Anda di halaman 1dari 31

REFERAT ILMU PENYAKIT SARAF

ENSEFALITIS

Disusun oleh :
Febby Astari
030.13.073

Pembimbing:
Dr.Irastri Anggraini, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RSUD K.R.M.T WONGSONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 4 JUNI – 21 JULI 2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul “Ensefalitis” ini diajukan untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Saraf
RSUD K.R.M.T Wongsonegoro
Periode 4 Juni – 21 Juli 2018

Oleh :
Febby Astari
03.013.073

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing


Semarang, 01 Juli 2018

dr. Irastri Anggraini, Sp.M

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa karena berkatNya saya bisa
menyelesaikan referat berjudul Keratitis Sicca yang dibuat untuk memenuhi tugas
dalam kepaniteraan klinik Ilmu penyakit Mata di RSUD KRMT Wongsonegoro. Saya
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua dokter yang telah membimbing saya

2
terutama kepada dr. Irastri Anggraini, Sp.M yang telah membantu saya dalam proses
pembuatan referat ini.
Saya menyadari bahwa referat ini jauh dari kata sempurna dank arena itu saya
sangat terbuka menerima saran dan kritik demi kesempurnaan referat ini. Semoga
referat yang telah saya susun ini dapat berguna bagi kita semua.

Semarang, Juni 2018

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSAKA .............................................................................. 5
2.1 ENSEFALITIS ....................................................................................... 5
2.2.1 DEFINISI ................................................................................... 5
2.2.2 EPIDEMIOLOGI ....................................................................... 5
2.2.3 KLASIFIKASI ........................................................................... 6
2.2.4 ETIOLOGI ................................................................................. 7
2.2 JAPANESE ENSEFALITIS .................................................................. 7
2.2.1 DEFINISI ................................................................................... 7
2.2.2 EPIDEMIOLOGI ....................................................................... 7
2.2.3 ETIOLOGI ................................................................................. 8
2.2.4 PATOFISIOLOGI ...................................................................... 8
2.2.5 MANIFESTASI KLINIS ........................................................... 9
2.2.6 PENEGAKAN DIAGNOSA ................................................... 10
2.2.7 DIAGNOSA BANDING ......................................................... 13
2.2.8 PENATALAKSANAAN .......................................................... 14
2.2.9 KOMPLIKASI ......................................................................... 16
2.2.10 PROGNOSIS ........................................................................... 16
2.2.11 PENCEGAHAN ...................................................................... 16
BAB III KESIMPULAN ...................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG

Penyakit infeksi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang


utama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Infeksi susunan
saraf pusat merupakan masalah yang serius. Diagnosis yang terlambat dan
penatalaksanaan yang tidak sesuai akan berakhir dengan kematian atau
disabilitas yang serius. Diagnosis yang ditegakkan sedini mungkin serta terapi
yang cepat dan tepat dapat membantu mengurangi angka kematian.1
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Sebagian
besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi,
berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20-
40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus
dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas,
akan tetapi hanya ensefalitis herpes simpleks dan varicela yang dapat diobati.1
Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan bentuk
sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan
sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama
terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.2

4
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1 DEFINISI
Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa).1
Ensefalitis merupakan suatu inflamasi parenkim otak yang biasanya disebabkan
oleh virus. Ensefalitis berarti jaringan otak yang terinflamasi sehingga menyebabkan
masalah pada fungsi otak. Inflamasi tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan
kondisi neurologis anak termasuk konfusi mental dan kejang.3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Usia, musim, lokasi geografis, kondisi iklim regional, dan sistem kekebalan tubuh
manusia berperan penting dalam perkembangan dan tingkat keparahan penyakit. Di
Amerika Serikat terdapat 5 virus utama yang disebarkan nyamuk: West Nile, Eastern
Equine Encephalitis, Western Equine Encephalitis, La Crosse, dan St. Louis
Encephalitis. Tahun 1999, terjadi wabah virus West Nile disebarkan
oleh nyamuk Culex di kota New York. Virus terus menyebar hingga di seluruh AS.
Insidensi di USA dilaporkan 2.000 atau lebih kasus viral ensefalitis per tahun, atau kira-
kira 0,5 kasus per 100.000 penduduk. 5
Virus Japanese Encephalitis adalah arbovirus yang paling umum di dunia
(virus yang ditularkan oleh nyamuk pengisap darah atau kutu) dan mengenai 50.000
kasus dan 15.000 kematian pertahun di sebagian besar Cina, Asia Tenggara, dan India.4
Indonesia merupakan salah satu daerah endemik di dunia.11
Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.1

2.3 KLASIFIKASI
1. Berdasarkan tahapan virus menginvasi otak, ensefalitis terdiri dari 2 tipe yaitu:2
 Ensefalitis primer disebabkan oleh infeksi virus langsung ke otak.
 Ensefalitis sekunder, diawali adanya infeksi sistemik atau vaksinasi.

2. Klasifikasi berdasarkan penyebab :2,3,5,8


 Ensefalitis supurativa :
Bakteri penyebab ensefalitis supurativa adalah : staphylococcus aureus,
streptococcus, E.coli dan M.tuberculosa.
 Ensefalitis virus :
Virus yang dapat menyebabkan radang otak pada manusia :

5
a. Virus RNA
Paramikso virus : virus parotitis, irus morbili
Rabdovirus : virus rabies
Togavirus : virus rubella flavivirus (virus ensefalitis Jepang B, virusdengue)
Picornavirus : enterovirus (virus polio, coxsackie A,B,echovirus)
Arenavirus : virus koriomeningitis limfositoria
b. Virus DNA
Herpes virus : herpes zoster-varisella, herpes simpleks, sitomegalovirus,virus
Epstein-barr
Poxvirus : variola, vaksinia
Retrovirus : AIDS
 Ensefalitis karena parasit :
Malaria serebral
Toxoplasmosis
Amebiasis
 Ensefalitis fungus :
Fungus yang dapat menyebabkan radang antara lain : candida albicans,
Cryptococcus neoformans,Coccidiodis, Aspergillus, Fumagatus dan Mucor
mycosis.
 Riketsiosis Serebri

2.4 ETIOLOGI
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya
bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan
tersering ialah virus.

Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah :


1. Infeksi virus yang bersifat epidemik
 Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.

6
 Golongan virus ARBO : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis,
Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer
encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simplex, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi baru
Japanese B encephalitis yang ditemukan.6,7

2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Virus dapat menyebabkan kerusakan neural SSP melalui invasi langsung dan akibat
multiplikasi aktif virus (ensefalitis primer atau infeksius) atau melalui mekanisme respon
autoimun jaringan SSP terhadap antigen virus pada infeksi sistemik ( acute disseminated
encephalomyelitis - ADEM). 6

Virus menyebar ke SSP melalui dua mekanisme utama :

(1) Penyebaran hematogen


Setelah masuk ke tubuh, virus bermultiplikasi secara lokal kemudian dapat terjadi
viremia dan bersarangnya virus diretikulo-endotelial sitem (RES); terutama dihati.
Limpa, kelenjar limfe, dan kadang-kadang muskulus. Dengan berlanjutnya replikasi,
viremia sekunder memungkinkan bersarangnya virus diorgan lain termasuk SSP.
Pada umumnya virus dapat dicegah masuk kejaringan SSP oleh sawar darah otak.
Virus dibersihkan dalam darah oleh sistem retikuolendotelial, teteapi bila terjadi
viremia masif atau terdapat keadaan lain yang menguntungkan virus, maka virus akan
masuk SSP melalui pleksus koroideus, migrasi fagosit yang terinfeksi, replikasi virus
dalam sel endotel atau transfer pasif melalui sawar darah otak. 6

(2) Penyebaran neuronal

7
Penyebaran neuronal (lebih jarang) terjadi melaui saraf perifer dan kranial. Virus
masuk jaringan SSP secara sentripetal melalui transmisi aksonal sepanjang
endoneurium, sel Schwann dan fibrosit sraf. Penyebaran neuronal dapat terjadi pada
rabies, herpes simpleks, VZV, dan virus polio. HSV dapat menyebar ke SSP melalui
neuron olfaktorius dimukosa hidung, kemudian melaui N.olfaktorius terjadi sinaps
dibulbus olfaktorius diotak.
Virus tertentu lebih menyenangi sel otak tertentu, misalnya virus polio
menyukai sel motorik, rabies menyukai sel limbik dan mumps menyukai sel
ependimal. Korteks serebral, terutama lobus temporal sering mengalami kerusakan
berat oleh virus herpes simpleks; arbovirus cendrung melibatkan seluruh otak;
sedangkan predileksi kelainan pada rabies ialah pada daerah basal otak. Keterlibatan
medula spinalis, akar saraf dan saraf perifer bervariasi. 6

Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :

 Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang berkembang
biak
 Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan vascular, dan paravaskular.
 Reaksi aktivasi virus neurotropik yang bersifat laten.

Biasanya ensefalitis virus dibagi dalam 3 kelompok :

1. Ensefalitis primer yang bisa disebabkan oleh infeksi virus kelompok herpes
simpleks,virus influenza, ECHO ( Enteric Cytophatic Human Orphan ), Coxsackie,
dan virus arbo.
2. Ensefalitis primer yang belum diketahui penyebabnya.
3. Ensefalitis para-infeksiosa, yaitu ensefalitis yang timbul sebagai komplikasi penyakit
virus yang sudah dikenal seperti rubeola, varisela, herpes zoster, parotitis epidemika,
mononukleosis infeksiosa dan lain-lain. 4

Seberapa berat kerusakan yang terjadi pada SSP tergantung dari virulensi virus,
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat

8
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau kutu
menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan binatang. Pada
beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu dengan sistem imun
yang lemah, merupakan faktor resiko utama. 6
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui peredaran
darah atau melalui sistem neural (Virus Herpes Simpleks, Virus Varisella Zoster). Setelah
melewati sawar darah otak, virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi
sel menjadi rusak, kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus
menyebabkan ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran sel saraf yang
hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh, virus herpes simpleks
mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior. 2
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara langsung
dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.

Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi primer
biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja.Biasanya subklinis atau berupa somatitis,
faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan komplikasi dari
reaktivasi virus.Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam ganglia trigeminal. Beberapa
tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan reaktivasi yang biasanya
bermanifestasi sebagai herpes labialis. 2

9
Pada ensefalitis bakterial, organisme piogenik masuk ke dalam otak melalui peredaran
darah, penyebaran langsung, komplikasi luka tembus. Penyebaran melalui peredaran darah
dalam bentuk sepsis atau berasal dari radang fokal di bagian lain di dekat otak. Penyebaran
langsung dapat melalui tromboflebitis, osteomielitis, infeksi telinga bagian tengah dan sinus
paranasalis. Mula-mula terjadi peradangan supuratif pada jaringan otak. Biasanya terdapat di
bagian substantia alba, karena bagian ini kurang mendapat suplai darah. Proses peradangan
ini membentuk eksudat, trombosis septik pada pembuluh-pembuluh darah dan agregasi
leukosit yang sudah mati. Di daerah yang mengalami peradangan tadi timbul edema,
perlunakan dan kongesti jaringan otak disertai peradangan kecil. Di sekeliling abses terdapat
pembuluh darah dan infiltrasi leukosit. Bagian tengah kemudian melunak dan membentuk
ruang abses. Mula-mula dindingnya tidak begitu kuat, kemudian terbentuk dinding kuat
membentuk kapsul yang konsentris. Di sekeliling abses terjadi infiltrasi leukosit PMN, sel-sel
plasma dan limfosit. Abses dapat membesar, kemudian pecah dan masuk ke dalam
ventrikulus atau ruang subarakhnoid yang dapat mengakibatkan meningitis. Proses radang
pada ensefalitis virus selain terjadi jaringan otak saja, juga sering mengenai jaringan selaput
otak. Oleh karena itu ensefalitis virus lebih tepat bila disebut sebagai meningo ensefalitis. 4
Sangatlah sukar untuk menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem.
Kecuali pada kasus-kasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana
dapat ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai
pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear). 4

2.6 MANIFESTASI KLINIS 1


Meskipun penyebabnya berbeda-beda, gejala klinis ensefalitis secara umum sama
berupa Trias ensefalitis yang terdiri dari :
 Demam
 Kejang
 Penurunan kesadaran

Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan. Masa
prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing,

10
muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat, kemudian diikuti oleh
tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung distribusi dan luasnya lesi pada neuron. 7
Pada bayi, terdapat jeritan, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang-
kejang. Kejang-kejang dapat bersifat umum atau fokal atau hanya twitching saja. Kejang
dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebrum yang beraneka ragam dapat timbul sendiri-
sendiri atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan sebagainya. Gejala
batang otak meliputi perubahan refleks pupil, defisit saraf kranial dan perubahan pola
pernafasan. Tanda rangsang meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen.
Pada kelompok pasca infeksi, gejala penyakit primer sendiri dapat membantu diagnosis. 4
Pada japanese B ensefalitis, semua bagian susunan saraf pusat dapat meradang
gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir dan tangan, rigiditas pada
lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan nistagmus. Rabies memberi gejala pertama
yaitu depresi dan gangguan tidur, suhu meningkat, spastis, koma pada stadium paralisis. 9
Ensefalitis herpes simpleks dapat bermanifestasi sebagai bentuk akut atau subakut.
Pada fase awal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari.
Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan
gangguan daya ingat. Kemudian pasien mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang
dapat berupa fokal atau umum. Kesadaran menurun sampai koma dan letargi. Koma adalah
faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma sering kali meninggal atau
sembuh dengan gejala sisa yang berat. Pemeriksaan neurologis sering kali menunjukan
hemiparesis. Beberapa kasus dapat menunjukan afasia, ataksia, paresis saraf cranial, kaku
kuduk dan papil edema. 2
Mycoplasma pneumoniae (MP) juga diketahui merupakan penyebab infeksi
pernafasan pada anak-anak dan dewasa, akan tetapi hanya 0,1% dari infeksi MP yang dapat
menyebabkan komplikasi neurologi seperti ensefalitis, meningitis, dan myelitis, dengan
penularan secara langsung ke sistem saraf pusat maupun tidak langsung seperti toxin-
mediated. Dengan gejala klinis yang menyerupai ensefalitis pada umumnya yaitu demam,
sakit kepala, muntah, dan kejang, dan penurunan kesadaran, dan gejala klinis infeksi saluran
pernafasannya dapat asimptomatik. 4

Pada ensefalitis supuratif akut yang berkembang menjadi abses serebri akan timbul
gejala-gejala sesuai dengan proses patologik yang terjadi di otak. Gejala-gejala tersebut ialah
gejala-gejala infeksi umum, tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu nyeri

11
kepala yang kronik progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Tanda-
tanda defisit neurologis tergantung pada lokasi dan luas abses. 9
Gejala ensefalitis sifilis terdiri dari dua bagian yaitu gejala neurologis dan gejala
mental. Gejala-gejala neurologis diantaranya kejang-kejang yang datang dalam serangan-
serangan, afasia, apraksia, hemianopsia, kesadaran mungkin menurun, pada stadium akhir
timbul gangguan-gangguan motorik yang progresif. 9

2.7 DIAGNOSA
Memastikan diagnosis ensefalitis didasarkan atas, gambaran klinis, pemeriksaan
laboratorium, pemeriksaan virologis, dan pemeriksaan penunjang lain seperti EEG,
pencitraan, biopsi otak, dan polymerase chain reaction (PCR). Walaupun tidak begitu
membantu, gambaran cairan serebrospinal dapat pula dipertimbangkan. 7

 Anamnesis
- Identitas ( Nama, Umur, Jenis kelamin )
- Keluhan utama
- Riwayat penyakit terdahulu
- Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
- Riwayat penyakit keluarga

 Pemeriksaan Fisik
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun dan kejang. Kejang
dapat berlangsung berjam-jam. Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, dapat
timbul terpisah atau bersama-sama, misalnya paresis atau paralisis, afasia dan
sebagainya.

 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan hematologi
Pada pemeriksaan hematologi sering menunjukan leukositosis dengan
predominasi limfosit dan peninggian laju endap darah (LED)

12
2. Cairan serebro-spinal
CSS pada penyakit virus SSP biasanya menunjukan pleiositosis mononuklear
(5-500 sel/mm3). Jenis sel pada awal perjalanan penyakit sering polimorfonuklear
(PMN) yang kemudian akan didominasi sel mononuklear. Perubahan jenis sel ini
akan terlihat pada 2 sampel CSS yang diambil dengan perbedaan waktu sedikitnya 8-
12 jam. 7
Kadar protein cendrung normal atau sedikit meningkat (biasanya <200mg/dl),
tetapi dapat sangat tinggi bila kerusakan otaknya luas seperti pada ensefalitis HSV.
Kadar glukosa biasanya normal walaupun pada beberapa infeksi, seperti mumps dan
HSV, kadar glukosa dapat menurun sampai 25-50 mg/dl, tetapi jarang sampai
dibawah 20 mg/dl. Sebanyak 5-15% penderita ensefalitis HSV, CSSnya normal
diawal perjalanan penyakit. 7
Pungsi lumbal tidak dilakukan bila terdapat edema papil. Bila dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinalis maka dapat diperoleh hasil berupa biasanya cairan
jernih, jumlah sel 50 – 200 dengan dominasi limfosit. Kadar protein kadang – kadang
meningkat, sedangkan glukosa masih dalam batas normal. Tekanan LCS dapat normal
atau meningkat. 7

3. Elektroensefalografi
EEG sangat membantu diagnosis pada ensefalitis herpes simpleks bila
ditemukan gambaran perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal.Lebih
sering EEG hanya memperlihatkan perlambatan umum yang menunjukkan disfungsi
otak menyeluruh. Pada ensefalitis virus yang disebabkan oleh herpes simpleks tipe 1,
gambaran EEG berupa aktivitas gelombang tajam periodik di temporal dengan latar
belakang fokal atau difus. 7

4. Pemeriksaan CT scan atau MRI kepala menunjukkan gambaran edema otak.


Manfaat pemeriksan pencitraan terutama bukan dalam menetukan penyebab
meningoensefalitis, tetapi dalam menilai tingkat kerusakan SSP. Dalam hal ini MRI
lebih unggul daripada CT scan. Sensitivitas MRI juga melebihi CT scan dalam

13
mendeteksi lesi pada ensefalomielitis diseminata akut yang berupa demielinisasi
multifokal dimassa putih serebrum, serebelum, dan batang otak. 7

5. Pemeriksaan diagnostik khusus


Isolasi virus dalam cairan serebrospinal secara rutin tidak dilakukan karena
sangat jarang menunjukkan hasil yang positif. Titer antibodi terhadap VHS dapat
diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinal. Titer antibodi dalam serum
tergantung apakah infeksi merupakan infeksi primer arau infeksi rekuren. Pada infeksi
primer, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu,
sedangkan pada infeksi rekuren kita dapat menemukan peningkatan titer antibodi
dalam dua kali pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen. Kenaikan titer 4 kali lipat
pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VH sedang aktif. Harus
diiongat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan disebabkan
oleh VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinal merupakan indikator yang lebih
baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah otak, akan tetapi
kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinal sering terlambat, dan baru dapat
dideteksi pada hari ke 10-12 setelah permulaan sakit. Hal ini merupakan kendala
terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis
retrospektif. Penggunaan perbandingan antara titer antibodi serum dan cairan
serebrospinal < 20 tidak memeperbaiki sensitivitas diagnosis dalam 10 hari sakit. 10

 Teknik diagnostik yang tersedia diantranya pemeriksaan serologik, biakan


sel, imunohistologik dan biologi molekuler (PCR).
Polymerase chain reaction (PCR) sekarang menjadi baku emas untuk
mengevaluasi ensefalitis atau meningoensefalitis HSV dengan mendeteksi
DNA HSV didalam CSS. Spesifisitas PCR pada ensefalitis HSV mendekati
100%, sedangkan sensitivitasnya berkisar antara 75-95%. PCR juga dapat
dipakai untuk diagnosis cepat infeksi dengan CMV, enterovirus, human
herpes virus, virus varicella-Zoster dan HIV.
 Enzyme linked immunosorbant assay (ELISA) yang dapat mendeteksi
antibodi imunoglobin M (IgM) dalam CSS, snsitif dan spesifik pada
penderita yang diduga menderita ensefalitis Japanese.

14
2.8 DIAGNOSIS BANDING

Meningitis yang disebabkan bakteri yang paling sering menginvasi sistem saraf pusat
yaitu H. Influenza tipe B, S. Pneumoniae, dan N. Meningitidis. Pada meningitis biasanya
ditemukan rangsang meningeal, walaupun pada bayi terkadang tidak ditemukan. Meningitis
tuberkulosa juga merupakan diagnosa banding, dengan perjalanan penyakit yang sangat
lambat. Pada pemeriksaan fisiknya dapat ditemukan limfadenopati, dan tanda rangsang
meningeal. Pada funduskopi dapat ditemukan papil pucat, tuberkuloma di retina, dan adanya
nodul di koroid. Uji tuberkulin dapat juga membantu diagnosa. 9
Infeksi bakteri parameningeal juga, seperti abses otak dimana radang bernanah pada
jaringan otak, juga dapat mempunyai tanda-tanda yang sama dengan ensefalitis, dan
gangguan non infeksi juga perlu dipikirkan pada diagnosa banding ensefalitis, seperti
keganasan, perdarahan intrakranial. Untuk itu pembuatan foto adalah penting untuk diagnosa
proses ini. 10

2.9 PENATALAKSANAAN

Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien koma
yaitu mengusahakan jalan nafas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral atau
parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
keseimbangan asam basa darah. 4

Terapi suportif :
Tujuannya untuk mempertahankan fungsi organ, dengan mengusahakan jalan nafas
tetap terbuka (pembersihan jalan nafas, pemberian oksigen, pemasangan respirator bila henti
nafas, intubasi, trakeostomi), pemberian makanan enteral atau parenteral, menjaga
keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi gangguan asam basa darah. Untuk pasien dengan
gangguan menelan, akumulasi lendir pada tenggorok, dilakukan drainase postural dan
aspirasi mekanis yang periodik. 9

Terapi kausal :

15
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu dengan
memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari. Preparat asiklovir
tersedia dalam 250 mg dan 500 mg yang harus diencerkan dengan aquadest atau larutan
garam fisiologis. Pemeberian secara perlahan-lahanm diencerkan menjadi 100 ml larutan,
diberikan selama 1 jam. Efek sampingnya adalah peningkatan kadar ureum dan keratinin
tergantung kadar obat dalam plasma. Pemberian asiklobir perlahan-lahan akan mengurangi
efek samping. Bila selama pengobatan terbukti bukan infeksi Virus Herpes Simpleks, maka
pengobatan dihentikan.
Pada pasien yang terbukti secara biopsi menderita Ensefalitis Herpes Simpleks dapat
diberikan Adenosine Arabinose 15mg/kgBB/hari IV, diberikan selama 10 hari. Pada beberapa
penelitian dikatakan pemberian Adenosisne Arabinose untuk herpes simpleks ensefalitis
dapat menurunkan angka kematian dari 70% menjadi 28%.
Terapi Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali, lalu
dengan terapi maintenance.
Pemberian antibiotik parenteral tetap diberikan sampai penyebab bakteri
dikesampingkan, dan juga untuk kemungkinan infeksi sekunder. Pada ensefalitis supurativa
diberikan:
- Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
- Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena toxoplasmosis. 6

Terapi Simptomatik :
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung dari
kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah diazepam 0,3-0,5 mg/Kg
BB/ hari dilanjutkan dengan fenobarbital. Perlunya diperiksa kadar glukosa darah, kalsium,
magnesium harus dipertahankan normal agar ancaman konvulsi menjadi minimum.
Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan menempatkan es
pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya pada kiri dan kanan leher,
ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas kepala. Dapat juga diberikan
antipiretikum seperti parasetamol dengan dosis 10-15mg/kgBB, bila keadaan telah
memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi 3 dosis
dengan cairan rendah natrium, dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5mg/kgBB/hari. Bila

16
terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan manitol 0,5-2 g/kgBB IV
dalam periode 8-12 jam.
Nyeri kepala dan hiperestesia diobati dengan istirahat, analgesik yang tidak mengandung
aspirin dan pengurangan cahaya ruangan, kebisingan, dan tamu. 8

Terapi rehabilitatif:
Upaya pendukung dan rehabilitatif amat penting sesudah penderita sembuh.
Inkoordinasi motorik, gangguan konvulsif, strabismus, ketulian total atau parsial, dan
gangguan konvulsif dapat muncul hanya sesudah jarak waktu tertentu. Fasilitas khusus dan
kadang-kadang penempatan kelembagaan mungkin diperlukan. Beberapa sekuele infeksi
dapat amat tidak kentara. Karenanya evaluasi perkembangan saraf dan audiologi harus
merupakan bagian dari pemantauan rutin anak yang telah sembuh dari mengoensefalitis virus,
walaupun mereka tampak secara kasar normal. 6

2.10 KOMPLIKASI

Pada ensefalitis viral akut yang cukup banyak terjadi adalah peningkatan tekanan
intrkranial, infark serebral, trombosis vena serebral, syndrome of inappropriate secretion of
antidiuretic hormone, pneumonia aspirasi, perdarahan saluran cerna bagian atas, infeksi
saluran kemih dan koagulopati intravaskular diseminata. Sequele dari ensefalitis viral akut
bergantung pada usia, etiologi ensefalitis dan keparahan gejala klinis. 4

2.11 PROGNOSIS

Prognosis ensefalitis virus sangat bervariasi tergantung pada usia, keadaan medik
yang mendasarinya, virulensi virus, kompetensi imun penderita dan tersedianya terapi
antivirus spesifik. 7
Kebanyakan anak sembuh secara sempurna dari infeksi virus pada sistem saraf
sentral, walaupun prognosis tergantung pada keparahan penyakit klinis, etiologi spesifik, dan
umur anak. Jika penyakit klinis berat dengan bukti adanya keterlibatan parenkim, prognosis
jelek, dengan kemungkinan defisit yang bersifat intelektual, motorik, psikiatrik, epileptik,
penglihatan, ataupun pendengaran. Sekuele berat juga harus dipikirkan walaupun beberapa
kepustakaan menyarankan bahwa penderita bayi yang menderita ensefalitis virus mempunyai
hasil akhir jangka panjang lebih jelek daripada nak yang lebih tua, data baru membuktikan

17
bahwa observasi ini tidak benar. walaupun sekitar 10% anak sebelum usia 2 tahun dengan
infeksi virus menampakkan komplikasi akut seperti kejang, tekanan intrakranial naik, atau
koma, hampir semua hasil akhir neurologis jangka lama baik. 4
Pada ensefalitis yang disebabkan virus herpes simpleks yang tidak diobati sangat
buruk dengan kematian 70-80% setelah 30 hari dan menignkat menjadi 90% dalam 6 bulan.
Pengobatan dini dengan asiklovir akan menurunkan mortalitaas menjadi 28%. Gejala sisa
lebih sering ditemukan dan lebih berat pada kasus yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma; pasien
yang mengalami koma seringkali menggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. 1

2. JAPANESE ENSEFALITIS

18
2.2.1 DEFINISI
Japanese Ensefalitis adalah suatu penyakit yang menyerang susunan saraf pusat
(otak, medula spinalis, dan meningen) yang disebabkan oleh japanese enselofati virus
yang ditularkan melalui gigitan nyamuk.9

2.2.2 EPIDEMIOLOGI
Pada beberapa daerah yang sangat endemik hampir semua penduduk dapat
terkena infeksi dan sebagian infeksi bersifat asimtomatik. Hal ini terjadi pada infeksi
japanese ensefalitis di Jepang. Japanese ensefalitis adalah penyebab utama ensefalitis
virus di Asia. Kurang lebih 50000 kasus terjadi setiap tahun di Cina, Jepang, Korea dan
India.4
Indonesia termasuk daerah endemik japanese enselofalitis. Insiden tertinggi
terdapat di Bali, Nusa Tenggara, Provinsi di Borneo, Sulawesi dan Maluku.11
Terdapat 50,4 juta kasus di tahun 2010, yang mengenai usia 0-14 tahun sebanyak
13,6 juta dan lebih dari 1 tahun sebanyak 36,5 juta.

2.2.3 ETIOLOGI
Japanese ensefalitis disebabkan oleh japanese ensefalitis virus (JEV), arbovirus
grup B genus flafivirus famili flaviviridae. Bentuknya sferis dengan diameter 40-60nm,
inti virion berisi asam ribonukleat (RNA) berupa rantai tunggal yang bergabung dengan
protein yang disebut nukleoprotein. sebagai pelindung inti virion terdapat kapsid yang
terdiri dari polipeptida. Diluar kapsid tersebut terdapat selubung. Virus relatif labil
terhadap demam, rentan terhadap berbagai pengaruh disinfektan, deterjen, pelarut
lemak dan enzim proteolitik. Infektivitasnya paling stabil pada pH 7-9. 9

2.2.4 PATOFISIOLOGI
Virus yang masuk melalui gigitan nyamuk culex menuju ke kelenjar getah bening
dan berkembang biak kemudian masuk ke peredaran darah dan menimbulkan viremia
pertama yang sifatnya ringan dan berlangsung sebentar. Melalui aliran darah virus
menyebar ke organ tubuh susunan saraf pusat dan organ ekstraneural. Pada organ
ekstraneural virus berkembang biak dan masuk kembali ke pembuluh darah dan
menyebabkan viremia kedua yang bersamaan dengan penyebaran infeksi di jaringan
dan menimbulkan gejala penyakit sistemik.9

19
Cara virus dapat menembus sawar otak tidak diketahui secara pasti, diduga
setelah terjadi viremia virus menembus dan berkembang biak pada sel endotel vaskular
dengan cara endotosis sehingga dapat menembuh sawar otak. Virus berkembang biak
dengan cepat pada retikulum endoplasma yang kasar serta badan golgi dan
menghancurkannya. Akibat infeksi virus tersebut permeabilitas sel neuron, glia dan
endotel meningkat, mengakibatkan cairan di luar sel mudah masuk ke dalam sel dan
timbulah edema sitotoksik yang akan memberikan manifestasi klinis berupa ensefalitis.
Area otak yang terkena dapat pada thalamus, ganglia basal, batang otak, serebelum,
hipokampus dan korteks serebral.9
Japanese enselofalitis juga tergolong neurotropik yang dapat menimbulkan
jaringan saraf dimana tubuh akan membentuk antibodi antivirus setelah terjadi viremia.
Hal ini akan membentuk kompleks antigen antibodi yang beredar dalam darah dan
masuk ke salam susunan saraf pusat sehingga menimbulkan proses inflamasi dengan
akibat edema dan selanjutnya terjadi anoksia dan akhirnya terjadi kematian sel susunan
saraf pusat. Spektrum patogenesis virus japanese ensefalitis :9
 Ensefalitis fatal : didahului viremia dan perkembangan virus ekstraneural yang
hebat
 Ensefalitis subklinis : didahului viremia ringan, infeksi otak lambat dan
kerusakan otak ringan
 Infeksi asimptomatik : hampir tidak ada viremia, terbatas replikasi ekstraneural
dan tidak ada reinvasi
 Infeksi persisten

3 MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis japanese ensefalitis tidak berbeda dengan ensefalitis yang
disebabkan oleh mikroorganisme lain, bervariasi tergantung dari berat ringannya
kelainan susunan saraf pusat. Pada japanese ensefalitis, semua bagian susunan saraf
pusat dapat meradang, gejalanya yaitu nyeri kepala, kacau mental, tremor lidah bibir
dan tangan, rigiditas pada lengan atau pada seluruh badan, kelumpuhan dan
nistagmus.10
Masa inkubasi 4-14 hari setelah itu perjalanan penyakit akan melalui 4 stadium:9
Stadium Prodromal
 Berlangsung 2-3 hari

20
 Gejala dominan yaitu demam, nyeri kepala, dengan atau tanpa menggigil.
Demam dan nyeri kepala hebat pada umumnya tidak bisa dihilangkan dengan
pemberian antipiretik dan analgesik
 Keluhan sistem pernapasan yaitu batuk dan pilek
 Keluhan sistem perncernaan yaitu mual, muntah dan nyeri epigastrium
Stadium Akut
 Berlangsung 3-4 hari
 Demam tinggi
 Nyeri dan kaku leher
 Gejala tekanan intrakranial meningkat yaitu
 Gangguan keseimbangan dan koordinasi
 Kelemahan otot-otot
 Tremor
 Kaku pada wajah (topeng); tanpa ekspresi, ataksia
 nyeri kepala hebat
 mual dan muntah
 kejang, penurunan kesadaran dari apatis hingga koma
 Iritasi meningitis berupa kaku kuduk timbul 1-3 hari setelah sakit
Stadium Subakut
 Gejala gangguan saraf pusat berkurang namun seringkali pasien menghadapi
masalah pneumonia ortostatik, infeksi saluran kemih dan dekubitus.
 Gangguan fungsi saraf dapat menetap seperti paralisis spastik, hipertrofi otot
sebagai akibat perawatan lama, pemasangan kateter dan gangguan saraf serta
ekstrapiramidal
Stadium Konvalesens
 Berlangsung lama
 ditandai dengan kelemahan, letargi, gangguan koordinasi, tremor dan neurosis.
 Berat badan menurun
Gejala sisa
 Adanya sequele ditemukan pada 5-70% kasus, umumnya pada anak usia dibawah
10 tahun dan pada bayi akan lebih berat

4 PENEGAKAN DIAGNOSA
Anamnesis9
 Demam tinggi, nyeri kepala
 kesadaran menurun
 Kejang bersifat umum atau fokal. Dapat ditemukan sejak awal ataupun dalam
perjalanan penyakitnya
 Keluhan dan gejala timbul pada hari ke 3-5 berupa kaku kuduk, kaku otot,
koma, pernapasan abnormal, dehidrasi dan penurunan berat badan

21
 keluhan lain refleks tendon meningkat, paresis
Pemeriksaan Fisik1
 Hiperpireksia
 Kesadaran menurun sampai koma dan kejang
 Kelumpuhan tipe upper motor neuron (spastis, hiperrefleks, reflek patologis dan
klonus)
 Termasuk tanda-tanda meningitis : ubun-ubun menonjol (Bulging fontanel)
pada bayi muda dan kaku kuduk atau tanda Kernig positif pada anak yang lebih
tua).

Bulging Fontanel
Menurut WHO kriteria japanese ensefalopatis
 Demam lebih dari 38 °c
 Gejala rangsang meningeal (kaku kuduk, opitotonus, laseque, kernique,
brudzinsky I dan II)
 Gejala rangsang korteks (kejang, gerakan involunter)
 Gangguan kesadaran (disorientasi, derilium, somnolen sampai koma)
 Gangguan saraf otak (terutama N IX dan N X berupa suara pelan dan parau)
 Gejala piramidal (kelumpuhan) dan ekstrapiramidal (kaku otot serta gerakan
involunter)
 Cairan otak jernih, protein positif, glukosa <100mg/dl

Pemeriksaan penunjang9
a. Pemeriksaan Darah
Akan ditemukan anemia dan leukositosis ringan, rata-rata 13000/mL,
Polimorfonuklear lebih banyak dari mononuklear, trombositopenia ringan dan
peningkatan LED. Natrium serum dapat turun karena sekresi ADH yang tidak
adekuat.
b. Pemeriksaan Cairan Serebrospinal

22
Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bisa normal atau menunjukkan abnormalitas
ringan sampai sedang.
 Cairan tampak jernih sampai opalesens
 Pleositosis bervariasi antara 20-5000/mL
 Hitung jenis didominasi sel limfosit
 Protein meningkat 50-200 mg/dl
 Glukosa normal atau dapat menurun
 Caira serebrospinal jarang mengandung virus kecuali kasus berat atau fatal
c. Pemeriksaan Uji Serologi
Uji diagnostik baku untuk japanese enselofalitis adalah pemeriksaan IgM Capture
dengan cara ELISA (Enzyme linked imunno sorbent assay) dari serum atau cairan
serebrospinal. Sensitivitasnya mendekati 100%.
o Imunno adherence hemaglutinin assay (IAHA)
Positif jika terdapat peningkatan titer antibodi sebesar ≥ 4 kali
o Uji Hemaglutinin Inhibisi (HI)
Positif bila titer antibodi serum akut ≥ 1/20 atau pada spesimen konvalesens
meningkat ≥ 4 kali. Keunggulan dengan cara ini adalah peralatan laboratorium
sederhana, reagennya mudah didapat, serta biaya relatif murah.
o Teknik konvesional seperti Immunofluorecent antibody (IFA), Complement
fraction (CF)
Diagnosis japanese enselofalitis di daerah endemis infeksi dengue, Innis
melaksanakan uji serologi terhadap serum dan CSS dengan ELISA. Spesimen
serum dan CSS baik akut maupun konvalesens diperiksa IgM dan IgG anti dengue
dan japanese enselofati. Dikatakan positif jika bila lebih besar 40 unit. Hanya IgM
anti japanese enselofalitis yang lebih besar atau sama dengan 40 unit dapat
diklasifikasikan pasien japanese enselofalitis. Hasil dari 4 uji serologi
dibandingkan, hasil rata-rata IgM anti dengue dengan IgM anti JE < 1 (satu) adalah
khas infeksi japanese enselofalitis.11
Pemeriksaan Konfirmasi9
a. Isolasi Virus
Isolasi virus jarang didapat namun pada darah dapat disolasi selama stadium akut
sedangkan dari CSS dapat disolasi pada stadium akut.
b. Pemeriksaan RT-PCR

23
Deteksi RNA Virus JE dapat menggunakan Reverse transcription PCR amplification
(RT-PCR), hanya positif bila dilakukan pada fase viremia. Spesimen pemeriksaan ini
darah atau CSS dan dilakukan pada minggu pertama sakit.

Pemeriksaan Lain-lain9
a. Pencitraan (CT Scan dan MRI) dapat mendukung diagnosis. Dapat memperlihatkan
adanya lesi bilateral pada thalamus yang disertai perdarahan. Gambar CT Scan pada
ensefalitis. Ganglia basalis, pons, medula spinalis dan serebelum juga terlihat
abnormal.
b. Pemeriksaan elektroenselografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat penting pada pasien enselofalitis. Pada Japanese encephalitis dihubungkan
dengan tiga tanda EEG:
1. Gelombang delta aktif yang terus-menerus
2. Gelombang delta yang disertai spike (gelombang paku)
3. Pola koma alpha.
c. Pemeriksaan Histopatologi
Perubahan abnormal dari talamus, substansia nigra, hipokampus, serebelu, medula
spinalis termasuk degenerasi fokal saraf dengan proliferasi difus dan fokal mikroglia
dan perivaskuler lymphocytic cuffing
d. Pemeriksaan Immunocytochemistry
Dapat melihat protein spesifik JE jika uji serologi dan isolasi virus tidak dapat
dilakukan.

5 DIAGNOSA BANDING
Diagnosis banding dari ensefalitis adalah:9
5.1 Meningitis TBC yang dapat disingkirkan dengan uji mantoux positif, biakan dari
cairan serebrospinal positif
5.2 Meningitis bakterialis, uji cairan serebrospinalnya purulen
5.3 Herpes Zoster, kelumpuhan saraf kranial satu sisi.
5.4 Leptospirosis, pada pemeriksaan fisik didapatkan ikterus dan hepatosplenomegali.

6 PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan spesifik pada japanese enselofalitis. Namun, terapi suportif
dan perawatan dengan cepat dapat mengurangi kasus yang fatal. Oleh karena itu,
penting bahwa kasus ensefalitis harus dirujuk ke rumah sakit sedini mungkin sehingga

24
pengobatan dimulai tanpa menunggu hasil laboratorium serologi. Perawatan untuk JE
akan mencakup:9,12
1. Pengobatan Simtomatik
a) Menghentikan kejang

Diazepam intravena, dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan dosis maksimal pada


anak yang berumur kurang dari 5 tahun diberikan 5 mg, anak 5-10 tahun
diberikan 7,5 mg dan lebih dari 10 tahun diberikan 10 mg. Kecepatan pemberian
1 mg/menit. Jika tetap kejang diulangi sekali lagi setelah 15 menit. Jika tidak
tersedia diazepam intravena bisa diganti diazepam per-rektal 5 mg dan 10 mg
ketentuan dosis seperti di atas. Jika kejang berhenti berikan fenobarbital oral 5
mg/kgBB/kali dibagi dalam 2 dosis. Bila sebelumnya pasien menunjukkan kejang
lama atau status konvulsi, setelah awal 50 mg untuk anak berumur 1 bulan-1
tahun, 75 mg untuk anak lebih dari 1 tahun. Setelah lebih dari 4 jam disusul
fenobarbital oral sebagai rumatan 8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2
hari dan untuk selanjutnya 4-5 mg/kgBB/hari.
b) Menurunkan demam
 Obat antipiretik : parasetamol
 Suportif : Istirahat dan kompres hangat
c) Mencegah dan mengobati tekanan intrakranial meninggi

25
 Mengurangi edema otak
Deksametason intravena dosis tinggi 1 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis
diberikan beberapa hari dan diturunkan secara perlahan bila tekanan
intrakranial menurun. Deksametason dapat memperbaiki integritas membran
sel. Obat lain yang dapat menurunkan tekanan intrakranial adalah manitol
hipertonik 20% dengan dosis 0,25-1 mg/kgBB melalui infus intravena selama
10-30 menit dapat diulangi tiap 4-6 jam. Obat ini dapat menarik cairan
ektravaskular ke dalam pembuluh darah otak. Untuk meningkatkan aliran
darah pada pembuluh darah balik, ditidurkan posisi netral dengan kepala
lebih tinggi 20-30° sehingga terjadi penurunan tekanan intrakranial.
 Mempertahankan fungsi metabolisme otak
Cairan yang glukosa 10% sehingga kadar gula darah menjadi normal, 100-
150 mg/dl. Hindari hipertermia dan serangan kejang.
2. Pengobatan Penunjang
a) Perawatan Jalan Napas
Miring ke arah kanan dengan kepala yang lebih rendah 20° dari badan untuk
menghindari terjadinya aspirasi lendir atau muntahan. Bebaskan jalan nafas,
pakaian dilonggarkan, bila perlu dilepaskan. Isap lendir atau bersihkan mulut dari
lendir. Hindari gigitan lidah dengan menaruh spatel lidah atau sapu tangan. Jika
ada kegagalan pernafasan minimal, dapat dipakai oksigen inhalasi atau ventilator
mekanik, pernafasan buatan atau intubasi endotrakeal.

b) Pemeliharaan Sirkulasi
Secara rutin pantau frekuensi nadi, pengisian nadi, tekanan darah, dan tanda-
tanda syok.
c) Pemberian Cairan Intravena
Untuk keseimbangan cairan dan elektrolit.
d) Pemberian Antibiotik
Diberikan selama belum bisa menyingkirkan meningitis bakterialis. Dalam
kesadaran menurun, ampisilin tetap diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.

7 KOMPLIKASI
Dalam beberapa kasus, pembengkakan otak dapat menyebabkan kerusakan otak
permanen dan komplikasi yang menetap seperti kesulitan belajar, masalah berbicara ,
kehilangan memori, atau berkurangnya kontrol otot.3

26
8 PROGNOSIS
Prognosis JE tergantung dari beberapa faktor antara lain:9
a. Usia. Pada anak kecil akan didapatkan gejala sisa yang lebih sering dan lebih
banyak ragamnya daripada anak yang lebih besar.
b. Gejala klinis. Gejala sisa yang timbul sangat erat kaitannya dengan berat ringannya
klinis pada stadium akut. Demam tinggi yang berlangsung lama, kejang hebat dan
sering, depresi pernafasan yang timbul dini akan mengakibatkan prognosis buruk.
Manifestasi gejala sisa dapat berupa gangguan mental, emosi yang labil,
koreoatetosis, parkinson, tremor, gangguan bicara, paresis, posisi deserebrasi,
sizoprenia, paralisis dan retardasi mental.
c. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal. Kadar protein yang tinggi prognosisnya
kurang baik.

9 PENCEGAHAN
Pencegahan Japanese ensefalitis yang dapat dilakukan sebagai berikut :
1. Early treatment (pengobatan awal) pada demam tinggi atau infeksi
2. Hindari menghabiskan waktu di luar rumah pada waktu senja ketika nyamuk aktif
menggigit.
3. Pengendalian nyamuk atau surveilans melalui penyemprotan
4. Japanese ensefalitis dapat dicegah dengan 3 dosis vaksin ketika akan berpergian
ke daerah dimana virus penyebab penyakit ini berada. Menurut CDC (Centers for
Disease Control and Prevention), vaksin ini dianjurkan pada orang yang akan
menghabiskan waktu satu bulan atau lebih di daerah penyebab penyakit ini dan
selama musim transmisi. Virus japanese ensefalitis dapat menginfeksi janin dan
menyebabkan kematian.3,8,13-06accine to

VACCIN TRADE AGE DOSE ROUTE SCHEDULE BOOSTER1


E NAME (mL)

JE Ixiaro ≥17 y 0.5 IM 0, 28 d ≥1 y after


vaccine, (Valneva) primary
inactivate series
d
3–16 y 0.5 IM 0, 28 d Data not
available

2 mo–2 y 0.25 IM 0, 28 d Data not


available

27
28
BAB III
KESIMPULAN

1. Ensefalitis adalah infeksi jaringan otak yang dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa). Penyebab
tersering dan terpenting adalah virus.
2. Berbagai macam virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang
kurang lebih sama dan khas.
3. Kejadian terbesar adalah pada anak-anak di bawah 4 tahun dengan kejadian
tertinggi pada mereka yang berusia 3-8 bulan.
4. Indonesia merupakan salah satu daerah endemik japanese ensefalitis di dunia.
Japanese ensefalitis disebabkan oleh japanese ensefalitis virus (JEV),
arbovirus grup B genus flafivirus famili flaviviridae.
5. Gejala khas ensefalitis berupa demam tinggi, penurunan kesadaran dan
kejang.
6. Penegakan diagnosa japanese ensefalitis untuk pastinya berupa pemeriksaan
cairan serebrospinal, serologi dan isolasi virus serta pemeriksaan tambahan
yaitu pemeriksaan darah, pencitraan dan EEG
7. Penatalaksanaan dari japanese ensefalitis berupa pengobatan simtomatik dan
penunjang. Tidak ada obat yang spesifik untuk japanese ensefalitis.
8. Prognosis Japanese ensefalitis tergantung dari usia dan gejala klinis.
Umumnya buruk karena menimbulkan gejala sisa sequele.
9. Pencegahannya berupa pemberian 3 dosis vaksin.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Antonius H, Badriul H, dkk. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak


Indonesia. Jakarta : IDAI, 2009 :67-70
2. Sevigny, Jeffrey MD. Frontera, Jennifer MD. Acute Viral Encephalitis. Brust,
John C.M. In: Current Diagnosis & Treatment In Neurology. International
Edition. New York. Mc Graw Hill. 2007;p449-54
3. Saharso, Darto. Hidayati, Siti Nurul. Infeksi Virus Pada Susunan Saraf Pusat.
Soetomenggolo, Taslim S. Ismael, Sofyan. Dalam: Buku Ajar Neurologi Anak.
Cetakan ke-2. Jakarta. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2000;hal373-5.
4. Lazoff M. Encephalitis. [ Online ] February 26, 2010 . Available from : URL ;
www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htmL Diunduh pada
30 September 2015
5. Markam,S.Ensefalitis dalam Kapita Selekta Neurologi Ed ke-2,Editor
:Harsono.,Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.2000;hal 155-6.
6. Arvin A.M Penyakit Infeksi dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson.Edtor:Wahab
SA.EGC Jakarta.2000;hal 1141-53
7. Jeffrey Hom, MD. Pediatric Meningitis and Encephalitis Differential
Diagnoses. Richard G, Bachur,MD. Updated on April 19 th, 2011. Available
from http://emedicine.medscape.com/article/802760-differential. Accessed
September 31,2015
8. Prober, Charles G. Meningoensefalitis. Nelson, Waldo E. Dalam: Nelson Ilmu
Kesehatan Anak Ed.15 Vol.2. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
1996;hal880-2.
9. Soedarmo SPS et al, 2012.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi Kedua.
Jakrata: IDAI.
10. Todd, Mundy.MD. Encephalitis Prevention. Michael D, Burg MD. 2012.
Available from http://www.emedicinehealth.com/encephalitis/page9_em.htm.
Accessed on October 1, 2015.
11. Innis BL, Nisalak A, et al. An Enzyme linked Imunnosorbent Assay to
characterize dengue infections where dengue and japanese encephalitis co-
circulate. Am J Trop Hyg1989;40:418-22.
12. National Institute of Communicable Disease and WHO, 2006.Guidline for
Prevention and Control of Japanese Enchephalitis. Delhi
13. CDC. Japanese encephalitis vaccines: recommendations of the Advisory
Committee on Immunization Practices (ACIP). MMWR Recomm Rep. 2010
Mar 12;59(RR-1):1–27.

30
14. Grant L Campbell, Susan L Hills, Marc Fischer, Julie A Jacobson, Charles H
Hoke, Joachim M Hombach, Anthony A Marfin, Tom Solomon, Theodore F
Tsai, Vivien D Tsu & Amy S Ginsburg. Estimated global incidence of
Japanese encephalitis: a systematic review. Bulletin of World Health
Organitazion; Volume 89, Number 10, P766-774E. Published on October
2011.

31

Anda mungkin juga menyukai