Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

ILMU KEDOKTERAN FISIK DAN REHABILITASI

TRAUMA KAPITIS

Pembimbing:
dr. Marcus Anthonius, Sp.KFR

Disusun oleh:
Agatha Efrad Saputri
2015.04.2.0006

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH
SURABAYA
2016

Lembar Pengesahan
Referat Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Trauma Kapitis

Referat Trauma Kapitis ini telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah Surabaya

Surabaya, Juli 2016


Mengesahkan
Dosen Pembimbing

dr. Marcus Anthonius, Sp. KFR

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas referat dengan judul Trauma Kapitis.
Tugas referat ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
RSAL DR Ramelan Surabaya.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Marcus Anthonius, Sp.KFR selaku dokter pembimbing
yang telah memberikan petunjuk, masukan, koreksi, serta saran
selama penyusunan tugas responsi ini.
Sebagai Dokter Muda yang menjalankan kepaniteraan klinik,
penulis melihat tugas referat ini sebagai pelatihan agar kelak
menjadi dokter umum yang selalu menambah ilmu pengetahuan,
khususnya di bidang Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kesalahan dan
kekurangan dalam penyusunan referat ini. Untuk itu saran dan kritik
yang membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
referat ini.

Surabaya, Juli 2016

Penulis

DAFTAR ISI
3

HALAMAN
JUDUL
......................................................................................................................
1
LEMBAR
PENGESAHAN
......................................................................................................................
2
KATA
PENGANTAR
......................................................................................................................
3
DAFTAR
ISI
......................................................................................................................
4
BAB
I
PENDAHULUAN
......................................................................................................................
5
BAB II ANATOMI..............................................................................................6
BAB III PEMBAHASAN.. 9
3.1 Definisi.............................................................................................9
3.2 Epidemiologi............................................................................................9
3.3 Etiologi....................................................................................................9
3.4 Klasifikasi................................................................................................9
3.5 Patofisiologi.............................................................................................13
3.6 Manifestasi klinis.....................................................................................14
3.7 Pemeriksaan klinis..................................................................................14
3.8 Penatalaksanaan....................................................................................16

3.8.1 Pedoman penatalaksanaan..................................................16


3.8.2 Rehabilitasi medis.................................................................19
3.9 Komplikasi........................................................................................25
3.10........................................................................................................Pro
gnosis...............................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN
Trauma kapitis merupakan kasus penyebab kecacatan dan
kematian yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi
masalah kesehatan oleh karena penderitanya sebagian besar
orang muda, sehat dan produktif. Sebagian besar penderita trauma
kapitis disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda
motor, mobil, sepeda dan penyeberang jalan yang ditabrak. Sisanya
disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (ranting pohon,
kayu, dll), olahraga, dan korban kekerasan.
Kecacatan post trauma kapitis yang sering ditemukan
adalah gangguan kortikal luhur. Cedera kepala juga dapat
menimbulkan berbagai sequelae jangka pendek maupun jangka
panjang

meliputi

gangguan

kognitif,

behavioral,

dan

keterbatasan fisik. Letak gangguan yang disebabkan oleh trauma


kapitis dapat mengenai kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak,
jaringan otak, saraf otak, dan pembuluh darah.
Di Indonesia kajadian cidera kepala setiap tahunnya diperkirakan
mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita meninggal
sebelum tiba di rumah sakit. Pada trauma kapitis gangguan yang timbul
dapat mengenai kulit dan jaringan subkutan, tulang tengkorak, jaringan
otak, saraf otak, dan pembuluh darah. Kerusakan otak juga dapat terjadi
jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak, dan
melukai durameter saraf otak, serta jaringan sel otak akibat benda tajam /
tembakan.

.
BAB II
ANATOMI
Berikut merupakan anatomi yang berkaitan dengan trauma kapitis :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin (kulit)
b. Connective Tissue (jaringan penyambung)
c. Aponeurosis atau galea aponeurotika
d. Loose areolar tissue (jaringan penunjang longgar)
e. Perikranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.
Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga
cedera pada kepala dapat menyebabkan kerusakan pada bagian
dasar otak yang bergerak akibat cedera akselerasi dan deselerasi.
Basis cranii ini dibagi menjadi 3 fossa yaitu fossa cranii anterior, fossa
cranii media, fossa cranii posterior yang membentuk dasar cavitas
cranii. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah
tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian
bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang.
Fungsinya melindungi struktur saraf yang halus, membawa darah dan
cairan sekresi serebrospinalis serta memperkecil benturan atau
getaran pada otak dan sumsum tulang belakang.
1. Durameter
Lapisan paling luar yang tebal dan tidak elastis. Terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
6

dalam dan kranium. Di bawahnya terdapat ruang potensial


(subdural) yang terletak antara duramater dan arakhnoid, di
mana sering dijumpai perdarahan subdural.
2. Arakhnoidea
Lapisan tengah yang tipis dan lembut menyerupai laba-laba.
Membran ini berwarna putih karena tidak dialiri darah.
3. Piameter
Lapisan yang paling dalam, tipis, transparan, yang menutupi
otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak.
4. Otak
Otak terdiri atas serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum
terdiri dari hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri.
Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia. Hemisfer
otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer
dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan
keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan
medula spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus
memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya.
5. Cairan serebrospinal
Dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi 20
ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen monro
menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju

ventrikel IV. Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk
ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh permukaan otak
dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena
melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang
infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Definisi Trauma Kapitis


Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik
secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi
psikososial baik temporer maupun permanen .
3.2 Epidemiologi Trauma Kapitis
a. Jenis Kelamin
laki-laki 1,5 kali lebih banyak daripada perempuan.
b. Umur
Kelompok umur dengan resiko tertinggi adalah umur 0-4 tahun dan 1519 tahun.
3.3 Etiologi Trauma Kapitis
Kecelakaan lalu lintas, jatuh, dan kekerasan.
3.4 Klasifikasi Trauma Kapitis
Terdapat 3 jenis klasifikasi trauma kapitis, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh
luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan sebagai pengukur secara
klinis beratnya cedera otak. Pasien yang membuka kedua matanya
secara spontan, mematuhi perintah dan berorientasi baik mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pasien yang lemah tidak dapat
membuka mata sama sekali atau tidak bersuara nilai GCS-nya minimal
yaitu 3.

Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau
cedera otak berat. Pasien dengan nilai GCS 9-12 dikategorikan
sebagai cedera otak sedang, dan pasien dengan nilai GCS 13-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
3. Morfologi
1). Fraktur Kranium
Dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk garis /
bintang dan dapat pula terbuka / tertutup. Adanya tanda-tanda klinis
fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda tersebut antara lain ekimosis
periorbital (Raccoon eye sign), ekimosis retroaurikuler (Battle`sign),
kebocoran CSS (rhinorrea, ottorhea), parese nervus fasialis (N VII) perifer.

2). Lesi Intrakranial


Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi fokal dan lesi difus. Kedua jenis lesi ini
sering terjadi bersamaan. Cedera otak difus umumnya menunjukkan
gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis
penderita sangat buruk bahkan koma. Berdasarkan dalam dan lamanya
koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan,
kontusio klasik, dan Cedera Aksonal Difus (CAD).
Macam cedera otak fokal :
a. Perdarahan Epidural

10

Terletak di antara dura dan kalvaria. Umumnya pada regio temporal


atau temporoparietal akibat pecahnya arteri meningea media. Manifestasi
berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval
lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologis unilateral dan gejala neurologi yang
secara progresif. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau
menyerupai lensa cembung.

b. Perdarahan Subdural
Lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-kira 30%
dari cedera kepala berat). Perdarahan terjadi akibat robeknya bridging
vein yang terletak antara korteks cerebri dan sinus venosus tempat vena
tadi bermuara, namun dapat juga akibat laserasi pembuluh arteri pada
permukaan otak. Kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan
prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural. Ciri
perdarahan subdural berbentuk bulan sabit.

c.

Kontusio dan Perdarahan Intraserebral

11

Biasanya terjadi di lobus frontal dan temporal, walau terjadi juga pada
setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Kontusio serebri
dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi
membentuk perdarahan intraserebral.

Macam cedera otak difus :


Cedera otak difus membentuk kerusakan otak berat progresif yang
berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya jumlah cedera akselerasideselerasi otak. Pasien pada kelompok cedera otak difus, secara umum
menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium
atau bahkan koma dalam keadaan klinis.
1 Komosio ringan
Keadaan cedera di mana kesadaran tetap tidak terganggu namun
terjadi disfungsi neurologis yang bersifat sementara. Bentuk yang paling
ringan yaitu, keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia. Sindroma
ini pulih kembali tanpa gejala. Cedera komosia yang lebih berat
menyebabkan keadaan bingung disertai amnesia retrograde dan amnesia
antegrade.
2 Komosio Serebral Klasik
Keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya kesadaran. Keadaan
ini disertai amnesia retrograde dan post traumatika. Hilangnya kesadaran
adalah sementara dan dapat pulih. Banyak pasien dengan komosio
serebral klasik pulih kembali tanpa cacat neurologis, namun pada
beberapa pasien dapat timbul defisit neurologis untuk beberapa waktu,

12

misalnya : kesulitan mengingat, pusing, mual, amnesia dan depresi serta


gelaja lainnya.
3 Cedera Akson Difus
Penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama dan
tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Penderita
sering

menunjukkan

gejala

disfungsi

otonom

seperti

hipotensi,

hiperhidrosis dan hiperpireksia.


3.5 Patofisiologi Trauma Kapitis
Pada trauma kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam 2 tahap
yaitu cedera primer dan sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselarasi deselarasi gerakan kepala.
Dalam mekanisme trauma kepala dapat terjadi peristiwa coup dan
contrecoup. Cedera primer yang disebabkan oleh adanya benturan pada
tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah
yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrercoup. Akselarasi deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan
berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan
densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya.

Bergeraknya

isi

dalam

tengkorak

memaksa

otak

membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan


dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan,
iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
3.6 Manifestasi Klinis Trauma kapitis
1.

Sakit kepala hebat.

13

2.

Muntah proyektil.

3.

Papil edema.

4.

Kesadaran makin menurun.

5.

Perubahan tipe kesadaran.

6.

Tekanan darah menurun, bradikardia.

7.

Anisokor.

8.

Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.

Gejala fraktur basis :


Battle sign.
Hemotympanum.
Periorbital echymosis.
Rhinorrhoe.
Orthorrhoe.
Brill hematom.

3.7Pemeriksaan klinis Trauma Kapitis


Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum
meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan tanda-tanda vital juga
dilakukan yaitu kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis
pernafasan serta suhu badan.
1. Pemeriksaan kesadaran
Pemeriksaan

kesadaran

paling

baik

dicapai

dengan

menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Skoring didasari pada


tiga pengukuran, yaitu : pembukaan mata, respon motorik, dan
respon verbal. Skor dari masing-masing komponen dijumlahkan
dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3
sedangkan

nilai

tertinggi

adalah

15.

Dengan

melakukan

pengulangan penilaian skala GCS, pemeriksa juga dapat dinilai


apakah terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih
buruk.

14

Tabel Skala Koma Glasgow


Membuka Mata
Mata terbuka dengan spontan
Mata membuka setelah diperintah
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri
Tidak membuka mata
Respon Verbal
Menjawab pertanyaan dengan benar
Salah menjawab pertanyaan
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya
Tidak ada jawaban
Respon Motorik
Menurut perintah
Dapat melokalisir nyeri
Menghindari nyeri
Fleksi (dekortikasi)
Ekstensi (decerebrasi)
Tidak ada gerakan

4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1

2. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis saraf kranial dan saraf perifer. Selain
itu pemeriksaan tonus, koordinasi, reflex, respon pupil, pergerakan
mata, respon sensorikk, kekuatan dan simetris dari letak anggota
gerak ekstremitas dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda
gangguan otak dan medula spinalis.
3. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan, dan
memar.

4 Pemeriksaan radiologis
a X-ray Tengkorak
b CT-Scan
c

Magnetic Resonance Imaging (MRI) .

5. Pemeriksaan lain-lain
Serial EEG : melihat perkembangan gelombang yang patologis.
CSF, Lumbal Punksi : jika ada perdarahan subarakhnoid.

15

ABGs : Mendeteksi masalah

pernapasan

jika terjadi

peningkatan tekanan intrakranial.


Kadar Elektrolit : untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial.

3.8 Penatalaksanaan Trauma Kapitis


3.8.1 Pedoman Penatalaksanaan
Resusitasi dan Penilaian awal
1. Menilai jalan napas : bersihkan jalan napas, lepaskan gigi palsu,
pertahankan tulang servikal segaris dengan badan, pasang
guedel, bila perlu intubasi.
2. Menilai pernapasan : tentukan bernafas spontan atau tidak.
3. Menilai sirkulasi : otak yang rusak tidak mentolerir hipotensi.
Hentikan semua perdarahan. Pasang jalur intravena yang besar,
ambil darah vena untuk pemeriksaan darah lengkap, ureum,
elektrolit, glukosa, dan analisis gas darah arteri. Berikan normal
salin atau ringer laktat.
4. Obati kejang : Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena
perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang.
Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB diberikan
intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50
mg/menit.
5. Menilai tingkat keparahan

Penatalaksanaan

16

1. Pada sernua pasien dengan cedera kepala dan atau leher, lakukan
foto tulang belakang servikal, kolar servikal baru dilepas setelah
dipastikan bahwa seluruh tulang servikal Cl -C7 normal.
2. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang dan berat, lakukan
prosedur berikut:

Pasang iv dengan NaCI 0,9% atau ringer laktat. Cairan isotonis


lebih efektif mengganti volume intravaskular

Lakukan pemeriksaan: hematokrit, darah lengkap, trombosit,


kimia darah (glukosa, ureum, dan kreatinin, masa protrombin
atau masa tromboplastin parsial)

Lakukan CT Scan: pasien dengan cedera kepala ringan,


sedang, atau berat, harus dievaluasi adanya: hematoma
epidural, darah dalarn subaraknoid dan intraventrikel, kontusio
dan perdarahan jaringan otak, edema serebri, obliterasi
sisterna perimesensefalik, pergeseran garis tengah, fraktur
kranium

3. Pada pasien yang koma (skor GCS < 8), lakukan tindakan :
Elevasi kepala 300
Hiperventilasi
Berikan manitol 20 % 1g/kgbb iv dalam 20-30 menit.
Dosis ulangan dapat diberikan 4-6 jam kemudian 1/4 dosis
semula setiap 6 jam sampai maksimal 48 jam pertama
Pasang foley kateter
Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi operasi

17

Penatalaksanaan Khusus
1. Antibiotika untuk luka terbuka yang luas, trauma tembus kepala,
fraktur tengkorak yang antara lain dapat menyebabkan liquorrhoe.
2. Perawatan luka dan pencegahan dekubitus
3. Pasien dengan cedera kepala ringan dapat dipulangkan ke rumah
tanpa perlu dilakukan pemeriksaan CT Scan bila hasil pemeriksaan
neurologis dalam batas normal dan foto servikal jelas normal
4. Pasien dengan cedera kepala berat : Setelah penilaian awal dan
stabilisasi tanda vital, tentukan apakah ada indikasi intervensi bedah
saraf segera (hematoma intrakranial yang besar). Jika ada indikasi,
segera konsulkan ke bedah saraf.
Penilaian ulang jalan napas dan ventilasi
Monitor tekanan darah
Pemasangan alat monitor TIK pada pasien dengan GCS < 8
Penatalaksanaan cairan: larutan isotonis (NS atau RL)
Nutrisi: adanya respons hipermetabolik dan katabolic menyebabkan
keperluan 50-100% lebih tinggi dari normal.
Temperatur badan: dengan asetaminofen atau kompres dingin.
Antikejang: fenitoin 15-20 mg/kgBB bolus iv, kemudian 300 mg/hari
iv. Jika pasien tidak menderita kejang, fenitoin dihentikan 7- 10 hari.
Profilaksis trombosis vena dalam
Profilaksis ulkus peptic

18

CT Scan lanjutan
Terapi operatif
Terapi operatif dilakukan bila terdapat :

Volume hematoma > 30 ml.

Keadaan pasien memburuk.

lesi desak ruang bervolume :

>25 cc pada desak ruang supra tentorial.


10 cc pada desak ruang infratentorial.
5 cc pada desak ruang thalamus.

Pendorongan garis tengah > 5 mm.

Fraktur tengkorak terbuka dan fraktur tengkorak depres dengan


kedalaman >1 cm.

EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran garis


tengah dengan GCS 8 atau kurang.

Tanda-tanda lokal dan peningkatan TIK > 25 mmHg.

3.8.2 Trauma Kapitis dan Rehabilitasi Medis


Banyak pasien yang mengalami cedera otak yang signifikan
membutuhkan rehabilitasi. Tujuan dari rehabilitasi medis ini adalah
untuk memperbaiki kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Tipe dan durasi rehabilitasi bervariasi, berdasarkan
tingkat keparahan dan bagian otak mana yang mengalami cedera.

Tim Rehabilitasi
Penanganannya memerlukan kerjasama multidisiplin ilmu dan
koordinasi antar disiplin yang selaras dan serasi.
1. Peranan keluarga :
a. Partisipasi

seperti

pengamatan

aktivitas

penderita

dan

membantunya melakukan gerakan tertentu yang tak bisa


dilakukan sendiri oleh penderita.
19

b. Ikut serta membuat keputusan program rehabilitasi.


c. Melanjutkan program rehabilitasi di rumah.
2. Dokter ahli rehabilitasi medik (Fisiatris)
Dokter spesialis rehabilitasi berperan sebagai kapten tim
menentukan diagnosis, evaluasi dan pengobatan penderita.
Tujuan utama adalah mengurangi sakit dan memulihkan fungsi
fisik, psikologik, dan social.
3. Perawat Rehabilitasi
Mengevaluasi kebutuhan
keterbatasannya,

sehari-hari pasien, memantau

mengintegrasikan

prinsip

terapi

dengan

kegiatan keseharian penderita di ruangan, membantu perawatan


saluran cerna dan kemih.
4. Fisioterapis
Meningkatkan kemampuan pasien untuk menggerakkan
tubuh

melalui

latihan

kekuatan,

fleksibilitas,

ketahanan,

keseimbangan, dan koordinasi. Goal fungsionalnya seperti


peningkatan kemampuan secara mandiri dalam berjalan, naik dan
turun kasur, keluar dan masuk toilet, dll baik dengan maupun
tanpa alat bantu ambulasi seperti tongkat atau walker. Dapat
menggunakan treatment modalitas seperti treatment panas,
dingin, atau air untuk membantu meredakan nyeri sehingga
mempermudah gerakan otot.
Program latihan akan berhasil bila :
a) Penjelasan yang baik dan demonstrasi yang mudah
b)
c)
d)
e)

dimengerti dan dilakukan.


Supervisi latihan dan koreksi bila salah.
Pertimbangan toleransi nyeri dan kelelahan.
Penjadwalan dan diselingi penilaian ulang.
Pasien memerlukan latihan tersendiri dan perhatian

khusus kasus demi kasus.


f) Kadang latihan berkelompok melakukan gerakan
secara bersama-sama.
g) Melanjutkan program latihan di rumah dan memberi
pengertian kepada keluarga.
5. Terapis okupasional

20

Membantu pasien mepelajari ulang dan meningkatkan


kemampuan untuk melakukan ADL. Rencana penatalaksanaan:
a) Evaluasi dan pemulihan kemampuan penderita dalam
hubungannya dengan ADL dan pekerjaan.
b) Memanfaatkan fungsi yang tersisa dengan alat bantu.
6. Speech therapist (Bina Wicara)
Menangani

gangguan

komunikasi

seperti

gangguan

berbahasa, persepsi, evaluasi dan pembentukan bahasa.


Apabila suara belum ada, maka

modalitas berkomunikasi

harus dilatih seperti memakai tulisan, lambang jari atau cara


lain yang bisa dimengerti.
7. Ortotik
Harus melihat faktor-faktor keindahan gerak, terhindar dari
nyeri, pekerjaan, sikap psikologik dan sosio ekonomi penderita
dan diusahakan agar mendekati kehidupan biasa dan produktif.
8. Psikologi
Berperan untuk menilai dan mengevaluasi fungsi perasaan
dan kognitif penderita, termasuk di dalamnya adalah :
a)
b)
c)
d)

Efek psikologik yang terganggu akibat cedera otak.


Fungsi sebelum menderita dan sekarang.
Kemampuan penderita menerima keadaannya.
Persepsi penderita tentang keadaannya dan pandangan

orang lain terhadap dia.


e) Peranan lingkungan.
Sikap emosi dan mental sangat menentukan keberhasilan
proses rehabilitasi. Rata-rata 50% pada orang dewasa dan lebih
tinggi lagi pada anak-anak.
9. Pekerja Sosial Medik
Menyiapkan

laporan

menentukan

diagnosis

kemampuan

penderita

tentang
sosial.

penderita

Diagnosis

menerima

defisit

dan

keluarga,

sosial

termasuk

fungsinya

dan

penerimaan penderita terhadap program rehabilitasi.


Pelayanan pekerja sosial medik yang diberikan kepada
penderita dan keluarga adalah penerangan tentang cacatnya,

21

bantuan keuangan dan badan sosial, situasi tempat tinggal


yang harus sesuai pada keadaan penderita, halangan bangunan
yang mesti diubah, dan sebagainya.
10. Ahli Gizi
Evaluasi keadaan gizi penderita, menghitung gizi yang
diperlukan, merencanakan makanan khusus standar gizi yang
diperlukan harus

mempertimbangkan faktor-faktor keadaan

tubuh penderita.

Rehabilitasi pada cedera otak


Hal-hal yang timbul akibat cedera otak

menyebabkan

gangguan fungsi dan menjadi masalah pokok pada rehabilitasi


medik, adalah lokomotor, ketrampilan tangan, gangguan bicara,
gangguan koordinasi, gangguan sensorik dan kejiwaan.
1. Gangguan Lokomotor
Penyebab yang paling umum adalah hemiplegia motorik
akibat

gangguan

pembuluh

darah

atau

paraplegia

dan

quadriplegia akibat penekanan pada sumsum tulang belakang


atau penyakit

demyelinasi. Masalah tersebut memerlukan

fisioterapi tergantung dari luas lesi saraf tersebut apakah statis,


memburuk atau membaik.
Pertimbangan utama adalah mobilisasi dan ketergantungan
penderita.

Anggota

gerak

yang

sehat

harus

dipelihara

kekuatannya dan anggota yang lumpuh digerakkan secara pasif


untuk memelihara gerakan sendi yang normal jangan sampai
kaku. Bila ada spastisitas, harus diusahakan sedemikian rupa
sehingga fungsi untuk berjalan bisa terpenuhi, baik dengan cold
pack atau hot pack maupun dengan vibrasi atau menggunakan
refleks hambatan.
2. Ketrampilan tangan

22

Sistem

piramidalis

sangat

mempengaruhi

kemahiran

ketrampilan tangan, walaupun proses penyakit telah sembuh


namun selalu ada defisit. Walaupun kekuatan otot telah pulih,
gerakan sendi telah balik, pengendalian anggota gerak telah
dikuasai namun ketrampilan tangan ini masih bagian yang
penting dalam proses rehabilitasi. Ketrampilan dapat dipulihkan
melalui latihan terapi okupasi seperti menulis, mengetik,
memasukkan kancing baju, bertukang dan menjahit.

3. Gangguan bicara
Gangguan berkomunikasi merupakan cacat penting yang
bisa disandang oleh penderita. Berbagai klasifikasi gangguan
berkomunikasi, di antaranya yang mudah dan praktis adalah
klasifikasi Sehuell :
Gol. 1 : Afasia sederhana. Terdapat pengurangan semua
bahasa, tidak ada gangguan sensorik dan motorik, ada
disarthria.
Gol. 2 : Gol. 1 ditambah dengan gangguan visual dan
gangguan diskriminasi, pengenalan dan pengungkapan
simbol visual.
Gol. 3 : Afasia disertai gangguan proses pendengaran dan
sensorik-motorik.
Gol. 4 : Campuran gangguan pendengaran, penglihatan
dan motorik

dan

tanda-tanda kerusakan otak yang

menyeluruh.
Gol. 5 : Afasia, ireversibel dan hilangnya semua modalitas
fungsi berbahasa.
Dari klasifikasi dapat diduga prognosisnya, gol. 1 afasia
sederhana adalah baik, sedangkan gol. 5 afasia ireversibel
adalah jelek. Bantuan komunikasi yang sesuai diberikan oleh
speech therapist.
23

4. Gangguan koordinasi
Campuran lesi serebelum dan piramidal mengakibatkan
gangguan koordinasi dan kurangnya gerak trampil. Perlu
diperhatikan

apakah

lesi

bersifat

tetap,

sembuh

atau

memburuk ,cacatnya apakah permanen atau sementara.


Gangguan koordinasi anggota gerak atas dilatih dengan
latihan sederhana dimulai dari gerakan jari sendiri-sendiri,
ditingkatkan dengan antar jari.
Gangguan koordinasi anggota gerak bawah, tidak perlu
dipaksakan untuk latihan jalan (walking gait), cukup dengan
memulai yang sederhana menempatkan kaki dalam berbagai
posisi secara statik, dilanjutkan dengan koordinasi pergerakan
sendi. Sebelum berdiri ada baiknya posisi tegak dilatih pada
tilting table dulu, latihan keseimbangan berdiri di lantai, baru
latihan jalan dengan bantuan terapis. Selanjutnya dapat dilatih
dengan alat bantu seperti kruk, tripod atau

tongkat untuk

berjalan sendiri.
Gangguan koordinasi karena defek pada ekstrapiramidal
lebih sulit diatasi terutama kalau bilateral. Selain kekuatan yang
menghambat untuk bergerak, ada kegagalan mulai bergerak
walaupun penderita sudah mengerti instruksi dan penerangan.
5. Gangguan sensorik
Selain

pendengaran,

mengecap,

penciuman

dan

penglihatan, perasaan merupakan modalitas yang penting.


Gangguan sensorik ini dapat dibagi 3 :
a) Perasaan dalam (proprioseptif). Posisi dan pergerakan
badan, reseptor di jaringan tubuh (otot, tendon, periost dan
sendi), memberi informasi tegangan otot setiap gerakan.
b) Perasaan superfisial (eksteroseptif). Reseptor pada kulit,
untuk perabaan, tekanan, panas dingin dan nyeri. Gangguan
akan menyebabkan kulit mudah cedera tanpa disadari.

24

c) Stereognosis. kemampuan mengenal benda 3 dimensi


dengan meraba, kombinasi perasaan dalam dan superfisial.
Untuk mengatasi gangguan sensorik ini perlu latihan
berulang-ulang setiap rangsangan untuk memulihkan fungsi
anggota gerak misalnya untuk berdiri, jalan, ADL memasang
kancing baju, sikat gigi, makan dengan garpu dan sebagainya.
Variasi rangsangan bisa diberikan melalui permainan dengan
bahan berlainan misalnya balok-balok kayu, plastik dan tanah
liat. Latihan secara bertahap dari ringan sampai berat sesuai
dengan kemampuan yang telah dicapai.
6. Gangguan kejiwaan
Kerusakan otak dapat menimbulkan gangguan psikologis
seperti perubahan kepribadian selain berkurangnya intelek.
Manifestasinya dapat berupa depresi, cemas, kelelahan
berlebihan, konsentrasi pikiran yang rendah, dan kurangnya
ingatan.

Gangguan

kejiwaan

yang

timbul

akan

sangat

menghambat usaha-usaha rehabilitasi pemulihan fungsi-fungsi


tubuh. Psikiater membantu menyediakan psikoterapi yang
dibutuhkan pasien dari segi emosional dan psikologisnya.

Hasil
Hasil pelaksanaan program rehabilitasi akhirnya akan dapat

menggolongkan penderita sesuai dengan fungsi yang dapat


dipulihkan atau fungsi yang masih tersisa.
a) Penderita sembuh tanpa cacat dapat kembali ke pekerjaan
semula.
b) Penderita sembuh dengan cacat dan fungsi yang tersisa
dapat melakukan pekerjaan ringan.
c) Penderita sembuh dengan cacat memerlukan bantuan dari
keluarga untuk kehidupan sehari-hari.
d) Penderita akan mengalami kemunduran dari waktu ke waktu
dan selalu memerlukan bantuan tim medik.

25

3.9 Komplikasi Trauma Kapitis


A. Komplikasi Jangka Pendek
a. Shock karena banyaknya darah yang hilang atau rasa sakit hebat.
Bila kehilangan lebih dari 50% dapat mengakibatkan kematian.
b. Peningkatan tekanan intrakranial pada edema cerebri dan
hematoma dalam tulang tengkorak.
c. Meningitis, bila luka daerah otak berhubungan dengan luar.
d. Infeksi/kejang, bila luka pada anggota badan atau pada fraktur
tulang tengkorak.
e. Edema pulmonal akibat dari cedera pada otak menyebabkan
peningkatan tekanan darah sistemik sebagai respon dari sistem
saraf simpatis pada peningkatan TIK. Peningkatan vasokontriksi
tubuh ini menyebabkan lebih banyak darah dialirkan ke paru-paru.
Permeabilitas pembuluh darah paru berubah dan menyebabkan
cairan berpindah ke dalam alveolus.
B. Komplikasi Jangka Panjang
1. Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia / hiposmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan
b. Kebutaan
Gangguan pada nervus optikus. Biasanya disertai hematoma di
sekitar mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik

berupa

dilatasi pupil dengan reaksi

cahaya

penurunan
negatif,

visus,
atau

skotoma,
hemianopia

bitemporal.
c. Opthalmoplegi
Merupakan kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, umunya
disertai proptosis, dan pupil yang midriatik
d. Paresis facialis
Gangguan pengecapan, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, dan mulut mencong pada sisi yang mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran

26

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya


disertai vertigo dan nistagmus.
2. Disfasia
Kesulitan untuk memahami atau memproduksi bahasa
3. Hemiparesis
Kelumpuhan anggota gerak satu sisi tubuh yang merupakan
manifestasi klinis dari kerusakan jaras piramidal di korteks, subkorteks,
atau batang otak.
4. Sindrom pasca cedera kepala
postconcussional syndrome merupakan kumpulan gejala kompleks
yang sering dijumpai pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya
meliputi nyeri kepala, vertigo, gugup, mudah tersinggung, gangguan
konsentrasi, penurunan daya ingat, dan merasa lelah.
3.10

Prognosis Trauma Kapitis


Prognosis tergantung pada : lokasi trauma (infratentorial lebih
jelek), berat trauma, dan kesadaran saat masuk kamar operasi. Skor
GCS waktu masuk ke rumah sakit memiliki nilai prognostik yang
besar : skor pasien 3-4 memiliki kemungkinan meninggal 85% atau
tetap dalam kondisi vegetatif, sedangkan pada pasien dengan GCS
12 atau lebih kemungkinan meninggal hanya 5-10%. Faktor yang
memperjelek

prognosis

adalah

terlambatnya

penanganan

awal/resusitasi, terlambat dilakukan tindakan pembedahan, dan


adanya trauma multipel yang lain.

27

DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons. 2004. Advance Trauma Life Suport. United
States of America: Firs Impression.
Brain Injury Association of Michigan, 2005. Traumatic Brain Injury Provider
Training Manual. Michigan Department Of Community Health
Cicerone, Kalmar K. 2000. Evidance-based Cognitive Rehabilitation.
Journal of Med. Rehabilitation. h: 1596-615
Iskandar J. 2004. Penatalaksanaan Cedera Kepala secara Operatif.
Sumatra Utara: USU Press
Mansjoer A. 2000. Trauma Susunan Saraf dalam Kapita Selekta
Kedokteran edisi Ketiga jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.
Mardjono M, Sidharta P. 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakrta : Dian
Rakyat.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2008.
Konsensus Nasional Penanganan Cedera Kapitis dan Cedera
Spinal. Perdossi Jakarta
Rao V., Lyketsos. 2000. Neurophisiciatric Sequelae of Cederatic Brain
Injury Psychosomatic. Journal of Neuropsiciatry. h: 95-103
Sjahrir H. 2004. Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus. Jakarta : Dian
Rakyat.

28

http://ners-nerskeperawatan.blogspot.com/2011/05/askep-ciderakepala.html
http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/trauma-kapitis/
http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/traumatic-braininjury/basics/treatment/con-20029302

29

Anda mungkin juga menyukai