BAB I
PENDAHULUAN
Enterokolitis nekrotikans (EKN) biasa juga disebut sebagai NEC merupakan penyakit
saluran cerna pada bayi baru lahir, ditandai dengan kematian jaringan luas yang terjadi pada
dinding usus. Penyakit ini menjadi salah satu masalah pada bayi dengan berat badan lahir sangat
rendah (BBLSR). Pada umumnya NEC lebih sering ditemukan pada bayi prematur daripada
bayi cukup bulan. Faktor resiko penyebab terjadinya NEC adalah kelahiran prematur, pemberian
makanan enteral dini, perlukaan mukosa usus, dan adanya bakteri pada usus.
Angka kejadian NEC mencapai 6 % pada bayi dengan berat badan lahir kurang dari
1500 gram di seluruh dunia, dan cenderung meningkat pada akhir dekade ini. Beberapa penulis
melaporkan angka kejadian berkisar antara 1,5-7,5% pada bayi yang dirawat di Unit Perawatan
Intensif. Angka kejadian NEC berbeda dari satu rumah sakit dengan rumah sakit lainnya.
Angka kematian NEC cukup tinggi. Pada tahun 1980 angka kematian NEC di Amerika
Serikat adalah 29%. Sedangkan di Rumah Sakit Anak & Bunda Harapan Kita pada tahun 1988-
1989, dari 35 penderita NEC dilaporkan kematian terjadi pada 19 kasus (54,3%).
Diagnosis NEC di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada tahun 60-
an jarang sekali ditegakkan. Kewaspadaan terhadap penyakit ini baru meningkat sesudah tahun
1972. Pada penelusuran catatan medik di sub bagian Perinatologi FKUI/RSCM, sejak tahun
1982-1985 menunjukkan 1 kasus pada tahun 1980, 2 kasus tahun 1982, 3 kasus pada tahun 1983,
4 kasus pada tahun 1984 dan 3 kasus pada tahun 1985. Dari gambaran kejadian ini terlihat bahwa
penambahan kejadian justru pada saat digunakan alat canggih dalam penanganan neonatus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
NEC (Necrotizing enterokolitis) atau Enterokolitis nekrotikans adalah kelainan pada
saluran pencernaan berupa bercak atau nekrosis difus pada mukosa atau submukosa kolon yang
didapat dan paling sering terjadi pada bayi prematur dan bayi dengan berat lahir sangat rendah.
2.3 Patogenesis
Walaupun etiologi NEC masih kontroversi, analisis epidemiologi penyakit ini telah
mengidentifikasi beberapa faktor resiko utama, yaitu prematuritas, makanan enteral, iskemik
ataupun asfiksia intestinal, dan kolonisasi bakteri. Studi terakhir menunjukkan hubungan faktor
resiko ini dengan terjadinya nekrosis usus. Studi ini menggambarkan bagaimana kerusakan
mukosa juga berhubungan dengan terganggunya sistem imun yang mengakibatkan aktivasi
mediator inflamasi, yang pada akhirnya menimbulkan sindrom respon inflamasi sistemik.
1. Prematuritas
Lebih dari 90 % kasus NEC terjadi pada bayi prematur, berat badan lahir rendah, dan
telah menjadi faktor resiko utama. Walaupun banyak perbedaan antara bayi prematur dengan
bayi cukup bulan, mekanisme yang bertanggung jawab terhadap predileksi NEC pada kondisi
NEC masih belum dipahami sepenuhnya. Masa atau umur kehamilan, rendahnya bobot badan
bayi saat lahir, dan hubungannya dengan makanan yang diberikan pada bayi sepertinya
menunjukkan kesulitan perkembangan dari usus dan menurunkan kapasitas pada proses yang
baik pada pengenalan akan mikroorganisme dalam lumen usus. Keduanya mempengaruhi bayi
premature pada kolonisasi bakteri yang tidak normal, pengembangan kekebalan tubuh yang
buruk
Penelitian yang dilakukan pada manusia dan hewan telah mengidentifikasi perubahan
dalam komponen – komponen sistem pertahanan usus, motilitas, kolonisasi bakteri, regulasi
aliran darah, dan reaksi inflamasi yang berperan dalam terjadinya kerusakan pada usus.
antara molekul dilator (nitrat oksida) dan konstriktor (endotelin), dan juga respon miogenik.
Studi menunjukkan bahwa bayi baru lahir memiliki penyimpangan respon terhadap stres
sirkulasi, yang menyebabkan penurunan aliran saluran cerna atau resistensi vaskuler. Dalam
respon terhadap hipotensi, hewan baru lahir menunjukkan defek tekanan-autoregulasi aliran
darah, menyebabkan penurunan penyediaan oksigen saluran cerna dan oksigenasi jaringan.
Sebagai tambahan, pada hipoksemia arteri, sirkulasi saluran cerna bayi baru lahir memiliki
respon yang berbeda dari hewan yang lebih tua. Walapun setelah hipoksemia, terjadi
vasodilatasi dan peningkatan perfusi saluran cerna, hipoksemia berat akan menyebabkan
vasokonstriksi dan iskemia atau hipoksia saluran cerna, dimediasi oleh tidak adanya produksi
nitrat oksida. Kebanyakan mediator kimia (nitrat oksida, endotelin, substansi P, norepinefrin, dan
angiotensin) berdampak pada vasomotor , regulasi abnormal menghasilkan penekanan
autoregulasi sirkulasi, mengarah pada iskemia saluran cerna dan nekrosis jaringan.
Nekrosis dimulai di mukosa dan dapat berkembang mengenai seluruh lapisan dinding
saluran cerna, menyebabkan perforasi yang berikutnya menyebabkan peritonitis dan udara bebas
intra-abdomen. Perforasi umumnya terjadi di ileum terminal, kolon dan lebih jarang terjadi di
usus kecil bagian proksimal. Sepsis terjadi pada 33% bayi dan kematian dapat terjadi.
4. Kolonisasi Bakteri
In Utero, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang steril, diperkaya dengan
nutrisi, hormon, dan faktor-faktor pertumbuhan yang membantu perkembangan dari traktus
intestinal. Saat lahir, bayi akan meninggalkan lingkungan yang steril tersebut. Pemberian ASI
pada bayi akan membentuk kolonisasi beberapa jenis organisme pada minggu pertama
kehidupan, termasuk spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan Lactobacill. Dibandingkan
dengan bayi yang dirawat Rumah Sakit, saluran cerna pada bayi yang prematur memiliki spesies
bakteri yang sedikit, dan bakteri anaerob yang lebih sedikit atau mungkin sama sekali tidak ada.
Kolonisasi oleh bakteri komensal membuat sebuah flora usus yang stabil dan sangat
penting bagi perkembangan struktur intestinal. Bakteri komensal mampu meningkatkan dan
menjaga kesatuan sebagai mukoprotektor dengan menurunkan produksi mukus, memperkuat
Intestinal Tight Junction, memproduksi zat-zat racun yang melawan bakteri aerobik, dan
menurunkan pH intralumen.
Ketidakseimbangan kolonisasi bakteri, dimana terdapat ketidakseimbangan antara
bakteri patogen dan komensal menyebabkan dominasi dan proliferasi patologis yang dilakukan
oleh bakteri patogen. Bukti terakhir menunjukkan bahwa kontaminasi dan kolonisasi bakteri
pada pemberian makanan formula melalui Nasogastric tube (NGT) pada bayi prematur
merupakan predisposisi pada beberapa bayi untuk terjadinya NEC. Mekanisme spesifik
bagaimana inisiasi bakteri dalam kejadian NEC belum sepenuhnya dimengerti, namun pada
kebanyakan kasus ditemukan bahwa dinding sel bakteri patogen menghasilkan endotoksin, dan
beberapa komponen aktif menyerupai reseptor di epitel usus, dan mengaktivasi mediator
inflamasi yang memicu kerusakan usus.
2.4 Diagnosis
2.4.1 Gejala klinis
Menurut WHO (2008), tanda-tanda umum pada NEC meliputi :
a. Distensi perut atau adanya nyeri tekan
b. Toleransi minum yang buruk
c. Muntah kehijauan atau cairan kehijauan keluar melalui pipa lambung
d. Darah pada feses
e. Tanda-tanda umum gangguan sistemik :
Apneu
Terus mengantuk atau tidak sadar
Demam atau hipoterm
Kriteria Bell’s menurut Gomella:
c. Elektrolit
Gangguan elektrolit seperti hiponatremia.
Pada anak dengan NEC yang umumnya menunjukkan gejala penyakit akut dan berat,
perut kembung, muntah–muntah, menyerupai gejala ileus, maka tidak dilakukan dengan kontras.
Foto dilakukan pada posisi Anteroposterior, ataupun left lateral dekubitus (LLD). Beberapa
klinisi menyukai posisi LLD karena dapat menunjukkan fenomena anak tangga (step leader)
pada ileus, distensi usus, dan adanya udara di luar rongga usus.
2.5 Tatalaksana
Prinsip dasar tatalaksana NEC yaitu menatalaksananya sebagai akut abdomen dengan
ancaman terjadi peritonitis septik. Tujuannya adalah untuk mencegah perburukan penyakit,
perforasi intestinal, dan syok. Jika NEC terjadi pada kelompok epidemis, para penderita perlu
dipertimbangkan untuk isolasi
A. Tatalaksana Medis
Pengelolaan Dasar
1. Pasien dipuasakan untuk mengistirahatkan saluran cerna selama 7-14 hari (pada EKN
stadium 1 waktunya lebih singkat). Pemenuhan kebutuhan nutrisi dasar melalui parenteral
total.
2. Lakukan dekompresi lambung dengan replogle orogastric tube atau lakukan suction
berkelanjutan.
3. Lakukan monitoring ketat pada vital sign dan kondisi abdomen
4. Lakukan monitoring perdarahan saluran cerna. Periksa semua cairan aspirasi lambung dan
feses, apakah ada perdarahan
5. Perbaikan kondisi respiratorik sesuai yang dibutuhkan untuk memelihara parameter gas
darah yang dapat diterima
6. Perbaikan kondisi sirkulasi. Penggantian cairan mungkin dibutuhkan pada keadaan yang
mengarah kepada syok. Penggunaan inotropik mungkin dibutuhkan untuk menjaga tekanan
darah dalam batas normal
7. Lakukan monitoring ketat terhadap intake dan output cairan. Usahakan untuk
mempertahankan produksi urin 1-3 mL/KgBB/jam. Hentikan pemberian kalium pada infus
jika pasien dalam keadaan hiperkalemia atau anuria.
8. Lepas pemasangan kateterisasi pada arteri dan vena umbilikal dan ganti dengan kateterisasi
arteri dan vena perifer, tergantung pada keparahan penyakit.
9. Lakukan monitoring hasil pemeriksaan laboratorium, Periksa hitung sel darah lengkap dan
elektrolit tiap 12-24 jam hingga stabil. Lakukan kultur darah dan urin sebelum memulai
pemberian antibiotik.
10. Berikan antibiotik. Berikan antibiotik parenteral selama 10 hari. Mulai dengan pemberian
Ampicillin dan Gentamicin (atau Ceftriaxone). Pertimbangkan pemberian Vancomycin
(sebagai pengganti Ampicillin) pada keadaan penyakit sentral atau curiga infeksi
stafilokokus. Tambahkan Metronidazole atau Clindamycin untuk meng-cover kuman
anaerob, jika curiga terjadi peritonitis atau perforasi usus. Penelitian terbaru tidak
menganjurkan ataupun menolak penggunaan laktoferin sebagai adjuvant terapi antibiotik.
11. Lakukan monitoring adanya DIC. Bayi pada EKN stadium II dan III dapat mengalami DIC
dan membutuhkan fresh-frozen plasma dan cryoprecipitate. Transfusi PRC dan trombosit
mungkin juga dibutuhkan.
12. Pemeriksaan radiografik. Abdominal flat plate dengan posisi lateral dekubitus pada
pemeriksaan cross-table lateral tiap 6-8 jam pada stadium akut untuk medeteksi perforasi
usus.
13. Konsul bedah pada EKN ( stadium II dan III).
selama 10 hari
Jika bayi apneu, beri oksigen melalui pipa nasal dan jika berlanjut beri aminofilin 10
Jika bayi pucat, cek hemoglobin dan beri transfusi jika < 10g/dl
Lakukan pemeriksaan sinar x abdominal pada posisi supinasi dan lateral dekubitus, jika
terdapat gas dalam rongga perut di luar usus mungkin sudah terjadi perforasi usus
Mulai pemberian ASI melalui pipa lambung jika abdomen lembut dan tidak nyeri tekan,
BAB normal tanpa ada darah dan tidak muntah kehijauan, mulai memberi ASI pelan-pelan
B. Tatalaksana Bedah
C. Pencegahan
Strategi yang berbeda telah disarankan untuk mencegah NEC. Hal ini termasuk
penggunaan antibiotik enteral, penggunaan cairan parenteral secara bijak, pemberian IgG dan
IgM enteral, pemberian kortikosteroid antenatal, penundaan atau melambatkan pemberian
makanan pendamping ASI, pemberian ASI dan penggunaan probiotik.
Selain NEC diagnosis banding dari bayi yang mengalami pneumatosis intestinalis adalah
Gambar 3. Hirscprung
2.8 Prognosis
Manajemen medis gagal pada sekitar 20-40% pasien dengan pneumatosis intestinal saat
didiagnosis, 10-30%nya meninggal dunia. Komplikasi awal post operatif antara lain infeksi luka,
dehiscence dan masalah stoma (prolaps, nekrosis). Komplikasi lanjut antara lain striktur
intestinal yang dapat muncul pada lokasi lesi yang mengalami nekrosis pada sekitar 10% pasien
yang di tatalaksana secara bedah maupun medis. Reseksi dari striktur yang mengalami obstruksi
merupakan tindakan kuratif. Setelah reseksi intestinal yang masif, komplikasi NEC post operatif
antara lain short-bowel syndrome (malabsorbsi, gagal tumbuh, malnutrisi), komplikasi yang
berhubungan dengan kateter vena sentral (sepsis, trombosis. Bayi prematur dengan NEC yang
membutuhkan intervensi bedah atau yang mengalami bakteremia berada dalam resiko yang
tinggi dalam pertumbuhan dan outcome neuro developmental.
Dilatasi usus dapat menyeluruh atau hanya mengenai usus halus saja tergantung pada
bagian usus yang terkena. Akibat gangguan fungsi biasanya ada hubungannya dengan beratnya
klinis, sedangkan distribusi dilatasi usus pada pemeriksaan serial ada hubungannya dengan
progesivitas klinis
Pneumatosis intestinal, yaitu bayangan udara intramural pada dinding usus, gaster atau
rectum, tetapi lebih sering terjadi pada ileum, kolon descendens dan sigmoid, terlihat sebagai
gelembung dan garis paralel dalam dinding usus merupakan tanda patognomonik pada NEC
yang dapat timbul dan hilang dengan cepat biasanya menghilang dalam waktu singkat, paling
lama 1 jam. Lenyapnya gas intramural tidak selalu berhubungan dengan perbaikan klinis
Gas dalam vena porta. Gambaran menunjukkan garis lusen bercabang – cabang sesuai
dengan percabangan vena porta di daerah hepar. Gambaran tersebut bisa juga muncul pada post
kateterisasi vena umbilikalis
Pneumoperitonium, tampak udara bebas atau cairan dalam rongga peritoneum dan
dilatasi usus yang persisten. Gambaran ini merupakan isyarat untuk melakukan tindakan bedah.
Evaluasi penyakit dilakukan dengan foto serial dengan interval waktu 12-24 jam. Jika terdapat
perbaikan dianjurkan membuat foto setiap 7-10 hari. Beberapa minggu-bulan sesudah bayi
dipulangkan dalam keadaan sembuh dapat terjadi obstruksi karena striktur pada usus yang
terkena.
Adanya gambaran perforasi juga merupakan indikasi tindakan bedah, oleh karena itu
penting bagi klinisi dan ahli radiologis untuk mengenali dan menemukan tanda dini perforasi.
Gambaran radiografik perforasi yaitu:
1. Gas bebas intraperitoneal
2. Cairan bebas intraperitoneal
3. Gas usus berkurang dengan lingkar asimetrik,
4. Lingkar usus melebar persisten
Gambar 7. Pneumoperitonium
Ultrasonografi
Selain itu keuntungan menggunakan USG dalam menengevaluasi NEC yaitu USG dapat
digunakan secara cepat struktur abdominal, mengobservasi ketebalan dinding usus, peristaltik
dan perfusinya.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA