Anda di halaman 1dari 33

Referat

Pemeriksaan Radiologi pada Ensefalomielitis Diseminata Akut (ADEM)





Oleh:
Demas Nico Manurung 0910312081
Ayu Anissa Bahri 0910313246
Nola Eriza 0910313251
Osharinanda Monita 1010312108
Cantika Dinia Zulda 1010311012

Preseptor:
dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad(K)

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG
2014

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunian-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang
berjudul Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated
Encephalomyelitis/ ADEM). Referat ini penulis ajukan untuk memenuhi tugas
dalam mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Radiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan
terimakasih kepada dr. Sylvia Rachman, Sp.Rad(K) sebagai pembimbing, serta
semua pihak yang telah membantu penulisan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih memiliki banyak
kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, baik dari cara penulisan,
penyusunan, penguraian, maupun isinya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari semua pihak.
Harapan penulis referat ini dapat bermanfaat bagi peningkatan pemahaman
di bidang kedokteran radiologi, khususnya tentang pemeriksaan radiologi pada
ADEM.



Padang, Juni 2014


Penulis
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ iv
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
1.4 Metode Penulisan ............................................................................ 3
1.5 Manfaat Penulisan ........................................................................... 3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ............................................................................................ 4
2.2 Anatomi Otak .................................................................................. 4
2.3 Epidemiologi ................................................................................... 6
2.4 Patogenesis ...................................................................................... 8
2.5 Patologi ........................................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis ........................................................................... 10
2.7 Diagnosis......................................................................................... 11
2.8 Diagnosis Banding .......................................................................... 20
2.9 Tatalaksana ..................................................................................... 21
2.10 Prognosis ....................................................................................... 23
2.11 Komplikasi .................................................................................... 24
BAB III. PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 26




iii


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Anatomi Otak Manusia ................................................................... 5
Gambar 2.2 CT scan kontras 11 hari setelah timbulnya gejala. .......................... 13
Gambar 2.3 T1-weighted image dan T2-weighted image . ................................. 14
Gambar 2.4 Potongan koronal otak MRI T2WI ................................................. 15
Gambar 2.5 Lokasi potensial terbentuknya lesi pada ADEM. ............................ 16
Gambar 2.6 Keterlibatan yang luas dari kortikal dan gray matter - termasuk
thalamus ........................................................................................ 18
Gambar 2.7 Gambaran FLAIR region infratentorial pada 12 anak penderita
ADEM. ........................................................................................... 19
Gambar 2.8 Axial FLAIR dan T2W gambar pasien muda dengan ADEM. ....... 19
Gambar 2.9 Terlihat keterlibatan ganglia basal.. ................................................ 20
Gambar 2.10 MRI Otak (T2WI).. ....................................................................... 21














iv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Parameter lesi secara kuantitatif pada anak dengan ADEM ............... 17
















1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis
/ADEM) adalah adalah penyakit inflamasi imunologis pada sistem saraf pusat
(SSP) yang mengakibatkan lesi demielinasi multifocal yang mempengaruhi grey
matter dan white matter dari otak dan sumsum tulang belakang, yang biasanya
didapat setelah adanya infeksi atau vaksinasi. ADEM merupakan penyakit
monofasik, yang umumnya terkait dengan penolakan antigen (infeksi atau
vaksinasi), yang diyakini sebagai pemicu untuk respon inflamasi yang mendasari
penyakit ini, karena reaksi silang antara alergi atau autoimun yang menyerang
myelin dengan protein virus. Meskipun tidak terbatas pada infeksi virus, namun
pada umumnya penyakit ini muncul setelah penderita terinfeksi measles, varicella
dan rubella. Hal ini paling sering terlihat pada populasi anak dan dewasa muda,
namun dapat terjadi pada setiap usia.
1,2,3
Penyakit ini jarang ditemukan, terdapat
sekitar 3-6 kasus ADEM per tahun di pusat kesehatan di US, UK dan
Australia.
4,5,6
Di India dan negara-negara berkembang lainnya ADEM merupakan
kondisi neurologis umum, mungkin karena tingginya prevalensi infeksi
penyebab.
2

Pasien datang dengan gejala dan defisit neurologis fokal biasanya dalam 1
sampai 3 minggu setelah infeksi virus atau vaksinasi. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan riwayat klinis dan analisis CSF, yang sering menunjukkan
limfositosis (seringkali meningkat hingga beberapa ratus sel) dan peningkatan
2

myelin protein dasar. Perubahan ECG non spesifik dan CT Scan mungkin normal
sehingga tidak terlalu membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan
penunjang terbaik yang dapat menegakkan diagnosis yaitu dengan brain MRI.
Tindak lanjut MRI ini sangat membantu dalam membedakan ADEM dari suatu
episode Multiple Sclerosis (MS), karena gambaran klinis, analisis cairan
serebrospinal, histopatologi dan penampilan neuroimaging yang sangat mirip.
2,3,4,7

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengajukan judul referat
Pemeriksaan radiologi pada Ensefalomielitis Diseminata Akut (ADEM).

1.2 Batasan Masalah
Pembahasan referat ini dibatasi pada anatomi otak, definisi ADEM
epidemiologi, patogenesis, patologi, manifestasi klinis, diagnosis, pemeriksaan
penunjang, diagnosis banding, penatalaksanaan, prognosis, dan komplikasi dari
Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis /
ADEM).

1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca
mengenai pemeriksaan radiologi pada Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute
Disseminated Encephalomyelitis / ADEM) dan juga sebagai salah satu syarat
dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian radiologi RSUP DR. M. Djamil,
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.

3

1.4 Metode Penulisan
Referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk ke
berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penelitian
Melalui referat ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan
informasi dan pengetahuan tentang pemeriksaan radiologi pada Ensefalomielitis
Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis / ADEM).











4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Ensefalomielitis Diseminata Akut (Acute Disseminated Encephalomyelitis/
ADEM) adalah penyakit autoimun yang menyebabkan terjadinya demielinasi
peradangan akut multifokal pada Sistem Saraf Pusat (SSP), bersifat monofasik
dan dapat terjadi setelah infeksi virus atau imunisasi, sehingga disebut juga
ensefalomielitis pasca infeksi.
7,8


2.2. Anatomi Otak
Otak merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang terletak di kavum
kranii. Otak dibentuk oleh kavum neuralis yang membentuk 3 gelembung
embrionik primer, yaitu prosensefalon, mesensefalon, rhombensefalon, untuk
selanjutnya berkembang membentuk 5 gelombang embrionik sekunder, yaitu
telensefalon, diensefalon, mesensefalon, metensefalon, dan myelensefalon.
Telensefalon membentuk hemisfer serebri, korteks serebri. Diensefalon
membentuk epithalamus, thalamus, hipothalamus, subthalamus, dan
methatalamus. Di dalam diensefalon terdapat rongga; ventriculus tertius yang
berhubungan dengan ventriculus lateralis melalui foramen interventriculare.
Mesensefalon membentuk corpora quadgemina dan crura cerebri, dalam
mesensefalon terdapat kanal sempit aquaductus sylvii yang menghubungkan
ventriculus tertius dengan ventriculus quartus. Metensefalon membentuk
serebelum dan pons, sedangkan myelensefalon membentuk medulla oblongata.
9

5


Gambar 2.1.Anatomi Otak Manusia

Berat otak saat lahir 350 gram, dan berkembang hingga saat dewasa
seberat 1400-1500 gram. Otak dibungkus oleh meningen yang terdiri dari 3 lapis.
Di dalam otak terdapat rongga; sistern ventrikularis yang berisi liquors
serebrospinalis yang lanjut ke rongga antar meningen, kavum subarachnoid.
Fungsi utama liquor serebrospinalis, yaitu melindungi dan mendukung otak dari
benturan.
9

Hemisfer serebri jumlahnya sepasang, dipisahkan secara tidak sempurna
oleh fisura longitudinalis superior dan falx cerebri, Belahan kiri dan kanan
dihubungkan oleh corpus callosum. Hemisfer serebri dibentuk oleh korteks
serebri, substansia alba, ganglia basalis, dan serabut saraf penghubung yang
dibentuk oleh akson dan dendrite setiap sel saraf. Korteks serebri terdiri dari
selapis tipis substansia grissea yang melapisi permukaan hemisfer serebri.
Permukaannya memiliki banyak sulkus dan gyrus. Diperkirakan terdapat 10
milyar sel saraf yang ada pada korteks serebri.
9

6

Hemisfer serebri memiliki 6 lobus; lobus frontalis, lobus parietalis, lobus
temporalis, lobus occipitalis, lobus insularis dan lobus limbik. Lobus frontalis,
mulai dari sulkus sentralis sampai ke polus sentralis, terdiri dari gyrus
presentralis, gyrus frontalis superior, gyrus frontalis media, gyrus frontalis
inferior, gyrus recrus, gyrus orbitalis, dan lobus parasentralis superior. Lobus
parietalis, mulai dari sulkus sentralis menuju lobus occipitalis dan cranialis dari
lobus temporalis, terdiri dari gyrus post sentralis, lobulus parietalis superior, dan
lobulus parietalis inferior-inferior-posterior. Lobus temporalis, terletak antara
polus temporalis dan polus occipitalis di bawah sulkus lateralis. Lobus occipitalis
terletak antara sulkus parieto occipital dengan sulkus preoccipitalis, memiliki dua
bangunan, cuneus dan gyrus lingualis. Lobus insularis, tertanam dalam sulkus
lateralis. Lobus limbik, berbentuk huruf C dan terletak pada dataran medial
hemisfer serebri.
10
Pembuluh darah yang mendarahi otak terdiri dari:

a. Sepasang pembuluh darah karotis
Denyut pembuluh darah besar ini dapat kita raba di leher depan, sebelah kiri
dan kanan di bawah mandibula. Sepasang pembuluh darah ini setelah masuk
ke rongga tengkorak akan bercabang menjadi tiga :
- Sebagian menuju ke otak depan (arteri serebri anterior)
- Sebagian menuju ke otak belakang (arteri serebri posterior)
- Sebagian menuju ke otak bagian dalam (arteri serebri interior)
Ketiganya akan saling berhubungan melalui pembuluh darah yang disebut
arteri komunikan posterior.

7

b. Sepasang pembuluh darah vertebralis
Denyut pembuluh darah ini tidak dapat diraba karena kedua pembuluh darah
ini menyusup ke bagian samping tulang leher, pembuluh darah ini mendarahi
batang otak dan kedua otak kecil. Kedua pembuluh darah tersebut akan saling
berhubungan pada permukaan otak pembuluh darah yang disebut
anastomosis.
10


2.3. Epidemiologi
Berdasarkan penelitian pada tahun 2008, insidens Acute Disseminated
Enchephalomyelitis (ADEM) di California diperkirakan sekitar 0,4 per 100.000
populasi per tahun dan terdapat 3- 6 kasus ADEM per tahun di pusat kesehatan
di US, UK dan Australia. ADEM di negara berkembang lebih sering terjadi.
ADEM lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja dibandingkan usia
dewasa dan tidak terdapat perbedaan kejadian ADEM berdasarkan gender dan
etnik.
5,6

Kejadian ADEM biasanya mengikuti penyakit infeksi pada anak-anak dan
sering dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian yang signifikan.
5

Sekitar 50-75 % kasus ADEM terjadi setelah infeksi virus ataupun bakteri.
Banyak virus yang berkaitan dengan ADEM, termasuk : campak, mumps, rubella,
varicella zoster, eipsten-barr, cytomegalovirus, herpes simplex, hepatitis A,
influenza dan enterovirus.
6
ADEM terjadi 1/1000 kejadian infeksi campak.
ADEM relatif jarang terjadi setelah infeksi varicella, di mana angka kejadiannya
1/10.000 kejadian infeksi varicella. Kejadian ADEM setelah infeksi rubella
sekitar 1/500.
5
Kematian dan cacat neurologis pada ADEM setelah infeksi rubella
8

dan varicella lebih rendah dibandingkan dengan ADEM setelah infeksi campak.
Angka kematian ADEM setelah infeksi campak sekitar 25 % dan sekitar 25-40 %
bertahan dengan cacat neurologis permanen.
Sekitar kurang dari 5 % kasus ADEM terjadi setelah imunisasi. Vaksinasi
campak, mumps, rubella merupakan yang paling sering berkaitan dengan ADEM
post vaccinial. Insiden ADEM yang berkaitan dengan vaksin campak sekitar 1-2/
1 juta. Gejala neurologis biasanya muncul 4-13 hari setelah vaksinasi.
6

2.4. Patogenesis
Patogenesis ADEM dianggap berupa inflamasi dan demielinisasi
multifokal yang tersebar dan yang terkait dengan mekanisme autoimun di SSP.
Hipotesis autoimun menunjukkan bahwa sel T yang menyerang antigen viral atau
bakteri mengenali asam amino yang juga dimiliki oleh protein myelin. Sel T yang
teraktivasi melewati sawar darah otak, memungkinkan rekrutmen dan migrasi sel-
sel inflamasi lainnya yang berperan dalam proses demyelinasi. Target antigen
mencakup myelin basic protein (MBP), proteolipid protein (PLP), myelin
oligodendrocyte protein (MOP), myelin associated glycoprotein (MAG),
oligodendrocyte basic protein, dan lain-lain.
11,12
Molecular mimicry, atau
kesamaan epitop virus dengan antigen myelin seperti MBP,MOG dan protein
proteolipid merupakan salah satu penjelasan munculnya respon imun terhadap
substansia alba SSP setelah infeksi. Sejumlah studi menyatakan bahwa sitokin
proinflamasi berperan dalam patogenesis.
12
Mekanisme molekuler pasti yang
menyebabkan kematian oligodendrosit pada ADEM dan variannya masih belum
diketahui; namun molekul sitokin, kemokin dan molekul perlekatan secara
9

bersama-sama berkontribusi terhadap patogenesis ensefalomielitis inflamasi.
Faktor kerentanan genetik menjelaskan mengapa komplikasi ensefalomielitis
dijumpai hanya pada sejumlah kecil pasien yang mendapat infeksi atau imunisasi.
Gen human leucocyte antigen (HLA) kelas II memiliki pengaruh yang paling
signifikan. Nitric oxide juga tampaknya memperantarai kematian oligodendrosit.
Mekanisme lainnya mencakup stress oksidatif yang menyebabkan kematian
prematur dari oligodendrosit dan eksitoksisitas.
11


2.5. Patologi
Pemeriksaan makroskopis otak menunjukkan edema dengan tanda-tanda
kongesti serebral. Gambaran histopatologis ADEM yang dapat membedakannya
dengan kelainan lain adalah inflamasi dan demielinasi perivaskular, terutama
perivena, yang terutama melibatkan substansia alba dari hemisfer serebri, batang
otak, serebelum, medula spinalis dan nervus optikus.
11,13

Proses inflamasi
terutama dicirikan dengan infiltrasi perivaskular dari sel-sel inflamasi
mononuklear (limfosit dan monosit), biasanya disekitar vena dan venula dan
proliferasi mikroglial reaktif. Terdapat edema vasogenik yang menyebabkan
pembengkakan otak dan medulla spinalis. Dalam lesi tersebut dijumpai
fragmentasi mielin dengan akson yang relatif utuh walaupun dapat juga dijumpai
kerusakan aksonal yang nyata. Pada tahap akhir, respon inflamasi digantukam
oleh gliosis fibrilari.
11
Pada jaringan otak terutama dijumpai keterlibatan
substansia alba dengan sejumlah fokus demielinasi kecil. Secara histologis,
terdapat reaksi inflamasi destruktif dengan sel limfosit dan sedikitsel plasma di
10

sekitar vena-vena kecil di seluruh serebrum, batang otak, serebelum dan medula
spinalis. Dijumpai sel-sel mikroglial fagositik pada lesi. Akson dan sel saraf
relatif tidak terkena. Terdapat batas yang tegas antara fokus demielinasi dan
daerah normal. Pada tahap lanjut, perluasan gliosis melebihi daerah demielinasi.
Pada ADEM reaksi jaringan berada pada usia yang sama yang menggambarkan
perjalanan yang monofasik dari penyakit ini.
14


2.6. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari Acute Disseminated Enchephalomyelitis (ADEM)
meliputi ensefalopati, tetapi dapat juga berupa sindrom fokal atau multifokal,
yang mengarah pada gangguan demyelinasi inflamasi sistem saraf pusat, termasuk
neuritis optik dan myelitis. Beberapa gejala klinis meningoensefalitis pada ADEM
terdiri dari ensefalopati, kejang, demam, sakit kepala dan tanda meningeal.
13

Gejala inflamasi dan gejala neurologis sering dimulai 2 minggu setelah
keadaan sakit akibat virus atau bakteri. Gejala sistemik seperti demam, malaise,
sakit kepala, nausea, dan muntah sering mendahului gejala neurologis ADEM.
Ciri khas dari gejala klinis ADEM berupa perluasan fokal atau multifokal dari
gangguan neurologis. Onset gangguan sistem saraf pusat sangat cepat dengan
disfungsi puncak terjadi dalam beberapa hari. Gambaran klinis awal berupa letargi
dan dapat berlanjut sampai koma, gejala fokal atau multifokal neurologi seperti
gangguan pada cerebrum (hemiparesis dan afasia), gangguan pada batang otak
(kelumpuhan nervus kranial) dan gangguan pada spinal cord (paraparesis). Gejala
lain yang juga dilaporkan biasa tejadi seperti meningismus, ataksia dan gangguan
pergerakan. Kejang dapat terjadi pada kasus yang berat, terutama pada perdarahan
11

akut ADEM.
2,15
Selain itu, banyak kasus ADEM juga menunjukkan adanya
gambaran limfositik meningitis pada pemeriksaan histopatologi.
13

ADEM pada anak-anak, dicurigai bila pada anak yang sebelumnya sehat,
mengalami gejala dengan onset akut yang terdiri dari : mengalami lebih dari satu
gejala defisit neurologikal (polysymptomatic onset), perubahan status mental,
dan dikombinasi dengan perubahan pada gambaran MRI, berupa white matter
lession.
13

Beberapa gejala klinis seperti perubahan status mental, ataksia, defisit
motorik,dan keterlibatan brainstem, muncul berhubungan dengan usia. Demam
yang lama dan sakit kepala lebih sering ditemukan pada anak-anak. Kebanyakan
pada pasien dewasa tampilan klinisnya hampir sama dengan anak-anak, kecuali
pada dewasa jarang ditemukan sakit kepala, demam, dan meningismus, akan
tetapi frekuensi kejadian defisit sensori lebih sering ditemukan pada dewasa.
Neuritis optik juga jarang ditemukan pada pasien ADEM dewasa. Selain itu,
kejang juga jarang ditemukan pada pasien dewasa, di mana kejang lebih sering
ditemukan pada anak-anak di bawah usia 5 tahun.
2,16

2.7. Diagnosis
Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan pada manifestasi klinis dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
Sayangnya, tidak ada penanda biologis tertentu atau tes konfirmasi secara khusus
untuk mengidentifikasi gangguan, juga tidak ada data ilmiah pada diagnosis dan
pengobatan ADEM. Penetapan diagnosis dan pengobatan ADEM terutama
didasarkan pada pendapat para ahli. Diagnosis ADEM ditegakkan ketika individu
12

mengalami kelainan neurologis multifokal dengan kebingungan, mudah marah
yang berlebihan, atau tingkat kesadaran yang berubah (ensefalopati), terutama jika
timbulnya gejala dalam 1 sampai 2 minggu setelah infeksi bakteri / virus atau
vaksinasi.
a. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berguna untuk ADEM, terutama untuk
menyingkirkan penyebab lain yang didasarkan pada gejala klinis pasien.
Pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah lengkap, kultur, dan studi
serologi darah dan cairan serebrospinal untuk mendeteksi organisme bakteri dan
virus. Lumbal punksi juga dapat dilakukan, dimana tes ini berguna untuk
mengetahui adanya inflamasi pada cairan serebrospinal (CSF), dengan terjadinya
pleositosis limfosit (biasanya antara 50 dan 180 sel/mm
2
) dan / atau peningkatan
konsentrasi protein(umumnya 0,5-1,0 g / dl). Cairan serebrospinal (CSF)
umumnya normal pada 61,5% dari pasien ADEM. Oligoclonal band kadang-
kadang juga ditemukan pada ADEM (terlihat pada 0-29%). Hal ini menjadi alasan
kenapa ADEM sering dihubungkan dengan MS. Pemeriksaan
Electroencephalogram (EEG) dapat dijadikan sebagai salah satu pemeriksaan
pasien dengan ADEM, tetapi jarang berguna untuk menegakkan diagnosis. Hal
ini terkait dengan kejang yang menjadi salah satu gejala klinis ADEM.
1


b. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi sangat berharga dalam membantu menegakkan
diagnosis ADEM.

13

CT Scan
Pemeriksaan dengan CT scan dapat normal pada onset awal dan dapat
abnormal pada 5-14 hari kemudian.
2
Pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk
mendiagnosa kelainan ADEM.
Beberapa studi, menyebutkan gambaran CT scan tidak menunjukkan
kelainan pada awal penyakit dan tidak sensitif untuk mendeteksi adanya lesi
demielinasi yang kecil. Pada gambaran CT scan yang abnormal, biasanya
ditemukan area hipodense yang diskret pada white matter serebri dan pada area
juxtakortikal dan kadang-kadang tampak seperti gambaran cincin. Penelitian yang
pernah dilakukan Tenembaum dkk, melaporkan temuan abnormal pada CT Scan
pada 78% pasien rata-rata setelah 6,5 hari dari munculnya onset. Sedangkan,
penelitian yang dilakukan oleh Pavone dkk, didapatkan adanya abnormal CT scan
ditemukan pada 86% dari pasien ADEM dan ditemukan rata-rata setelah 2,5 hari
dari munculnya gejala onset.
1














Gambar 2.2 CT scan kontras 11 hari
setelah timbulnya gejala. Tampak lesi
hipodense berbentuk cincin di kedua
hemisfer (panah).
17


14

MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) adalah suatu teknik penggambaran
penampang tubuh berdasarkan prinsip resonansi magnetik inti atom hidrogen.
Tehnik penggambaran MRI relatif komplek sehingga kualitas gambaran detil
tubuh manusia akan tampak jelas, anatomi dan patologi jaringan tubuh dapat
dievaluasi secara teliti.
18

Pada pemeriksaan radiologi MRI, beberapa jaringan tampak lebih terang
atau lebih gelap dari jaringan lain. Intensitas terang atau gelap tergantung pada
kepadatan proton di daerah itu - kepadatan meningkat dikaitkan dengan area yang
lebih gelap. Waktu relaksasi untuk proton dapat bervariasi dan biasanya diukur
dua kali - yang dikenal sebagai T1 dan T2. T1 dan T2 adalah istilah teknis yang
diterapkan pada waktu yang diperlukan untuk relaksasi proton. T1 dan T2
memberikan intensitas yang berbeda dari gambar dan masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pada T2-weighted image (T2WI) terlihat
lemak, air dan cairan yang terang, oleh karena itu, pencitraan T2WI sangat ideal
untuk mengambil edema jaringan. T2 digunakan dalam fungsional MRI scanning,
sedangkan T1 digunakan dalam anatomi MRI scanning. White matter lebih gelap
dari grey matter dalam T1WI dan lebih terang dari grey matter dalam T2WI.
19







Gambar 2.3 T1-weighted image (A) dan T2-weighted image (B)
19


A
B
15

Pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI) otak merupakan
pemeriksaan penunjang yang paling penting yang tersedia untuk membantu
menegakkan diagnosis ADEM dan membedakan klinisnya dengan penyakit
inflamasi dan non inflamasi lainnya. Pada ADEM, MRI menunjukkan bukti
perubahan pada white matter yang luas, serta perubahan pada grey matter
subkortikal, termasuk talamus dan ganglia basal.
20
MRI otak dapat menunjukkan
fitur awal halus demielinisasi CNS yang luas terkait dengan ADEM. MRI T2WI,
dan gambar FLAIR (Fluid Attenuated Inversion Recovery) menunjukkan kelainan
lebih mudah daripada T1WI. Perubahan ini biasanya dibedakan dari Multiple
Sclerosis (MS). Keterlibatan white matter subkortikal hampir universal,
sedangkan lesi pada grey matter terlihat lebih jarang, dan hanya tambahan untuk
lesi pada materi putih lebih karakteristik. Keterlibatan talamus dan basal ganglia
merupakan temuan khas di ADEM, tapi tidak biasa di MS dan dapat menjadi
penanda berguna dalam diagnosis banding.
4











Gambar 2.4 Potongan koronal otak
MRI T2WI menunjukkan
perpanjangan bidang T2 pada white
matter subkortikal dari kedua
hemisfer otak, thalamus, peduncles
cerebellar bilateral, inti dentate, dan
cervical cord bagian atas.
4

16

Dari berbagai penelitian yang ada, temuan MRI khusus yang mewakili
ADEM ialah bersifat luas, bilateral, plaka simetris yang homogen atau sedikit
peningkatan intensitas inhomogen pada T2-weighted imaging dalam white matter,
deep gray nuclei, dan medulla spinalis. Didalam white matter, juxta cortical dan
deep white matter lebih sering terlibat disbanding periventricular white matter,
yang merupakan hal yang kontras dibandingkan pada pasien dengan Multiple
Sclerosis (MS). Selain itu, lesi yang melibatkan corpus calossum yang khas pada
MS juga jarang ditemukan pada ADEM. Lesi infra tentorial juga sering ditemukan
termasuk pada batang otak dan white matter pada serebelum. Gambaran
unenhanced T1-weighted memperlihatkan bahwa lesi biasanya tidak begitu
terlihat kecuali lesi besar, dimana hipodensitas ringan terlihat dalam area yang
terkena. Lesi dapat muncul bersamaan dengan presentasi klinis.
1










Gambar 2.5 Lokasi potensial terbentuknya lesi pada ADEM.
1


17

MRI yang normal dalam hari pertama setelah onset gejala yang sugestif
ADEM tidak dapat mengeksklusi diagnosis ADEM. Tampilan ADEM dengan
bantuan kontras bervariasi dan telah dilaporkan pada 30-100% pasien ADEM
dalam pola yang non spesifik (nodular, difus, gyral, complete atau incomplete
ring)
1

Callen dkk melakukan penelitian mengenai karakteristik lesi pada 20 anak
dengan ADEM monofasik. Lesi lebih sering ditemukan pada deep white matter
dibandingkan periventricular white matter. Selain itu lesi juga sering melibatkan
deep gray nuclei. Lesi juga sering ditemukan pada daerah infratentorial. (Tabel 1)
1

Tabel 2.1. Parameter lesi secara kuantitatif pada anak dengan ADEM
1


Jumlah Lesi
Mean Minimum Maximum
Deep white matter 6,8 0 (4) 29
Juxtacortical white matter 9,7 0 (2) 38
Periventricular white matter 1,4 0 (9) 10
Callosal white matter 1,1 0 (7) 4
Cortical gray matter 7,5 0 (4) 35
Deep gray matter 2,6 0 (6) 8
Brainstem 1,7 0 (6) 6
Cerebellar 0,8 0 (11) 4
Kecil 15,8 2 41
Sedang 5,6 0 (3) 18
Besar 3,5 0 (6) 18
Total 24,8 3 62
18

Kecil : <1 cm axial, < 1,5 cm longitudinal; sedang; 1-2 cm axial,
1,5-2,5 cm longitudinal; besar: >2 cm axial, >2,5 cm longitudinal.
Angka dalam kurung menyatakan jumlah anak dengan ADEM
(n=20) yang tidak memiliki lesi pada kategori tersebut












Gambar 2.6 Keterlibatan yang luas dari kortikal dan gray matter -
termasuk thalamus.
26





19

















Gambar 2.7 Gambaran FLAIR region infratentorial pada 12 anak penderita
ADEM.
1










Gambar 2.8 Axial
FLAIR dan T2W
gambar pasien muda
dengan ADEM
terlihat keterlibatan
yang luas dari daerah
kortikal dan gray
matter , termasuk
thalamus.
26


20





Gambar 2.9 Terlihat keterlibatan ganglia basal.
26

2.8 Diagnosis Banding
a. Multiple sclerosis
MRI merupakan pemeriksaan yang penting dalam menentukan ADEM dan
MS. ADEM dan MS memperlihatkan lesi inflamasi diseminata pada saraf pusat
(terutama white matter).
Beberapa penelitian telah melaporkan perbedaan gambaran antara ADEM
dan MS pada anak. Lesi ADEM sering memiliki batas yang tidak jelas, sementara
lesi MS memiliki batas seperti plak (plaque like) yang dapat ditentukan. Terdapat
perbedaan lokasi lesi, periaqueductal, corpus callosum, dan periventricular white
matter adalah karakteristik MS. Sementara pada ADEM lesi cenderung berada di
deeper white matter dengan periventricular sparing. Lesi ADEM pada medulla
spinalis biasanya besar, membengkak, dan berada di toraks, sementara pada MS
lesi lebih kecil, diskret, dan berada di servikal. Gray matter sering terlibat pada
ADEM (kontras dengan MS).
21

Setelah melalui analisis retrospektif dari gambaran MRI 28 anak dengan
serangan pertama ADEM dan 20 anak dengan MS, didapat kriteria yang dapat
digunakan untuk membedakan pasien dengan MS dan ADEM dengan sensitivitas
21

81% dan spesifisitas 95% yaitu: didapat 2 dari 3 tanda dibawah ini, sebagai
berikut:
(1) tidak ada pola lesi bilateral difus,
(2) adanya black holes,
(3) adanya 2 atau lebih lesi periventricular.
3


Gambar 2.10 (A) MRI otak (T2WI) pada MS memperlihatkan lesi berbatas tegas
pada white matter di region periventricular. (B) MRI otak (T2WI) pada ADEM
memperlihatkan mass-like lesion pada white matter. (c) MRI otak pada ADEM
memperlihatkan lesi besar multiple dengan batas yang tidak tegas dan
periventricular sparing relatif.
21


2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan diutamakan pada imunosupresi dan immunomodulation.
Pilihan termasuk kortikosteroid, plasma exchange , dan intravenous
immunoglobulin (IVIg).
1. Kortikosteroid
Terapi kortikosteroid secara luas diterima sebagai line pertama terapi
untuk ADEM. Regimen pengobatan yang dianjurkan adalah metilprednisolon
intravena 10 -30 mg / kgBB/hari sampai dosis harian maksimum 1 g atau
22

deksametason (1 mg / kg) selama 3 sampai 5 hari diikuti steroid oral selama 4-6
minggu tappering off.
1,22
Kortikosteroid sangat efektif untuk gejala ADEM, dimana memiliki angka
kesembuhan 50- 80%.
1
2. Plasma Exchange
Plasma Exchange direkomendasikan pada pasien yang kurang atau tidak
respon terhadap kortikosteroid intravena. Pertukaran plasma digunakan karena
antibodi serum diarahkan terhadap MBP dan galactocerebroside ditemukan pada
pasien dengan pasca-rabies inokulasi ADEM, serta sintesis intratekal antibodi
ini.
22
3. Intravenous immunoglobulin (IVIg)

IVIg digunakan untuk ADEM yang tidak respon dengan kortikosteroid
dan plasma exchange merupakan kontraindikasiatau sulit diakses.IVIg mungkin
lebih diutamakan untuk kasus encephalomyelitis pasca vaksinasi.Penggunaan
IVIG telah terbukti efektif pada pasien dengan keterlibatan baik SSP (Sistem Saraf
Pusat) maupun sistem saraf perifer dan beberapa penulis telah menganjurkan
bahwa pada pasien dengan poliradikulopati, IVIg dianggap sebagai terapi line
pertama.
22

Ada beberapa laporan kasus keberhasilan penggunaan IVIg, baik sendiri
maupun kombinasi dengan kortikosteroid, setelah gagal steroid intravena atau
demielinisasi berulang, Dosis yang dilaporkan untuk IVIg lebih konsisten dari
steroid, dengan dosis total 1-2 g / kgBB sebagai dosis tunggal atau dalam 3-5 hari.
IVIg umumnya dapat ditoleransi dengan baik.
1

23

4. Lainnya
Dengan adanya kegagalan modalitas terapi diatas, beberapa terapi lain
telah dicoba, termasuk siklofosfamid intravena dan mitoxantrone.Miravalle dan
Roos mendiskusikan pemberian antivaccinia gamma globulin pada saat vaksinasi
cacar untuk mencegahkomplikasi ADEM pasca vaksinasi, tapi tidak efektif.

Selain
itu, dianjurkan untuk menghindari imunisasi selama minimal 6 bulan setelah
diagnosis ADEM relap ke MDEM terjadi mengikuti vaksinasi.
22

2.10 Prognosis
ADEM bersifat monofasik pada 70-90% kasus. Umumnya pasien ADEM
memiliki prognosis yang baik. Pada penelitian diperoleh angka kesembuhan total
pada 70-90% pasien dalam 6 bulan sejak onset penyakit. Komplikasi berat
(termasuk kematian) jarang ditemukan pada populasi anak kecuali pada yang
berkaitan dengan campak (measles). Angka mortalitas pada post measles
encephalomyelitis ialah 10-20%, dan sekuele neurologis terjadi pada 25% pasien
yang hidup. Gejala sisa yang paling sering terjadi adalah defisit motor fokal, dari
kekakuan ringan hingga hemiparesis, gangguan penglihatan mulai dari penurunan
visus ringan hingga kebutaan, dan kejang. Defisit neurokognitif ringan dapat
diidentifikasi dalam atensi, fungsi eksekusi, dan sikap setelah 1 tahun setelah
ADEM pada 50-60% pasien, namun lebih banyak terjadi pada pasien dengan
onset usia muda (kurang 5 tahun).
1,23,24




24

2.11 Komplikasi
Meskipun mayoritas pasien ADEM dapat sepenuhnya pulih, fase akut
dapat berat dan mengancam jiwa, dan defisit residual telah dilaporkan pada 20%
sampai 30% dari anak-anak. Dari jumlah tersebut , yang paling sering dilaporkan
mencakup defisit ringan motorik, masalah penglihatan, dan kejang. Rata-rata
waktu untuk pemulihan penuh berkisar antara 1 sampai 6 bulan, meskipun pasien
sering mengalami perbaikan segera gejala setelah mulai pengobatan dengan
kortikosteroid. Angka kematian akut ensefalomielitis sebelumnya telah dilaporkan
setinggi 20%. Namun, di era pengobatan modern untuk angka ini telah
berkurang.
25
Defisit kognitif dilaporkan sebagai konsekuensi jangka panjang dari
akut ensefalomielitis. Defisit halus dalam fungsi eksekutif, perhatian, dan perilaku
telah dilaporkan pada anak-anak yang telah dinyatakan benar-benar pulih dari
ADEM. Defisit ini telah tercatat lebih menonjol pada anak yang terdiagnosis
ADEM pada umur di bawah 5 tahun.
25










25

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM) merupakan salah satu
penyakit demielinasi inflamasi idiopatik pada susunan saraf pusat (SSP) yang sering
dijumpai pada anak-anak yang diperantarai oleh sistem imun dan sering muncul
setelah infeksi atau vaksinasi. Manifestasi klinis ADEM sangat beragam yang
biasanya berupa ensefalopati dan defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,
quadriparesis, ataksia, keterlibatan saraf kranial, neuritis optik, gerakan involunter,
dan parestesi. Walaupun ADEM sering dihubungkan dengan infeksi atau vaksinasi
namun hal ini tidak termasuk dalam kriteria diagnosis ADEM serta tidak spesifik dan
sensitif untuk ADEM. Diagnosis ADEM ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda
klinis demielinasi disertai gejala ensefalopati dengan onset akut atau subakut dan
dibantu dengan temuan MRI, berupa demielinasi substanisa alba multifokal.
Walaupun ADEM biasanya memiliki perjalanan yang monofasik, namun
relaps dapat dijumpai pada sejumlah kasus yang dikenal dengan multiphasic atau
recurrent ADEM. Diagnosis banding ADEM cukup luas, mencakup
meningoensefalitis dengan berbagai penyebab dan sejumlah penyakit demielinasi
inflamasi seperti MS. Temuan MRI dapat membantu membedakan ADEM dari MS.
Penatalaksanaan ADEM terdiri dari terapi obat-obatan yaitu dengan kortikosteroid
dosis tinggi, immunoglobulin intravena, plasmaferesis dan terapi suportif. Walaupun
ADEM memiliki prognosis yang baik secara umum, namun sering dijumpai gejala
sisa berupa defisit neurologis multifokal.

26

DAFTAR PUSTAKA


1. Marin SE, Called DJA. The Magnetic Resonance Imaging Appearance of
Monophasic Acute Disseminated Encephalomyelitis An Update Post
Application of the 2007 Consensus Criteria. Neuroimag Clin N Am
2013;23:245-266.

2. Garg RK. Acute disseminated encephalomyelitis. Postgrad Med J
2003;79:1117.

3. Mermuys K, Hoe LV, Vanhoenacker P. Images In Clinical Radiology Acute
disseminating encephalomyelitis (ADEM). JBRBTR 2006, 89: 226.

4. Stonehouse M, Gupte G, Wassmer E, Whitehouse WP. Acute disseminated
encephalomyelitis: recognition in the hands of general paediatricians. Arch
Dis Child 2003;88:122124.

5. Garg, RK. 2014. Acute Disseminated Encephalomyelitis.
http://pmj.bmj.com/content/79/927/11.full.pdf. Diunduh pada tanggal 5 Juni
2014.

6. The Transverse Myelitis Association. 2012. Acute Disseminated
Encephalomyelitis (ADEM). http://myelitis.org/wp/wp-
content/uploads/2012/07/ADEM.pdf. Diunduh pada tanggal 3 Juni 2014.

7. Ginsberg L. Neurologi. Edisi ke-delapan. Erlangga. 2007:149-150.

8. Anonim. Standar Penatalaksanaan Penyakit Saraf Anak. Diakses dari:
http://www.docstoc.com/docs/36067793/SPTL-SYARAF. Diunduh pada
tanggal 7 Juni 2014.

9. Uddin, Jurnalis. Kerangka Umum Anatomi Susunan Saraf dalam Anatomi
susunan saraf manusia. Langgeng sejati. Jakarta; 2001: 3-13.

10. Price, Sylvia A. Tumor Sistem Saraf Pusat dalam Patofisiolosi Edisi 6, EGC.
Jakarta; 2005. 1183-9.

11. Sarnat HB, Menkes JH. Autoimmune and Postinfectious Disease. Dalam:
Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child Neurology. Edisi ke-7.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h. 578-84.

12. Leake JA, Albani S, Kao AS, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis in
Childhood : Epidemiologic, Clinical and Laboratory Features. Pediatric
Infectious Disease Journal 2004; 23: 756-64.

27

13. Young NP, Weinshenker BG, Lucchinetti CF. Acute Disseminated
Encephalomyelitis: Current Understanding and Controversies. Semin Neurol
2008;28:8494.

14. Armstrong D, Hallidat W, Hawkins C, et al. Pediatric Neuropathology A Text
Atlas.New York : Springer, 2007. h. 248-9.

15. Madan S, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis-A Case Series. Indian
Pediatrics 2005;42:367-71.

16. Tanembaum S, et al. Acute Disseminated Encephalomyelitis. Neurology
2007;68(Suppl 2):S23-36.

17. Mader I, Stock KW, Ettlin T, Probts A. Acute Disseminated
Encephalomyelitis: MR and CT Features. AJNR 1996;17:1049.

18. Notosiswoyo M , Suswati S. Pemanfaatan Magnetic Resonance Imaging (Mri)
Sebagai Sarana Diagnosa Pasien. Media Litbang Kesehatan Volume XIV
Nomor 3 Tahun 2004:8-13.

19. Anonim. Magnetic Resonance Imaging. Diakses dari:
http://www.patient.co.uk/doctor/magnetic-resonance-imaging. Diunduh pada
tanggal 8 Juni 2014.

20. Brass SD, Caramanos Z, Santos C, Dilenge ME, Lapierre Y, Rosenblatt B.
Multiple Sclerosis vs Acute Disseminated Encephalomyelitis in Childhood.
Pediatric Neurology 2003;29(3):227-231.

21. Dale RC, Branson JA. Acute disseminated encephalomyelitis or multiple
sclerosis: can the initial presentation help in establishing a correct diagnosis?
Arch Dis Child. 2005;90(6):636-9.

22. Huynh, William et al. Post-vaccination encephalomyelitis: Literature
reviewand illustrative case. Journal of Clinical Neuroscience. 2008; 15; pg.
13151322.

23. Ross KL, Miravalle A. Postinfectious Encephalomyelitis (in Infection of the
Central Nervous System, 3
rd
Ed). China: Lippincott Williams and Wilkins.
2004: 323-8.

24. Dulac O, Lassonde M, Sarnat HB. Pediatric Neurology part 2: Handbook of
Clinical Neurology. China: Elsevier BV. 2013.

25. Banwell, Brenda, Sona Narula. Acute disseminated encephalomyelitis.
http://www.medmerits.com/index.php/article/acute_disseminated_encephalom
yelitis/P10. Diakses pada tanggal 5 Juni 2014.

28

26. Barkhof, Fredick, Smithuis R, Hazewinkel M. Multiple Sclerosis. Diakses
dari: http://radiologyassistant.com. Diunduh pada tanggal 6 Juni 2014.

Anda mungkin juga menyukai