The words dreaMS may end in MS. But MS didn’t end my dreams. Don’t let it end yours
-Kanya Puspokusumo-
1
2
Kami panjatakan puji syukur dan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada Allah SWT yang
telah mengijinkan kami untuk menuliskan buku ini.
Kami haturkan pula rasa terima kasih kami yang sebesar-besarnya kepada para penyandang MS
dan penyakit demyelinisasi lainnya di Indonesia yang telah menjadi guru bagi kami untuk
berusaha memahami penyakit ini. Kepada Ibu Kanya Puspokusumo, ketua Indonesia Multiple
Sclerosis Group Indonesia yang selama ini telah bekerja sama dengan kami, memberikan banyak
masukan dan inspirasi, semoga kerjasama ini terus berlanjut dan membawa banyak manfaat bagi
banyak penyandang MS. Kami ucapkan juga terima kasih atas keterlibatan IMSG dan para
penyandang MS dan NMO yang telah hadir pada kegiatan Focus Group Discussion (FGD) yang
kami adakan untuk mendapatkan masukan bagi penulisan buku ini.
Kepada PT. Novartis Indonesia selaku sponsor pencetakan buku ini juga kami ucapkan banyak
terimakasih atas kerjasamanya yang baik.
Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam
penyusunan buku ini. Mohon maaf kiranya kami tidak dapat menyebutkan satu persatu. Semoga
Allah SWT membalas semua kebaikan ini dengan limpahan berkah dan rahmatnya.
2
3
Tim Penyusun
Riwanti Estiasari
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Jan Purba
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Darma Imran
Departemen Neurologi Fakultas Kedoketeran Universitas Indonesia, Jakarta
Paulus Sugianto
Departemen Neurologi Fakutas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya
Raka Sudewi
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar
Nurul Komari
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Sucipto
Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
3
4
Daftar Isi
Halaman
Ucapan Terima Kasih 2
Tim Penyusun 3
Daftar Isi 4
Sambutan Ketua Perdossi 5
Sambutan Ketua Pokdi neuroinfeksi dan neuroimunologi 6
Kata Pengantar 7
Glossarium 8
Pendahuluan 11
Metodologi 13
9.1 Tim Penyusun 13
9.2 Keterlibatan Penyandang MS 13
9.3 Penelusuran dan Analisis Literatur 13
Komunikasi dan informasi 15
Gejala Klinis dan Diagnosis 18
10.2 Kriteria Diagnosis 19
10.3 Diagnosis Banding 25
10.3.1 Neuromyelitis Optica (NMO) atau Devic’s Disease 26
10.3.2 Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM) 28
Terapi 31
11.1 Terapi relaps 31
11.2 Terapi jangka panjang 33
11.2.1 Clinically Isolated Syndrome 33
11.2.2 Relapsing-remitting multiple sclerosis (RRMS) 33
11.2.4 Secondary Progressive MS (SPMS) 36
11.2.5 Primary Progressive MS (PPMS) 36
11.3 Pemantauan Terapi 37
11.4 Efek samping 38
11.4.1 Interferon Beta 38
11.4.2 Fingolimod 39
11.4.3 Azatioprin 40
Lampiran Sistem fungsional, Expanded Disability Status Scale 43
Lampiran Kriteria McDonald 2010 47
Daftar Pustaka 48
4
5
Assalamualaikum WR, WB
Salam sejahtera bagi kita semua
Alhamdulillah, puji syukur yang setinggi-tingginya kami panjatkan kepada Allah SWT, hanya atas
izinNya lah buku Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Multipel Sklerosis (MS) di Indonesia ini
dapat terselesaikan.
Buku ini merupakan buku Pedoman MS yang pertama kali dikeluarkan oleh PERDOSSI sepanjang
sejarah berdirinya PERDOSSI.
Sebagai wadah bagi Neurolog di seluruh Indonesia sudah menjadi kewajiban bagi PERDOSSI
untuk mengayomi pengembangan ilmu Neurologi di Indonesia termasuk dalam bidang
Neuroimunologi. MS di Indonesia terus berkembang, meskipun jumlahnya tidak banyak namun
penyakit ini berpotensi mengakibatkan kecacatan. Untuk itu dibutuhkan pedoman yang dapat
menjadi pegangan bagi para Neurolog dalam menangani kasus MS sedini mungkin.
Selaku Ketua Umum PP PERDOSSI saya mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan
kepada POKDI Neuroinfeksi dan Neuroimunologi yang telah bekerja keras mempersiapkan buku
Pedoman ini. Selain itu tak lupa saya mengucapkan terimakasih kepada Indonesia Multiple
Sclerosis Group sebagai perkumpulan pasien MS di Indonesia atas peran sertanya dalam
memberikan masukan bagi tim penyusun buku ini terkait permasalahan pelayanan kesehatan MS
di Indonesia.
Akhir kata, teriring doa bersama dengan peluncuran buku ini, semoga buku ini dapat memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya dan ikut berperan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi
para penyandang MS di Indonesia. Amiin.
5
6
Puji syukur patut kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunianya buku “Pedoman Diagnosis dan Talaksana Mu ltipel Sklerosis di Indonesia 2015” bisa
diselesaikan dengan baik oleh Tim penyusun.
Tim penyusun sebagian besar terdiri dari anggota kelompok studi Neuroinfeksi sesuai SK Ketua
Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia No. :063/SK/PP-
PERDOSSI/09/2014 ( PP PERDOSSI).
Saya sangat sependapat dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Ketua Umum PP PERDOSSI
bahwa Neuroimunologi akan digabung ke dalam kelompok studi Neuroinfeksi dengan
pertimbangan bahwa respons imun pada sistem saraf sangat berkaitan dengan kejadian infeksi.
Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada tim penyusun dan semua pihak yang telah
berpartisipasi atas kerjasama yang sangat baik selama ini sehingga buku pedoman ini bisa
diwujudkan.
Semoga buku pedoman ini dapat dipakai untuk meningkatkan pelayanan di bidang Neurologi
kepada masyarakat khususnya terkait penyakit multipel sklerosis.
6
7
Kata Pengantar
tulis berkat kerjasama yang baik dari seluruh anggota tim serta
Neuroinfeksi PERDOSSI.
berikutnya nanti.
multipel sklerosis.
Tim Penulis
7
8
Glossarium
8
1. Acute disseminated encephalomyelitis Yunani “ataxis” yang artinya tidak teratur atau
(ADEM) tidak terkoordinasi)
Adalah penyakit demielinisasi akibat inflamasi
yang diperantarai oleh sistem imun terutama 8. AV blok
mempengaruhi substansia alba dari otak dan Adalah kelainan jantung akibat kegagalan atau
medula spinalis. Kelainan ini bermanifestasi keterlambatan depolarisasi atrium mencapai
sebagai enselofati dengan onset akut dan defisit ventrikel. Ada 3 derajat dari AV blok yang
neurologis polifokal, biasanya swa sirna. diketahui.
9
10
Adalah infeksi sifilis pada sistem saraf pusat. menyebabkan gejala neuromuskuler dan
Biasanya terjadi lebih cepat pada kasus sifilis urogenital.
yang tidak ditangani
37. Sjogren Syndrome
Adakah sebuah kelainan autoimun di mana sel
30. Oftalmoplegi intranuklear
imun menyerang dan menghancurkan kelenjar
Adalah kegagalan adduksi yang dihubungkan
eksokrin yang memproduksi air mata dan liur.
dengan nistagmus abduksi pada mata yang
berlawanan 38. Skotoma
Adalah berkurang atau hilangnya bagian dari
31. Oligoclonal bands lapang pandang.
Adalah pita kecil pada daerah gamma globulin
pada elektroforesis cairan serebrospinal 39. Torticolis
menunjukkan produksi IgG di cairan kondisi distonia yang ditandai dengan posisi
serebrospinal. leher dan kepala yang tidak normal, tidak
simetris bisa disebabkan oleh banyak etiologi.
32. One-and-a-half syndrome 40. Trigeminal Neuralgia
Adalah kelumpuhan gaze konjugat pontin pada Adalah kelainan yang ditandai oleh serangan
sisi ipsilateral (one) dan internuclear nyeri berat paroksismal dan singkat dalam
optalmoplegia pada gaze sisi kontralateral (half) cakupan persarafan satu atau lebih cabang
karena lesi pada nukleus VI atau PPRF dan nervus trigeminus.
MLF ipsilateral.
41. Urgensi
gejala keinginan tiba-tiba yang kuat untuk
33. Paraneoplastik sindrom
berkemih dan sulit ditahan, dengan atau tanpa
penyakit atau gejala yang dikarenakan
mengompol atau kesulitan menahan buang air
keberadaan kanker dalam tubuh, bukan kecil
dikarenakan keberadaan sel kanker lokal.
Keadaan ini disebabkan oleh faktor imunitas 42. Uveitis
humoral yang dikeluarkan oleh sel kanker atau Adalah proses inflamasi pada salah satu atau
melalui respons imunitas melawan tumor semua bagian dari uvea (iris, badan siliar/korpus
siliar, dan koroid). Uvea merupakan lapisan
34. Retensi urinari vaskular mata yang tersusun atas banyak
suatu keadaan penumpukan urine di kandung pembuluh darah yang dapat memberikan nutrisi
kemih dan tidak mempunyai kemampuan untuk kepada mata. Adanya peradangan pada area ini
mengosongkannya secara sempurna dapat mempengaruhi elemen mata yang lain
seperti kornea, retina, sklera, dan beberapa
35. Sindrom Brown-sequard elemen mata penting lainnya.
Adalah gangguan pada fungsi motorik dan
sensorik yang disebabkan hemiseksi lateral dari
medulla spinalis. 43. Vertical gaze palsies
Gangguan gerakan bola mata ke atas dan atau ke
bawah.
PENDAHULUAN
10
11
Multipel Sklerosis (MS) merupakan penyakit demielinisasi pada sistem saraf pusat yang
diakibatkan oleh proses autoimun. Jumlah kasus MS di Indonesia tidak banyak bila dibandingkan
(1) Meskipun demikian penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan dan membutuhkan biaya
perawatan yang cukup besar. Penegakan diagnosis sedini mungkin dan pemberian terapi yang
Penegakan diagnosis MS di Indonesia masih jauh dari memuaskan. Masih banyak pasien MS yang
harus menunggu bertahun-tahun untuk bisa sampai pada diagnosis MS. Keterbatasan fasilitas di
Indonesia juga turut mempengaruhi kondisi ini. Ditambah lagi dengan ketersediaan obat dengan
Untuk itu dibutuhkan suatu pedoman bagi para tenaga kesehatan dalam menangani kasus MS yang
Pedoman ini disusun dengan tujuan memberikan panduan bagi para tenaga kesehatan dalam
(NMO) serta bagaimana melakukan terapi yang sesuai dengan kondisi pasien.
Pedoman ini ditujukan terutama untuk Spesialis Saraf di Indonesia. Selain itu guidelines ini juga
bisa dipergunakan oleh dokter spesialis lain dan dokter umum yang bersinggungan dengan MS.
Pedoman ini diharapkan juga dapat bermanfaat di tingkat layanan primer dengan harapan dapat
Penyusunan pedoman MS ini masih jauh dari sempurna. Panduan yang dicantumkan disesuaikan
dengan kondisi di Indonesia pada umumya sehingga tidak mencakup semua terapi yang saat ini
sudah digunakan di negara-negara maju. Keterangan tentang obat-obat baru yang belum masuk di
Indonesia kami sajikan dalam bentuk keterangan singkat. Literatur yang digunakan sebagai dasar
11
12
penyusunan tidak seluruhnya merupakan suatu studi klinis acak terandomisasi. Untuk
menyesuaikan dengan kondisi di Indonesia beberapa literatur dengan tahun terbitan sebelum tahun
Besar harapan kami kondisi pelayanan kesehatan MS di Indonesia akan terus membaik di tahun-
tahun mendatang. Untuk itu pedoman ini juga harus mengikuti perkembangan yang terjadi.
METODOLOGI
1. Tim Penyusun
12
13
Tim penyusun Pedoman Multipel Sklerosis ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Ketua
Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PP PERDOSSI) nomor:
Sklerosis.
Tim penyusun yang terbentuk kemudian menentukan tim kecil yang bertugas membuat konsep
pedoman. Tim kecil juga menyusun pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar dalam pedoman ini
serta menyusun rencana kerja. Hasil kerja tim kecil selanjutnya disampaikan kepada tim penyusun
2. Keterlibatan Penyandang MS
Keterlibatan penyandang MS dalam penyusunan pedoman ini menjadi bagian yang sangat penting.
Berbagai isu dan masalah dalam penanganan kasus MS di Indonesia dalam perspektif para
Sebelum penyusunan dimulai, tim penyusun menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD)
dengan Indonesia Multiple Sclerosis Group (IMSG) yang diketuai oleh ibu Kanya Puspokusumo.
Penelusuran literatur dimulai dengan penyusunan pertanyaan klinis yang sesuai dengan cakupan
13
14
Pencarian literatur dilakukan dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi serta rentang
tahun publikasi. Literatur yang didapatkan kemudian ditelaah dengan kritis dan hasilnya ditabulasi
untuk selanjutnya didiskusikan dengan seluruh tim penyusun sebagai dasar pembentukan
pedoman.
14
15
Salah satu yang dikeluhakan oleh para pasien MS pada focus group discussion adalah sangat
minimnya informasi yang diberikan oleh pihak layanan kesehatan kepada mereka seputar penyakit
MS. Mulai dari tidak adanya media informasi di layanan kesehatan hingga pengetahuan dokter
Pasien MS yang datang berobat umumnya dalam kondisi psikologis yang cukup rentan apalagi
mereka yang masih dalam tahap penegakan diagnosis. Mereka yang telah mencari informasi
tentang MS seringkali datang dengan kondisi menyangkal dan berharap tidak divonis menderita
MS. Untuk itu para dokter perlu lebih cermat, berhati-hati dan menjaga kondisi psikologis pasien
pada saat berkomunikasi. Prinsip-prinsip komunikasi yang baik dapat dilihat pada tabel 3.
15
16
Mengingat MS merupakan penyakit kronik maka hubungan dokter dan pasien MS harus dibangun
sedemikian rupa agar menjadi suatu bentuk kerjasama yang baik. Salah satu strategi yang dapat
Dalam konsep ini pasien diposisikan sebagai mitra. Dokter harus dapat membangun motivasi dan
kerjasama dengan pasien. Memberikan dukungan bagi pasien dan keluarganya untuk ikut
mengambil bagian dalam menyepakati dan membuat keputusan medis. Untuk itu dokter perlu
memberikan informasi seoptimal mungkin terkait dengan penyakit yang diderita pasien. Gejala
klinis neurologi dan penyebabnya tidak selalu mudah dipahami oleh orang awam. Misalnya,
seorang dokter harus dapat menjelaskan tentang hemiparesis bahwa masalahnya tidak pada
ektremitas namun ada di sistim saraf pusat karena itu diperlukan pemeriksaan imaging otak. Pasien
MS dan keluarga perlu mendapatkan pemahaman tentang berbagai bentuk perjalanan penyakit
misalnya apa itu perjalanan penyakit yang akut, kronik , remisi-eksaserbasi, progresif dan lain-
lain. Diagnosis klinis merupakan proses yang dinamik karena itu sebaiknya menyampaikan
Sangat penting untuk memahami aspek emosional dari penyakit kronik yang dialami oleh pasien.
Pemahaman tentang masalah ini hanya dapat dicapai bila terdapat pertukaran informasi yang
efektif antara dokter-pasien melalui kecakapan komunikasi yang sensitif. Kegagalan memahami
dampak emosional MS bagi pasien akan mengakibatkan hilangnya motivasi dan kerjasama pasien
16
17
Tujuan yang diharapkan dicapai dalam hubungan dokter-pasien dalam perawatan collaborative
pasien MS :
Hubungan dokter – pasien merupakan proses yang komp leks dan rumit . Dapat disimpulkan tiga
hal yang berlangsung pada interaksi ini adalah: pengumpulan data klinis yang berkualitas,
membangun hubungan yang harmonis dan memberikan edukasi serta motivasi bagi pasien dan
keluarganya.
17
18
Diagnosis MS ditegakkan secara klinis dan tidak ada satu pun pemeriksaan definitif untuk MS.
Penegakan diagnosis memerlukan pemeriksaan neurologis dan pengamatan klinis dalam kurun
waktu tertentu.(3)(4) Pada pusat layanan kesehatan dengan fasilitas yang lengkap sekalipun, tidak
mudah untuk dapat menegakkan diagnosis MS pada stadium yang sangat dini. Hal ini penting
untuk dijelaskan pada pasien agar terjalin kerjasama yang baik antara dokter dan pasien dalam
Umumnya pasien MS datang dengan gejala dan tanda neurologis dengan pola klinis remisi dan
eksaserbasi. Diagnosis MS harus dipertimbangkan pada pasien yang datang dengan episode
pertama gejala neurologis atau tanda yang menyokong suatu proses demielinisasi dan tidak ada
kemungkinan penyebab lainnya.(5) Episode pertama dari manifestasi klinis demyelinisasi ini
Pasien dengan tersangka CIS harus dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis
MS.(7)
- Menurunnya ketajaman penglihatan pada satu mata yang dapat disertai dengan nyeri pada
pergerakan mata
- Pandangan ganda
- Gangguan keseimbangan
18
19
Pada kasus CIS, MS dicurigai pada pasien yang umumnya memiliki usia kurang dari 50 tahun,
memiliki riwayat remisi eksaserbasi dan gejala berlangsung lebih dari 24 jam serta dapat bertahan
selama beberapa hari atau minggu untuk kemudian dapat mengalami perbaikan.
Kriteria diagnosis MS yang paling sering dipakai pada saat ini adalah McDonald Criteria of the
Kriteria MCDonald yang direvisi pada tahun 2010 untuk menentukan diagnosa MS adalah sesuai
Gejala neurologis progresif yang Progresivitas penyakit dalam satu tahun terakhir
menyerupai MS (Primary Ditambah dua dari 3 kriteria :
Progressive MS) 1. DIS pada otak ≥1, berdasarkan potongan T2
minimal 1 area khas MS (periventrikuler,
jukstakortikal atau infratentorial)
2. Terdapat DIS pada medulla spinalis ≥ 2
3. Terdapatnya hasil positif pada cairan
serebrospinal (CSS) (oligoclonal band (OCB)
dan atau peningkatan IgG)
*Tetapi apabila pada pemeriksaan MRI kepala tidak ditemukan kelainan yang sesuai dengan MS maka
diagnosis MS perlu dipertimbangkan kembali
Serangan atau relaps atau eksaserbasi adalah suatu gejala klinis neurologis yang dapat berlansung saat ini
atau pernah dialami sebelumnya mencerminkan inflamasi demyelinisasi akut pada sistem saraf pusat tanpa
disertai demam atau tanda infeksi dengan durasi minimal 24 jam. Gejala tersebut dapat berasal dari
anamnesis atau dari pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan MRI
DIS (Disseminated Lesion in Space) tampak pada potongan T2 setidaknya pada 2 dari 4 area:
1. Periventrikular
2. Juxtacortical
3. Infratentorial
4. Medula spinalis
Penyangatan terhadap kontras tidak dibutuhkan lagi. Jika terdapat sindrom batang otak atau
medula spinalis tertentu, lesi simtomatik ini dieksklusi dari kriteria dan tidak dihitung.
1. Terdapatnya lesi lain yang asimtomatik yang menyangat atau tidak menyangat kontras.
Atau
2. Adanya l Lesi baru pada T2 atau yang menyangat kontras pada MRI yang dilakukan pada
20
21
Seringkali pasien datang dengan gejala dan tanda yang belum lengkap sehingga dapat
menimbulkan keraguan pada saat penegakan diagnosis MS. Pada kondisi tersebut sangat
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut yang bertujuan untuk menyingkirkan
kemungkinan diagnosis lain dan mendapatkan data-data yang mendukung DIT dan DIS. Pada
evaluasi hasil pemeriksaan MRI jika memungkinkan interpretasi MRI dikonfirmasi dengan ahli
neuroradiologi.(5)(3) Untuk evalusi DIS, selain dengan MRI dapat juga dilakukan dengan
pemeriksaan evoked potensial (EP). Dalam hal ini visual evoked potential (VEP) menjadi pilihan
pertama.(3)(8)(9)(10)
MRI merupakan pemeriksaan yang cukup sensitif untuk mendeteksi lesi MS. Dibandingkan
dengan CT Scan, MRI jauh lebih superior dan bermanfaat dalam menegakkan diagnosis MS.
Pemeriksaan MRI juga dapat mereduksi jumlah pemeriksaan penunjang lainnya. Pada kasus-kasus
dengan lesi MS yang cukup khas pemeriksaan OCB tidak lagi menjadi suatu keharusan demikian
pula dengan pemeriksaan VEP apabila kriteria DIT dan DIS telah terpenuhi. Meskipun demikian
di Indonesia fasilitas MRI belum tersebar merata. Jumlah pusat pelayanan kesehatan yang
memiliki MRI masih sedikit. Pemeriksaan MRI juga membutuhkan biaya yang cukup besar.
Sedangkan jumlah CT scan dibandingkan MRI lebih banyak tersedia dengan biaya yang jauh lebih
rendah dari MRI. CT scan meskipun tidak dapat mendeteksi lesi MS namun masih memiliki peran
Pemeriksaan EP bertujuan untuk mengukur aktifitas elektrik otak terhadap rangsangan pada jalur
saraf sensoris yang spesifik. EP bisa mendeteksi penurunan konduksi elektrik yang disebabkan
oleh kerusakan akibat demyelinisasi sepanjang jaras walaupun tingkat kerusakan tersebut sangat
21
22
kecil sehingga tak tampak pada pemeriksaan klinis. Diagnosis untuk MS bisa dilakukan bila
terdapat cukup bukti adanya proses demyelinisasi pada 2 area yang berbeda pada sistim saraf
pusat. Pemeriksaan EP bisa membantu memastikan adanya proses demyelinisasi yang kedua
walaupun secara klinis tak tampak. Terdapat tiga tipe pemeriksaan EP yang dipakai untuk
membantu diagnosa MS yaitu VEP , Brainstem Auditory Evoked Potentials (BAEP) dan Sensory
Evoked Potentials (SEP). Pada saat ini hanya VEP yang dipakai untuk menegakkan diagnosa MS
karena dianggap paling bermanfaat untuk menentukan gangguan transmisi sepanjang jalur saraf
optik. Movassat dkk yang meneliti perubahan VEP pada penderita MS menemukan adanya
kelainan pola dan waktu pada gelombang P100 dan P2 pada 84,5% penderita MS.(8)
Meskipun VEP berguna untuk menegakkan diagnosis MS tetapi penyakit lain juga bisa
memberikan hasil yang sama sehingga hasil ini tidak spesifik untuk MS. Pemeriksaan penunjang
kemungkinan diagnosis lainnya terutama infeksi intrakranial. Pada CSS akan didapatkan
peningkatan indeks imunoglobulin G (IgG) atau ditemukannya ≥2 OCB yang bisa menunjukkan
adanya proses demyelinisasi akibat inflamasi.(11)(12)(13) Pemeriksaan IgG dan OCB memiliki
sensitivitas yang tinggi tetapi tidak spesifik untuk MS. OCB juga dapat ditemukan pada penyakit
meningitis, neurosifilis, massa intrakranial, lesi vaskular juga pada penyakit neurologi herediter.
(14)
Dengan demikian hasil CSS harus dikaitkan dengan temuan klinis dan pemeriksaan lainnya.
Penegakan diagnosis MS tidak bisa hanya dari hasil CSS yang positif baik untuk OCB maupun
IgG index.
22
23
Peran CSS yang lebih penting adalah untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya.
Perjalanan penyakit MS dapat dibagi ke dalam beberapa subtipe. Penentuan subtipe penting untuk
23
24
Frekuensi subtipe ini sangat jarang. Penyakit berkembang progresif tetapi ada beberapa
episode perburukan yang berespon dengan baik terhadap steroid.
5. Benign MS(18)(21)
Subtipe ini ditemukan pada 5-8% kasus MS. Ditandai dengan disabilitas yang minimal
dengan nilai EDSS umumnya kurang dari 3.5 dan berlangsung lebih dari 20 tahun selama
durasi sakit. Diagnosis beningn MS lebih bersifat retrospektif. Hingga saat ini belum
diketahui faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor benign MS.
24
25
Diagnosis banding MS lainnya yang perlu dipertimbangkan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
25
26
Tabel 7. Diagnosis Banding Multipel Sklerosis. (18)(23)
Membedakan MS dan NMO adalah sangat penting. Kedua penyakit ini memiliki beberapa gejala
yang mirip dan tumpang tindih. Prevalensi NMO di Asia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
Eropa.(24) Selain itu respon terhadap terapi terutama disease-modifying therapy (DMT) dari
keduanya sangat berbeda. Oleh karenanya sebelum memutuskan memulai DMT pada pasien MS
Serangan neuritis optik pada NMO umumnya lebih berat dibandingkan dengan MS. Neuritis optik
bilateral atau neuritis optik (NO) yang berkembang cepat lebih sering ditemukan pada NMO.
Demikian pula dengan gambaran papil edema dan papil atrofi. Lapisan retina pada NMO juga
Seperti halnya pada NO, mielitis pada NMO juga lebih berat dibandingkan dengan MS. Pada
NMO umumnya mielitis berupa mielitis transversa dengan level sensorik simetris dan disfungsi
sfingter. Sedangkan mielitis pada MS umumnya mielitis transversa parsial dengan gejala yang
26
27
Mielitis pada NMO yang rekuren dapat disertai dengan mual dan cegukan akibat dari ekspansi lesi
ke medula. Gejala batang otak lainnya yang dapat timbul adalah muntah, vertigo, gangguan
pendengaran, kelumpuhan otot wajah, neuralgia trigeminal, diplopia, ptosis dan nistagmus.
Pemeriksaan MRI medula spinalis pada NMO memperlihatkan lesi yang meluas lebih dari 3
segmen vertebra. Lesi yang lebih pendek juga bisa ditemukan pada awal relaps atau sebagai residu
dari stadium atrofi. Lesi terutama terletak di servikal dan torakal pada bagian sentral dari
substansia grisea. Lesi tampak hiperintens pada T2 dan hipointens pada T1. Lesi servikal dapat
meluas hingga ke batang otak. Pada kondisi relaps lesi akan menyangat kontras.
Lesi medula spinalis MS sangat jarang yang meluas hingga melebihi 2 segmen vertebra.
Umumnya lesi terlihat pendek, asimetris dan terletak di segmen posterior pada penampang medula
spinalis. Lebih dari 50% MRI otak NMO normal pada awal penyakit. Dengan berjalannya waktu
dapat ditemukan lesi di substansia alba. Distribusi lesi otak NMO sesuai dengan area yang
memiliki ekspresi aquaporin 4 (AQP4) tinggi seperti sel ependim, hipotalamus dan batang otak.
Dapat juga ditemukan lesi yang tidak spesifik ataupun yang mirip dengan lesi MS.
Sebagian besar hasil pemeriksaan CSS pasien NMO memperlihatkan pleositosis dengan dominasi
monosit atau limfosit. Pleositosis lebih sering ditemukan pada lesi panjang lebih dari 3 segmen.
Sedangkan OCB bervariasi antara 0-37% terdeteksi pada CSS pasien NMO.
Kriteria diagnostik yang dipergunakan untuk menegakkan diagnosis NMO merujuk pada kriteria
27
28
ADEM, penyakit demielinisasi lainnya yang juga harus dibedakan dari MS dan NMO. Perbedaan
ADEM dengan MS yang banyak dikenal adalah pada perjalanan penyakitnya yang monofasik.
ADEM disertai dengan ensefalopati atau koma dengan gejala multifokal seperti gejala serebelum,
gangguan motorik, gangguan sensorik, neuritis optika ataupun mielitis. Umumnya ADEM
didahului dengan episode infeksi atau pasca-vaksinasi. Pada gambaran MRI tampak lesi multifokal
simetris atau lesi otak yang difus. Meskipun lebih dikenal dengan perjalanan penyakitnya yang
kognitif)
2. Berkembang dalam kurun waktu 1 minggu sampai 3 bulan. Timbul gejala baru yang
meliputi sindrom demielinisasi fokal/multifokal seperti neuritis optika atau mielitis dalam
3 bulan pertama setelah onset. Gejala baru ini tidak dipisahkan oleh suatu periode remisi
3. Disertai dengan perbaikan meskipun gejala sisa berupa defisit neurologis tetap ada
28
29
4. Gambaran MRI terutama memperlihatkan lesi substansia alba yang sesuai dengan klinis
yang bersifat:
a. Akut
f. Dapat disertai dengan lesi ganglia basalis tetapi bukan suatu keharusan.
29
30
30
31
TERAPI
Terapi relaps(28)(3)(29)(30)(31)(32)(33)
Beberapa bukti ilmiah baik meta-analisis maupun studi klinis terandomisasi memperlihatkan
efektivitas dari glukokortikoid dalam terapi relaps. Metilprednisolon (MP) IV atau oral dengan
dosis 500mg per hari selama 5 hari harus dipertimbangkan dalam pengobatan relaps (level A).
Selain itu terapi dengan MP IV 1gram per hari selama 3-5 hari juga dapat dipertimbangkan sebagai
alternatif.(3)
Dosis tapering oral sering kali dipergunakan pada pemakaian MP meskipun demikian hingga saat
ini tidak ada studi klinis terandomisasi yang membuktikan efektifitasnya. Sebuah studi kelas III
membuktikan tidak ada perbedaan laju kesembuhan pada 152 pasien yang mendapat terapi MP
dosis tinggi diikuti dengan prednison tapering dengan 112 pasien yang hanya mendapatkan MP
Terdapat beberapa studi klinis yang membandingkan efektifitas MP IV dan oral pada kasus MS
relaps.(35)(36) Sebuah studi kelas I membandingkan efek MP IV 500mg per hari dengan MP oral
500mg per hari selama 5 hari pada 35 pasien. Tidak didapatkan perbedaan kesembuhan yang
signifikan setelah 5 dan 28 hari pada kedua kelompok.(35) Review Cochrane menyimpulkan MP
oral dan IV memiliki efektifitas yang sama pada keluaran klinis, radiologis dan bioaviabilitas.
Meskipun demikian masih belum banyak bukti yang membuktikan ekuivalensi antara kedua terapi
ini.(37)
31
32
Pasien dengan neuritis optika juga disarankan untuk mendapatkan terapi MP IV. Studi yang
dilakukan oleh Optic Neuritis Study Group mendapatkan pasien neuritis optika yang diterapi
dengan MP IV memiliki risiko yang lebih kecil untuk berkembang menjadi MS dalam 2 tahun
berikutnya.(38)
* Relaps adalah suatu periode gangguan neurologis akut yang berlangsung lebih dari
24 jam dan tidak disebabkan oleh sebab lain seperti infeksi ataupun perubahan
suhu. Relaps juga dapat berupa perburukan gejala neurologis yang sebelumnya
sudah stabil selama minimal 30 hari
* Pasien dengan relaps direkomendasikan untuk mendapatkan terapi
Metilprednisolon IV 500-1000mg selama 3-5 hari (Level A)
* Alternatif terapi untuk relaps yang direkomendasikan adalah Metilprednisolon oral
500-1000mg selama 3-5 hari (Level A). Pemberian dapat dilakukan dengan dosis
tunggal atau terbagi
* Pasien dengan relaps neuritis optika disarankan untuk mendapatkan terapi
Metilprednisolon IV (Level A)
32
33
Hampir 2/3 dari pasien CIS memiliki lesi multipel pada gambaran MRI yang sesuai dengan lesi
MS.(39)(40) Pasien CIS dengan lesi otak pada pemeriksaan MRI memiliki risiko untuk
Beberapa studi memperlihatkan efektifitas dari interferon-β (IFNβ) dan glatiramer asetat (GA).
menjadi definit MS dengan rasio odd (OR) 0.53. Selain itu studi ini juga memperlihatkan terapi
IFNβ baik 1a maupun 1b telah terbukti efektif pada RRMS. Obat ini dapat menurunkan relaps rate
Pilihan lainnya yang juga efektif untuk terapi RRMS adalah glatiramer acetat (GA). Bukti-bukti
kelas I memperlihatkan GA dapat menurunkan frekuensi serangan baik klinis maupun radiologis
Fingolimod, satu-satunya sediaan oral untuk terapi MS, juga direkomendasikan untuk RRMS.
Fingolimod merupakan modulator reseptor sfingosin-1-fosfat. Obat ini bekerja dengan menyerap
limfosit yang bersirkulasi dalam kelenjar getah bening.(55) Pada uji fase II dan 2 studi pivotal fase
3, fingolimod terbukti efektif untuk RRMS.(56) Pemanjangan masa observasi dari 6 bulan hingga
3 tahun pada uji fase 2 tetap memperlihatkan efektifitas fingolimod dalam menurunkan ARR dan
aktivitas penyakit yang dilihat dari jumlah lesi pada gambaran MRI.(56)
33
34
Studi fase III fingolimod, FREEDOMS, merupakan uji klinis terkontrol pada pasien RRMS
dengan jumlah sample 1272 orang. Pada studi ini fingolimod berhasilkan menurunkan ARR
menjadi 55% untuk dosis 0.5mg dan 60% untuk dosis 1.25mg. Selain itu risiko progresifitas
disabilitas juga menurun dalam 24 bulan yang mulai terlihat sejak 6 bulan pertama.(57)
Studi fase III lainnya, TRANSFORMS, memperlihatkan ARR pada penggunaan fingolimod lebih
Tabel 9. Terapi Disease Modifying Drug (DMD) Lini pertama untuk RRMS
Nama Obat Dosis Cara Level
pemberian
IFNβ-1b (Betaferon) 250mg selang 1 hari sc I
IFNβ-1a (Avonex) 30mg 1x/minggu im I
IFNβ-1a (Rebif) 22 atau 44mg sc I
3hari/minggu
Glatiramer Acetat (Copaxone) 20mg 1x/hari sc I
Fingolimod (Gilenya) 0.5mg 1x/hari po I
Terapi lini kedua dipergunakan pada kasus-kasus yang mengalami kegagalan atau intoleran dengan
terapi lini pertama. Obat-obat yang tergolong dalam terapi lini kedua dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
34
35
Uji klinis Mitoxantrone pada pasien RRMS yang mengalami perburukan atau SPMS
2
memperlihatkan Mitoxantrone 12mg/m setiap 3 minggu bermakna menurunkan jumlah relaps,
progresifitas disabiliti dan lesi baru pada T2 bila dibandingkan dengan plasebo.(60)
Natalizumab merupakan antibodi monoklonal yang bekerja dengan menghambat lekosit integrin
a4 sehingga mencegah migrasi limfosit dan monosit melewati sawar darah otak. Uji klinis fase III
Penelitian tersebut dihentikan karena alasan keamanan. Beberapa kasus progressive multifocal
tersebut natalizumab hanya direkomendasikan pada RRMS yang tidak berespon dengan terapi lini
pertama atau bisa menjadi pilihan pertama pada pasien RRMS yang agresif.(63)
Azathioprine
Uji klinis terandomisasi yang membandingkan efikasi dari Azathioprin dibandingkan dengan IFNβ
mendapatkan efikasi Azathioprin tidak lebih inferior dibandingkan dengan IFNβ.(64) Selain itu
Azathioprin efektif dalam menurunkan jumlah lesi inflamasi di otak pada gambaran MRI dengan
efek samping yang dapat ditoleransi.(65) Azathioprin meskipun cukup efektif namun hingga saat
ini belum termasuk dalam pilihan terapi lini pertama untuk MS. Hal ini didasarkan pada adanya
peningkatan risiko kanker pada pemakaian Azathioprin. Akan tetapi intervention review yang
dilakukan pada pemakaian Azathioprin sebagai terapi MS memperlihatkan tidak ada peningkatan
risiko kanker. Efek samping jangka panjang diduga berhubungan dengan lama durasi yang lebih
35
36
Studi open label pada progresif MS yang membandingkan MMF dengan plasebo memperlihatkan
efikasi dari MMF dan efek samping yang dapat ditolerir. Selain itu studi lain juga memperlihatkan
kombinasi antara MMF dan IFNβ pada RRMS menunjukkan efikasi yang lebih superior
dibandingkan dengan IFNβ saja. Meskipun demikian pemakaian MMF pada MS hingga saat ini
Tujuan pengobatan pada SPMS adalah memperlambat atau menstabilkan disabilitas dan
Pasien pada fase SPMS umumnya lebih sulit diterapi dibandingkan dengan RRMS. Studi
SPECTRIMS memperlihatkan IFNβ-1a sc bermakna dalam menurunkan kejadian relaps dan lesi
Obat lain yang dapat dipergunakan pada SPMS adalah Mitoxantron. Studi MIMS memperlihatkan
Tujuan pengobatan PPMS adalah menstabilkan penyakit, terapi suportif dan meningkatkan
kualitas hidup. Hingga saat ini belum ada obat yang direkomendasikan untuk PPMS termasuk
36
37
Pemantauan terapi
Pemantauan respon terapi dianjurkan meliputi aspek klinis dan MRI.
Pemeriksaan MRI sebaiknya diulang 6-12 bulan setelah terapi dimulai untuk mengevaluasi adanya
lesi aktif yang baru. Apabila dalam periode tersebut didapatkan 2 atau lebih lesi aktif yang baru
disertai dengan relaps atau peningkatan disabilitas, maka perubahan terapi harus dipertimbangkan.
Apabila lesi aktif tidak disertai dengan aktivitas klinis seperti relaps atau peningkatan disabilitas
maka pasien harus dipantau dengan ketat. Jika dalam pemantauan tersebut terjadi perburukan
Pada pasien yang tidak ditemukan lesi aktif, maka evaluasi klinis dan MRI harus dilakukan
Untuk evaluasi klinis dianjurkan menggunakan Expanded Disability Status Scale (EDSS)
(lampiran 1).(71)
37
38
Interferon-β
Beberapa efek samping IFNβ telah dilaporkan. Reaksi pada lokasi penyuntikan dapat terjadi pada
awal terapi. Tehnik penyuntikan yang benar dapat mengurangi risiko efek samping tersebut. Efek
samping lainnya yang cukup sering adalah flu-like symptoms. Keluhan ini umumnya bersifat
sementara dan dapat diminimalisir dengan melakukan titrasi dosis pada awal pemberian. Pasien
38
39
yang akan mendapatkan IFNβ juga perlu ditanyakan riwayat gangguan psikiatri sebelumnya.
Kejadian depresi, ide bunuh diri dan bunuh diri pernah dilaporkan pada pemakaian IFNβ. Pasien
yang memiliki riwayat gangguan tersebut harus mendapatkan perhatian khusus selama terapi.
Apabila selama terapi gejala psikiatri muncul maka penghentian IFNβ perlu dipertimbangkan.
Gangguan fungsi hepar dan pansitopenia juga dilaporkan pada pemakaian IFNβ. Pemantaun fungsi
hepar dan darah perifer lengkap perlu dilakukan pada 1, 3 dan 6 bulan awal pemakaian obat.
Selanjutnya evaluasi dilakukan setiap 6-12 bulan atau sesuai dengan gejala klinis. Fungsi tiroid
juga perlu dievaluasi pada pasien yang memiliki riwayat gangguan fungsi tiroid sedikitnya setiap 6
bulan sekali. Efek samping IFNβ lainnya yang pernah dilaporkan adalah kejang, limfadenopati dan
reaksi anafilaktik.(70)(72)(73)
Fingolimod
Efek samping yang sering timbul pada pemakaian Fingolimod 0.5mg/hari berdasarkan studi
FREEDOMS (vs plasebo) adalah infeksi saluran nafas bawah (10% vs 6%), nyeri kepala (25% vs
23%), infeksi virus influenza (13%vs10%), abnormalitas fungsi hepar (16%vs5%), nyeri
punggung (12%vs7%), diare (12%vs7%) dan hipertensi (6%vs4%). Efek samping yang lebih
serius yang juga dilaporkan pada studi FREEDOMS adalah bradikardia (0.9%vs0.2%) dan
atrioventricular (AV) blok (0.2%). Penurunan denyut jantung muncul kurang lebih 2 jam setelah
dosis awal dan mencapai maksimal setelah 5 jam (menurun 8 denyut/menit dari rata-rata denyut
jantung istirahat). Pemeriksaan EKG pada hari pertama terapi memperlihatkan AV blok derajat I
pada 5% pasien dengan fingolimod dan 1% pada plasebo. Bradikardi dan AV blok membaik
39
40
Karsinoma sel basal dilaporkan pada pemakaian fingolimod 0.5mg/hari pada 0.9% pasien. Selain
itu limfosit menurun 70%. Efek samping lainnya adalah edema makular yang dilaporakan pada
studi TRANSFORMS.
* Darah perifer lengkap harus diperiksa sebelum dan secara berkala selama terapi. Hal ini
* Vaksinasi Varicella Zoster harus dilakukan 1 bulan sebelum memulai terapi apabila
* Selama terapi fingolimod, tekanan darah dan fungsi hepar harus terpantau
* Pemeriksaan oftalmologi juga dianjurkan dilakukan sebelum terapi dan 3-4 bulan
berikutnya mengingat adanya risiko edema makular. Risiko ini meningkat pada pasien
Azathioprin(66)(74)
gastrointestinal yang muncul berupa anoreksia, mual, muntah dan nyeri abdomen. Sedangkan
3
masalah hematologi yang banyak dilaporkan adalah leukopenia (leukosit <3000/mm ). Selain itu
Gangguan fungsi hepar juga cukup banyak didapatkan (kedua setelah hematologi). Efek samping
lainnya yang juga dilaporkan adalah infeksi paru-paru (pneumonia), infeksi saluran kemih,
40
41
karsinoma dan bunuh diri. Risiko keganasan meningkat pada terapi jangka panjang (lebih dari 10
Untuk pemakaian Azathioprin perlu dilakukan pemantauan seperti tabel berikut ini:
Tabel 11. Pemantuan pada terapi dengan Azathioprin
Terapi dianjurkan untuk dihentikan dan dievaluasi kembali apabila (Tabel 12):
Tabel 12. Pertimbangan penghentian terapi Azathioprin
Leukosit <3500
Neutrofil <2000
Trombosit <150.000
SGOT dan SGPT meningkat 2x lipat dari batas atas nilai normal
MCV>105fl
Timbul kemerahan dan ulkus mukosa mulut
Perdarahan
Radang tenggorokan berat
obat tersebut
mengganti ACE-Inhibitors
41
42
nyawa
42
43
Lampiran 1
Sistem fungsional dan Expanded Disability Status Scale (EDSS)(71)
Sistem Fungsional.
Fungsi Piramidal
0. Normal.
2. Disabilitas minimal.
6. Quadriplegia.
V. Tidak diketahui.
Fungsi Serebelum
0. Normal.
2. Ataksia ringan.
V. Tidak diketahui.
X. Digunakan pada setiap angka saat kelemahan (tingkat 3 atau lebih pada piramidal) mengganggu penilaian.
0. Normal.
3. Nistagmus berat, kelemahan berat ekstraokular, atau disabilitas sedang pada saraf kranial lainnya.
V. Tidak diketahui.
43
44
0. Normal.
1. Vibrasi atau hanya ketidakmampuan untuk menilai figure-writing, dalam satu atau dua ekstremitas.
2. Gangguan sensoris yang ringan pada sentuhan atau rasa sakit atau position sense, dan/atau penurunan vibrasi yang
sedang pada satu atau dua anggota ekstremitas atau penurunan vibrasi, figure writing pada tiga atau empat
ekstremitas.
3. Gangguan sensoris yang sedang pada sentuhan atau rasa sakit atau position sense, dan/atau vibrasi yang hilang pada
satu atau dua ekstremitas; atau gangguan sensoris yang ringan pada sentuhan atau rasa sakit dan/atau gangguan
sensoris yang sedang dalam semua tes proprioseptif pada tiga atau empat ekstremitas.
4. Gangguan sensoris yang berat pada sentuhan atau rasa sakit atau hilangnya propriosepsi, baik sendiri maupun
digabungkan, pada satu atau dua ekstremitas; atau gangguan sensoris yang sedang pada sentuhan atau rasa sakit
dan/atau penurunan proprioseptif parah dalam lebih dari dua anggota badan.
5. Kehilangan sensasi dalam satu atau dua anggota badan; atau penurunan menengah dalam sentuhan atau rasa sakit
dan/atau gangguan sensoris propriosepsi yang berat pada sebagian besar tubuh di di bawah kepala.
6. Gangguan sensoris yang pada dasarnya hilang pada seluruh bagian tubuh di bawah kepala.
V. Tidak diketahui.
0. Normal.
2. Gangguan sedang berupa hesitansi, urgensi, retensi dari usus atau kandung kemih, atau inkontinensia urin.
V. Tidak diketahui.
0. Normal.
2. Mata yang lebih buruk dengan skotoma berketajaman visual maksimal (dikoreksi) 20/30 sampai 20/59.
3. Mata lebih buruk dengan skotoma yang besar, atau gangguan sedang pada lapangan pandang, tetapi dengan
ketajaman visual maksimal (dikoreksi) 20/60 sampai 20/99.
4. Mata lebih buruk dengan gangguan berat pada lapangan pandang dan ketajaman visual maksimal (dikoreksi) 20/100
sampai 20/200; derajat 3 ditambah ketajaman maksimal mata lebih baik 20/60 atau kurang.
5. Mata lebih buruk dengan ketajaman visual maksimal (dikoreksi) kurang dari 20/200; tingkat 4 ditambah ketajaman
maksimal mata yang lebih baik 20/60 atau kurang.
6. Tingkat 5 ditambah ketajaman visual maksimal mata yang lebih baik 20/60 atau kurang.
44
45
V. Tidak diketahui.
0. Normal
V. Tidak diketahui.
Fungsi Lain.
0. Tidak ada.
V. Tidak diketahui.
0 = Pemeriksaan neurologis normal (semua derajat 0 dalam Functional System [FS]; Cerebral derajat 1
diterima).
1,0 = Tidak ada disabilitas, tanda minimal dalam satu FS (contohnya, derajat 1 pada semua FS, dengan
mengecualikan Cerebral derajat 1).
1,5 = Tidak ada tanda minimal disabilitas pada lebih dari satu FS (lebih dari satu FS dengan derajat 1 dengan
2,5 = Disabilitas minimal dalam dua FS (dua FS derajat 2, lainnya 0 atau 1).
3,0 = Disabilitas sedang dalam satu FS (satu FS derajat 3, lainnya 0 atau 1), atau disabilitas ringan dalam
tiga atau empat FS (tiga/empat FS derajat 2, lainnya 0 atau 1) meskipun sepenuhnya ambulatori.
3,5 = Ambulatori penuh, tetapi disabilitas sedang dalam satu FS (satu derajat 3) dan satu atau dua FS
dengan derajat 2; atau dua FS derajat 3; atau lima FS derajat 2 (lainnya 0 atau 1).
4,0 = Ambulatori penuh tanpa bantuan, mandiri, bisa bangun dan beraktivitas selama kira-kira 12 jam
sehari meskipun mengalami disabilitas yang relatif parah, terdiri dari satu FS derajat 4 (lainnya 0 atau
1), atau kombinasi derajat lebih rendah yang melampaui batas tahap sebelumnya. Bisa berjalan tanpa
bantuan atau istirahat kira-kira 500 meter.
4,5 = Ambulatori penuh tanpa bantuan, bangun dan beraktivitas hampir sepanjang hari, bisa bekerja sehari
penuh, terkadang memiliki keterbatasan pada aktivitas sehari-hari atau membutuhkan bantuan minimal;
yang dicirikan oleh disabilitas yang relatif parah, biasanya terdiri dari salah satu FS dengan derajat
45
46
4 (lainnya 0 atau 1) atau kombinasi derajat lebih rendah yang melampaui batasan tahap sebelumnya.
Bisa berjalan tanpa bantuan atau istirahat kira-kira 300 meter.
5,0 = Ambulatori tanpa bantuan atau istirahat sejauh kira-kira 200 meter; disabilitas yang cukup parah
untuk mengganggu aktivitas sehari penuh (misalnya, untuk bekerja sehari penuh tanpa ketentuan
khusus). ( Ekuivalen FS yang biasa adalah satu FS derajat 5 sendiri, lainnya 0 atau 1; atau kombinasi
derajat di bawahnya yang biasanya melampaui spesifikasi untuk tahap 4,0.)
5,5 = Ambulatori tanpa bantuan atau istirahat selama kira-kira 100 meter; disabilitas yang cukup parah
untuk menghalangi aktivitas sehari penuh. (Ekuivalen FS yang biasa adalah satu derajat 5 sendiri, lainnya
0 atau 1; atau kombinasi derajat di bawahnya yang biasanya melampauinya untuk tahap 4,0.)
6,0 = Bantuan konstan yang berselang atau unilateral (tongkat, tongkat ketiak, atau penahan) yang
dibutuhkan untuk berjalan kira-kira 100 meter dengan atau tanpa istirahat. (Ekuivalen FS yang biasa
adalah kombinasi dengan lebih dari dua FS derajat 3+.)
6,5 = Bantuan bilateral konstan (tongkat, tongkat penyangga, atau penopang) yang dibutuhkan untuk
berjalan sekitar 20 meter tanpa istirahat. (Ekuivalen FS yang biasa adalah kombinasi dengan lebih dari
dua FS derajat 3+.)
7,0 = Tidak bisa berjalan melebihi kira-kira 5 meter bahkan dengan bantuan, pada dasarnya terbatas hanya
pada kursi roda; memutar roda kursi roda standar sendiri dan bergerak sendiri; bangun dan beraktivitas
kira-kira 12 jam sehari. (Ekuivalen FS yang biasa adalah kombinasi dengan lebih dari satu FS derajat
4+; kadang-kadang, Piramidal derajat 5 sendiri.)
7,5 = Tidak bisa berjalan lebih dari beberapa langkah, hanya terbatas pada kursi roda; membutuhkan
bantuan untuk berpindah; bisa memutar roda sendiri tetapi tidak bisa melakukannya sehari penuh;
terkadang bisa membutuhkan kursi roda bermotor. (Ekuivalen FS yang biasa adalah kombinasi dengan
lebih dari satu FS derajat 4+.)
8,0 = Pada dasarnya, terbatas hanya di kasur atau kursi atau berjalan dengan bantuan kursi roda, tetapi
bisa bangun dari kasur sendiri hampir sepanjang hari; mempertahankan banyak fungsi yang mandiri;
biasanya dapat menggunakan lengan dengan efektif. (Ekuivalen FS yang biasa adalah kombinasi,
biasanya derajat 4+ di berbagai sistem.)
8,5 = Pada dasarnya, terbatas hanya di tempat tidur hampir sepanjang hari; bisa menggunakan lengan/kedua
lengan dengan efektif; bisa melakukan beberapa kegiatan secara mandiri. (Ekuivalen FS yang biasa
adalah kombinasi, biasanya derajat 4+ di berbagai sistem.)
9,0 = Pasien tidak berdaya; masih bisa berkomunikasi dan makan. (Ekuivalen yang biasa adalah
makan/menelan. ( Ekuivalen FS yang biasa adalah kombinasi, hampir semua derajat 4+.)
46
47
Lampiran 2.
Clinical Presentation
a
≥2 attacks ; objective clinical
evidence of ≥2 lesions or
objective clinical evidence of 1
lesion with reasonable historical
evidence of a prior attackb
a
≥2 attacks ; objective clinical
evidence of 1 lesion
a
1 attack ; objective clinical
evidence of ≥2 lesions
a
1 attack ; objective clinical
evidence of 1 lesion (clinically
isolated syndrome)
47
48
Daftar Pustaka
1. Atlas-of-MS.pdf [Internet]. [cited 2015 Feb 3]. Available from: http://www.msif.org/wp-content/uploads/2014/09/Atlas-
of-MS.pdf
2. Eccles M, Mason J. How to develop cost-conscious guidelines. Health Technology Assessment 2001; 5(16): 1-83
3. National Collaborating Centre for Chronic Conditions (Great Britain), Royal College of Physicians of London., Chartered
Society of Physiotherapy (Great Britain). Multiple sclerosis: national clinical guideline for diagnosis and management in
primary and secondary care. London: Royal College of Physicians; 2004.
4. Polman CH, Reingold SC, Banwell B, Clanet M, Cohen JA, Filippi M, et al. Diagnostic criteria for multiple sclerosis:
2010 Revisions to the McDonald criteria. Ann Neurol. 2011 Feb;69(2):292–302.
5. National Collaborating Centre for Chronic Conditions (Great Britain), Royal College of Physicians of London., Chartered
Society of Physiotherapy (Great Britain). Multiple sclerosis: Management of multiple sclerosis in primary and secondary
care. London: Royal College of Physicians; 2003.
6. Marcus JF, Waubant EL. Updates on Clinically Isolated Syndrome and Diagnostic Criteria for Multiple Sclerosis.
The Neurohospitalist. 2013 Apr 1;3(2):65–80.
7. National Collaborating Centre for Chronic Conditions (Great Britain), Royal College of Physicians of London., Chartered
Society of Physiotherapy (Great Britain). Multiple sclerosis: Management of multiple sclerosis in primary and secondary
care. London: Royal College of Physicians; 2014
8. Movassat M, Piri N, AhmadAbadi MN. Visual evoked potential study in multiple sclerosis disease. Iranian
Journal of Ophthalmology 2009;21(4):37–44.
9. Fuhr P, Borggrefe-Chappuis A, Schindler C, Kappos L. Visual and motor evoked potentials in the course of multiple
sclerosis. Brain 2001; 124: 2162-2168
10. Beer S, Rösler KM, Hess CW. Diagnostic value of par aclinical tests in multiple sclerosis: relative sensitivities and specificities for
reclassification according to the Poser committee criteria. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1995;59(2):152–9.
11. Freedman MS, Thompson EJ, Deisenhammer F, Gtovannont G, Grimsley G, Ketr G, Ohman S, Racke MK, Sharief M,
Sindic CJ, Sellebjerg F, Tourtellotte WW. Recommended Standard of Cerebrospinal Fluid Analysis in the Diagnosis of
Multiple Sclerosis. A Concencus Statement. Arch Neurol 2005; 62: 865-870
12. Miller D, Weinshenker B, Filippi M, Banwell B, Cohen J, Freedman M, et al. Differential diagnosis of suspected
multiple sclerosis: a consensus approach. Mult Scler J. 2008 Nov 1;14(9):1157–74.
13. Siddiqui I, Aleem S, Kayani N, Baig S. CSF Oligoclonal Bands in Multiple Sclerosis. JPMA 2002; 52:351
14. Awad A, Hemmer B, Hartung H-P, Kieseier B, Bennett JL, Stuve O. Analyses of cerebrospinal fluid in the diagnosis
and monitoring of multiple sclerosis. J Neuroimmunol. 2010 Feb 26;219(1-2):1–7.
15. Vukusic S, Confavreux C. Natural history of multiple sclerosis: risk factors and prognostic indicators. Curr Opin
Neurol. 2007;20(3):269–74.
16. Goldenberg MM. Multiple sclerosis review. Pharm Ther. 2012;37(3):175.
17. Barnett MH, Prineas JW. Relapsing and remitting multiple sclerosis: Pathology of the newly forming lesion. Ann Neurol.
2004 Apr;55(4):458–68.
18. Malik O, Donnelly A, Barnett M 2014. Fast Fact: Multiple Sclerosis. Edisi ke-3. Oxford (UK). Health Press
19. Koch M, Kingwell E, Rieckmann P, Tremlett H, UBC MS Clinic Neurologists. The natural history of secondary
progressive multiple sclerosis. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2010;81(9):1039–43.
20. Giovannoni G. Primary Progressive Multiple Sclerosis. ACNR 2012; 12(3): 1-4
21. Arpaci E, Mavioglu H, Gedizlioglu M, Ce P, Ture S. Benign Multiple Sclerosis: A Retrospective Survey and Evaluation of
Descriptive Clinical Criteria. Journal of Neurological Sciences [Turkish] 2007: 24: 264-269
22. Miller D, Weinshenker B, Filippi M, Banwell B, Cohen J, Freedman M, et al. Differential diagnosis of suspected
multiple sclerosis: a consensus approach. Mult Scler J. 2008 Nov 1;14(9):1157–74.
23. Kes VB, Zavoreo I, Šeri ć V, Solter VV, Cesarik M, Hajnšek S, et al. Recomme ndations For Diagnosis And
Management Of Multiple Sclerosis. Acta Clin Croat. 2012;51(1):117–35.
24. Sellner J, Boggild M, Clanet M, Hintzen RQ, Illes Z, Montalban X, et al. EFNS guidelines on diagnosis and management of
neuromyelitis optica: Diagnosis and management of neuromyelitis optica. Eur J Neurol. 2010 Jun 7;17(8):1019–32.
25. Neuromyelitis Optica Study Group (NEMOS), Trebst C, Jarius S, Berthele A, Paul F, Schippling S, et al. Update on the
diagnosis and treatment of neuromyelitis optica: Recommendations of the Neuromyelitis Optica Study Group
(NEMOS). J Neurol. 2014 Jan;261(1):1–16.
26. Young N, Weinshenker B, Lucchinetti C. Acute Disseminated Encephalomyelitis: Current Understanding and
Controversies. Semin Neurol. 2008 Feb;28(1):084–94.
27. Alexander M, Murthy JMK. Acute disseminated encephalomyelitis: Treatment guidelines. Ann Indian Acad
Neurol. 2011;14(5):60.
28. Kira J, Yamasaki R, Yoshimura S, Fukazawa T, Yokoyama K, Fujihara K, et al. Efficacy of methylprednisolone pulse
therapy for acute relapse in Japanese patients with multiple sclerosis and neuromyelitis optica: A multicenter retrospective
analysis - 1. Whole group analysis. Clin Exp Neuroimmunol. 2013 Dec;4(3):305–17.
29. Gilhus NE, Brainin M, Barnes MP, editors. European handbook of neurological management. 2nd ed. Chichester, West
Sussex, UK: Wiley-Blackwell; 2010.
30. Durelli L, Cocito D, Riccio A, Barile C, Bergamasco B, Baggio GF, Perla F, Delsedime M, Gusmaroli G, Bergamini L.
High-dose intravenous methylprednisolone in the treatment of multiple sclerosis. Neurology 1986; 36: 238
31. Filipovic SR, Drulovic J, Stojsavljevic N, Levic Z. The effects of high-dose intravenous methylprednisolone on event-
related potentials in patients with multiple sclerosis. J Neurol Sci 1997; 152(2): 147-153
48
49
32. Milligan NM, Newcombe R, Compston DA. A double-blind controlled trial of high dose methylprednisolone in patients
with multiple sclerosis: 1. Clinical effects. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1987;50(5):511–6.
33. Sellebjerg F, Frederiksen JL, Nielsen PM, Olesen J. Double-blind, randomized, placebo-controlled study of oral, high-
dose methylprednisolone in attack of MS - PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2015 Jan 19]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9710030
34. Perumal JS, Caon C, Hreha S, Zabad R, Tselis A, Lisak R, Khan O. Oral prednisone taper following intravenous steroids
fails to improve disability or recovery from relapses in multiple sclerosis. Eur J Neurol 2008; 15(7): 677-80
35. Alam SM, Kyriakides T, Lawden M, Newman PK. Methylprednisolone in multiple sclerosis: a comparison of oral
with intravenous therapy at equivalent high dose. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1993;56(11):1219–20.
36. Barnes D, Hughes RAC, Morris RW, Wade-Jonnes O, Brown P, Britton T, Francis DA, Perkin GD, Rudge P, Swash M,
Katifi H, Farmer S, Frankel J. Randomised trial of oral and intravenous methylprednisolone in acute relapses of multiple
sclerosis. Lancet 1997; 349: 902-906
37. Burton JM, O’Connor PW, Hohol M, Beyene J. Oral ver sus Intravenous Steroids for Treatment of Relapses in Multiple Sclerosis.
In: The Cochrane Collaboration, editor. Cochrane Database of Systematic Reviews [Internet]. Chichester, UK: John Wiley & Sons,
Ltd; 2009 [cited 2015 Jan 21]. Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD006921.pub2
38. Group ONS, others. Multiple sclerosis risk after optic neuritis: final optic neuritis treatment trial follow-up. Arch
Neurol. 2008;65(6):727.
39. Frohman EM, Goodin DS, Calabresi PA, Corboy JR, Coyle PK, Filippi M, et al. The utility of MRI in suspected MS
Report of the Therapeutics and Technology Assessment Subcommittee of the American Academy of Neurology.
Neurology. 2003;61(5):602–11.
40. Brex PA, Miszkiel KA, O’Riordan JI, Plant GT, Moseley IF, Thompson AJ, et al. Assessing the risk of early multiple sclerosis in
patients with clinically isolated syndromes: the role of a follow up MRI. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2001;70(3):390–3.
41. O’riordan JI, Thompson AJ, Kingsley DP, MacManus DG, Kendall BE, Rudge P, et al. The prognostic value of brain
MRI in clinically isolated syndromes of the CNS. A 10-year follow-up. Brain. 1998;121(3):495–503.
42. Comi G, Fillippi M, Barkhof F, Durelli L, Edan G, Fernandez O, Hartung HP, Seeldrayers, Sorensen PS, Rovaris M,
Martinelli, Hommes OR. Effect of early interferon treatment of conversion to definite multiple sclerosis: a randomised
study. Lancet 2001; 357: 1576-1582
43. Jacobs LD, Beck RW, Simon JH, Kinkel RP, Brownscheidle CM, Murray TJ, et al. Intramuscular interferon beta-1a
therapy initiated during a first demyelinating event in multiple sclerosis. N Engl J Med. 2000;343(13):898–904 .
44. Kappos L, Polman CH, Freedman MS, Edan G, Hartung HP, Miller DH, et al. Treatment with interferon beta-1b delays
conversion to clinically definite and McDonald MS in patients with clinically isolated syndromes. Neurology.
2006;67(7):1242– 9.
45. Comi G, Martinelli, Rodegher M, Moiola L, Bajenaru O, Carra A, Elovaara I, Fazekas F, Hartung HP, Hillert J, King J,
Komoly S, Lubetzki P, Montalban X, Myhr KM, M Ravnborg M, Rieckmann P, Wynn D, Young C, Filippi M. Effect of
glatiramer acetate on conversion to clinically definite multiple sclerosis in patients with clinically isolated syndrome
(PreCISe study): a randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet 2009; 374: 1501-1511
46. Clerico M, Faggiano F, Palace J, Rice GP, Tintorè Subirana M, Durelli L. Recombinant interferon beta or glatiramer acetate
for delaying conversion of the first demyelinating event to multiple sclerosis. In: The Cochrane Collaboration, editor.
Cochrane Database of Systematic Reviews [Internet]. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd; 2008 [cited 2015 Jan 22].
Available from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD005278.pub3
47. Paty DW, Li D, others. Interferon beta-1b is effective in relapsing-remitting multiple sclerosis II. MRI analysis results
of a multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Neurology. 1993;43(4):662–662.
48. Brown MG, Kirby S, Skedgel C, Fisk JD, Murray TJ, Bhan V, et al. How effective are disease-modifying drugs in
delaying progression in relapsing-onset MS? Neurology. 2007;69(15):1498–507.
49. Rudick RA1, Goodkin DE, Jacobs LD, Cookfair DL, Herndon RM, Richert JR, Salazar AM, Fischer JS, Granger CV, Simon
JH, Alam JJ, Simonian NA, Campion MK, Bartoszak DM, Bourdette DN, Braiman J, Brownscheidle CM, Coats ME, Cohan
SL, Dougherty DS, Kinkel RP, Mass MK, Munschauer FE, Priore RL, Whitham RH, et al. Impact of interferon beta-1a on
neurologic disability in relapsing multiple sclerosis. The Multiple Sclerosis Collaborative Research Group (MSCRG).
Neurology 1997; 49(2):358-63
50. Interferon beta-1b in the treatment of multiple sclerosis: final outcome of the randomized controlled trial. The IFNB
Multiple Sclerosis Study Group and The University of British Columbia MS/MRI Analysis Group - PubMed - NCBI
[Internet]. [cited 2015 Jan 23]. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/7617182
51. Ebers GC, PRISMS (Prevention of Relapses and Disability by interferon Beta-1a Subcutaneously in Multiple Sclerosis)
Study Group. Randomised double-blind placebo-controlled study of interferon Beta-1a in relapsing/remitting multiple
sclerosis. Lancet 1998; 352:1498-1504
52. Evidence of interferon beta-1a dose response in relapsing-remitting MS: the OWIMS Study. The Once Weekly Interferon
for MS Study Group.- PubMed - NCBI [Internet]. [cited 2015 Jan 23]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10489026
53. Johnson KP1, Brooks BR, Cohen JA, Ford CC, Goldstein J, Lisak RP, Myers LW, Panitch HS, Rose JW, Schiffer RB, Vollmer T,
Weiner LP, Wolinsky JS. Extended use of glatiramer acetate (Copaxone) is well tolerated and maintains its clinical effect on multiple
sclerosis relapse rate and degree of disability. Copolymer 1 Multiple Sclerosis Study Group.Neurology 1998; 50: 701-8
54. Comi G1, Filippi M, Wolinsky JS. European/Canadian multicenter, double-blind, randomized, placebo-controlled study of
the effects of glatiramer acetate on magnetic resonance imaging--measured disease activity and burden in patients with
relapsing multiple sclerosis. European/Canadian Glatiramer Acetate Study Group. Ann Neurol 2001: 49: 290-7
49
50
55. Mehling M1, Johnson TA, Antel J, Kappos L, Bar-Or A. Clinical immunology of the sphingosine 1-phosphate
receptor modulator fingolimod (FTY720) in multiple sclerosis. Neurology 2011;76(8 Suppl 3):S20-7.
56. Comi G1, O'Connor P, Montalban X, Antel J, Radue EW, Karlsson G, Pohlmann H, Aradhye S, Kappos L; FTY720D2201
Study Group. Phase II study of oral fingolimod (FTY720) in multiple sclerosis: 3-year results. Mult Scler 2010
Feb;16(2):197-207
57. Kappos L, Radue E-W, O’Connor P, Polman C, Hohlfeld R, Calabresi P, et al. A placebo-controlled trial of oral fingolimod
in relapsing multiple sclerosis. N Engl J Med. 2010;362(5):387–401.
58. Cohen JA, Barkhof F, Comi G, Hartung H-P, Khatri BO, Montalban X, et al. Oral fingolimod or intramuscular interferon
for relapsing multiple sclerosis. N Engl J Med. 2010;362(5):402–15.
59. Río J, Comabella M, Montalban X. Multiple sclerosis: current treatment algorithms: Curr Opin Neurol. 2011 Jun;24(3):230–7.
60. Hartung HP1, Gonsette R, König N, Kwiecinski H, Gus eo A, Morrissey SP, Krapf H, Zwingers T; Mitoxantrone in Multiple
Sclerosis Study Group (MIMS). Mitoxantrone in progressive multiple sclerosis: a placebo-controlled, double-blind,
randomised, multicentre trial. Lancet 2002;360(9350):2018-25.
61. Polman CH, O’Connor PW, Havrdova E, Hutchinson M, Kappos L, Miller DH, et al. A randomized, placebo-controlled
trial of natalizumab for relapsing multiple sclerosis. N Engl J Med. 2006;354(9):899–910.
62. Rudick RA, Stuart WH, Calabresi PA, Confavreux C, Galetta SL, Radue E-W, et al. Natalizumab plus interferon beta-1a
for relapsing multiple sclerosis. N Engl J Med. 2006;354(9):911–23.
63. Kappos L, Bates D, Hartung H-P, Havrdova E, Miller D, Polman CH, et al. Natalizumab treatment for multiple
sclerosis: recommendations for patient selection and monitoring. Lancet Neurol. 2007;6(5):431–41.
64. Massacesi L, Tramacere I, Amoroso S, Battaglia MA, Benedetti MD, Filippini G, et al. Azathioprine versus Beta Interferons
for Relapsing-Remitting Multiple Sclerosis: A Multicentre Randomized Non-Inferiority Trial. Ruprecht K, editor. PLoS
ONE. 2014 Nov 17;9(11):e113371.
65. Massacesi L, Parigi A, Barilaro A, Repice AM, Pellicanò G, Konze A, et al. Efficacy of azathioprine on multiple sclerosis
new brain lesions evaluated using magnetic resonance imaging. Arch Neurol. 2005;62(12):1843–7.
66. Casetta I, Iuliano G, Filippini G. Azathioprine for multiple sclerosis. In: The Cochrane Collaboration, editor. Cochrane Database
of Systematic Reviews [Internet]. Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd; 2007 [cited 2015 Feb 1]. Available
from: http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD003982.pub2
67. Neuhaus O, Kieseier BC, Hartung H-P. Immunosuppressive agents in multiple sclerosis. Neurotherapeutics. 2007;4(4):654–60.
68. Randomized controlled trial of interferon-beta-1a in secondary progressive MS [Internet]. [cited 2015 Jan 29]. Available
from: http://www.neurology.org/content/56/11/1505
69. Li DK1, Zhao GJ, Paty DW; University of British Columbia MS/MRI Analysis Research Group. The SPECTRIMS.
Study Group. Randomized controlled trial of interferon-beta-1a in secondary progressive MS: MRI results. Neurology
2001;56(11):1505-13.
70. Chu YR, Talley-Rostov AR. Cataract Surgery: New Options, New Challenges New lens options are presenting both
surgeons and patients with choices that until now were very straighforward. Earn one hour of CME credit. Rev
Ophthalmol. 2006;13(7):71.
71. Kurtzke JF. Rating neurologic impairment in multiple sclerosis an expanded disability status scale (EDSS).
Neurology. 1983;33(11):1444–1444.
72. MS_Monograph.pdf [Internet]. [cited 2015 Feb 1]. Available from:
http://www.freece.com/Files/Classroom/ProgramSlides/025feb83-fc05-4bb5-876c-8dec9e5e226d/MS_Monograph.pdf
73. Jankovic SM. Injectable interferon beta-1b for the treatment of relapsing forms of multiple sclerosis. J Inflamm Res. 2010;3:25.
74. Azathioprine and 6 mercaptopurine.pdf [Internet]. [cited 2015 Feb 7]. Available from:
http://www.westessexccg.nhs.uk/Downloads/Your%20NHS/Medicines%20Optimisation/Shared%20Care%20LATEST/Guidelin
es/Azathioprine%20and%206%20mercaptopurine.pdf
50
51
Index
A
ACE-Inhibitors ........................................ 8, 45 F
ADEM ........................................ 8, 28, 30, 32 fingolimod..............................................36, 42, 43, 53
Algoritma ............................................. 25, 40 flu-like symptoms......................................................41
Allupurinol .................................................. 9 Focus Group Discussion
Aminosalisilat ......................................... 9, 45 FGD..........................................................2, 10, 14
FREEDOMS...................................................... 36, 42
AQP4 .................................................. 8, 29
Arnold-Chiari malformation ........................... 8, 28
Ataxia ......................................... 9, 10, 27, 28 G
AV blok ................................................ 9, 42
Gilenya....................................................................37
Avonex .................................................... 37
Azathioprin ................................. 38, 43, 44, 45
H
B
Hesitansi..................................................................10
BAEP..................................................................9, 23
Benign MS................................................................25 I
Betaferon................................................................. 36
IFNβ..........................................35, 36, 37, 38, 39, 41
C Indeks imunoglobulin G (IgG)...................................10
Indonesia Multiple Sclerosis Group
CADASIL............................................................9, 27 IMSG...........................................................2, 6, 14
Central Pontine Myelinolysis.................................9, 28 infeksi...........9, 10, 21, 23, 24, 30, 32, 34, 42, 43, 44
Cerebral vaskulitis......................................................9 INFORMASI............................................................16
Clinically Isolated Syndrome........................... 9, 19, 35 Infratentorial.............................................................21
collaborative care...............................................17, 18 Interferon-β..............................................................41
Copaxone...........................................................37, 53
CRP.................................................................... 9, 44 J
CT scan..............................................................23, 32
Jan Purba...................................................................3
D Juxtacortical.............................................................21
Darma Imran..............................................................3 K
Deafferented hand.....................................................27
demyelinisasi.....................2, 9, 11, 19, 21, 23, 24, 30 Kanya Puspokusumo.........................................1, 2, 14
Disease-modifying therapy.......................................... 9 Komunikasi..........................................................4, 16
Dissemination in Space
DIT.................................................................9, 20
Dissemination in Time
L
DIT..........................................................10, 20, 22 Leukosit...................................................................44
Distonia fokal...........................................................27 Lhermitte’s...............................................................27
DM....................................................................43, 53
M
E
McDonald..............................5, 10, 20, 30, 50, 51, 53
Edema macular ........................................... 10 Medula spinalis.........................................................21
EKG................................................... 42, 43 Metilprednisolon.................................................33, 34
Expanded Disability Status Scale Micofenolat mofetil
EDSS ....................................... 5, 40, 46, 48 MMF....................................................................38
Mitoxantron..............................................................39
Mitoxantrone......................................................37, 53
51
52
Riwanti Estiasari ............................................ 3
MRI 9, 10, 20, 21, 22, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36,
38, 39, 40, 50, 51, 52, 53, 54 S
N Secondary Progressive MS (SPMS) ................. 4, 39
natalizumab........................................................38, 53 SGOT
Natalizumab.......................................................37, 53 SGPT................................................... 44
Neuritis optik................................................10, 26, 28 Sindrom Brown-Sequard ................................. 27
Neuromyelitis Optica Sjogren Syndrome
NMO......................................................... 4, 28, 52 SS 11, 28
Neutrofil.................................................................. 44 Skotoma ............................................... 11, 48
Nurul Komari.............................................................3 Spasme tonik paroksismal ................................ 27
Sucipto ...................................................... 3
O Systemic Lupus Erythematosus
SLE..................................................... 28
Oftalmoplegi intranuklear....................................10, 27
oligoclonal band T
OCB....................................................................21
One-and-a-half syndrome.................................... 10, 27 tekanan darah ............................................. 43
terapi 7, 9, 12, 24, 28, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40,
P 41, 42, 43, 44
Terapi Jangka Panjang ................................. 35
Paraneoplastik sindrom..............................................11
Paulus Sugianto..........................................................3
TRANSFORMS ...................................... 36, 43
Trombosit .................................................
PERDOSSI......................................................5, 7, 14 44
Periventrikular..........................................................21
pneumonia................................................................44 U
Primary Progressive MS (PPMS)........................4, 39 uveitis ..................................................... 43
Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S..........6
R V
Vaksinasi.................................................. 43
Raka Sudewi..............................................................3
Rebif........................................................................37
Relaps......................................................................34
Vertical gaze palsies ...................................... 11
Relapsing-remitting multiple sclerosis (RRMS)...4, 35 Visual evoked potential
VEP ................................................ 11, 51
52