Anda di halaman 1dari 13

GUIDELINE FISIOTERAPI

PADA KASUS ANAK ERB’S PARALYSIS

Disusun oleh:

FELITA ARDIATMI
P27226019205

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI

JURUSAN FISIOTERAPI

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA

2020
1. PENDAHULUAN

Cedera Plexus Brachialis diartikan sebagai suatu cedera pada

Plexus Brachialis yang diakibatkan oleh suatu trauma. Trauma ini sering

kali berupa penarikan berlebihan atau avulsi. Cedera seperti ini

menghasilkan sutu tanda yang sangat khas yang disebut deformitas

Waiter’s tip karena hilangnya otot-otot rotator lateral bahu, fleksor lengan,

dan otot ekstensor lengan (Mahadewa, 2013). Sebagian besar cedera

plexus brachialis terjadi selama proses persalinan. plexus brachialis sering

mengalami masalah saat berada di bawah tekanan, seperti dengan bayi

yang besar, presentasi bokong atau persalinan yang lama. Jika salah satu

sisi leher bayi tertarik, saraf yang terdapat didalamnya juga akan tertarik

dan dapat mengakibatkan cedera. Bayi mungkin tidak dapat menggerakan

bahu, tetapi dapa t memindahkan jari-jari. Jika kedua saraf atas dan bawah

yang meregang, kondisi ini biasanya lebih parah dari sekedar erb’s

paralysis.

Masalah utama yang timbul pada penderita Erb’s Paralysis adalah

lesi pada plexus brachialis yang dapat menyebabkan adanya nyeri pada

bahu, adanya penurunan kekuatan pada otot-otot lengan atas, keterbatasan

lingkup gerak sendi pada lengan dan penurunan aktivitas fungsional.

2. DEFINISI

Erb’s paralysis adalah kelumpuhan pada lengan yang disebabkan

oleh adanya cedera pada kelompok saraf lengan atas, khususnya C5-C6

yang merupakan bagian dari plexus brachialis, cidera ini menyebabkan

1
kelemahan dan kelumpuhan pada otot deltoid, otot biceps brachii, otot

brachialis dan otot brakhioradialis, kadang juga mengenai otot

supraspinatus dan otot infraspinatus, sehingga lengan atas berada dalam

posisi ekstensi, adduksi, internal rotasi dan lengan bawah tampak posisi

ekstensi dan pronasi (Sidharta, 1988).

3. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi di negara Amerika Serikat 4,4 dari 1.000 kelahiran

hidup menderita erb's paralysis. Di negara Perancis 8 orang dari 1.000

kelahiran hidup menderita erb's paralysis. Perbandingan kasus laki-laki

dan perempuan adalah hampir seimbang. Lebih banyak disebabkan oleh

bayi dengan lahir prematur. Kasus penyakit ini dapat juga disebabkan oleh

proses persalinan yang salah sewaktu ibu melahirkan anak.

Sebagian besar rumah sakit melaporkan satu sampai dua bayi yang

lahir dengan cedera plexus brachialis pada 1000 kelahiran. Informasi yang

cukup tentang insiden cedera plexus brachialis atas (erb’s paralysis)

traumatis sulit ditemukan, insiden pastinya tidak diketahui. Saat ini,

insiden tersebut adalah 0,8 per 1000 kelahiran bayi. Angka ini turun

dibanding pada tahun 1900, ketika dilaporkan jumlah penderita yang

mencapai dua kali lipat dari pada saat ini. Penurunan penderita ini

dipengaruhi oleh pelayanan kebidanan yang terus ditingkatkan.

Diperkirakan terjadi 400-450 penderita cedera tertutup supraclavicular di

inggris setiap tahunnya. (Mahadewa, 2013).

2
4. ETIOLOGI

Erb’s paralysis biasanya terjadi karena trauma persalinan , dimana

saat proses persalinan terjadi peregangan pada plexus brachialis secara

berlebihan bahkan sampai cidera. Cedera traksi pada plexus brachialis

terjadi selama persalinan yang sulit, menurunkan bahu dengan gerakan

yang berlawanan dengan kemiringan tulang belakang menyebabkan

peregangan pada akar saraf servikal (C5,C6,C7) dari plexus brachialis

(Abbottabad, 2006). Penyebab lain dari kondisi erb’s paralysis adalah

lamanya proses persalinan, pinggul yang sempit atau ukuran bayi yang

terlalu besar sehingga menyebabkan bayi sulit untuk keluar dan pelvis ibu

dapat menekan plexus brachialis (Prawiroharjo, 1996).

5. PATOFISIOLOGI

Peregangan serabut saraf yang terjadi pada plexus brachialis dapat

menimbulkan cedera pada selubung saraf, pembengkakan saraf dan

pendarahan disekelilingnya sampai dengan rusaknya akson sehingga

menyebabkan terganggunya impuls saraf, dimana tingkat gangguan impuls

saraf tergantung kuat ringannya suatu regangan. Peregangan ringan pada

saraf kemungkinan hanya akan menyebabkan neuropraksi atau

aksonotmesis, sedangkan pada ruptur kulit akan menyebabkan

neurotmesis (Campbell, 1991).

3
6. GAMBARAN KLINIS

Posisi lengan pada posisi ekstensi, adduksi sendi shoulder, ekstensi

dan supinasi sendi elbow dan dorsi fleksi sendi wrist. Atrofi bahkan

kontraktur pada otot supraspinatus, otot infraspinatus, otot biceps, otot

brachialis, dan otot brachioradialis jika tidak mendapatkan penanganan

sedini mungkin (Kimberly, 2009). Gejala Klinis menurut Foster yaitu:

nyeri, terutama pada leher dan bahu, paresthesia dan disesthesia, lemah

tubuh atau terasa berat menggerakkan ekstremitas dan denyut nadi

menurun akibat cedera vaskuler mungkin terjadi bersamaan dengan cedera

traksi.

7. KLASIFIKASI
Sunderland mengklasifikasikan dalam 5 derajat cedera saraf
(mikroskopis):
a. Derajat 1 : Neuropraksia
Demyelinisasi pada saraf sisi yang terkait. Pada EMG

(Elektromiografi) tidak ada otot denervasi dan terdapat blokade

konduksi. Pemulihan akan terjadi dalam 12 minggu mencapai

pemulihan sempurna.

b. Derajat 2: Aksonotemesis
Trauma berat/kompresi, terjadi degenerasi wallerian di sisi distal

tingkat cedera saraf & proksimal aksonal degenerasi. Pada EMG

terdapat otot denervasi. Regenerasi akson akan terjadi rata-rata 1mm/d

atau 1 inch/mo

4
c. Derajat 3
Lebih berat dari derajat 2. Akson putus, endoneurium putus, dan

perineurium utuh. Terjadi degenerasi wallerian, terdapat otot

denervasi. Regenerasi sembuh tak sempurna (reinnervasi tidak

komplit)

d. Derajat 4
Melibatkan area yg lebih luas. Reinnervasi tidak adekuat dan tidak ada

perbaikan fungsi.

e. Derajat 5 : Neurotmesis
Kerusakan saraf komplit/ transeksi reinnervasi tidak terjadi.

Neuropraksia terjadinya blok fisiologis pada konduksi saraf tanpa

adanya kerusakan anatomis dan bersifat reversible. Aksonotemesis

terjadinya kerusakan akson, endoneuron masih utuh, saat pemulihan

tergantung jumlah akson yg terkena, perlu waktu 2-4 minggu sebelum

mulai regenerasi. Neurotemesis Kerusakan anatomi komplit memerlukan

tindakan pembedahan.

8. PROGNOSIS
Prognosis pada kondisi Erb’s Paralysis sangat bervariasi karena

bergantung tidak hanya pada sifat cidera itu sendiri, tapi juga pada umur

pasien dan jenis prosedur yang dilakukan.

9. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA


1. Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi

5
Statis : adanya posisi adduksi shoulder, ekstensi elbow, pronasi
forearm, dan fleksi wrist
Dinamis : adanya lengan yang tidak aktif bergerak
b. Palpasi
Memeriksa: adanya tanda-tanda radang
c. Pemeriksaan Gerak
Memeriksa : tes gerak aktif, pasif dan melawan tahanan (bila
memungkinkan)
d. Antropometri
Memeriksa: adanya perbedaan ukuran antara lengan yang lesi dan
sehat
e. Lingkup Gerak Sendi (LGS)
Memeriksa : adanya keterbatasan LGS
f. Pemeriksaan Nyeri
Memeriksa: adanya keluhan nyeri
g. Pemeriksaan Sensoris
Memeriksa: adanya penurunan fungsi dari dermatom dan myotom
h. Pemeriksaan Reflek
Memeriksa: reflek biceps, reflek radial, reflek menggenggam.
i. Pemeriksaan Tonus Otot
Memeriksa: tonus pada otot-otot yang dipersarafi C5 dan C6.

2. Pemeriksaan Penunjang
a. Computed Tomography (CT) dan Computed Tomographic
Myelography (CTM) teknik yang digunakan untuk mengevaluasi
tingkat cedera saraf.
b. Elektromiografi (EMG) teknik yang digunakan untuk mengevaluasi
fungsi saraf dan otot dengan cara merekam aktivitas listrik yang
dihasilkan oleh otot.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI) berupa metode noninvasive
yang dapat menggambarkan lebih banyak lesi, bagian dari cedera
radiks dan pseudomeningocele yang terbentuk. MRI dapat
6
memperlihatkan neuromas posttraumatik, bersamaan dengan
respon inflamasi dan edema jaringan sekitarnya.

3. Penegakan Diagnosis Fisioterapi


a. Activity limitation
Gangguan mengangkat tangan dan menggenggam
b. Body structure and function
Fungsi kekuatan otot dan fungsi tonus otot lengan atas
c. Participation restriction
Mengganggu aktivitas bermain

10. PERAN FISIOTERAPI


Problematika fisioterapi pada pasien Erb’s paralysis adalah nyeri,

terutama pada leher dan bahu, paresthesia dan disesthesia, lemah tubuh

atau terasa berat menggerakkan ekstremitas atas. Penatalaksanaan

fisioterapi yang digunakan dalam penanganan pasien Erb’s paralysis yaitu :

1. Muscle Stimulation

Arus faradic merupakan arus listrik bolak-balik yang tidak simetris

yang mempunyai durasi 0,01-1ms dengan frekuensi 50-100 cy/detik. Arus

faradic pada umumnya di modifikasi dalam bentuk surged atau

interrupted (terputus-putus) (Sujatno, dkk, 1993). Terapis menggunakan

stimulasi listrik untuk berbagai kondisi yaitu: untuk menimbulkan

kontraksi otot dari saraf yang lesi, menstimulasi saraf sensorik untuk

mengurangi nyeri, membuat medan listrik pada jaringan lunak untuk

merangsang proses penyembuhan, dan membuat medan listrik pada

permukaan kulit untuk mengirim ion bienefical untuk merangsang proses

penyembuhan pada kulit yang lesi (Prentice, 2002).

7
a. Lokasi simulasi dibersihkan dengan mengusap kulit dengan alkohol.

Prosedur ini diulang sampai kulit menjadi sedikit merah untuk

memastikan penghapusan sel kulit mati dan menurunkan perlawanan

kulit.

b. Posisi anak selama penempatan elektroda: anak telah ditempatkan

nyaman sambil berbaring di atas meja pemeriksaan. Kepala anak

dipertahankan di posisi tengah untuk menghindari semua gerakan

refleks primitif.

c. Persiapan bahan: perangkat telah diperiksa dengan cermat, tidak ada

kabel listrik longgar atau sobek atau tanda apa pun kelembaban

karena tumpahan cairan. Perangkat lunak telah dimulai dan diatur

ulang nol.

d. Penempatan dengan 4 elektroda:

 Elektroda permukaan digunakan: untuk mengukur aksi otot

deltoid potensi.

 Elektroda stimulasi ditempatkan pada Poin Erb.

 Elektroda ground telah ditempatkan di bawah 1/3 lateral ke

klavikula.

 Elektroda rekaman aktif telah dipasang titik motorik otot deltoid.

Elektroda rekaman referensi telah ditempatkan lebih jauh pada

titik yang relatif rendah

(Sherief, 2011)

8
2. Exercise ( Active Assisted-Hold Relax) dan Massage

Terapi latihan dalam bentuk relaksasi dapat memberikan efek

pengurangan nyeri, baik secara langsung maupun memutus siklus nyeri,

spasme, dan nyeri. Gerakan ringan dan perlahan merangssang

propioceptor yang merupakan aktivasi dari serabut afferent berdiameter

besar. Hal ini akan mengakibatkan menutupnya spinalgate (Mardiman,

2001).

Teknik Propioceptive Neuromusculer Fasilitation/PNF (hold-

relax) dilakukan untuk pemanjangan. Subjek diberikan 10 detik kontraksi

isometrik diikuti oleh 5 detik relaksasi dan akhirnya 20 detik peregangan.

Latihan ini memakan waktu 6 sesi, 2 sesi setiap hari (10 pagi, 5 malam)

dan masing-masing sesi berlangsung 10 menit. Pasien diberikan sentuhan

5 menit gentle massage, 5 menit tappotament, 12 menit patrissage, dan 2

menit effleurage. Segera setelah latihan eksentrik/pemanjangan (Almasi,

2014).

11. EDUKASI
Edukasi orang tua bertujuan agar dapat terjadi interaksi antara anak

dan orang tuanya. Orang tua diajarkan bagaimana cara menangani anak

maupun memposisikannya pada saat berbaring, miring dan berguling.

Latihan pada anak perlu diberikan secara hati-hati karena orang tua harus

mampu mengenali tanda ketidaknyamanan dari anaknya. Berbagai variasi

posisi diajarkan sehingga orang tua mampu menjadi lebih kreatif dan

menganalisa respon anaknya. Tujuan dari setiap posisi harus disampaikan

9
agar orang tua benar-benar paham mengapa posisi tersebut diberikan.

Misalnya mengajarkan gerak pasif melawan pola lengan yang mengalami

lesi, kemudian memberikan fasilitasi anak untuk rolling dan tidak serta

merta dibatu untuk rolling.

Terapi latihan yang dilakukan secara rutin di rumah untuk

seseorang satu jam sehari dapat meningkatkan mobilitas, kapasitas

fungsional, kecepatan, rentang gerak dan manipulasi kapasitas tangan.

Studi lain mengungkapkan efektivitas terapi gerakan, yang mengarah ke

perbaikan mobilitas, meningkatnya kecenderungan untuk menggunakan

anggota tubuh yang terluka dan meningkatkan frekuensi gerakan (Silva,

2019).

12. PENUTUP
Paralisis pada otot deltoid, otot biceps, otot brakhialis, otot

brakhioradialis kadang juga otot supraspinatus dan otot infraspinatus

yang disebabkan karena terganggunya impuls saraf ke otot yang di

inervasi sehingga menyebabkan hilangnya gerakan abduksi dan eksternal

rotasi shoulder dan gerakan fleksi dan supinasi elbow dan palmar fleksi

wrist , serta sensasi menghilang pada permukaan deltoideus dan radialis

lengan bawah. Posisi lengan pada posisi ekstensi, adduksi sendi shoulder,

ekstensi dan supinasi sendi elbow dan dorsi fleksi sendi wrist.

Peranan fisioterapi dalam penanganan erb’s paralysisi dengan

mengaplikasikan pendekatan Infra Red, Muscle Stimulation, dan Exercise

(Active Assisted & Hold Relax) secara bertahap sesuai kondisi pasien

untuk mengajarkan pola gerak sesuai fungsi menjadi lebih baik.


10
Intervensi fisioterapi dilakukan secara teratur dan mampu memberikan

manfaat bagi pasien dalam proses perkembangan sehingga dapat

meningkatkan fungsi gerakan persendian dan meningkatkan kemampuan

fungsional.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abbottabad, J Ayub Med Coll, 2006; Restoration Of Glenohumeral Motion In Erb’s Paralysis By
Tendon Transfers : Department of Surgery, The Aga Khan University Hospital.

Abuaraba, Khadija. 2016. A thesis: Profile Of And Caregiver Experiences Of Infants With
Obstetric Erb’s Palsy Treated At A Tertiary Institution. Department of Physiotherapy,
University of the Western Cape.

Afzal, Farjad. 2017. Effects of conventional combination physical therapy treatment to improve
the gross motor and functional movements in children with Erb’s palsy. International
Journal of Therapies & Rehabilitation Research,2017; 6 (2): 70-74. https://doi:
10.5455/ijtrr.000000246

Almasi, Javad. 2014. The effect of PNF stretching and therapeutic massage combination
treatment on markers of exercise induced muscle damage. International Journal Of
Biosciences. Vol. 4, No. 4, p. 217-228, 2014. http://dx.doi.org/10.12692/ijb/4.4.217-228

Kisner, Carolyn and Colby, L. A., 1996; Therapeutic Exercise Foundation and The Technique :
Third Edition, F. A. Davis Company, Philadelpia, hal. 47- 49, 160-164.

Mahadewa, Tjokorda Gde Bagus, 2013; Saraf Perifer masalah dan Penanganannya : Indeks,
Jakarta.

Sherief, Abdul. (2011). Electrical Stimulation Versus Arm Splint In Improving Fine More Skills
In Erb's Palsy Children. Bull. Fac. Ph. Th. Cairo Univ., Vol. 16, No. (1) Jan. 2011.

Sidharta, Priguana, 1988; Neurologi Klinis Dasar: Dian Rakyat, Jakarta.

Silva, 2019. Rehabilitation of Neonatal Brachial Plexus Palsy: Integrative Literature Review.
Journal of Clinical Medicine: 2019, 8, 980. https://doi:10.3390/jcm8070980

Anda mungkin juga menyukai