Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motorik neuron (LMN)
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali dideskripsikan
pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell.
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun. 1
Prevalensi Bell’s Palsy di Indonesia, sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari
empat rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s Palsy sebesar 19.55% dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21-50 tahun, peluang untuk terjadinya
pada pria dan wanita sama. Tidak ditemukan perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita ditemukan adanya riwayat terkena udara
dingin atau angin berlebihan. Biasanya mengenai salah satu sisi saja (unilateral), jarang
bilateral dan dapat berulang.1
Tanda dan gejala yang dijumpai pada pasien Bell’s Palsy biasanya bila dahi di
kerutkan lipatan dahi hanya tampak pada sisi yang sehat saja, kelopak mata tidak dapat
menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat di saksikan.Salah satu
gejala Bell’s palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita berusaha
menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan. Gejala
ini disebut juga fenomena bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan
kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola
mata yang sehat (lagoftalmos). Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi
yang lumpuh tidak mengembung. Dalam menjungurkan bibir, gerakan bibir tersebut
menyimpang ke sisi yang tidak sehat serta air mata yang keluar secara berlebihan di sisi
kelumpuhan dan pengecapan pada dua per tiga lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.1

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Bell’s Palsy

Bell’s Palsy merupakan suatu gangguan neurologis perifer pada saraf kranial
ketujuh yang terjadi secara tiba-tiba dimana terjadi kelumpuhan unilateral pada otot
bawah atau atas dari satu sisi wajah tanpa adanya penyebab yang pasti dan sering
disebut dengan penyakit idiopatik yang dimana tanda dan gejala nya dapat terjadi secara
berbeda-beda.

2.2 Anatomi dan Fisiologi Wajah

a. Nervus Facialis
Saraf wajah manusia adalah saraf kranial ketujuh (CNVII) dan terdiri dari komponen
motorik, sensorik, dan parasimpatis. 2 . Adapun, saraf otak ke VII mengandung 4 macam
serabut, yaitu :4
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator
palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan
stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius
superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum,
rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual
dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua
pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa
raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus
trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang
menginervasi otot- otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa

2
serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa
rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan sensasi eksteroseptif dari
daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, dan
sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan
sensasi proprioseptif dari otot yang disarafinya. 4
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang
menghantar sensasi dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai
saraf intermedius atau pars intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di
ganglion genikulatum, pada lekukan saraf fasialis di kanal fasialis. Sensasi
pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui saraf lingual korda
timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan
berakhir pada akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V).
hubungan sentralnya identik dengan saraf trigeminus. 4
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI,
dan keluar di bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan
lateral pons, di antara nervus V dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus
intermedius dan nervus VIII memasuki meatus akustikus internus. Di sini nervus
fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas saraf yang
berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia
keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk
mensarafi otot- otot wajah.4

b. Nucleus fasialis

Nervus Facialis terdiri dari dua nucleus motoris di batang otak, yang terdiri
dari:3
1. Nucleus Motorik Superior yang bertugas menerima impuls dari gyrus
presentralis kortek serebri kedua belah sisi kanan-kiri dan mengirim
serabut-serabut saraf ke otot-otot mimik di dahi dan orbikularis occuli.

3
2. Nucleus Motoris Inferior yang bertugas menerima impuls hanya dari gyrus
presentralis dari sisi yang berlawanan dan mengirim serabut-serabut saraf
ke otot-otot mimik bagian bawah dan platisma (Chusid, 1983).
3. Serabut-serabut nervus facialis didalam batang otak berjalan melingkari
nucleus nervus abducens sehingga lesi di daerah ini juga diikuti dengan
kelumpuhan nervus abducens.
Setelah keluar dari batang otak, nervus facialisberjalan bersama nervus
intermedius yang bersifat sensoris dan sekretorik. Selanjutnya berjalan berdekatan
dengan nervus oktavus bersama-sama masuk ke dalam canalis austikus internus dan
berjalan ke arah lateral, masuk ke canalis falopii (pars petrosa). Kemudian nervus
facialis masuk ke dalam cavum timpani setelah membentuk ganglion genikulatum. Di
dalam cavum timpani nervus facialis membelok tajam ke arah posterior dan horizontal
(pars timpani). Saraf ini berjalan tepat di atas foramen ovale, kemudian membelok
tegak lurus ke bawah (genu eksternum) di dalam canalis falopii pars mastoidea. Bagian
saraf yang berada didalam canalis falopii pars timpani disebut nervus facialis pars
horizontalis, sedang yang berjalan didalam pars mastoidea disebut nervus facialis pars
vertikalis atau desenden. Saraf ini keluar dari tulang tengkorak melalui foramen
stylomastoideus.3 Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, syaraf ini bercabang-
cabang dan berjalan di antara lobus superfisialis dan profundus glandula parotis.
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke
auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi
kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke
kelenjar parotid.
Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes
anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical.
Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior d ari kelenjar parotid, dan
mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris,
m. buccinator dan m. Platysma.2
Dalam perjalanan nervus facialis memberikan cabang :3

4
1. Dari ganglion genikulatum mengirimkan serabut saraf melalui ganglion
sfenopalatinum sebagai saraf petrosus superfisialis mayor yang akan
menuju glandula lakrimalis.
2. Cabang lain dari ganglion genikulatum adalah saraf petrosus superficialis
minor yang melalui ganglion otikum membawa serabut sekreto-motorik ke
kelenjar parotis.
3. Dari nervus facialis pars vertikalis, memberikan cabang-cabang : (a) Saraf
stapedius yang mensarafi m.stapedius. Kelumpuhan saraf ini menyebabkan
hiperakusis. Dan, (b) Saraf korda timpani yang menuju ⅔ lidah bagian
depan dan berfungsi sensorik untuk perasaan lidah (rasa asam, asin dan
manis). Selain itu saraf korda timpani juga mempunyai serabut yang
bersifat sekreto-motorik yang menuju ke kelenjar liur submaksilaris dan
sublingualis

c. Otot-otot wajah

Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada


tabel dibawah ini: 3

Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya


No Nama Otot Fungsi Persarafan
1. M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
2. M.Corrugator Mendekatkan kedua pangkal N. Zigomatikum dan
supercili alis
N.Temporalis
3. M.Procerus Mengerutkan kulit antara N. Zigomatikum,
kedua alis N.Temporalis,

N. Buccal
4. M. Orbicularis Menutup kelopak mata N.Fasialis, N.Temporalis, N.
Oculli Zigomatikus
5. M. Nasalis Mengembang N. Fasialis

5
Kan cuping hidung
6. M. Depresor Menarik ujung mulut ke N. Fasialis
anguli oris bawah
7. M. Buccinator Meniup sambil menutup mulut N. Fasialis,

N. Zigomatikum,

N. Mandibular

N. Buccal
8. M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis dan
N. Buccal

d. Gambar Anatomi Persarafan Nervus Fasialis

Nervus Fasialis dan Muskulus di Fasialis

6
Persarafan Nervus Fasialis

Saraf Intermedius dan koneksinya

Saraf Fasialis Ekstrakranial

7
2.3 Epidemiologi Bell’s palsy

Prevalensi Bell’s Palsy dibeberapa negara cukup tinggi, di Inggris dan Amerika
berturut-turut 22,4 dan 22,8 penderita per 100.000 penduduk per tahun. Di Belanda 1
penderita per 5000 orang dewasa dan 1 penderita per 20.000 anak per tahun. Penelitian
epidemiologi melaporkan bahwa tiap tahun terdapat 11-40 orang per 100.000 menderita bell’s
palsy dengan insiden puncaknya pada usia 15 dan 50 tahun. 1 Bell’s Palsy dapat menyerang
pria dan wanita pada setiap usia dengan tingkat persentase morbiditas yang sama. 3

2.4 Etiologi Bell’s Palsy

Secara klinis Bell’s Palsy telah didefinisikan sebagai penyakit yang idiopatik
dan penyebab proses inflamasi kasus ini masih belum jelas. Beberapa teori diduga
sebagai penyebab dari Bell’s Palsy, antara lain:

1. Teori ischemia vaskuler Teori ini menjelaskan bahwa telah terjadi gangguan
sirkulasi darah ke saraf facialis. Kondisi lingkungan dingin, sering terkena angin
malam, terpapar kipas angin dan AC, diperkirakan membuat pembuluh darah ke
saraf facialis tersebut menyempit atau vasospasme, penyempitan itu
mengakibatkan iskemia atau berkurangnya suplay oksigen sengingga terjadilah
kelumpuhan.
2. Teori infeksi virus Teori infeksi virus lebih banyak dibahas sebagai etiologi
penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasikan genom virus herpes simpleks
(HSV) di ganglion genikulatum seorang pria lanjut usia yang meninggal enam
minggu setelah mengalami Bell’s Palsy.
3. Teori herediter Teori ini menjelaskan bahwa Bell’s Palsy bisa disebabkan oleh
keturunan, dimana kelainannya berupa kanalis facialis yang sempit dan sistem
enzim. Sehingga mengakibatkan berkurangnya supley oksigen dan terjadilah
kelumpuhan.
4. Teori imunologi Dikatakan bahwa Bell’s Palsy terjadi akibat reaksi imunologi
terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian
imunisasi.

8
2.5 Gejala Klinis Bell’s Palsy
Manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda tergantung lesi pada perjalanan saraf
fasialis. Bila lesi di foramen stylomastoideus, dapat terjadi gangguan komplit yang
menyebabkan paralisis semua ototekspresi wajah 4 .

Bell’s palsy memiliki ciri khas kelemahan wajah sesisi/unilateral yang terjadi tiba-tiba
dan cepat, sering dalam beberapa jam, Kelemahan wajah cenderung mencapai puncaknya dalam
waktu 72 jam.2 Pasien juga bisa mengeluhkan kelopak mata ipsilateral terjatuh/menutup,
ketidakmampuan menutup mata dengan sempurna, mata kering karena tidak bisa menutup mata
dengan sempurna, keluarnya air mata berlebihan (epifora), sudut mulut terjatuh,
gangguan/hilangnya sensasi perasa ipsilateral, kesulitan mengunyah disebabkan kelemahan otot
ipsilateral yang menyebabkan makanan terperangkap di mulut yang terkena, rasa tebal atau
kaku pada separuh wajah tanpa defisit sensoris yang obyektif serta beberapa
mengeluhkan nyeri yang ringan-moderat pada sudut rahang

2.6 Patofisiologi Bell’s Palsy


Saraf fasialis membawa sekitar 10.000 serabut saraf, dan 7.000 serabut
tersebut merupakan akson motorik yang bermielin yang mencapai otot- otot wajah.
Terdapat lima teori1 yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy, yaitu
iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al1 mengidentifikasi genom virus
herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia lanjut yang
meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy.

9
Menggunakan teknik reaksi rantai polimerase untuk mengamplifikasi sekuens
genom virus, dikenal sebagai HSV tipe 1 di dalam cairan endoneural sekeliling saraf
ketujuh pada 11 sampel dari 14 kasus Bell’s palsy yang dilakukan dekompresi
pembedahan pada kasus yang berat. Murakami et al1 menginokulasi HSV dalam telinga
dan lidah tikus yang menyebabkan paralisis pada wajah tikus tersebut. Antigen virus
tersebut kemudian ditemukan pada saraf fasialis dan ganglion genikulatum. Dengan
adanya temuan ini, istilah paralisis fasialis herpes simpleks atau herpetika dapat
diadopsi.1
Skema Patofisiologi Bell’s Palsy
Berdasarkan Etiologi

Etiologi

Ketidakstabilan otonom
↓ Sistem Imun Suhu
dingin

Respon Simpatis ↑ Infeksi / Reaktivasi infeksi


Cth : HSV Iritasi N.VII

Inflamasi dan Edema


N.VII

N.VII terjepit

Iskemia N.VII

Paralisis N.VII

10
2.7 Diagnosis Bell’s Palsy

Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fisik serta jika perlu
dilakukan pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan Fisik

Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang


lengkap untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan
kemungkinan penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah
pemeriksaan gerakan dan ekspresi wajah.1 Pemeriksaan ini akan menemukan
kelemahan pada seluruh wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta
menutup mata dan mata pasien pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak
dapat dikerutkan. Fisura palpebral tidak ditutup dan pada usaha untuk memejam
mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucurkan dan platisma tidak bisa digerakkan.5
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :1
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
3. Mengembangkan cuping hidung
4. Tersenyum
5. Bersiul
6. Mengencangkan kedua bibir

BAGIAN MUSCULUS FUNGSI


MUKA
Dahi Occipitofriontalis Mengangkat alis, mengerutkan
dahi.
Mata Orbicularis Oculi Menutup mata atau memejam.
Hidung Procerus Angkat tepi lateral cuping
hidung,

11
terbentuk kerutan diagonal
sepanjang
pangkal hidung.
Hidung Nasalis Melebarkan/ mengembangkan
cuping
hidung diikuti dengan
kompresi.
Pipi Zygomaticus Mayor Gerakan tersenyum.

Pipi Buccinator Gerakan meniup dengan kedua


bibir
dirapatkan
Bibir Orbicularis Oris Dekatkan dan tekan kedua
bibir atas.
Bibir Depressor Anguli Menarik ujung mulut ke bawah
Oris dengan
kuat, tampak pula kontraksi
Musculus
Platysma terutama di daerah
leher
Dagu Mentalis Gerakan tarik ke atas ujung
dagu dan tekan.
Leher Platysma Menarik ujung mulut ke bawah
dengan
kuat.

b. Pemeriksaan penunjang

Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang


perlu dilakukan untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf
kranialis. Pemeriksaan radiologis dengan CT-scan atau radiografi polos dapat
dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis tulang, dan keterlibatan

12
sistem saraf pusat (SSP). Pemeriksaan MRI dilakukan pada pasien yang
dicurigai neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis, atau untuk
mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi
perjalanan dan penyengatan kontras saraf fasialis.

2.8 Diagnosis Banding Bell’s Palsy

Diagnosis banding paralisis fasialis dapat dibagi menurut lokasi lesi sentral dan
perifer. Kelainan sentral dapat merupakan stroke bila disertai kelemahan anggota
gerak sisi yang sama dan ditemukan proses patologis di hemisfer serebri
kontralateral; kelainan tumor apabila onset gradual dan disertai perubahan mental
status atau riwayat kanker di bagian tubuh lainnya; sklerosis multipel bila disertai
kelainan neurologis lain seperti hemiparesis atau neuritis optika; dan trauma bila
terdapat fraktur os temporalis pars petrosus, basis kranii, atau terdapat riwayat
trauma sebelumnya.5
Kelainan perifer yang ditemukan dapat merupakan suatu otitis media supuratif
dan mastoiditis apabila terjadi reaksi radang dalam kavum timpani dan foto mastoid
menunjukkan suatu gambaran infeksi; herpes zoster otikus bila ditemukan adanya
tuli perseptif, tampak vesikel yang terasa amat nyeri di pinna dan/atau pemeriksaan
darah menunjukkan kenaikan titer antibodi virus varicella-zoster; sindroma
Guillain-Barre saat ditemukan adanya paresis bilateral dan akut; kelainan miastenia
gravis jika terdapat tanda patognomonik berupa gangguan gerak mata kompleks
dan kelemahan otot orbikularis okuli bilateral; tumor serebello-pontin (tersering)
apabila disertai kelainan nervus kranialis V dan VIII; tumor kelenjar parotis bila
ditemukan massa di wajah (angulus mandibula); dan sarcoidosis saat ditemukan
tanda-tanda febris, perembesan kelenjar limfe hilus, uveitis, parotitis, eritema
nodosa, dan kadang hiperkalsemia.1

2.9 Pentalaksanaan Bell’s Palsy

Peran dokter umum sebagai lini terdepan pelayanan primer berupa identifikasi
dini dan merujuk ke spesialis saraf (jika tersedia) apabila terdapat kelainan lain

13
pada pemeriksaan neurologis yang mengarah pada penyakit yang menjadi diagnosis
banding Bell’s palsy. Jika tidak tersedia, dokter umum dapat menentukan terapi
selanjutnya setelah menyingkirkan diagnosis banding lain. Terapi yang diberikan
dokter umum dapat berupa kombinasi non-farmakologis dan farmakologis seperti
dijelaskan di bawah ini.1

a. Terapi Farmakologis

Inflamasi dan edema saraf fasialis merupakan penyebab paling mungkin


dalam patogenesis Bell’s palsy. Penggunaan steroid dapat mengurangi
kemungkinan paralisis permanen dari pembengkakan pada saraf di kanalis
fasialis yang sempit. Steroid, terutama prednisolon yang dimulai dalam 72 jam
dari onset, harus dipertimbangkan untuk optimalisasi hasil pengobatan. Dosis
pemberian prednison (maksimal 40- 60 mg/hari) dan prednisolon (maksimal 70
mg) adalah 1 mg per kg per hari peroral selama enam hari diikuti empat hari
tappering off.6
Efek toksik dan hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan steroid jangka
panjang (lebih dari 2 minggu) berupa retensi cairan, hipertensi, diabetes, ulkus
peptikum, osteoporosis, supresi kekebalan tubuh (rentan terhadap infeksi), dan
Cushing syndrome.1
Ditemukannya genom virus di sekitar saraf ketujuh menyebabkan preparat
antivirus digunakan dalam penanganan Bell’s palsy. Namun, beberapa
percobaan kecil menunjukkan bahwa penggunaan asiklovir tunggal tidak lebih
efektif dibandingkan kortikosteroid 7 .
Terapi dengan valasiklovir dan prednison memiliki hasil yang lebih baik ,
kombinasi antivirus dan kortikosteroid berhubungan dengan penurunan risiko
batas signifikan yang lebih besar dibandingkan kortikosteroid saja. Data-data ini
mendukung kombinasi terapi antiviral dan steroid pada 48-72 jam pertama
setelah onset.
Dosis pemberian asiklovir untuk usia >2 tahun adalah 80 mg per kg per hari
melalui oral dibagi dalam empat kali pemberian selama 10 hari. Sementara
untuk dewasa diberikan dengan dosis oral 2 000-4 000 mg per hari yang dibagi

14
dalam lima kali pemberian selama 7-10 hari. Sedangkan dosis pemberian
valasiklovir (kadar dalam darah 3-5 kali lebih tinggi) untuk dewasa adalah
1.000-3.000nmg per hari secara oral dibagi 2-3 kali selama lima hari. Efek
samping jarang ditemukan pada penggunaan preparatn antivirus, namun kadang
dapat ditemukan keluhan berupa adalah mual, diare, dan sakit kepala.1

b. Terapi Non Farmakologi


Selain pemberian obat-obatan beberapa jurnal juga menyebutkan bahwa kombinasi
fisioterapi setelah kelumpuhan wajah idiopatik yang berkepanjangan telah terbukti
memberikan manfaat yang signifikan.8
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,
meditasirelaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori
terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.1 Kategori inisiasi ditujukan pada pasien
dengan asimetri wajah sedang-berat saat istirahat dan tidak dapat memulai
gerakan pada sisi yang lumpuh. Strategi yang digunakan berupa masase
superfisial disertai latihan gerak yang dibantu secara aktif sebanyak 10 kali yang
dilakukan 1-2 set per hari dan menghindari gerakan wajah berlebih.1 Sementara
itu, kategori fasilitasi ditujukan pada pasien dengan asimetri wajah ringan-
sedang saat istirahat, mampu menginisiasi sedikit gerakan dan tidak terdapat
sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak otot wajah
yang lebih agresif dan reedukasi neuromuskular di depan kaca (feedback visual)
dengan melakukan gerakan ekspresi wajah yang lambat, terkontrol, dan bertahap
untuk membentuk gerakan wajah yang simetris. Latihan ini dilakukan sebanyak
minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.5
Kategori terakhir adalah relaksasi yang ditujukan pada pasien dengan
kekencangan seluruh wajah yang parah karena sinkinesis dan hipertonisitas.
Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan lunak dalam otot wajah
dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan kaca, dan fokus pada strategi
meditasi-relaksasi yaitu meditasi dengan gambar visual atau audio difokuskan
untuk melepaskan ketegangan pada otot yang sinkinesis. Latihan ini cukup
dilakukan 1-2 kali per hari.

15
Bila setelah menjalani 16 minggu latihan otot tidak mengalami perbaikan,
pasien dengan asimetri dan sinkinesis perlu dipertimbangkan untuk menjalani
kemodenervasi untuk memperbaiki kualitas hidupnya, baik gerakan, fungsi
sosial, dan ekspresi emosi wajah. Pada keadaan demikian perlu dikonsultasikan
ke bagian kulit atau bedah plastik.5 Konsultasi ke bagian lain, seperti Telinga
Hidung Tenggorok dan kardiologi perlu dipertimbangkan apabila terdapat
kelainan pemeriksaan aufoskop atau pembengkakan glandula parotis dan
hipertensi secara berurutan pada pasien.5

2.10 Komplikasi Bell’s Palsy

Sekitar 5% pasien setelah menderita Bell’s palsy mengalami sekuele berat yang
tidak dapat diterima. Beberapa komplikasi yang sering terjadi akibat Bell’s palsy,
adalah1 :
1. Regenerasi motor inkomplit yaitu regenerasi suboptimal yang menyebabkan
paresis seluruh atau beberapa muskulus fasialis.4
2. Regenerasi sensorik inkomplit yang menyebabkan disgeusia (gangguan
pengecapan), ageusia (hilang pengecapan), dan disestesia (gangguan sensasi
atau sensasi yang tidak sama dengan stimuli normal), dan
3. Reinervasi yang salah dari saraf fasialis.5

2.11 Prognosis Bell’s Palsy

Perjalanan alamiah Bell’s palsy bervariasi dari perbaikan komplit dini sampai
cedera saraf substansial dengan sekuele permanen. Sekitar 80-90% pasien dengan Bell’s
palsy sembuh total dalam 6 bulan, bahkan pada 50-60% kasus membaik dalam 3
minggu. Sekitar 10% mengalami asimetri muskulus fasialis persisten, dan 5%
mengalami sekuele yang berat, serta 8% kasus dapat rekuren.1 namun, menurut
penelitian kasus ini juga dapat berulang dengan Prevalensi perulangan berkisar antara 0,8%
hingga 19,4% 9 .

Faktor yang dapat mengarah ke prognosis buruk adalah palsi komplit (risiko
sekuele berat), riwayat rekurensi, diabetes, adanya nyeri hebat post-aurikular, gangguan

16
pengecapan, refleks stapedius, wanita hamil dengan Bell’s palsy, bukti denervasi mulai
setelah 10 hari (penyembuhan lambat), dan kasus dengan penyengatan kontras yang
jelas.1 Faktor yang dapat mendukung ke prognosis baik adalah paralisis parsial
inkomplit pada fase akut (penyembuhan total), pemberian kortikosteroid dini,
penyembuhan awal atau perbaikan fungsi pengecapan dalam minggu pertama.4

17
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s Palsy merupakan suatu gangguan neurologis perifer pada saraf kranial
ketujuh yang terjadi secara tiba-tiba dimana terjadi kelumpuhan unilateral pada otot
bawah atau atas dari satu sisi wajah tanpa adanya penyebab yang pasti dan sering
disebut dengan penyakit idiopatik yang dimana tanda dan gejala nya dapat terjadi secara
berbeda-beda.
Gejala klinis berupa : gangguan kelumpuhan pada separuh wajah seperti halnya
separuh mulut, alis dan kelopak mata susah digerakkan ke atas pada sisi yang sakit,
terasa nyeri pada rahang dari ringan – moderate, terkadang adanya ganggu hiperakusis,
dan gangguan pengecapan.
Penatalaksanaan pada pasien Bell’s palsy dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
Terapi farmakologis dan non farmakologis.

18

Anda mungkin juga menyukai