REFERAT
Identifikasi dan Tatalaksana Tension
Pneumothorax pada Pasien Trauma
Thorax
Oleh:
Shabrina Yasyfi Hanifati
22004101096
Dosen Pembimbing
dr. Subchan Aga Bachtiar, Sp.B
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, dan hidayah-Nya, sholawat serta salam yang kami junjungkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita menuju jalan kebenaran sehingga dalam
penyelesaian tugas ini kami dapat memilah antara yang baik dan buruk. Kami
mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing pada Laboratorium Ilmu
Bedah yang memberikan bimbingan dalam menempuh pendidikan ini. Tak lupa pula
kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sehingga dalam penyusunan
referat ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari dalam laporan ini belum sempurna secara keseluruhan oleh
karena itu kami dengan tangan terbuka menerima masukan-masukan yang
membangun sehingga dapat membantu dalam penyempurnaan dan pengembangan
penyelesaian laporan selanjutnya.
Demikian pengantar kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semua.
Amin.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
1.4 Manfaat....................................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
2.1 Definisi.....................................................................................................................4
2.2 Etiologi.....................................................................................................................5
2.3 Patofisiologi.............................................................................................................5
2.4 Penegakan Diagnosis................................................................................................8
2.4.1 Gejala Klinis.....................................................................................................8
2.4.2 Pemeriksaan Fisik.............................................................................................8
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................10
2.5 Tatalaksana.............................................................................................................11
2.6 Komplikasi.............................................................................................................17
2.7 Prognosis................................................................................................................18
BAB III..................................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan............................................................................................................19
3.2 Saran......................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................viii
1
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Patofisiologi Tension Pneumothorax...............................................................7
Gambar 2.2 Gambaran radiologis dan ilustrasi pneumotoraks ventil/tension pneum. . .10
Gambar 2.7 Pasien terpasang chest tube thoracostomy dengan water seal drainage
system 1, 2, dan 3 botol.......................................................................................................17
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma toraks merupakan penyebab kematian yang signifikan; kenyataannya,
banyak pasien dengan trauma toraks meninggal setelah sampai di rumah sakit.
Namun, banyak dari kematian ini dapat dicegah dengan diagnosis dan tatalaksana
yang tepat. Intervensi operatif hanya diperlukan pada kurang dari 10% cedera dada
tumpul dan hanya 15% hingga 30% dari cedera dada tembus. Kebanyakan pasien
yang mengalami trauma toraks dapat diobati dengan teknik prosedur dalam
kemampuan dokter terlatih dalam ATLS.1
Konsekuensi fisiologis dari trauma toraks adalah hipoksia, hiperkarbia, dan
asidosis. Luka memar, hematoma, kolaps alveolar, atau perubahan hubungan tekanan
intratoraks (misalnya pada tension pneumothorax dan open pneumothorax)
menyebabkan hipoksia dan menyebabkan asidosis metabolik. Hiperkarbia
menyebabkan asidosis respiratorik dan biasanya disertai dengan ventilasi yang tidak
adekuat yang disebabkan oleh perubahan hubungan tekanan intrathorax dan
penurunan tingkat kesadaran.1
Pneumotoraks didefinisikan sebagai kondisi terdapatnya udara di dalam
kavum pleura.2 Traumatik pneumothorax dan tension pneumothorax lebih sering
terjadi daripada pneumotoraks spontan. Aspirasi jarum transtoraks dan kateter vena
sentral biasanya merupakan penyebab tersering pneumotoraks iatrogenik. Tingkat
pneumotoraks iatrogenik meningkat di rumah sakit AS karena modalitas perawatan
intensif semakin bergantung pada ventilasi tekanan positif dan kateter vena sentral.
Kateterisasi vena sentral meningkatkan risiko pneumotoraks bila ditempatkan di
jugularis interna atau subklavia. Insidennya sekitar 1 sampai 13% tetapi meningkat
menjadi 40% jika dilakukan berbagai macam tindakan medis pada pasien. Risiko ini
dapat menurun jika prosedur dilakukan dengan menggunakan ultrasound sebagai
pemandu. Pneumotoraks iatrogenik biasanya menyebabkan morbiditas yang
substansial tetapi jarang menyebabkan kematian. Insidennya adalah 5 sampai 7 per
10.000 rawat inap.3
3
1.3 Tujuan
1. Mengetahui definisi tension pneumothorax?
2. Mengetahui etiologi tension pneumothorax?
4
1.4 Manfaat
Mahasiswa dapat melakukan pembelajaran tentang penyakit tension
pneumothorax, mengetahui cara menegakkan diagnosis, serta
penatalaksanaannya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sebelum memahami tentang tension pneumothorax perlu untuk dipahami
pengertian dari penyakit pneumothorax. Pneumothorax adalah keadaan ketika udara
terkumpul di antara pleura parietal dan visera yang mengakibatkan kolaps paru. Pada
pneumothorax paru-paru mengalami kolaps karena udara menumpuk di antara pleura
parietal dan visceral di dalam dada. Udara berada di luar paru-paru tetapi di dalam
rongga dada. Ini memberi tekanan pada paru-paru dan dapat menyebabkan paru paru
mengalami kolaps dan pergeseran struktur di sekitarnya. Pergeseran mediastinum
yang menyertainya disebut tension pneumotoraks. Ini adalah keadaan darurat yang
mengancam jiwa.3
Pneumothorax dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi dan jenis
kebocorannya. Berdasarkan etiologinya pneumothorax dibagi menjadi dua, yaitu
traumatic dan atraumatic (spontan). Traumatic pneumothorax terjadi sekunder akibat
trauma tembus atau tumpul atau iatrogenik. Pneumotoraks iatrogenik adalah
pneumothorax traumatis yang diakibatkan oleh cedera pada pleura, dengan masuknya
udara ke dalam rongga pleura akibat intervensi medis diagnostik atau terapeutik.
Pneumotoraks atraumatik dibagi lagi menjadi primer (etiologi tidak diketahui) dan
sekunder (pasien dengan penyakit paru yang mendasarinya). 3
Berdasarkan jenis kebocorannya pneumotoraks diklasifikasikan sebagai
simple penumothorax (tidak ada pergeseran struktur mediastinum), tension
pneumothorax (ada pergeseran struktur mediastinum), atau open pneumothorax
(udara melewati luka dada terbuka). Tension pneumothorax adalah kondisi
kegawatan yang terjadi ketika udara terperangkap di ruang pleura di bawah tekanan
positif, menggeser struktur mediastinum, dan mengganggu fungsi kardiopulmoner.
Pengenalan dini kondisi ini menyelamatkan nyawa baik di luar rumah sakit maupun
di ICU modern. Pengetahuan tentang prosedur dekompresi dada darurat yang
diperlukan sangat penting untuk semua profesional kesehatan. Tension pneumothorax
merupakan kejadian mengancam jiwa dan memerlukan ketepatan diagnosis serta
6
2.3 Patofisiologi
Udara selalu berpindah dari tempat dengan tekanan tinggi ke tempat
bertekanan rendah. Paru dapat mengembang dan mengempis karena adanya
perbedaan tekanan selama proses respirasi berlangsung. Perbedaan tekanan yang
mempengaruhi mekanika pernapasan yaitu transairway pressure, transpulmonary
7
Respiratory distress
Takipnea
Takikardia
Hipotensi
Distensi vena jugular
Hipersonor pada perkusi sisi yang terkena
Suara nafas unilateral menghilang
Sianosis (manifestasi lanjut)
Pada breathing assessment pada keadaan tension pneumothorax seperti yang
telah disebutkan diatas dapat ditemukan tanda-tanda berupa deviasi trakea, distensi
vena jugularis, hipersonor pada perkusi, dan suara nafas menghilang. Saturasi arteri
harus dinilai pada pasien menggunakan pulse oximeter dan akan didapatkan adanya
penurunan saturasi jika terjadi keadaan tension pneumothorax.1
Temuan pemeriksaan fisik yang penting dicari yaitu pasien tampak nyeri,
takipnea, takikardia, penurunan saturasi O2, hipotensi (ditandai penurunan tekanan
sistolik ≤ 90 mmHg), deviasi trakea, dan disertai temuan pemeriksaan fisik paru.
Pemeriksaan fisik paru menunjukkan pada inspeksi tampak hambatan pengembangan
paru (pergerakan dinding dada sisi pneumotoraks tampak tertinggal), dinding dada
tampak asimetris, pada palpasi fremitus raba menurun/menghilang, pada perkusi
hipersonor pada sisi paru yang terkena, dan pada auskultasi
penurunan/menghilangnya suara napas. Kondisi klinis penderita pneumotoraks ventil
dapat cepat memburuk. Penderita dapat mengalami gelisah, sianosis, syok, penurunan
kesadaran, hiperekspansi salah satu sisi hemitoraks ipsilateral, kelelahan otot napas,
penurunan gerak pengembangan dinding dada, nyeri epigastrium akut, dan pergeseran
apeks jantung.11,16
Penelitian melaporkan bahwa tidak seluruh kasus pneumotoraks ventil segera
berkaitan dengan kondisi akut yang fatal. Kejadian pneumotoraks ventil spontan yang
baru terjadi pada sebagian pasien mungkin ditemukan terabaikan. Sekitar 10% pasien
11
awalnya mengalami kondisi klinis asimtomatik atau hanya gejala ringan sehingga
tidak segera meminta pertolongan medis.9,16
2.4.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan foto toraks pasien pneumotoraks menunjukkan gambaran
paru hyperluscent (lebih hitam) dan didalamnya tampak area avaskular (yaitu tidak
ada gambaran paru maupun bayangan pembuluh darah). Didapatkan gambaran kolaps
paru berupa jaringan paru yang terlihat memadat dibatasi garis pleura/pleural line
ditepinya. Besarnya area hyperluscent dan paru kolaps bervariasi sesuai derajat berat
pneumotoraks. Diafragma akan terdesak ke inferior dan tampak mendatar.
Pneumotoraks ventil yang semakin progresif menyebabkan pendorongan jantung
serta mediastinum ke arah kontra lateral, dan menyebabkan ketidak stabilan
hemodinamik.17 Gambar 2.2 memperlihatkan gambaran radiologis dan ilustrasi
pneumotoraks ventil.
Gambar 2.3 Titik lokasi insersi jarum dekompresi. Dilakukan pada sela iga ke-2
di linea midklavikularis
Mini chest tube water sealed drainage (WSD mini) merupakan tindakan
sementara menyambungkan kanul kateter yang telah terpasang dengan selang menuju
ke sistem botol water seal berisi cairan normal salin. Ketika kondisi darurat selang
penyambung dapat mempergunakan tranfusi set dan botol penampung cairan
menggunakan flabot infus. Setelah kateter disambungkan dengan selang menuju botol
maka pada akan tampak bubble (gelembung udara) pada botol dan undulasi pada
selang. Gambar 2.6 memperlihatkan mini WSD telah terpasang pada pasien
pneumotoraks ventil dan kateter telah terhubung dengan selang menuju botol water
seal berisi cairan normal salin.15, 22
Terapi suportif yang diperlukan pada penatalaksanaan pneumotoraks ventil
yaitu pemberian analgesia dan oksigenasi adekuat. Analgesia akan mengurangi rasa
nyeri dan kecemasan pasien. Analgesia dapat menggunakan obat antiinflamasi
nonsteroid (OAINS) atau golongan opioid. Pasien pneumotoraks dengan riwayat
trauma toraks sering ditemukan mengalami fraktur iga, flail chest, dan luka terbuka
dinding dada. Pasien akan mengalami nyeri hebat. Pemberian OAINS mungkin tidak
banyak bermanfaat mengurangi nyeri pada pasien sehingga memerlukan obat
golongan opioid. Modalitas yang dapat digunakan analgesia intravena, epidural,
intercostal nerve block, intrapleural anaesthesia, dan thoracic paravertebral block oleh
ahli anestesi. Pemberian analgesia golongan narkotika perlu hati-hati sebab jika
berlebihan akan menyebabkan gangguan depresi napas, mengurangi refleks batuk,
dan memperparah hipoksemia.23
16
Gambar 2.6 Mini chest tube water sealed drainage. A= water seal catheter telah
terpasang, tampak bubble (gelembung udara) pada botol; B= Botol water seal berisi
larutan normal salin, tampak penghubung selang dan katup penghubung ke udara luar
yang memungkinkan juga untuk disambung ke alat continuous suction pump apabila
kateter telah diganti dengan chest tube/selang ukuran yang lebih besar.
Gambar 2.7 Pasien terpasang chest tube thoracostomy dengan water seal
drainage system 1, 2, dan 3 botol. A= penempatan chest tube sampai kavum pleura;
B= Tiga jenis sistem drainase mekanis yaitu sistem operasi 1, 2, dan 3 botol; C= alat
Pleur Evac.
Water sealed drainage dengan 1 botol merupakan sistem drainase yang paling
sederhana dan sering digunakan. Sistem WSD berupa 1 botol dengan penutup segel
yang memiliki 2 lubang selang yaitu 1 selang untuk ventilasi dan 1 lubang lagi
menghubungkan selang dada masuk menuju ke dalam botol. Cairan steril dimasukan
ke dalam botol sampai ujung selang terendam sekitar 2 cm untuk mencegah
masuknya udara ke dalam tabung yang bisa menyebabkan kolaps paru. Selang untuk
ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura
keluar. Undulasi akan tampak pada selang mengikuti irama pernapasan, bergerak naik
saat inspirasi dan bergerak turun saat ekspirasi. Fistula pada pleura akan
menyebabkan muncul bubble atau gelembung udara pada botol.25,26
Sistem WSD dengan 2 botol terdiri dari botol pertama sebagai penampung
cairan dan botol ke-2 sebagai ruang water seal. Botol pertama dihubungkan dengan
selang drainage yang masuk menuju ke dalam botol dan sebuah selang pendek keluar
dari botol pertama menuju ke botol ke-2. Botol pertama awalnya kosong dan hampa
udara. Cairan drainase dari rongga pleura apabila ada akan masuk ke botol 1 dan
udara dari rongga pleura masuk tersedot ke water seal yaitu botol ke-2 Sistem WSD 2
18
botol sangat baik digunakan untuk mengatasi jika ada cairan dan udara pada kavum
pleura seperti pada kasus hidropneumotoraks, hematopneumothoraks dan
pyopneumotoraks.26
Water seal drainage sistem 3 botol merupakan sistem yang mirip dengan 2
botol tetapi ditambah 1 botol lagi untuk mengontrol jumlah hisapan. Sistem 3 botol
paling aman karena mampu mengatur jumlah hisapan selama kedalaman selang pada
botol ke-3 bawah permukaan air. Kekuatan hisapan tergantung pada kedalaman ujung
selang dan botol 3. Botol ke-3 biasanya terhubung langsung dengan suction tube.26
Lakukan evaluasi foto toraks dan analisis gas darah (BGA) setelah
pemasangan chest tube jika kondisi pasien mulai stabil. Pertimbangan konsultasi ke
ahli bedah thorax bila ada indikasi tindakan pembedahan. Pembedahan melalui open
thoracostomy atau video assisted thoraco surgery (VATS). Indikasi pembedahan
pada kasus pneumotoraks ventil akibat pecahnya bula besar, trauma toraks dengan
fraktur iga, dan flail chest. Pneumotoraks dapat mengalami rekurensi (terjadi
berulang) pada 20% kasus. Tindakan pleurodesis dapat dilakukan pada pneumotoraks
berulang.15,20
2.6 Komplikasi
Komplikasi tension pneumothorax berkaitan dengan perburukan akibat
gangguan sirkulasi, ventilasi, trauma, dan perdarahan. Udara dapat menekan jantung,
mediastinum, dan pembuluh darah besar menyebabkan gangguan sirkulasi. Udara
juga dapat masuk ke mediastinum menyebabkan pneumomediastinum dan gangguan
sirkulasi. Komplikasi akibat gangguan sirkulasi menyebabkan penurunan
hemodinamik ditandai hipotensi, syok, dan penurunan kesadaran. Komplikasi yang
berkaitan dengan penurunan fungsi paru yaitu hipoventilasi menyebabkan
hipoksemia, gagal napas akut, sianosis, dan asidosis repiratorik. Komplikasi akibat
trauma menyebabkan tension pneumothorax disertai hemotoraks.10, 15, 19 Penderita juga
dapat mengalami robekan fistula bronkopleura yang luas. Penderita setelah terpasang
WSD dapat mengalami perburukan akibat reexpansion pulmonary edema disebabkan
peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru akibat pengembangan paru yang
terlalu cepat.19
19
2.7 Prognosis
Tension pneumothorax memiliki prognosis buruk dengan risiko kematian
yang tinggi apabila disertai insufisiensi pernapasan dan kolaps kardiovaskular.
Prognosis menjadi buruk apabila diagnosis tidak segera diketahui atau
penatalaksanaan terlambat. Tension pneumothorax harus cepat diketahui dan
dilakukan penanganan dekompresi secepatnya, stabilisasi hemodinamik, dan terapi
suportif.27
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tension pneumothorax merupakan keadaan mengancam jiwa yang perlu
segera dikenali dan ditatalaksana secara adekuat untuk mmenyelamatkan nyawa
pasien, memaksimalkan keberhasilan penyembuhan pasien dan menurunkan risiko
komplikasi serta kematian pasien. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik pada primary survey sesuai ATLS, dan pemeriksaan
radiologi. Penegakan diagnosis dan tatalaksana tension pneumothorax dapat segera
dilakukan tanpa menunggu pemeriksaan radiologi agar nyawa pasien dapat
terselamatkan.
3.2 Saran
Pengetahuan tentang tension pneumothorax penting untuk diketahui guna
mempercepat penegakan diagnosis dan terapi pada pasien dapat dilakukan dengan
segera sehingga dapat menyelamatkan nyawa pasien dan menurunkan angka
kematian akibat tension pneumothorax.
vii
DAFTAR PUSTAKA
1. Henry, Sharon. ATLS 10th edition offers new insights into managing trauma
patients. Bulletin of the American College of Surgeons. 2018.
2. Syahdjam B. Pneumotoraks. Dalam: Kosasih A, Susanto AD, Pakki TR, Martini
T, editor. Diagnosis dan tatalaksana kegawatdaruratan paru dalam praktek sehari-
hari. Edisi ke-1. Jakarta; Sagung Seto: 2008. hal. 45-54
3. Jalota, R., & Sayad, E. (2021). Tension pneumothorax. StatPearls [Internet].
4. Melton LJ, Hepper NG, Offord KP. Incidence of spontaneous pneumothorax in
Olmsted County, Minnesota: 1950 to 1974. Am Rev Respir Dis. 1979
Dec;120(6):1379-82. [PubMed]
5. Gupta D, Hansell A, Nichols T, Duong T, Ayres JG, Strachan D. Epidemiology
of pneumothorax in England. Thorax. 2000 Aug;55(8):666-71. [PMC free article]
[PubMed]
6. Toffel M, Pin M, Ludwig C. [Thoracic Surgical Aspects of Seriously Injured
Patients]. Zentralbl Chir. 2020 Feb;145(1):108-120. [PubMed]
7. Tsotsolis N, Tsirgogianni K, Kioumis I, Pitsiou G, Baka S, Papaiwannou A,
Karavergou A, Rapti A, Trakada G, Katsikogiannis N, Tsakiridis K, Karapantzos
I, Karapantzou C, Barbetakis N, Zissimopoulos A, Kuhajda I, Andjelkovic D,
Zarogoulidis K, Zarogoulidis P. Pneumothorax as a complication of central
venous catheter insertion. Ann Transl Med. 2015 Mar;3(3):40. [PMC free article]
[PubMed]
8. McPherson JJ, Feigin DS, Bellamy RF. Prevalence of tension pneumothorax in
fatally wounded combat casualties. J Trauma. 2006 Mar;60(3):573-8. [PubMed]
9. Klik paru. Pneumotoraks. [cited 2016 July 19]. Available from:
http://www.klikparu.com/2013/01/pneumotoraks.html.
10. Light RW. Pneumothorax. In: Light RW, editor. Pleural disease. 5th ed. Nashville
Tenesse; Lippincott Williams and Wilkins: 2007. p. 306-32.
viii
11. Jardins TD. Ventilation. In: Jardins TD (editor). Cardiopulmonary anatomy and
physiology essentials for respiratory care. 4th ed. Illinois: Delmar Thompsons
Learning; 2002. p. 65-8.
12. Sharma A, Jindal P. Principles of diagnosis and management of traumatic
pneumothorax. J Emerg Trauma Shock. 2008;1(1):34-40.
13. Yoon JS, Choi SY, Suh JH, Jeong JY, Lee BY, Park YG, et al. Tension
pneumothorax, is it a really life-threatening condition?. J Cardiothorac Surg.
2013;8(197):1-6.
14. Balachandran G. Lung opacity and lung lucency. In: Balachandran G.
Interpretation of chest x-ray: an illustrated companion. New Delhi: Jaypee
brothers medical publisher; 2014. p. 64-5.
15. Jain DG, Gosavi SN, Jain DD. Understanding and managing tension
pneumothorax. JIACM. 2008;9(1):42-50
16. Leigh-Smith S, Harris T. Tension pneumothorax: time for a re-think?. Emerg
Med J. 2005;22:8-16
17. Balachandran G. Lung opacity and lung lucency. In: Balachandran G.
Interpretation of chest x-ray: an illustrated companion. New Delhi: Jaypee
brothers medical publisher; 2014. p. 64-5.
18. Macduff A, Arnold A, Harvey J. British thoracic society pleural disease guideline
2010: a quick reference guide. British Thoracic Society Report. 2010;2(3):5-7.
19. Light RW, Lee YCG, Pneumothorax, chylothorax, hemothorax, and fibrothorax.
In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of
respiratory medicine. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Inc; 2010. p. 1764-77.
20. Currie GP, Alluri R, Christie GL, Legg JS. Pneumothorax: an update. Postgrad
Med J. 2007;83:461-5.
21. Chinook. Tension pneumothorax decompression needle. [Diakses 26 Juli 2021].
Available from: http://www.chinookmed.com/cgi-bin/item/02189/s-
chest_thoracic/-Tension-Pneum othorax-Decompression-Needle,-14-g-x-
3.25%22-.
ix