Anda di halaman 1dari 26

Referat

Gangguan Gerak

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Neurologi

RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Oleh:

Muhammad Dodi Fakhirin 04084821921156

Pembimbing:
dr. Selly Marisdina, Sp.S (K), MARS

BAGIAN NEUROLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN
Referat

Gangguan Gerak

Oleh:

Muhammad Dodi Fakhirin 04084821921156

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian Kepaniteraan
Klinik di Bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 16 Desember 2019 – 20 Januari 2020.

Palembang, Januari 2020

dr. Selly Marisdina, Sp.S (K), MARS


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan berkat dan
karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Gangguan
Gerak”. Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraaan Klinik di Bagian Neurologi
RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Selly Marisdina, Sp.S (K),
MARS selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan
penyusunan laporan referat ini, serta pihak yang telah banyak membantu hingga laporan
referat ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan referat ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat diharapkan
demi perbaikan di masa mendatang.

Palembang, Januari 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

COVER.......................................................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................................iiii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................8
A. Pengertian......................................................................................................................8
B. Patofisiologi...................................................................................................................8
1. Sirkuit Pertama.............................................................................................................9
2. Sirkuit Kedua .............................................................................................................10
3. Sirkuit Ketiga .............................................................................................................11
C. Jenis-Jenis Gerakan Involuntar ....................................................................................12
1. Tremor........................................................................................................................12
2. Khorea .......................................................................................................................16
3. Atetosis ......................................................................................................................17
4. Hemibalismus.............................................................................................................19
5. Tic ..............................................................................................................................19
6. Mioklonus ..................................................................................................................20
7. Diskinesia Tardis........................................................................................................21
8. Distonia ......................................................................................................................21
KESIMPULAN ......................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

Gerakan involunter (GI) ialah suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak
bertujuan, tidak dapat diramalkan dan dikendalikan oleh kemauan, bertambah
jelas waktu melakukan gerakan volunter atau dalam keadaan emosi dan
menghilang waktu tidur.

GI yang sering dijumpai pada anak akibat gangguan ganglia basalis


dan/atau serebelum mencakup tremor, korea, atetosis, distonia dan hemibalismus.
GI yang timbul bukan karena gangguan pada inti-inti organ tersebut, misalnya tic,
spasmus dan mioklonia tidak dibicarakan.

PATOFISIOLOGI

Suatu fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka memerlukan kerjasama
yang terpadu antara sistem piramidal (P) dan ekstrapiramidal (EP). Sistem P
terutama untuk gerakan volunter sedang sistem EP menentukan landasan untuk
dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang-trampii dan mahir. Dengan kata
lain, sistem EP mengadakan persiapan bagi setiap gerakan volunter berupa
pengolahan, pengaturan dan pengendalian impuls motorik yang menyangkut tonus
otot dan sikap tubuh yang sesuai dengan gerakan yang akan diwujudkan.

Sistem EP terdiri atas: 1). Inti-inti korteks serebri area 4S, 6 & 8; 2). Inti-
inti subkortikal ganglia- basalis yang meliputi inti kaudatus, putamen, globus
palidus, substansi nigra, korpus subtalamikum dan inti talamus ventrolateralis; 3).
Inti ruber dan formasio retikularis batang otak dan 4). Serebelum. Inti-inti tersebut
saling berhubungan melalui jalur jalur khusus yang membentuk tiga lintasan
lingkaran (sirkuit). Sedangkan sistem P, dari korteks serebri area 4 melalui jalur-
jalur kortikobulbar dan kortikospinal (lintasan piramidal) menuju Ice "lower
motor neuron (LMN).

Untuk mengetahui mekanisme terjadinya GI, terlebih dahulu dijelaskan


pengertian perihal jalannya impuls motorik yang digunakan untuk mempersiapkan
dan membangkitkan gerakan volunter. Impuls motor& EP sebelum diteruskan ke
LMN akan mengalami pengolahan di berbagai inti ganglia basalis dan korteks
serebelum sehingga telah siap sebagai impuls motorik/pengendali bagi setiap
gerakan yang akin diwujudkan impuls motoric P. Keduanya merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan dalam membangkitkan setiap gerakan volunter
yang sempuma.

Ada 3 jalur sirkuit untuk pengolahan impuls motorik tersebut :

1) Sirkuit pertama

Lintasan sirkuit pertama akan dilalui oleh impuls motorik yang dicetuskan di area
4 dan 6, lalu dihantarkan ke inti basal pons, korteks serebelum, inti dentatus, inti
ruber dan inti ventro-lateralis dan akhimya kembali ke korteks motorik P dan EP
area tersebut.

2). Sirkuit kedua

Merupakan lintasan yang akan dilalui oleh impuls motorik dari korteks serebri
area 4, 4S dan 6, menuju ke substansi nigra, putamen, globus palidus, inti
ventrolateralis talami dan kembali ke korteks motorik P & EP area 4, 4S dan 6.

3) Sirkuit ketiga

Impuls motorik dan area 4S dan 8 akan melalui sirkuit ini menuju ke inti
kaudatus, globus palidus dan inti ventrolateralis talami dan selanjutnya kembali ke
korteks motorik area P dan EP area 6. Sebagian impuls tersebut akan diteruskan
ke inti Luys sebelum kembali ke korteks yang bersangkutan.

Bila ada gangguan pada salah satu jalur sirkuit atau inti ganglia basalis
atau serebelum, maka gangguan umpan balik ke korteks motorik P dan EP akan
timbul. Hal ini disebabkan karena impuls motorik yang semula dicetuskan di
korteks motorik area bersangkutan tidak dapat diteruskan melalui jalur sirkuit atau
tidak dapat dikelola oleh inti-inti ganglia basalis dan serebelum yang terganggu.
Dengan demikian akan bangkit gerakan yang tidak terkendali sistem EP berupa
gerakan involunter. Bergantung pada lokalisasi lesi maka GI dapat berbentuk
tremor bila lesi pada serebelum atau substansi nigra, korea pada inti kauthtus dan
globus palidus, atetosis path bagian luar putamen dan globus palidus, distonia path
bagian dalam putamen dan inti kaudatus dan hemibalismus pada inti Luys .
Pada suatu penyakit tertentu dapat dijumpai satu atau beberapa jenis GI.
Seperti pada kelumpuhan otak tipe subkortikal, dapat ditemukan semua jenis GI
tersebut di atas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Gerakan involunter merupakan gerakan yang tidak sesuai dengan kemauan, tidak
diketehendaki, dan tidak bertujuan.

B. PATOFISIOLOGI

Suatu fungsi motorik yang sempuma pada otot rangka memerlukan kerjasama
yang terpadu antara sistem piramidal (P) dan ekstrapiramidal (EP). Sistem
piramidal terutama untuk gerakan volunter sedang sistem ekstrapiramidal
menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang
terampil dan mahir.

Dengan kata lain, sistem ekstrapiramidal mengadakan persiapan bagi


setiap gerakan volunter berupa pengolahan, pengaturan dan pengendalian impuls
motorik yang menyangkut tonus otot dan sikap tubuh yang sesuai dengan gerakan
yang akan diwujudkan.

Sistem ekstrapiramidal terdiri atas:

1. Inti-inti korteks serebri area 4S, 6 & 8;


2. Inti-inti subkortikal ganglia basalis yang meliputi inti kaudatus, putamen,
globus palidus, substansi nigra, korpus subtalamikum dan inti talamus
ventrolateralis;
3. Inti ruber dan formasio retikularis batang otak dan
4. Serebelum. Inti-inti tersebut saling berhubungan melalui jalur jalur khusus
yang membentuk tiga lintasan lingkaran (sirkuit).
5. Sedangkan sistem piramidal, dari korteks serebri area 4 melalui jalur-jalur
kortikobulbar dan kortikospinal (lintasan piramidal) menuju Ice "lower motor
neuron (LMN). Untuk mengetahui mekanisme terjadinya gerakan involunter,
terlebih dahulu dijelaskan pengertian perihal jalannya impuls motorik yang
digunakan 'untuk mempersiapkan dan membangkitkan gerakan volunter.
Impuls motor dan ekstrapiramidal sebelum diteruskan kae LMN akan
mengalami pengolahan di berbagai inti ganglia basalis dan korteks serebelum
sehingga telah siap sebagai impuls motorik/pengendali bagi setiap gerakan
yang akin diwujudkan impuls motoric P. Keduanya merupakan suatu kesatuan
yang tidak terpisahkan dalam membangkitkan setiap gerakan volunter yang
sempuma. Ada 3 jalur sirkuit untuk pengolahan impuls motorik tersebut:

1) Sirkuit pertama

Lingkaran yang disusun oleh jaras jaras penghubung berbagai inti melewati
korteks piramidalis (area 4 ) , area 6, oliva inferior, inti inti pontis, korteks
serebelli, nucleus dentatus, nucleus rubber, nucleus ventrolateralis talami, korteks
pyramidalis & ekstrapiramidalis. Peranan sirkuit ini memberikan FEEDBACK
kepada korteks piramidalis & ekstrapiramidalis yang berasal dari korteks
serebellum.

• Gangguan feedback lintasan ini timbul :


– Ataksia

– Dismetria

– Tremor sewaktu gerakan volunteer berlangsung.


2). Sirkuit kedua

Menghubungkan korteks area 4S & area 6 dengan korteks motorik piramidalis &
ekstrapiramidalis melalui substansia nigra, globus pallidus, nucleus ventrolateralis
talami. Tujuan pengelolaan impuls piramidalis & ekstrapiramidalis untuk
mengadakan INHIBISI terhadap korteks piramidalis & ekstrapiramidakis, agar
gerakan volunteer yang bangkit memiliki ketangkasan yang sesuai. Gangguan
pada substansia nigra menimbulkan:

– Tremor sewaktu istrahat

– Gejala-gejala motorik lain

• Sering ditemukan pada sindroma Parkinson


3)Sirkuit ketiga

Merupakan lintasan bagi impuls yang dicetuskan di area 8 & area 4S untuk
diolah secara berturut-turut oleh nucleus kaudatus, globus palidus & nucleus
ventrolateralis talami. Hasil pengolahan ini dengan dicetuskan impuls oleh
nucleus ventrolateralis talami yang dipancarkannya ke korteks piramidalis &
ekstrapiramidalis (area 6). Impuls terakhir ini melakukan tugas INHIBISI.
sebagian impuls ini disampaikan oleh globus pallidus kepada nucleus Luysii.

Bila area 4S & 6 tidak dikelola oleh impuls tersebut maka timbul gerakan
involunter (gerakan spontan yang tidak dapat dikendalikan) seperti Khorea dan
Atetosis .Keduanya akibat lesi di nucleus kaudatus & globus pallidus. Balismus
akibat lesi di Nukleus Luysii.
C. JENIS-JENIS GERAKAN INVOLUNTER

1. Tremor

Tremor adalah gerakan osilatorik (repetitif dalam suatu ekuilibrium) ritmis yang
involunter, dihasilkan oleh otot-otot yang kerjanya berlawanan satu sama lain
(resiprokal). Keterlibatan otot agonis dan antagonis membedakan tremor dari
klonus (klonik). Secara umum tremor dibagi menjadi tremor normal (fisiologis)
dan tremor abnormal (patologis).

a) Tremor fisiologis merupakan fenomena normal yang dapat terjadi dalam


keadaan terjaga atau selama fase tertentu selama tidur. Frekuensinya berkisar
8-13 Hz (10 Hz), dan lebih rendah pada orang tua dan anak-anak. Tremor ini
dihasilkan oleh getaran pasif akibat aktivitas mekanik jantung
(balistocardiogram). Sifat tremor sangat halus dan tidak dapat dilihat secara
kasat mata. Tremor fisiologis dapat ditingkatkan oleh kondisi emosi (takut,
cemas) dan latihan fisik.

b) Tremor patologis (secara klinis kadang disebut tremor saja) memiliki ciri:
disebabkan oleh hal-hal yang bersifat patologis, paling sering melibatkan otot-
otot distal ekstremitas (khususnya jari dan telapak tangan), lalu otot-otot
proksimal, kepala, lidah, rahang dan korda vokalis. Frekuensiya 4-7 Hz.
Dengan bantuan EMG, tremor patologis dapat diklasifikasikan berdasarkan
kekerapannya, hubungan dengan postur dan gerakan volunter, pola bacaan
EMG pada otot yang bekerja berlawanan, serta respons terhadap pemberian
obat tertentu.

Tremor Postural dan Aksi (Postural and Action tremor)

Tremor Postural dan Aksi (kedua istilah ini sering dipertukarkan) terjadi ketika
tubuh dan ekstremitas dipelihara (dipertahankan) dalam posisi tertentu terutama
untuk menjaga postural dan melawan gravitasi (misal: merentangkan kedua
lengan di depan dada). Karena untuk mempertahankan posisi tersebut dibutuhkan
kerja sejumlah otot ekstensor. Tremor ini dapat muncul pada gerakan aktif dan
meningkat apabila kebutuhan gerakan semakin tinggi. Tremor menghilang apabila
ekstremitas direlaksasi namun muncul kembali bila otot yang bekerja diaktifkan.
Karakteristik tremor postural/aksi yakni adanya ledakan ritmis pada neuron
motorik yang terjadi tidak secara sinkron dan simultan pada otot yang berlawanan,
tidak seimbang dalam hal kekuatan dan periodenya.

Tremor postural/aksi ini terbagi lagi menjadi beberapa tipe:

 Tremor fisiologis yang meningkat (enhanced physiological tremor).


Frekuensi sama dengan tremor fisiologis (10 Hz) dengan amplitudo lebih
besar. Timbul apabila dalam keadaan takut, cemas (ansietas), gangguan
metabolik (hipertiroid, hiperkortisol, hipoglikemik), feokromositoma,
latihan fisik berlebih, penarikan alkohol/sedatif lainnya, efek toksik
lithium, asam nikotinat, xantin (kopi, teh, aminofilin, cola), dan
kortikosteroid. Bersifat transien dan dapat dipicul oleh injeksi epinefrin
atau obat β-adrenergik (isoproterenol). Diduga akibat aktifitas reseptor β-
adrenergik tremorgenik
 Tremor pada alkoholik. Tremor ini terjadi pada penarikan alkohol dan obat
sedatif (benzodiazepin, barbiturat) setelah penggunaan yg cukup lama.
 Tremor esensial/familial. Ini adalah tremor tersering, frekuensi 4-8 Hz
dengan amplitudo bervariasi dan tidak berhubungan dengan masalah
neurologis (―esensial‖). Tremor ini sering muncul pada anggota keluarga
tertentu, mengisyaratkan adanya karakteristik ‖familial‖. Muncul pada usia
akhir dekade kedua (walaupun juga dapat muncul sejak anak-anak).
Seiring bertambahnya usia, frekuensi tremor berkurang namun amplitudo
meningkat. Tremor terjadi pada lengan secara simetris, kepala, dan
(jarang) rahang, bibir, lidah dan laring. Seperti yang lainnya, tremor ini
dipengaruhi oleh emosi, aktifitas fisik dan kelelahan. Penyebab tremor
esensial belum diketahui, diduga cerebelum berperan melalui jaras
kortiko-talamo-cerebellar.
 Tremor polineuropatik, tremor ini terjadi pada pasien dengan kelainan
demielinisasi dan polineuropati paraproteinemik. Karakteristik berupa
tremor esensial kasar dan memburuk jika pasien diminta memegang
dengan jarinya. Namun tidak seperti tremor organik lainnya, tremor ini
berkurang jika diberikan beban pada ekstremitas yang terkena.

Tremor Parkinson

Merupakan tremor kasar dengan frekuensi 3-5 Hz, pada EMG terlihat ledakan
aktifitas yang berganti-gantian (alternating) otot-otot yang bekerja
berlawanan.Tremor pada awalnya hanya mengenai otot-otot distal asimetris. Pada
penyakit Parkinson, tremor mungkin hanya satu-satunya gejala (tanpa disertai
akinesia, rigiditas, dan mask-like facies), walaupun tremor dapat juga muncul
belakangan setelah gejala lainnya. Ciri khas tremor terjadi pada salah satu/kedua
lengan bawah dan sangat jarang pada kaki, rahang, bibir dan lidah, terjadi jika
lengan dalam sikap istirahat (resting tremors) dan menghilang sejenak pada saat
pindah sikap atau lengan ditopang dengan mantap.

Bentuk dari tremor Parkinson ini adalah fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi


jari tangan, pronasi-supinasi lengan bawah. Pada kaki terjadi gerakan fleksi-
ekstensi lutut, pada rahang berupa gerakan membuka-menutup, pada kelopak
terjadi gerakan berkedip-kedip dan pada lidah berupa gerakan keluar-masuk.

Tremor Intention (Ataxic)

Tremor Intention merupakan tremor yang timbul ketika pasien melakukan gerakan
aktif, tertuju, dan presisi/fine (misalnya, menyentuh ujung hidung dengan jari
telunjuk). Ciri khas tremor intention adalah tremor semakin jelas pada saat
mendekati target yang dituju. Disebut ―ataxic‖ karena disertai oleh ataxia
cerebellar. Tremor menghilang pada saat tungkai tidak bekerja atau pada saat fase
inisiasi memulai gerakan. Frekuensi 2-4 Hz. Penyebab tremor ini adalah kelainan
pada cerebelum (lesi di nukleus interpositus, nukleus dentatus) dan koneksinya,
terutama pada pedunkulus cerebelar superior.

Tremor lainnya:

- Tremor Palatal merupakan merupakan gerakan involunter, cepat dan ritmis


daripada palatum mole. Ada dua jenis tremor palatal: tremor palatal essensial dan
tremor palatal simtomatis. Pada tremor palatal essensial terjadi aktivasi dari m.
Tensor veli palatini tanpa ada penyebab patologis, menimbulkan bunyi klik dan
berkurang pada saat tidur. Sedangkan tremor palatal simtomatis melibatkan m.
Levator veli palatini dan terdapat lesi batang otak yang mempengaruhi jaras
dentata-olivari. Frekuensi: 26-420 kali permenit (tremor essensial) dan 107-164
kali permenit (tremor simtomatis).
- Tremor histerikal, terjadi pada pasien dengan gangguan histeria. Selain
tremor gejala lainnya: rasa berat di tungkai, kram, sulit bernapas, palpitasi, rasa
tercekik, berteriak seperti ―kesakitan‖, penurunan kesadaran, dll. Penyebabnya
adalah stress.
2. Khorea

Kata khorea berasal dari Yunani yang berarti menari Chorea adalah gerakan di
luar kesadaran yang cepat, menyentak, pendek dan berulang-ulang yang dimulai
satu bagian tubuh dan bergerak dengan tiba-tiba, tak terduga, dan seringkali secara
terus-menerus sampai bagian tubuh lainnya.

Khorea biasanya melibatkan tangan, kaki, dan muka. Gerakan menyentak


kelihatannya mengalir dari satu otot ke otot berikutnya dan mungkin kelihatannya
seperti menari. Gerak-gerik mungkin bergabung secara tak terlihat ke dalam
perbuatan dengan tujuan atau semi-tujuan, kadang-kadang membuat chorea sukar
untuk dikenali.

Penyebabnya antara lain: penyakit Huntington, koera Sydenham


(komplikasi demam reumatik), SLE, pil kontrasepsi oral, hiperviskositas,
tirotoksis=kosis,dan sindrom antifosfolipid. Korea kadang terjadi pada usia lanjut
tanpa alasan yang jelas dan terutama mengenai otot di dalam dan di sekitar mulut.
Khorea ini juga bisa menyerang wanita hamil pada 3 bulan pertama
kehamilannya, tetapi akan menghilang tanpa pengobatan segera setelah
persalinan.

Dalam klinik dibedakan 3 jenis gerakan koreatik :

1) Korea mayor (Korea Huntington)

Merupakan salah satu gejala klinik penyakit Huntington. Penyakit ini bersifat
herediter yang diturunkan secara autosom dominan, akibat degenerasi ganglia
basalis terutama pada inti kaudatus yang bersifat menahun progresif. Lebih sering
pada orang dewasa di atas umur 30 tahun, sangat jarang pada anak. Sekitar 1—5%
terdapat pada anak di atas umur 3 tahun (juvenile type). Pada tipe juvenilis, 75%
dengan riwayat keluarga positif yakni ayahnya. Manisfestasi klinik lain berupa
kekakuan, bradikinesi, kejang dan retardasi intelektual. Tidak ada pengobatan
khusus. Prognosis jelek. kematian biasanya terjadi 3—10 tahun sesudah timbul
gejala klinik.

2) Korea minor
Sering disebut korea Sydenham, St Vitus dance atau korea akuisita.
Patogenesisnya masih belum jelas, diduga berhubungan dengan infeksi reuma
sebab 75% kasus menunjukkan riwayat demam rematik. Sangat mungkin reaksi
antigen-antibodi pasca infeksi streptokok betahemolitikus grup A yang berperan.
Selain pada demam rematik, korea ini dapat juga bermanifestasi pada
ensefalitis/ensefalopati dan intoksikasi obat. Kira-kira 80% kasus terdapat pada
usia 5—15 tahun, perempuan: lelaki = 2—3 : 1. Gejala klinik berupa gerakan-
gerakan koreatik pada tangan/lengan menyerupai gerakan tangan seorang
penari/pemain piano, adakalanya pada kaki/tungkai dan muka. Perjalanan
penyakit bervariasi, dapat sembuh spontan dalam 2—3 bulan tetapi dapat pula
sampai setahun. Tidak ada pengobatan khusus selain sedativa.

3) Korea Iatrogenik

Jenis korea ini disebabkan karena penggunaan obat-obatan yang pada umunya
obat yang digunakan untuk pasien sakit jiwa atau disebut obat antipsikosis seperti
haloperidol dan fenotiazin. Korea dapat melibatkan sesisi tubuh saja, sehingga
disebut hemikorea. Bila hemikorea bangkit secara keras sehingga seperti
membanting-bantingkan diri, maka istilahnya ialah hemibalismus.

3. Atesosis

Atetosis berasal dari Yunani yang berarti berubah. Pada atetose gerakan lebih
lambat dan melibatkan otot bagian distal, namun cenderung menyebar ke
proksimal. Atetosis banyak dijumpai pada penyakit yang melibatkan ganglia
basal. Athetosis adalah aliran gerakan yang lambat, mengalir, menggeliat di luar
kesadaran. Biasanya pada kaki dan tangan.

Khorea dan atetosis bisa terjadi secara bersamaan, dan disebut


koreoatetosis. Korea dan atetosis bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan
gejala yang bisa terjadi pada beberapa penyakit yang berbeda. Seseorang yang
mengalami korea dan atetosis memiliki kelainan pada ganglia basalisnya di otak.
Penyakit yang seringkali menyebabkan korea dan atetosis adalah penyakit
Huntington.
Gerakan atetotik ditemukan pada beberapa penyakit:

1) Kelumpuhan otak (cerebral palsy)

Biasanya dijumpai pada anak terutama bayi baru lahir akibat kerusakan otak non-
progresif yang terjadi intrauterin,waktu lahir atau segera sesudah lahir.
Kelumpuhan otak yang disertai gerakan atetotik/koreo-atetotik termasuk
kelumpuhan otak tipe subkortikal, akibat lesi pada komponen ganglia basalis.
Tipe ini meliputi 5—15% kasus kelumpuhan otak. Terdapat 2 faktor perinatal
sebagai penyebab utama kelumpuhan otak tipe subkortikal ialah
hiperbilirubinemia (kern ikterus) dan asfiksi berat.

Gejala klinik biasanya baru tampak sesudah umur 18 bulan. Dapat


ditemukan gerakan atetotik, koreo-atetotik maupun jenis GI fainnya bergantung
pada lokasi kerusakan. Pengobatan hanya simtomatik dan suportif.

2) Sindrom Lesch-Nyhan

Kelainan ini sangat jarang dijumpai,ditandai oleh gerakan koreoatetotik bilateral,


retardasi mental, mutilasi diri dan hiperurikemia. Etiologi belum diketahui;
dihubungkan dengan defisiensi ensim hipoksantin-guanin fosforibosil transferase
pada eritrosit, fibroblast dan ganglia basalis. Merupakan penyakit herediter yang
diturunkan secara sex-linked resesif_pada kromosom X sehingga hanya terdapat
pada anak lelaki.

Gerakan atetotik mulai timbul pada umur 6—8 bulan, kemudian diikuti
gerakan koreo-atetotik dan pada usia di atas 2 tahun sudah dapat ditemukan
sindrom yang lengkap. Pengobatan dengan alopurinol 8 mg/kgBB sehari dalam
tiga kali pemberian. Prognosis jelek.

3) Penyakit Hallervorden-Spatz

Kelainan degeneratif pada substansi nigra dan globus palidus yang herediter dan
diturunkan secara autosom resesif. Etiologi tidak diketahui, diduga ada hubungan
dengan deposisi pigmen yang mengandung zat besi pada kedua daerah tersebut.
Namun tidak jelas adanya gangguan metabolisme zat besi yang menyertainya.
Penyakit ini jarang dijumpai.
Gejala klinik biasanya manifes pada umur 8-10 tahun berupa gerakan
atetotik, kekakuan pada lengan/tungkai dan retardasi mental yang progresif.
Kadang-kadang timbul kejang. Perjalanan penyakit lambat progresif. Tidak ada
pengobatan, prognosis jelek, biasanya meninggal dalam 5-20 tahun.

4. Hemibalismus

Hemiballismus ialah sejenis chorea, biasanya menyebabkan gerakan melempar


satu lengan di luar kemauan dengan keras. Hemiballismus mempengaruhi satu sisi
badan. Lengan terkena lebih sering daripada kaki. Biasanya disebabkan oleh
stroke yang mempengaruhi bidang kecil tepat di bawah basal ganglia yang disebut
nukleus subthalamic. Hemiballismus untuk sementara mungkin melumpuhkan
karena ketika penderita mencoba menggerakkan anggota badan, mungkin
melayang secara tak terkendali.

5. Tic
Tic adalah istilah Prancis yang sesuai dengan standar internasional. Tic
merupakan suatu gerakan otot involunter yang berupa kontraksi otot setempat,
sejenak namun berkal-kali dan kadang kala selalu serupa atau berbentuk
majemuk. Menurut gerakan otot involunter yang timbul, penggolongan ‗tic diberi
tambahan sesuai dengan lokasi kontraksi otot stempat. Dengan demikian dikenal
istilah tic facals, yang mengenai otot-otot wajah, otot orbikularis oris, dan tic
orbikularis okuli. Dalam hal ini, otot yang berkontarksi secara involunter adalah
otot orbikularis oris, orbikularis okuli dan zigomatikus mayor atau otot fasial
lainnya.

Penyebab tic belum diketahui, tic merupakan suatu gerakan yang


terkoordinir , berulang dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang
sinergistik.

Gerakan tik ini dibedakan menjadi 3 macam:

a. Tik Fonik
Gerakan otot penggerak pita suara yang mana suara yang diproduksi berubah-
ubah karena pasien berusaha memindahkan udara nafasnya melalui mulut, kadang
sengau karena melewati hidung sehingga gerakan tik ini disebut juga tik verbal.

b. Tik motorik sederhana

Tik ini biasanya terjadi tiba-tiba, singkat, gerakan berarti yang biasanya hanya
melibatkan satu kelompok otot, seperti mata berkedip, kepala menyentak, atau
mengangkat bahu. Selain itu, dapat beragam tak bertujuan dan mungkin termasuk
gerakan-gerakan seperti tangan bertepuk tangan, leher peregangan, gerakan mulut,
kepala, lengan atau kaki tersentak, dan meringis wajah.

c. Tik motorik komplek

Tik motor komplek biasanya lebih terarah-muncul dan yang bersifat lebih lama.
Mereka mungkin melibatkan sekelompok gerakan dan muncul terkoordinasi.
Contohnya menarik-narik baju, menyentuh orang, menyentuh benda-benda,
ekopraksia/gerakan latah dan koprolalia/ngomong jorok.

Tik fonik yang bersifat komplek dapat jatuh ke dalam gerakan tik motor
komplek berbagai seri (kategori), termasuk echolalia (mengulangi kata-kata hanya
diucapkan oleh orang lain), palilalia (mengulangi seseorang kata-kata sebelumnya
diucapkan sendiri), lexilalia (mengulangi kata-kata setelah membaca mereka), dan
coprolalia (ucapan spontan sosial pantas atau tabu kata atau frase).

Tik motor komplek jarang terlihat berdiri sendiri kadang dicetuskan


denagn tik yang sederhana.

6. Mioklonus

Merupakan aktivasi sekelompok otot yang menyebabkan gerak singkat, eksplosif


seperti ―tersengat listrik‖, sering mengenai seluruh ekstremitas. Sentakan
mioklonus sekali terjadi bisa mengenai seluruh otot, seperti yang sering terjadi
ketika kita mulai tertidur. Mioklonus juga bisa terbatas pada satu tangan,
sekumpulan otot di lengan bagian atas atau tungkai atau bahkan pada sekelompok
otot wajah.
Penyebabnya banyak sekali seperti dari penyakit vascular, obat-obatan dan
ganguan metabolic, dan penyakit neurodegenerative seperti enselopati
spongioform.

7. DISKINESIA TARDIF

Diskinesia sendiri ialah pergerakan yang tidak disadari. Tardif ialah efek dari
pemakaian obat. Sehingga diskinesia tardif adalah gerakan berulang- ulang dan
tidak disadari yang merupakan efek samping jangka panjang dari obat antipsikotik
khususnya pada orang sakit jiwa.

Gambaran klinis diskinesia tardif yaitu berulang-ulang, involunter dan


gerakan yang tidak ada tujuannya. Selain menyeringai, menjulur-julurkani lidah,
bergetar, melipat dan mengerutkan bibir serta mengedipkan mata secara cepat.
Pergerakan cepat dari ekstremitras dan jari-jari juga muncul pada beberapa
penderita. Hal yang membedakannya dengan parkonson disease ialah pergerakan
dari ekstremitasnya. Pada parkinson disease, pasien kesulitan untuk bergerak
tetapi pada pasien diskinesia tardif tidak ada kesulitan untuk bergerak.

Mekanisme diskinesia tardif karena proses antagonisme dopamin di jalur


antara lokasi substansia nigra dan korpus striatum. Terutama kalau yang terkena
proses antagonisasi dopaminpada reseptor D2 menyebabkan efek lepas obat dan
menimbulkan gerakan ini.

8. Distonia

Distonia adalah kelainan gerakan dimana kontraksi otot yang terus menerus
menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang
abnormal. Gerakan tersebut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa
mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai atau leher)
atau seluruh tubuh. Pada beberapa penderita, gejala distonia muncul pada masa
kanak-kanak (5-16 tahun), biasanya mengenai kaki atau tangan. Beberapa
penderita lainnya baru menunjukkan gejala pada akhir masa remaja atau pada
awal masa dewasa.
Gejala awal adalah kemunduran dalam menulis (setelah menulis beberapa
baris kalima), kram kaki dan kecenderunagn tertariknya satu kaki keatas atau
kecenderungan menyeret kaki setelah berjalan atau berlari pada jarak tertentu.

Leher berputar atau tertarik diluar kesadaran penderita, terutama ketika


penderita merasa lelah. Gejala lainnya adalah tremor dan kesulitan berbicara atau
mengeluarkan suara. Gejala awalnya bisa sangat ringan dan baru dirasakan hanya
setelah olah raga berat, stres atau karena lelah. Lama-lama gejalanya menjadi
semakin jelas dan menyebar serta tak tertahankan.

Berdasarkan bagian tubuh yang terkena:

 Distonia generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh Distonia


fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu
 Distonia multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak
berhubungan.
 Distonia segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang berdekatan.
 Hemidistonia, melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama,
seringkali merupakan akibat dari stroke.

Beberapa pola distonia memiliki gejala yang khas:

 Distonia torsi, sebelumnya dikenal sebagai dystonia musculorum deformans


atau DMD. Merupakan distonia generalisata yang jarang terjadi dan bisa
diturunkan, biasanya berawal pada masa kanak-kanak dan bertambah buruk
secara progresif. Penderita bisa mengalami cacat yang serius dan harus duduk
dalam kursi roda.
 Tortikolis spasmodik atau tortikolis merupakan distonia fokal yang paling
sering ditemukan. Menyerang otot-otot di leher yang mengendalikan posisi
kepala, sehingga kepala berputar dan berpaling ke satu sisi. Selain itu, kepala
bisa tertarik ke depan atau ke belakang. Tortikolis bisa terjadi pada usia
berapapun, meskipun sebagian besar penderita pertama kali mengalami
gejalanya pada usia pertengahan. Seringkali mulai secara perlahan dan
biasanya akan mencapai puncaknya. Sekitar 10-20% penderita mengalami
remisi (periode bebas gejala) spontan, tetapi tidak berlangsung lama.
 Blefarospasme merupakan penutupan kelopak mata yang tidak disadari.
Gejala awalnya bisa berupa hilangnya pengendalian terhadap pengedipan
mata. Pada awalnya hanya menyerang satu mata, tetapi akhirnya kedua mata
biasanya terkena. Kejang menyebabkan kelopak mata menutup total sehingga
terjadi kebutaan fungsional, meskipun mata dan penglihatannya normal.
 Distonia kranial merupakan distonia yang mengenai otot-otot kepala, wajah
dan leher.
 Distonia oromandibuler menyerang otot-otot rahang, bibir dan lidah. Rahang
bisa terbuka atau tertutup dan penderita mengalami kesulitan berbicara dan
menelan.
 Disfonia spasmodik melibatkanotot tenggorokan yang mengendalikan proses
berbicara. Juga disebut disfonia spastik atau distonia laringeal, yang
menyebabkan kesulitan dalam berbicara atau bernafas.

Sindroma Meige adalah gabungan dari blefarospasme dan distonia


oromandibuler, kadang-kadang dengan disfonia spasmodik. Kram penulis
merupakan distonia yang menyerang otot tangan dan kadang lengan bawah bagian
depan, hanya terjadi selama tangan digunakan untuk menulis. Distonia yang sama
juga disebut kram pemain piano dan kram musisi. Distonia dopa-responsif
merupakan distonia yang berhasil diatasi dengan obat-obatan. Salah satu
variannya yang penting adalah distonia Segawa. Mulai timbul pada masa kanak-
kanak atau remaja, berupa kesulitan dalam berjalan. Pada distonia Segawa,
gejalanya turun-naik sepanjang hari, mulai dari kemampuan gerak di pagi hari
menjadi ketidakmampuan di sore dan malam hari, juga setelah melakukan
aktivitas.
BAB III

KESIMPULAN

 Gerakan involunter ialah suatu gerakan yang timbul spontan, tidak disadari,
tidak bertujuan, tidak dapat diramalkan dan dikendalikan oleh kemauan
sebagai akibat lesi pada ganglia basalis dan/atau serebelum.
 Dikenal beberapa jenis gerakan involunter, antara lain tremor, korea, atetosis,
distonia dan hemibalismus bergantung pada lokasi lesi.
 Kelainan ini bukan suatu penyakit dalam arti sebenarnya, tetapi hanya
manifestasi klinik sesuatu penyakit dengan gangguan ganglia basalis dan/atau
serebelum.
 Pengobatan bersifat konservatif atau pembedahan, bergantung jenis gerakan
involunter dan penyakit dasar.

24
DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin M. Neurologi Klinis: Penyakit Ganglia Basali. Universitas Muhammadiyah


Malang. 2017. h.97-110.

Baehr M, Frotscher M. Diagnosis Topik Neurologi Duus: Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala.
Edisi 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2010. h. 292-308.

Snell RS. Neuroanaomi klinik Ed 5. Jakarta; EGC: 2006. h. 350-360

Kelompok Studi Gangguan Gerak Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(PERDOSSI). Buku Panduan Tatalaksana Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak
Lainnya. Jakarta: 2013. h.7-24

Kelompok Studi Gangguan Gerak Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia


(PERDOSSI). Buku Panduan Tatalaksana Penyakit Parkinson dan Gangguan Gerak
Lainnya. Jakarta: 2015. h.2-186

Mardjono M, Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat, 2013

Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana
Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007, h. 148.

Waxman SG. Clinical Neuroanatoy 26th Edition. McGraw-Hill: 2010. p.143-146.

Abdo WF., et al. The Clinical Approach to Movement Disorder. 2010. p 29-37

Ondo WG.,Young R. Gait and Movement Disorder. American Academy of Neurology.


2013.

Jones R,Srivisan J, Allam G, Baker R. Netter’s Neurology: Gait and Movement Disorder:
2012. p.318.

25

Anda mungkin juga menyukai