Oleh:
dr. Desty Puspita Sari
Pendamping:
dr. Ratna Siagian
dr. Budi Artha Sitepu
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Anatomi
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada
os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit
kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri
dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan
ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue
(jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan
scalp.7,8
2
2. Tulang Tengkorak
Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan
oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe.
Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap
kranium, sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan
memberi tempat untuk memproduksi sumsum darah8.
Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal
yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita;
os parietal yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang
membentuk dasar dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan
struktur penyangga penting dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan
orbita mata dan os sfenoid yang membentuk dasar anterior kranium8.
3
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga
lapisan yaitu: duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna
atau bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya
(araknoid), terdapat ruang subdural.7,8
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri
meningea terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di
ruang epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea
media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media). Dibawah duramater
terdapat araknoid yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan
yang ketiga adalah piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri.
Cairan serebrospinal bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam
ruang sub araknoid.7,8
4
frontalis berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).7
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus khorideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monro ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat,
selanjutnya keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang
5
berada diseluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang terdapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid
sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intra
kranial (hidrosefalus komunikans)8.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi ruang tengkorak menjadi supratentorial dan
infratentorial. Mesensefalon menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak
berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut insisura tentorial.
Nervus oculomotorius(N.III) berjalan di sepanjang tentorium, dan saraf ini dapat
tertekan pada keadan herniasi otak yang umumnya dikibatkan oleh adanya massa
supratentorial atau edema otak. Bagian otak yang sering terjadi herniasi melalui
insisura tentorial adalah sisi medial lobus temporalis yang disebut girus unkus.
Herniasi Unkus menyebabkan juga penekanan traktus piramidalis yang berjalan
pada otak tengah. Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegia kontralateral
dikenal sebagai sindrom klasik herniasi tentorial. Jadi, umumnya perdarahan
intrakranial tedapat pada sisi yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi,
walaupun tidak selalu.8
6
2.3 Fisiologi
1. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan
kenaikan tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak
yang akhirnya berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Dan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu
fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi,
kenaikan tekanan intrakranial (TIK) tidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya. TIK
normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136 mmH2O), TIK lebih tinggi
dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari 40 mmHg termasuk
dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala, semakin
buruk prognosisnya.8
2. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu
konstan, karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak
mungkin mekar. TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi
penderita mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva
tekanan-volume. Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada
garis datar kurva berapa banyak volume lesi masanya.8
7
Gambar 2.7. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa yang
ekspansi. 8
8
hematoma intracranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah
yang adekuat tetap harus dipertahankan.8
9
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera
kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi
karena berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena
aliran darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera
kepala harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan
hemodinamik tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup.10,11
10
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan. Menurut Brain Injury Association of Michigan
(2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu8 :
Table 1. Glasgow Coma Scale
Eye Opening
Mata terbuka dengan spontan 4
Mata membuka setelah diperintah 3
Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best Motor Response
Menurut perintah 6
Dapat melokalisir nyeri 5
Menghindari nyeri 4
Fleksi (dekortikasi) 3
Ekstensi (decerebrasi) 2
Tidak ada gerakan 1
Best Verbal Response
Menjawab pertanyaan dengan benar 5
Salah menjawab pertanyaan 4
Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai 3
Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya 2
Tidak ada jawaban 1
11
Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
Amnesia post traumatik ≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9 - 12
Berat
Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3 – 8
12
(CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis otak. Penderita cedera kepala berat,
penelitian menunjukkan kadar rata-rata asam laktat 3,25 mmol/L8.
3. Morfologi
Secara morfologis cedera kepala dapat dibagi atas fraktur cranium dan lesi
intrakranial8.
a. Fraktur cranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan
dapat berbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup.
Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT Scan dengan
dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya8,12.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan
petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci. Tanda-tanda
tersebut antara lain ekimosis periorbital (raccoon eye sign), ekimosis
retroauikular (battle sign), kebocoran CSS (Rhinorrhea, otorrhea) dan paresis
nervusfasialis. Fraktur cranium terbuka atau komplikata mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulit kepala dan permukaan otak karena
robeknya selaput duramater. Keadaan ini membutuhkan tindakan dengan
segera. Adanya fraktur tengkorak merupakan petunjuk bahwa benturan yang
terjadi cukup berat sehingga mengakibatkan retaknya tulang tengkorak.
Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar.
Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk
dirawat dirumah sakit untuk pengamatan.8,11,12,13
b. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa,walau kedua
bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma
epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atauhematoma intraserebral).
Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT
13
scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma
dalam keadaan klinis.8,12
1. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang terbentuk diruang
potensial antara tabula interna dan duramater dengan ciri berbentuk bikonvek
atau menyerupai lensa cembung. Paling sering terletak diregio temporal atau
temporoparietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari
perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural
akibat robeknya sinus vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa
posterior.Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat
saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera10,11,12.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena penekan gumpalan
darah yang terjadi tidak berlangsung lama. Keberhasilan pada
penderita pendarahan epidural berkaitan langsung denggan status
neurologis penderita sebelum pembedahan. Penderita dengan pendarahan
epidural dapat menunjukan adanya ‘lucid interval´ yang klasik dimana
penderita yang semula mampu bicara lalu tiba-tiba meningggal (talk and die),
keputusan perlunya tindakan bedah memang tidak mudah dan memerlukan
pendapat dari seorang ahli bedah saraf.10,11,12
Dengan pemeriksaan CT Scan akan tampak area hiperdens yang
tidak selalu homogeny, bentuknya biconvex sampai planoconvex,
melekat pada tabula interna dan mendesak ventrikel ke sisi kontralateral
(tanda space occupying lesion ). Batas dengan corteks licin, densitas
duramater biasanya jelas, bila meragukan dapat diberikan injeksi media
kontras secara intravena sehingga tampak lebih jelas.12
14
2. Hematom Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi diantara
duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH,
ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi paling
sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau
substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat
lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas
umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat
segera dan pengelolaan medis agresif. Subdural hematom terbagimenjadi akut
dan kronis.13
a) SDH Akut
Pada CT Scan tampak gambaran hyperdens sickle ( seperti bulan sabit )
dekat tabula interna, terkadang sulit dibedakan dengan epidural hematom.
Batas medial hematom seperti bergerigi. Adanya hematom di daerah
fissure interhemisfer dan tentorium juga menunjukan adanya hematom
subdural10,11.
15
b) SDH Kronis
Pada CT Scan terlihat adanya komplek perlekatan, transudasi, kalsifikasi
yang disebabkan oleh bermacam- macam perubahan, oleh karenanya tidak
ada pola tertentu. Pada CT Scan akan tampak area hipodens, isodens, atau
sedikit hiperdens, berbentuk bikonveks, berbatas tegas melekat pada
tabula. Jadi pada prinsipnya, gambaran hematom subdural akut adalah
hiperdens, yang semakin lama densitas ini semakin menurun, sehingga
terjadi isodens, bahkan akhirnya menjadi hipodens.10,11,12
16
Gambar 2.9. gambaran intraserebri12
d) Cedera difus
Cedara otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang sering terjadi
pada cedera kepala. Komosio cerebri ringan adalah keadaan cedera
dimana kesadaran tetap tidak terganggu namun terjadi disfungsi
neurologis yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini
sering terjadi, namun karena ringan kerap kali tidak diperhatikan. Bentuk
yang paling ringan dari komosio ini adalah keadaan bingung dan
disorientasi tanpa amnesia. Sindroma ini pulih kembali tanpa gejala sisa
sama sekali. Cedera komosio yang lebih berat menyebabkan keadaan
binggung disertai amnesia retrograde dan amnesia antegrad 8,11,13.
Komosio cerebri klasik adalah cedera yang mengakibatkan
menurunnya atau hilanggnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai
dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan
ukuran beratnya cidera. Dalam beberapa penderita dapat timbul defisist
neurologis untuk beberapa waktu defisit neurologis itu misalnya kesulitan
mengingat, pusing, mual, anosmia, dan depresi serta gejala lain. Gejala-
17
gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat 12,13.
Cedera aksonal difus (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah keadaan
dimana penderita mengalami koma pasca cedera yang berlangsung lama
dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemik.
Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma
selama beberapa waktu. Penderita sering menunjukan gejala dekortikasi
atau deserebrasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat,
itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukan gejala disfungsi
otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga
akibat cedera aksonal difus dan cedera otak kerena hipoksia secara klinis
tidak mudah, dan memang dua keadaan tersebut sering terjadi
bersamaan13.
2.7. Penatalaksanaan
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu. Jika
muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan melalui
pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan8,17.
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral, atau ataksik. Kelainan perifer disebabkan oleh
aspirasi, trauma dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi 8,17.
Tata laksana:
18
Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan darah
sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah dapat
meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi kebanyakan terjadi
akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia karena perdarahan luar atau
ruptur alat dalam, trauma dada disertai tamponade jantung/ pneumotoraks,
atau syok septik.
d. Medikamentosa
1. Dapat diberikan analgesik untuk mengurangi nyeri
2. Tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial dan kejang (jika ada kejang)
3. Bila terdapat peningkatan tekanan intrakranial, dapat diberikan obat
penurun tekanan intrakranial seperti Manitol 20% 0,5 – 1 gram/kg tiap 8
jam atau NaCl 3% dengan dosis inisial 2-6 ml/kgBB dilanjutkan dengan
infus kontinyu 0.1-1 ml.kgBB/jam dengan monitoring tekanan
intrakranial. NaCl 3% dapat juga diberikan dengan dosis inisial 5 ml/
kgBB dilanjutkan dengan dosis 2 ml/kgBB tiap 6 jam. Pemantauan kadar
elektrolit dan diuresis diperlukan jika pasien diberikan cairan hipertonis.
Hindari / seminimal mungkin tindakan invasif dan hal-hal yang dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.
4. Lakukan pemantauan klinis yang ketat selama 12-48 jam.
5. Tatalaksana demam.
e. Edukasi
19
Nasehat untuk orang tua Orang tua sering menanyakan apa yang perlu
diperhatikan jika anaknya mengalami trauma kepala, berikut ini beberapa
tips yang dapat diberikan:
1. Trauma kepala ringan tanpa penurunan kesadaran dapat dirawat di
rumah.
2. Tirah baring selama 3 hari.
3. Selama observasi di rumah sebaiknya anak tidak minum obat anti
muntah, karena dapat menutupi gejala perburukan yaitu muntah.
Analgetik diberikan jika perlu.
4. Pengawasan dilakukan dengan memeriksa anak tiap 2-3 jam sampai 72
jam setelah trauma.
5. Anak segera di bawa ke rumah sakit apabila selama observasi
didapatkan:
- Anak tampak tidur terus atau tidak sadar.
- Anak menjadi gelisah, bingung atau delirium.
- Kejang pada wajah atau ekstremitas.
- Anak mengeluh sakit kepala yang menetap dan bertambah berat,
atau adanya tanda kekakuan di leher.
- Muntah yang menetap terutama di pagi hari.
- Keluar cairan/darah dari lubang telinga atau hidung.
- Ubun-ubun besar yang membonjol.
- Terdapat gangguan gerak ekstremitas.
20
21
BAB III
LAPORAN KASUS
Anamnesis (auto/aloanamnesis)
Keluhan utama: Keluar darah dari telinga kanan setelah kecelakaan bermotor.
Mekanisme trauma: Pasien bersama ibunya sedang bermotor kemudian tetabrak
anjing yang sedang menyebrang kemudian os bersama ubunya terjatuh dan kepala
terbentur aspal, os tidak menggunakan helm. Mual (-) muntah (-) penuruan
kesadaran (-), kejang (-).
Pemeriksaan fisik
Airway Breathing Circulation Disability
Bebas Spontan Nadi Respon
Gargling Tachipneu Kuat Alert
Stridor Dispneu Lemah Pain
Wheezing Apneu CRT Verbal
Ronchi Ventilator Unresponse
Intubasi >2 Pupil
eyrvsuyarimPr
22
Berat badan 10 kg Panjang badan - cm
Normal Tidak normal
v. ekscoriatum di regio
frontal dengan ukuran 0.3 x 1
cm dan parietal dekstra
Kepala
dengan ukuran 0.5 x 1.1 cm
serta keluar darah dari telinga
kanan
Mata tidak cekung, air
mata saat menangis (+),
Mata
konjungtiva tidak pucat,
sklera tidak ikterik
Mulut Lidah lembab
Leher Pembengkakan KGB (-)
Frekuensi 20 kpm, gerak
Paru simetris, vesikuler (+/+),
ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
BJ 1>BJ 2, reguler,
Jantung
murmur (-)
Distensi (-), perkusi
Abdomen
timpani
Sianosis (-), CRT <2 detik,
Ekstremitas
edema (-)
Anus dan Tidak diperiksa
genitalia
Status gizi
BB/U : 10/ 14 x 100 = 71.4
TB/U : 85/ 94 x 100 = 90
BB/TB : 10/85 x 100 = 85
Status Gizi : Gizi normal
Kebutuhan Cairan : 100 ml/kgBB/hari
: 1000 ml/24 jam
Diagnosis kerja
Cidera Kepala Ringan dengan GCS 15 + V. Ekscoriatum
Tindakan pengobatan
- IVFD RL 40 tpm mikro
- Inj Ceftriaxone 800 mg/24 jam dalam 100 cc Dextrose 5% IV
- Inj Ondansentron 1.5 mg/8 jam IV
- Inj Paracetamol flsh 150 mg/ 8 jam IV
Tindak lanjut/Follow up:
Rawat inap
23
Pantau tanda peningkatan intracranial
1. Nyeri kepala hebat
2. Penurunan kesadaran
3. Mual muntah
Pantau perdarahan dari telinga
24
telinga,
perdarahan (-)
Eks. Inf :
Tampak lecet
pada pedis
dekstra
25
BAB IV
ANALISIS KASUS
26
Peningkatan hitung leukosit berkorelasi terhadap peningkatan resiko untuk
terjadinya vasospasme dan outcome yang buruk. Trauma memicu pelepasan
hormon katekolamin dan kortikosteroid sehingga pelepasan leukosit meningkat.
Pada pasien dilakukan observasi jika terdapat peningkatan tekanan intracranial,
seperti muntah menyemprot, nyeri kepala hebat dan penurunan kesadaran. Pada
pasien tidak dilakukan pemeriksaan ct scan karena tidak terdapat indikasi berupa
GCS < 15 , agitasi, somnolen, slow response,dan repetitive questioning.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
14. Dyah, Rahajo, dan Sudadi. 2014. Laporan Kasus. Jurnal Komplikasi
Anestesi 2(1). Fakultas Kedokteran UGM : Yogyakarta.
15. Sastrodiningrat AG. Memahami Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Prognosa Cedera Kepala Berat. Majalah Kedokteran Nusantara Vol 39
No.3,2006. Hal : 307-16.
16. Nancy, dkk. 2016. Guideline for the Management of Severe Traumatic
Brain Injury edisi 4.
17. Wahyudi, dkk. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedra Otak edisi kedua.
RSUD dr. Soetomo : Surabaya.
18. Mangunatmadja, 2016. Rekomendasi Trauma Kepala Ringan Pada Anak.
IDAI
19. Trihono dkk. 2012. Kegawatan Pada Bayi dan Anak. FK UI : Jakarta
29