Anda di halaman 1dari 32

Cased Based Discussion

SEORANG PEREMPUAN 62 TAHUN DENGAN OLFACTORY GROOVE


MENINGIOMA

Syafalikha Dwizahra G992003141

Pembimbing:

dr. Rivan Danuaji Sp.S(K), M.Kes

Periode: 16 November 2020 – 13 Desember 2020

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RS UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2020
HALAMAN PENGESAHAN

Presentasi kasus ini disusun untuk memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr.
Moewardi, dengan judul:

Seorang Perempuan 62 Tahun Dengan Olfactory Groove Meningioma

Oleh:
Syafalikha Dwizahra G992003141

Mengetahui dan menyetujui,

Pembimbing Cased Based Discussion

dr. Rivan Danuaji Sp.S(K), M.Kes

ii
BAB I

STATUS PASIEN

A. ANAMNESIS
1. Identitas Penderita
Nama : Ny. S
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
No. RM : 0152xxxx
Pekerjaan : Tidak bekerja
Suku : Jawa
Status : Sudah menikah
Tanggal masuk RS : 12 November 2020
Tanggal pemeriksaan : 20 November 2020
2. Data Dasar
Autoanamnesis, alloanamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan di
bangsal Anggrek Lantai 2 Kamar 3A di RSUD Dr. Moewardi.
Keluhan Utama
Nyeri Kepala
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan dari RS Kustati dan diantar ke RSUD Dr.
Moewardi oleh keluarganya karena mengeluhkan sering nyeri kepala. Nyeri
kepala dirasakan hilang timbul sejak 1 tahun yang lalu dan semakin lama
semakin memberat. Nyeri kepala dirasakan diseluruh bagian kepala dan
dirasakan memberat pada pagi hari dan lebih ringan ketika tidur. Pasien juga
mengeluhkan adanya penciuman menurun sejak 2 tahun lalu yang dirasakan
semakin memberat, dan sekarang tidak dapat mencium bau. Keluarga pasien
mengeluhkan pasien pernah mengalami penurunan kesadaran 2 bulan yang
lalu dan dirawat di RS Kustati. Keluarga pasien juga mengeluhkan adanya

1
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan pada pasien sejak 2
bulan SMRS. Pasien juga mengeluhkan adanya kelemahan anggota gerak
kiri sejak 2 tahun yang lalu.
Pasien mengeluhkan adanya riwayat penyakit hipertensi yang tidak
terkontrol, riwayat penyakit gula dan riwayat stroke 2 tahun yang lalu.
Riwayat penyakit jantung disangkal. Keluhan kejang disangkal, nyeri dada
disangkal, nyeri punggung disangkal, demam disangkal, gangguan
penglihatan disangkal, mulut mencong disangkal, gangguan makan dan
minum disangkal, bicara pelo tidak ada. Pasien mengeluhkan sulit BAB, dan
terpasang DC. Pasien makan dengan normal dan keluhan mual dan muntah
disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Penyakit Serupa Disangkal


Dirawat karena stroke tahun 2018 dan
Riwayat mondok
Penurunan kesadaran 2 bulan SMRS
Riwayat jatuh Disangkal
Riwayat Stroke (+) 2 tahun yang lalu
Riwayat darah tinggi (+)
Riwayat diabetes mellitus (+)
Riwayat sakit jantung Disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit Keterangan
Riwayat keluhan serupa Disangkal
Riwayat darah tinggi Disangkal
Riwayat diabetes mellitus Disangkal
Riwayat sakit jantung Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


Pasien tidak bekerja dan berobat menggunakan BPJS.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 20 November 2020 dengan hasil
sebagai berikut:

2
1. Keadaan Umum

3
Pasien tampak sakit sedang, GCS E4V5M6

2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 198/108 mmHg
b. Nadi : 101 kali/menit
c. Frekuensi nafas : 24 kali/menit
d. Suhu : 36.7 0C
3. Status Gizi
a. Berat Badan : 44 kg
b. Tinggi Badan : 152 cm
c. IMT : 19
d. Kesan : Normal
4. Kulit : Kulit berwarna sawo matang, turgor menurun (-),
hiperpigmentasi bekas garukan gatal (-), kering (-),
teleangiektasis (-), petechie (-), ikterik (-), ekimosis (-),
papul (-)
5. Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam dan putih,
mudah rontok (-), luka (-), atrofi m. Temporalis (-)
6. Mata : Mata cekung (-/-), konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik
(-/-), perdarahan subkonjugtiva (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3 mm/3 mm), reflek cahaya (+/+),
edema palpebra (-/-), strabismus (-/-), katarak (-/-)
7. Telinga : Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri
tekan tragus (-), chvostek sign (-)
8. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-)
9. Mulut : Bibir pucat (-), mukosa kering (-), sianosis (-), gusi
berdarah (-), papil lidah atrofi (-), oral thrush (-), karies
gigi (-) Mulut mencong ke kiri (-)
10 Leher : JVP R+2cm, trakea ditengah, simetris, pembesaran
. kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening
leher (-), distensi vena-vena leher (-)
11 Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
. kanan = kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan
abdominothorakal, sela iga melebar (-), pembesaran
kelenjar getah bening axilla (-/-)
12 Jantung :
a. Inspeksi : Ictus kordis tidak tampak
b. Palpasi : Ictus kordis tidak kuat angkat

4
c. Perkusi :
Batas Jantung
Kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Kiri bawah : SIC VI linea aksilaris anterior sinistra
Kesan : Ukuran jantung kesan melebar
d. Auskultasi : Bunyi jantung I-II, reguler
13 Pulmo :
A Depan
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar, retraksi intercostal (-)
Palpasi
1. Statis : Simetris
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor
2. Kiri : Sonor
Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronkhi
basah kasar (-) krepitasi (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronkhi
basah kasar (-), krepitasi (-)
a Belakang
Inspeksi
1. Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
iga tidak mendatar
2. Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela
iga tidak melebar.
Palpasi
1. Statis : Simetris
2. Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus
raba kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi
1. Kanan : Sonor

5
2. Kiri : Sonor
Auskultasi
1. Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-),ronkhi
basah kasar (-)
2. Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah halus (-), ronkhi
basah kasar (-)
14 Abdomen :
a. Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding thoraks
b. Auskultasi : Bising usus (+) 12 x / menit, bruit hepar (-)
c. Perkusi : Timpani, pekak alih (-), undulasi (-)
d. Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
epigastrium (-)

15 Ekstremitas :
. Akral Dingin Oedem
- - - -
- - - -
Superior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin (-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), deformitas
(-/-), nyeri tekan (-/-), atrofi (-/+)
Inferior Ka/Ki : Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral
dingin(-/-), ikterik (-/-), luka (-/-), deformitas
(-/-), nyeri tekan (-/+), atrofi (-/+)

C. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
1. Kesadaran dan Fungsi Luhur

Kesadaran : GCS E4V5M6

Fungsi Luhur : Gangguan atensi


2. Pemeriksaan Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : (-)

6
Brudzinski I (-)
Brudzinski II : (-)
Brudzinski III : (-)
Brudzinski IV : (-)
Kernig : (-)
3. Pemeriksaan Nervi Craniales
a. N. I : SDE
b. N. II : SDE
c. N. III, IV, VI
Kanan Kiri
Ptosis (-) (-)
Strabismus (-) (-)
Ukuran pupil 3 mm 3 mm
Refleks cahaya
(+) (+)
langsung
Refleks cahaya tidak
(+) (+)
langsung
Gerakan bola mata Dalam batas normal
d. N. V
Kanan Kiri
Sensorik V1 – V3 (+) (+)
M. masseter dan m. temporalis SDE SDE
Refleks kornea SDE SDE
e. N. VII
Kanan Kiri
Kerutan dahi : Ada Ada
Tinggi alis : Sama tinggi Sama tinggi
Memejamkan mata : Normal Normal
Lipatan nasolabial : Normal Normal
Meringis : Normal Normal
f. N. VIII
Fungsi pendengaran SDE
Fungsi keseimbangan SDE
g. N. IX dan N. X
Inspeksi orofaring: arcus faringeus simetris, uvula di tengah
h. N. XII
Kanan Kiri

Atrofi lidah Tidak ada Tidak ada

7
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada

Posisi lidah saat diam Simetris


Posisi lidah saat dijulurkan

4. Pemeriksaan Fungsi Motorik


Kekuatan Tonus
+5 +5 +5 000 Normal Menurun
+5 +5 +5 000 Normal Menurun

5. Pemeriksaan Fungsi Sensorik


Dalam batas normal

6. Pemeriksaan Refleks Fisiologis


Kanan Kiri
Refleks biceps : +2 +2
Refleks triceps : +2 +2
Refleks patella : +2 +2
Refleks
achilles : +2 +2

7. Pemeriksaan Refleks Patologis


Kanan Kiri
Hoffman : - -
Trommer : - -
Babinski : - -
Chaddock : - -
Oppenheim : - -
Schaeffer : - -
Rossolimo : - -
Mendel B : - -
8. Pemeriksaan Fungsi Otonom
Terpasang DC
9. Pemeriksaan Fungsi Koordinasi
SDE
10. Pemeriksaan Rangsang Nyeri
Laseque : (-)

8
Kontra Laseque : (-)
Patrick : (-)
Kontra Patrick : (-)

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hasil Laboratorium Darah ( 12 November 2020) RSDM
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 8.2 g/dL 12.0 -15.6
Hematokrit 24 % 33– 45
Leukosit 10.4 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 868 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 2.91 juta/µl 4.10 – 5.10
Indeks Eritrosit
MCV 83.2 /um 80.0 – 96.0
MCH 28.1 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.7 g/dl 33.0 – 36.0
RDW-CV 14.8 % 11.6 – 14.6
MPV 7.2 Fl 7.2 – 11.1
PDW 15 % 25 -65
Hitung Jenis
Eosinofil 1.80 % 0.00-4.00
Basofil 0.60 % 0.00-2.00
Netrofil 70.40 % 55.00-80.00
Limfosit 22.50 % 22.00-44.00
Monosit 4.70 % 0.00-7.00
Kimia Klinik
Ureum 36 mg/dL 10-45
Kreatinin 0.6 mg/dL 0.6-1.2
Gula darah 77 mg/dl 70 – 140
sewaktu
Hematostatis
PT 13.4 detik 10.0 – 15.0
APTT 25.1 detik 20.0 – 40.0
INR 0.930 g/dl -
Elektrolit
Natrium darah 135 mmol/L 136 – 145
Kalium darah 4.7 mmol/L 3.3 – 5.1
Calsium Ion 1.11 mmol/L 1.17 – 1.29
Serologi
Hepatitis

9
HBsAg Nonreactive Nonreactive
Lain-lain
SARS-CoV-2 Nonreactive Nonreactive
(rapid)

2. Hasil Laboratorium Darah ( 17 November 2020) RSDM


Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan
Hematologi Rutin
Hemoglobin 12.3 g/dL 12.0 -15.6
Hematokrit 38 % 33– 45
Leukosit 14.0 ribu/µl 4,5 – 11.0
Trombosit 712 ribu/µl 150 – 450
Eritrosit 4.27 juta/µl 4.10 – 5.10

10
3. Hasil Pemeriksaan CT Scan Kepala Tanpa Kontras (15 Oktober 2020)
RSU Islam Kustati Surakarta

11
Kesan :
● Tampak primary brain tumor dengan kalsifikasi intralesi dan di
perifernya di midline anterior
● Chronic infark dengan gambaran encephalomalaceal cyst di lobus
temporoparietalis kanan

12
4. Hasil Pemeriksaan Foto Thorax AP (15 Oktober 2020) RSU Islam
Kustati Surakarta

Kesan :
● Cardiomegaly
● Pulmo tak tampak kelainan

13
5. Hasil Pemeriksaan MRI Brain Kontras (17 November 2020) RSUD
Dr. Moewardi

Kesan :
● Tampak multiple lesi ekstraaksial supratentorial dengan broad base

14
di olfactory groove bentuk membulat batas tegas tepi regular dengan
ukuran 5.4 x 5.1 x 5.1 cm yang pada T1W1 tampak hypointense dan
T2 W1 tampak hyperintense, T2FLAIR tampak isointense, GRE
hyperintense dan pada post contrast tampak strong contrast
enhancement disertai komponen pendarahan subakut dan kronik,
meluas ke suprasella, corpus callosum, chiasma opticum, sinus
ethmoidalis bilateral, mendesak sinus cavernosus kanan menyokong
gambaran Olfactory groove meningioma
● Tampak lesi di broad base regio frontalis anterior kanan bentuk bulat
dengan ukuran 1,8 x 1,9 x 2,3 cm yang pada T1W1 tampak
isointense dan T2W1 tampak hypointense, T2 FLAIR tampak
isointense dan pada post contrast tampak slightly contrast
enhancement disertai gambaran dural tail dan CSF cleft sign.
● Tampak lesi intraaksial supratentorial di lobus temporalis kanan
yang pada T1W1 tampak hypointense dan T2W1 tampak
hyperintense. Lesi tampak berhubungan dengan cornu temporal
ventrikel lateralis kanan.
Kesimpulan :
 Anterior frontal meningioma dan Olfactory groove meningioma
disertai komponen pendarahan yang meluas ke suprasella, corpus
callosum, chiasma opticum, sinus ethmoidalis bilateral, dan
mendesak sinus cavernosus kanan.
 Gliosis disertai porencephaly cornu temporal ventrikel lateralis
kanan.

E. ASSESSMENT
Klinis: Cephalgia kronik progresif, riwayat penurunan kesadaran
Topis: Olfactory groove
Etiologi: SOP cerebri ec. Olfactory groove meningioma

F. TERAPI :

15
1. Infus NS 20 tpm
2. Inj. Dexamethasone 10 mg/12 jam
3. Inj. Ranitidine 50 mg/24 jam
4. Candesartan 1 x 16 mg
5. Amlodipine 1x10 mg
6. Fluoxetin 1 x 10 mg (malam)
7. Paracetamol 2x500 mg per oral

G. PLAN
Observasi Keadaan Umum dan Vital Sign
Konsul bedah saraf
Maintenance hemodinamik

16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Tumor intrakranial terdiri dari tumor supratentorial dan infratentorial
dimana pembatasnya adalah tentorium. Salah satu jenis tumor supratentorial
adalah meningioma. Meskipun meningioma dianggap sebagai jenis tumor otak
primer, mereka tidak tumbuh dari jaringan otak itu sendiri, melainkan muncul
dari meninges, tiga lapisan tipis, jaringan yang menutupi otak dan sumsum
tulang belakang. Tumor ini paling sering tumbuh ke dalam menyebabkan
tekanan pada otak atau sumsum tulang belakang, tetapi mereka juga dapat
tumbuh ke arah luar menuju tengkorak, menyebabkannya menebal.
Kebanyakan meningioma adalah tumor jinak yang tumbuh lambat. Beberapa
mengandung kista (kantung cairan), kalsifikasi (deposit mineral), atau tandan
pembuluh darah yang padat.
Ada beberapa sistem yang digunakan untuk memberi nama, atau
kelompok, tumor ini. Satu sistem menamai meningioma berdasarkan jenis sel
di tumor. Meningioma syncytial (atau meningothelial) adalah yang paling
umum dan menampilkan sel bulat yang tidak biasa. Meningioma fibroblastik
memiliki bentuk sel yang panjang dan tipis. Meningioma transisi mengandung
kedua jenis sel. Sistem lain menggunakan istilah jinak, atipikal dan ganas (atau
anaplastik) untuk menggambarkan derajat keseluruhan meningioma. Praktik
umum lainnya adalah melampirkan lokasi tumor sesuai namanya.
Salah satu jenis tumor meningioma adalah Olfactory Groove
Meningioma (OGM) yang berasal dari garis tengah fossa anterior pada dasar
crimbiformis di etmoidalis. Olfactory Groove Meningioma termasuk 10–15%
dari semua meningioma intrakranial. Olfactory Groove Meningioma tumbuh
secara perlahan, sering bilateral daripada unilateral, bersifat asimetris dan dapat
mengkompresi lobus frontal secara progresif. Olfactory Groove Meningioma
dapat mengenai sella dan jika ukurannya cukup besar dapat mempengaruhi
penglihatan dengan cara menekan saraf optik dan asma optikum. Manifestasi

17
klinis lain berupa sakit kepala disertai dengan anosmia dan perubahan
kepribadian. Masalah psikiatri bahkan dapat muncul secara berkepanjangan
sebelum terjadi defisit neurologis. Kejang, hemiparese dan afasia juga dapat
terjadi pasien dengan OGM.

B. EPIDEMIOLOGI
Meningioma dapat dijumpai pada semua umur, namun paling banyak
pada usia pertengahan. Meningioma intrakranial merupakan 15 – 20% dari
semua tumor primer di regio ini. Meningioma juga bisa timbul di sepanjang
kanalis spinalis, dan frekuensinya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan
tumor lain yang tumbuh di regio ini. Di rongga kepala, meningioma banyak
ditemukan pada wanita dibanding pria (2 : 1), sedangkan pada kanalis spinalis
lebih tinggi lagi (4 : 1). Meningioma pada bayi lebih banyak pada pria.
Meningioma mencapai sekitar 24-30% tumor intracranial primer yang
terjadi di Amerika Serikat dengan tingkat kejadian tahunan sampai 13 per
100.000. Olfactory Groove Meningioma termasuk 10–15% dari semua
meningioma intrakranial.

C. ANATOMI
Meningens membentang di bawah lapisan dalam dari tengkorak dan
merupakan membran pelindung dari otak. Terdiri dari duramater,
arachnoideamater dan piamater yang letaknya berurutan dari superfisial ke
profunda. Perikranium yang masih merupakan bagian dari lapisan dalam
tengkorak dan duramater bersama-sama disebut juga pachymeningens.
Sementara piamater dan arachnoideamater disebut juga leptomeningens.

18
Gambar 1. Potongan melintang tengkorak dan meninges

Duramater terdiri dari jaringan fibrous yang kuat, berwarna putih, terdiri
dari lamina meningialis dan lamina endostealis. Pada medulla spinalis lamina
endostealis melekat erat pada dinding kanalis vertebralis, menjadi endosteum
(periosteum), sehingga di antara lamina meningialis dan lamina endostealis
terdapat ruangan extraduralis (spatium epiduralis) yang berisi jaringan ikat
longgar, lemak dan pleksus venosus. Pada lapisan perikranium banyak terdapat
arteri meningeal, yang mensuplai duramater dan sumsum tulang pada kubah
tengkorak. Pada enchepalon lamina endostealis melekat erat pada permukaan
interior kranium, terutama pada sutura, basis krania dan tepi foramen occipitale
magnum. Lamina meningialis mempunyai permukaan yang licin dan dilapisi
oleh suatu lapisan sel, dan membentuk empat buah septa, yaitu falx cerebri,
tentorium cerebeli, falx cerebeli, dan diafragma sellae.
Falx cerebri memisahkan kedua belahan otak besar dan dibatasi oleh sinus
sagital inferior dan superior. Pada bagian depan falx cerebri terhubung dengan
krista galli, dan bercabang di belakang membentuk tentorium cerebeli.
Tentorium cerebeli membagi rongga kranium menjadi ruang supratentorial dan
infratentorial. Falx cerebeli yang berukuran lebih kecil memisahkan kedua
belahan otak kecil. Falx cerebeli menutupi sinus oksipital dan pada bagian
belakang terhubung dengan tulang oksipital.

19
Duramater dipersarafi oleh nervus trigeminus dan nervus vagus. Nervus
trigeminus mempersarafi daerah atap kranial, fosa kranium anterior dan tengah.
Sementara nervus vagus mempersarafi fosa posterior. Nyeri dapat dirasakan
jika ada rangsangan langsung terhadap duramater, sementara jaringan otak
sendiri tidak sensitif terhadap rangsang nyeri. Beberapa nervus kranial dan
pembuluh darah yang mensuplai otak berjalan melintasi duramater dan berada
di atasnya sehingga disebut juga segmen extradural intrakranial. Sehingga
beberapa nervus dan pembuluh darah tersebut dapat dijangkau saat operasi
tanpa harus membuka duramater.
Di bawah lapisan duramater, terdapat arachnoideamater. Ruangan yang
terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subdural, berisi pembuluh
darah kapiler, vena penghubung dan cairan limfe. Jika terjadi cedera dapat
terjadi perdarahan subdural. Arachnoideamater yang membungkus basis serebri
berbentuk tebal sedangkan yang membungkus facies superior cerebri tipis dan
transparant. Arachnoideamater membentuk tonjolan-tonjolan kecil yang
disebut granulation arachnoidea, masuk kedalam sinus venosus, terutama sinus
sagitallis superior. Lapisan disebelah profunda, meluas ke dalam gyrus cerebri
dan diantara folia cerebri. Membentuk tela chorioidea venticuli. Dibentuk oleh
serabut-serabut reticularis dan elastic, ditutupi oleh pembuluh-pembuluh darah
cerebral.
Di bawah lapisan arachnoideamater terdapat piamater. Ruangan yang
terbentuk di antara keduanya, disebut juga spatium subarachnoid, berisi cairan
serebrospinal dan bentangan serat trabekular (trabekula arachnoideae).
Piamater menempel erat pada permukaan otak dan mengikuti bentuk setiap
sulkus dan girus otak. Pembuluh darah otak memasuki otak dengan menembus
lapisan piamater. Kecuali pembuluh kapiler, semua pembuluh darah yang
memasuki otak dilapisi oleh selubung pial dan selanjutnya membran glial yang
memisahkan mereka dari neuropil. Ruangan perivaskuler yang dilapisi oleh
membran ini (ruang Virchow-Robin) berisi cairan serebrospinal. Plexus koroid
dari ventrikel cerebri yang mensekresi cairan serebrospinal, dibentuk oleh
lipatan pembuluh darah pial (tela choroidea) yang diselubungi oleh selapis

20
epitel ventrikel (ependyma).

Proyeksi basal neuron olfaktorius naik dan melintasi pelat kribriform


etmoid sebagai akson tak bermielin yang dikelompokkan ke dalam ikatan saraf
kecil yang disebut fila olfaktoria. Masing-masing kumpulan saraf kecil ini
membentuk saraf penciuman, dan ada sekitar 15 hingga 20 di setiap sisi rongga
hidung. Persimpangan di mana saraf penciuman melintasi lempeng kribriform
tulang adalah area potensial kerusakan, baik melalui bentuk infeksi atau
trauma. Foramina di cribriform plate berfungsi sebagai titik masuk yang mudah
bagi patogen untuk mendapatkan akses ke ruang intrakranial dan juga
memfasilitasi pemotongan saraf penciuman selama trauma. Setelah menembus
cribriform plate dan melintasi ruang subarachnoid, fila olfactoria memasuki
umbi olfaktorius secara ventral. Dura mater yang menyelimuti permukaan
intrakranial dari lempeng cribriform berjalan terus menerus dengan membran
basal dari epitel olfaktorius yang muncul melalui foramen.
Permukaan ventral dari olfaktorius terletak di atas sepertiga posterior dari
cribriform plate, sedangkan permukaan dorsal berada di bawah permukaan
inferior lobus frontal, khususnya orbital dan rektus gyri. Bulbus olfaktorius

21
berfungsi sebagai stasiun relay untuk semua impuls yang ditransmisikan antara
epitel olfaktorius dan korteks olfaktorius primer.

Gambar 3. Anatomi cranium

OGM muncul di garis tengah di atas pelat kribriform dan sutura


frontosfenoid. Meskipun umumnya muncul di garis tengah, mereka dapat
meluas terutama ke satu sisi. Sebagian besar tumor ini menempati dasar fossa
kranial anterior yang memanjang dari crista galli ke sella tuberkulum.
Perluasan ke sinus ethmoid telah ditunjukkan pada 15% kasus. Perluasan lebih
lanjut ke dalam rongga hidung dan rongga orbita telah dilaporkan. Ada
kesamaan antara OGM yang meluas ke posterior dan tuberculum sellae
meningioma. Perbedaan utama antara keduanya adalah lokasi alat optik dalam
hubungannya dengan tumor. OGM mendorong saraf optik dan kiasma ke
bawah dan ke posterior saat mereka tumbuh. Sebaliknya, tuberkulum sellae
meningioma mengangkat kiasme dan menggeser saraf optik ke superolateral

22
karena neoplasma ini menempati posisi subkiasmal. Pasokan darah ke OGM
biasanya berasal dari arteri ethmoidal anterior dan posterior. Selain itu, mereka
menerima sumbangan dari cabang anterior arteri meningeal tengah dan cabang
meningeal dari arteri oftalmikus. Jika tumor berukuran luas, suplai vaskular
dari cabang kecil arteri komunikasi anterior sering terjadi.

D. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO


Saat ini, faktor risiko lingkungan utama yang diidentifikasi untuk
meningioma adalah paparan radiasi pengion. Penelitian telah menunjukkan
peningkatan enam kali lipat hingga sepuluh kali lipat dalam pembentukan
meningioma. Contoh terbaik adalah orang yang selamat dari bom atom yang
menunjukkan peningkatan risiko meningioma secara signifikan. Bukti juga
menunjukkan peningkatan risiko pada tingkat dosis yang lebih rendah. Antara
1948 dan 1960, anak-anak di Israel dirawat dengan radiasi pengion untuk tinea
capitis. Mereka memiliki risiko relatif hampir 10 untuk perkembangan
meningioma.
Ada juga hubungan antara hormon dan risiko perkembangan meningioma.
Hubungan ini awalnya disarankan karena pengamatan peningkatan kejadian
penyakit pascapubertas pada wanita dibandingkan pria. Seperti disebutkan
sebelumnya, ada rasio 2: 1 perempuan / laki-laki dengan rasio puncak 3,15: 1
selama puncak tahun reproduksi. Selain itu, beberapa meningioma hadir secara
histologis dengan reseptor estrogen, progesteron, dan androgen. Penelitian
telah menunjukkan reseptor progesteron pada 80% meningioma pada wanita
dan pada 40% pada pria. Selain itu, ada hubungan antara kanker payudara dan
meningioma. Sehubungan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa
beberapa meningioma berubah ukuran selama fase siklus menstruasi dan
kehamilan yang berbeda, dan regresi beberapa meningioma pada pasien setelah
penghentian terapi agonis estrogen, hal ini telah menyebabkan banyak
penelitian investigasi.
Trauma kepala juga telah disarankan oleh beberapa orang sebagai faktor
risiko meningioma. Studi kasus-kontrol kecil telah melaporkan peningkatan

23
risiko meningioma yang terkait dengan trauma kepala pada pria dan wanita.
Ada beberapa penelitian tentang hubungan antara risiko meningioma dan
riwayat keluarga. Antara 1% dan 3% dari populasi orang dewasa mungkin
memiliki meningioma. Meskipun demikian, keluarga dengan beberapa anggota
keluarga yang didiagnosis dengan meningioma jarang terjadi. Jika keluarga
memiliki asosiasi apa pun, hal ini diyakini disebabkan oleh mutasi NF2 yang
diturunkan. Saat ini, tidak ada hubungan genetik berbasis keluarga yang
dilaporkan.

E. PATOFISIOLOGI
Meningioma diyakini muncul dari sel kaput meningotelial yang
didistribusikan secara normal melalui trabekulasi arakhnoid. Konsentrasi
terbesar dari sel meningotelial ditemukan di vili arakhnoid di sinus dural,
foramina saraf kranial, fossa kranial tengah, dan pelat kribriform. Selanjutnya,
meningioma biasanya ditemukan di atas konveksitas, di sepanjang falx, dan di
dasar tengkorak. Tumor umumnya berkapsul dan melekat pada dura. Dura
menyediakan beberapa suplai darah, tetapi OGM terutama menerima suplai
vaskuler dari arteri ethmoidal anterior dan posterior. Secara histologis, mereka
tampak jinak, dengan ciri khas, termasuk lingkaran sel arachnoid yang
mengelilingi bahan hialin sentral yang akhirnya mengapur untuk membentuk
badan psammoma. Sel-sel tersebut tersusun dalam selubung yang dipisahkan
oleh trabekula jaringan ikat.
Meningioma biasanya dikaitkan dengan 1 atau lebih delesi kromosom
fokal, dan derajat atipikal dan ganas cenderung memiliki beberapa perubahan
nomor salinan kromosom yang konsisten dengan akuisisi mutasi yang
mendorong ketidakstabilan genom.
Delesi dan inaktivasi NF2 pada kromosom 22 merupakan fitur utama
pada meningioma sporadis. NF2 merupakan gen supresor tumor pada 22Q12,
ditemukan tidak aktif pada 40% meningioma sporadik. Gen tambahan
kemungkinan juga terlibat, karena hilangnya NF2 terjadi hanya pada sepertiga
pasien yang menunjukkan hilangnya heterozigositas krosomom. Daerah genom

24
tambahan yang hilang berulang pada meningioma termasuk 14q, 1p, 6q, dan
18q. Meningioma dengan peningkatan grade tumor ditemukan memiliki
peningkatan perubahan genetik. Secara umum, sejumlah kecil mutasi
ditemukan pada kebanyakan meningioma. Kesulitan dengan meningioma
adalah periode laten tumor yang lama, yang menyebabkan tantangan dalam
mengidentifikasi sumber dan waktu dimulainya mutasi.

E. DIAGNOSIS
a. Anamnesis dan Pemeriksaan fisik
Meningioma dapat timbul tanpa gejala apapun dan ditemukan secara
tidak sengaja melalui MRI. Pertumbuhan tumor dapat sangat lambat hingga
tumor dapat mencapai ukuran yang sangat besar tanpa menimbulkan gejala
selain perubahan mental sebelum tiba-tiba memerlukan perhatian medis,
biasanya di lokasi subfrontal. Gejala umum yang sering muncul meliputi
kejang, nyeri kepala hebat, perubahan kepribadian dan gangguan ingatan, mual
dan muntah, serta penglihatan kabur. Gejala lain yang muncul ditentukan oleh
lokasi tumor, dan biasanya disebabkan oleh kompresi atau penekanan struktur
neural penyebab. Karena pertumbuhan yang lambat dan lokasi OGM,
presentasi klinis umumnya tertunda. Gejala yang paling umum muncul adalah
gangguan penciuman (58,8%), diikuti oleh sakit kepala, gangguan penglihatan,
dan perubahan status mental.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat menjumpai bukti adanya
peningkatan tekanan intrakranial atau penurunan fungsi serebral. Tanda-tanda
ini dapat berupa: adanya reflek patologik, gangguan gerak mata, penurunan
ketajaman penglihatan, gangguan sensasi, gangguan gerak atau koordinasi,
papil edema.
b. Pemeriksaan penunjang
Meningioma sering baru terdeteksi setelah muncul gejala. Diagnosis dari
meningioma dapat ditegakan berdasarkan manifestasi klinis pasien dan
gambaran radiologis. Meskipun demikian, diagnosis pasti serta grading dari
meningioma hanya dapat dipastikan melalui biopsi dan pemeriksaan histologi.

25
Pada CT scan, tumor terlihat isodens atau sedikit hiperdens jika dibandingkan
dengan jaringan otak normal. Seringkali tumor juga memberikan gambaran
berlobus dan kalsifikasi pada beberapa kasus. Edema dapat bervariasi dan
dapat tidak terjadi pada 50% kasus karena pertumbuhan tumor yang lambat,
tetapi dapat meluas. Edema lebih dominan terjadi di lapisan white matter dan
mengakibatkan penurunan densitas. Perdarahan, cairan intratumoral, dan
akumulasi cairan dapat jelas terlihat. Invasi sepanjang dura serebri sering
muncul akibat provokasi dari respon osteblas yang menyebabkan hiperostosis
pada 25% kasus. Gambaran CT scan paling baik untuk menunjukan kalsifikasi
dari meningioma. Penelitian membuktikan bahwa 45% proses kalsifikasi
adalah meningioma.
Pada MRI, tumor terlihat isointens pada 65% kasus dan hipointens pada
sisanya jika dibandingkan dengan jaringan otak norma. Kelebihan MRI adalah
mampu memberikan gambaran meningioma dalam bentuk resolusi 3 dimensi,
membedakan tipe jaringan ikat, kemampuan multiplanar dan rekonstruksi. MRI
dapat memperlihatkan vaskularisasi tumor, pembesaran arteri, invasi sinus
venosus, dan hubungan antara tumor dengan jaringan sekitarnya.
Angiografi secara khusus mampu menunjukan massa hipervaskular,
menilai aliran darah sinus dan vena. Angiografi dilakukan hanya jika
direncakan dilakukan embolisasi preoperasi untuk mengurangi resiko
perdarahan intraoperatif.
Gambaran radiografi yang tidak khas seperti kista, perdarahan, dan
nekrosis sentral seringkali menyerupai gambaran glioma dan muncul pada
sekitar 15% kasus meningioma. Meningioma malignan sering menunjukan
gambaran destruksi tulang, nekrosis, gambaran iregular, dan edema yang luas.
Diagnosis banding secara radiografi meliputi metastasis dural, tumor
meningeal primer lain, granuloma dan aneurisma. Metastasis seringkali
dikaitkan dengan edema luas dan destruksi tulang sementara meningioma
dikaitkan dengan edema sedang dan hiperostosis.

26
G. TATALAKSANA
Setelah diagnosis meningioma dapat ditegakan, permasalahan berikutnya
adalah memutuskan diperlukan tindakan pembedahan atau tidak. Beberapa
meningioma sering timbul tanpa gejala, hadir tiba-tiba dengan kejang, atau
melibatkan struktur tertentu sehingga reseksi hampir mustahil dilakukan.
Tumor jenis ini tidak memerlukan intervensi segera dan dapat dipantau
bertahun-tahun tanpa menunjukan pertumbuhan yang berarti. Jika pasien
menunjukan gejala yang signifikan seperti hemiparesis, atau ada progresi yang
jelas terlihat melalui pencitraan radiologi, maka diperlukan intervensi segera.
Sampai saat ini, penatalaksanaan yang paling penting adalah dengan
pembedahan.
1. Medikamentosa

Pemberian kortikosteroid (Deksamethasone) dengan dosis:


Dewasa: 10 mg loading IV diikuti dosis rumatan 6 mg peroral atau IV tiap 6
jam. Pada kasus edema vasogenik yang berat maka dosis dapat ditingkatkan
sampai 10 mg tiap 4 jam.
Anak: 0,5-1 mg/kg loading IV, diikuti dosis rumatan 0,25-0,5 mg peroral atau
IV tiap 6 jam. Hindari pemberian jangka panjang karena menghambat
pertumbuhan.
2. Pembedahan

Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer untuk meningioma.


Tujuan utamanya adalah mengangkat jaringan tumor sebanyak-banyaknya
tanpa kehilangan fungsi otak. Eksisi komplit dapat menyembuhkan
kebanyakan meningioma. Faktor-faktor yang berperan dalam pembedahan
meliputi lokasi dari tumor, defisit nervus kranialis preoperasi, vaskularitas,
invasi dari sinus venosus, dan keterlibatan arteri. Reseksi sebagian dapat
menjadi pilihan jika pengangkatan seluruh tumor dapat mengakibatkan
kehilangan banyak fungsi otak.
Indikasi pembedahan adalah: masa tumor yang menimbulkan gejala dan
atau tanda penekanan maupun destruksi parenkim otak dan asesibel untuk

27
dilakukan pembedahan. Pada pemeriksaan imaging serial didapatkan tanda
pertumbuhan tumor dan atau didapatkan gejala akibat lesi tumor yang tidak
dapat terkontrol dengan medika mentosa.
Tindakan pembedahan mampu menghilangkan beberapa gejala neurologis,
kecuali neuropati kranial yang seringkali sulit dihilangkan. Angka morbiditas
akibat pembedahan bervariasi antara 1-14%. Setelah reseksi komplit, angka
kekambuhan untuk meningioma grade rendah adalah sekitar 20% dalam 5
tahun pertama dan 25% dalam 10 tahun. Jika tumor muncul kembali, harus
dipertimbangkan untuk dilakukan reseksi ulang. Secara umum, angka harapan
hidup 5 tahun untuk pasien berusia di bawah 65 tahun adalah sekitar 80%, dan
menurun mendekati 50% untuk pasien di atas 65 tahun.
3. Radioterapi

Indikasi dilakukannya terapi radiasi adalah tumor residual / sisa setelah


tindakan pembedahan, tumor berulang, dan riwayat atipikal atau malignan.
Radioterapi digunakan sebagai terapi primer jika tumor tidak dapat dicapai
melalui pembedahan atau ada kontraindikasi untuk dilakukan pembedahan.
Regresi total terlihat pada 95% pasien dalam 5 tahun pertama dan 92% dalam
10 dan 15 tahun setelah dilakukan radioterapi dengan atau tanpa eksisi
subtotal. Angka regresi tumor untuk 10 tahun pada pasien yang dilakukan
kombinasi reseksi subtotal dan radiasi adalah 82%, sementara pada pasien
yang hanya dilakukan reseksi subtotal adalah 18%. Waktu kekambuhan
sekitar 125 bulan pada pasien yang mendapat terapi kombinasi dan 66 bulan
pada pasien yang menjalani reseksi subtotal saja. Pada tumor malignan, angka
harapan hidup 5 tahun setelah pembedahan dan radiasi adalah 28%. Angka
kekambuhan tumor maligna adalah 90% setelah reseksi subtotal dan 41%
setelah terapi kombinasi.

4. Terapi lain sifatnya suportif guna meningkatkan ketahanan dan


meningkatkan kualitas hidup.

28
H. PROGNOSIS
Pada umumnya baik, karena pengangkatan tumor yang sempurna akan
memberikan penyembuhan yang permanen. Pada orang dewasa survivalnya relatif
lebih tinggi dibandingkan pada anak-anak, yaitu 75%. Prognosis tergatung jenis
Histopatologi dan derajat pengambilan tumor. 5 years survival rate pasien dengan
meningioma adalah 91,3%. Luasnya tumor yang di eksisi adalah faktor utama
dalam menentukan rekurensi meningioma. Rekurensi setelah gross reseksi muncul
11-15% kasus dan 29% kasus pada reseksi inkomplet.

29
DAFTAR PUSTAKA

Adappa, N. D., Lee, J. Y. K., Chiu, A. G., & Palmer, J. N. (2011). Olfactory Groove
Meningioma. Otolaryngologic Clinics of North America, 44(4), 965–980.

American Brain Tumor Association. (2017). Meningioma. www.abta.org

Ciurea, A. V., Iencean, S. M., Rizea, R. E., & Brehar, F. M. (2011). Olfactory groove
meningiomas. Neurosurgical Review, 35(2), 195–202.

Goldbrunner R, Minniti G, Preusser M, Jenkinson MD, Sallabanda K, Houdart E, et al.


(2016). EANO guidelines for the diagnosis and treartment of meningiomas. The
lancet 2016(17);17:383-91.

Hentschel, S. J., & DeMonte, F. (2003). Olfactory groove meningiomas. Neurosurgical


Focus, 14(6), 1–5.

Helwany M, Bordoni B. (2020). Neuroanatomy, Cranial Nerve 1 (Olfactory). Treasure


Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.

Hussein ML, Mira RR, Mathew V. (2019). Olfactory Groove Meningioma. Indian J Appl
Radiol. 2019;5(1): 131.

Nakamura, M., Struck, M., Roser, F., Vorkapic, P., & Samii, M. (2007). Olfactory
Groove Meningiomas: Clinical Outcome and Recurrence Rates after Tumor
Removal Through the Frontolateral and Bifrontal Approach. Neurosurgery,
60(5), 844–852.

Obeid, F., & Al-Mefty, O. (2003). Recurrence of Olfactory Groove Meningiomas.


Neurosurgery, 53(3), 534–543.

30

Anda mungkin juga menyukai