Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

Gangguan Pada Nervus Facialis

Oleh:

Fina Rahmatul Ummah G991908006

Syafalikha Dwizahra G992003141

Berliana Kunto Febri G992003026

Claudya Sefalda C. G992003032

Atika Rizki Yerman G992008012

Fritz Geraldi Syah G992003058

Samantha Geraldine G992008049

Pembimbing:

dr. Novi Primadewi, Sp.THT-KL(K), M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK/ PROGRAM STUDI PROFESI


DOKTER BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. MOEWARDI
2021
BAB I

LATAR BELAKANG

Nervus fasialis atau dikenal dengan N.VII merupakan saraf kranial terpanjang
yang berisi serabut saraf motorik, sensorik dan parasimpatis (sekretomotor) dimana
memberikan persarafan ke banyak area di daerah kepala dan leher. Saraf ini berjalan
dari batang otak kemudian berjalan ke posterior menuju N. abducens dan ke anterior
menuju N.vestibulocochlear. Nervus fasialis mempersarafi untuk motorik dari otot
wajah yang bertanggung jawab dalam ekspresi wajah. Selain itu, bekerja bagi serabut
saraf parasimpatis untuk kelenjar-kelenjar yang ada di rongga mulut serta kelenjar
lakrimal dan serabut saraf sensoris dari ⅔ anterior lidah (Seneviratne dan Patel, 2020;
Dulak dan Naqvi, 2020).

Kelemahan dan gangguan pada nervus fasialis akan menyebabkan kelumpuhan


dari otot-otot wajah. Hal ini dapat disebabkan karena infeksi, neoplasia, trauma,
manifestasi sistemik, dan idiopatik. Jika seseorang mengalami gangguan pada nervus
fasialis maka akan ditemukan gejala klinis sesuai dengan letak lesi. Dalam penilaian
awal, harus dibedakan letak lesi, apakah gangguan terjadi di neuron motorik atas
(UMN) atau neuron motorik bawah (LMN) (Walker et al, 2020; Seneviratne dan Patel,
2020).

Kelainan yang disebabkan oleh kelemahan atau gangguan pada nervus fasialis
cukup umum ditemukan di penyedia perawatan primer, bagian gawat darurat, dan ahli
THT. Setiap tahunnya, dari 100.000 orang, ditemukan 7–40 orang menderita gangguan
pada nervus fasialis dengan insidensi antara pria dan wanita adalah sama. Namun,
insidensi pada wanita hamil dapat menjadi lebih tinggi dan pada anak-anak dapat lebih
rendah. Menurut Gordin et al pada tahun 2015, kelumpuhan nervus fasialis yang
disebabkan oleh trauma memiliki persentase kurang lebih 10%-23%. Adapun 60-75%
kelumpuhan yang bentuknya idiopatik disebut bell’s palsy, 4,5-7% disebabkan oleh
infeksi virus, dan 2,2-5% disebabkan oleh neoplasma (Heckmann et al, 2019; Mistry
dan Al-Sayed, 2020; Masterson et al, 2015).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Nervus fasialis merupakan saraf kranial ketujuh yang berisi serabut saraf
motorik, sensorik dan parasimpatis (sekretomotor) dimana memberikan persarafan ke
banyak area di daerah kepala dan leher. Terdapat 3 nuklei pada nervus fasialis yaitu
nukleus motorik utama, nuklei parasimpatis dan nukleus sensorik. Fungsi utama nervus
facialis terdiri dari: eferen somatik umum (GSE) yang memberi suplai motorik ke otot
wajah; eferen viseral umum (GVE) yang memberi suplai sekretomotor parasimpatis ke
kelenjar liur submandibular dan sublingual dan kelenjar lakrimal; aferen viseral khusus
(SVE) yang memberi sensasi rasa pada ⅔ anterior lidah; dan yang memberi sensasi
kutan pada pinna dan meatus auditorius eksterna yang disebut dengan aferen somatik
umum (GSA) (Seneviratne dan Patel, 2020; Dulak dan Naqvi, 2020).
Apabila terjadi gangguan pada nervus fasialis maka akan ditemukan gejala
klinis yang menggambarkan letak lesi. Lesi pada kelainan nervus fasialis dapat
ditemukan di neuron motorik atas, neuron motorik bawah bagian pons atau pada neuron
motorik bawah setelahnya saraf keluar dari batang otak (Seneviratne dan Patel, 2020).

B. Epidemiologi
Kelumpuhan wajah adalah salah satu masalah umum yang menyebabkan
deformasi wajah. Kelainan yang diakibatkan oleh kelumpuhan nervus fasialis umum
ditemukan di penyedia perawatan primer, bagian gawat darurat, dan ahli THT. Gordin
et al (2015) dalam jurnalnya mengatakan bahwa kelumpuhan nervus fasialis dapat
disebabkan oleh trauma (10%-23%). Adapun 60-75% kelumpuhan yang bentuknya
idiopatik disebut bell’s palsy. Setiap tahunnya, dari 100.000 orang dapat ditemui 7–40
dengan insidensi antara pria dan wanita sama. Namun, insidensinya bisa lebih tinggi
pada wanita hamil dan lebih rendah pada anak-anak. Infeksi virus yang
mengakibatkan kelumpuhan nervus fasialis bertanggung jawab antara 4,5-7%,
sedangkan neoplasia mencapai 2,2-5% kasus (Heckmann et al, 2019; Mistry dan Al-
Sayed, 2020; Masterson et al, 2015).
C. Etiologi
Kelemahan nervus fasialis dapat disebabkan karena infeksi, neoplasia, trauma,
manifestasi penyakit sistemik dan idiopatik/Bell’s Palsy. Bell’s palsy umum terjadi
namun penyebab kelumpuhan nervus fasialisnya masih belum diketahui. Kelumpuhan
nervus fasialis yang terjadi akibat trauma dapat disebabkan oleh fraktur tengkorak basal
(tulang temporal), trauma menembus ke aspek ekstratemporal saraf wajah, kelahiran
(pengiriman forsep), iatrogenik (misalnya pasca parotidektomi atau mastoidektomi),
barotrauma (kelumpuhan ketinggian atau scuba diving) atau petir. Adapun infeksi dapat
diakibatkan oleh virus maupun bakteri. Infeksi virus dapat disebabkan oleh herpes
Zoster yang mengakibatkan kelumpuhan wajah akibat ganglionitis genikulata (juga
dikenal sebagai sindrom Ramsay Hunt (RHS). Adapun infeksi bakteri dapat ditemui
pada diagnosis otitis media akut, kolesteatoma dan necrotizing otitis externa dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf wajah. Penyebab kelumpuhan saraf wajah yang jarang
terjadi adalah penyakit Lyme. Apabila ditemui onset kelemahan wajah yang
berkembang perlahan maka kecurigaan dapat mengarah kepada keganasan. Keganasan
yang mengakibatkan kelumpuhan saraf wajah diantaranya keganasan parotis, neuroma
akustik dan wajah, meningioma, dan kista arakhnoid (Gordin et al, 2015; Walker et al,
2020).
Kelumpuhan nervus fasialis dapat terjadi pada anak. Kelumpuhan ini
diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya menjadi kongenital dan didapat. Penyebab
kelumpuhan nervus fasialis pada anak yang didapat sama seperti pada orang dewasa.
Adapun penyebab kongenital dapat disebabkan: trauma seperti berat badan lahir tinggi,
persalinan forsep, prematuritas, atau kelahiran dengan operasi caesar; kasus sindromik
termasuk kasus dengan kelainan kraniofasial seperti sindrom Moebius, sindrom
Goldenhar syringobulbia dan malformasi Arnold Chiari; serta penyebab genetik seperti
miopati herediter (miastenia dan distrofi miotonik) (Walker et al, 2020).
Kelemahan nervus fasialis umumnya terjadi unilateral. Apabila terjadi secara
bilateral maka bisa curiga bahwa hal ini merupakan manifestasi penyakit sistemik
seperti penyakit Lyme. Pertimbangan diferensial penting lainnya termasuk sindrom
Guillain-Barre, diabetes dan sarkoidosis. Penyebab neurologis dari kelumpuhan saraf
wajah bilateral termasuk penyakit Parkinson, multiple sclerosis, dan
pseudobulbar/bulbar palsy (Walker et al, 2020).
D. Anatomi dan Fisiologi Nervus Fasialis
Nervus fasialis merupakan saraf kranial terpanjang yang berjalan di dalam
tulang, sehingga sebagian besar kelainan nervus fasialis terletak di dalam tulang
temporal. Nervus fasialis terdiri dari 3 komponen yaitu komponen motoris, sensoris dan
parasimpatis,
1. Komponen motoris : mempersarafi otot ekspresi wajah kecuali muskulus levator
palpebra superior. Selain itu juga mempersarafi muskulus stapedius, dan venter
posterior muskulus digastriku.
2. Komponen sensoris : mempersarafi dua pertiga anterior lidah untuk mengecap
melalui korda timpani, kemudian ke ganglion genikulatum dan ke nukleus traktus
solitaries.
3. Komponen parasimpatis memberikan persarafan pada glandula lakrimalis, glandula
submandibula dan glandula lingualis.
(Soepardi dkk, 2012)
Saraf fasialis juga terbagi menjadi 2 subdivisi , yaitu :
1. Saraf fasialis propius : mempersarafi otot-otot ekspresi wajah
2. Saraf Intermediet : aferen otonom (sensoris), eferen otonom (parasimpatis), dan
Aferen somatik (rasa nyeri dari daerah kulit atau ukosa yang di persarafi oleh saraf
trigeminus).

Gambar 1. Anatomi Topografi nervus fasialis (Maisel dkk, 2012)


Gambar 2. Komponen nervus fasialis (Pauwels dkk, 2010)

Nervus fasialis terbagi atas lima cabang terminal, yaitu:

1. Ramus Temporalis muncul dari pinggir atas glandula dan mempersarafi muskulus
aurikularis anterior dan superior, venter frontalis muskulus oksipitofrontalis,
muskulus orbikularis okuli dan muskulus corrugator supercilii.
2. Ramus zigomatikus muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi
muskulus orbikularis okuli.
3. Ramus bukalis muncul dari pinggir anterior glandula di bawah duktus parotideus
dan mempersarafi muskulus buksinator dan otot – otot bibir atas serta nares.
4. Ramus mandibularis muncul dari pinggir anterior glandula dan mempersarafi otot
– otot bibir bawah.
5. Ramus servikalis muncul dari pinggir bawah glandula dan berjalan ke depan di
leher bagian bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus platysma. Saraf ini
dapat menyilang pinggir bawah mandibular untuk mempersarafi muskulus
depressor anguli oris. (Hafizah dalam Snell, 2015)
Gambar 3. Skema Origo, Perjalanan dan Cabang-Cabang dari Nervus Facialis (Netter

et al, 2002).

Nervus fasialis mempunyai dua inti, yaitu inti superior yang mendapatkan
persarafan dari korteks motor secara bilateral, sedangkan inti inferior hanya
mendapatkan persarafan dari satu sisi. Serabut dari kedua inti berjalan mengelilingi inti
(nukleus) nervus abdusen/ n. VI, kemudian meninggalkan pons yaitu nervus fasialis
beserta saraf intermedius (whisberg) dan nervus koklea / n. VIII masuk ke dalam tulang
temporal melalui porus akustikus internus. Setelah masuk dalam tulang temporal,
nervus fasialis akan berjalan dalam suatu saluran tulang yang disebut kanal fallopi.
Dalam perjalanan di dalam tulang temporal, saraf VII dibagi dalam 3 segmen, yaitu
segmen labirin, segmen timpani, dan segmen mastoid (Soepardi dkk, 2012).

Segmen labirin terletak antara akhir kanal akustik internus dan ganglion
genikulatum . panjang segmen ini 2-4 milimeter. Segmen timpani (segmen vertikal),
terletak di antara bagian distal ganglion genikulatum dan berjalan ke arah posterior
telinga tengah, kemudian naik ke arah tingkap lonjong (venestra ovalis) dan stapes, lalu
turun kemudian terletak sejajar dengan kanal semisirkularis horizontal. Panjang segmen
ini kira-kira 12 milimeter. Segmen mastoid (segmen vertikal) mulai dari dinding medial
dan superior kavum timpani. Perubahan posisi dari segmen timpani menjadi segmen
mastoid, disebut segmen piramidal atau genu eksterna. Bagian ini merupakan bagian
paling posterior dari saraf VII, sehingga mudah terkena trauma pada saat operasi.
Selanjutnya segmen ini berjalan ke arah kaudal menuju segmen stilomaoid, panjang
segmen ini 15-20 milimeter (Soepardi dkk, 2012).

Setelah keluar dari tulang mastoid, nervus fasialis menuju glandula parotis dan
mensarafi otot-otot wajah. Dalam temporal, nervus fasialis membagi diri menjadi
nervus petrosus superior mayor, nervus stapedius, dan korda timpani. Nervus petrosus
superior mayor keluar dari ganglion genikulatum. Saraf ini memberikan rangsang untuk
sekresi kelenjar lakrimalis. Nervus stapedius mensarafi muskulus stapedius sebagai
peredam suara dan korda timpani memberikan serabut perasa pada dua pertiga lidah
bagian depan (Soepardi dkk, 2012).

Nukleus fasialis juga menerima impuls dari talamus yang mengarahkan yang
mengarahkan gerakan ekspresi emosional pada otot-otot wajah. Terdapat juga
hubungan dengan ganglia basalis. Jika bagian ini atau bagian lain dari sistem piramidal
menderita penyakit penyakit, mungkin terdapat penurunan atau hilangnya ekspresi
wajah (hipomimia atau amimi).
Gambar 4. Inervasi otot-otot ekspresi wajah (Pauwels dkk, 2010)

E. Manifestasi Klinis
1. Lesi Neuron Motorik Atas
Lesi neuron motorik atas, dapat ditemukan baik di neuron motorik di girus
precentral otak atau di sepanjang jalur kortikobulbar hingga neuron orde dua di
pons. Lesi neuron motorik atas dapat disebabkan karena stroke di wilayah arteri
serebral tengah dan lesi yang menempati ruang di sepanjang jalur. Kelumpuhan
pada kuadran bawah kontralateral wajah dengan sedikit pada kuadran atas
kontralateral merupakan ciri dari lesi neuron motorik atas. Tanda-tanda tambahan
seperti hemiparesis, disfasia, dan defisit sensorik akan bergantung pada jalur saraf
yang berdekatan dan daerah lain yang terlibat.
2. Lesi Neuron Motorik Bawah di Pons
Lesi neuron motorik bawah pada pons yang melibatkan nukleus motorik dapat
disebabkan oleh stroke, neoplasia, dan inflamasi. Lesi neuron motorik bawah pada
pons muncul sebagai kelemahan wajah ipsilateral yang melibatkan separuh wajah.
Tanda-tanda tambahan akan tergantung pada saraf kranial lain dan jalur saraf di
sekitarnya yang dipengaruhi oleh proses patologis. Sebagai contoh, beberapa
sindrom stroke seperti sindrom Foville dan sindrom Millard-Gubler, yang ditandai
dengan kelumpuhan wajah ipsilateral dan hemiparesis kontralateral disertai dengan
keterlibatan saraf kranial lainnya. Sindrom Moebius adalah penyebab langka
kelumpuhan wajah bawaan karena hipoplasia saraf motorik wajah. Dalam kondisi
ini, kelemahan wajah bilateral pada 93% pasien, sementara 92% menunjukkan
kegagalan abduksi mata bilateral (keterlibatan saraf kranial ke-6).

3. Lesi Neuron Motorik Bawah setelah Saraf Keluar dari Batang Otak
Setelah keluar dari batang otak, gambaran klinis lesi neuron motorik bawah
bergantung pada cabang saraf wajah mana yang terpengaruh. Jika akson motorik
saraf wajah terpengaruh, akibatnya adalah kelemahan otot wajah. Kerusakan saraf
pada stapedius menyebabkan hiperakusis; kerusakan pada cabang petrosal yang
lebih besar bermanifestasi sebagai hilangnya lakrimasi, dan kerusakan pada chorda
tympani menyebabkan hilangnya rasa dari dua pertiga anterior lidah serta hilangnya
fungsi kelenjar ludah sublingual dan submandibular. Penyebab lesi neuron motorik
bagian bawah di luar batang otak termasuk infeksi seperti virus herpes simplex
(Bell's Palsy), virus varicella-zoster (sindrom Ramsay-Hunt), penyakit Lyme, dan
HIV, kondisi peradangan seperti sarkoidosis, kondisi demielinasi seperti Guillain
Barre Syndrome, kondisi vaskuler seperti spasme hemifasial akibat kompresi
neurovaskuler, trauma seperti patah tulang temporal, dan neoplasma (baik jinak
maupun ganas). (Seneviratne & Patel, 2020)

F. Klasifikasi Parese N. Fascialis


Klasifikasi parase N. fascialis sendiri dapat dikategorikan menjadi 6 menurut
house brackmann dan freys. Sistem ini didasarkan pada 6 tingkat skor (I-Vl) yang
memberikan evaluasi dari fungsi motorik saraf fasialis dan juga evaluasi sekuele.
(Sarafoleanu & Bejenaru, 2020).

Grading Deskripsi Karakteristik

I Normal Normal pada semua nervus fascialis

II Disfungsi Sedikit kelemahan terlihat pada inspeksi, ada sedikit


ringan sinkinesis, kerutan dahi sedang atau baik, menutup mata
dengan usaha minimal, sedikit asimetris pada mulut jika
bergerak

III Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri
sedang
Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada

Tidak dapat menutup mata dengan sempurna

Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

IV Disfungsi Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri


sedang
berat Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada

Tidak dapat menutup mata dengan sempurna

Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.

V Disfungsi Wajah tampak asimetris


berat
Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai

Dahi tidak dapat digerakkan

Tidak dapat menutup mata

Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan


VI Paralisis Tidak ada gerakan
total

G. Pemeriksaan
Pemeriksaan nervus fasialis sangat penting, hal ini dikarenakan gangguan
n.fasialis merupakan gangguan pada fungsi otot-otot wajah. Pasien tidak dapat atau
kurang dapat menggerakkan otot wajah, sehingga tampak wajah pasien tidak simetris.
Dalam menggerakkan otot ketika menggembungkan pipi dan mengerutkan dahi
tampak sekali wajah pasien tidak simetris. Kelumpuhan n.fasialis merupakan gejala,
sehingga harus dicari penyebab dan ditentukan derajat kelumpuhannya dengan
pemeriksaan tertentu guna menentukan terapi dan prognosisnya. Tujuan pemeriksaan
fungsi saraf fasialis, disamping untuk menentukan derajat kelumpuhan, juga dapat
menentukan letak lesi saraf fasialis (Arsyad, et.al., 2007).

A. Pemeriksaan Motorik
1. Pada saat diam perhatikan :
a. Asimetris muka (lipatan nasolabial)
Bila asimetris (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis
perifer. Dalam hal ini kerutan dahi menghilang, mata kurang dipejamkan, plika
nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan
jenis sentral (supranuklir) muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru
nyata bila penderita disuruh melakukan gerakan misalnya ; menyeringai
(Soepardi, et.al., 2011).
b. Gerakan-gerakan abnormal (tic fasialis, grimacing, kejang tetanus/rhisus
sardonicus, tremor dan sebagainya) (Mardjono dan Sidartha, 2010).
c. Ekspresi muka (Sedih, gembira, takut, seperti topeng).
Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap
kesempurnaan mimik/ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi
tonus sehingga mengadakan penelitian pada setiap tingkatan kelompok otot muka,
bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek
memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya
berjumlah lima belas (15) yaitu seluruh terdapat lima tingkatan dikalikan 3 untuk
setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-
1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari garis gradasinya
(Soepardi, et.al., 2011).
2. Atas perintah
Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimik
dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan 10 otot wajah tersebut dari sisi superior
adalah sebagai berikut (Arsyad, et.al., 2007):
a. M. Frontalis, diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas.
b. M. Sourcilier, diperiksa dengan cara mengerutkan alis
c. M. Piramidalis, diperika dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke
atas.
d. M. Orbicularis oculi, diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat.
e. M. Zigomaticus, diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
f. M. Relever komunis, diperiksa dengan cara memoncongkan mulut ke depan
sambil memperlihakan gigi
g. M. Businator, diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi.
h. M. Orbicularis oris, diperiksa dengan menyuruh penderita bersiul.
i. M. Triangularis, diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah.
j. M. Mentalis, diperiksa dengan cara memoncokngkan mulut yang tertutup rapat
kedepan.
Pada tiap gerakan dari ke sepuluh otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri:
a. Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka (3)
b. Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka (1)
c. Diantaranya dinilai dengan angka (2)
d. Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka (0)
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan
mempunyai nilai 30.
3. Sinkinesis
Dalam menilai fungsi motorik, dinila juga sinkinesis otot. Sinkinesis menentukan
suatu komplikasi dari parese fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada
tidaknya sinkinesis adalah:
a. Penderita diminta untuk memejamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat
pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada
kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau 10 pergerakan pada sisi paresis
lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau
dua (-2), tergantung dari gradasinya.
b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita
melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a).
c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi)
dengan memperhatikan pergerakan otot-otot di sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau
pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris (Soepardi, et.al.,
2007).
4. Hemispasme
Dilakukan juga penilaian hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering
dijumpai pada penyembuhan paresis fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara
penderita diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaja seperti mengedipkan
mata berulang-ulang maka akan tampak jelas gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah
atau sudut mata bawah. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka minus
satu (-1) (Soepardi, et.al., 2011).
5. Gejala Chvostek
Gejala Chvostek dibangkitkan dengan jalan mengetok N. VII. Ketokan dilakukan
dibagian depan telinga. Bila positif, ketokan ini menyebabkan kontraksi otot yang
disarafinya. Pada tetani didapatkan gelaja Chvostek positif, tetapi ia dapat juga positif
pada orang normal. Dasar gejala Chvostek ialah bertambah pekanya nervus fasialis
terhadap rangsang mekanik (Juwono, 1996).

B. Fungsi Pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapat
menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. Untuk
memeriksanya penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya
bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secra bergiliran dan diselingi
istirahat). Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya kedalam mulut,
sebab bila lidah ditarik kedalam mulut, bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian
lainnya, yaitu kesisi lidah lainnya atau kebagian belakang lidah yang persarafannya
diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan
isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin dan 4 untuk
rasa asam (Juwono, 1996).
Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah di persarafi oleh n. korda timpani,
salah satu cabang n. fasialis. Pada pemeriksaan fungsi n. korda timpani adalah perbedaan
ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara
kedua sisi adalah patologis (Soepardi, et.al., 2011).

C. Produksi Kelenjar Ludah


Dengan anamnesis (mengunyah makanan di rongga mulut yang sehat) atau
palpasi dengan jari (selaput lendir rongga mulut yang terlibat gangguan akan terasa lebih
kering/ sedikit dari pada yang sehat) (Soepardi, et.al., 2011).

D. Schirmer Test atau Naso-Lacrymal Reflex


Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk mengetahui fungsi serabut-serabut
pada simpati dari n. fasialis yang disalurkan melalui nervus petrosus superfisisalis mayor
setinggi ganglion genikulatum. Dengan pemeriksaan ini dapat dihitung berapa banyak
sekresi kelenjar lakrimalis. Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau
lakmus lebar 0,5 cm, panjang 5-10 cm pada dasar konjungtiva. Freyss menyatakan bahwa
kalau ada beda kanan atau kiri lebih atau sama dengan 50% maka dianggap patologis
(Soepardi, et.al., 2011).

E. Lainnya
1. Stapedial reflex
Pemeriksa menempatkan ujung kedua stetoskop masing-masing pada telinga kanan dan
kiri, kemudian dengan perlahan-lahan diafragma stetoskop diketuk dengan ujung jari.
Bila ada kelumpuhan otot stapedius, maka penderita akan berusaha dengan cepat untuk
melepaskan ujung stetoskop pada telinga yang terganggu (karena mendengar suara yang
keras sekali).
2. Tanda glabella
Ketukkan dengan refleks hammer pada glabella akan menimbulkan refleks menutup
mata (berkedip) secara terus menerus (orang normal hanya berkedip 1-2 kali saja). Positif
pada penderita Parkinson.
H. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui


kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi
saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan
uji stimulasi maksimal.
1. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat
untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat
diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu
pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai
suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21
hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi.
Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan
sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari (Maisel dan Levine, 1997).
2. Elektroneuronografi (ENOG)
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG
melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih
distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat
reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari,
maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin
melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat penyembuhan tidak
lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77% pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal
saraf fasialis (Maisel dan Levine, 1997).
3. Uji Stimulasi Maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekankan pada
wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5
ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala
nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap
gerakan di daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal. Perbedaan respons
yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu
tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi
yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari arus yang digunakan pada sisi yang
normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92% penderita Bell’s Palsy kembali dapat
melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100% akan mengalami
pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk
pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung
(Maisel dan Levine, 1997).

I. Tatalaksana

Pengobatan terhadap kelumpuhan saraf VII dapat dikelompokkan kedalam beberapa


bagian:
A. Fisioterapi
1. Infra Red, Face Massage, Facial Excercise
Pada kondisi Bell’s palsy IR dapat diaplikasikan pada wajah sisi lesi dan daerah
sekitar foramen stilomastoideus selama 15 menit. Jarak pemasangan pada lampu
luminous antara 35-45 cm sedangkan untuk pemasangan jenis non luminous
antara 45-60 cm. Namun jarak ini bukan merupakan jarak yang mutlak diberikan
karena jarak pemasangan lampu masih dipengaruhi oleh toleransi pasien dan
besarnya watt lampu. Diikuti dengan masase dan latihan menggerakan wajah
pada sisi lesi dimana otot wajah menjadi lebih lemah. (Amanati et all, 2017)
2. Electrical Stimulation
Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah. Tindakan ini
bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang lumpuh dan juga
berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus otot. (Arnulfo, 2015)

B. Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan kelumpuhan saraf fasialis
antara lain: (Somasundara & Sullivan, 2017)
1. Asam Nikotinik
Pada kelumpuhan saraf fasialis yang dikarenakan iskemia. Asam nikotinik dan
obat-obatan yang bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan
untuk memicu vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke saraf
fasialis.
2. Vasokonstriktor, Antimikroba
Obat ini diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis yang disebabkan oleh kompresi
saraf fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan ,
pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan diatas.
3. Kortikosteroid
Hasil yang paling menguntungkan terlihat jika steroid diberikan dalam 72 jam
setelah gejala muncul. Regimen yang biasa digunakan pada orang dewasa
biasanya prednisolone 1 mg/kgbb/hari.
4. Sodium Kromoglikat
Diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis jika dipikirkan adanya reaksi alergi.
5. Antivirus
Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan prednisone
secara simultan.

C. Pengobatan Psikofisikal
Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan dapat
membantu penyembuhan Bell’s Palsy.

D. Indikasi Untuk Operasi


Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak- anak karena dapat
menimbulkan komplikasi lokal maupun intracranial. Tindakan operatif dilakukan
apabila :

a. Tidak terdapat penyembuhan spontan


b. Tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednisone
c. Pada pemeriksaan elektrik terdapat denervasi total.

Beberapa tindakan operatif yang dapat dikerjakan pada BP antara lain


dekompresi n. fasialis yaitu membuka kanalis fasialis pars piramidalis mulai dari
foramen stilomastoideum nerve graft operasi plastik untuk kosmetik (muscle sling,
tarsoraphi). (Bahrudin, 2011)
J. Komplikasi

Komplikasi bell's palsy meliputi: (Somasundara & Sullivan, 2017)

1. Motor Synkinesis (gerakan otot yang tidak disengaja terjadi pada saat yang sama
dengan gerakan yang disengaja, misalnya gerakan mulut yang tidak disengaja selama
menutup mata)
2. air mata buaya (air mata ketika makan karena kesalahan regenerasi serat gustatori
yang seharusnya menjadi kelenjar ludah, namun kemudian menjadi serat sekresi
kelenjar lakrimal dan menyebabkan munculnya air mata ipsilateral saat pasien sedang
makan)
3. pemulihan tidak lengkap
4. kontraktur otot wajah
5. pengurangan atau kehilangan sensasi rasa
6. masalah dengan disartria karena kelemahan otot wajah.
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan
Nervus fasialis atau dikenal dengan N.VII memberikan persarafan ke banyak
area di daerah kepala dan leher. Apabila terjadi gangguan pada nervus fasialis maka
akan ditemukan gejala klinis yang menggambarkan letak lesi. Lesi neuron motorik atas
menimbulkan manifestasi kelumpuhan pada kuadran bawah kontralateral wajah dengan
sedikit pada kuadran atas kontralateral. Lesi neuron motorik bawah pada pons
menyebabkan kelemahan wajah ipsilateral yang melibatkan separuh wajah dan apabila
lesi terletak setelah keluar dari batang otak, gambaran klinis bergantung pada cabang
saraf wajah mana yang terpengaruh.

Kelumpuhan n.fasialis merupakan gejala, sehingga harus dicari penyebab dan


ditentukan derajat kelumpuhannya dengan pemeriksaan tertentu guna menentukan
terapi dan prognosisnya. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan motorik, fungsi
pengecapan, menilai produksi kelenjar ludah, dan Schirmer Test. Pemeriksaan
penunjang berupa elektromiografi (EMG), elektroneuronografi (ENOG), dan uji
stimulasi maksimal dapat dilakukan untuk menilai keparahan dan prognosis penyakit.
Perlu dilakukannya tatalaksana untuk mencegah komplikasi penyakit dan memulihkan
fungsi saraf wajah pasien. Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk mengobati
kelumpuhan saraf VII adalah fisioterapi, farmakologi, pengobatan psikofisikal, dan
operasi.

B. Saran
Sebagai dokter muda diharapkan dapat menguasai dan mengetahui anatomi,
fisiologi dan manifestasi penyakit dari nervus fasialis dikarenakan nantinya dokter
umum akan menjadi lini pertama dalam menghadapi pasien dengan keluhan
kelumpuhan wajah dan memberikan penanganan awal untuk penyakit pasien tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Dulak D dan Naqvi IA. (2020). Neuroanatomy, cranial nerve 7 (facialis). [internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2020 Jan. Diakses tanggal 19 januari
2021. Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK526119/

Efianty Arsyad, dkk. (2007). Buku ajar ilmu kesehatan hidung tenggorok kepala & leher
edisi ke: 6. Jakarta : FKUI, Hal 144-146.

Gordin E, Lee TS, Ducic Y, Arnaoutakis D. (2015). Facial nerve trauma: evaluation and
considerations in management. Craniomaxillofac Trauma Reconstr. 2015 Mar;8(1):1-
13.

Hafiza . (2015). Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Terhadap Bell’s


Palsy di Departemen Bedag Mulut FKG USU Periode Desember 2014 - Januari 2015.
Medan : Universitas Sumatera Utara

Heckmann JG, Urban PP, Pitz S, Guntinas-Lichius O dan Gagyor L. (2019). The diagnosis
and treatment of idipoathic facial paresis (bell’s palsy). Dtsch Arztebl Int. 116(41)
692-702.

Ho ML, Juliano A, Eisenberg RL, Moonis G. (2015). Anatomy and pathology of the facial
nerve. AJR Am J Roentgenol. 204(6):W612-9.

Juwono. (1996). Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. Jakarta: FKUI

Maisel RH, Levine SC. (2012). BOIES Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta : EGC.
2012

Mardjono, M. and P. Sidartha. (2010). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.

Masterson L, Vallis M, Quinlivan R, Prinsley P. (2015). Assessment and management of


facial nerve palsy. BMJ. 351:h3725.

Mistry RK dan Al-Sayed AA. (2020). Facial nerve trauma. [Internet]. Treasure Island
(FL): StatPearls Publishing. 2020 Jan. Diakses tanggal 19 januari 2021. Diakses dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK553095/
Netter, FH, Craig JA, and Perkins, J. (2002). Atlas of Neuroanatomy and
Neurophysiology. Texas, New York.

Pauwels LW, Stewart PA, Akesson EJ, Spacey SD. (2010). Cranial Nerves : Function and
Dysfunction 3rd Ed.

Sarafoleanu, D., and Bejenariu, A. (2020). Facial nerve paralysis. Romanian Journal of
Rhinology 10, 39, 68-77.

Seneviratne SO dan Patel BC. (2020). Facial nerve anatomy and clinical applications.
[internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. 2020 Jan. Diakses tanggal 19
januari 2021. Diakses dari <https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554569/>

Soepardi.E.A,Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. (2012) Buku Ajar Ilmu Kesehatan


Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher Edisi 7. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2011.

Takezawa K, Townsend G dan Ghabriel M. (2018). The facial nerve: anatomy and
associated disorders for oral health professionals. Odontology. 106(2):103-116.

Walker NR, Mistry RK dan Mazzoni T. (2020) . Facial nerve fallacy. [internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing. 2020 Jan. Diakses tanggal 19 januari 2021.
Diakses dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549815/

Anda mungkin juga menyukai