Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

KERATITIS HERPES ZOSTER OFTALMIKUS

Pembimbing
dr. Viora Rianda Piscaloka, Sp.M

Disusun oleh :
Priska Febiola Sutrisna
122810104

Program Pendidikan Profesi Dokter Departemen Ilmu Penyakit Mata


Rumah Sakit Umum Daerah Waled
Universitas Swadaya Gunungjati
Cirebon
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “keratitis herpes zoster
oftalmikus”. Referat ini ditulis untuk menambahkan pengetahuan dan wawasan
mengenai keratitis herpes zoster oftalmikus merupakan salah satu syarat dalam
mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran UGJ Cirebon.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dokter


pembimbing, dr. Viora Rianda Piscaloka, Sp.M yang telah meluangkan waktu
untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan
kasus ini dari awal hingga selesai.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari


kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangant mengharapkan kritik yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang. Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.

Cirebon, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Persarafan Mata ......................................................................... 3


2.2 Kornea....................................................................................................... 6
2.3 Keratitis Herpes Zoster Oftalmikus
2.3.1 Definisi ......................................................................................... 7
2.3.2 Etiologi ......................................................................................... 7
2.3.3 Faktor Resiko................................................................................. 8
2.3.4 Patofisiologi................................................................................... 9
2.3.5 Manifestasi Klinis.......................................................................... 9
2.3.6 Diagnosis Banding......................................................................... 12
2.3.7 Pemeriksaan .................................................................................. 12
2.3.8 Tatalaksana ................................................................................... 14
2.3.9 Komplikasi .................................................................................... 15
2.3.10 Pencegahan Primer........................................................................ 16
2.3.11 Prognosis ..................................................................................... 16

BAB III Kesimpulan ........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Herpes zoster masih menjadi masalah dalam dunia kedokteran. Herpes


zoster adalah penyakit dermatomal yang terlokalisasi, ditandai dengan nyeri
radikular unilateral dan erupsi vesikular sesuai dermatom. Herpes zoster
disebabkan oleh reaktivasi dari infeksi laten virus varisela zoster (VVZ) di
ganglion sensoris. Herpes Zoster yang mengenai nervus kranial trigeminus cabang
oftalmikus (V.I) disebut juga sebagai herpes zoster oftalmikus (HZO). Infeksi
virus varicella-zoster (VZV) tersebar luas pada populasi umum. Risiko herpes
zoster seumur hidup diperkirakan 10-20%, meningkat seiring bertambahnya usia.
(1)
Insiden herpes zoster pada anak-anak 0,74 per 1000 orang per tahun. Insiden ini
meningkat menjadi 2,5 per 1000 orang di usia 20-50 tahun (adult age), 7 per 1000
orang di usia lebih dari 60 tahun (older adult age) dan mencapai 10 per 1000
orang per tahun di usia 80 tahun.(2) Karena herpes zoster ophthalmicus (HZO)
menyumbang 20% dari semua lokasi herpes zoster, risiko HZO seumur hidup
adalah sekitar 1-2%.(1)

Herpes zoster (HZ) merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi


virus varicella zoster (VVZ) pada kulit dan mukosa. Herpes zoster oftalmikus
(HZO) merupakan bagian dari HZ yang mengenai cabang pertama nervus
trigeminus, yaitu nervus oftalmika, sehingga menimbulkan kelainan di sekitar
mata. Herpes zoster oftalmikus pertama dilaporkan oleh Hutchinson pada tahun
1865. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, sporadis sepanjang tahun tanpa
dipengaruhi musim dan jenis kelamin. Reaktivasi VVZ akan meningkat seiring
usia; virus VVZ 20-30% lebih mudah tereaktivasi pada populasi di atas usia 50
tahun.(3)

Patogenesis HZ belum seluruhnya diketahui, diduga selama varisela, VVZ


berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris
dan diangkut secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris.
Selanjutnya terjadi infeksi laten, virus tersebut tidak lagi menular dan tidak

1
2

bermultiplikasi, namun tetap mempunyai kemampuan berubah menjadi infeksius.


(3)

Insidens HZO diduga tergantung faktor yang memengaruhi hubungan


virus dan pejamu, meningkat dengan bertambahnya usia. Komplikasi pada pasien
usia lanjut umumnya memiliki prognosis kurang baik dibandingkan pada pasien
dewasa muda. Berikut dilaporkan kasus HZO pada seorang laki-laki berusia 61
tahun.(3)

Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster adalah menyusutnya


sel mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan perkembangan usia.
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel
mediated imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang
lebih spesifik dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster
sedikitnya 15x lebih besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV.(2)

Herpes zoster oftalmika biasanya dimulai dengan rasa nyeri atau


kesemutan pada kulit kepala, dahi dan wajah di satu sisi. Pada tahap awal
biasanya tidak ada ruam, sehingga sulit untuk didiagnosis. Umumnya, ruam
muncul dalam beberapa jam sampai beberapa hari setelah sensasi rasa sakit atau
kesemutan dimulai. Pada saat tidak adanya ruam komplikasi ke mata jarang
terjadi. Ruam herpes zoster oftalmika dimulai saat adanya kemerahan pada kulit
diikuti oleh munculnya vesikel berisi cairan yang cepat pecah dan berakhir dengan
krusta. Lesi pada kulit ini butuh waktu berhari-hari sampai bermingguminggu
untuk sembuh dan bisa menyebabkan jaringan parut yang signifikan.

Manifestasi okular pada Herpes zoster oftalmika sangat banyak bisa dari
invasi virus langsung, maupun secara sekunder terjadi peradangan dan vaskulitis,
kerusakan saraf dan atau jaringan parut. Komplikasi yang dilaporkan dari Herpes
zoster oftalmika termasuk vesikel pada kelopak mata dan jaringan parut, beberapa
bentuk konjungtivitis, keratitis, episkleritis, skleritis, uveitis, glaukoma sekunder,
kelainan papiler, nekrosis retina akut, neuritis optik, palsi saraf kranial (N III, IV
dan VI), sindrom apeks orbital, arteritis lokal dan post herpetik neuralgia
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Persarafan Mata

Mata dan struktur disekitarnya dipersarafi oleh 3 saraf kranialis yaitu


nervus optikus (N.II), nervus okulomotorius (N.III), nervus troklearis (N.IV),
cabang oftalmikus nervus trigeminus (N.V1) dan nervus abdusens (N.VI).
Fungsi nervus II adalah fungsi sensorik yang memberikan bayangan cahaya
yang diterima retina untuk menghasilkan penglihatan. Nervus III,IV dan VI
berfungsi sebagai saraf motorik yang menggerakkan bola mata. Fungsi nervus
Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu, nyeri dan raba pada
daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral calvaria), pemeriksaan
refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot pengunyah. (5)
Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak
mngelami gangguan fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V menerima
fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.(5)
Nervus trigeminus merupakan nervus kranialis sensorik terbesar pada
leher dan kepala serta merupakan nervus motorik pada otot-otot
pengunyah. Nervus trigeminus muncul dari pons, dekat dengan batas sebelah
atas dengan radiks motorik kecil yang terletak di depan dan radiks sensorik
besar yang terletak di medial. (5)

Gambar 2.1 Cabang dari Nervus Trigeminus.(1)

4
5

Nervus trigeminus dinamakan saraf tiga serangkai sebab terdiri atas tiga
cabang (rami) utama yang menyatu pada ganglion semilunar (Gasseri). Ketiga
cabang tersebut adalah:
1) Nervus Oftalmikus
Nervus oftalmikus adalah nervus terkecil dari ketiga divisi
trigeminus yang mensarafi dahi, mata, hidung, selaput otak, sinus
paranasalis dan sebagian dari selaput lendir hidung. Saraf ini memasuki
rongga tengkorak melalui fissura orbitalis superior. Nervus oftalmikus
merupakan divisi pertama dari trigeminus dan merupakan saraf sensorik.
Cabang n. oftalmikus memberikan inervasi kornea, badan siliaris dan iris,
glandula lakrimalis, konjungtiva, bagian membran mukosa kavum nasalis,
kulit palpebra, alis, dahi dan hidung. (5)
Nervus oftalmikus muncul dari bagian atas ganglion semilunar
(Gasseri) sebagai berkas yang pendek dan rata kira-kira sepanjang 2.5 cm
yang melewati dinding lateral sinus kavernosus, di bawah nervus
okulomotorius (N III) dan nervus troklearis (N IV). Ketika memasuki
kavum orbita melewati fissura orbitalis superior, nervus oftalmikus
bercabang menjadi tiga cabang: lakrimalis, frontalis dan nasosiliaris. (5)

Gambar 2.2 Cabang Nervus Trigeminus oftalmikus. (5)


6

2) Nervus Maksilaris
Nervus maxilaris merupakan divisi dua dan merupakan nervus
sensorik. yang mempersarafi rahang atas serta gigi-gigi rahang atas, bibir
atas, pipi, palatum durum, sinus maksilaris dan selaput lendir hidung.
Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen rotundum. Ukuran
dan posisinya berada di tengah-tengah nervus oftalmikus dan
mandibularis. Ujung dari saraf ini terletak di bawah musculus quadratus
labii superioris dan terbagi menjadi serabut yang lebih kecil yang
mengincervasi hidung, palpebra bagian bawah dan bibir superior bersatu
dengan serabut nervus fasialis. (5)

Gambar 2.3 Cabang Nervus Trigeminus Maxilaris dan Mandibularis. (5)

3) Nervus Mandibularis
Nervus mandibularis yang mempersarafi rahang bawah, bibir
bawah, mukosa pipi, lidah, sebagian dari meatus accusticus externus,
meatus accusticus internus dan selaput otak. Saraf ini memasuki rongga
tengkorak melalui foramen ovale. Ketiga nervi (rami) ini bertemu di
ganglion semilunare Gasseri. Dalam ganglion semilunar Gasseri terdapat
sel-sel ganglion unipolar.
Nervus mandibularis disebut juga nervus maxillaris inferior,
menginervasi gigi dan gingiva rahang bawah, kulit pada regio temporal,
auricular, bibir bagian bawah, bagian bawah wajah, musculus mastikasi,
dan membran mukosa lidah 2/3 anterior.(5)
7

2.2 Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) merupakan selaput bening mata,
tembus cahaya, lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea
mempunyai kekuatan dioptri sebesar 43 dioptri pembiasan sinar, melalui
kornea. Kornea terdiri atas lapis : (6)
1. Epitel
- Tebalnya (50-90 mikron), terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk
yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
- Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng,sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingya dan sel
poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit, dan glukosa yang merupakan
barrier.
- Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
- Epitel berasal dari ektoderm permukaan.(6)
2. Membran Bowman
- Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma, dengan tebal 12 mikron.
- Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.(6)
3. Stroma
- Menyusurn 90 % ketebalan kornea (500 mikron).
- Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya,pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali
serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadal sampai 15
bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletakdi antara serat kolagen stroma. Drauge Keratosit
8

membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan


embrio atau sesudah trauma.(6)
4. Membran Descement
- Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
konea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basal.
- Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 12 mikron.(6)
5. Endotel
- Berasal dari mesotelium, berlapis satu, berntuk heksagonal Endotel-
melekat pada membran descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden. (6)

Gambar 2.4 Anatomi Kornea. (7)

Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari


saraf siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran Bowman
melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada
kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi
dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong di
daerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. (6)

Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan


sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea.Endotel tidak mempunyai daya regenerasi. (6)
9

2.3 Keratitis Herpes Zoster


2.3.1. Definisi
Keratitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada kornea
mata.(6) Virus varicella zoster adalah virus herpes DNA untai ganda yang
menetap di ganglia saraf sensorik setelah infeksi primer varicella/cacar air.
Walaupun infeksi primer bisa ringan, saat reaktivasi, virus biasanya
menyebabkan ruam vesikular yang menyakitkan yang disebut herpes
zoster (HZ), yang mempengaruhi sekitar 1 juta orang per tahun di AS.
Insiden HZ telah meningkat empat kali lipat dalam 60 tahun terakhir dan
terus meningkat di seluruh dunia.(9)

2.3.2. Etiologi

Herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster


yang laten di dalam ganglion posterior atau ganglion intrakranial. Virus
dibawa melalui sternus sensory ke tepi ganglia spinal atau ganglia
trigeminal kemudian menjadi laten.(9)

Virus varicella zoster merupakan virus ds DNA yang tergabung


dalam famili Herpersviridae. Infeksi primer virus ini dapat terjadi apabila
terjadi kontak langsung dengan mukosa traktus respiratorius atau
konjungtiva dan virus dapat bermigrasi di sepanjang nervus sensorik
menuju bagian dorsal ganglion dan menjadi dorman disana. Kondisi ini
dapat bertahan hingga beberapa dekade.(9)

2.3.3. Faktor Resiko


Faktor resiko utama dari herpes zoster adalah umur. Pada usia tua
sel perlawanan infeksi yang dihasilkan kurang cepat bereaksi dan kurang
efektif daripada sel yang ditemukan pada kelompok dewasa muda. Ketika
antibodi dihasilkan, durasi respon kelompok lansia lebih singkat dan lebih
sedikit sel yang dihasilkan. Penuaan juga mempengaruhi aktivitas leukosit
termasuk makrofag, monosit, neutrofil, dan eosinofil. Terjadinya
perubahan fungsional sel T dan monosit yang berfungsi sebagai
10

pertahanan terhadap virus menyebabkan reaktivasi VVZ sehingga


menimbulkan penyakit herpes zoster. (1)
Faktor lain yang secara tidak langsung dapat mencetuskan herpes
zoster adalah kelelahan secara fisik dan stress emosional. Stress
menyebabkan peningkatan hormon neuroendokrin, terutama
glukokortikoid dan katekolamin. Kedua hormon ini menyebabkan
menurunkan aktivitas natural killer cell, proliferasi limfosit, dan produksi
antibodi sehingga tubuh lebih rentan terhadap infeksi. (1)

2.3.4. Patofisiologi

2.3.5. Manifestasi Klinis

Gejala yang paling khas pada herpes zoster adalah lokalisasi dan
distribusi dari lesi, yang unilateral dan secara umum terbatas pada area
kulit yang disarafi oleh ganglion sensoris tunggal. Kulit yang disarafi oleh
saraf trigeminal, terutama divisi opthalmika (10-15%), dan tubuh dari T3-
11

L2 (>50%), adalah yang paling sering terkena, dan lesi herpes zoster
jarang pada bagian distal sampai siku atau lutut.

Manifestasi klinis herpes zoster diawali dengan adanya gejala


prodromal berupa nyeri, gatal, hiperestesia, alodinia serta paraestesia
unilateral sesuai dengan dermatom kulit yang terkena. Gejala ini dapat
disertai dengan demam, sakit kepala, malaise dan anoreksia yang dapat
berlangsung selama 1-5 hari. Nyeri pada herpes zoster sering
dideskripsikan sebagai rasa seperti ditusuk-tusuk dan rasa panas seperti
terbakar yang dapat berlangsug terus-menerus ataupun hilang timbul. Lesi
herpes zoster muncul sebagai makula dan papula eritema sesuai distribusi
dermatomal. Vesikel terbentuk dalam 12-24 jam dan berkembang menjadi
krusta dalam 7-10 hari. Krusta secara umum menetap selama 2-3 minggu.
Pada individu normal, lesi baru muncul dari hari 1 sampai hari ke 4
(biasanya paling lama 7 hari). Lesi paling berat dan bertahan paling lama
pada orang tua, dan paling ringan dan durasi pendek pada anak-anak.

Gambar 2.5 Penderita Herpes Zoster Oftalmikus.(9)

Herpes zoster yang melibatkan reaktivasi VVZ pada nervus


trigeminus cabang pertama atau oftalmikus kita kenal dengan istilah
herpes zoster oftalmikus (HZO). Lesi kulit HZO dapat muncul pada satu
sisi dahi, hidung, dan kelopak mata dengan karakteristik tidak melewati
garis tengah.
12

Manifestasi klinis HZO adalah sesuai cabang oftalmikus yang


terkena, di mana HZO dapat melibatkan satu cabang atau lebih.
Keterlibatan cabang frontalis umumnya tidak mengenai mata, sebaliknya
keterlibatan cabang nasosiliaris memberi akses masuk bagi VVZ ke
struktur intraokular sehingga berpotensi menimbulkan komplikasi okular.
Cabang nasosiliaris menginervasi bola mata, kantus medial, serta ujung,
sisi dan akar hidung. Adanya lesi herpes zoster pada ujung, sisi, atau akar
hidung yang disebut juga tanda Hutchinson merupakan faktor prediktor
penting dalam penentuan ada tidaknya komplikasi okular, di mana
didapatkan peningkatan risiko sebesar 3-4 kali dibanding pasien HZO
tanpa tanda Hutchinson. Komplikasi okular yang dapat terjadi antara lain
konjungtivitis, keratitis, glaukoma inflamasi, uveitis, retinitis, serta
kelemahan otot transien yang disertai pandangan ganda.

Gambar 2.6 Tanda Hutchinson. (8)

Herpes zoster dapat mengenai divisi kedua dan ketiga dari saraf
trigeminalis, yang dapat memberikan gejala dan lesi pada mulut, telinga,
faring atau laring. Sindrom Rumsay Hunt (facial palsy dengan kombinasi
herpes zoster pada telinga eksternal, kanal telinga, atau membrane timfani,
dengan atau tanpa tinitus, vertigo dan tuli) dihasilkan dengan keikutsertaan
saraf fasialis dan auditori. Telinga dan auditori kanal eksternal disarafi
oleh saraf kranial 5, 7, 9, dan 10 dan saraf servikal bagian atas, dan saraf
fasialis mengalami anastomosis dengan semuanya. Jadi, saat herpes zoster
mengenai ganglia dan salah satu dari saraf ini dapat menyebabkan fasial
paralisis dan lesi kutaneus pada atau sekitar telinga.
13

Gambar 2.7 Sindrom Rumsay Hunt.

2.3.6. Diagnosis Banding


Keratitis herpes simpleks, konjungtivitis virus atau bakteri lainnya,
uveitis, glaukoma, trauma, paparan bahan kimia, oklusi vaskular, migrain,
sakit kepala cluster, neuritis trigeminal, neuritis optik, vaskulitis, dan lain-
lain. (9)

2.3.7. Pemeriksaan

Anamnesis
Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat
influenza like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang
mungkin berakhir sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash
unilateral menyelubungi daerah kepala, atas kening dan hidung (divisi
dermatom pertama dari pada nervus trigeminus).
Kira – kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri
dermatom sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus
muncul keliatan yang lama kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri
daripada papula dan vesikel. Lesi ini akan membentuk pustula dan
seterusnya lisis dan membentuk krusta dalam masa 5 - 7 hari. (9)
Pemeriksaan Fisik
- Ketajaman visual dengan koreksi terbaik
- Pemeriksaan luar kelopak mata, kulit periokular, dan kulit kepala.
- Pengukuran tekanan intraokular
14

- Biomikroskopi slit-lamp segmen anterior dengan perhatian khusus


pada setiap defek pewarnaan kornea, kekeruhan stroma, vaskularisasi
kornea, presipitat keratik, dan sel bilik mata depan dan flare.
- Pemeriksaan dilatasi lensa, makula, retina perifer, nervus optikus, dan
vitreus. (9)

Diagnosa klinis

Sensasi kornea harus diuji sebelum pemberian tetes anestesi. Ini


dapat dilakukan dengan Esthesiometer Cochet-Bonnet atau dengan
gumpalan halus aplikator ujung kapas. Penurunan sensasi sangat
mencurigakan untuk virus herpes simpleks (HSV). Menggunakan
fluorescein, cacat epitel kornea harus disingkirkan. (9)

Gambar 2.7 Pseudodendritik Keratitis Herpes Zoster Oftalmikus.

Tes Laboratorium
Kerokan kornea dari setiap lesi kulit dapat dikirim ke laboratorium
untuk apusan Tzanck. Namun, tes ini tidak akan membedakan antara virus
herpes simpleks (HSV) dan Varicella. Atau, kultur dapat dikirim untuk tes
imunofluoresensi untuk mencari IgM spesifik untuk VZV. Kultur virus
dan pengujian reaksi berantai polimerase juga dapat dilakukan untuk
mendiagnosis VZV. (9)
15

2.3.8. Tatalaksana

Pengobatan umum

Perawatan ruam kulit harus mencegah superinfeksi bakteri. Dengan


pemeriksaan yang cermat, peradangan di semua lapisan mata harus
disingkirkan dan diobati dengan antivirus dan steroid jika diindikasikan.
Ketika ruam kulit adalah satu-satunya tanda klinis, perawatan lanjutan
harus diarahkan untuk menyingkirkan manifestasi okular yang mungkin
berkembang. (9)

Terapi medis

Asiklovir oral 800 mg PO lima kali sehari selama 7 sampai 10 hari


adalah pengobatan standar. Sebagai alternatif, famciclovir 500 mg PO TID
atau valacyclovir 1000mg PO TID dapat digunakan. Jika kondisi sistemik
menjamin atau jika pasien tidak dapat mentoleransi makanan melalui
mulut maka asiklovir 5-10 mg/kg IV setiap 8 hari selama 5 hari dapat
digunakan.

Steroid topikal (misalnya prednisolon asetat 1%) harus digunakan


untuk keratitis interstisial dan uveitis. Untuk episode skleritis, retinitis,
koroiditis, dan neuritis optik, steroid sistemik melalui mulut atau
pemberian intravena harus sangat dipertimbangkan.

Untuk peningkatan tekanan intraokular yang biasa ditemukan pada


herpes trabekulitis, steroid topikal harus diberikan serta penekan aqueous
(misalnya timolol, brimonidine, dorzolamide, acetazolamide).

Nyeri harus diobati dengan narkotika jika diperlukan. Nyeri


neuropatik berespon baik terhadap amitriptyline 25 mg PO QHS dan dapat
menurunkan insiden neuralgia postherpetik. Krim capsaicin yang
dioleskan pada ruam juga dapat mengurangi rasa sakit. Pregabalin 150mg /
hari dalam dosis terbagi dapat mengurangi rasa sakit akibat neuralgia
herpetik akut. (9)

Tindak lanjut medis


16

Tergantung pada temuan okular dan tingkat keparahan pasien harus


dipantau setiap 1 sampai 7 hari selama episode akut. Pemantauan setiap 3-
12 bulan sesudahnya dapat membantu untuk memantau gejala sisa yang
tertunda seperti hipertensi okular, katarak, dan jaringan parut kornea. Jika
ada kekhawatiran tentang eksaserbasi di masa depan, profilaksis virus
harus dipertimbangkan dengan asiklovir 400 mg PO BID. (9)

Operasi

Transplantasi kornea terkadang diperlukan untuk lesi yang


menyebabkan penipisan kornea yang parah dan hilangnya integritas
struktural mata. Bekas luka yang signifikan secara visual dan refrakter
terhadap terapi medis dan/atau lensa kontak keras mungkin memerlukan
transplantasi. Operasi vitrektomi / pelepasan retina dapat dilakukan
terutama pada kasus nekrosis retina akut (ARN). Operasi filtrasi glaukoma
terkadang dilakukan jika ada kesulitan untuk mempertahankan tekanan
intraokular yang optimal. Jika peradangan intraokular dan/atau pengobatan
steroid menyebabkan katarak, maka operasi katarak dapat dilakukan ketika
proses penyakit tidak lagi berlangsung. (9)

Tindak lanjut bedah

Tergantung pada jenis operasi yang dilakukan, pasien harus


dipantau secara ketat untuk peradangan parah yang umumnya terkait
dengan herpes setelah prosedur pembedahan. Profilaksis virus dengan
terapi antivirus dan steroid harus sangat dipertimbangkan. (9)

2.3.9. Komplikasi

Manifestasi kulit zoster di kelopak mata dapat mempengaruhi


dermis dalam. Oleh karena itu, sikatriks dapat menyebabkan ptosis,
jaringan parut kelopak mata, ektropion, dan entropion. Peradangan pada
kornea, saraf optik, retina, dan koroid dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan permanen. Bekas luka kornea umumnya mempengaruhi
penglihatan yang membutuhkan lensa kontak keras atau intervensi
17

transplantasi kornea. Neuralgia pascaherpetik terjadi pada 36,6% pasien di


atas usia 60 tahun dan pada 47,5% di atas usia 70 tahun.

Gambar 2.8 Spektrum komplikasi okular herpes zoster oftalmikus. (9)

2.3.10. Pencegahan primer


Vaksinasi varicella-zoster (herpes zoster) direkomendasikan untuk
pasien di atas usia 50 tahun atau pada orang dewasa berusia 18 tahun ke
atas yang sedang atau akan berada pada peningkatan risiko HZ karena
imunodefisiensi atau imunosupresi yang disebabkan oleh penyakit atau
terapi yang diketahui. Meskipun 90% dari populasi telah terpapar VZV
sebelumnya, tampaknya ada manfaat untuk meningkatkan kekebalan
terutama karena insiden komunitas dari paparan VZV asli telah menurun.
Uji klinis yang mengarah pada persetujuan vaksin rekombinan Shingrix di
AS menunjukkan kemanjuran >90% dalam mencegah HZ. Sebuah studi
dunia nyata baru-baru ini menunjukkan 70% penurunan insiden zoster dan
pengurangan 74% neuralgia postherpetic. (9)

2.3.11. Prognosis
18

Prognosis sangat bervariasi dan tergantung pada gejala sisa jangka


panjang. Kehilangan penglihatan jangka panjang, kebutuhan untuk
operasi, dan profilaksis antivirus jangka panjang semuanya mungkin. (9)
BAB III

KESIMPULAN

Varicella-zoster virus (VZV) adalah virus Herpes yang menyebabkan cacar


air dan herpes zoster. Dengan keterlibatan epitel kornea, virus dapat menyebabkan
keratitis epitel punctata atau dendritik. Pseudodendrit yang disebabkan oleh VZV
dapat dibedakan secara klinis dari dendrit "sejati" yang disebabkan oleh virus
Herpes simpleks (HSV). Berbeda dengan dendrit HSV, pseudodendrit VZV
berukuran lebih kecil, meninggi tanpa ulserasi sentral, tidak memiliki umbi
terminal, dan relatif tidak memiliki pewarnaan sentral. Plak mukosa yang
meningkat dapat terjadi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan setelah
resolusi pseudodendrit asli. Sisa hipoestesia kornea setelah infeksi bisa parah.

HZ adalah penyakit kompleks yang dapat memiliki beberapa manifestasi


okular yang bervariasi dalam tingkat keparahannya. Pengobatan HZK berpusat
pada antivirus oral dan/atau topikal untuk penyakit epitel aktif dan steroid topikal
untuk penyakit stroma dan endotel yang dimediasi imun. Sering berulang atau
kronis dan pada akhirnya dapat menyebabkan jaringan parut stroma atau disfungsi
endotel, mungkin memerlukan pembedahan. Vaksinasi adalah metode yang
efektif untuk mengurangi kejadian HZO. Manifestasi oftalmik lainnya, seperti
glaukoma, dan masalah sistemik, seperti PHN, harus dikelola bersama dengan
spesialis yang sesuai. Manajemen penyakit HZK kronis dan berulang merupakan
tantangan, dan saat ini hanya ada sedikit bukti untuk memandu pengobatan
dengan obat antivirus.

19
20
DAFTAR PUSTAKA

1. Utami TND, Rusyati MML, Sudarsa SSP. Herpes zoster oftalmikus


dengan komplikasi ocular, Vol 12, No 01. Bali : Intisari Sains Medis ;
2021
2. Himayani R, Haryant PA. Herpes Zoster Oftalmika dengan
Blefarokonjungtivitis Okuli Sinistra, Vol 04, No 01. Lampung : J
AgromedUnila ; 2017
3. Wibianto A, Haryono W. Herpes Zoster Oftalmikus Sinistra pada Geriatri
dengan Komplikasi, Vol 48, No 04. Bandung : Rumah Sakit Umum
Daerah Soreang ; 2021
4. Irmawati, Garmelia E. Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit Masalah
Terkait Kesehatan serta Tindakan II. Kemenkes RI ; 2018
5. Cantor LB, Rapuano CJ, Cioffi GA. Orbital anatomy. Dalam: Orbit,
Eyelids, and Lacrimal System. San Fransisco. American Academy
Ophtalmology. 2016. hlm. 5-1
6. Ilyas S, Yulianti RS. Ilmu Penyakit Mata, Edisi kelima. Universitas
Indonesia Publishing ; 2022. hml 6-7
7. Brar VS, Law SK, Lindsey JL, Mackey DA, Schultze RL, Singh RS, et al.
Fundamentals and principles of ophthalmology. Dalam: Cantor LB,
Rapuano C, Cioffi G, editor. Basic and clinical science course. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2019. hlm. 50-6, 259-
67.
8. Lau L, Mirzakhani H, Governatori N. Hutchinson’s Sign. Philadelphia :
Thomas Jefferson University
9. Feldman HB, Bunya YV, Woodward AM, dkk. Herpes Zoster
Ophthalmicus. American Academy of Ophthalmology ; 2022

21

Anda mungkin juga menyukai