Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anastesi Spinal

Anestesi spinal adalah analgesia regional dengan menghambat sel saraf di dalam ruang

subaraknoid oleh obat anestetik lokal. Teknik anestesi ini menjadi popular karena

dianggap sederhana dan efektif, aman terhadap sistem saraf, konsentrasi obat dalam

plasma yang tidak berbahaya, serta mempunyai beberapa keuntungan, antara lain tingkat

analgesia yang kuat, pasien tetap sadar, relaksasi otot cukup, perdarahan luka operasi

lebih sedikit, risiko aspirasi pasien dengan lambung penuh lebih kecil, dan pemulihan

fungsi saluran cerna lebih cepat (Duke, 2006).

2.1.1 Indikasi anastesi spinal

Anastesi spinal dapat digunakan pada prosedur operasi dibawah cervical. Secara

primer anastesi ini akan berkerja dengan baik pada prosedur operasi lower

abdomen, inguinal, urogenital, rectal dan operasi pada ekstremitas bawah.

Meskipun teknik ini juga bisa digunakan untuk operasi abdomen bagian atas,

sebagian menganggap lebih baik untuk menggunakan anestesi umum untuk

memastikan kenyamanan pasien (Morgan dan Mikail, 2013).

2.1.2 Kontraindikasi anastesi spinal

Menurut Morgan dan Mikhail tahun 2013, kontraindikasi anastesi spinal dibagi

menjadi kontraindikasi absolut dan relatif seperti yang dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Kontra indikasi Anastesi spinal

Kontraindikasi absolut adalah penolakan pasien, infeksi pada tempat suntikan,

hipovolemia, penyakit neurologis tertentu, koagulopati darah, dan peningkatan

tekanan intrakranial. Kontraindikasi relatif meliputi sepsis yang berbeda dari

tempat tusukan (misalnya, korioamnionitis atau infeksi ekstremitas bawah) dan

lama operasi yang waktunya belum bisa diperkirakan. Jika pasien diobati dengan

antibiotik dan tanda-tanda vital stabil, anestesi spinal dapat dipertimbangkan

(Morgan dan Mihkail, 2013).

Sebelum melakukan anestesi spinal, ahli anestesi harus memeriksa kembali pasien

untuk mencari tanda-tanda infeksi kulit di tempat suntikan karena dapat beresiko

menyebabkan infeksi SSP akibat tindakan anestesi spinal. Ketidakstabilan

hemodinamik pra-operasi atau hipovolemia meningkatkan resiko hipotensi setelah

tindakan anestesi spinal. Tekanan intrakranial yang tinggi meningkatkan resiko

herniasi unkal ketika CSF (Cerebro Spinal Fluid) hilang melalui jarum spinal.

Kelainan koagulasi meningkatkan resiko pembentukan hematoma. Hal ini juga

penting untuk berkomunikasi dengan ahli bedah dalam menentukan waktu yang

diperlukan untuk menyelesaikan operasi, sebelum dilakukan tindakan anestesi


spinal. Anestesi spinal yang diberikan tidak dapat berlangsung lama sehingga jika

durasi operasi tidak bisa diperkirakan lamanya maka anestesi spinal tidak dapat

dipergunakan pada operasi tersebut. Mengetahui durasi operasi membantu ahli

anestesi menentukan anestesi lokal yang akan digunakan, penambahan seperti

epinefrin, dan apakah kateter spinal diperlukan atau tidak.

Melakukan anestesi spinal pada pasien dengan penyakit-penyakit neurologi, seperti

multiple sclerosis, adalah kontroversial. Dalam percobaan in vitro yang

menunjukkan bahwa saraf demyelinated lebih rentan terhadap toksisitas anestesi

lokal. Namun, tidak ada studi klinis yang meyakinkan dan menunjukkan bahwa

anestesi spinal dapat memperburuk penyakit neurologis yang sudah ada. Memang

nyeri perioperatif, stres, demam, dan kelelahan dapat memperburuk penyakit,

sehingga blok neuraksial bebas stress mungkin lebih disukai untuk pembedahan.

Sakit punggung kronis tidak mewakili kontraindikasi teknik anestesi spinal,

meskipun para klinisi mungkin menghindari teknik ini karena tindakan anestesi

spinal dapat menimbulkan eksaserbasi nyeri paska operasi meskipun belum ada

bukti yang saling menguatkan antara nyeri eksaserbasi paska operasi yang

diakibatkan oleh anestesi spinal.

Pasien dengan stenosis mitral, hipertrofi idiopatik stenosis subaorta, dan stenosis

aorta, tidak toleran terhadap penurunan akut dari resistensi vaskuler sistemik.

Dengan demikian, meskipun tidak kontraindikasi, blok neuraksial harus digunakan

hati-hati dalamkasus tersebut. Penyakit jantung secara signifikan dapat

menimbulkan kontraindikasi relatif untuk anestesia ketika tingkat sensorik

mencapai lebih dariT6. Cacat parah dari kolum tulang belakang dapat
meningkatkan kesulitan dalam memasukkan obat anestesi spinal. Artritis,

kifoskoliosis, dan operasi fusi lumbalsebelumnya bukan kontraindikasi untuk

anestesi spinal. Hal ini penting untuk memeriksa kembali pasien dalam

menentukan kelainan anatomi sebelum melakukan anestesi spinal.

2.1.3 Anatomi Tulang Belakang

Menurut Morgan dan Mikhail tahun 2013, untuk mengetahui cara kerja anastesi

spinal perlu memahami anatomi dari tulang belakang, medula spinalis serta nervus

spinalis terlebih dahulu. Tulang belakang terdiri dari Os.vertebre dan diskus

intervertebralis. Os. vertebre tersusun dari 7 Os.vertebre servikal (C), 12

Os.vertebre thorakal (T), 5 Os. vertebre lumbal (L) dan 5 Os. vertebre sacral (S).

Os vertebre berfungsi untuk mendukung terbentuknya struktur tubuh dan

melindungi medula spinalis yang berjalan di dalam kanalis spinalis. Anatomi

tulang belakang dilihat pada gambar 2

Gambar 2. Anatomi tulang belakang dan nervus spinalis.

Medula spinalis yang berjalan diantara kanalis spinalis dilapisi oleh 3 lapisan

meningens, yaitu pia mater, arachnoid mater dan dura mater. Liquor cerebro spinal
(LCS) berada diantara lapisan pia mater dan arachnoid mater yang disebut spatium

subarachnoid. Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang subarakhnoid

dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan

duramater. Dari medula spinalis keluar pasangan-pasangan nervus spinalis melalui

ruang antara vertebre yang berdekatan. Selama perkembangan, kolumna vertebra

tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medula spinalis. Karena perbedaan

pertumbuhan ini maka segmen-segmen medula spinalis yang menghasilkan

berbagai nervus spinalis tidak sejajar dengan ruang antarvertebra padanannya.

Medula spinalis normalnya memanjang dari foramen magnum sampai level L1

(Lumbal 1) pada orang dewasa. Pada anak medula spinalis akan berakhir pada L3

(lumbal 3) dan bergerak ke atas seiring pertambahan usia. Spinal roots anterior dan

posterior akan bergabung membentuk nervus spinalis dan keluar melalui formaen

intervertebralis, sehingga terbentuk nervus spinalis C1-S5. Karena medula spinalis

memanjang hanya setinggi vertebra lumbalis pertama atau kedua (sekitar

pinggang) membuat akar-akar saraf sisanya sangat memanjang, untuk keluar dari

kolumna venebralis di celah padanannya. Berkas tebal akar-akar saraf yang

memanjang di dalam kanalis vertebralis bawah ini disebut kauda ekuina. Gambaran

medula spinalis dan nervus spinalis dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Anatomi medula spinalis dan nervus spinalis.


Mengetahui anatomi tulang belakang dan medula spinalis penting dalam

memahami anastesi spinal karena prosedur anastesi spinal biasa dilakukan dengan

melakukan puncture dibawah dari L1 pada dewasa dan L3 pada anak, untuk

menghindari adanya trauma pada medula spinalis yang disebabkan oleh puncture

jarum. Morgan dan Mikhail tahun 2013 menyebutkan kerusakan akibat puncture

pada kauda equina hampir tidak mungkin terjadi karena akar saraf kauda equina

melayang pada ruang dura mater dibawah dari L1 dan cenderung akan terdorong

menjauh (daripada tertusuk) ketika jarum bergerak maju. Perkiraan tinggi dari

vertebre dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar4. Perkiraan tinggi vertebre.

2.1.4 Teknik spesifik untuk melakukan anastesi spinal

Pendekatan midline atau paramedian dengan posisi pasien lateral dekubitus, duduk

atau prone postion dapat digunakan untuk anastesi spinal. Seperti yang telah

disebutkan, jarum akan menembus kulit sampai lapisan yang lebih dalam dengan

merasakan adanya dua kali “pops”. Pops pertama menandakan penetrasi pada

ligamentum flavum dan pops kedua menandakan penetrasi pada membran dura-
arachnoid. Berhasilnya jarum menembuas dura dikonfirmasi dengan keluarnya

LCS dari stylet.

a. Posisi duduk

Anatomi dari midline lebih mudah terlihat saat pasien duduk dibandingkan

dengan saat pasien pada posisi lateral dekubitus. Posisi duduk juga akan

membantu pada pasien-pasien dengan obesitas. Pasien duduk dengan posisi siku

bersandar pada paha atau dapat pula memeluk bantal. Fleksi dari tulang

belakang akan memaksimalkan terlihatnya pocesus spinosus dan membuat

tulang belakang lebih tampak pada kulit. Posisi duduk dapat dilihat pada gambar

5.

Gambar 5. Posisi duduk untuk spinal anastesi (a), Gambaran interlaminar

foramen yang lebih terbuka saat posisi fleksi (b).

b. Posisi lateral dekubitus

Banyak klinisi yang lebih suka menggunakan posisi lateral dekubitus untuk

anastesi blok neurokasial. Pasien akan berbaring diposisikan dengan lutut

tertekuk dan berada setinggi abdomen ataupun dadanya, seperti posisi fetus.
Asisten dapat membantu untuk menekuk tubuh pasien dan

mempertahankannya, seperti pada gambar 6.

Gambar 6. Posisi lateral dekubitus.

2.1.5 Faktor yang mempengaruhi level blok saraf spinal

Faktor-faktor yang mempengaruhi level blokade saraf pada anastesi spinal

terangkum dalam Tabel 1.

Tabel 1. Faktor yang mempengatuhi level blokade saraf pada anastesi spinal

Faktor terpenting adalah barisitas dari cairan anastesi lokal yang diberikan,

posisi pasien selama injeksi dan setelah injeksi, dosis obat anastesi, dan tempat

injeksi. Secara umum, semakin besar dosis atau semakin tinggi (Cephal) level
puncutre dari anastesi spinal maka semakin tinggi level tubuh yang akan

teranastesi. Terlebih, penyebaran cairan anastesi kearah cephal bergantung

pada barisitas cairan tersebut. Barisitas adalah rasio densitas (massa/volume)

dari cairan anestesi lokal dibagi dengan densitas dari cairan cerebrospinal

dengan nilai rata-rata 1,001 – 1,005 gr/ml pada suhu 370 C. Cairan anastesi

dapat berupa cairan hiperbarik yang lebih berat dari LCS atau hipobarik yang

lebih ringan dari LCS.

Larutan hiperbarik dibuat dengan cara mencampur glukosa (dekstrosa) dalam

jumlah yang cukup untuk meningkatkan densitas larutan anestesi lokal di atas

densitas cairan cerebrospinal. Larutan hipobarik dibuat dengan cara

mencampur 6-8 ml air steril pada larutan anestesi lokal dengan cairan

cerebrospinal atau sodium chloride. Dengan adanya sifat tersebut, maka saat

posisi kepala pasien head-down (lebih rendah) cairan anastesi hiperbarik akan

cenderung bergerak ke arah kepala atau cephal yang lebih rendah, sementara

cairan hipobarik akan cenderung bergerak ke arah yang lebih tinggi (caudal).

Kebalikannya apabila posisi kepala pasien head-up (lebih tinggi) maka cairan

hiperbarik akan cenderung bergerak ke caudal sementara hipobarik kearah

cephal. Keadaan yang sama akan terjadi pada pasien dengan posisi lateral.

Cairan anastesi hiperbarik akan memberikan efek yang lebih besar pada

bagian tubuh yang terletak lebih bawah, sementara hipobarik akan

memberikan efek yang lebih baik pada bagian tuuh yang terletak lebih atas.
2.1.6 Obat-obatan anastesi spinal

Menurut Morgan dan Mikhail, 2013, terdapat banyak obat anastesi lokal yang

digunakan untuk anastesi spinal di masa lalu, namun hanya sedikit yang dipakai

sekarang, seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Obat anastesi spinal.

Penambahan dari vasokonsktiktor α-adrenergic agonists dan epinephrine (0.1–

0.2 mg) serta opoid akan menambah atau memperlama durasi dari anastesi

spinal. Vasokonstriktor berguna untuk memperlama uptake lokal zat anastaesi

tersebut dari LCS. Opoid dan clonidine dapat ditambahkan pada anastesi spinal

untuk meningkatkan durasi dan kualitas blok subarakhnoid.


Hiperbarik bupivacaine dan tetracaine adalah 2 jenis obat yang paling sering

digunakan untuk anastesi spinal. Onset keduanya tergolong lama (5-10 menit)

dan memiliki durasi kerja yang panjang (90-120 menit). Meskipun keduanya

memiliki level blokade sensoris yang sama, namun tertracaine lebih baik dalam

blokade motorik dibanding buvipacaine (Morgan dan Mihkail, 2013).

Lidokain dan prokain memiliki onset yang relatif cepat (3-5 menit) dan

memiliki durasi kerja yang singkat (60-90 menit). Durasi kerja keduanya dapat

ditambah dengan menambahkan vasokonstriktor. Meskipun penggunakan

lidokain untuk anastesi spinal telah banyak digunakan, namun beberapa ahli

sudah tidak menggunakannya kembali karena fenomena transient neurogical

symptom dan cauda equina syndrome (CES) (Morgan dan Mikhail, 2013).

Menurut Whalen tahun 2015, prinsip kerja obat anastesi lokal seperti bupivacaine,

lidocaine, pocaine maupun tetracaine adalah dengan memblokade kanal Na+,

sehingga terjadi penurunan permeabilitas membran neuron terhadap Na+ yang

akan menghalangi terjadinya depolarisasi dan penghantaran impuls menuju

otak. Terhambatnya impuls akan menghambat sensoris dan motoris dari pasien.

Cara kerja obat anastesi lokal serta karakteristiknya dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Mekanisme kerja obat anastesi lokal dan karakteristiknya.

2.1.7 Prosedur Anastesi Spinal


Adapun prosedur dari anestesi spinal adalah sebagai berikut (Morgan dan

Mikhail, 2006):

1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita

visite pre-operatif), sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan

adanya kesulitan dalam penusukan, maka pasien tidak perlu dipersiapkan

untuk spinal anestesi.

2. Posisi pasien

a) Posisi Lateral. Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10cm,

lutut dan paha fleksi mendekati perut, kepala ke arah dada.

b) Posisi duduk. Dengan posisi ini lebih mudah melihat columna

vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang telah mendapat premedikasi

mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk memegang


pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan

sadle block.

c) Posisi Prone. Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah

menginginkan posisi Jack Knife atau prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadine, alkohol,

kemudian kulit ditutupi dengan “doek” bolong steril.

4. Cara penusukan.

Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum,

semakin kecil diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi

komplikasi sakit kepala (PDPH=post duran punctureheadache), dianjurkan

dipakai jarum kecil. Penarikan stylet dari jarum spinal akan menyebabkan

keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarachnoid. Bila likuor

keruh, likuor harus diperiksa dan spinal analgesi dibatalkan. Bila keluar

darah, tarik jarum beberapa mili meter sampai yang keluar adalah likuor

yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stylet-nya, lalu ditunggu 1

menit, bila jernih, masukkan obat anestesi lokal, tetapi bila masih merah,

pindahkan tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan

sebelum menyuntik obat anestesi lokal karena dapat menimbulkan reaksi

benda asing (Meningismus).


DAFTAR PUSTAKA

Duke J. Spinal anesthesia. Anesthesia secrets. Edisi ke-3. Philadelphia:

MosbyElsevier; 2006.

Morgan, G Edward, S Mikhail. Clinical Anesthesiology. New York: MC Graw

Hill; 2013

Whalen TB. Lippincott’s Illustrated Reviews Pharmacology 6th Edition.

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins. 2015

Anda mungkin juga menyukai