Anda di halaman 1dari 30

Bab 1.

Pendahuluan
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
yang cukup tinggi dalam neurologi dan menjadi masalah kesehatan oleh
karena penderitanya sebagian besar orang muda, sehat dan produktif.1
Trauma kepala adalah trauma mekanik yang mengenai calvaria dan
atau basis cranii serta organ-organ di dalamnya baik secara langsung
ataupun tidak langsung, dimana kerusakan tersebut bersifat nondegeneratif/non-kongenital, yang disebabkan oleh gaya mekanik dari luar
sehingga timbul gangguan fisik, kognitif maupun psikososial serta
berhubungan dengan atau tanpa penurunan tingkat kesadaran, baik
permanen ataupun temporer (PERDOSSI, 2006).2
Trauma merupakan penyebab utama pada anak diatas usia 1 tahun
di Amerika Serikat. Menurut Dawodu (2003) insidensi Trauma kepala
tertinggi pada kelompok umur 15-45 tahun dengan insidens sebanyak
32,8/100.000. Perbandingan antara lelaki dan perempuan ialah 3,4 : 1.
Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah kecelakaan lalu-lintas
(bermotor) di mana pada setiap tahun diperkirakan 1 juta meninggal dan
20 juta cedera.3
Dibandingkan dengan trauma lainnya, persentase trauma capitis
adalah yang tertinggi, yaitu sekitar lebih atau sama dengan 80%. Insiden
trauma kepala karena kecelakaan lebih 50% meninggal sebelum tiba di
RS, 40% meninggal dalam 1 hari dan 35% meninggal dalam 1 minggu
perawatan. Trauma kapitis memiliki dampak emosi, psikososial, dan
ekonomi yang cukup besar sebab penderitanya sering menjalani masa
perawatan rumah sakit yang panjang, dan 5-10% setelah perawatan
rumah sakit membutuhkan fasilitas pelayanan jangka panjang.1
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat
besar, meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini.
Sebagian besar pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma
kapitis ringan, sisanya merupakan trauma dengan kategori sedan dan
berat dalam jumlah yang sama.1

1 | Tr a u m a C a p i t i s

Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada
barulah data dari beberapa rumah sakit (sporadis).1

Bab 2. Pembahasan
2.1. Definisi Trauma Kapitis
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen.2
2.2. Anatomi3
Berdasarkan Advanced Trauma Life Support (ATLS-2004), anatomi yang
bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP, yaitu :
a. Skin atau kulit
b. Connective Tissue atau jaringan penyambung
c. Aponeurosis atau Galea Aponeurotika
d. Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
e. Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea aponeurotika dari
perikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah (hematoma
subgaleal). Kulit Kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga
bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan menyebabkan
banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis cranii.
Kalvaria khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini
dilapisi oleh otot temporal. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa
yaitu : fossa anterior, fossa media, dan fossa posterior. Fossa anterior
2 | Tr a u m a C a p i t i s

adalah tempat lobus frontalis, fossa media adalah tempat lobus


temporalis, dan fossa posterior adalah ruang bagian bawah batang
otak dan cerebellum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari
3 lapisan yaitu : duramater, arakhnoid dan piamater. Duramater
adalah selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang
melekat erat pada permukaan dalam kranium. Karena tidak melekat
pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan
araknoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menujusinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan
perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena
ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini
dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan
dalam dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala
dapat

menyebabkan

laserasi

pada

arteri-arteri

ini

dan

dapat

menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami


cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa
temporalis (fossa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang
tipis dan tembus pandang disebut arakhnoid. Lapisan ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan
serebrospinal bersirkulasi dalam ruang subarakhnoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari Cerebrum, Cerebellum dan batang otak.
Cerebrum terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh
Falx Cerebri yaitu lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis
superior. Pada hemisfer cerebri kiri terdapat pusat bicara manusia.

3 | Tr a u m a C a p i t i s

Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai


hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus
temporal mengatur fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab
dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medulla oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus
memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi yang kecil saja
pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat,
Cerebellum

bertanggung

jawab

dalam

fungsi

koordinasi

dan

keseimbangan, terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan


medulla spinalis, batang otak, dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Liquor Cerebrospinal
Liquor cerebrospinal dihasilkan oleh Plexus Choroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20ml/jam. LCS mengalir dari ventrikel
lateral menuju foramen monro menuju ventrikel III kemudian menuju
aquadustus sylvii menuju ventrikel IV. Selanjutnya LCS keluar dari
sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang berada
di seluruh permukaan otak dan medulla spinalis. LCS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui vili arakhnoid.
6. Tentorium
Tentorium Cerebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supra tentorial (terdiri atas fossa cranii anterior dan fossa cranii
media) dan ruang infratentorial (berisi fossa cranii posterior)
2.3. Epidemiologi
Penyebab yang sering adalah kecelakaan lalu lintas dan terjatuh.
Seiring dengan kemajuan teknologi, frekuensi cedera kepala cenderung
meningkat. Cedera kepala melibatkan kelompok usia produktif yaitu antara
4 | Tr a u m a C a p i t i s

15-44 tahun dengan usia rata-rata 30 tahun dan lebih didominasi oleh
kaum laki-laki. 3

2.4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap
yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera kepala
primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan dengan
kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat
menjalani proses penyembuhan yang optimal. Cedera kepala primer
mencakup fraktur tulang, cedera fokal dan cedera otak difusa. Fraktur
tulang kepala dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Cedera
fokal, kelainan ini mencakup kontusi kortikal, hematom subdural, epidural,
dan

intraserebral

yang

secara

makroskopis

tampak

dengan

mata

telanjang sebagai suatu kerusakan yang berbatas tegas. Cedera otak difus
berkaitan dengan disfungsi otak yang luas, serta biasanya tidak tampak
secara makroskopis.2-4
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa
perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi
kontusio dibawah are benturan disebut lesi kontusio coup, diseberang
area benturan tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi.
Jika

terdapat

lesi,

maka

lesi

tersebut

dinamakan

lesi

kontusio

countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan


akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah
akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup,

5 | Tr a u m a C a p i t i s

dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang
berada di antara lesi kontusio coup dan countercoup.2-4

Gambar. Mekanisme terjadinya Kontusio


Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas
antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid)
menyebabkan

tengkorak

bergerak

lebihi

cepat

dari

muatan

intra

kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur


permukaan dalam tengkorak pada tempat berlawanan dari benturan
(countercoup).2-4
Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer
dan lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala
berat, pencegahan cedera kepala sekunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan atau keluaran penderita. Kerusakan sekunder terhadap otak
disebabkan

oleh

siklus

pembengkakan

dan

iskemia

otak

yang

menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak.


Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
6 | Tr a u m a C a p i t i s

berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan


jaringan otak.2-4
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke
menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti.
Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk
mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia
pada beberapa daerah tertentu dalam otak.2-4
2.5. Klasifikasi Trauma Kapitis
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi yaitu
berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi.
1. Berdasarkan mekanismenya, cedera kepala dibagi atas, yaitu:
A. Cedera kepala tumpul, biasanya berkaitan dengan kecelakaan
lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera
tumpul

terjadi

akselerasi

dan

deselerasi

yang

cepat

menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan


melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.

Gambar. Mekanisme Cedera Tertutup


7 | Tr a u m a C a p i t i s

B. Cedera

tembus,

tusukan.
2. Berdasarkan

disebabkan

morfologinya

oleh

cedera

luka
kepala

tembak

ataupun

dikelompokkan

menjadi, yaitu:
A. Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar
tengkorak, dapat berbentuk garis/linear atau bintang/stelata,
dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur dasar
tengkorak

biasanya

memerlukan

pemeriksaan

CT

scan

dengan teknik bone window untuk memperjelas garis


frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak
menjadikan

petunjuk

kecurigaan

untuk

melakukan

pemeriksaan lebih rinci.


Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya
hubungan antara laserasi kulit kepala dengan permukaan otak
karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur tengkorak tidak
8 | Tr a u m a C a p i t i s

dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan


yang terjadi cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak
sebagai berikut :
i.
Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
ii.
Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Calvarium/
Konveksitas
(kubah/

iii.

tengkorak)
b. Basis Cranii (dasar tengkorak)
Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

B. Lesi intrakranial
Dapat berbentuk
perdarahan

atap

subdural,

lesi

fokal

(perdarahan

kontusio,

dan

epidural,

peradarahan

intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan. 2,3,4,5

Gambar. Lesi Intrakranial


a. Komosio Serebri (geger otak)
Geger otak berasal dari

benturan

kepala

yang

menghasilkan getaran keras atau menggoyangkan otak,


menyebabkan

perubahan

cepat

pada

fungsi

otak,

termasuk kemungkinan kehilangan kesadaran lebih 10


menit yang disebabkan cedera pada kepala. Tandatanda/gejala geger otak, yaitu: hilang kesadaran, sakit
kepala berat, hilang ingatan (amnesia), mata berkunangkunang, pening, lemah, pandangan ganda.
b. Kontusio Serebri (memar otak)
9 | Tr a u m a C a p i t i s

Memar otak lebih serius daripada geger otak, keduanya


dapat diakibatkan oleh pukulan atau benturan pada
kepala.

Memar

otak

menimbulkan

memar

dan

pembengkakan pada otak, dengan pembuluh darah


dalam otak pecah dan perdarahan pasien pingsan, pada
keadaan berat dapat berlangsung berhari-hari hingga
berminggu-minggu.
amnesia

Terdapat

pascatraumatik,

amnesia

dan

retrograde,

terdapat

kelainan

neurologis, tergantung pada daerah yang luka dan


luasnya lesi:
Gangguan

pada

peningkatan

batang

tekanan

otak

menimbulkan

intracranial

yang

dapat

menyebabkan kematian.
Gangguan pada diensefalon, pernafasan baik atau
bersifat

Cheyne-Stokes,

pupil

mengecil,

reaksi

cahaya baik, mungkin terjadi rigiditas dekortikal


(kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua

lengan kaku dalam sikap fleksi)


Gangguan pada mesensefalon dan pons bagian atas,
kesadaran

menurun

hingga

koma,

pernafasan

hiperventilasi, pupil melebar, refleks cahaya tidak


ada,

gerakan

mata

diskonjugat

(tidak

teratur),

regiditasdesebrasi (tungkai dan lengan kaku dalam


sikap ekstensi).
c. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural merupakan pengumpulan darah
diantara

tengkorak

ekstradural).

dengan

Cirinya

duramater

berbentuk

(hematom

bikonveks

atau

menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area


temporal atau temporo-parietal yang disebabkan oleh
robeknya arteri meningea media akibat retaknya tulang
tengkorak.
Gumpalan

darah

yang

terjadi

dapat

berasal

dari

pembuluh arteri, namun pada sepertiga kasus dapat


10 | T r a u m a C a p i t i s

terjadi akibat perdarahan vena, karena tidak jarang


perdarahan

epidural

terjadi

akibat

robeknya

sinus

venosus terutama pada regio parieto oksipital dan pada


fosa

posterior.

Walaupun

secara

relatif

perdarahan

epidural jarang terjadi (0,5% dari seluruh penderita


cedera kepala dan 9% dari penderita yang dalam
keadaan koma), namun harus dipertimbangkan karena
memerlukan tindakan diagnostik maupun operatif yang
cepat. Perdarahan epidural bila ditolong segera pada
tahap dini, prognosisnya sangat baik karena kerusakan
langsung

akibat

penekanan

gumpalan

jaringan otak tidak terlalu lama.


Keberhasilan pada penderita

darah

perdarahan

pada

epidural

berkaitan langsung dengan status neurologis penderita


sebelum pembedahan. Penderita dengan perdarahan
epidural dapat menunjukkan intervallucid yang klasik
atau keadaan dimana penderita yang semula mampu
bicara lalu tiba-tiba meninggal (talk and die). Keputusan
perlunya suatu tindakan operatif memang tidak mudah
dan memerlukan pendapat dari seorang ahli bedah saraf.

Gambar. Perdarahan Epidural


d. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural

lebih

sering

terjadi

daripada

perdarahan epidural (kira-kira 30% dari cedera kepala


berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya
vena-vena jembatan yang terletak antara korteks serebri
dan sinus venosus tempat vena tadi bermuara. Namun

11 | T r a u m a C a p i t i s

dapat juga terjadi akibat laserasi pembuluh arteri pada


permukaan otak.
Perdarahan subdural
permukaan

hemisfer

biasanya
otak

menutupi

dan

kerusakan

seluruh
otak

di

bawahnya lebih berat dan prognosisnya pun jauh lebih


buruk daripada perdarahan epidural. Angka kematian
yang tinggi pada perdarahan ini hanya dapat diturunkan
dengan

tindakan

pembedahan

yang

cepat

dan

penatalaksanaan medikamentosa yang agresif. 2,3,4,5

Gambar. Perdarahan Subdural


Subdural hematom dibagi menjadi:
1. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala
neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera.
Dan

berkaitan

Gangguan

erat

dengan

neurologik

trauma

progresif

otak

berat.

disebabkan

oleh

tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak


dalam

foramen

magnum,

yang

selanjutnya

menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini


dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan
dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan
darah. Gejala klinis dari subdural hematom akut
tergantun

dari

ukuran

kerusakan

parenkim

hematom

otak.

dan

Subdural

derajat
hematom

biasanya bersifat unilateral. Gejala neurologis yang


sering muncul adalah :

Perubahan tingkat kesadaran, dalam

hal

ini

terjadi penurunan kesadaran


12 | T r a u m a C a p i t i s

Dilatasi pupil ipsilateral hematom

Kegagalan pupil ipsilateral bereaksi terhadap cah


aya

Hemiparesis kontralateral

Papiledema

2. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik
dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2
minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh
perdarahan vena dalam ruangan subdural.
Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini
adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan
ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu
tertentu

penderita

memperlihatkan

tanda-tanda

status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran


mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam.
Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring
pembesaran

hematoma,

penderita

mengalami

kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan


respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri.
Pergeseran

isi

intrakranial

dan

peningkatan

intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah


akan menimbulkan herniasi unkus atau sentral dan
melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi
batang otak.
3. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada

umumnya

tertunda

beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun


setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural.
Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan
13 | T r a u m a C a p i t i s

subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan


terjadi,

darah

dikelilingi

oleh

membrana

fibrosa.

Dengan adanya selisih tekanan osmotik yang mampu


menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan
sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran
hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih
lanjut dengan merobek membran atau pembuluh
darah

di

sekelilingnya,

menambah

ukuran

dan

tekanan hematoma.
Hematoma subdural yang bertambah luas secara
perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena
venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua
keadaan

ini,

cedera

tampaknya

ringan;

selama

beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil


pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan
adanya genangan darah.
Hematoma subdural yang kecil pada dewasa
seringkali

diserap

secara

spontan.

Hematoma

subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala


neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk

dilakukannya

pengaliran

perdarahan

adalah:
sakit kepala yang menetap
rasa mengantuk yang hilang-timbul
linglung
perubahan ingatan
kelumpuhan ringan pada sisi tubuh

ini

yang

berlawanan.
e. Subarachnoid Hematom
Perdarahan subarachnoid
subarachnoid
arachnoid

(yang

dan

terjadi

memisahkan

piamater).

Selain

di

dalam

antara

ruang

membrana

karena

trauma,

perdarahan juga dapat terjadi secara spontan akibat


aneurisma (Saccular Berrys Aneurism) atau malformasi
arteriovenosa. Gejala yang timbul antara lain sakit kepala
14 | T r a u m a C a p i t i s

berat

yang

penurunan

mendadak
kesadaran,

(thunderclap

mual/muntah

headache),

dan

terkadang

kejang. Kaku kuduk dapat terlihat 6 jam setelah onset


perdarahan. Dilatasi pupil terisolasi dan hilangnya refleks
cahaya

menunjukkan

adanya

herniasi

otak

akibat

peningkatan tekanan intrakranial. Perdarahan intraokular


dapat timbul. Defisiensi neurologis berupa abnormalitas
N. okulomotoris (bola mata yang melihat kebawah, keluar
serta tidak mampu mengangkat kelopak mata di sisi yang
sama) menunjukkan kemungkinan perdarahan berasal
dari a.communicating posterior.
Sebagai respons terhadap perdarahan,

pelepasan

adrenalin akan meningkatkan tekanan darah dan aritmia.


Sebanyak 85% perdarahan subarachnoid disebabkan oleh
aneurisma serebral, kebanyakan terletak di sirkulus Wilisi
dan percabangannya. Sisanya terjadi akibat malformasi
arteriovena,

tumor,

atau

penggunaan

antikoagulan.

Selain itu trauma cedera otak juga dapat menyebabkan


perdarahan subarachnoid, melalui fraktur tulang sekitar
atau kontusio intraserebral.

Gambar. Perdarahan Subarachnoid pada CT-Scan

15 | T r a u m a C a p i t i s

f. Kontusio dan Perdarahan Intraserebral


Kontusio serebri murni biasanya

jarang

terjadi.

Diagnosis kontusio serebri meningkat sejalan dengan


meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan
cedera kepala. Kontusio serebri hampir selalu berkaitan
dengan perdarahan subdural akut.
Kontusio serebri sangat sering terjadi di frontal dan
lobus temporal, walaupun dapat terjadi juga pada setiap
bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum. Batas
perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat
saja dalam waktu beberapa jam atau hari mengalami
evolusi membentuk perdarahan intraserebral.
g. Cedera Difus
Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak
akibat cedera akselerasi dan deselerasi yang merupakan
bentuk yang sering terjadi pada cedera kepala. Komosio
serebri ringan adalah cedera dimana kesadaran tetap
tidak terganggu namun terjadi disfungsi neurologis yang
bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak
diperhatikan. Bentuk yang paling ringan dari kontusio ini
adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia.
Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa sama sekali.
Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan
keadaan bingung disertai amnesia retrograd dan amnesia
antegrad (keadaan amnesia pada peristiwa-peristiwa
sebelum dan sesudah cedera). Komosio serebri klasik
adalah cedera yang mengakibatkan menurunnya atau
hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan
amnesia

pasca

trauma

dan

lamanya

amnesia

ini

merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran


biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan
reversibel.
16 | T r a u m a C a p i t i s

Dalam definisi klasik penderita ini akan kembali sadar


dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penerita dengan
komosio

serebri

neurologis

selain

klasik

pulih

amnesia

kembali

terhadap

tanpa

peristiwa

cacat
yang

terjadi, namun pada beberapa penderita dapat timbul


defisit

neurologis

untuk

beberapa

waktu.

Defisit

neurologis itu misalnya kesulitan mengingat, pusing,


mual, anosmia, dan depresi serta gejala lainnya. Gejalagejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang
dapat cukup berat. Cedera aksonal difusi (Diffuse Axonal
Injury, DAI) adalah keadaan dimana penderita mengalami
koma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemia.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan
tetap koma selama beberapa waktu.
Penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau
deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan
cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderitapenderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom
seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu
diduga akibat cedera otak karena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang kedua keadaan tersebut
sering terjadi bersamaan.

h. Hematoma Intraserebral
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri
yang besar di dalam jaringan otak, sebagai akibat trauma
kapitis

berat,

kontusio

berat.Gejala-gejala

yang

ditemukan adalah :
Hemiplegi
Papilledema serta gejala-gejala lain dari tekanan

intrakranium yang meningkat.


Arteriografi karotius dapat memperlihatkan suatu
peranjakan dari arteri perikalosa ke sisi kontralateral
17 | T r a u m a C a p i t i s

serta gambaran cabang-cabang arteri serebri media


yang tidak normal.

Gambar. Hematom Intraserebral pada gambaran CTScan


i. Fraktura Basis Cranii
Hanya suatu cedera kepala yang benar-benar berat
yang dapat menimbulkan fraktur pada dasar tengkorak.
Penderita biasanya masuk rumah sakit dengan kesadaran
yang menurun, bahkan tidak jarang dalam keadaan koma
yang dapat berlangsung beberapa hari. Dapat tampak
amnesia retrogad dan amnesia pascatraumatik. Gejala
tergantung letak frakturnya
a. Fraktur fossa anterior
Darah keluar beserta likuor serebrospinal dari hidung
atau kedua mata dikelilingi lingkaran biru (Brill
Hematoma atau Racoons Eyes), rusaknya Nervus
Olfactorius

sehingga

anosmia.
b. Fraktur fossa media
Darah keluar beserta

terjadi

likuor

hyposmia

sampai

serebrospinal

dari

telinga. Fraktur memecahkan arteri carotis interna


yang berjalan di dalam sinus cavernous sehingga
terjadi hubungan antara darah arteri dan darah vena
(A-V shunt).
c. Fraktur fossa posterior

18 | T r a u m a C a p i t i s

Tampak warna kebiru-biruan di atas mastoid. Getaran


fraktur
merusak

dapat

melintas

medula

foramen

oblongata

magnum

sehingga

dan

penderita

dapat mati seketika.3-6


3. Berdasarkan beratnya, cedera kepala dikelompokkan menjadi,
yaitu:
a. Cedera Kepala Ringan (CKR), termasuk didalamnya Laseratio
dan Commotio Cerebri
Skor GCS 13-15
Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih

dari 10 menit
Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan

kelainan pada pemeriksaan neurologis


b. Cedera Kepala Sedang (CKS)
Skor GCS 9-12
Ada pingsan lebih dari 10 menit
Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan
anggota gerak
c. Cedera Kepala Berat (CKB)
Skor GCS < 8
Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang

lebih berat
Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas

2.6. Pemeriksaan Awal pada Trauma Kapitis


Pemeriksaan pada trauma kapitis menurut Greaves dan Johnson
(2002), antara lain:
A. Glasgow Coma Scale (GCS)
Dinilai dengan respon mata, verbal dan motorik

(Eyes, Verbal,

Movement).
19 | T r a u m a C a p i t i s

1.

Kemampuan membuka kelopak mata (E)

2.

Secara spontan
Atas perintah
Rangsangan nyeri
Tidak bereaksi

4
3
2
1

Kemampuan komunikasi (V)

3.

Orientasi baik
Jawaban kacau
Kata-kata tidak berarti
Mengerang
Tidak bersuara

5
4
3
2
1

Kemampuan motorik (M)

Kemampuan menurut perintah


Reaksi setempat
5
Menghindar
4
Fleksi abnormal
3
Ekstensi
2
Tidak bereaksi
1

Catatan :
1. Pasien yang disfasia atau dalam intubasi tidak mampu bicara, dan
skor verbalnya tidak dapat dinilai, diberi tanda T untuk komponen
verbal tersebut. Pasien dengan intubasi, skor GCS maksimal adalah
10 T dan minimal 2 T.
2. Pasien dengan cedera local pada mata dan mata tidak bias dibuka,
diberi tanda C (eye closed) untuk komponen mata.
3. Untuk pasien yang diberi obat pelemas otot di ICU diberi tanda M
pada komponen motoriknya.
Pemeriksaan

korban

cedera

kepala

yang

kesadarannya

baik

mencakup pemeriksaan neurologis yang lengkap. Sedangkan pada


penderita yang kesadarannya menurun pemeriksaan yang diutamakan
adalah yang dapat memberikan pedoman dalam penanganan di unit
gawat darurat, yaitu:

20 | T r a u m a C a p i t i s

1.
2.
3.
4.

Tingkat kesadaran
Kekuatan fungsi motorik
Ukuran pupil dan responsnya terhadap cahaya
Gerakan bola mata (refleks okulo-sefalik dan vestibuler)
Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan atau cedera

sistemik penyerta (lebih dari 50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat,
maka di dalam evaluasi klinis perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut,
yaitu:
1. Cedera daerah kepela dan leher: laserasi, perdarahan, otorhea, rinorre,
racoons eyes (ekhimosis periorbital), atau Battles sign (ekhimosis
retroaurikuler).
2. Cedera daerah toraks:

fraktur

iga,

pneumotoraks,

hematotoraks,

temponade jantung (bunyi jantung melemah, distensi vena jugularis


dan hipotensi aspirasi atau ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome).
3. Cedera daerah abdomen: khususnya laserasi hepar, lien atau ginjal.
Adanya perdarahan ditandai dengan gejala akut abdomen yang
tegang dan distensif.
4. Cedera derah pelvis: cedera pada penderita nonkomatus. Biasanya,
klinisnya tidak jelas dan membutuhkan konfirmasi radiologis. Cedera
ini sering berkaitan dengan kejadian kehilangan darah yang okult.
5. Cedera daerah spinal: trauma kepala dan spinal khususnya derah servikal
dapat terjadi secara bersamaan.
6. Cedera ekstremitas: dapat melibatkan jaringan tulang atau jaringan lunak
(otot, saraf, pembuluh darah). 1,3-5
B. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap
cahaya. Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari
1mm adalah abnormal. Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan
adanya penekanan terhadap saraf okulomotor ipsilateral. Respon yang
terganggu terhadap cahaya bisa merupakan akibat dari cedera kepala.
C. Pemeriksaan Neurologis

21 | T r a u m a C a p i t i s

Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan


saraf perifer. Tonus, ekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus
diperiksa dan semua hasilnya harus dicatat.

Tabel. Nervus Cranialis dan Fungsinya.


D. Pemeriksaan Scalp dan Tengkorak
Scalp harus diperiksa untuk laserasi, pembengkakan dan memar.
Kedalaman laserasi dan ditemukannya benda asing harus dicatat.
Pemeriksaan tengkorak dilakukan untuk menemukan fraktur yang bisa
diduga dengan nyeri, pembengkakan dan memar.

2.7. Diagnosis6-10
1. Anamnesis

a. Trauma kapitis dengan atau tanpa gangguan kesadaran atau


dengan interval lucid
b. Perdarahan/otorrhea/rhinorrhea
c. Amnesia traumatika (retrograd atau anterograd)
2. Pemeriksaan neurologis:
a. Kesadaran berdasarkan GCS
b. Tanda-tanda vital
c. Otorrhea/rhinorrhea
d. Ecchymosis periorbital bilateral/eyes/hematoma kacamata
22 | T r a u m a C a p i t i s

e. Gangguan fokal neurologis


f. Fungsi motorik: lateralisasi, kekuatan otot
g. Refleks patologis

h. Pemeriksaan fungsi batang otak: pupil, refleks kornea, dolls


eye phenomen
i. Monitor pola pernafasan: cheyne stokes, central neurogenic
hyperventilation, apneusitic breath, ataxic breath
j. Gangguan fungsi otonom
k. Funduskopi

3. Pemeriksaan penunjang:
a. Foto polos kepalaAP/lateral
b. Dari hasil foto perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur
linier, impresi, terbuka/tertutup
c. CT scan kepala untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi
berupa gambaran kontusio, gambaran edema otak, gambaran
perdarahan(hiperdens),

hematoma

epidural,

hematoma

subdural, hematoma subarachnoid, hematoma intraserebral.


d. Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
e. Lumbal Pungsi: Untuk menentukan ada tidaknya darah pada
LCS harus dilakukan sebelum 6 jamdari saat terjadinya trauma
f. EEG: Dapat digunakan untuk mencari lesi6,10
2.8. Penatalaksanaan
Pada cedera kulit kepala, suntikan prokain melalui subkutan membuat
luka

mudah

dibersihkan

dan diobati.

Daerah

luka

diirigasi

untuk

mengeluarkan benda asing dan miminimalkan masuknya infeksi sebelum


laserasi ditutup.
Penanganan emergensi sesuai dengan beratnya trauma kapitis
(ringan, sedang, berat) berdasarkan urutan:
1.

Survei primer, gunanya untuk menstabilkan kondisi pasien meliputi


tindakan seperti berikut, yaitu:
a. Menilai jalan nafas (airway): membersihkan jalan nafas dari debris
dan muntahan, lepaskan gigi palsu, mempertahankan tulang
servikal segaris dengan badan dengan memasang collar cervikal,
memasang guedel atau mayo bila dapat ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas, maka pasien harus di intubasi.
b. Menilai pernafasan (breathing), menentukan apakah pasien
bernafas spontan/tidak. Jika tidak beri O2 melalui masker O2. Jika
23 | T r a u m a C a p i t i s

pasien bernafas spontan selidiki dan atasi cedera dada berat


seperti

pneumotoraks

tensif,

hemopneumotoraks.

Memasang

oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2 minimum 95%. Jika jalan


nafas pasien tidak terlindungi bahkan terancam atau memperoleh
O2 yg adekuat (Pa O2>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi
O2 >95%) atau muntah maka pasien harus diintubasi serta
diventilasi oleh ahli anestesi.
c. Menilai sirkulasi (circulation): otak yang rusak tidak mentolerir
hipotensi. Menghentikan semua perdarahan dengan menekan
arterinya. Memperhatikan adanya cedera intra abdomen atau dada
mengukur dan mencatat frekuensi denyut jantung dan tekanan
darah pasang EKG. Memasang jalur intravena yg besar dan
memberikan

larutan

koloid

sedangkan

larutan

kristaloid

menimbulkan eksaserbasi edema.


d. Menilai disability untuk mengetahui lateralisasi dan kondisi umum
dengan pemeriksaan cepat status umum dan neurologi.

2.

Survei sekunder, meliputi pemeriksaan, dan tindakan lanjutan


setelah kondisi pasien stabil.
E : Laboratorium
Darah: Hb, leukosit, hitung jenis lekosit, trombosit, ureum, kreatinin,
gula darah sewaktu, analisa gas darah dan elektrolit
Urin: perdarahan (+/-)
Radiologi
Foto polos kepalaAP/lateral
CT scan kepala
Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
F : Manajemen terapi
Siapkan untuk operasi pada pasien yang mempunyai indikasi
Siapkan untuk masuk ruang rawat
Penanganan luka luka
Pemberian obat obatan sesuai kebutuhan

Consensus di ruang rawat- Trauma kapitis sedang dan berat, yaitu:


a. Lanjutkan penanganan ABC

24 | T r a u m a C a p i t i s

b. Pantau tanda vital, pupil, SKG, gerakan ekstrimitas, sampai pasien


sedar (pantauan dilakukan tiap 4 jam, lama patauan sampai pasien
SKG 15). Dijaga jangan terjadi kondisi sebagai berikut:
1. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg
2. Suhu > 38C
3. Frekuensi nafas > 20x/m
c. Cegah kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial dengan
cara:
1. Elevasi kepala 30
2. Hiperventilasi
3. Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dalam waktu 1/2 jam1jam, drip cept, dilanjutkan pemberian dengan dosis 0,5 g/kgBB
drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 6 jam dari pemberian pertama
dan 0,25 g/kgBB drip cepat, /2 jam-1jam, setelah 12 jam dan 24
jam dari pemberian pertama.
4. berikan analgetik dan bila perlu dapat diberikan sedasi jangka
pendek
d. Mengatasi komplikasi
1. kejang: profilaksis OEA selama 7 hari untuk mencegah immediate
dan early seizure pada kasus risiko tinggi
2. infeksi akibat fratur basis kranii: profilaksis antibiotika sesuai
dosis infeksi intrakranial selama 10-14 hari.
3. Gastrointestinal-pendarahan lambung
4. demam
5. DIC
e. pemberian cairan dan nutrisi adekuat.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut, yaitu:
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
3.
4.
5.
6.

serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat


Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg
Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT
scan
25 | T r a u m a C a p i t i s

7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak


8. Terjadi kompresi atau obliterasi sisterna basalis

ALGORITME 1. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA RINGAN 11


Definisi: penderita sadar dan berorientasi (GCS: 14-15)
1. Riwayat:
a. Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan
b. Mekanisme cedera dan waktu cedera
c. Tidak sadar segera setelah cedera
d. Tingkat kewaspadaan
e. Amnesia: Retrograde, Antegrade
f. Sakit kepala: ringan, sedang, berat
g. Kejang
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Pemeriksaan ronsen vertebra servikal dan lainnya sesuai indikasi
5. Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urine
6. Pemeriksaan CT scan kepala sangat ideal pads setiap penderita
cedera kepala ringan, kecuali bila memang sama sekali asimtomatik
dan pemeriksaan neurologis normal
Observasi atau dirawat di RS
1. CT scan tidak ada
2. CT scan abnormal
Semua cedera tembus
3. Riwayat hilang kesadaran
4. Kesadaran menurun
Sakit kepala sedang-berat
Intoksikasi alkohol/obat-obatan
Fraktur tengkorak
5. Rhinorea-otorea
6. Cedera penyerta yang bermakna
7. Tak ada keluarga di rumah
8. Tidak mungkin kembali ke RS segera
9. Amnesia
Dipulangkan dari RS
1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Diskusikan kemungkinan kembali bila memburuk dan berikan
lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang di poliklinik biasanya setelah 1
minggu
26 | T r a u m a C a p i t i s

ALGORITME 2. PENATALAKSANAAN CEDERA KEPALA SEDANG


Definisi: Penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk, namun
masih mampu menuruti perintah-perintah sederhana (GCS: 9-13).
1. Pemeriksaan awal:
a. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditarnbah pemeriksaan
darah sederhana
b. Pemeriksaan CT scan kepala
c. Dirawat untuk observasi
2. Setelah dirawat
a. Pemeriksaan neurologis periodik
b. Pemeriksaan CT scan ulang bila kondisi penderita memburuk
atau bila penderita akandipulangkan
Bila kondisi membaik (90%)
1. Pasien dapat pulang
2. Pasien dapat mengkontrol di poliklinik
Bila kondisi memburuk (10%)
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah lagi,
segera lakukan pemeriksaan CT scan ulang dan penatalaksanaan sesuai
protokol cedera kepala berat.
ALGORITME 3. PENATALAKSANAAN AWAL CEDERA KEPALA BERAT
Definisi: penderita tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana
karena kesadaran yang menurun (GCS 3-8)
Pemeriksaan dan penatalaksaan ABCDE
Primary Sunny dan resusitasi
Secondary Survey dan riwayat AMPLE 22
Re-evaluasi neurologic
Respon buka mata
Reaksi Cahaya pupil
Respon motorik
Refleksokulosefalik (Doll's eyes)
27 | T r a u m a C a p i t i s

Respon verbal
RefleksOkulovestibuler (Test Kalori)
Obat-obatan
Manitol
Antikonvulsan
Hiperventilasisedang
TesDiagnostik (sesuaiurutan)
CT Scan (semuapenderita)
Ventrikulografiudara
Angiogram
2.9. Prognosis
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat
dengan cedera kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan
baik.
Sekitar 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat
mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20%
di antaranya menurun dan koma. Bila gejala neurologis membaik dan atau
CT-scan.
Scan ulangan tidak memperlihatkan lesi massa yang memerlukan
operasi, penderita mungkin dapat dipulangkan dalam beberapa hari
kemudian.
Penderita yang tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat
mengikuti perintah yang sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi
kardiopulmoner. Semua penderita mempunyai resiko morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.12

28 | T r a u m a C a p i t i s

Bab 3. Penutup
Trauma Kapitis adalah cedera kepala yang dapat melibatkan seluruh
struktur lapisan mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling
ringan, tulang tegkorak, duramater, vaskuler otak, sampai jaringan
otaknya sendiri, baik berupa luka terbuka maupun trauma tembus yang
dapat menyebabkan gangguan fungsi neurologik yakni gangguan fisik,
fungsi kognitif dan psikosial baik temporer maupun permanen. Trauma
Kapitis dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan
langsung pada kepala. Berdasarkan patofisiologinya Trauma Kapitis dibagi
menjadi Trauma Capitis primer dan cedera kepala sekunder.
Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau
bersamaan dengan kejadian cedera dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Cedera kepala sekunder merupakan proses lanjutan dari cedera
primer dan lebih merupakan fenomena metabolik.
Gambaran

klinis

ditentukan

berdasarkan

derajat

cedera

dan

lokasinya. Derajat cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya


melalui system GCS, yakni metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)
Lebih kurang 80% penderita yang datang ke rung gawat darurat
dengan cedera kepala ringan, sebagian besar penderita sembuh dengan
baik. 10% penderita dengan cedera kepala sedang, masih dapat
mengikuti perintah sederhana tetapi sering kali bingung dan somnolen,
mungkin ada defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Penderita yang
tergolong dalam cedera kepala berat, tidak dapat mengikuti perintah yang
sederhana, walaupun sudah dilakukan resusitasi kardiopulmoner. Semua
penderita mempunyai resiko morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

29 | T r a u m a C a p i t i s

Daftar Pustaka
1. IT Maria.Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal.Perhimpunan Dokter Saraf Indonesia (PERDO).Jakarta,2011.hal 2-3.
2. PERDOSSI, 2006. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan
Trauma Spinal. PERDOSSI. Jakarta.
3. Advance Trauma Life Support, hal 196-2352.
4. Greenberg Michael I. 2008. Text-atlas of emergency medicine. Penerbit
Erlangga. Jakarta, hal 44-51.
5. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
LearningSystem LLC, 2003
6. Diunduh

dari

http://hubpages.com/hub/Cerebral_Hemorrhage_Kerala_shocking_fact, 19
Agustus 2014.
7. Diunduh

dari

http://www.thecochranelibrary.com/userfiles/ccoch/file/CD001049.pdf,

19

november 2013.
8. Whitfield Peter C, et al. Head Injury; A Multy Diciplinary Approach.
Cambridge University Press. Cambridge.2009
9. Harsono. Buku Ajar Neurologi Klinis. Himpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia. Yogyakarta.2008. hlm. 261-262.
10. Satyanegara.Ilmu Bedah saraf. Penerbit EGC.Jakarta, hal 153-170
11. Livingstone C. Neurology and Neurosurgery illustrated. Second edition.
199125
12. Turner DA. Neurological evaluation of a patient with head trauma.
Dalam : Neurosurgery 2nd edition. New York: McGraw Hill, 1996.

30 | T r a u m a C a p i t i s

Anda mungkin juga menyukai