falciparum intercellulear adhesion
molecule-1 binding dominan : a parasite adhesion trait implicated in serebral malaria.
Proc.Natl.Acad.Sci.USA 97, 2000; p.1766-1771
23. Mori O, Ohaki Y, Oguro T, Shimizu H, et al. Adhesion Molecule Detection in a Case of
Early Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.gov.
24. Warrell DA, White NJ, Veall N, Looareensuwan S, et al. Cerebral Anaerobic Glycolysis
and Reduced Cerebral Oxygen Transport in Human Cerebral Malaria. The Lancet , Sept
3, 1988,pp.534-7.
25. Kern P, Hemmer CJ, van Damme J, GrussH, Dietriech MR. Elevated Tumor Necrosis
Factor Alpha and Interleukin-6 Serum Levels as Markers for Complicated P.falciparum
Malaria. American Juornal of Medicine vol 87, August 1989,pp.139-43.

123
26. Hemmer CJ,Kern P, Holst FGE, Radtke KP, et al. Activation of the Host Response in
Human P. falciparum Malaria : Relation of Parasitemia to Tumor Necrosis
Factor/Cachectin, Thrombin-Antithrombin III, and Protein C Levels.
27. Maneerat Y, Viriyavejakul P, Punpoowong B, Jones M, et al. Inducible Nitric Oxide
Synthase Expression is Increased in the Brain in Fatal Malaria Cerebral.
Http//www.ncbi.nlm.gov.2000.
28. Inducible Nitric Oxide Synthase Polymorphism and Fatal Cerebral Malaria.
Http//www.thelancet.com.1998.
29. Fauser S, Deininger MH, Kremsner PG, Magdolen V, et al. Lesion Associated
Expression of Urokinase-tipe Plasminogen Activator Receptor (uPAR, CD87) in Human
Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov.2000.
30. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF.Severe and Complicated Malaria. 2nd ed., WHO,
London, 1990
31. Molynux ME. Impact of Malaria on the Brain and its Prevention.
Http//www.findarticles.com.2000.
32. Roy MK, Gangopadhyay PK, Guha D, Roy T, Maiti B. Malaria in Epileptics-An
Additional Hazard.Http//www.thelancet.com
33. Newton CR, Hien TY, White N. Cerebral Malaria. Http//www.ncbi.nlm.nih.gov.
34. Eadie MJ, Ferrier TM. Chloroquine Myopathy. J.Neurol.Neurosurg.Psychiat.,
1966,pp.331-7.
35. Nguyen THM. Post-malaria Neurological Syndrome. Http//www.findarticles.com. 1996
36. Aung KZ, Khin MU, Myo T. Endotoxaemia in Complicated Falciparum Malaria.
Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene, 1988, 82, pp.
513-4.
37. Areekul S, Churdchu K, Yamarat P. Acetylcholinesterase Activites in Cerebrospinal
Fluid of Patienrs with P.falciparum Cerebral Malaria. Southeast Asian
J.Trop.Med.Pub.Hlth.vol.16, Sept 3, 1985, pp.431-4.
38. Kakkilaya BS. Treatment of Malaria .Http//www.rationalmedicine.org
39. White NJ, Looareensuwan S, Phillips RE, Chanthavanich P, et al. Single Dose
Phenobarbitone Prevents Convulsions in Cerebral Malaria. The Lancet July 9, 1988,
pp.64-5.
40. Prasad K, GarnerP. Steroids for Treating Cerebral Malaria. Http//www.update-
software.com.
41. White NJ. Not Much Progress in Treatment of Cerebral Malaria.
Http//www.thelancet.com.1998.
42. Hoffman SL, Rustama D, Punjabi NH, Sarumpaet B, et al. High –Dose Dexamethasone
in Quinine Treated Patients with Cerebral Malaria : A Double-Blind, Placebo-Controlled
Trial. The Juornal of Infectious Diseases vol.158, August, 1988, pp.326-31.
43. Kakkilaya BS. Error File. Http//www.rationalmedicine.org. 2000.
44. Molyneux ME, Taylor TE, Wirima JJ, Borgstein A. Clinical Features and Prognostic
Indicators in Paediatric Cerebral Malaria : A Study of 131 Comatose Malawian Children.
Quarterly Journal of Medicine, May 1989, pp. 441-59.
45. Stuby U, Kaiser W, Beisenbach G, Zazgornik J. Succesful Treaaatment of Malaria
Tropica with Acute Renal Faileure and Cerebral Involvement by Plasmapheresis and
Hemodialysis. Infection 16,1988, pp. 362-4.

124
RABIES

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana rabies mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang rabies.
Patofisiologi, patogenesis, diagnosis, diagnosis banding,
pemeriksaan penunjang, manajemen terapi disertai
pelatihan pemeriksaan pasien dan mengatasi
kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 : clinical practice session diskusi kasus rabies
dan mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya rabies
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis rabies
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan rabies
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada rabies
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada rabies

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya rabies, diagnosis,
dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus
Laki-laki usia 24 tahun, pemelihara hewan, datang kerumah sakit dengan keluhan utama gelisah
dan rasa seperti tercekik. Lebih kurang 7 hari yang lalu pasien mengeluh kakinya digigit anjing
kampung saat dia bekerja. Tiga hari kemudian pasien mengeluh demam, sakit kepala, pegal-
pegal otot, dan terasa lemas. Keluhan juga disertai rasa nyeri pada tenggorokan. Rasa baal

125
dirasakan pada luka bekas gigitan. Dua hari kemudian pasien tampak gelisah dan ketakutan
terutama bila mendengar suara atau melihat air, atau bila wajahnya terkena hembusan angin,
pasien masih tetap sadar, pasien juga tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari
mulutnya. Keluhan tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara pelo
ataupun mulut mencong.

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?

Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan rabies
b. Mengetahui penyebab rabies
 Mengetahui penyebab rabies
 Mengetahui mekanisme terjadinya rabies
 Mengetahui jenis virus, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
rabies
 Mengetahui farmakologi obat dan efek samping obat anti rabies
c. Menjelaskan daerah endemis dengan hewan menderita rabies
 mengetahui distribusi hewan menderita rabies di negara berkembang
d. Mengetahui komplikasi rabies
 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada rabies
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui interpretasi pemeriksaan EEG dan MRI kepala pada penderita rabies
f. Melakukan dan menjelaskan terapi rabies dan manajemen penggunaan serum anti-
rabies
 Mengetahui manajemen dan pengobatan rabies
 Mengetahui cara pemberian anti serum rabies
 melakukan tindakan emergensi pada rabies
 mengevaluasi hasil terapi
 Mengatasi dan mencari hewan yang menggigit pasien
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan perawatan di ruangan intensif
 Mempertimbangkan tindakan perawatan luka menjadi fokus masuknya virus rabies
 Mempertimbangkan perawatan intensif bila terjadi kegagalan pernafasan

126
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran


Laki-laki usia 24 tahun, pemelihara hewan, datang kerumah sakit dengan keluhan utama
gelisah dan rasa seperti tercekik. Lebih kurang 7 hari yang lalu pasien mengeluh kakinya digigit
anjing kampung saat dia bekerja. Tiga hari kemudian pasien mengeluh demam, sakit kepala,
pegal-pegal otot, dan terasa lemas. Keluhan juga disertai rasa nyeri pada tenggorokan. Rasa baal
dirasakan pada luka bekas gigitan. Dua hari kemudian pasien tampak gelisah dan ketakutan
terutama bila mendengar suara atau melihat air, atau bila wajahnya terkena hembusan angin,
pasien masih tetap sadar, pasien juga tampak selalu mengeluarkan air liur yang berlebihan dari
mulutnya. Keluhan tidak disertai kelemahan anggota gerak, kesemutan sesisi, bicara pelo
ataupun mulut mencong.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran compos mentis
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 90 x/ menit
 Suhu 37,3 C
 Respirasi 21 x / menit
 hipersalivasi
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5
 Status mental : aerofobia, hidrofobia, fotofobia
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif
 Nervi kranialis : paresis (-)
 Motorik : tidak terdapat paresis
 Sensorik: baik
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis -/-
 Klonus -/-
 Saraf otonom : dalam batas normal

127
a. Hasil pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, AGD

6. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal
 Ancaman gagal nafas

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

128
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

Referensi :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

129
MATERI BAKU

RABIES

Pendahuluan
Rabies adalah suatu penyakit saraf pusat yang disebabkan oleh virus RNA yang tergolong
dalam famili Rhabdoviridae. Penyakit ini selalu berakibat fatal yaitu kematian bagi penderita
yang terkontak dan tidak di vaksinasi. Tersebar di seluruh dunia terutama di negara berkembang.
Negara yang dnyatakan bebas rabies saat ini Australia, Swedia, Selandia Baru, Jepang,
Kepulauan Britania dan Antartika. Diperkirakan terjadi 15.000 kasus rabies manusia tiap tahun,
terutama negara berkembang seperti India, Asia tenggara, Amerika Selatan.
Virus rabies dapat menginfeksi semua hewan berdarah panas (termasuk manusia) dan
burung. Penularannya ssebagian besar terjadi melalui gigitan dari berbagai hewan reservoir
misalnya anjig, kucing, srigala, kelelawar, dan lain-lain. Dan dapat juga secara aerosol tertuma
pada berbagai jenis kelelawar di Amerika.
Penatalaksanaan penyakit ini umumnya adalah suportif, karena sampai saat ini terapi
yang tepat untuk penyakit ini bila sudah timbul gejalanya adalah belum ada. Tindakan
pencegahan berupa pemberian vaksinasi adalah yang terbaik karena terbukti dapat mencegah
manifestasi penyakit ini.

Biologi
Penyakit rabies disebabkan oleh virus rabies yang dalam klasifikasi termasuk pada grup
V negatif-stranded RNA genom ((-) ss RNA), ordo : mononegalovirales, famili : rhabdoviridae,
genus : lyssavirus, spesies : Rabies virus. Virus ini berukuran sekitara 180 nm panjang dan 75
nm lebar yang disusun oleh lima jenis protein yaitu : nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), matriks
protein (M), glikoprotein (G), dan polimerase (L). Pada umumnya Rhabdoviridae terdiri dari dua
komponen dasar : ribonukleoprotein (RNP) di bagian tengah dan diselimuti envelope pada
bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan
polimerase (L-protein). Sedangkan glikoprotein membentuk spike (paku) pada daerah permukaan
luar (envelope/membran) dan virus dengan panjang +/- 10 nm. Sedangkan envelope dengan RNP
dihubungkan dengan matriks protein (M).
Genom dari virus rabies adalah rantai tunggal, antisense, nonsegmented RNA dengan
panjang sekitar 12 kb. Replikasi virus ini dalam sel pejamu diawali dengan fusi dari envelope
dengan membran sel pejamu, kemudian terjadi interaksi antara glikoprotein dengan reseptor
permukaan sel pejamu yang spesifik (absorbsi) diikuti penetrasi virus kesitoplasma dengan
mekanisme pinositosis. Terjadi agregasi virion dengan vesikel pada sitoplasma (endosom)
kemudian membran virus akan berfusi dengan mebran endosom yang mengakibatkan RNP virus
bebas ke dalam sitoplasma (uncoatinag). Karena virus ini memiliki genom RNA yang tunggal
dan linier maka dibutuhkan mRNA ( messenggerRNA) untuk merekam agar virus dapat
berreplikasi (transkripsi). Perekaman ini akan diikuti dengan proses ”pencetakan” protein sesuai
”pesanan” yang sudah direkam tadi di ribosom bebas dalam sitoplasma sel (translasi). Proses ini
akan semakin dilengkapi di retikulum endoplasma dan badan golgi (processing) sesudah itu
terjadi proses perbanyakan virus.

130
Patogenesis
Pada manusia ketika sel saraf terkontak dengan virus rabies maka glikoprotein dari virus
akan berikatan dengan reseptor nikotinik (reseptor asetilkolin) pada ermukaan membran sel
saraf. Awalnya virus akan memperbanyak diri di tempat inokulasi, kemudian virus akan
memasuki sel saraf motorik dan sensorik perifer kemudian akan bermigrasi melalui akson ke
sentral dengan kecepatan 50 – 100 mm/hari sampai ke medula spinalis, lalu melanjutkan
perjalanan ke atas sampai ke otak dan menginfeksi batang otak, diensefalon dan hipokampus.
Bila hal tersebut sudah terjadi maka akan terjadi replikasi besar-besaran dari virus dan imunisasi
menjadi tidak efektif. Penyebaran secara luas akan terjadi ke semua susunan saraf somatik dan
otonom. Dan replikasi virus yang produktif adalah kelenjar ludah.
Ada beberapa faktor yang dianggap berperan terhadap kerentanan seseorang terhadap
rabies. Contohnya adalah : luka gigitan pada kulit terbuka dianggap lebih rentan daripada luka
gigitan pada kulit terbungkus pakaian karena sebagian virus diabsorbsi bahan pakaian. Faktor
lain adalah spesies resistensi, besarnya tempat inokulasi (luka), konsentrasi dari resptor nikotinik
yang terpapar, besarnya persarafan di daerah inokulasi, jarak tempat inokulasi dengan susunan
saraf pusat, dan status imunitas dari penderita. Faktor variasi spesies juga berpengaruh, serigala,
rubah, kecing lebih mudah terpapar sedangkan opposum lebih resisten. Inokulasi pada daerah
yang dekat otak lebih cepat daripada gigitan pada ekstremitas bawah. Masa inkubasi dari
penyakit ini umumnya berkisar 3-12 minggu. Laporan lain masa inkubasi penyakit ini dapat
terjadi sekitar satu tahun hingga 6 tahun.
Di negara-negara berkembang penularan rabies lebih dari 90% lewat gigitan terutama
anjing. Kasus penularan tanpa gigitan pernah dilaporkan di AS terhadap seorang gadis yang
tertular rabies dari kelelawar. Laporan lain adanya peularan rabies pada transplantasi kornea.

Manifestasi Klinis
Gejala penyakit ini pada fase awal menyerupai flu berupa malaise, anoreksia, demam,
nyeri kepala, mual dan muntah, rasa tidak enak di kerongkongan, kadang-kadang ditemukan
adanya parestesia di tempat gigitan. Keluhan ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari kemudian
akan diikuti dengan timbulnya gejala patognomonik suatu ensefalitis rabies yaitu agitasi, demam
tinggi yang persisten, kesadaran fluktuatif, nyeri pada faring, terkadang seperti rasa tercekik
(inspiratory spasm), hipersalivasi, kejang, hidrofobia, dan aerofobia. Kadang-kadang ada juga
manifestasi non neurogenik berupa aritmia dan miokarditis yang merupakan tanda dari adanya
hiperadrenergik dan infeksi langsung pada jantung. Keadaan tersebut akan memberat dan diikuti
dengan koma yang akan berlanjut kematian. Selain gejala khas rabies tersebut dapat juga
ditemukan gejala yang lebih jarang yaitu adanya kelumpuhan, berupa adanya paresis pada
keempat ekstremitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang timbul terkadang mirip suatu
sindroma Gullian Barre dan tidak ditemukan bukti adanya keterlibatan seerebral sampai penyakit
ini berlanjut.
Fase awal dari penyakit ini terkadang diagnosis agak sulit ditegakkan sehingga perlu
diagnosis banding dengan beberapa penyakit lain misalnya infeksi virus lain (arbovirus,
enterovirus, dan lain-lain), ataupun dengan sindroma GB.

Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis dari penyakit ini pada fase awal kadangkala sukar
mengingat gejalanya yang mirip dengan penyakit lain. Hal ini semakin sulit bila riwayat kontak

131
gigitan dengan binatang tidak jelas. Untuk membantu penegakkan diagnosis perlu diperiksakan
laboratorium.
Pada pemeriksaan darah laboratorium tidak ada gambaran yang khas untuk merujuk suatu
keadaaan infeksi rabies, kadang ditemukan leukositosis ringan. Untuk penegakkan diagnosis
adalah deteksi rabies pada saliva dengan menggunakan pemeriksaan reverse transcriptase
polymerase chain reaction (RT/PCR) dan isolasi virus dalam jaringan kultur.
Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap virus rabies dengan
menggunakan serum darah dan cairan serebrospinal, namun seringkali hasil positif timbul
beberapa saat setelah timbulnya gejala klinis. Pada orang yang belum diimunisasi hasil positif
dapat menjadi tanda yang bernilai diagnostik, bila sudah di imunisasi maka penngkatan kadar
antibodi beberapa waktu setelah pemeriksaan pertama dapat mempunyai arti diagnostik. Pada
cairan serebrospinal (CSS) adanya antibodi terhadap virus rabies menunjukkan adanya infeksi
virus rabies.
Pemeriksaan biopsi dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis rabies. Pemeriksaan
dilakukan dengan cara mengambil sepotong kulit di daerah leher bagian belakang pada batas
garis rambut diusahakan paling tidak ada 10 folikel rambut yang terambil termasuk saraf
kutaneus yang berada pada bagian basal dari folikel, kemudian dilakukan pemeriksaan RT/PCR
dan tes imunoflouresence staining pada antigen virus dengan menggunakan teknik Direct
Flourescent antibody test(dFA). Tes ini didasarkan pada observasi bahwa seorang yang
terinfeksi virus rabies mempunyai antigen rabies dalam jaringan. Karena virus ini berada dalam
jaringan saraf maka jaringan yang diambil adalah jaringan saraf terutama yang paling ideal
adalah jaringan otak. Antibodi yang berlabel ini diinkubasikan pada jaringan otak yang dicurigai
terinfeksi . Hasil positif bila terjadi ikatan antigen antibodi sehingga terlihat gambaran
fluoresensi hijau apel pada pemeriksaan dengan mikroskop fluoresens. Bila tidak terinfeksi maka
pemeriksaan tidak terlihat adanya fluoresensi. Pemeriksaan dFA ini biasanya dilakukan post
mortem tapi dapat juga ante mortem bahkan pada pemeriksaan sebelum timbul gejala. Di
Amerika pemeriksaan ini sudah merupakan standar pemeriksaan untuk rabies dan digunakan
sejak 40 tahun untuk evaluasi rabies.
Pemeriksaan lain yang digunakan dalam memastikan penyakit rabies adalah pemeriksaan
histopatologis dengan mengambil jaringan otak hewan yang terinfeksi dan diberi pewarnaan.
Pada pemeriksaan histopatologis dengan pewarnaan rutin (HE) maka akan terlihat gambaran :
infiltrasi mononuklear, adanya cuffing dari limfosit atau polimononuklear, ”Babes nodules”dari
sel glia, adanya “Negri bodies” (NB). NB ini merupakan tanda yang patognomonik untuk
diagnosis dari rabies yang paling sering ditemukan pada sel berbentuk piramidal dan sel purkinje
di serebelum juga pada medula dan ganglia basal. Pemeriksaan ini sekarang dianggap tidak
begitu spesifik dalam menegakkan diagnosis rabies sebab dengan pewarnaan rutin hasil positif
hanya ditemukan kurang dari 50 % dari semua kasus terinfeksi juga dibandingkan dengan
pemeriksaan dFA yang dapat mencapai 100 %.
Pemeriksaan imunohistokimia dapat dilakukan dalam penentuan diagnosis dari rabies.
Pada prinsipnya sama dengan pemeriksaan histopatologi namun menggunakan antibodi spesifik
untuk mendeteksi inklusi dari virus rabies, yang idgunakan yaitu antibodi monoklonal.
Diagnosis infeksi rabies ditegakkan melalui gejala klinis dan pemeriksaan laboratorik
untuk konfirmasi diagnosis rabies.

132
Tatalaksana
Manajemen terapi pada kasus infeksi rabies pada manusia belum memuaskan terutama
bila penyakit ini sudah menunjukkan gejala. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat
bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit ini timbul. Banyak uji terapi yang dilakukan tapi
tidak menunjukkan hasil yang menggemberikan. Pemberian antiviral ataupun penggunaan
interferon (IFN) secara tunggal ataupun kombinasi belum pernah ada yang sukses. Jackson et.al
merekomendasikan penatalaksanaan rabies yang sudah bergejala dengan rejimen sebagai
berikut : pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk mempercepat respon imun,
pemberian serum anti rabies untuk peghentian proses infeksi rabies, pemberian ribavirin dan
interferon alfa secara intravena dan intraventrikuler. Pemberian ketamin inravena konsentrasi
tinggi terbukti secara invitro dapat menghambat replikasi dari virus rabies. Penelitian ini masih
perlu pembentukan lebih lanjut. Penggunaan steroid tidak dianjurkan pada kasus rabies sebab
pada beberapa kasus pemberian steroid dapat mempercepat kematian dan memperpendek periode
inkubasi.
Perawatan hendaknya dilakukan pada ruangan isolasi dan untuk menghindari
kemungkinan penularan dari penderita maka hendaknya dokter dan paramedik memakai sarung
tangan, kacamata dan masker saat menangani kasus ini dan pasien sebaiknya di fiksasi di tempat
tidur. Mengingat keadaan akhir dari penyakit ini adalah kematian akibat paralisis otot pernafasan
maka dipertimbangkan pula penggunaan alat bantu pernafasan.
Penyakit ini dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Bila ditemukan adanya kasus
gigitan dari binatang tersangka rabies maka dilakukan usaha mematikan/mengurangi virus rabies
dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau deterjen selama 10-15 menit
kemudian diberikan antiseptik. Luka tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali jahitan situasi. Bila
perlu dijahit, luka diinfiltrasi dengan SAR (serum anti rabies). Serta dipertimbangkan pemberian
anti tetanus, antibiotik dan pemberian analgetik. Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies
dilakukan melalui 2 cara : imunisasi sesudah terkontak dan imunisasi sebelum terkontak.
Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan memberikan vaksin anti
rabies (VAR) saja atau dengan SAR. VAR diberikan bila ada gigitan dengan luka yang tidak
berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan atau kaki. Sedangkan pemberian VAR
dengan SAR bila luka berbahaya, jilatan atau luka pada mukosa, luka pada tubuh diatas bahu
(muka, kepala, leher), luka pada daerah lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam atau luka
yang banyak (multipel).

Cara pemberian VAR adalah sebagai berikut :


1. Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV)
Merupakan vaksin kering beku, berupa virus rabies (Wistar Rabies PM/WI 38-1503-3 M
Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu : hari I kunjungan (hari ke 0) diberikan 2
dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan deltoid kiri. Hari ke 7 diberikan lagi 0,5
ml secara im di deltoid. Dosis yang sama diulangi lagi pada hari ke 21. Bilaa hendak
diberikan bersama dengan serum anti rabies (SAR) maka di ulang lagi 0,5 ml pada hari ke
90
2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)
Merupakan vaksin rabies kering untuk manusia, yang terbuat dari otak bayi mencit yang
masih menyusui yang bebas kuman patogen. Dosis dewasa adalah 2 ml setiap hari selama
7 hari berturut-turut disuntikkan secara sub kutan disekitar pusar. Dilanjutkan dengan dosis
0,25 ml pada hari ke 11, 15, 30, dan 90 secara intrakutan di bagian fleksor lengan bawah.

133
Pada anak dosis vaksinasi awal adalah 1 ml dengan cara dan pemberian sama seperti
dewasa sedangkan dosis ulangan 0,1 ml. Dosis ini tetap sama bila hendak diberikan
bersamaan dengan serum anti rabies (SAR).

Cara pemberian SAR adalah sebagai berikut :


1. Serum heterolog
Berasal dari serum kuda, sebelum penyuntikan dilakukan tes kulit terlebih dahulu.
Dilakukan penyuntikan secara infiltasi pada luka sebanyak banyaknya, sisanya disuntikkan
secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan
dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari ke 0)
2. Serum homolog
Berasal dari serum darah mausia. Dilakukan penyuntikan secara infiltrasi pada luka
sebanyak-banyaknya sisanya disuntikkan secara intramuskular. Dosis pemberian adalah 20
IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari pertama kunjungan (hari
ke 0)

Bila hendak melakukan pencegahan dari penularan rabies maka kita dapat melakukan
vaksinasi dengan PVRV. Dengan cara penyuntikan IM di daerah deltoid 0,5 ml pada kunjungan
pertama dilanjutkan 0,5 ml pada hari ke 28 diikuti dengan vaksinasi ulangan 1 tahun setelah
pemberian pertama dengan dosis yang sama. Diulangi samapai seterusnya setiap 3 tahun. Untuk
penggunaan klinik ada beberapa jenis vaksin ataupun serum anti rabies yang dapat ditemukan
tapi jenis yang dikemukakan tadi adalah yang dapat ditemukan di Indonesia.

KEPUSTAKAAN
1. Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA : Mikrobiologi kedokteran,
alih bahasa Edi Nugroho, RF Maulany; editor Irawati Setiawan -edisi 20-, EGC.
Jakarta.1996
2. Smith JS. Rabies infection (serial online) 2003 jan-jun (cited 2006
march 02) Available from : URL : http :// www.cdc.gov/ncidod/dvrd/rabies/nathist.htm
3. O’ Reilly M, Rupprecht CE. Clinical manifestation, diagnosis, and
treatment of rabies. Lancet Inf Dis, 2004 : 6 :243
4. Fishbein DB, Robinson LD; Rabies, N England J Med 1993; 392:
1632

134
ABSES SEREBRAL

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana abses serebral mencakup epidemiologi, etiologi,
klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang dan
interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas  Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
abses serebral. Patofisiologi, patogenesis,
diagnosis, diagnosis banding, pemeriksaan
penunjang, manajemen terapi disertai pelatihan
pemeriksaan pasien dan mengatasi
kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing  Minggu 3 : clinical practice session
diskusi kasus abses serebral dan mengelola
komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi  Minggu 4 : clnical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya abses serebral
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis abses serebral
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan abses serebral
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada abses serebral
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada abses serebral

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral,
diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus
Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kelemahan
anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin lama
semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien batuk dan

135
mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan pagi hari.
Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala bertambah berat. Sekitar 2 minggu SMRS
pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah
dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga
terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang
hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien
mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan
dan berbau busuk.

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien abses serebral ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien abses
serebral ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?
5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses
serebral ?
6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan abses serebral ?

Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan abses serebral
b. Mengetahui kuman penyebab tersering abses serebral
 Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
abses serebral
c. Mengetahui patogenesis terjadinya abses serebral
 Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya abses serebal
d. Mengetahui komplikasi abses serebral
 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada abses serebral
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada
penderita abses serebral
f. Melakukan dan menjelaskan tatalaksana abses serebral dan manajemen pasien abses
serebral
 Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral
 melakukan tindakan emergensi pada abses serebral
 mengevaluasi hasil terapi
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien abses serebral

136
Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran


Wanita usia 27 tahun, mahasiswa, datang kerumah sakit dengan keluhan utama
kelemahan anggota gerak sesisi. 3 bulan yang lalu pasien mengeluh sakit kepala yang semakin
lama semakin berat, terasa seperti berdenyut, keluhan dirasakan bertambah nyeri saat pasien
batuk dan mengedan saat buang air besar, keluhan sakit kepala terutama dirasakan malam dan
pagi hari. Lebih kurang tiga hari terakhir keluhan sakit kepala bertambah berat. Sekitar 2 minggu
SMRS pasien mengeluh kelemahan anggota gerak sisi kirinya, yang pada awalnya belum pernah
dirasakan sebelumnya, keluhan semakin berat seirng bertambahnya sakit kepala. Keluhan juga
terkadang disertai muntah-muntah tanpa disertai mual, demam yang tidak terlalu tinggi yang
hilang timbul, keluhan demam hilang bila pasien minum obat warung. Sebelumnya pasien
mengalami infeksi pada telinganya, yang terkadang mengeluarkan cairan berwarna kekuningan
dan berbau busuk.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran compos mentis
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 90 x/ menit
 Suhu 37,3 C
 Respirasi 21 x / menit
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 4 M 6 V 5
 Status mental : dalam batas normal
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif, FODS : papil edema
 Nervi kranialis : paresis N VII kiri UMN
 Motorik : hemiparese sinistra
 Sensorik: baik
 Refleks fisiologis ++/+++
 Refleks patologis -/-

137
 Klonus -/-
 Saraf otonom : dalam batas normal

a. Hasil pemeriksaan penunjang :


 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah,
 CT Scan otak / MRI

7. Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal
 Ancaman gagal nafas

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada abses serebral ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke intrakranial ?
4. Apakah penyebab secara empiris kuman dari penyebab abses serebral ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan abses serebral ?
6. Kapan pasien terindikasi untuk terapi operatif ?

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

138
Berikut contoh prosedur informed choice:
PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

Referensi :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

139
MATERI BAKU

ABSES SEREBRAL

Pendahuluan
Hingga akhir abad ke 19, abses serebral hampir selalu penyakit yang fatal. Terapi yang
sukses dalam menangani abses serebral pertama kali dilaporkan oleh Dr. JF Weeds, pada tahun
1868 beliau melakukan drainase abses serebral lobus frontal dari seorang letnan kavaleri yang
telah ditembak pada bagian kepalanya. Seorang pionir operasi abses serebral, Sir William
Macewen, pada tahun 1893, mempublikasikan suatu monograf yang terkenal dengan judul
Pyogenic Infective Disease of the Brain and Spinal Cord. Pada laporannya disebutkan dari
sembilan belas pasien yang dioperasi dengan abses serebral dan sereberal, delapan belas
diantaranya membaik dan hanya satu yang mengalami kematian. Dengan berkembangnya ilmu
pengetahuan pada akhir abad ke 20, dengan penggunaan antibiotik, metode operasi yang semakin
canggih, fasilitas perawatan intensif, dan teknik neuromajing yang semakin canggih, angka
kesembuhan semakin meningkat, pada periode 1981-1986 studi Mampalam dan Rosenblum
mengatakan kejadian kematian pada periode tersebut sekitar 4 % saja. Namun pada saat yang
bersamaan merupakan suatu periode yang banyak ditemukannya kejadian supresi sistem imun
sehingga kejadian abses serebral pada pasien tersebut semakin melonjak hingga sampai 97%,
peningkatan pengetahuan mengenai tatalaksana abses serebral saat ini sangatlah dibutuhkan.

Epidemiologi
Perkiraan angka kejadian abses serebral sekitar 0,3 – 1,3 per 100.000 orang per tahun,
dengan perbandingan antara pria dibanding wanita = 2 : 1 hingga 3 : 1. Bila dihitung dari total
populasi kejadian abses serebral ini relatif rendah, namun kejadian ini meningkat pada pasien-
pasien tertentu yang dapat dilihat pada tabel berikut.

Pasien dengan risiko mengalami abses serebral


Faktor Predisposisi Risiko menjadi abses serebral
Sinusitis Akut atau Kronik 11 dari 649 pasien (1,7%)
Otitis media kronik 29 dari 20.331 pasien (0,14 %); risiko seumur
hidup pada umur 30 th (0,5 %)
Trauma kepala dengan penetrasi Peluru atau trauma fragmen (perang Vietnam):
37 dari 1221 pasien (3%)
Kraniotomi 17 dari 2994 pasien (0,58 %)
Resipien transplantasi organ 28 dari 4628 (0,61%)
BMT/PBSCT 26 dari 655 (4%) *
HIV (dengan HAART) Insidensi toxoplasma per tahun 0,22%
Penyakit jantung kongenital 26 dari 1270 pasien (2%)
AVM pulmo tunggal 1 dari 32 pasien (3%)
AVM pulmo multipel 4 dari 61 pasien (7%)
AVM pulmo difus 6 dari 16 pasien (37 %)
Infeksi akut endokarditis < 1 hingga 5 %
* Studi dari Jerman. BMT (Bone marrow transplantation); PBSCT (Peripheral blood stem cell
transplantation), AVM (arteriovenous malformation), HAART (highly active antiretroviral
therapy)

140
Etiologi
Ada tiga grup besar etiologi dari abses serebral : (1) infeksi berasal dari penyebaran
kontigious dari organ yang berhubungan langsung; (2) penyebaran infeksi melalui hematogen;
(3) infeksi berasal dari trauma kepala atau operasi prosedural bedah saraf. Grup etiologi yang
berbeda biasanya berhubungan dengan lokasi abses dan flora mikroba (tabel 2).
Penyebaran infeksi secara kontigious dari organ yang dekat dengan otak biasanya berasal
dari infeksi di mastoid atau telinga tengah, sinus paranasal (sinusitis frontal, etmoiditis,
pansinusitis dan jarang sekali pada sinusitis sphenoid), atau gigi (ekstraksi gigi, karies, penyakit
periodontal). Masih belum jelas bagaimana suatu mikroba dapat menembus duramater;
penyebaran diduga melalui drainase vena dari otak yang tidak memiliki katup. Penyebaran dari
rongga subarakhnoid (meningitis) sangat jarang terjadi. Penyebab lain yang jarang yaitu pada
kejadian osteomielitis atau infeksi pada scalp. Pada anak-anak suatu kelainan kongenital berupa
sinus dermal, encephalocele, atau kista epidermoid dapat menjadi sumber penyebaran infeksi ke
intrakranial.

Kemungkinan letak lokasi dan flora mikroba dari abses serebral


berdasarkan sumber infeksi
Sumber infeksi Lokasi abses Patogen Utama Terapi empiris yang di
rekomendasi
Sinus paranasal Lobus frontal Streptococci (S. Cephalosporin III +
Milleri), metronidazol
Staphylococcus
aureus, Haemophilus
sp., Bacteriodes sp.
Infeksi otogenik Lobus temporal, Streptococci, Ceftazidim +
serebelum Bacteriodes sp., metronidazol
enterobacteria
(Proteus sp.),
Pseudomonas sp.,
Haemophilus sp.
Infeksi odontogenik Lobus frontal Streptococci, Cephalosporin III +
staphylococci, metronidazol
Bacteriodes sp.,
Fusobacterium sp.,
Actinomyces sp.,
Actinobacillus sp.
Endokarditis bacterial Biasanya abses Staphylococcus Cephalosporin III +
multipel, lobus mana aureus, viridans metronidazol
saja dapat terkena streptococci
Infeksi pulmonal Biasanya abses Streptococci, Cephalosporin III +
(abses, empiema, multipel, lobus mana staphylococci, metronidazol
bronkiektasis) saja dapat terkena Bacteriodes sp.,
Fusobacterium sp.,
enterobacteria
Shunt dari kanan ke Biasanya abses Streptococci, Cephalosporin III +
kiri (Penyakit jantung multipel, lobus mana staphylococci, metronidazol
sianotik kongenital, saja dapat terkena Peptostreptococcus
AVM paru) sp.

141
Trauma penetrasi atau Tergantung lokasi Staphylococcus Meropenem +
paska operasi aureus, vancomycin
Staphylococcus
epidermidis,
streptococci,
enterobacteria,
Clostridium sp
Tidak diketahui Lobus mana saja Streptococci, Cephalosporin III +
Peptostreptococcus metronidazol +
sp., Bacteriodes sp., vancomycin
Haemophillus sp.,
straphylococci
Pasien dengan Sering abses multipel, Aspergillus sp., Amphotericin B +
imunosupresi: berbagai lobus dapat Candida sp., Nocardia trimethroprim +
resipien sumsum terkena sp., Toxoplasma Sulfamethoxazole
tulang atau organ gondii
solid
Pasien AIDS Sering multipel abses, Toxoplasma gondii, Pyrimethamine +
berbagai lobus dapat Cryptococcus Sulfadiazine atau
terkena neoformans, Listenia pyrimethamine +
monocytogenes, clindamycin
Mycobacterium sp.,
Candida, Aspergillus

Penyebaran hematogen dapat terjadi dari penyakit jantung sianosis kongenital


(bertanggung jawab sekitar 60 % terjadinya abses serebral pada anak-anak), arteriovenous
malformasi paru (hampir sekitar 87 % AVM paru ditemukan pada pasien dengan telangiectasi
perdarahan herediter, yang juga dikenal sindroma Rendu-Osler-Weber), infeksi paru (abses paru,
tetapi juga pada bronkiektasis, pneumonia, empiema, dan fibrosis kistik), dan endokarditis
infeksi. Penyebab abses serebral yang lain diantaranya sepsis intra abdomen, infeksi traktus
urinarius, luka dan infeksi kulit, atau osteomyelitis. Laporan lain penyebab abses serebral juga
dapat disebabkan akibat suatu prosedur invasif diantaranya skleroterapi injeksi endoskopi pada
varises esofagus, atau dilatasi esofagus yang menyebabkan striktur.
Trauma kepala atau infeksi akibat tindakan bedah saraf, meningkatkan risiko infeksi otak
dalam yang disebabkan adanya fragmen tulang yang tersisa atau benda asing, luka yang
terkontaminasi dan komplikasi luka di kranium sehingga terbentuk fistula yang menghubungkan
LCS dengan ekstrakranial. Kejadian yang sangat jarang terjadi pada pemasangan LCS shunt.
Sekitar 79 % kasus kejadian abses merupakan abses tunggal ( rata-rata 62 % hingga 90
%), abses multipel terjadi sekitar 21 % ( 10 % hingga 38 %). Lokasi abses pada lobus frontal
sekitar 38 %, lobus parietal 24 %, lobus temporal 25 %, lobus ocipital 11 %, dan cerebelum
sekitar 7 %. Lokasi yang jarang yaitu pituitari, talamus, ganglia basal dan batang otak.

Patofisiologi dan Patogenesis


Perkembangan abses serebral dibagi menjadi 4 tahap : (1) serebritis awal; (2) serebritis
akhir; (3) pembentukan kapsul awal; (4) pembentukan kapsul lanjut. Tahap serebritis awal terjadi
pada hari 1 dan ke 3 yang dikarakteristikkan dengan pembentukan pusat nekrosis, terisi dengan
sel-sel radang, batas edema sulit ditentukan. Pada serebritis lanjut (hari ke 4 hingga ke 9),
ditandai dengan adanya fibroblast dan peningkatan neovaskular pada tepi daerah nekrotik. Fase

142
awal pembentukan kapsul (hari 10-14). Pada fase ini terjadi resolusi daerah serebritis dan terjadi
penyusutan daerah nekrotik. Makrofag dn fibroblast secara progresif meningkat jumlahnya dan
mulai membentuk kapsul yang mengelilingi lesi. Fase pembentukan kapsul akhir (setelah hari
14). Daerah pusat nekrotik semakin jelas terbentuk dikelilingi oleh daerah inflamasi, jaringan
kolagen dan lapisan neovaskular.

Manifestasi klinis
Gambaran klinis abses berkembang dalam 2-3 minggu. Pada abses intrakranial, sakit kepala
merupakan gejala yang paling sering timbul dan dapat merupakan satu-satunya gejala. Abses
yang terletak pada lobus temporal biasanya menimbulkan sakit kepala frontotemporal ipsilateral,
bila terletak di hemisfer dominan dapat disertai afasia. Abses serebellar menimbulkan nyeri
kepala suboksipital dan retroaurikular yang menjalar ke leher. Nyeri kepala hemikranial persisten
berupa rasa ditekan yang dalam atau seperti ditusuk-tusuk dan dapat disertai nyeri tekan kulir
kepala. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi 3 kelompok, antara lain :
1. Gejala sistemik, berupa demam, tetapi tidak semua penderita
disertai demam
2. Gejala serebral umum, lebih banyak diakibatkan peningkatan
tekanan intrakranial dapat berupa sakit kepala yang kronik progresif, mual muntah dan
penurunan kesadaran
3. Gejala serebral fokal, seperti kejang, defisit motorik atau sensorik

Gambaran klinis tersebut tergantung beberapa faktor yaitu , virulensi organisme penginfeksi,
status imun pejamu, lokasi abses, jumlah lesi dan ada tidaknya meningitis atau ruptur ventrikel.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutih pada abses intrakranial biasanya terlihat leukositosis PMN dan
peningkatan laju endap darah (LED). Lumbal punksi berisiko herniasi dengan meningkatnya
tekanan intrakranial. Manfaat dan risiko harus dipertimbangkan dengan hati-hati sebelum
membuat keputusan punksi lumbal. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal tidak spesifik,
dengan kadar glukosa dan protein dalam batas normal, sel yang meningkat biasanya dominan
polimorfonuklear, jumlah sel biasanya < 200 namun dapat juga mencapai 7000/mm 3. Tekanan
cairan serebrospinal dapat meningkat. Protein dapat meningkat sebanyak 100 mg/dl dan glukosa
sering dalam rentang normal, kecuali terdapat juga meningitis.
Foto rontgen tergantung fokus infeksinya bisa didapat tanda-tanda radang pada sinus
paranasal, mastoid atau paru.
Pemeriksaan sken kepala sangat berarti dalam membuat diagnosis dan rencana tindak
lanjut tergantung stadium infeksinya. Apabila sudah terbentuk abses dengan kapsulnya maka
tampak gambaran kapsul berbentuk cincin yang mengelilingi lesi hipodens disertai dengan
edema disekiling kapsul. Dengan kontras tampak penyengatan disekitar kapsul.
Magnetic resonanceimaging (MRI) merupakan pilihan prosedur diagnostik untuk melihat
abses intrakranial, karena bebas dari artefak tulang dan memperlihatkan dengan jelas kumpulan
cairan diluar otak. Kumpulan cairan dibandingkan densitasnya dengan CSS pada T1 dan T2.
MRI juga berguna untuk memvisualisasi abses yang kecil yang dapat terabaikan dengan sken
dan membedakan abses dari perdarahan atau efusi steril paska operasi.
Pemeriksaan penunjang yang lain adalah :

143
1. Elektro ensefalografi (EEG), biasanya abdnormal pada sisi lesi, terapi
ketepatan untuk menentukan lokasi < 50 %. Gelombang delta dengan frekuensi
rendah dengan phase reversal mengarah pada abses otak.
2. Arteriografi dan ventrikulografi, jarang dilakukan. Hasil arteriografi akan
abnormal pada 80% dengan gambaran ring shadow dengan pola massa avaskuler
dengan hiperemi pada sekitarnya

Tatalaksana
Penanganan abses serebri harus dilakukan dengan segera meliputi penggunaan antibiotika
yang sesuai, tindakan bedah (drainase atau eksisi), kontrol edema serebri dan pengobatan lokal
infeksi primernya.
Secara umum pemilihan antibiotik dilakukan secara empiris. Pemberian beberapa jenis
antibiotik pada pengobatan awal abses serebri adalah dengan asumsi bahwa penyebab abses
serebri umumnya adalah campuran dari beberapa mikroorganisme. Sebagai contoh bila abses
diperkirakan akibat penyebaran infeksi telinga/paranasal yang etiologinya meliputi
Staphylococcus, aerob dan anaerob maka dibutuhkan lebih dari satu jenis antibiotik.
Terapi antibiotik yang diberikan harus dapat menembus sawar darah otak dan sensitif
terhadap organisme aerob maupun anaerob. Sefalosporin generasi ketiga (ceftriakson;cefotaxim;
ceftazidim) terbanyak direkomendasikan untuk gram (+) dan gram (-) serta metronidazol untuk
bakteri anaerob. Vancomicin direkomendasikan untuk pasien yang alergi terhadap sefalosporin.
Waktu pemberian antibiotik ditentukan oleh respon terhadap pengobatan dan penyerapan abses
pada follow up dengan sken maupun dengan MRI.
Pada abses serebri terapi hanya dengan antibiotik lebih berhasil bila : terapi dimulai
sebelum enkapsulasi komplit, diamater lesi kurang dari 2,5 cm dan pasien menunjukkan
kesembuhan setelah pengobatan selama 2 minggu. Bila diameter lesi > 2,5 cm diberikan terapi
kombinasi yaitu antibiotika dan terapi pembedahan (drainase atau eksisi). Indkasi operasi bila :
terdapat efek massa yang signifikan, lesi dekat dengan ventrikel, kondisi neurologis memburuk,
setelah terpi antibiotik 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak
berkurang. Bila tidak dilakukan tindakan pembedahan maka antibiotik diberikan selama 8
minggu kemudian dilakukan sken otak untuk melihat respon terapi. Bila dilakukan pembedahan
maka antibiotik diberikan secara parenteral 6-8 minggu lalu dilanjutkan dengan pemberian
peroral selama 2-3 bulan.

Prognosis

Angka kematian umum (operasi dan tanpa operasi) 33-70 %, sedangkan angka kematian
dengan operasi berkisar 17-54 %. Prognosis abses intrakranial dipengaruhi oleh virulensi
organisme, resistensi pejamu, usia penderita, kondisi komorbid, deteriorasi neurologik dan cepat
serta tepatnya terapi. Jika terdapat tanda-tanda herniasi angka kematian menjadi lebih dari 50 %.
Adapun faktor-faktor lain yang mempengaruhi angka kematian antara lain :

1. Usia
2. Etiologi dari abses
3. Lokasi dari abses
4. Status neurologi sebelum operasi
5. Abses multipel yang tidak terdeteksi seluruhnya

144
Dari yang berhasil survive 30-55 % diantaranya ditemukan gejala sisa. Cukup sering
muncul pada orang dewasa adalah kejang/epilepsi. Pengguaan profilaksis masih kontroversi.

KEPUSTAKAAN
1. Scheld NW, Whitley JR, Marra CM. Infections of central nervous system
3rd ed. Lippincott William & Wilkins, 2004: 513-19
2. Victor M, Ropper Ah. Infections of the nervous system. In : Adam and
Victor’s principles of neurology 7th ed. McGraw-Hill. New York. 2001; 821-74
3. Heiran NS, Steinbok P, Cochrane DD. Conservative surgical management
of intracranial abscess. J neurosurg. 2004 Jul; 55(1): 260-2

145
NEUROSISTISERKOSIS

Kompetensi
 Menegakkan diagnosis dan tatalaksana neurosistiserkosis mencakup epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, patogenesis, dan patofisiologi, gambaran klinik, pemeriksaan penunjang
dan interpretasinya disertai manajemen pengobatan terpadu.

Mengembangkan Kompetensi Waktu


Sesi di dalam kelas Minggu 1& 2 : Classroom – introduksi tentang
neurosistiserkosis. Patofisiologi, patogenesis, diagnosis,
diagnosis banding, pemeriksaan penunjang, manajemen
terapi disertai pelatihan pemeriksaan pasien dan
mengatasi kegawatdaruratan.
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing Minggu 3 : clinical practice session diskusi kasus
neurosistiserkosis dan mengelola komplikasi
Sesi praktik dan pencapaian kompetensi Minggu 4 : clinical practice session

PERSIAPAN SESI
 Ruang Kuliah
 Peralatan Audiovisual
 Kasus Pembelajaran
 Alat Bantu Latih
 Materi presentasi
 Penuntun belajar
 Daftar Tilik kompetensi

KETERAMPILAN
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik diharapkan memiliki keterampilan:
 Menguasai mekanisme terjadinya neurosistiserkosis
 Identifikasi, anamnesis dan diagnosis neurosistiserkosis
 Menguasai tatalaksana dan pengelolaan pasien dengan neurosistiserkosis
 Mengetahui efek samping obat-obatan yang digunakan pada neurosistiserkosis
 Memprediksi dan mengelola komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis

Gambaran umum
Maksud pelatihan adalah untuk memberi bekal pengetahuan praktek dan manajemen rabies
secara komprehensif melalui pendekatan berbasis kasus (case based learning). Subyek yang
dipelajari secara mandiri dan aktif oleh peserta didik adalah tentang terjadinya abses serebral,
diagnosis, dan evaluasi serta terapi farmakologi.

Contoh kasus
Laki-laki usia 27 tahun, pegawai, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang-kejang.
Lebih kurang 2 minggu yang lalu pasien tampak kejang-kejang, diawali dengan kaku pada
lengan dan tungkai kanan tak lama kemudian os tampak kaku seluruh tubuh dan tidak sadarkan

146
diri. Lamanya kejang lebih kurang 10 menit setelah itu pasien sadar kembali. Lebih kurang 4
minggu sebelumnya os menderita demam naik turun tidak terlalu tinggi disertai rasa sakit kepala
berdenyut terutama pada sisi kiri hilang timbul yang terasa semakin nyeri dan kadang disertai
muntah tanpa didahului mual pada pagi hari. Sakit kepala semakin berat terutama saat os BAB.
Os masih terkadang sulit diajak berkomunikasi dan tidak menjawab bila ditanyakan. Sebelumnya
pasien bertugas di Irian jaya di daerah pedalaman.

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien neurosistiserkosis ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya kuman ke dalam intrakranial pada pasien
neurosistiserkosis ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan neurosistiserkosis ?
5. Kapan dan berapa lama pemberian anti biotik empiris pada pasien dengan abses
neurosistiserkosisi ?
6. Kapan diperlukan terapi operatif pada pasien dengan neurosistiserkosis ?

Tujuan pembelajaran
a. Identifikasi kelainan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik
 Mengetahui Anamnesis dan pemeriksaan klinik pasien dengan kecurigaan
neurosistiserkosis
b. Mengetahui kuman penyebab tersering neurosistiserkosis
 Mengetahui jenis kuman, penyebab dan proses molekular yang terjadi sampai terjadi
neurosistiserkosis
 Mengetahui daerah endemi penyebab neurosistiserkosis
c. Mengetahui patogenesis terjadinya neurosistiserkosis
 Mengetahui dan menjelaskan patogenesis terjadinya neurosistiserkosis
d. Mengetahui komplikasi neurosistiserkosis
 Mengetahui komplikasi yang terjadi pada neurosistiserkosis
 Menjelaskan komplikasi awal, intermediate, spesifik dan longterm
 Mengetahui cara mengatasi komplikasi
e. Mengetahui indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan penunjang
 Mengetahui interpretasi pemeriksaan CT Scan otak dengan kontras dan MRI kepala pada
penderita neurosistiserkosis
f. Melakukan dan menjelaskan tatalaksana dan manajemen pasien neurosistiserkosis
 Mengetahui manajemen dan pengobatan abses serebral
 melakukan tindakan emergensi pada neurosistiserkosis
 mengevaluasi hasil terapi
g. Mempertimbangkan /menganjurkan tindakan operatif pada pasien neurosistiserkosis

Metode Pembelajaran
Tujuan akhir dari pembelajaran, pencapaian kompetensi dan pengamalan ilmu neurologi pada
dasarnya adalah untuk menghasilkan spesialis di bidang ini untuk memiliki professional
behavior yang ditunjukkan dengan:
a. Kepakaran medik / pembuat keputusan klinik
b. Komunikator

147
c. Kolaborator
d. Manajer
e. Advokasi kesehatan
f. Kesarjanaan
g. Profesional
h. Performance

Kasus untuk pembelajaran


Laki-laki usia 27 tahun, pegawai, datang kerumah sakit dengan keluhan utama kejang-
kejang. Lebih kurang 2 minggu yang lalu pasien tampak kejang-kejang, diawali dengan kaku
pada lengan dan tungkai kanan tak lama kemudian os tampak kaku seluruh tubuh dan tidak
sadarkan diri. Lamanya kejang lebih kurang 10 menit setelah itu pasien sadar kembali. Lebih
kurang 4 minggu sebelumnya os menderita demam naik turun tidak terlalu tinggi disertai rasa
sakit kepala berdenyut terutama pada sisi kiri hilang timbul yang terasa semakin nyeri dan
kadang disertai muntah tanpa didahului mual pada pagi hari. Sakit kepala semakin berat terutama
saat os BAB. Keluhan diserti kelemahan anggota gerak kanan bila berjalan os agak pincang
tanpa nyeri. Os masih terkadang sulit diajak berkomunikasi dan tidak menjawab bila ditanyakan.
Sebelumnya pasien bertugas di Irian jaya di daerah pedalaman.

Hasil pemeriksaan fisik adalah sebagai berikut :


 kesadaran somnolen
 Tekanan darah : 110/70 mmHg
 Frekuensi nadi 105 x/ menit
 Suhu 37,9 C
 Respirasi 21 x / menit
 hipersalivasi
 Jantung dan paru dalam batas normal
 Abdomen tegang , hepar dan lien tak teraba
 Ekstremitas tidak ada edema
 Status neurologis
 Glasgow Coma Scale : E 3 M 6 V 4
 Status mental : belum dapat dinilai
 Tanda rangsangan meningeal negatif
 Pupil isokor, refleks positif/positif lemah
 Funduskopi : papil batas kabur, a:v = 1:3, cup (-), perdarahan dan eksudat (-)
 Nervi kranialis : paresis (-)
 Motorik : hemiparesis dekstra
 Sensorik: baik
 Refleks fisiologis ++/++
 Refleks patologis +/-
 Klonus -/-
 Saraf otonom : dalam batas normal
Hasil pemeriksaan penunjang :
 Pemeriksaan laboratorium : darah perifer lengkap, hitung jenis, laju endap darah, AGD

148
Monitoring
 Kesadaran
 Tanda vital
 Defisit fokal
 Ancaman gagal nafas

Diskusi
1. Apakah diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis ?
2. Adakah kelainan pada pemeriksaan fisik neurologis pada pasien rabies ?
3. Apakah yang menyebabkan masuknya toksin rabies ke dalam tubuh pasien ?
4. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan riwayat tergigit hewan namun belum timbul
gejala patognomonis rabies ?
5. Bagaimana tatalaksana seseorang dengan rabies ?
6. Kapan pemberian anti toksin ataupun toksin rabies diberikan ?
7. Apakah indikasi terapi di tempat perawatan intensif pada pasien rabies ?

Penilaian kompetensi
Hasil observasi selama alih pengetahuan dan ketrampilan

EVALUASI
Kompetensi Kognitif
 Pre-test
 Essay
 MCQ
 Lisan
 Ujian pasien

149
Berikut contoh prosedur informed choice:

PENUNTUN BELAJAR

NAMA PESERTA: ...................................... TANGGAL: .................................

II. INFORMED CHOICE


1. Sapa dengan hormat pasien anda
Kenalkan diri anda dan jelaskan tujuan anda dalam wawancara
Tanyakan apakah pasien telah tahu tentang kelainan yang ada dan apakah sudah
mendapat penjelasan tentang apa yang akan dilakukan
 Jika belum, jelaskan kelainan yang dialami dan upaya yang akan dilakukan
 Jika sudah, nilai kemali apakah penjelasannya benar dan lengkap
Tunjukkan diagnosis dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dan
penatalaksanaan untuk kelainan yang ada
Jelaskan berbagai pengobatan dan tindakan yang dapat diterapkan terhadap pasien,
termasuk efek samping, komplikasi dan risiko (sampaikan dengan bahasa yang
mudah dimengerti dan pastikan pasien telah mengerti)
Minta pasien untuk menentukan salah satu pengobatan dan tindakan yang menurut
pasien adalah paling tepat, setelah mendapat penjelasan yang obyetif dan benar dari
operator/dokter
Persilahkan pasien dan keluarganya untuk menyatakan dan menuliskan cara pengobatan
yang menjadi pilihannya pada status pasien atau formulir yang telah disediakan

Referensi :
 Standar kompetensi spesialis saraf 2006, KNI PERDOSSI
 Ropper A.H., Robert HB., Adams and Victor, Principles of Neurology, eight ed. Mc Graww
Hill, 2005, 11-13, 541-542.
 Scheld WM et.al., Infection of the central nervous system, third ed., 2004, 10-12
 William J.W et all, Emergent and urgent Neurology, Second edition, 1999
 Wood. M, Neurological Infection, 1988

150
MATERI BAKU

SISTISERKOSIS

Pendahuluan
Infeksi susunan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh cacing merupakan tantangan
besar dalam penanganan kesehatan di komunitas. Hal ini dapat menjadi suatu masalah besar
dalam komunitas. Infeksi cacing pada SSP banyak terjadi terutama pada negara-negara
berkembang seperti Amerika latin, Asia, dan Afrika. Cacing diklasifikasikan menjadi dua cacing
datar (flatworm) dan cacing bulat (roundworm) atau nematoda. Flatworm dibagi lagi menjadi
cacing pita (tapeworms) dan trematoda. Cacing merupakan parasit yang memiliki siklus hidup
yang kompleks dimana manusia menjadi pejamu intermediat ataupun definitif. Infeksi SSP yang
disebabkan oleh cacing menimbulkan beragam bentuk klinis, termasuk subakut atau kronik
meningitis, ensefalitis akut atau subakut, lesi otak berupa desak ruang (space-occupying lession),
stroke, dan myelopathy.

Sistiserkosis
Sistiserkosis terjadi pada manusia karena menjadi pejamu intermediate dari Taenia
solium, yang masuk ke tubuh manusia melewati makanan yang terkontaminasi feses yang
mengandung telur T.solium. Setelah masuk ke dalam saluran cerna telur tersebut berubah
menjadi onkosper. Onkosper kemudian menembus dinding usus, masuk ke dalam aliran darah
kemudian tersebar ke seluruh organ pejamu, tempat sistiserko tumbuh. Organ target yang terkena
diantaranya adalah mata, otot, dan susunan saraf pusat.

Pejamu untuk parasit cestoda dewasa, Taenia solium di dalam usus adalah manusia.
Keadaan tersebut terjadi akibat pejamu memakan daging babi yang tidak dimasak tidak matang
yang mengandung larva Taenia (sistisersi). Larva kemudian mengevaginati ke dalam usus
hingga berubah menjadi cacing dewasa. Cacing ini terdiri dari scolex, yang menempel pada
dinding usus, dan beberapa proglotid (segmen). Proglotid dan telur ini keluar bersamaan dengan
feses.

Babi yang merupakan pejamu intermediate terinfeksi karena memakan telur parasit atau
proglotid yang mengandung telur (porcine cysticercosis). Oncosphere ini keluar dari telur,
kemudian masuk kedalam mukosa usus, bermigrasi ke dalam aliran darah, dan berdiam di dalam
jaringan. Dalam beberapa minggu dan bulan, kemudian larva membesar dan menjadi matang
berubah menjadi sistisersi. Siklus kehidupan ini menjadi lengkap setelah manusia memakan
daging babi yang terkontaminasi oleh kista.

Keadaan sistiserkosis pada manusia terjadi setelah memakan makanan yang


terkontaminasi dengan telur Taenia yang telah terfertilisasi. Pada manusia, terjadinya infeksi
lebih sering diakibatkan memakan telur T solium berasal dari makanan yang terkontaminasi dan
sangat jarang terjadi dari jalur autoinfeksi fekal-oral dari pasien yang mengeluarkan feses
mengandung parasit di dalam ususnya. Parasit ini di dalam tubuh manusia memiliki predileksi
berada di susunan saraf pusat (SSP), otot skeletal, jaringan subkutaneus, dan mata.

151
Patologi
Sistiserkos merupakan vesikel yang mengandung skolex. Terdapat pada parenkim otak,
rongga subarakhnoid, sistem ventrikel dan atau medula spinalis. Kista pada jaringan otak dapat
tumbuh hingga 20 mm dalam diameter, sedangkan kista pada rongga subarakhnoid dan ventrikel
dapat tumbuh mencapai 50 mm atau lebih diameternya. Kista pada parenkim otak biasanya
tumbuh pada korteks serebri atau daerah basal ganglia. Pada kista rongga subarakhnoid biasanya
terdapat pada fisura silvii atau sisterna pada basis otak. Sistiserkos pada ventrikel dapat
menempel pada pleksus koroid atau bebas mengapung di rongga ventrikel.
Setelah masuk ke dalam SSP, sistiserkos dapat bertahan hingga bertahun-tahun,
menimbulkan inflamasi pada jaringan sekitar. Pada kasus lain, sistiserkos yang masuk ke dalam
SSP mendapat serangan imun kompleks dari pejamu, sehingga terjadi proses degenerasi dan
kematian atau kalsifikasi parasit. Reaksi inflamasi yang terjadi berupa edema, gliosis reaktif,
penebalan leptomening, terjepitnya kiasma optik dan saraf kranial yang lain, angiitis,
hidrosefalus dan ependimitis.

Manifestasi Klinis
Gejala klinis neurologis yang sering timbul pada sistiserkosis adalah kejang. Pada daerah
endemik, kejadian kejang yang baru terjadi pada usia dewasa lebih diduga penyebabnya adalah
neurosistiserkosis. Manifestasi klinis yang terjadi lebih sering subakut sehingga membuat sulit
membedakannya dengan suatu keadaan abses atau tumor intrakranial lain. Gejala fokal juga
dapat terjadi tiba-tiba yang terjadi akibat infark serebral karena angiitis sistiserkosis.
Hidrosefalus dan ensefalitis sistiserkosis merupakan penyebab utama hipertensi intrakranial.
Ensefalitis sistiserkosis merupakan bentuk neurosistiserkosis yang berat, yang menimbulkan
inflamasi disekitar sistiserkos dan edema difus, yang dikarakteristikkan dengan gejala sakit
kepala, muntah, kejang umum, menurunnya tajam penglihatan, dan penurunan kesadaran. Spinal
sistiserkosis menimbulkan manifestasi berupa motor dan sensoris defisit yang bervariasi
tergantung lokasi level yang terjadi.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis neurosistiserkosis yang akurat melalui klinis (anamnesis dan
pemeriksaan fisik neurologis) bersamaan dengan hasil dari neuroimajing dan hasil dari tes
imunologis. Temuan imajing yang khas yaitu lesi kistik (imajing dari skolex) dan kalsifikasi
parenkim otak. Lesi lain yang dapat timbul dan tidak spesifik diantaranya lesi cincin dan
leptomening yang menyangat kontras, hidrosefalus serta infark serebral.
Cairan serebrospinal (CSS) dapat menunjukkan hasil yang normal pada pasien dengan
neurosistiserkosis parenkimal. Pada bentuk neurosistiserkosis di ventrikel dan subarakhnoid hasil
CSS menunjukkan pleositosis limfositik, peningkatan konsentrasi protein, dan kadar glukosa
yang normal. Hasil tes serologi yang akurat yaitu imunoblot. Namun hasil positif palsu dapat
terjadi pada pasien dengan sistiserkosis diluar SSP dan negatif palsu biasanya pada pasien
dengan lesi kista tunggal. Pemeriksaan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), yang
merupakan pengukuran terhadap kadar antibodi imunoglobulin G (IgG) terpercaya hasilnya bila
diambil sampel dari CSS, dan keakuratannya tergantung dari viabilitas kuman. Tidak adanya
bentuk aktif dari kuman menghasilkan ELISA yang negatif.

152
Terapi
Lokasi lesi dan viabilitas parasit neurosistiserkosis, juga ringan beratnya respon imun dari
pejamu menjadi faktor penting dalam merencanakan terapi pada pasien. Pendekatan terapi pada
pasien yaitu dengan penggunaan agen sistisid, anti kejang dan obat-obatan simptomatis lain.
Sebagai tambahan terapi operatif dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus tertentu.

Obat-obatan Sistisid. Praziquantel telah digunakan untuk mengobati sistiserkosis sejak tahun
1979. Studi yang telah dilakukan pada penggunaan praziquantel dikatakan obat tersebut dapat
menghancukan lesi parenkim otak sistiserkosis sekitar 60 – 70 % dengan pemberian selama 15
hari dengan dosis 50 mg/kg per hari. Kemudian dosis ini diperbaharui dengan pemberian
praziquantel dosis rentangnya dari 10 hingga 100 mg/kg per hari selama periode 3 hingga 21
hari. Kadar praziquantel yang optimum dan tinggi di dalam darah hingga 6 jam dapat
dipertahankan dengan pemberian dosis individual sekitar 25 hingga 35 mg/kg tiap interval 2 jam
merupakan dosis yang dianjurkan untuk menghancurkan parasit.
Albendazol juga memiliki efek sistisid. Obat ini diberikan dengan dosis 15 mg/kg per
hari selama 1 bulan. Studi terbaru mengatakan pemberian dapat dipersingkat hingga 1 minggu
tanpa mengurangi efikasi obat. Albendazol menghancurkan sekitar 75% hingga 90 % kista otak
dan lebih superior dibanding praziquantel, termasuk kemampuannya menghancurkan
sistiserkosis di meningen dan ventrikel. Pengontrolan kejang akan jadi lebih mudah setelah
pemberian obat-obatan sistisid.
Penggunaan obat antisid juga digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien dengan
kejang dan penyangatan lesi tunggal pada CT dan MRI. Walaupun hal tersebut terjadi pada
daerah endemis, lesi tersebut dapat berupa tuberkuloma, granuloma mikotik, atau glioma.
Pasien dengan ensefalitis sistiserkosis sebaiknya tidak diberikan obat-obatan sistisid
karena dapat timbul eksaserbasi gejala. Pada pasien dengan kista serebral dan hidrosefalus, obat
sistisid diberikan setelah dilakukan shunting ventrikel untuk menghindari peningkatan tekanan
intrakranial akibat efek obat yang diberikan. Pemberian obat-obatan sistisid, hati-hati pada
cistiserkosis subarakhnoid yang besar (giant) karena inflamasi yang ditimbulkan akibat respon
penghancuran parasit dapat menyumbat pembuluh darah leptomeningeal. Pada kasus tersebut
pemberian kortikosteroid dapat membantu. Pada pasien dengan kista ventrikular respon
inflamasi dapat terjadi hidrosefalus akut bila lokasinya terlerak pada ventrikel ke-4 atau dekat
foramen Monro. Pasien dengan lesi kalsifikasi saja juga sebaiknya tidk diberikan antisistisid,
karena kalsifikasi tersebut merupakan parasit yang sudah mati
Obat-obatan simptomatis seperti obat anti kejang diberikan untuk mengontrol kejadian
kejang pada neurosistiserkosis dan dibantu dengan pemberian obat sistisid seperti praziquatel
atau albendazol yang dapat mengontrol kejang hingga 83 % pasien. Lamanya pemberian obat-
obatan anti epilepsi belum ada standar yang baku. Pada 50 % kasus mengalami relaps kejang
setelah dihentikan pemberian obat anti epilepsi setelah pasien bebas kejang selama 2 tahun dan
telah diberikan albendazol. Rekurensi kejang berhubungan dengan timbulnya kalsifikasi setelah
pemberian albendazol dan terdapatnya kejang rekuren dan kista multipel di otak sebelum
pemberian obat sistisid.
Kortikosteroid diberikan pada sistiserkosis dengan bentuk ensefalitis sistiserkosis yang
bertujuan untuk mengurangi edema. Kortikosteroid dapat diberikan tunggal atau bersamaan
dengan manitol dengan dosis 2 mg/kg per hari. Pemberian kortikosteroid intravena pada kasus
angiitis sistiserkosis bermanfaat untuk mencegah terjadinya infark rekuren. Kortikosteroid

153
dilanjutkan dengan pemberian oral prednison (1 mg/kg per hari) untuk mebantu mengurangi
inflamasi di rongga subarakhnoid akibat angiitis. Kortikosteroid diberikan sampai inflamasi di
subarakhnoid reda yang dapat dievaluasi melalui hasil cairan serebrospinal.
Operatif. Sekunder hidrosefalus akibat arakhnoiditis sistiserkosis membutuhkan
diakukannya shunting. Komplikasi yang terjadi akibat tindakan ini yaitu terjadinya disfungsi dari
shunting itu sendiri yang dapat meningkatkan angka kematian hingga 50 %. Sekarang telah
dikembangkan alat shunt yang baru yang menghasilkan aliran yang konstan dan CSS dialirkan
dengan baik hingga tidak masuk ke sistem ventrikular.
Kasus lain yang membutuhkan tindakan operatif diantaranya kista yang terdapat di
ventrikel. Kista ventrikel ini dapat dieksisi melalui operatif atau aspirasi endoskopi.

154

Anda mungkin juga menyukai