Anda di halaman 1dari 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1: Nervus Fascialis

Nervus fasialis (N. VII) sebenarnya terdiri dari serabut motorik, tetapi dalam
perjalanannya ke tepi nervus intermedius bergabung. Nervus intermedius tersusun oleh
serabut sekretomorik untuk glandula salivatorius dan serabut yang menghantarkan
impuls pengecap dari 2/3 bagian daerah lidah.
Nervus fasialis mempunyai empat buah inti yaitu : (1) Nukleus fasialis untuk
saraf somatomotoris, (2) nukleus salivatorius superior untuk saraf viseromotoris, (3)
nukleus solitarius untuk saraf viserosensori, dan (4) nukleus sensoris trigeminus untuk
saraf somatosensori

1. Nukleus fasialis untuk saraf somatomotoris


Komponen somatomotoris (branchial motor) merupakan bagian paling besar dari
nervus fasialis. Memberikan kontrol persarafan untuk otot-otot ekspresi dari wajah
(bucinator, oksipital, dan otot platisma) berjalan kearah posterior mempersarafi otot
digastrikus, stilohoid dan stapedius.

4
Branchial motor yang merupakan dari nukleus nervus fasialis berada di kaudal
dari pons. Serabut ini akan meninggalkan nekleus motorik dari nervus fasialis dan
mulai berjalan ke medial dan dorsal mengelilingi nukleus abdusen secara ipsilateral
menghasilkan tonjolan kecil pada lantai dari ventrikel 4. Serat ini kemudian akan
berjalan keluar melalui ventrolateral menuju batang otak dibagian bawah dari kaudal
pons bersama nervus intermedius yang merupakan bagian dari nervus fasialis.
Komponen dari nervus fasialis ini akan memasuki meatus akustikus interna
bersama nervus VIII (nervus vestibulokhoklearis). Serabut nervus fasialis ini akan
berakhir di kanal petrous portion pada tulang temporal. Serabut saraf ini akan berjalan
diatas vestibulum dari telinga dalam menuju koklea posterior. Serabut nervus fasialis
ini akan melalui kanalis fasialis di dalam petrous portion dari tulang temporal. Bagian
ini akan berada di atap dari vestibulum pada telinga dalam, pada bagian posterior ke
koklea
Pada ganglion genikulatum branchial motor akan mengambil dua jalan yang
berbeda, serabut baranchial motor yang melalui ganglion genikulatum ini akan turun
90o ke posterior dan lateral sebelum membelok ke inferior bagian medial dari telinga
tengah untuk keluar melalui foramen stilomastoideus. Sedangkan saraf fasialis yang
mensarafi muskulus stapedius akan berada dalam kanalis fasialis yang menuju petrous
portion pada tulang temporal.
Diluar kranium nervus fasialis ke posterior membentuk nervus aurikuler
posterior, nervus ini menuju digastrik venter posterior dan nervus ke otot stilohioid
yang berakhir nervus fasialis keluar dari foramen stilomastoideus, sebagian serabut lagi
akan masuk ke glandula parotis dan bercabang kearah temporal, zigomatikus, buccal,
mandibular dan cabang cervical yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah seperti otot
stilohioid, bucinator, digastrikus venter posterior dan stapedius di telinga tengah.
Pengontrolan volunter dari otot ekspresi wajah berawal di motor korteks dan
melalui traktus kortikobulbaris di cabang posterior dari kapsula interna menuju saraf
kranialis VII. Serabut saraf ini berjalan ipsilateral dan kontralateral sampai kaudal dari
pons.

5
Gambar 2.2 Komponen somatomotoris mempersarafi otot-otot ekspresi wajah

Otot dahi menerima persarafan dari traktus kortikobulbar secara kontralateral dan
ipsilateral, ini penting untuk membedakan antara lesi dari persarafan Upper Motor
Neuron (UMN) dan Lower Motor Neuron.
a. Korelasi klinis Lower Motor Neuron
Jika terjadi lesi di LMN akan menghasilkan paralisis dari semua otot
ekspresi wajah (termasuk dahi) lesi disini bersifat ipsilateral. Lesi ipsilateral ini
dapat terjadi pada atau setelah foramen stilomastoideus umumnya disebut sebagai
Bell’s Palsy. Kriteria dari lesi LMN atau bells palsy dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Wajah asimetris
2) Atrofi dari otot wajah
3) Alis mata turun
4) Mendatarnya garis dahi dan lipatan nasolabial
5) Turunnya sudut bibir
6) Tidak terkontrolnya air mata
7) Hilangnya reaksi serabut efferent pada refleks konjungtiva (tidak bisa menutup
mata)
8) Bibir tidak dapat dirapatkan atau ditarik bersamaan (seperti bersiul atau
mencucurkan mulut)
9) Kesulitan mempertahankan makanan yangg sedang dikunyah dalam mulut pada
sisi yang terkena

6
Lesi LMN di N.VII berhubungan dengan gangguan N.VIII
(n.vestibulokhoklearis) jenis lesi ini biasa berada di meatus akustikus internal,
contoh: neuroma akustikus.
b. Korelasi klinis Upper Motor Neuron
Lesi yang menghasilkan kerusakan sel korteks atau akson akan diproyeksikan
malalui traktus kortikobulbar dibawa keposterior dari kapsula interna ke motor
neuron N.VII. Jika lesi UMN, kontrol otot volunter dari otot ekspresi wajah bawah
pada sisi kontralateral akan hilang. Sedangkan dahi yang mendapat persarafan
bilateral akan tetap mendapat persarafan dari sisi yang disaebalahnya sehingga
masih bisa menunjukkan ekspresi pada wajah. UMN biasanya pada stroke. Ini
berada dengan otot-otot dibawahnya yang hanya menerima persarafan unilateral
secara kontralateral. Kriteria dari lesi UMN N.VII dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Wajah asimetris
b) Atrofi dari otot wajah bagian wajah pada sisi yang terkena
c) Alis mata tidak layu
d) Mampu mengkerutkan dahi
e) Pendataran lipatan nasolabial pada sisi yang terkena
f) Hilangnya reaksi serabut efferent pada refleks konjungtiva (tidak bisa menutup
mata)
g) Bibir tidak dapat dirapatkan atau ditarik bersamaan (seperti bersiul atau
mencucurkan mulut)
h) Kesulitan mempertahankan makanan yangg sedang dikunyah dalam mulut pada
sisi yang terkena

Gambar 2.3 Perbandingan penampilan klinis pasien dengan UMN (a) dan LMN (b)

7
2. Nukleus salivatorius superior untuk saraf Viseromotoris
Merupakan komponen parasimpatik dari N.VII, terdiri dari serabut yang
menstimulasi sekresi submandibula, sublingual dan glandula lakrimalis,juga membran
mukosa dari nasopharing, palatum mole dan durum.
Komponen viseromotoris ini berasal dari kaudal pons yang berada di bawah dari
nucleus fasialis yang dikenal sebagai nukleus salivatori superior. Serabutnya keluar ke
ventrolateral dari batang otak di tepi kaudal dari pons dan menjadi bagian dari nervus
intermedius. Serabut ini tidak mengelilingi nukleus abdusen. Nervus intermedius ini
keluar dari batang otak menuju bagian lateral dari komponen branchial motor.
Dari ventrolateral berjalan kepinggir kaudal dari pons, semua komponen N.VII
masuk ke meatus akustikus interna bersama N.VIII (nervus vestibulokhoklearis). Di
dalam kanal fasialis serat viseral motor akan terbagi menjadi dua yaitu lebih besar
disebut nervus petrosa dan korda timpani. Nervus petrosa akan mensarafi daerah
lakrimalis, nasal dan glandula palatina. Sedangkan korda timpani mensarafi glandula
submandibularis dan sublingualis.
Pada ganglion genilulatum bagian besar dari nervus petrosa akan berjalan ke
anterior dan medial keluar melalui tulang temporal melalui foramen petrosa dan masuk
ke bagian pertengahan fosa kranialis. Nervus petrosa yang besar ini akan melalui
bagian dalam ganglion trigeminal untuk masuk ke foramen laseratum. Nervus ini akan
melewati foramen dan memasuki kanal di dasar medial dari pterigoideum dan
berhubungan dengan serabut simpatik (masuk ke nervus petrosa) bercabangan dari
fleksus mengikuti arteri karotis internal. Serabut simpatis dan parasimpatis bersama-
sama melapisi nervus kanal pterigoid.
Setelah keluar dari kanal pterigoid, preganglion serabut parasimpatik N.VII akan
bersinap di ganglion pterigopalatina yang menjadi tempat menggantung serabut
trigeminal cabang maksilaris di pterigopalatina fossa.Post ganglion serabut
parasimpatis cabang V2 menuju glandula lakrimalis (melalui nervus lakrimalis) dan
mukosa membrane dari nasal dan oral pharing.

8
Gambar 2.4 Perjalanan nukleus salivatorius

3. Nukleus solitarius untuk saraf Viserosensoris

Gambar 2.5 Perjalanan nukleus solitarius

4. Nukleus sensoris trigeminus untuk saraf somatosensoris


Serabut somato sensorik rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba)
dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang disarafi oleh nervus trigeminus. Daerah
overlapping (disarafi oleh lebih dari satu saraf/tumpang tindih) ini terdapat di lidah,
palatum, meatus akustikus eksterna dan bagian luar gendang telinga.

5. Otot-otot wajah
Otot-otot pada wajah berserta fungsinya masing-masing dapat dilihat pada tabel
dibawah ini :

9
Tabel 2.1
Otot-Otot Wajah Beserta Fungsinya
No Nama Otot Fungsi Persarafan
1 M.Frontalis Mengangkat alis N. Temporalis
2 M.Corrugator Mendekatkan kedua N.
supercili pangkal alis ZigomatikumN.Tempor
alis
3 M.Procerus Mengerutkan kulit antara N.Zigomatikum,
kedua alis N.Temporalis,
N. Buccal
4 M. Orbicularis Menutup kelopak mata N.Fasialis
Oculli N.Temporalis
N. Zigomatikus
5 M. Nasalis Mengembangkan cuping N. Fasialis
hidung
6 M. Depresor anguli Menarik ujung mulut ke N. Fasialis
oris bawah
7 M. Zigomaticum Tersenyum N. Fasialis
mayor
M. Zigomatikum
minor
8 M. Orbicularis oris Bersiul N. Fasialis
N. Zigomatikum
9 M. Buccinator Meniup sambil menutup N. Fasialis
mulut N. Zigomatikum
N. Mandibular
N. Buccal
10 M. Mentalis Mengangkat dagu N. Fasialis
N. Buccal
11 M. Platysma Meregangkan kulit leher N. Fasialis

10
B. Etiologi

Ada teori yang diajukan sebagai penyebab Bell's Palsy (Lowis, 2010) yaitu :
1. Teori Ishemic Vaskuler
Menurut teori ini, terjadinya gangguan sirkulasi darah di kanalis falopii, secara tidak
langsung menimbulkan paralisis pada nervus facialis.Kerusakan yang ditimbulkan
berasal dari tekanan saraf perifer terutama berhubungan dengan oklusi dari pembuluh
darah yang mengaliri saraf tersebut, bukan akibat dari tekanan langsung pada
sarafnya. Kemungkinan terdapat respon simpatis yang berlebihan sehingga terjadi
spasme arterioral atau statis vena pada bagian bawah dari canalis fasialis, sehingga
menimbulkan oedema sekunder yang selanjutnya menambah kompresi terhadap
suplai darah, menambah iskemia dan menjadikan parese nervus facialis (Esslen,
1970).
2. Teori Virus Herpes Zoster
Salah satu penyebab munculnya Bell’s Palsy adalah karena adanya infeksi virus
herpes zoster. Herpes zoster hidup didalam jaringan saraf. Apabila radang herpes
zoster ini menyerang ganglion genikulatum, maka dapat melibatkan paralisis pada
otot-otot wajah sesuai area persarafannya. Jenis herpes zoster yang menyebabkan
kelemahan pada otot-otot wajah ini sering dikenal dengan Sindroma Ramsay-Hunt
atau Bell’s Palsy (Duus Peter, 1996).
3. Teori Herediter
Teori herediter mengemukakan bahwa Bell’s Palsy yang disebabkan karena faktor
herediter berhubungan dengan kelainan anatomis pada canalis facialis yang bersifat
menurun (Hamid, 1991).
4. Teori Imunologi
Dikatakan bahwa Bell's palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus
yang timbul sebelum dan sesudahnya imunisasi (Soedomo, 1996)

Adapun faktor resiko yang dapat menyebabkan terjadinya bells palsy yaitu: (1)
paparan dingin (kehujanan, udara malam, AC), (2) infeksi, terutama virus (HSV tipe 1),
(3) penyakit autoimun, (4) diabetes mellitus, (5) hipertensi, (6) kehamilan (IDI, 2014).

11
C. Patofisiologi

Pada Bell’s Palsy, kompresi dapat terjadi tiba-tiba atau lambat progresif dalam 5-
10 hari. Diawali dengan penggembungan aksoplasma, kompresi pada aliran vena dan
selanjutnya terjadi kompresi saraf dan kehilangan akson-akson dan dengan cepat terjadi
kehilangan endoneural tube sehingga impuls terhambat dan otot-otot wajah yang disarafi
mengalami kelemahan atau kelumpuhan (May, 2000).
Trauma ringan menyebabkan neuropraksia. Saraf tidak mengalami kerusakan
namun konduksi impuls berkurang. Prognosisnya bagus. Trauma moderat dapat
menyebabkan aliran aksoplasma terhambat dan aksonotmesis. Degenerasi Wallerian
terjadi setelah 2-3 minggu. Pemulihan total biasanya terjadi selama 2 bulan. Trauma
yang parah disebut neurotmesis. Degenerasi Wallerian muncul setelah 3-5 hari.
Regenerasi akson namun ‘salah sambung’ dapat terjadi sehingga masa pemulihan
menjadi lebih lama dan dapat menimbulkan sinkinesis (Hain, 2015)
Proses akhir yang dianggap bertanggung jawab atas gejala klinik Bell's palsy
adalah proses oedema yang selanjutnya mengakibatkan kompresi saraf facialis. Kelainan
patologi yang ditemukan pada bell's palsy gambarannya sama dengan yang terjadi pada
Sindroma Guilain Barre yaitu adanya proses demienlinisasi (Jimmi Sabirin, 1990)
Hingga saat ini masih terjadi kontroversi mengenai patogenesis Bell's palsy. Oleh
George A Gates (1982), membagi patogenesis bell's palsy menjadi tiga tipe yaitu: (1) Tipe
1, terjadi kelumpuhan ringan dan sebagian mengalami kelumpuhan komplit, blok konduksi
saraf yang reversible (neuropraxia) adalah akibat dari kompresi yang mendadak oleh
karena oedema di sekitar saraf dan disebabkan oleh adanya spasme pembuluh darah,
namun teori ini belum dibuktikan, (2) Tipe 2, ditandai dngan timbulnya sinkenesis dan
gejala sisa yang lain, yang mungkin diakibatkan oleh degenerasi saraf, sinkenesis ini
terjadi karena impuls dari suatu akson dapat menyebar ke akson yang berdekatan dan
mengakibatkan kontraksi otot-otot lain juga; (3) Tipe 3, dimulai dengan degenerasi
wallerian yang terjadi akibat cidera akason dari segmen labirintin dan virus varisella
zooster dalam ganglion genikulatum dan berakibat sensoris 2/3 lidah terganggu,
selanjutnya dapat menyebar ke korda timpani, saraf akustik dan vestibular, dan
mengakibatkan hambatan penghantar akson, dan terjadilah paralysis (Widowati,1993).

12
Gambar 2.6: Kompresi Saraf Fascialis

D. Tanda dan Gejala

Gejala dapat berupa kelumpuhan otot-otot wajah pada satu sisi yang terjadi secara
tiba-tiba beberapa jam sampai beberapa hari (maksimal 7 hari). Pasien juga mengeluhkan
nyeri di sekitar telinga, rasa bengkak atau kaku pada wajah walaupun tidak ada gangguan
sensorik. Kadang- kadang diikuti oleh hiperakusis, berkurangnya produksi air mata,
hipersalivasi dan berubahnya pengecapan. Bells palsy dapat terjadi secara parsial atau
komplit. Kelumpuhan parsial dalam 1–7 hari dapat berubah menjadi kelumpuhan
komplit. Dalam mendiagnosis bells palsy, harus dibedakan kelumpuhan sentral atau
perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada bagian bawah wajah saja, otot dahi masih
dapat berkontraksi karena otot dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral
sedangkan kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah. Tanda dan gejala klinis pada
Bell’s Palsy menurut (Chusid ,1983) adalah:
1. Lesi diluar foramen stilomastoideus
Muncul tanda dan gejala sebagai berikut, mulut turun dan mencong kesisi yang lain,
makanan terkumpul di antara gigi dan gusi, sensasi dalam pada wajah  menghilang.
Pasien bell’s palsy tidak dapat bersiul, mengedip atau memejamkan mata, dan
mengerutkan dahi, reaksi degenerasi timbul daam waktu 10-14 hari dan tergantung luas
keruskan.

13
2. Lesi di canalis facialis dan mengenai nervus korda timpani
Tanda dan gejala sama seperti penjelasan pada poin diatas, ditambah dengan
hilangnya ketajaman pengecapan lidah ⅔ bagian anterior dan salivasi di sisi lesi
berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnnya nervus
intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengannervus facialis di canalis facialis.
3. Lesi pada canalis facialis dan mengenai muskulus stapedius
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada kedua poin diatas, ditambah dengan adanya
hiperakusis (pendengaran yang sangat tajam).
4. Lesi yang mengenai ganglion genikuli
Tanda dan gejala seperti penjelasan pada ketiga poin diatas, disertai dengan nyeri
dibelakang dan didalam liang telinga dan dibelakang telinga.
5. Lesi di meatus akustikus internus
Tanda dan Gejala sama seperti  kerusakan pada ganglion genikuli, hanya saja
disertai dengan timbulnya tuli sebagai akibat terlibatnya nervus vestibulocochlearis.
6. Lesi di tempat keluarnya nervus facialis dari pons
Tanda dan gejala sama seperti di atas disertai tanda dan gejala terlibatnya nervus
trigeminus, nervus abducens, nervus vestibulococlearis, nervus accessorius dan nervus
hypoglossus.
Dari tanda dan gejala diatas terdapat pula komplikasi yang umum terjadi pada
Bell’s palsy, antara lain:
a. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul karena
konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang lumpuh, sehingga
mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya (Sidharta, 2008).
b. Kontraktur otot wajah
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis lebih
jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat (Lumbantobing, 2012).
c. Synkenesis (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau
tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka
otot obicularis orispun ikut berkontraksi dan sudut mulut terangkat. Bila disuruh
mengembungkan pipi, kelopak mata ikut merapat (Lumbantobing, 2012).

14
d. Spasme spontan
Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak terkendali. Hal ini
disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic fasialis merupakan gejala sisa dari
bell’s palsy (Lumbantobing, 2012)

E. Diagnosis

Anamnesia yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti sangat penting dalam
penilaian penderita bell's palsy.
1. Anamnesia
Biasanya penderita mengeluh terjadi kelumpuhan otot wajah (misalnya,
mulut mencong ke satu sisi, dahi tidak dapat dikerutkan, tidak dapat menutup mata
dengan rapat) yang terjadi secara mendadak juga sebelumnya tidak ada riwayat
trauma atau infeksi. Pasien merasakan separuh wajah sisi kirinya terasa tebal serta sulit
untuk digerakkan dan pasien merasa bibir mencong kekanan (tertarik ke kanan). Rata-
rata pasien menyadari bahwa wajahnya mengalami bell’s palsy setelah bangun tidur ,
saat berkumur air selalu saja bocor disebelah kiri, saat makan juga makanan terkumpul di
sebelah kiri, lidah tidak bisa merasakan rasa asin, asam, manis maupun pahit.
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menentukan adanya lesi nervus VII, maka secara sederhana dapat
dikerjakan dengan memeriksa fungsi dari cabang-cabang nervus VII. Pemeriksaan
fungsi sensorik yaitu rasa manis diperiksa pada ujung lidah, asin dan asam pada
pinggir lidah dan paling akhir rasa pahit di bagian belakang lidah. Pemeriksaan
fungsi motorik dengan meminta pasien untuk berekspresi pada wajah seperti
mengangkat alis, kerutkan dahi, tersenyum, menutup mata dan mencucu.
3. Pemeriksaan Gerak
Pemeriksaan gerak sendiri meliputi pemeriksaan gerak aktif, pasif, isometrik
melawan tahanan.  Pada pemeriksaan gerak aktif yang diperiksa adalah sisi yang lemah,
meliputi kemampuan mengerutkan dahi, bersiul, tersenyum dan menutup mata. Pada
pemeriksaan gerak pasif yang diperiksa adalah sisi wajah yang lemah , pemeriksaan
gerak pasif yang dilakukan oleh terapis dengan sisi yang lemah, gerakan mengerutkan
dahi, mendekatkan kedua alis, mencucu,bersiul, menutup mata, mengkerutkan hidung ke
atas, dan tersenyum, bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya kontraktur otot. Hasil

15
yang didapat adalah semua gerakan otot wajah masih dapat dilakukan karena masih ada
elastisitas otot.

Tabel 2.2: Otot-otot wajah yang diperiksa


No. Nama Otot Gerakan
Penderita diminta mengerutkan dahi dan
1 M. Frontalis
mengangkat alis

2 M.Corugator supercilli Penderita diminta menggerakkan alis ke medial

Penderita diminta melebarkan cuping hidung


3 M. Nasalis diikuti dengan gerakan kompresi transversal
dari hidung
Penderita diminta mendekatkan dan
4 M. Orbikularis oris
menekankan kedua bibir
5 M. Orbikularis okuli Penderita diminta menutup mata
6 M. Zigomatikus Penderita diminta tersenyum
7 M. Risorus Penderita disuruh menyeringai atau meringis
8 M. Bucinator Penderita diminta meniup
M. Mentalis Penderita diminta menggerakkan atau menarik
9
ujung dagu keatas

Untuk menilai kekuatan otot fasialis yang mengalami paralisis digunakan


skala Daniel andWorthinghom’s Manual Muscle Testing, Yaitu :
a)  Nilai 0 (zero)          : Tidak ada kontraksi yang tampak
b)  Nilai 1 (trace)        : Kontraksi minimal
c)  Nilai 3 (fair) :Kontraksi sampai dengan simetris sisi  normal dengan
maksimal
d)  Nilai 5 (normal )    : Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris.

4. Pemeriksaan spesifik

Selain pemeriksaan gerak diperlukan juga diperlukan pemeriksaan spesifik untuk


lebih memperjelas permasalahan yang dihadapi.Untuk kasus ini pemeriksaan spesifik
yang dilaksanakan berupa : Tanda bell, skala “Ugo Fisch” dan penilaian kekuatan otot
wajah dengan menggunakan skala “Daniel’s and Worthingham Manual Muscle Testing”.

16
a. Tanda Bell’s
Tanda bell yang terlihat pada pasien yaitu saat mengkerutkan dahi, lipatan kulit
dahi hanya terlihat pada sisi lesi, dan saat memejamkan mata, bola mata masih terlihat
sedikit pada sisi yang sehat.
b. Ugo Fisch scale
Ugo Fisch scale bertujuan untuk pemeriksaan fungsi motorik dan mengevaluasi
kemajuan motorik otot wajah pada penderita bell’s palsy. Penilaian dilakukan pada  5
posisi, yaitu saat istirahat, mengerutkan dahi, menutup mata, tersenyum, dan bersiul.
Pada tersebut dinilai simetris atau tidaknya antara sisi sakit dengan sisi yang sehat.
(Lumbantobing 2006)
Ada 4 penilaian dalam % untuk posisi tersebut antara lain :
a. 0% (zero)  :Asimetris Komplit, tidak ada   gerakan volunter sama sekali
b. 30 % (poor) : Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada gerakan
volunter.
c. 70 % (fair)    :Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal.
d. 100 % (normal)   : Simetris komplit (normal).
Angka prosentase masing-masing posisi harus dirubah menjadi score dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Saat istirahat : 20 point
b.  Mengerutkan dahi : 10 point
c. Menutup mata : 30 point
d. Tersenyum : 30 point
e. Bersiul : 10 point

Pada keadaan normal untuk jumlah kelima posisi wajah adalah 100 point. Hasil
penilaian itu diperoleh dari penilaian angka prosentase dikalikan dengan masing-masing
point. Nilai akhirnya adalah jumlah dari 5 aspek penilaian tersebut
        
F. Komplikasi
Beberapa kondisi yang menjadi komplikasi Bell's palsy antara lain:
1. Kontraktur otot-otot wajah
Kontrkatur hanya dapat dilihat dengan jelas pada saat wajah berkontraksi,
yang ditandai dengan lipatan nasolabial yang lebih dalam dan alis mata
tampak lebih rendah dibandingkan dari sisi yang sehat.

17
2. Sinkenesis
Adanya gerakan asosiasi karena regenerasi serabut saraf mencapai serabut
otot yang salah.
3. Spasme otot-otot wajah
Hal ini terjadi karena penyembuhan yang incomplete, timbul dalam beberapa
bulan sampai 1-2 tahun setelah masa awitan Bell's palsy.
4. Fenomena air mata buaya
Pengeluaran air mata ketika penderita mengunyah makanan, terdapat regenerasi saraf
otonom yang salah sehingga menimbulkan hubungan fisiologis antar pleksus, antara
yang mensarafi kelenjar ludah dan nervus petrosus superior mayor yang mensarafi
kelenjar lakrimalis, letak lesi pada ganglion genikulatum.
5. Neuralgia genikulatum
Neuralgia dari nervus fasialis berasal dari nervus intermedius yang ditandai dengan
rasa nyeri proksimal di dalam dan di sekitar telinga.

G. Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari bell's palsy menurut Widowati 1993 antara lain :
1. Herpes zooster otikus (Ramsay Hunt Syndrome): ditandai dengan paralysis fasialis,
nyeri timbul vesikel sekitar telinga, pusing dan adanya gangguan pendengaran.
2. Sindroma Guilenbare: 50% dari penderita SGB juga mengalami paralysis fasialis
bilateral yang kadang-kadang menyerupai Bell's palsy, unutk menegakkan diagnosa
SGB diperlukan LCS.
3. Tumor: apabila terjadi kekambuhan pada sisi yang sama harus dicurigai tentang
adanya tumor.
4. Trauma: trauma yang dapat menyebabkan paralysis fasialis adalah trauma pada tulang
temporal.

H. Prognosis
Perbaikan awal Bell's palsy dimulai pada hari ke-10 dan penyembuhan komplit rata-
rata 1-5 bulan. Tetapi kadang-kadang baru terjadi penmyembuhan antara 2 bulan sampai 9
bulan. Kurang 15% penderita akan mendapat gejala sisa dan 80-95% akan mendapatkan
perbaikan komplit. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis yang baik adalah umur relatif
muda, masa awitan pendek, tes eksitabilitas saraf yang menunjang.

18
I. Problematik Fisisoterapi
Dalam kasus Bell's palsy ini pada saat melakukan pemeriksaan akan didapati berbagai
permasalahan antara lain: (1) kelumpuhan otot wajah, (2) asimetrisitas wajah, (3) gangguan
gerak fungsional yang melibatkan otot wajah seperti pengaturan letak makanan,
berkumur, minum dan lain-lain.

J. Teknologi Intervensi Fisioterapi


1. Infra Red (IR)
Adalah jenis terapi yang menggunakan gelombang elektromagnetik dengan
karakteristik gelombang dengan panjang gelombang 770nm-106 nm
Generator infra red dibagi menjadi dua jenis yaitu generator non luminous dan
luminous. Pancaran gelombang infra red yang digunakan untuk pengobatan fisioterapi
adalah 7700 – 150.000 Amstrong (Sujatno, 2002). Perbedaan antara kedua jenis
generator tersebut terletak pada jenis sinar yang terkandung pada tiap generator.
Perbedaan kandungan sinar tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) generator non
luminous, yaitu generator yang hanya terdiri dari sinar infra red saja sehingga
pengobatan menggunakan jenis ini sering disebut “infra red radiation” dan (2) generator
luminous, yaitu generator yang disamping mengandung infra red, generator ini juga
terdiri dari sinar ultra violet, pengobatan dengan menggunakan generator jenis ini sering
disebut sebagai “radiant heating” (Sujatno, 2002).
Penyinaran dengan sinar infra merah diusahakan tegak lurus dengan daerah yang
diobati dengan jarak lampu antara 45–60 cm. Lama waktu penyinaran antara 10–30
menit (Sujatno,1993). Pada penanganan bells palsy radiasi infra red diaplikasikan pada
sisi yang lesi untuk membantu meningkatkan kontraksi otot dan penurunan
bengkak/nyeri selama 10-15 menit (Irudayaraj, 2007). Penelitian Mosforth dalam
Shafshak (2005) merekomendasikan terapi panas superfisial lokal seperti hot packs atau
infrared selama 15 menit pada sisi pada otot wajah yang lesi sebelum ES, massage atau
exercise.
a. Metode aplikasi IR
Pada dasarnya metode pemasangan IR dapat diatur sedemikian rupa sehingga sinar
yang berasal dari lampu jatuh tegak lurus terhadap daerah yang di terapi, hal ini
berlaku untuk penggunaan lampu baik jenis luminous maupun non luminous. Pada
kondisi Bell’s palsy dextra, IR dapat diaplikasikan pada wajah sisi kanan dan region
sekitar foramen stilomastoideus selama 15 menit. Jarak pemasangan pada lampu
19
luminous antara 35-45 cm sedangkan untuk pemasangan jenis non luminous antara
45-60 cm. Namun jarak ini bukan merupakan jarak yang mutlak diberikan karena
jarak pemasangan lampu masih dipengaruhi oleh toleransi pasien dan besarnya watt
lampu (Sujatno dkk., 2002).
b. Efek fisiologi pemberian IR
Efek-efek fisiologis yang dihasilkan oleh IR secara umum antara lain:
1) Meningkatkan proses metabolisme
Seperti telah dikemukakan oleh hukum Van’t Hoff bahwa suatu reaksi
kimia dapat dipercepat dengan adanya panas atau kenaikan temperatur akibat
pemanasan sehingga proses metabolisme membaik. baik.
2) Vasodilatasi pembuluh darah
Dengan adanya vasodilatasi pembuluh darah maka sirkulasi darah menjadi
meningkat, sehingga pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan
ditingkatkan, dengan demikian kadar sel darah putih dan antibodi didalam
jaringan tersebut akan meningkat. Dengan demikian pemeliharaan jaringan
menjadi lebih baik dan perlawanan terhadap agen penyebab proses radang juga
semakin baik.
3) Mempengaruhi jaringan otot
Adanya kenaikan temperatur disamping membantu terjadinya rileksasi juga
akan meningkatkan kemampuan otot untuk berkontraksi.
4) Dapat menyebabkan destruksi jaringan
Ini bisa terjadi apabila penyinaran yang diberikan menimbulkan kenaikan
temperatur jaringan yang cukup tinggi dan berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, sehingga diluar toleransi pasien.
5) Menaikkan temperatur tubuh
Penyinaran yang luas yang berlangsung dalam waktu cukup lama dapat
mengakibatkan kenaikan temperatur tubuh.
6) Mengaktifkan kerja kelenjar keringat
Pengaruh rangsangan panas yang di bawa ujung-ujung saraf sensoris dapat
mengaktifkan kerja kelenjar keringat di daerah jaringan yang diberikan
penyinaran atau pemanasan. Pengeluaran keringat ini kalau berlebihan bisa
menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit tubuh.
c. Efek terapeutik

20
Efek terapeutik yang dihasilkan dari pemberian IR antara lain (1) mengurangi
atau menghilangkan nyeri, (2) rileksasi otot, (3) meningkatkan suplai darah dan, (4)
menghilangkan sisa-sisa hasil metabolisme (Sujatno, 2002).
d. Kontra indikasi
Beberapa kondisi yang merupakan kontra indikasi pemberian IR adalah (1)
jaringan yang mengalami insufisiensi pada darah, (2) gangguan sensibilitas kulit
dan, (3) adanya kecenderungan terjadi perdarahan (Sujatno, 2002)

2. Electrical Stimulation (ES)


a. Pengertian ES
Faradik (electrical stimulation) merupakan intervensi fisioterapi yang bertujuan
untuk memberikan stimulasi pada otot yang titik rangsangnya terletak pada kulit dan
untuk meningkatkan kerja otot baik yang letaknya diluar maupun bagian dalam
(Singh, 2005). Faradik (electrical stimulation) akan menimbulkan efek terapiutik
berupa fasilitasi kontraksi otot, melatih kerja otot, dan melatih kerja otot baru
(Singh, 2005).
Menurut Sujatno (1993) adapun tujuan pemberian arus faradik pada kasus bell’s
palsy yaitu untuk menstimulasi otot yang dapat mencegah atau memperlambat
terjadinya atrofi sambil menunggu proses regenerasi dan memperkuat otot yang
masih lemah. Misalnya dengan faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi
otot, reedukasi dari aksi otot, dan melatih fungsi otot baru.
Penelitian Guzelant (2014) pada 18 pasien bells palsy menunjukkan hasil
perbaikkan yang signifikan setelah 6 minggu pada kelompok yang diberikan ES dan
home program dari pada kelompok yang hanya mendapatkan home program saja.
Gerak volunter otot-otot wajah meningkat yang dibuktikan dengan peningkatan
nilai Facial Paralysis Recovery Index (FPRI) setelah 6 minggu pemberian ES, serta
pengurangan komplikasi/gejala sisa bells palsy setelah 18 minggu (Farragher dalam
Ohtake, 2006).
Targan (2000) meneliti pengaruh ES terhadap bells palsy dengan pengukuran 3
sebelum, setelah terapi, dan 6 bulan setelah treatment selesai. Pengukuran latensi
konduksi saraf motorik pada wajah meningkat saat setelah pemberian ES, serta
adanya penurunan pada hasil skor House-Brackmann setelah 6 bulan treatment
(Ohtake, 2006).
b. Indikasi ES
21
Indikasi penggunaan ES yaitu : (1) keluhan nyeri, (2) hipertonik, spasme (3)
kelemahan otot, (4) gangguan vegetative
c. Kontra Indikasi ES
Kontra indikasi aplikasi ES yaitu pada kondisi : (1) lokal inflamasi, (2)
thrombosis, (3) kehamilan trimester I, (setelah trimester I penempatan elektrode di
sekitar pinggang dan perut bawah), (4) pace maker, (5) demam, dan (6) keganasan:
tumor, TBC daerah terapi.
d. Pengaplikasian ES
Menggunakan alat ES yang frekuensinya di setting menjadi 10 Hz, intensitas
ditentukan pada konsultasi pertama pasien, dengan merangsang otot wajah sisi sehat
untuk melihat berapa intensitas yang diperlukan untuk mendapatkan kontraksi
minimal, setelah intensitas awal didirikan dari sisi sehat, intensitas yang sama
diaplikasikan pada sisi lesi (PuckreedanAlakram, 2011).
ES diaplikasikan pada motor poin dari 8 otot wajah yang disarafi oleh saraf
facialis (m. frontalis, m.corrugator supercilii, m. orbicularis oculi, m.levator labii
alaeque nasii, m. Nasalis, m. levator labii superioris, m.orbicularis oris,dan m.
depressor labii inferioris) sebanyak 30 kontraksi setiap motor point dan diulang 3
kali (Guzelant, 2014)

3. Massage
a. Pengertian
Massage merupakan stimulasi pada jaringan lunak untuk meningkatkan
fleksibilitas, merangsang reseptor sensoris jaringan pada kulit sehingga memberikan
efek rileksasi, dan mengurangi spasme pada wajah (Prentice, 2012).
b. Teknik Dasar dalam massage
Dibedakan dalam empat kelompok yang dibagi menjadi beberapa manipulasi
yang memiliki teknik dan tujuan masing-masing.
Tabel 2.3 Teknik Massage

Group Manipulation

Effleurage Effleurage
Stroking
Petrissage Kneading

22
Wringing
Picking up
Skin rolling or muscle rolling
Frictions-circular or transverse
Percussion or tapotement Hacking
Cupping or clapping
Beating
Pounding
Vibrations Vibrations
Shaking

c. Massage untuk wajah


Adapun teknik manipulasi massage untuk wajah sebagai berikut
1) Effleurage
Harus selalu mengikuti arah aliran balik vena kembali ke jantung dan arah
drainase limfatik terhadap kelompok terdekat dari nodus limfatikus. Tekanan bisa
ringan, sedang, atau berat, tapi selalu meningkat saat semakin dekat dengan nodus
limfatikus. Tangan harus kontak penuh / kontak langsung terus-menerus dengan
jaringan.
2) Finger or thumb kneading
Gerakan ke atas dengan bentuk setengah lingkaran menggunakan palmar ibu jari
atau jari-jari tangan.
3) Wringing
Manipulasi jaringan dengan mengangangkat jauh dari tulang, serta mendorong
dan meremas-remas dari sisi ke sisi dengan tangan bergerak ke atas dan ke
bawah.
4) Hacking
Menggunakan permukaan tangan bagian ulnar, jari kelingking, manis, dan
tengah. Gerakan seperti menyapukan pada jaringan, lengan bawah supinasi dan
supinasi, hindari gerakan “copping”
5) Tapping
Gerakan menepuk/mengetuk dengan cepat, ngeper, dan ritmis menggunakan jari-
jari tangan.

23
6) Stroking
Dapat dilakukan ke segela arah. Tekanan dapat ringan, sedang, atau berat, namun
harus dipertahankan dari awal sampai akhir. Kedua tangan kontak langsung
dengan jaringan, namun dapat diangkat salah satunya.

d. Tujuan
Pemberian massage wajah pada kondisi Bell’s Palsy bertujuan untuk mencegah
terjadinya perlengketan jaringan dan memberikan efek rileksasi dengan cara
memberikan penguluran pada jaringan yang superfisial yakni otot-otot wajah
(Reyes, 1992).
Pemberian massage secara halus (gentle) pada wajah dapat mengurangi rasa kaku
atau rasa tebal pada wajah yang terkena lesi, juga meningkatkan proses metabolisme
sehingga sifat fisiologi otot terpelihara serta untuk rileksasi otot-otot wajah
(Prentice, 2012).
Stroking memiliki efek penenangan dan dapat mengurangi nyeri. Efflurage dapat
membantu mempercepat peredaran darah. Finger kneading berfungsi untuk
melemaskan jaringan, menambah fleksibiitas jaringan, dan memelihara tonus otot.
Sedangkan tapping dengan ujung jari dapat merangsang jaringan otot untuk
berkontraksi. Dengan massage tersebut maka efek relaksasi dapat dicapai dan
elastisitas otot tetap terjaga dan potensial timbulnya perlengketan jaringan, atrofi
dan spasme pada kondisi Bell’s Palsy ini dapat dicegah.
e. Kontraindikasi
Kontraindikasi aplikasi massage yaitu pada kasus yang disertai dengan: (1)
kanker; (2) demam, mual, dan pusing; (3) adanya inflamasi, (4) kehamilan, (5)
hemofili, (6) phlebitis dan thrombosis, (7) adanya masalah jantung, (8) fraktur, (9)
adanya penyakit kulit dan/atau luka (Rosser, 2004).

4. Mirror Exercise

Pada Bell’s Palsy merupakan latihan “biofeedback” dengan menggunakan


cermin dan diperlukan partisipasi aktif baik dari penderita maupun terapis, dengan tujuan
meningkatkan kekuatan otot wajah serta mencegah terjadinya kontraktur otot-otot wajah.
Kontraksi yang terjadisecara berulang-ulang, maka secara bertahap kekuatan otot wajah

24
akan meningkat dan sifat fisiologis otot akan terpelihara elastisitasnya sehingga
kemampuan fungsional otot wajah akan kembali (Shafshak, 2006). Dengan media cermin
pasien duduk menghadap cermin, terapis berada dibelakang pasien kemudian
menggerakkan otot wajah baik secara aktif (ditambah penahanan dari terapis) maupun
pasif.

5. Home Program
Home program berupa beberapa latihan gerakan fungsional wajah dan edukasi.
Adapun gerakan-gerakan tersebut yaitu: (1) mengangkat alis, (2) memejamkan mata, (3)
mencucu, (4) meringis, (5) melebarkan cuping hidung, dan (6) senyum. Masing-masing
gerakan dilakukan 5 kali pengulangan dan dilakukan 2-3 kali dalam sehari.
Edukasi yang diberikan kepada pasien adalah gerakan-gerakan yang harus dihindari
pasien supaya tidak menimbulkan synkinesis. Beberapa hal yang harus dihindari adalah: (1)
membuka mulut/tertawa lebar, (2) menutup mata dengan paksa, (3) gerakan mata kesegela
arah, (4) menggembungkan pipi dengan mulut rapat, (5) gerakan bibir bawah ke kanan-kiri,
dan (6) menekan bibir atas pada gigi atas.

25

Anda mungkin juga menyukai