Anda di halaman 1dari 30

Laporan Kasus

Trauma Capitis Ringan GCS 15

Diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani


Program Internsip Dokter Indonesia Angkatan I Tahun 2020

Oleh:
dr. Desty Puspita Sari

Pendamping:
dr. Ratna Siagian
dr. Budi Artha Sitepu

Program Internsip Dokter Indonesia


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Trauma merupakan penyebab terbanyak kematian pada usia di bawah 45


tahun dan lebih dari 50 tahun dan paling banyak ialah trauma kapitis. Cedera
kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai Unit Gawat
Darurat suatu Rumah Sakit. Setiap tahunnya, cedera kepala menyumbang angka
kematian dan cacat permanen yang cukup besar1.

Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus


cedera kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan
50.000 orang meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000
orang dengan kecacatan akibat trauma kepala2. Di Indonesia tidak terdapat data
nasional mengenai trauma kepala. Pada tahun 2005 di RSCM. terdapat 434 pasien
trauma kepala ringan 315 pasien trauma kepala sedang dan 28 pasien trauma
kepala berat3. Di Rumah Sakit Siloam pada tahun 2005 terdapat 347 kasus trauma
kepala3. Di Rumah Sakit Atma Jaya pada tahun 2007 jumlah pasien trauma kepala
mencapai 125 orang dari 256 pasien3.
Sedangkan berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden trauma
kepala dengan CFR (Case Fatality Rates) sebanyak 100.000 jiwa meninggal
dunia. Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan
dan terjatuh4.
Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya terjadi
pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang kurang tepat dan
yang tidak memenuhi standar3.
Tujuan utama assesment dan manajemen pasien dengan cedera kepala
adalah mempertahankan CBF yang adekuat serta mencegah iskemia serebral dan
hipoksia. Pada pasien dengan cedera kepala, autoregulasi normal CBF menjadi
hilang dan CBF menjadi proporsional dengan cerebral perfusion pressure (CPP)5.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Trauma Kapitis


Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan
atau gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of
America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat
kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan
fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana
menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik6.

2.2 Anatomi
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan
ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue
(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan
scalp.7,8

Gambar 2.1. Lapisan Kulit Kepala9

2
2. Tulang Tengkorak
Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan
oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe.
Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap
kranium, sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan
memberi tempat untuk memproduksi sumsum darah8.
Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal
yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita;
os parietal yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang
membentuk dasar dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan
struktur penyangga penting dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan
orbita mata dan os sfenoid yang membentuk dasar anterior kranium8.

Gambar 2.2. Kranium dilihat dari lateral9

Gambar 2.3. Kranium dilihat dari frontal

Gambar 2.3. Kranium dilihat dari frontal9

3
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga
lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya
(araknoid), terdapat ruang subdural.7,8
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri
meningea terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di
ruang epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater
terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan
yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam
ruang sub araknoid.7,8

Gambar 2.4. Lapisan Meningen9


4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum,serebelum dan batang otak. Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri(lipatan
duramater yang berada di inferior sinus sagitalis superior). Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan. Lobus

4
frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).7

Gambar 2.5 Anatomi Otak9


Lobus parietalis berhubungan dengan orientasi ruang dan fungsi sensorik.
Lobus temporalis mengatur fungsi memori tertentu. Lobus occipitalis berukuran
lebih kecil dan berfungsi dalam penglihatan. Batang otak terdiri dari
mesensefalon, pons dan medula oblongata. Mesensefalon dan pons bagian atas
berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.
Pada medula oblongata berada pusat vital kardiorespiratorik yang terus
memanjang sampai medula spinalis di bawahnya. Serebellum bertanggung jawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan terletak dalam fosa posterior,
berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan kedua hemisfer serebri.9

5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat,
selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang

5
berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial (hidrosefalus komunikans)8.

Gambar 2.6. Cairan serebrospinal pada otak10

6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial.
Nervus oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa
supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui
insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus.
Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan
pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral
dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan
intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi,
walaupun tidak selalu.8

6
2.3 Fisiologi
1. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak
yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi,
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi
dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin
buruk prognosisnya.8

2. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada
garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.8

7
Gambar 2.7. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa yang
ekspansi. 8

3. Aliran Darah Otak (ADO)


ADO normal ke dalam otak kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak per menit.
Bila ADO menurun sampai 20-25 ml/100 gr/menit maka aktivitas EEG akan
hilang dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit sel-sel otak mengalami kematian dan
terjadi kerusakan menetap. Pada penderita non-trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan ADO pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata
50-160 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata dibawah 50 mmHg, ADO menurun
curam dan bila tekanan arteri rata-rata di atas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan ADO meningkat. Mekanisme autoregulasi sering
mengalami gangguan pada penderita cedera kepala. Akibatnya, penderita-
penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder karena iskemia
sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi tidak
bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang,
terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat

8
hematoma intracranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah
yang adekuat tetap harus dipertahankan.8

2.4. Faktor Risiko Trauma Kepala


1. Jenis Kelamin
Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali lipat lebih banyak
mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua
perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua
disebabkan karena terjatuh. Menurut Brain Injury Association of America,
laki-laki cenderung mengalami trauma kepala 1,5 kali lebih banyak
daripada perempuan.6
2. Umur
Menurut Brain Injury Association of America, dua kelompok umur
mengalami risiko yang tertinggi adalah dari umur 0 sampai 4 tahun dan 15
sampai 19 tahun.6

2.5. Mekanisme dan Patofisiologi


Cidera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung ataupun tidak langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cidera otak fokal atau difus dengan atau tanpa
fraktur tulang tengkorak. Cidera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematome
epidural, subdural dan intraserebral. Cidera difus dapat mengakibatkan gangguan
fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus.11
Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah.  Gelombang
ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi
kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup” atau ditempat
yang berseberangan dengan benturan  (countre coup).11
Gangguan metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat
menyebabkan herniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan
otak tersebut dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian
meninggal.10

9
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa.  Cedera
kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi
karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena
aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera
kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan
hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.10,11

2.6. Klasifikasi Cedera Kepala


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.8
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Beberapa mekanisme yang timbul terjadi trauma kepala adalah seperti translasi
yang terdiri dari akselerasi dan deselerasi. Akselerasi apabila kepala bergerak
ke suatu arah atau tidak bergerak dengan tiba-tiba suatu gaya yang kuat searah
dengan gerakan kepala, maka kepala akan mendapat percepatan (akselerasi)
pada arah tersebut.8
Deselerasi apabila kepala bergerak dengan cepat ke suatu arah secara tiba-
tiba dan dihentikan oleh suatu benda misalnya kepala menabrak tembok maka
kepala tiba-tiba terhenti gerakannya. Rotasi adalah apabila tengkorak tiba-tiba
mendapat gaya mendadak sehingga membentuk sudut terhadap gerak kepala.8

2. Berat Ringannya Cedera Kepala


Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8

10
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan
(2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu8 :
Table 1. Glasgow Coma Scale
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1

Tabel 2. Klasifikasi Keparahan Traumatic Brain Injury


Ringan
Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13 – 15
Sedang

11
Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9 - 12
Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8

a) Trauma Kepala Ringan


Dengan Glasgow Coma Scale >12, tidak ada kelainan dalam CT- scan, tiada
lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Cedera otak ringan
ditandai dengan pasien sadar penuh dan dapat berbicara namun dengan
riwayat disorientasi, amnesia atau kehilangan kesadaran sesaat dengan skor
GCS antara 13-15. Trauma kepala ringan atau cedera kepala ringan adalah
hilangnya fungsi neurologi atau menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan
kerusakan lainnya8.
b) Trauma Kepala Sedang
Dengan Glasgow Coma Scale 9 - 12, lesi operatif dan abnormalitas dalam CT-
scan dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit. Pasien mungkin bingung atau
somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-
13)8.
c) Trauma Kepala Berat
Dengan Glasgow Coma Scale < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.
Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan dihentikan.
Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan eksperimental
menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat disertai dengan
peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan cairan serebrospinalis

12
(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak. Penderita cedera kepala berat,
penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L8.

3. Morfologi
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial8.
a. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya8,12.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervusfasialis. Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk  pengamatan.8,11,12,13

b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT

13
scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis.8,12

1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera10,11,12.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya ‘lucid interval´ yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die),
keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf.10,11,12
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral
(tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media
kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.12 

14
2. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut
dan kronis.13

Gambar 2.8. Gambaran perdarahan subdural hematom11

a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah
fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom
subdural10,11.

15
b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada
tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah
hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga
terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.10,11,12

c) Kontusi dan hematoma intraserebral.


Kontusi serebral murni bisanya jarang terjadi. Selanjutnya, kontusi
otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural akut. Majoritas
terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara
kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tidak jelas batasannya.
Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat
laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari12.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan
(parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio
jaringan otak yang menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang
ada di dalam jaringan otak tersebut. Lokasi yang paling sering adalah
lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi
benturan (coup) atau pada sisilainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi dan luas
perdarahan.12,13

16
Gambar 2.9. gambaran intraserebri12

d) Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa
sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad 8,11,13.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-

17
gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat 12,13.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama
dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi
atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedera aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi
bersamaan13.

2.7. Penatalaksanaan
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika
muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan8,17.

b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi 8,17.

Tata laksana:

 Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten


 Cari dan atasi faktor penyebab

18
 Kalau perlu pakai ventilator

c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat
meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks,
atau syok septik.

Tata laksananya dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan


fungsi jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan
isotonik NaCl 0,9%.8,17

d. Medikamentosa
1. Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
2. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)
3. Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat
penurun tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8
jam atau NaCl 3% dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan
infus kontinyu 0.1-1 ml.kgBB/jam dengan monitoring tekanan
intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan dengan dosis inisial 5 ml/
kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam. Pemantauan kadar
elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan hipertonis.
Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
4. Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.
5. Tatalaksana demam.

e. Edukasi

19
Nasehat untuk orang tua Orang tua sering menanyakan apa yang perlu
diperhatikan jika anaknya mengalami trauma kepala, berikut ini beberapa
tips yang dapat diberikan:
1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di
rumah.
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minum obat anti
muntah, karena dapat menutupi gejala perburukan yaitu muntah.
Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2-3 jam sampai 72
jam setelah trauma.
5. Anak segera di bawa ke rumah sakit apabila selama observasi
didapatkan:
- Anak tampak tidur terus atau tidak sadar.
- Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium.
- Kejang pada wajah atau ekstremitas.
- Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat,
atau adanya tanda kekakuan di leher.
- Muntah yang menetap terutama di pagi hari.
- Keluar cairan/darah dari lubang telinga atau hidung.
- Ubun-ubun besar yang membonjol.
- Terdapat gangguan gerak ekstremitas.

Agoritme Evaluasi Anak Dengan Trauma Kepala Ringan

20
21
BAB III
LAPORAN KASUS

A. Asesmen Awal Gawat Darurat


Nama : An. R
Umur : 2 tahun 6 bulan
Alamat : Taba Tebelet
Tanggal masuk : 12 Juni 2020
No. RM : 08.88.09

Anamnesis (auto/aloanamnesis)
Keluhan utama: Keluar darah dari telinga kanan setelah kecelakaan bermotor.
Mekanisme trauma: Pasien bersama ibunya sedang bermotor kemudian tetabrak
anjing yang sedang menyebrang kemudian os bersama ubunya terjatuh dan kepala
terbentur aspal, os tidak menggunakan helm. Mual (-) muntah (-) penuruan
kesadaran (-), kejang (-).
Pemeriksaan fisik
Airway Breathing Circulation Disability
 Bebas  Spontan Nadi Respon
 Gargling  Tachipneu  Kuat  Alert
 Stridor  Dispneu  Lemah  Pain
 Wheezing  Apneu CRT  Verbal
 Ronchi  Ventilator   Unresponse
 Intubasi  >2 Pupil
eyrvsuyarimPr

Warna kulit  Isokor


  Anisokor
 Pucat  Pinpoint
 Kuning  Midriasis
Perdarahan GCS: E4 M6 V5
 Tidak ada

 Tidak
terkontrol
Turgor kulit
 Baik
 Buruk
Tekanan darah - Pernapasan 20 kali/menit
Nadi 113 kali/menit Suhu 36,5 C

22
Berat badan 10 kg Panjang badan - cm
Normal Tidak normal
v. ekscoriatum di regio
frontal dengan ukuran 0.3 x 1
cm dan parietal dekstra
Kepala
dengan ukuran 0.5 x 1.1 cm
serta keluar darah dari telinga
kanan
Mata tidak cekung, air
mata saat menangis (+),
Mata
konjungtiva tidak pucat,
sklera tidak ikterik
Mulut Lidah lembab
Leher Pembengkakan KGB (-)
Frekuensi 20 kpm, gerak
Paru simetris, vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
BJ 1>BJ 2, reguler,
Jantung
murmur (-)
Distensi (-), perkusi
Abdomen
timpani
Sianosis (-), CRT <2 detik,
Ekstremitas
edema (-)
Anus dan Tidak diperiksa
genitalia

Status gizi
BB/U : 10/ 14 x 100 = 71.4
TB/U : 85/ 94 x 100 = 90
BB/TB : 10/85 x 100 = 85
Status Gizi : Gizi normal
Kebutuhan Cairan : 100 ml/kgBB/hari
: 1000 ml/24 jam
Diagnosis kerja
Cidera Kepala Ringan dengan GCS 15 + V. Ekscoriatum
Tindakan pengobatan
- IVFD RL 40 tpm mikro
- Inj Ceftriaxone 800 mg/24 jam dalam 100 cc Dextrose 5% IV
- Inj Ondansentron 1.5 mg/8 jam IV
- Inj Paracetamol flsh 150 mg/ 8 jam IV
Tindak lanjut/Follow up:
Rawat inap

23
Pantau tanda peningkatan intracranial
1. Nyeri kepala hebat
2. Penurunan kesadaran
3. Mual muntah
Pantau perdarahan dari telinga

B. Follow Up Harian Bangsal


Tanggal S O A P
09.00 wib Rewel (-), A: clear CKR GCS 15 - IVFD RL gtt 40
13 Mei nafsu makan B : spontan, dan V. tpm
2020 (+), tidur RR : 24 x/m Ekscoriatum - Drip ceftriaxone
nyenyak, C : HR : 89 800 mg dalam
darah keluar x/m isi dan 100 cc D5%/ 24
dari telinga tegangan jam
(-) cukup, akral - Infus
hangat, CRT paracetamol fls
<2, perdarahan 150 mg/ 8 jam/iv
terkontrol. - Inj.
Ondansentron 2
Status mg/ 12 jam
lokalisata: - Obs. Peningkatan
Kepala : TIK dan
Tampak luka perdarahan dari
lecet multiple, telinga.
D ± 1 cm pada
region frontalis Pasien pulang
Pct syr 3 x 1 c po
Telinga : Cefadroxil 3 x 1 c
Tampak po
bekuan darah
disekitar liang

24
telinga,
perdarahan (-)

Eks. Inf :
Tampak lecet
pada pedis
dekstra

25
BAB IV
ANALISIS KASUS

Dilaporkan seorang anak laki-laki usia 2 tahun 6 bulan dibawa


orangtuanya dengan keluar darah dari telinga kanan dan terdapat luka dikepala
sejak 30 menit SMRS dikarenakan kecelakaan bermotor. Pada pasien mempunyai
faktor risiko berupa usia dan jenis kelamin, berdasarkan teori laki-laki dua kali
lipat lebih banyak mengalami trauma kepala dari perempuan dan umur 0 sampai 4
tahun lebih beresiko untuk terjadinya trauma capitis.
Pemeriksaan fisik pada pasien ini airway : clear, breathing : RR 20x/m
nafas spontan, circulation HR 113x/m regular, isi dan tegangan cukup, crt <2,
akral hangat dan GCS 15. Pada status lokalisata pada region frontalis dan parietal
dekstra terdapat vulnus ekscoriatum. Pada auricular dekstra terdapat perdarahan
terkontrol (+). Pada pemeriksaan fisik ditemukan perdarah yang kelur dari telinga
yang menandakan orthore yang merupakan salah satu tanda dari fraktur basis
cranii. Kemudian dilakukan pemeriksaan halo test, dan didapatkan hasil negative
yang berarti darah yang keluar bukan dari cairan serebrospinal.
Penatalaksaan pada pasien diberikan IVFD RL 40 tpm mikro, Injeksi
Ceftriaxone 800 mg/24 jam dalam 100 cc Dextrose 5% IV, Injeksi Ondansentron
2 mg/12 jam IV, Inj Paracetamol flsh 150 mg/ 8 jam IV. Pada penatalaksanaan
diberikan cairan yang isotonis guna untuk mempertahankan normovolemia. Pada
pasien juga diberikan paracetamol flsh yang merupakan analgesica berdasarkan
prinsip bahwa rasa nyeri dapat meningkatkan demand metabolism dari otak,
sehingga dapat menaikkan tekanan intracranial, mual dan muntah juga dapat
merangsang saraf simpatis sehingga meningkatkan tekanan darah dan
meningkatkan risiko itulah sebabnya pasien juga diberikan ondansentron.
(kochanek, 2012). Pada pasien diberikan antibiotik karena pada penelitian yang
dilakukan nirawana (2019) didapatkan kesimpulan bahwa adanya hubungan
cidera kepala dengan peningkatakan leukosit, terutama berdasarkan derajat
keparahan cidera kepala tersebut. Namum seharusnya dilakukan pemeriksaan
darah rutin untuk memastikan adanya peningkatan leukosit.

26
Peningkatan hitung leukosit berkorelasi terhadap peningkatan resiko untuk
terjadinya vasospasme dan outcome yang buruk. Trauma memicu pelepasan
hormon katekolamin dan kortikosteroid sehingga pelepasan leukosit meningkat.
Pada pasien dilakukan observasi jika terdapat peningkatan tekanan intracranial,
seperti muntah menyemprot, nyeri kepala hebat dan penurunan kesadaran. Pada
pasien tidak dilakukan pemeriksaan ct scan karena tidak terdapat indikasi berupa
GCS < 15 , agitasi, somnolen, slow response,dan repetitive questioning.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja, Andika Surya. 2016. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis.


Vol 43 (1). Jakarta Timur : Indonesia.
2. Edinburgh. 2009. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Early
management of patients with a head Injury.
3. Indrawan, Dewi Dewanto, dan Setiawan. 2010. PerbandinHan glasgow
coma scale dan revised trauma score dalam memprediksi disabilitas pasien
trauma kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. MaKalah Kedokteran Indonesia
60(10). Yogyakarta.
4. Departemen Kesehatan RI. 2013. Ringkasan Eksekutif data dan informasi
kesehatan Indonesia. Jakarta : Pusat data dan Informasi kementerian
Kesehatan RI.
5. Dewanto. 2009. Diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. EGC : Jakarta.
6. Langlois J.A., Rutland-Brown W., Thomas K.E., 2006. Traumatic brain
injury in the United States: emergency department visits, hospitalizations,
and deaths. Atlanta (GA): Centers for Disease Control and Prevention,
National Center for Injury Prevention and Control.
7. Moore KL & Agur AM. 2002. Anatomi klinis dasar. (V. Sadikin & V.
Saputra, Eds.). Jakarta: Hipokrates.
8. American Collage of Surgeons, Advance Trauma Life Suport For Doctors,
7th Edition. United States of America, 2004.
9. Netter FH, Machado CA. Atlas of Human Anatomy. Version 3. Icon
Learning System LLC, 2003.
10. Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurology Fungsional, bagian dua.
Gajah Mada University Press, 2004.
11. Hafid A. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah: edisi kedua. Jong W.D. Jakarta:
penerbit buku kedokteran EGC
12. Ghazali Malueka. 2007. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta: Pustaka
Cendekia.
13. Hasan RY, et al. Satyanegara : Ilmu Bedah Saraf. Edisi 4. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama; 2010.hlm.7-15.

28
14. Dyah, Rahajo, dan Sudadi. 2014. Laporan Kasus. Jurnal Komplikasi
Anestesi 2(1). Fakultas Kedokteran UGM : Yogyakarta.
15. Sastrodiningrat AG. Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Prognosa Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara Vol 39
No.3,2006. Hal : 307-16.
16. Nancy, dkk. 2016. Guideline for the Management of Severe Traumatic
Brain Injury edisi 4.
17. Wahyudi, dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedra Otak edisi kedua.
RSUD dr. Soetomo : Surabaya.
18. Mangunatmadja, 2016. Rekomendasi Trauma Kepala Ringan Pada Anak.
IDAI
19. Trihono dkk. 2012. Kegawatan Pada Bayi dan Anak. FK UI : Jakarta

29

Anda mungkin juga menyukai