Anda di halaman 1dari 17

CASE

BELL’S PALSY

Oleh :

Indriyani Valeandri

112019086

Pembimbing :

dr. Endang Kustiowati, Sp.S(K), M.Si.Med

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA JAKARTA

RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO

PERIODE 08 FEBRUARI-13 MARET 2021


Anatomi

Saraf wajah manusia adalah saraf kranial ketujuh (CNVII) dan terdiri dari komponen
motorik, sensorik, dan parasimpatis. Fungsinya bertanggung jawab atas gerakan wajah sukarela
(voluntary) dan mimetik, pengecapan pada dua pertiga anterior lidah, dan kontrol kelenjar ludah
dan sekresi kelenjar lakrimal.1 Nervus facialis tersusun atas serabut motorik yang menginervasi
otot pembentuk ekspresi wajah, dan nervus intermedius yang membawa serabut sensorik
pengecap dari dua-pertiga bagian anterior lidah dan serabut parasimpatik ke kelenjar saliva dan
stapeideus.2

1. Serabut somatomotorik
Serabut yang mensarafi otot-otot wajah ( kecuali M. levator palpebrae/N.III), M.
paltisma, M. orbicularis oculi, stylohyoid, digastricus posterior dan musculus
stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viseromotorik (parasimpatis)
Mensarafi glandula nasalis dan glandula lakrimalis, glandula salivasi, glandula
sublingual serta glandula submandibular.
3. Serabut viserosensorik
Mensarafi 2/3 anterior lidah
4. Serabut somatosensorik
Mempersarafi bagian telinga luar, bagian kanalis auditorius, permukaan eksternal
membrana timpanikum. 2

Perjalanan nervus facialis

Nervus facialis memiliki 2 kompenen yaitu motorik murni dan mempersarafi otot-otot ekspresi
wajah, kompenen ini hanya terdiri dari nervus facialis. Komponen kedua adalah nervus
intermedius yang mengandung serabut aferen visceral dan somatik serta serabut eferen visceral.
Serabut radix nervus ini berjalan dengan sangat rumit. Didalam batang botak serabut ini berjalan
memutari nucleus abducens membentuk genu internum nervus facalis. Dan membentuk tonjolan
kecil didasar ventrikel keempat (kolikulus facialis), selanjutnya serabut ini berjalan ventrolateral
menuju ujung caudal pons. Keluar dari ujung caudal pons, menembus subaraknoid di
cerebellopontine angle. Serabut ini kemudian masuk ke meatus akustikus internus, Bersama
dengan nervus vestibulococlearis. Setelah masuk ke meatus akusitikus internus serabut nervus
facialis berpisah dengan nervus vestibulococlearis. Serabut ini berjalan kearah lateral dikanalis
facialis menuju ganglion genikulatum, setinggi ganglion genikulatum serabut nervus facialis
menurun curam membentuk genu eksternum nervus facialis. Serabut facialis turun dan keluar
dari foramen stilomastoideus. Lalu membentuk 5 cabang utama yang mempersarafi otot-otot
ekspresi wajah. Yaitu cabang temporal, zygomaticum, buccal, mandibular, dan cervical. 1,3

Gambar 1. Perjalanan saraf nervus Facialis (DUUS) 3

Reflex yang melibatkan nervus facialis

1. Refleks kedip
Refleks ini terjadi Ketika muncul objek didepan mata, impuls dari retina akan
langsung masuk ke traktus tektonuklearis, lalu impuls akan berjalan ke nukleus facialis
kedua sisi, impuls eferen dikirim ke muskulus orbicularis oculi sehingga kedua mata
tertutup 3,4

2. Reflex stapeideus
Telinga mendapat impuls auditorik kuat dari reseptor ditelinga, kemudian impuls
dihantarkan ke nukleus dorsalis korpus trapezoideus, lalu menuju nukleus nervus facialis.
Kemudian impuls eferen dihantarkan ke muskulus stapedius melalui cabang serabut
nervus facialis menyebabkan kontraksi otot stapedius untuk meredam getaran suara yang
berlebihan. 3

3. Reflex kornea

Ketika tepi mukosa kornea menerima impuls, maka impuls dari kornea akan diteruskan
ke nervus optalmicus. Lalu ke nukleus principalis nervus trigeminus, kemudian impuls
diterukan melalui jalur lengkung refleks ke nukleus nervus facialis bilateral dan
menyebabkan kontraksi muskulus orbicularis okuli.3

Otot dahi mendapat presarafan dari traktus kortikunuklear kedua belah hemisfer,
sedangkan otot 2/3 bawahnya ( otot ekspresi wajah) hanya mendapat persarafan unilateral
sehingga pada kelumpuhan nervus facialis tipe sentral pasien masih bisa mengangkat dahi
memjamkan mata secara paksa, sedangkan pada lesi tipe perifer kelemahan pada dahi dan otot
3,4
ekspresi wajah.

Gambar 2. Kelumpuhan wajah UMN dan LMN 3

Perjalan Nervus Intermedius


 Serabut somatik aferen : nervus facialis mempersarafi sebagian daun telinga, kanalis
auditoris eksternus dan Sebagian membran timpani. Impuls dari telinga eksterna
dihantarkan melalui serabut aferen nervus intermedius ke ganglion genikulatum lalu
dikirim ke nukleus sensorik nervus trigeminus.3
 Serabut aferen gustatorik : dimulai dari nervus lingualis ( cabang nervus mandibularis)
dari nervus trigeminal. Berupa sensai nyeri, suhu, raba, diskriminasi posisi akandikirm ke
nukleus sensori nervus trigeminus. Nervus lingualis juga menerima impuls pengecapan
dari kuncup pengecapan 2/3 lidah anterior. Impuls gustatorik melewati korda timpani,
lalu naik ke ganglion genikulatum kemudian menuju ke pons di nukleus traktus solitarius.
Pengecapan 1/3 posterior dan palipa valata diteruskan ke nervus IX dan impuls
pengecapan epiglotis menuju ke nervus vagus. Ganglion genikulatum ganglion nervus IX
dan X adalah neuron pertama lalu nukleus traktus solitarius adalah ganglion ke dua,
kemudian serabut menyilang ke sisi kontraleral dan naik sampai nukleus
ventroposteromedian (VPM) ditalamus yang meruoakan neuron ke tiga dan amsuk ke
korteks gustatorik primer di Brodmann 43.1,3

Gambar 3.Perjalanan serabut saraf aferen gustatorik

 Serabut sekretorik eferen : nukleus salivatorius superior memiliki dua jaras yaitu :
1. Jaras pertama menjadi nervus petrosus mayor yanga akan berlanjut menjadi ganglion
pterigopalatinum yang akan mempersarafi glandula nasalis dan lakrimalis untuk
sekeresi air mata dan mucus
2. Jaras kedua berjalan kearah bawah melalui korda timpani ke ganglion submadibularis
yang mempersarafi glandula sublingualis dan submandibularis untuk sekresi saliva.3,4

Gambar 4. Perjalanan Serabut sekretorik eferen 5

Definisi

Bell’s palsy adalah kelumpuhan saraf fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-
neoplasmatik, non-degeneratif dan akibat edema di bagian saraf fasialis foramen stilomastoideus
atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Bell’s palsy adalah penyalit lower motor neuron, dimana etiologinya idiopatik. 6
Bell’s palsy ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1812 oleh Sir Charles Bell, seorang
peneliti Scotlandia, yang mempelajari mengenai persarafan otot-otot wajah.6,7

Epidemiologi

Bell's palsy terkena pada laki-laki dan perempuan secara merata, dan memiliki insiden
yang sedikit lebih tinggi di usia pertengahan dan lanjut , tetapi tentu saja terjadi di semua rentang
usia. Tingkat kejadian berkisar antara 11,5 hingga 40,2/100 000 dengan studi khusus yang
menunjukkan insiden tahunan serupa Inggris (20,2/100 000), Jepang (30/100 000) dan Amerika
Serikat 25–30/100 000. . Beberapa data epidemiologi menunjukkan variasi musiman, dengan
insiden yang sedikit lebih tinggi di bulan-bulan dengan musim dingin. 1 . Kejadian sindrom Bell’s
palsy ini berkisar 23 kasus per 100.000 orang setiap tahunnya. Berdasarkan manifestasi
klinisnya, terkadang masyarakat awam mengganggap sindrom Bell’s palsy sebagai serangan
6
stroke atau yang berhubungan dengan tumor. Bell’s palsy merupakan penyakit pada nervus
fasialis yang paling sering terjadi. Prevalensi BP di beberapa negara cukup tinggi. Di Inggris dan
Amerika berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100,000 penduduk per tahun. Di Belanda
(1987) 1 penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20,000 anak per tahun (Sukardi,
2004). Data yang dikumpulkan di 4 buah rumah sakit di Indonesia diperoleh frekuensi BP
sebesar 19,55% dari seluruh kasus neuropati, dan terbanyak terjadi pada usia 21-30 tahun.
Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. BP mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur
10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. 7

Etiologi

Penyebab bell’s palsy masih Idiopatik Sampai sekarang, belum diketahui secara pasti
penyebabnya. Faktor yang diduga berperan menyebabkan Bell’s palsy antara lain virus,
inflamasi, autoimun dan vaskular. Namun, reaktivasi virus herpes simpleks atau virus herpes
zoster dari ganglion genikulata diduga menjadi penyebab yang paling mungkin. Beberapa ahli
menyatakan penyebab berupa paparan angin dingin di salah satu sisi wajah secara terus menerus,
ada juga yang menyatakan hal itu disebabkan oleh virus herpes yang menetap di tubuh dan
teraktivasi kembali karena trauma, faktor lingkungan, stres dll. Penyebab tersering adalah virus
herpes simpleks tipe 1, penyebab lain antara lain: infeksi virus lain: mumps dan HIV, neoplasma:
pengangkatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor lain, trauma: fraktur basal tengkorak,
luka di telinga tengah dan menyelam, neurologis: sindrom guillain barre, metabolik: kehamilan,
diabetes mellitus, hipertiroidisme dan hipertensi, dan toksik: alkohol, talidomid, tetanus, dan
karbonmonoksida. 1,5,8
Tabel 1. Etiologi facial palsy 9

Manifestasi klinis

Pasien Bell’s palsy biasanya mengeluhkan kelemahan atau kelumpuhan pada separuh
wajahnya pada sisi yang sakit. Keluhan berupa sudut mulut yang jatuh/tidak dapat terangkat,
ketika makan/minum keluar dari sisi mulut, pengecapan terganggu, kebas pada separuh
wajahnya, nyeri pada telinga, sensitif/peka terhadap suara yang normal tidak menyakitkan
(hiperakusis), rasa berdenging pada telinga (tinitus), produksi air mata berkurang sehingga mata
menjadi kering. Tanda yang dapat ditemukan, mencerminkan kelumpuhan otot fasialis, seperti
tidak mampu mengerutkan dahi, kelopak mata tidak dapat menutup dengan rapat, fenomena Bell
yaitu ketika pasien berusaha memejamkan kelopak matanya bola mata berputar ke atas, sulkus
nasolabialis yang mendatar, sudut mulut yang tidak dapat terangkat/jatuh dan pengecapan 2 / 3
lidah depan menurun (hipogeusia). Gejala lain mungkin termasuk meneteskan mulut,
meneteskan air liur, ketidakmampuan untuk menutup mata (menyebabkan dry eye), dan airmata
berlebihan di satu mata. 4,10
Gambar 5. Tanda dan gejala bells palsy 9

Jika ditinjau dari letak lesinya, tidak semua gejala dan tanda tersebut muncul. Terdapat
lima letak lesi yang dapat memberikan petunjuk munculnya gejala dan tanda Bell’s palsy yaitu
bila lesi setinggi meatus akustikus internus menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pendengaran berupa tuli dan gangguan keseimbangan. Pada lesi yang
terletak setinggi ganglion genikulatum akan terjadi kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral serta
gangguan pengecapan, lakrimasi dan salivasi. Sementara itu lesi setinggi nervus stapedius
menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi serta
hiperakusis. Selanjutnya pada lesi setinggi kanalis fasialis (diatas persimpangan dengan korda
timpani tetapi dibawah ganglion genikulatum) akan terjadi kelemahan seluruh otot wajah
ipsilateral, gangguan pengecapan dan salivasi. Yang terakhir, lesi yang terletak setinggi foramen
stylomastoid akan menyebabkan kelemahan seluruh otot wajah ipsilateral.3,5
Gambar 6 . Manifestasi klinis bells palsy berdasarkan letak lesi 3,5

Patofisiologi

Patofisiologi pasti Bell’s palsy masih diperdebatkan beberapa peneliti menyebutkan


bahwa infeksi HSV pada mulut dapat menyerang neuron saraf yang kemudian akan menyebar
dan menetap di ganglion genikulatum yang Ketika imun tubuh menurun akan menyerang
ganglion genikulatum sehingga muncul bell’s palsy . Perjalanan saraf facialis melalui bagian os
temporalis disebut sebagai facial canal. Suatu teori menduga edema dan ischemia berasal dari
kompresi saraf facialis di dalam kanal tulang tersebut. Kompresi ini telah nampak dalam MRI
dengan fokus saraf facialis (Seok, 2008). Bagian pertama dari canalis facialis segmen
labyrinthine adalah yang paling sempit, foramen meatus dalam segmen ini hanya mempunyai
diameter 0,66 mm. Yang bertempat dan diduga paling sering terjadi kompresi saraf facialis pada
Bell’s palsy. Karena sempitnya canalis facialis, keadaan ini nampaknya wajar apabila inflamasi,
demyelinasi, iskemia, atau proses kompresi mungkin mengganggu konduksi neural pada tempat
ini (NINDS, 2014). Lokasi kerusakan saraf facialis diduga dekat atau di ganglion geniculatum.
Jika lesi proksimal dari ganglion geniculatum, kelemahan motorik diikuti dengan abnormalitas
pengecapan dan autonom. Lesi antara ganglion geniculatum dan chorda tympani menyebabkan
efek sama, namun tanpa gangguan lakrimasi. Jika lesi berada pada foramen stylomastoideus, ini
mungkin hanya menyebabkan paralisis wajah .5,6

Diagnosis

Dalam mendiagnosis suatu kelemahan atau kelumpuhan pada wajah yang disebabkan
oleh lesi nervus fasialis maka perlu dibedakan antara lesi sentral dan perifer. Diagnosis Bell’s
palsy biasanya dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Selain itu, awitan
yang cepat (kurang dari 72 jam) dan tidak ditemukan etiologi yang menyebabkan kelemahan
perifer pada wajah yang diakibatkan oleh lesi nervus fasialis dapat mendukung diagnosis Bell’s
palsy. Dalam menilai derajat keparahan dan memprediksi kemungkinan kesembuhan kelemahan
nervus fasialis, dapat digunakan skala modifikasi House-Brackmann yang telah dipakai secara
luas. Derajat yang dipakai dalam skala ini dari 1 sampai 6, dengan derajat 6 yang paling berat
yaitu terdapat kelumpuhan total. 5, 10

Tabel 2. Skala House-brackmann 5

1. Anamnesis
Perkembangan gejala (perjalanan penyakit dan gejala penyerta), progresif paralisis lebih
dari tiga minggu harus dievaluasi untuk neoplasma. Riwayat penyakit: stroke, tumor,
trauma
2. Pemeriksaan
 Nervus fasialis
Inspeksi (kerutan dahi, pejaman mata, lipatan nasolabialis ,sudut mulut
 Motorik : Mengangkat alis dan mengerutkan dahi, memejamkan mata,
menyeringai (menunjukkan geligi), mencucurkan bibir, menggembungkan pipi.
 Sensorik
Schirmer test Digunakan untuk mengetahui fungsi produksi air mata.
Menggunakan kertas lakmus merah 5x50 mm dengan salah satu ujung dilipat dan
diselipkan di kantus medial kiri dan kanan selama lima menit dengan mata
terpejam. Normal: menjadi biru dan basah antara sepanjang 20-30 mm.
Pengecapan 2/3 anterior lidah Menggunakan cairan Bornstein (4%
glukosa, 1% asam sitrat, 2,5% sodium klorida, 0,075% quinine HCl). Penderita
diminta menjulurkan lidah kemudian dikeringkan dahulu baru dilakukan tes
dengan menggunakan lidi kapas. Rasa manis di ujung lidah, rasa asam dan asin di
samping lidah dan rasa pahit di belakang lidah. Setiap selesai pemeriksaan,
penderita berkumur dengan air hangat kuku dan dikeringkan dahulu baru
dilanjutkan pemeriksaan berikutnya.
Refleks stapedius Memasang stetoskop pada telinga penderita kemudian
dilakukan pengetukan lembut pada diafragma stetoskop atau dengan
menggetarkan garpu tala 256Hz di dekat stetoskop. Abnormal jika hiperakusis
(suara lebih keras atau nyeri).5,6,7,10
Gambar 7. Tes schemer 6
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada yang spesifik untuk Bell’s palsy, tetapi tes berikut dapat berguna untuk
mengidentifikasi atau meningioma.menyingkirkan penyakit lain:

 CBC (Complete Blood Count)


 Glukosa darah, HbA1c Untuk mengetahui adanya diabetes yang tidak terdiagnosa
(penderita diabetes 29% lebih berisiko terkena Bell’s palsy).
 Salivary flow test Pemeriksa menempatkan kateter kecil di kelenjar
submandibular yang paralisis dan normal, kemudian penderita diminta menghisap
lemon dan aliran saliva dibandingkan antara kedua kelenjar. Sisi yang normal
menjadi kontrol.
 CT-Scan, MRI CT-Scan digunakan apabila paresis menjadi progesif dan tidak
berkurang. MRI digunakan untuk menyingkirkan kelainan lainnya yang
menyebabkan paralisis. MRI pada penderita Bell’s palsy menunjukkan
pembengkakan dan peningkatan yang merata dari saraf fasialis dan ganglion
genikulatum. MRI juga dapat menunjukkan adanya pembengkakan saraf facialis
akibat schwannoma, hemangioma. 5,6
 Elektromiografi (EMG) dan elektroneurografi (ENG) telah digunakan sebagai
pemeriksaan penunjang dalam diagnostik Bell’s palsy. Selain itu keduanya
memiliki nilai prognostik yang dapat digunakan untuk meramalkan keberhasilan
terapi. Hasil pemeriksaan EMG pada hari ke-15 memiliki positive-predictive-
value (PPV) 100% dan negative-predictive-value (NPV) 96%. Menurut panduan
yang dikeluarkan oleh American Academy of Otolaringology-Head and Neck
Surgery Foundation (AAO-HNSF) tahun 2013, penggunaan elektrodiagnostik
dapat dipertimbangkan pada Bell’s palsy dengan skala House-Brackmann 6
(complete paralysis). Pemeriksaan elektrodiagnostik/neurofisiologi pada Bell’s
palsy sudah dikenal sejak tahun 1970 sebagai prediktor kesembuhan, bahkan
dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan dekompresi
intrakanikular. 6
Diagnosis Banding

Diagnosis banding terhadap kelemahan/ kelumpuhan nervus fasialis dapat dibagi menurut
lokasi lesi sentral dan perifer. Penyebab yang terletak di lokasi perifer misalnya otitis media
supuratif dan mastoiditis, sindrom Ramsay-Hunt, sindrom Guillain-Barre, tumor sudut
serebelopontin dan tumor kelenjar parotis, gangguan metabolik seperti diabetes melitus, serta
penyakit Lyme. Penyebab yang lokasinya sentral antara lain stroke, sklerosis multipel, tumor
otak primer atau metastasis, infeksi HIV, fraktur basis kranii atau fraktur pada tulang temporal
pars petrosus karena trauma. Pada lesi sentral, terdapat kelemahan unilateral otot wajah bagian
bawah dan biasanya disertai hemiparese/hemiplegia kontralateral namun tanpa disertai gangguan
otonom seperti gangguan pengecapan atau salivasi, seperti yang terlihat pada stroke. Lesi perifer
memberikan gambaran berupa kelemahan wajah unilateral pada seluruh otot wajah baik atas
maupun bawah, seperti pada Bell’s palsy. 6

Gambar 8. Lesi nervus facialis tiper perifer dan sentral 6

Terapi

1. Non-Medikamentosa:
 Penggunaan selotip untuk menutup kelopak mata saat tidur dan eye patch untuk
mencegah pengeringan kornea.
 Fisikal terapi seperti facial massage dan latihan otot dapat mencegah terjadinya
kontraktur pada otot yang lemah. Pemberian suhu panas di area yang terpengaruh
dapat mengurangi nyeri. bertujuan untuk merangsang reseptor sensorik dan
jaringan subcutaneus pada kulit sehingga memberikan efek rileksasi dan dapat
mengurangi mengurangi rasa kaku pada wajah.5,6
 Infra Red yang dapat melancarkan aliran darah sehingga dapat mengurangi rasa
tebal di wajah, sedangkan pemberian stimulasi elektris bertujuan untuk
menstimulasi dan menimbulkan kontraksi otot wajah sehingga mampu
memfasilitasi gerakan dan meningkatkan kekuatan otot wajah.10,11

2. Medikamentosa
 Kortikostreoid Oral kortikosteroid sering diberikan untuk mencegah terjadinya
inflamasi saraf pada penderita dengan Bell’s palsy. Prednisone biasanya diberikan
dengan dosis 60-80 mg per hari selama 5 hari, dan di tappering off 5 hari
selanjutnya. Hal ini dapat memperpendek masa penyembuhan dan meningkatkan
hasil akhirnya.6
 Antivirus Dikarenakan adanya kemungkinan keterlibatan HSV-1 di Bell’s palsy,
maka telah diteliti pengaruh dari Valacyclovir (1000 mg per hari, diberikan antara
5-7 hari) dan Acyclovir (400 mg 5 kali sehari, diberikan 10 hari). Dari hasil
penelitian, penggunaan antivirus sendiri tidak memberikan keuntungan untuk
penyembuhan penyakit. Tetapi, penggunaan Valacyclovir dan prednisone,
memberikan hasil yang lebih baik, dibandingkan penggunaan prednisone sendiri,
terutama pada penderita dengan gejala klinis yang berat. 5,10
 Analgesik untuk meredakan nyeri, dan methylcellulose eye drops untuk mencegah
kekeringan pada kornea.6

Komplikasi

1. masalah dengan dysarthria karena kelemahan otot wajah.


2. Reduksi atau kehilangan sensasi rasa, disgeusia (gangguan pengecapan) atau augesia
(hilangnya pengecapan) dan disestesia (gangguan sensasi atau sensasi yang tidak sama
dengan stimulus normal)
3. kontraktur otot wajah
4. pemulihan tidak komplit
5. crocodile tears (air mata saat makan karena misdireksi serat saat regenerasi gustatory
yang seharusnya untuk kelenjar ludah, sehingga mereka menjadi serat sekresi ke kelenjar
lakrimal dan menyebabkan air mata ipsilateral keluar saat pasien sedang makan)
6. sintesis motorik (gerakan otot yang tidak disengaja terjadi pada saat yang sama dengan
gerakan yang disengaja, misalnya gerakan mulut yang tidak disengaja selama penutupan
mata sukarela).5,10

Prognosis

Prognosis umumnya baik. Tingkat keparahan kerusakan syaraf menentukan proses


penyembuhan. Perbaikannya bertahap dan durasi waktu yang dibutuhkan bervariasi. Dengan atau
tanpa pengobatan, sebagian besar individu membaik dalam waktu dua minggu setelah onset
gejala dan membaik secara penuh, fungsinya kembali normal dalam waktu 3-6 bulan. Tetapi
untuk beberapa penderita bisa lebih lama. Pada beberapa kasus, gangguan bisa muncul kembali
1
di tempat yang sama atau di sisi lain wajah. Pada beberapa kasus, pemulihan sempurna
membutuhkan waktu sembilan bulan tetapi sekitar 30% tidak mengalami pemulihan sempurna
atau mendapatkan komplikasi. Keterlambatan dalam diagnosis dan pengobatan maupun beratnya
reaksi inflamasi dan kompresi pada nervus fasialis mempengaruhi prognosis.6
Daftar Pustaka

1. Eviston TJ, Croxson GR ,Kennedy PGE, Hadlock T, Krishnan AV. Bell’s palsy:
aetiology, clinical features and multidisciplinary care. J Neurol Neurosurg Psychiatry,
2015;86:1356–1361.
2. Lumbantobing SM. Neurologi klinik pemeriksaan fisik dan mental. Jakarta : Badan
penerbit FKUI.2018. p. 55.
3. Baehr M, Frotscher M. diagnosis topik neurologi DUUS. 5 th ed. Jakarta : EGC. 2016. p.
95-138
4. Donald H. Gilden, M.D. Bell’s Palsy. Denver : The new england journal of medicine.
2004;351:1323-31.
5. Departemen Ilmu Penyakit Saraf FK UKI / RSU UKI. Bell’s palsy: Anatomi hingga
Tatalaksana. Jakarta: Majalah Kedokteran UKI. 2016; 32(1).p.49-57
6. Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah. Bell’s palsy.
Surabaya: Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.2019; 8(1) : 137-149.
7. Bahrudin M. Bell’s Palsy (BP). Malang : Jurnal ilmu Kesehatan dan kedokteran keluarga.
2011;7(2). p. 20-25.
8. Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Laki-laki 45 Tahun dengan Bells Palsy.
Lampung: jurnal kedokteran UNILA.2015; 4(2).1-4
9. Kumar M, Acharya S, Vineetha R, Pai KM. Bilateral Bell’s palsy in a young female: a
rare case report.Medicine and pharmacy Reports. 2021;94(1). P. 118 – 120.
10. Somasundara D, Sullivan F. Management of Bell’s palsy. Kanada  : Australian precaiber.
2017:40(3).94-97
11. Akademi Fisioterapi Widya Husada Semarang. Pengaruh Infra Red dan Elektrical
Stimulation serta Massage terhadap Kasus Bell’s Palsy. Semarang: Jurnal Fisioterapi dan
Rehabilitasi (JFR). 2017; Vol. 1(1).p.9-15.

Anda mungkin juga menyukai