Anda di halaman 1dari 26

i

REFERAT
Identifikasi dan Tatalaksana Tension
Pneumothorax pada Pasien Trauma
Thorax

Oleh:
Shabrina Yasyfi Hanifati
22004101096

Dosen Pembimbing
dr. Subchan Aga Bachtiar, Sp.B

LABORATORIUM ILMU BEDAH


KEPANITRAAN KLINIK MADYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2021
ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam
penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu
Bedah yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan
referat ini dapat terselesaikan.

Referat ini membahas terkait definisi, etiologi, patofiologi, penegakan diagnosa


dan tatalaksana dari tension pneumothorax.

Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian laporan selanjutnya.

Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Bangkalan, 25 Juli 2021

Penyusun
iii

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
2.1 Definisi.....................................................................................................................4
2.2 Etiologi.....................................................................................................................5
2.3 Patofisiologi.............................................................................................................5
2.4 Penegakan Diagnosis................................................................................................8
2.4.1 Gejala Klinis.....................................................................................................8
2.4.2 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................8
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................10
2.5 Tatalaksana.............................................................................................................11
2.6 Komplikasi.............................................................................................................17
2.7 Prognosis................................................................................................................18
BAB III..................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan............................................................................................................19
3.2 Saran......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................viii
1

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi Tension Pneumothorax...............................................................7

Gambar 2.2 Gambaran radiologis dan ilustrasi pneumotoraks ventil/tension pneum. . .10

Gambar 2.3 Titik lokasi insersi jarum dekompresi............................................................13

Gambar 2.4 Jarum untuk tindakan dekompresi pasien pneumotoraks ventil.................14

Gambar 2.5 Plester Khusus..................................................................................................14

Gambar 2.6 Mini chest tube water sealed drainage...........................................................16

Gambar 2.7 Pasien terpasang chest tube thoracostomy dengan water seal drainage
system 1, 2, dan 3 botol.......................................................................................................17
2

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma toraks merupakan penyebab kematian yang signifikan; kenyataannya,
banyak pasien dengan trauma toraks meninggal setelah sampai di rumah sakit.
Namun, banyak dari kematian ini dapat dicegah dengan diagnosis dan tatalaksana
yang tepat. Intervensi operatif hanya diperlukan pada kurang dari 10% cedera dada
tumpul dan hanya 15% hingga 30% dari cedera dada tembus. Kebanyakan pasien
yang mengalami trauma toraks dapat diobati dengan teknik prosedur dalam
kemampuan dokter terlatih dalam ATLS.1
Konsekuensi fisiologis dari trauma toraks adalah hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis. Luka memar, hematoma, kolaps alveolar, atau perubahan hubungan tekanan
intratoraks (misalnya pada tension pneumothorax dan open pneumothorax)
menyebabkan hipoksia dan menyebabkan asidosis metabolik. Hiperkarbia
menyebabkan asidosis respiratorik dan biasanya disertai dengan ventilasi yang tidak
adekuat yang disebabkan oleh perubahan hubungan tekanan intrathorax dan
penurunan tingkat kesadaran.1
Pneumotoraks didefinisikan sebagai kondisi terdapatnya udara di dalam
kavum pleura.2 Traumatik pneumothorax dan tension pneumothorax lebih sering
terjadi daripada pneumotoraks spontan. Aspirasi jarum transtoraks dan kateter vena
sentral biasanya merupakan penyebab tersering pneumotoraks iatrogenik. Tingkat
pneumotoraks iatrogenik meningkat di rumah sakit AS karena modalitas perawatan
intensif semakin bergantung pada ventilasi tekanan positif dan kateter vena sentral.
Kateterisasi vena sentral meningkatkan risiko pneumotoraks bila ditempatkan di
jugularis interna atau subklavia. Insidennya sekitar 1 sampai 13% tetapi meningkat
menjadi 40% jika dilakukan berbagai macam tindakan medis pada pasien. Risiko ini
dapat menurun jika prosedur dilakukan dengan menggunakan ultrasound sebagai
pemandu. Pneumotoraks iatrogenik biasanya menyebabkan morbiditas yang
substansial tetapi jarang menyebabkan kematian. Insidennya adalah 5 sampai 7 per
10.000 rawat inap.3
3

Pneumotoraks ventil atau tension pneumothorax merupakan keadaan


mengancam jiwa yang sering terjadi. Tension pneumotoraks dapat berkembang pada
1 hingga 2% kasus yang awalnya muncul sebagai pneumotoraks spontan idiopatik.
Sulit untuk menentukan angka kejadian sebenarnya dari penyakit tension
pneumotoraks karena pada saat pasien trauma diangkut ke pusat trauma, pasien
biasanya telah ditangani dengan dekompresi needle thoracotomie. Pasien trauma
memiliki kecenderungan terjadi pneumotoraks atau tension pneumotoraks sebesar
20%. Dalam kasus trauma dada yang parah 50% pasien akan mengalami
pneumotoraks. Insiden pneumotoraks traumatis tergantung pada ukuran dan
mechanism of the injury. Sebuah tinjauan kematian pada militer meunjukkan bahwa
hamper 5% dari korban pertempuran dengan trauma toraks memiliki tension
pneumothorax pada saat kematian.4,5,6,7,8
Tension pneumothorax adalah konsekuensi dari pneumotoraks dengan kondisi
fistel pada pleura viseral yang bersifat ventil. Tension pneumothorax jika tidak diatasi
segera akan menyebabkan hipoksemia, gagal napas akut, syok, henti jantung, dan
kematian. Ketepatan analisis dan tatalaksana segera akan membantu menyelamatkan
nyawa pasien.9,10

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi tension pneumothorax?
2. Bagaimana etiologi tension pneumothorax?
3. Bagaimana patofisiologi tension pneumothorax?
4. Bagaimana penegakan diagnosa tension pneumothorax?
5. Bagaimana tatalaksana tension pneumothorax?
6. Bagaimana komplikasi tension pneumothorax?
7. Bagaimana prognosis tension pneumothorax?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi tension pneumothorax?
2. Mengetahui etiologi tension pneumothorax?
4

3. Mengetahui patofisiologi tension pneumothorax?


4. Mengetahui penegakan diagnosa tension pneumothorax?
5. Mengetahui tatalaksana tension pneumothorax?
6. Mengetahui komplikasi tension pneumothorax?
7. Mengetahui prognosis tension pneumothorax?

1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat melakukan pembelajaran tentang penyakit tension
pneumothorax, mengetahui cara menegakkan diagnosis, serta
penatalaksanaannya.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sebelum memahami tentang tension pneumothorax perlu untuk dipahami
pengertian dari penyakit pneumothorax. Pneumothorax adalah keadaan ketika udara
terkumpul di antara pleura parietal dan visera yang mengakibatkan kolaps paru. Pada
pneumothorax paru-paru mengalami kolaps karena udara menumpuk di antara pleura
parietal dan visceral di dalam dada. Udara berada di luar paru-paru tetapi di dalam
rongga dada. Ini memberi tekanan pada paru-paru dan dapat menyebabkan paru paru
mengalami kolaps dan pergeseran struktur di sekitarnya. Pergeseran mediastinum
yang menyertainya disebut tension pneumotoraks. Ini adalah keadaan darurat yang
mengancam jiwa.3
Pneumothorax dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan jenis
kebocorannya. Berdasarkan etiologinya pneumothorax dibagi menjadi dua, yaitu
traumatic dan atraumatic (spontan). Traumatic pneumothorax terjadi sekunder akibat
trauma tembus atau tumpul atau iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik adalah
pneumothorax traumatis yang diakibatkan oleh cedera pada pleura, dengan masuknya
udara ke dalam rongga pleura akibat intervensi medis diagnostik atau terapeutik.
Pneumotoraks atraumatik dibagi lagi menjadi primer (etiologi tidak diketahui) dan
sekunder (pasien dengan penyakit paru yang mendasarinya). 3
Berdasarkan jenis kebocorannya pneumotoraks diklasifikasikan sebagai
simple penumothorax (tidak ada pergeseran struktur mediastinum), tension
pneumothorax (ada pergeseran struktur mediastinum), atau open pneumothorax
(udara melewati luka dada terbuka). Tension pneumothorax adalah kondisi
kegawatan yang terjadi ketika udara terperangkap di ruang pleura di bawah tekanan
positif, menggeser struktur mediastinum, dan mengganggu fungsi kardiopulmoner.
Pengenalan dini kondisi ini menyelamatkan nyawa baik di luar rumah sakit maupun
di ICU modern. Pengetahuan tentang prosedur dekompresi dada darurat yang
diperlukan sangat penting untuk semua profesional kesehatan. Tension pneumothorax
merupakan kejadian mengancam jiwa dan memerlukan ketepatan diagnosis serta
6

penatalaksanaan yang segera.3 Penderita dengan tension pneumothorax dapat


mengalami kegawatan akibat hipoksia, gagal napas akut, serta gangguan sirkulasi
yang menyebabkan syok dan henti jantung.9,10
2.2 Etiologi
Iatrogenik: (Diinduksi oleh prosedur medis)
 Kateterisasi vena sentral di subklavia atau vena jugularis interna
 Biopsi paru-paru
 Barotrauma karena ventilasi tekanan positif
 Trakeostomi perkutan
 Thoracentesis
 Pemasangan alat pacu jantung (pacemaker)
 Bronkoskopi
 Resusitasi jantung paru
 Interkostal nerve block

Non-Iatrogenik: (Karena trauma eksternal)


 Trauma tembus (penetrating) atau tumpul (blunt)
 Patah tulang rusuk
 Menyelam atau terbang

Penyebab tension pneumotoraks:


Semua penyebab di atas selanjutnya dapat menyebabkan tension pneumotoraks serta:
 Pneumotoraks spontan idiopatik
 Open pneumothorax
 Konversi pneumotoraks spontan menjadi tension pneumotoraks

2.3 Patofisiologi
Udara selalu berpindah dari tempat dengan tekanan tinggi ke tempat
bertekanan rendah. Paru dapat mengembang dan mengempis karena adanya
perbedaan tekanan selama proses respirasi berlangsung. Perbedaan tekanan yang
mempengaruhi mekanika pernapasan yaitu transairway pressure, transpulmonary
7

pressure, dan transthoracic pressure. Transairway pressure adalah tekanan yang


melalui saluran napas, yaitu perbedaan tekanan antara udara bebas dengan ruang
alveoli. Perbedaan tekanan ini menyebabkan udara dapat masuk dari lingkungan luar
ke dalam alveoli. Transpulmonary pressure adalah tekanan yang melalui paru, yaitu
perbedaan tekanan antara alveoli dengan rongga pleura. Transthoracic pressure
adalah tekanan melalui rongga toraks, yaitu perbedaan tekanan antara alveoli dengan
permukaan tubuh.11
Tekanan di dalam rongga pleura harus selalu berada dalam kondisi negatif
atau lebih rendah dari tekanan udara bebas dan alveoli selama proses respirasi
berlangsung. Tekanan negatif intrapleura menyebabkan paru mengembang. Jaringan
paru memiliki kecenderungan untuk menjadi kolaps karena sifat elastisnya.
Pneumothorax dapat terjadi karena kebocoran antara ruang alveoli/saluran napas
dengan rongga pleura sehingga memungkinkan udara berpindah ke dalam rongga
pleura sampai tekanan di antara kedua ruang sama atau sampai kebocoran menutup.
Peningkatan tekanan intrapleura menjadi lebih positif dari tekanan alveoli dan udara
bebas menyebabkan paru kolaps.9
Mekanisme yang mendasari tension pneumotoraks yaitu terdapatnya fistel
pada pleura yang bersifat “ventil” atau seperti katup. Fistel bersifat ventil/seperti
katup searah. Saat fase inspirasi katup terbuka sehingga udara dapat masuk melalui
saluran napas ke dalam rongga pleura, sedangkan pada fase ekspirasi katup menutup
dan udara sulit keluar. Udara akan terus terakumulasi di dalam rongga pleura selama
siklus pernapasan berlangsung dan mengakibatkan semakin meningkatnya tekanan
intrapleura. Peningkatan tekanan intrapleura mengganggu ekspansi efektif paru pada
sisi yang mengalami pneumotoraks, sampai akhirnya terjadi kolaps maksimal.
Peningkatan tekanan intrapleura lama kelamaan mendorong jantung dan struktur
mediastinum ke sisi kontralateral sehingga terjadi gangguan sirkulasi.12,13,14
Patofisiologi pneumotoraks ventil diperlihatkan pada Gambar 2.1.
8

Gambar 2.1 Patofisiologi Tension Pneumothorax.


Keterangan: Fistula/kebocoran pada pleura viseralis berbentuk “ventil” atau katup
satu arah dan pada kasus trauma mungkin disertai kebocoran/robekan pada dinding
dada sampai ke pleura. Udara dari saluran napas saat inspirasi akan masuk ke dalam
kavum pleura melalui katup. Saat ekspirasi katup menutup dan udara tetap didalam
sulit keluar, hal ini menyebabkan tekanan intrapleura semakin meningkat, paru
semakin kolaps, terjadi kompresi pada jantung, vena kava, dan mendesak
mediastinum ke sisi kontralateral.

Perubahan fisiologis pada paru dengan pneumotoraks adalah penurunan


kapasitas vital dan tekanan parsial oksigen arterial (PaO2). Pasien pneumothorax
spontan yang awalnya memiliki paru sehat cenderung mudah mengatasi penurunan
kapasitas vital. Pasien pneumothorax dengan penyakit paru sebelumnya akan
mengalami penurunan kapasitas vital dan menyebabkan insufisiensi pernapasan. Paru
kolaps menyebabkan shunting intrapulmonal dan terjadi hipoksemia. Pasien akan
mengalami hipoventilasi alveolar, berkurangnya PaO2, serta peningkatan perbedaan
tekanan oksigen alveolar-arterial (AaDO2), lama kelamaan terjadi gagal napas dan
asidosis respiratorik.15
Pendorongan mediastinum menyebabkan gangguan sirkulasi darah akibat
kompresi pada jantung dan pembuluh darah besar. Pembuluh darah besar terutama
vena kava akan mengalami kompresi yang mengganggu aliran darah balik vena.
9

Tension pneumothorax menurunkan venous return. Kompresi menyebabkan


pengisian diastolik dan curah jantung turun. Gangguan yang tidak segera teratasi
menyebabkan hipotensi, takikardia, disertai syok sampai kematian.9,10,15
2.4 Penegakan Diagnosis
2.4.1 Gejala Klinis
Diagnosis pneumotoraks ventil perlu dicurigai pada setiap pasien yang
mengalami perburukan kondisi klinis mendadak terutama setelah penggunaan
ventilasi mekanis atau sesaat setelah menjalani tindakan medis tertentu. Anamnesis
harus mencakup riwayat trauma, penyakit sebelumnya, serta tindakan yang menjadi
faktor risiko. Gejala klinis pada setiap pasien tension pneumothorax bervariasi
tergantung kondisi fistel yang dimiliki. Keluhan paling umum yaitu sesak napas dan
nyeri dada mendadak yang dialami sebagian besar pasien.16
2.4.2 Pemeriksaan Fisik
Penilaian awal dan pengobatan pasien dengan trauma toraks terdiri dari
primary survey dengan resusitasi fungsi vital, secondary survey, dan perawatan
definitif. Karena hipoksia adalah konsekuensi paling serius dari trauma thorax, tujuan
intervensi dini yaitu untuk mencegah atau koreksi terhadap terjadinya hipoksia.
Cedera yang merupakan ancaman langsung terhadap kehidupan pasien diintervensi
secepat dan sesederhana mungkin. Cedera toraks yang merupakan cedera yang dapat
mengancam jiwa dapat diobati dengan kontrol jalan napas atau dekompresi dada
dengan jarum, jari, atau tabung. Secondary survey dipengaruhi oleh riwayat cedera
dan indeks kecurigaan yang tinggi untuk cedera tertentu.1
Tension pneumothorax adalah diagnosis klinis yang mencerminkan adanya
udara di kavum pleura yang terkena. Pasien yang bernapas spontan seringkali
memanifestasikan takipnea ekstrim, sedangkan pasien yang mendapatkan ventilasi
mekanis memanifestasikan terjadinya kolaps hemodinamik.1 Tension pneumotoraks
ditandai dengan beberapa atau semua dari tanda dan gejala berikut ini:
 Nyeri dada
 Hemitoraks meninggi (elevasi) tanpa pergerakan respirasi
 Deviasi trakea menjauhi sisi yang mengalami cedera
10

 Respiratory distress
 Takipnea
 Takikardia
 Hipotensi
 Distensi vena jugular
 Hipersonor pada perkusi sisi yang terkena
 Suara nafas unilateral menghilang
 Sianosis (manifestasi lanjut)
Pada breathing assessment pada keadaan tension pneumothorax seperti yang
telah disebutkan diatas dapat ditemukan tanda-tanda berupa deviasi trakea, distensi
vena jugularis, hipersonor pada perkusi, dan suara nafas menghilang. Saturasi arteri
harus dinilai pada pasien menggunakan pulse oximeter dan akan didapatkan adanya
penurunan saturasi jika terjadi keadaan tension pneumothorax.1
Temuan pemeriksaan fisik yang penting dicari yaitu pasien tampak nyeri,
takipnea, takikardia, penurunan saturasi O2, hipotensi (ditandai penurunan tekanan
sistolik ≤ 90 mmHg), deviasi trakea, dan disertai temuan pemeriksaan fisik paru.
Pemeriksaan fisik paru menunjukkan pada inspeksi tampak hambatan pengembangan
paru (pergerakan dinding dada sisi pneumotoraks tampak tertinggal), dinding dada
tampak asimetris, pada palpasi fremitus raba menurun/menghilang, pada perkusi
hipersonor pada sisi paru yang terkena, dan pada auskultasi
penurunan/menghilangnya suara napas. Kondisi klinis penderita pneumotoraks ventil
dapat cepat memburuk. Penderita dapat mengalami gelisah, sianosis, syok, penurunan
kesadaran, hiperekspansi salah satu sisi hemitoraks ipsilateral, kelelahan otot napas,
penurunan gerak pengembangan dinding dada, nyeri epigastrium akut, dan pergeseran
apeks jantung.11,16
Penelitian melaporkan bahwa tidak seluruh kasus pneumotoraks ventil segera
berkaitan dengan kondisi akut yang fatal. Kejadian pneumotoraks ventil spontan yang
baru terjadi pada sebagian pasien mungkin ditemukan terabaikan. Sekitar 10% pasien
11

awalnya mengalami kondisi klinis asimtomatik atau hanya gejala ringan sehingga
tidak segera meminta pertolongan medis.9,16
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks pasien pneumotoraks menunjukkan gambaran
paru hyperluscent (lebih hitam) dan didalamnya tampak area avaskular (yaitu tidak
ada gambaran paru maupun bayangan pembuluh darah). Didapatkan gambaran kolaps
paru berupa jaringan paru yang terlihat memadat dibatasi garis pleura/pleural line
ditepinya. Besarnya area hyperluscent dan paru kolaps bervariasi sesuai derajat berat
pneumotoraks. Diafragma akan terdesak ke inferior dan tampak mendatar.
Pneumotoraks ventil yang semakin progresif menyebabkan pendorongan jantung
serta mediastinum ke arah kontra lateral, dan menyebabkan ketidak stabilan
hemodinamik.17 Gambar 2.2 memperlihatkan gambaran radiologis dan ilustrasi
pneumotoraks ventil.

Gambar 2.2 Gambaran radiologis dan ilustrasi pneumotoraks ventil/tension


pneumothorax.
Keterangan: A. Foto toraks proyeksi posteroantrior (PA) pasien dengan tension
pneumothorax kiri, tampak trakea dan mediastinum terdorong ke sisi kanan (anak
panah). B. Ilustrasi; 1= paru kiri yang kolaps dengan pleural line yang jelas; 2= area
kavum pleura dengan pneumotoraks terlihat hyperluscent dan avaskular; 3= trakea
terdesak ke kanan/sisi kontra lateral; 4= jantung terdesak ke kanan/sisi kontra lateral;
5= pendataran atau pendesakan diafragma ke inferior.
12

Pada keadaan tension pneumothorax jangan menunda tatalaksana untuk


mendapatkan konfirmasi radiologis.1 Pemeriksaan foto toraks tidak harus dilakukan
segera bila kondisi pasien tidak memungkinkan atau jika akan memperlambat
penatalaksanaan. Penggunaan foto toraks dada untuk diagnosis tension pneumothorax
berkaitan dengan peningkatan risiko kematian. Penelitian oleh Chen et.al, 2002 dan
Kollef, 1997 melaporkan bahwa angka mortalitas pneumotoraks meningkat 4 kali
lipat akibat keterlambatan penanganan karena menunggu hasil foto toraks. Penelitian
melaporkan bahwa pemeriksaan foto toraks menyebabkan keterlambatan penanganan
tension pneumothorax karena membutuhkan waktu rata-rata menunggu antara 30
menit sampai 8 jam.16
Penegakkan diagnosis yang cepat dan tepat merupakan hal yang sangat
diperlukan. Peningkatan risiko kematian akibat tension pneumothorax dilaporkan
berkaitan dengan keterlambatan diagnosis, kurang tepat diagnosis, terlalu lama
menunggu foto toraks, dan kesalahan interpretasi foto toraks. Ketepatan diagnosis
tension pneumothorax berhubungan dengan tingkat jam terbang atau pengalaman
dokter. Tingginya risiko kejadian pneumotoraks ventil pada pasien rawat ICU dan
pengguna ventilasi mekanis harus menjadi pertimbangan kewasapadaan seorang
dokter bila menjumpai perburukan gejala respiratorik mendadak pada seorang pasien.
Dokter harus dapat menegakkan diagnosis berdasarkan kondisi yang ditemukan, tidak
hanya mengandalkan menunggu hasil foto toraks.16
2.5 Tatalaksana
Lakukan evaluasi dimulai dari airway, breathing, dan circulation (ABC) pada
semua pasien pneumotoraks ventil terlebih lagi apabila ada riwayat trauma. Pastikan
jalan napas paten dan ventilasi adekuat. Periksa sirkulasi dengan meraba nadi, periksa
saturasi oksigen pasien, dan ukur tekanan darah. Segera atasi masalah bila ditemukan
penghalang pada evaluasi ABC. Penderita dengan riwayat trauma toraks perlu
diperiksa kemungkinan hematopneumotoraks. Kondisi hematopneumotoraks
menyebabkan penurunan sirkulasi akibat perdarahan. Persiapkan tranfusi darah jika
diperlukan.12
13

Penatalaksanaan awal pneumotoraks ventil yaitu terapi oksigen suplemental


melalui nasal kanul atau masker untuk mengurangi hipoksia dan tindakan dekompresi
secepatnya. Tindakan dekompresi merupakan tindakan penyelamatan. Tindakan
dekompresi akan menyebabkan tercapai perubahan dari keadaan tension
pneumothorax menjadi simple pneumothorax.9,10 Titik lokasi insersi jarum sebaiknya
dilakukan pada sela iga ke-2 di linea midklavikularis pada daerah hemitoraks yang
mengalami pneumotoraks.15,18,19 Bersihkan area tindakan dengan larutan betadin dan
kapas alkohol kemudian beri anestesia lokal dengan lidokain sebelum insersi jarum.
Lokasi insersi jarum dekompresi diperlihatkan pada Gambar 2.3.20

Gambar 2.3 Titik lokasi insersi jarum dekompresi. Dilakukan pada sela iga ke-2
di linea midklavikularis

Tindakan dekompresi menggunakan jarum atau needle insertion. Jarum yang


digunakan berupa jarum khusus yaitu tension pneumotoraks needle atau
menggunakan kateter intravena dengan plastic cannula (venflon) ukuran 14 sampai
16 Gauge (G). Jarum untuk tindakan dekompresi diperlihatkan pada Gambar 2.4.21
14

Gambar 2.4 Jarum untuk tindakan dekompresi pasien pneumotoraks ventil.


Keterangan: A= tension pneumotoraks needle; B= kateter intravena ukuran 14G.

Tension pneumotoraks needle dan kateter intravena memiliki 2 bagian yaitu


jarum dibagian dalam dan selongsong kanul terbuat dari plastik di bagian luar.
Setelah tension pneumotoraks needle atau kateter intravena tersebut ditusukkan ke
dinding dada sampai mencapai ke dalam kavum pleura, jarum dikeluarkan perlahan
dan kanul plastik kateter tersebut dipertahankan. Udara akan terasa keluar dari dalam
selongsong kanul. Segera fiksasi ujung kanul untuk membantu stabilisasi kanul dan
mencegah pergeseran posisi/terlepas.15,19
Plester khusus yang dapat digunakan yaitu Asherman chest seal. Ketika
darurat dan tidak ada Asherman chest seal dapat menggunakan kassa, plester,
disposable syringe 10 cc yang dipotong bagian ujungnya, dan penahan buatan
menggunakan potongan plastik cukup tebal (dapat menggunakan kemasan flabot
infus) yang dipotong ukuran 10 x 10 cm seperti diperlihatkan pada Gambar 2.5.21

Gambar 2.5 Plester khusus. A= Asherman chest seal; B= penahan buatan


menggunakan potongan penahan plastik dan potongan disposable syringe 10 cc
15

Mini chest tube water sealed drainage (WSD mini) merupakan tindakan
sementara menyambungkan kanul kateter yang telah terpasang dengan selang menuju
ke sistem botol water seal berisi cairan normal salin. Ketika kondisi darurat selang
penyambung dapat mempergunakan tranfusi set dan botol penampung cairan
menggunakan flabot infus. Setelah kateter disambungkan dengan selang menuju botol
maka pada akan tampak bubble (gelembung udara) pada botol dan undulasi pada
selang. Gambar 2.6 memperlihatkan mini WSD telah terpasang pada pasien
pneumotoraks ventil dan kateter telah terhubung dengan selang menuju botol water
seal berisi cairan normal salin.15, 22
Terapi suportif yang diperlukan pada penatalaksanaan pneumotoraks ventil
yaitu pemberian analgesia dan oksigenasi adekuat. Analgesia akan mengurangi rasa
nyeri dan kecemasan pasien. Analgesia dapat menggunakan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau golongan opioid. Pasien pneumotoraks dengan riwayat
trauma toraks sering ditemukan mengalami fraktur iga, flail chest, dan luka terbuka
dinding dada. Pasien akan mengalami nyeri hebat. Pemberian OAINS mungkin tidak
banyak bermanfaat mengurangi nyeri pada pasien sehingga memerlukan obat
golongan opioid. Modalitas yang dapat digunakan analgesia intravena, epidural,
intercostal nerve block, intrapleural anaesthesia, dan thoracic paravertebral block oleh
ahli anestesi. Pemberian analgesia golongan narkotika perlu hati-hati sebab jika
berlebihan akan menyebabkan gangguan depresi napas, mengurangi refleks batuk,
dan memperparah hipoksemia.23
16

Gambar 2.6 Mini chest tube water sealed drainage. A= water seal catheter telah
terpasang, tampak bubble (gelembung udara) pada botol; B= Botol water seal berisi
larutan normal salin, tampak penghubung selang dan katup penghubung ke udara luar
yang memungkinkan juga untuk disambung ke alat continuous suction pump apabila
kateter telah diganti dengan chest tube/selang ukuran yang lebih besar.

Tindakan dekompresi hanya merupakan tindakan sementara untuk dilanjutkan


dengan pemasangan chest tube thoracostomy dengan water sealed drainage system
(WSD) kecuali apabila paru dapat dipastikan telah mengembang sempurna setelah
pemasangan mini WSD.15,24 Pemasangan chest tube tetap merupakan terapi definitif
untuk kasus tension pneumotoraks. Gambar 2.7 memperlihatkan pasien telah
terpasang chest tube thoracostomy dan terhubung dengan sistem drainase 1, 2, atau 3
botol.22
17

Gambar 2.7 Pasien terpasang chest tube thoracostomy dengan water seal
drainage system 1, 2, dan 3 botol. A= penempatan chest tube sampai kavum pleura;
B= Tiga jenis sistem drainase mekanis yaitu sistem operasi 1, 2, dan 3 botol; C= alat
Pleur Evac.

Water sealed drainage dengan 1 botol merupakan sistem drainase yang paling
sederhana dan sering digunakan. Sistem WSD berupa 1 botol dengan penutup segel
yang memiliki 2 lubang selang yaitu 1 selang untuk ventilasi dan 1 lubang lagi
menghubungkan selang dada masuk menuju ke dalam botol. Cairan steril dimasukan
ke dalam botol sampai ujung selang terendam sekitar 2 cm untuk mencegah
masuknya udara ke dalam tabung yang bisa menyebabkan kolaps paru. Selang untuk
ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura
keluar. Undulasi akan tampak pada selang mengikuti irama pernapasan, bergerak naik
saat inspirasi dan bergerak turun saat ekspirasi. Fistula pada pleura akan
menyebabkan muncul bubble atau gelembung udara pada botol.25,26
Sistem WSD dengan 2 botol terdiri dari botol pertama sebagai penampung
cairan dan botol ke-2 sebagai ruang water seal. Botol pertama dihubungkan dengan
selang drainage yang masuk menuju ke dalam botol dan sebuah selang pendek keluar
dari botol pertama menuju ke botol ke-2. Botol pertama awalnya kosong dan hampa
udara. Cairan drainase dari rongga pleura apabila ada akan masuk ke botol 1 dan
udara dari rongga pleura masuk tersedot ke water seal yaitu botol ke-2 Sistem WSD 2
18

botol sangat baik digunakan untuk mengatasi jika ada cairan dan udara pada kavum
pleura seperti pada kasus hidropneumotoraks, hematopneumothoraks dan
pyopneumotoraks.26
Water seal drainage sistem 3 botol merupakan sistem yang mirip dengan 2
botol tetapi ditambah 1 botol lagi untuk mengontrol jumlah hisapan. Sistem 3 botol
paling aman karena mampu mengatur jumlah hisapan selama kedalaman selang pada
botol ke-3 bawah permukaan air. Kekuatan hisapan tergantung pada kedalaman ujung
selang dan botol 3. Botol ke-3 biasanya terhubung langsung dengan suction tube.26
Lakukan evaluasi foto toraks dan analisis gas darah (BGA) setelah
pemasangan chest tube jika kondisi pasien mulai stabil. Pertimbangan konsultasi ke
ahli bedah thorax bila ada indikasi tindakan pembedahan. Pembedahan melalui open
thoracostomy atau video assisted thoraco surgery (VATS). Indikasi pembedahan
pada kasus pneumotoraks ventil akibat pecahnya bula besar, trauma toraks dengan
fraktur iga, dan flail chest. Pneumotoraks dapat mengalami rekurensi (terjadi
berulang) pada 20% kasus. Tindakan pleurodesis dapat dilakukan pada pneumotoraks
berulang.15,20
2.6 Komplikasi
Komplikasi tension pneumothorax berkaitan dengan perburukan akibat
gangguan sirkulasi, ventilasi, trauma, dan perdarahan. Udara dapat menekan jantung,
mediastinum, dan pembuluh darah besar menyebabkan gangguan sirkulasi. Udara
juga dapat masuk ke mediastinum menyebabkan pneumomediastinum dan gangguan
sirkulasi. Komplikasi akibat gangguan sirkulasi menyebabkan penurunan
hemodinamik ditandai hipotensi, syok, dan penurunan kesadaran. Komplikasi yang
berkaitan dengan penurunan fungsi paru yaitu hipoventilasi menyebabkan
hipoksemia, gagal napas akut, sianosis, dan asidosis repiratorik. Komplikasi akibat
trauma menyebabkan tension pneumothorax disertai hemotoraks.10, 15, 19 Penderita juga
dapat mengalami robekan fistula bronkopleura yang luas. Penderita setelah terpasang
WSD dapat mengalami perburukan akibat reexpansion pulmonary edema disebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru akibat pengembangan paru yang
terlalu cepat.19
19

2.7 Prognosis
Tension pneumothorax memiliki prognosis buruk dengan risiko kematian
yang tinggi apabila disertai insufisiensi pernapasan dan kolaps kardiovaskular.
Prognosis menjadi buruk apabila diagnosis tidak segera diketahui atau
penatalaksanaan terlambat. Tension pneumothorax harus cepat diketahui dan
dilakukan penanganan dekompresi secepatnya, stabilisasi hemodinamik, dan terapi
suportif.27
20

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tension pneumothorax merupakan keadaan mengancam jiwa yang perlu
segera dikenali dan ditatalaksana secara adekuat untuk mmenyelamatkan nyawa
pasien, memaksimalkan keberhasilan penyembuhan pasien dan menurunkan risiko
komplikasi serta kematian pasien. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik pada primary survey sesuai ATLS, dan pemeriksaan
radiologi. Penegakan diagnosis dan tatalaksana tension pneumothorax dapat segera
dilakukan tanpa menunggu pemeriksaan radiologi agar nyawa pasien dapat
terselamatkan.
3.2 Saran
Pengetahuan tentang tension pneumothorax penting untuk diketahui guna
mempercepat penegakan diagnosis dan terapi pada pasien dapat dilakukan dengan
segera sehingga dapat menyelamatkan nyawa pasien dan menurunkan angka
kematian akibat tension pneumothorax.
vii

DAFTAR PUSTAKA

1. Henry, Sharon. ATLS 10th edition offers new insights into managing trauma
patients. Bulletin of the American College of Surgeons. 2018.
2. Syahdjam B. Pneumotoraks. Dalam: Kosasih A, Susanto AD, Pakki TR, Martini
T, editor. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-
hari. Edisi ke-1. Jakarta; Sagung Seto: 2008. hal. 45-54
3. Jalota, R., & Sayad, E. (2021). Tension pneumothorax. StatPearls [Internet].
4. Melton LJ, Hepper NG, Offord KP. Incidence of spontaneous pneumothorax in
Olmsted County, Minnesota: 1950 to 1974. Am Rev Respir Dis. 1979
Dec;120(6):1379-82. [PubMed]
5. Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T, Ayres JG, Strachan D. Epidemiology
of pneumothorax in England. Thorax. 2000 Aug;55(8):666-71. [PMC free article]
[PubMed]
6. Toffel M, Pin M, Ludwig C. [Thoracic Surgical Aspects of Seriously Injured
Patients]. Zentralbl Chir. 2020 Feb;145(1):108-120. [PubMed]
7. Tsotsolis N, Tsirgogianni K, Kioumis I, Pitsiou G, Baka S, Papaiwannou A,
Karavergou A, Rapti A, Trakada G, Katsikogiannis N, Tsakiridis K, Karapantzos
I, Karapantzou C, Barbetakis N, Zissimopoulos A, Kuhajda I, Andjelkovic D,
Zarogoulidis K, Zarogoulidis P. Pneumothorax as a complication of central
venous catheter insertion. Ann Transl Med. 2015 Mar;3(3):40. [PMC free article]
[PubMed]
8. McPherson JJ, Feigin DS, Bellamy RF. Prevalence of tension pneumothorax in
fatally wounded combat casualties. J Trauma. 2006 Mar;60(3):573-8. [PubMed]
9. Klik paru. Pneumotoraks. [cited 2016 July 19]. Available from:
http://www.klikparu.com/2013/01/pneumotoraks.html.
10. Light RW. Pneumothorax. In: Light RW, editor. Pleural disease. 5th ed. Nashville
Tenesse; Lippincott Williams and Wilkins: 2007. p. 306-32.
viii

11. Jardins TD. Ventilation. In: Jardins TD (editor). Cardiopulmonary anatomy and
physiology essentials for respiratory care. 4th ed. Illinois: Delmar Thompsons
Learning; 2002. p. 65-8.
12. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. J Emerg Trauma Shock. 2008;1(1):34-40.
13. Yoon JS, Choi SY, Suh JH, Jeong JY, Lee BY, Park YG, et al. Tension
pneumothorax, is it a really life-threatening condition?. J Cardiothorac Surg.
2013;8(197):1-6.
14. Balachandran G. Lung opacity and lung lucency. In: Balachandran G.
Interpretation of chest x-ray: an illustrated companion. New Delhi: Jaypee
brothers medical publisher; 2014. p. 64-5.
15. Jain DG, Gosavi SN, Jain DD. Understanding and managing tension
pneumothorax. JIACM. 2008;9(1):42-50
16. Leigh-Smith S, Harris T. Tension pneumothorax: time for a re-think?. Emerg
Med J. 2005;22:8-16
17. Balachandran G. Lung opacity and lung lucency. In: Balachandran G.
Interpretation of chest x-ray: an illustrated companion. New Delhi: Jaypee
brothers medical publisher; 2014. p. 64-5.
18. Macduff A, Arnold A, Harvey J. British thoracic society pleural disease guideline
2010: a quick reference guide. British Thoracic Society Report. 2010;2(3):5-7.
19. Light RW, Lee YCG, Pneumothorax, chylothorax, hemothorax, and fibrothorax.
In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of
respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 1764-77.
20. Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legg JS. Pneumothorax: an update. Postgrad
Med J. 2007;83:461-5.
21. Chinook. Tension pneumothorax decompression needle. [Diakses 26 Juli 2021].
Available from: http://www.chinookmed.com/cgi-bin/item/02189/s-
chest_thoracic/-Tension-Pneum othorax-Decompression-Needle,-14-g-x-
3.25%22-.
ix

22. Office of Medical Army. Resuscitation and preoperative preparation. [Diakses 26


Juli 2021]. Available from:
http://history.amedd.army.mil/booksdocs/wwii/thoracicsurgeryvolI/chapter9.html
23. Nair S, Tiwari A, Baker A. The non-operative management in flail chest injury.
In: McKee MD, Schemitsch EH (editors). Injuries to the chest wall: diagnosis and
management. New York: Springer; 2015. p. 41-7
24. Weissberg D, Refaely Y. Pneumothorax: experience with 1,199 patients. Chest.
2000;117:1279-85
25. What-when-how. Assisting with postural drainage. [Diakses 26 Juli 2021].
Available from: http://what-when-how.com/nursing/respiratory-disorders-adult-
care-nursing-part-2
26. Zisis C, Tsirgoggiani K, Lazaridis G, Lampaki S, Baka S, Mpoukovinas I, et al.
Chest drainage systems in use. Ann Transl Med. 2015;3(3):43.
27. Medscape. Pneumothorax. [Diakses 26 Juli 2021]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview#a6.

Anda mungkin juga menyukai