Anda di halaman 1dari 39

REFERAT

CEDERA OTAK DAN HERNIASI OTAK

OLEH :

Desak Gede Candra Handayani 19710027

PEMBIMBING:

dr. Muhammad Ainul Huda, Sp. BS

KEPANITERAAN KLINIK KSM ILMU BEDAH


RSUD IBNU SINA KABUPATEN GRESIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA
SURABAYA
2021

HALAMAN PENGESAHAN

i
Judul : Cedera Otak dan Herniasi Otak
Penyusun : Desak Gede Candra Handayani (19710027)
Fakultas : Kedokteran
Universitas : Wijaya Kusuma Surabaya
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Stase : Ilmu Bedah
Pembimbing : dr. Muhammad Ainul Huda, Sp. BS

Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah


Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya
Rumah Sakit Ibnu Sina Gresik

Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh Pembimbing


Gresik, Desember 2021

dr. Muhammad Ainul Huda, Sp. BS

KATA PENGANTAR

ii
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Cedera Otak dan Herniasi Otak”. Referat ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam
menempuh Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah. Tidak lupa penulis juga mengucapkan
banyak terima kasih kepada dr. Muhammad Ainul Huda, Sp.BS atas bimbingannya
dalam penyusunan tugas ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini
masih banyak terdapat kekurangan dan keterbatasan, oleh karena itu penulis sangat
menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga referat ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Gresik, Desember 2021

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

iii
Halaman Judul .................................................................................................. i

Halaman Pengesahan ........................................................................................ ii

Kata Pengantar ……………………………………………………………….. iii

Daftar Isi ……………………………………………………………………... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………. 2

2.1 Cedera Otak Traumatik

A. Definisi …………………………………………………………… 2

B. Anatomi…………………………………………………………… 2

C. Klasifikasi ………………………………………………………… 7

D. Fisiologi Tekanan Intra Kranial ………………………………….. 8

E. Patofisiologi ………………………………………………………. 10

F. Penegakkan Diagnosis ……………………………………………. 12

G. Tatalaksana ……………………………………………………….. 15

2.2 Herniasi Otak

A. Definisi ……………………………………………………………. 21

B. Etiologi ……………………………………………………………. 21

C. Patofisiologi ………………………………………………………. 21

D. Klasifikasi ………………………………………………………… 22

E. Penegakkan Diagnosis ……………………………………………. 24

F. Tatalaksana ………………………………………………………. 29

BAB III KESIMPULAN ………….…………………………………………. 30

iv
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 31

v
BAB I
PENDAHULUAN

Cedera otak merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif. Akibat cedera ini, seseorang dapat mengalami kondisi kritis
seperti tidak sadarkan diri pada saat akut, dan yang tidak kalah penting adalah saat
perawatan karena jika penatalaksanaannya tidak akurat, dapat terjadi kematian atau
kecacatan berat. Secara global diperkirakan 69 juta individu mengalami cedera otak
traumatik setiap tahunnya. Dimana sebanyak 81% berupa cedera otak traumatik ringan dan
11% berupa cedera otak traumatik sedang. Insiden cedera otak traumatik terbanyak terjadi
di Amerika dan Eropa (berturut-turut 1299 dan 1012 per 100.000 individu)1.
Sebanyak 60% kasus cedera otak traumatik disebabkan karena kecelakaan lalu
lintas. Hingga saat ini, cedera otak traumatik masih merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas di dunia pada individu usia dibawah 40 tahun2.
Terdapat sekitar 2,8 juta kunjungan ke unit gawat darurat yang diakibatkan oleh
cedera otak traumatik. Sebanyak 282.000 diantaranya memerlukan rawat inap dan sekitar
56.000 mengalami kemataian3.
Cedera otak yang tidak diatasi dengan baik akan dapat menimbulkan beberapa
komplikasi, salah satunya yaitu mengakibatkan peningkatan tekanan intra kranial dan
herniasi otak yang pada akhirnya dapat mengarah pada kematian. Oleh sebab itu, dalam
referat ini akan dibahas lebih lanjut mengenai cedera otak dan herniasi otak.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Cedera Otak Traumatik


A. Definisi
Cedera otak traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya
tekanan mekanik eksternal yang mengenai kranium dan komponen intrakranial,
sehingga menimbulkan kerusakan sementara atau permanen pada otak, gangguan
fungsional, atau gangguan psikososial4. Cedera otak dapat terjadi akibat benturan
langsung atau tidak langsung pada kepala. Benturan dapat dibedakan dari macam
kekuatannya, yakni kompresi, akselerasi, dan deselerasi5.
B. Anatomi
Otak adalah organ yang sangat kompleks. Mengandung sekitar 100 milyar
neuron. Tidak ada bagian otak yang bekerja sendiri terpisah dari bagian-bagian
otak lain, karena adanya anyaman neuron-neuron terhubung secara anatomis oleh
sinaps. Otak terdiri dari empat komponen utama: otak besar (cerebrum), otak
kecil (cerebellum), diensefalon, dan batang otak (brainstem). Otak manusia
mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh, mengkonsumsi 25% oksigen dan
menerima 1,5% curah jantung6,7.

Gambar 2.1 Bagian-Bagian Otak7

2
Tabel 2.1 Bagian-Bagian Otak dan Fungsinya6
Bagian Fungsi
Batang otak Menghubungkan sumsum tulang belakang ke otak besar; terdiri dari
(brainstem) medula oblongata, pons, dan otak tengah, dengan formasi reticular
tersebar di ketiga daerah tersebut
a. Otak tengah (midbrain)
Mengandung traktus saraf asending dan desending; mengrimkan
impuls saraf sensorik dari sumsum tulang belakang ke talamus dan
impuls saraf motorik dari otak ke sumsum tulang belakang.
Mengandung pusat refleks yang menggerakkan bola mata, kepala,
dan leher dalam menanggapi rangsangan visual dan pendengaran.
b. Pons
Mengandung traktur saraf asending dan desending; menyampaikan
informasi dari otak besar (serebrum) dan otak kecil (serebelum);
pusat refleks; membantu medula mengontrol pernapasan.
c. Medula oblongata
Jalur untuk traktus saraf asending dan desending; pusat untuk
beberapa refleks penting (misalnya, denyut jantung dan kekuatan
kontraksi, diameter pembuluh darah, pernapasan, menelan, muntah,
batuk, dan bersin)
Diensefalon a. Hipotalamus
Regulasi fungsi homeostatic (kontrol suhu, pengeluaran urin),
banyak terlibat dalam emosi dan pola perilaku dasar.
b. Talamus
Pusat pengiriman impuls sensorik utama. Menerima dan
menyampaikan impuls saraf sensorik (kecuali bau) ke otak dan
impuls saraf motorik ke pusat otak yang lebih rendah.
Otak kecil Mempertahankan keseimbangan, meningkatkan tonus otot,
(Cerebellum) mengkoordinasikan dan merencanakan aktivitas otot sadar.
Otak besar a. Korteks serebri
(Cerebrum) Persepsi sensorik, control gerakan sadar, bahasa, fungsi luhur
(berpikir, mengingat, mengambil keputusan, kreativitas)
b. Nukleus basal
Inhibisi tonus otot, koordinasi gerakan lambat, menekan pola
gerakan yang tidak bermanfaat.

Cerebrum dibagi menjadi dua bagian yang sama yaitu hemisfer serebri kiri
dan kanan. Keduanya saling berhubungan melalui korpus kalosum, suatu pita
tebal yang diperkirakan terdiri dari 300 juta akson neuron yang berjalan di antara
kedua hemisfer. Kedua hemisfer serebri terdiri dari empat lobus, yaitu6 :
1. Lobus frontal
Berperan dalam tiga fungsi utama : aktivitas motorik volunteer,
kemampuan berbicara, dan elaborasi pikiran

3
2. Lobus parietal
Terletak di belakang sulkus sentralis di masing-masing sisi. Lobus
parietalis terutama berperan menerima dan memproses input sensorik
3. Lobus oksipital
Terletak di posterior (di kepala belakang), melaksanakan pemrosesan
awal masukan penglihatan.
4. Lobus temporal
Berfungsi dalam mempersepsikan sensasi suara.

Gambar 2.2 Lobus Otak


Jaringan saraf pusat bersifat sangat halus. Karakteristik ini serta kenyataan
bahwa sel saraf yang rusak tidak dapat diganti, menyebabkan bahwa jaringan
rapuh yang tidak tergantikan ini harus dilindungi dengan baik. Terdapat empat
hal yang membantu melindungi SSP dari cedera6 :
1. SSP dilindungi oleh struktur tulang yang keras (cranium) yang
melindungi otak dan kolumna vertebralis yang mengelilingi medulla
spinalis.
2. Antara tulang pelindung dan jaringan saraf terdapat tiga membran
protektif dan nutritif yaitu meninges, secara berturut-turut dari luar ke
dalam terdiri dari duramater, arachnoid dan piamater.
a. Duramater
Adalah pembungkus inelastic kuat yang terdiri dari dua lapisan.
Lapisan-lapisan ini biasanya melekat erat, tetapi di beberapa tempat
keduanya terpisah untuk membentuk rongga berisi darah (sinus
dural) atau rongga yang lebih besar (sinus venosus). Darah vena
yang berasal dari otak mengalir ke sinus ini untuk dikembalikan ke

4
jantung. Cairan serebrospinal juga masuk kembali ke darah di salah
satu dari sinus-sinus ini.
b. Arachnoidmater
Lapisan halus kaya pembuluh darah dengan penampakan “sarang
laba-laba”. Ruang antara lapisan arachnoid dan piamater
dibawahnya (ruang subarachnoid) terisi oleh CSS.
c. Piamater
Lapisan paling rapuh. Lapisan ini memiliki banyak pembuluh darah
dan melekat erat ke permukaan otak dan medulla spinalis, mengikuti
setiap tonjolan dan lekukan.

Gambar 2.3 Anatomi Lapisan Meninges


3. Otak “mengapung” dalam suatu bantalan cairan khusus (cairan
serebrospinal).
Cairan serebrospinal (CSS) mengelilingi dan menjadi bantalan bagi
otak dan medulla spinalis. Fungsi utama CSS adalah sebagai cairan
peredam yang melindungi otak dan medulla spinalis terhadap benturan.
Cairan cerebrospinal dihasilkan oleh sekresi dari plexus choroidalis dari
cerebral ventrikel. Plexus choroidalis adalah struktur yang secara
fungsional kompleks dan khusus mensekresi , mendialisa dan menyerap
CSF. Lapisan epitel plexus choroidalis merupakan bagian penting bagi
pengangkutan transselluler zat pelarut dan zat larut dari pembuluh
choroids ke CSF ventrikel. Setelah disekresi oleh plexus choroidalis
pada ventrikel lateral CSF mengalir melalui interventricular foramina
(foramen Monroe) dan masuk ke ventrikel ke tiga6.

5
Selanjutnya CSF mengalir melewati aquaductus sylvii dan menuju
ventrikel keempat dan kemudian memasuki subarachnoid space dan
cisterna melalui foramen Magendie pada bagian medial aperture
ventrikel empat dan foramen Luscka pada bagian lateral aperture
ventrikel empat. Dari cisterna ini sebagian besar CSF mengalir kebagian
medial dan lateral permukaan hemisfer cerebri dan menuju sinus
sagitalis superior pada atap cranium. Pada sub arachnoid space,
cerebrospinal fluid merembes melalui saluran saluran pada granulasi
arachnoid untuk bersatu dengan darah vena didalam sinus sagitalis
posterior. Sebagian kecil CSF mengalir kebawah menuju subarachnoid
space medulla spinalis6.
4. Terdapat sawar darah otak yang sangat selektif yang membatasi akses
bahan-bahan di dalam darah masuk ke jaringan otak yang rentan6.

Gambar 2.4 Sirkulasi CSS6

6
C. Klasifikasi
Tabel 2.2 Klasifikasi Cedera Otak Traumatik8
Jenis Pembagian
Derajat Ringan GCS 14-15
Keparahan Sedang GCS 9-13
Berat GCS 3-8
Morfologi Fokal  EDH (Epidural hematoma)
Adanya hematom di ruang epidural (antara
cranium dan epidural).
 SDH (Subdrual hematoma)
Adanya hematom di ruang subdural (antara
epidural dan arachnoid).
 ICH (Intracerebral hematoma)
Adanya hematom di parenkim otak.
Diffuse DAI (Diffuse axonal injury)
Cedera otak difus dan disfungsi neuron yang
luas akibat gaya yang menyebabkan regangan
pada akson yang ditandai oleh penurunan
kesadaran setelah terjadinya trauma selama
lebih dari enam jam.

Gambar 2.5 Perdarahan Intrakranial

7
Gambar 2.6 EDH Gambar 2.7 SDH

Gambar 2.8 ICH Gambar 2.9 DAI

D. Fisiologi Tekanan Intra Kranial


Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Monroe dan Kellie pada
tahun 1820. Orang dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan
serebrospinal (CSF) dalam waktu 24 jam. Setiap saat, kira-kira150 mL ada
didalam ruang intrakranial. Ruang intradural terdiri dari ruang intraspinal
ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini pada orang dewasa sekitar
1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah,
dan 80% jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang
belakang tidak selalu penuh tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang
intradural dapat dicapai dengan kompresi terhadap pembuluh darah epidural
tulang belakang. Setelah kantung dural sepenuhnya tegang, apapun penambahan

8
volume selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang intrakranial
yang harus diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain9.
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika
terdapat penekanan (kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya
bagian yang memilik kapasitas dalam mengimbangi (buffer capacity) adalah
terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi perpindahan LCS ke arah
aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka terdapat
kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada
massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK) 9.
Kondisi normal ruang intrakranial meliputi parenkim otak, darah arteri dan
vena, serta LCS. Jika terdapat massa, terjadi pendorongan keluar darah vena dan
LCS untuk mencapai kompensasi TIK. Jika massa cukup besar terjadi
peningkatan TIK9.

Gambar 2.10 Doktrin Monro Kellie9


Nilai normal TIK masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan
bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10 mmHg masih dianggap normal untuk
bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap normal untuk anak dan dewasa,
sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah menetap dalam waktu lebih dari
20 menit dikatakan sebagai hipertensi intrkranial9.
Tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral (CPP /
Cerebral perfusion pressure). CPP dapat dihitung sebagai selisih antara rerata
tekanan arterial (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP/TIK) 9.
CPP = MAP – ICP atau MAP

9
Jadi perubahan pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi
cerebral, dimana ini akan berakibat terjadinya iskemia otak. Bila terjadi kenaikan
yang relatif kecil dari volume otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial. Sebab volume yang meninggi ini dapat
dikompensasi dengan memindahkan cairan serebrospinalis dari rongga tengkorak
ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah intrakranial akan menurun
oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan antara tekanan dan
volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme
penyesuaian ini akan gagal dan terjadilah peningkatan tekanan intrakranial9.

Gambar 2.11 Hubungan TIK dengan Volume9


E. Patofisiologi
Berdasarkan akibat yang ditimbulkan pada kepala, cedera otak
diklasifikasikan menjadi dua mekanisme atau tahapan, yaitu cedera otak primer
dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer merupakan akibat langsung trauma
yang menimbulkan kerusakan primer atau kerusakan mekanis. Sedangkan cedera
otak sekunder merupakan akibat proses patologis yang dimulai pada saat cedera
hingga beberapa jam bahkan hari. Cedera otak sekunder dideskripsikan sebagai
konsekuensi gangguan fisiologis, seperti iskemia, reperfusi, dan hipoksia pada
area otak yang beresiko, beberapa saat setelah terjadinya cedera cedera otak
primer10.
Tahap pertama cedera serebral pasca trauma ditandai dengan kerusakan
jaringan langsung, terganggunya regulasi aliran darah serebral (cerebral blood

10
flow/ CBF), dan terganggunya metabolisme. Hal tersebut memicu terjadinya
akumulasi asam laktat akibat glikolisis anaerob, peningkatan permeabilitas
membran, dan terbentuknya edema. Saat metabolisme anaerob tidak mampu
memenuhi kebutuhan energi seluler, terjadilah penurunan simpanan Adenosin
Triphosphate (ATP) dan kegagalan pompa ion. Tahap kedua kaskade
patofisiologi ditandai dengan depolarisasi terminal membran, bersama dengan
pelepasan berlebihan neurotransmiter eksitasi (glutamat, aspartat) dan terbukanya
kanal Ca2+ serta kanal Na+. Influk Ca2+ dan Na+ yang terus-menerus memicu
proses katabolik intraseluler. Ca2+ mengaktifkan lipid peroksidase, protease, dan
fosfolipase yang meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas
di intraseluler. Selain itu juga terjadi aktivasi caspases (ICE like protein),
translocases, dan endonuklease yang memicu perubahan struktural progresif pada
membran dan nukleosomal DNA. Seluruh proses tersebut memicu degradasi
membran vaskuler dan struktur selulernya, sehingga memicu proses nekrosis dan
apoptosis11.

11
Gambar 2.12 Patofisiologi Cedera Otak Primer dan Sekunder12
F. Penegakkan diagnosis
1. Anamnesa13
 Keluhan utama (nyeri kepala, penurunan kesadaran)
 Mekanisme trauma, waktu dan perjalanan trauma
 Penyakit penyerta : hipertensi, gangguan faal pembekuan darah
2. Pemeriksaan fisik13
 Pemeriksaan head to toe
 Per organ B1 – B6 (Breath, Blood, Brain, Bowel, Bladder, Bone)
Pemeriksaan fisik yang berkaitan erat dengan cedera otak adalah:
a. Pemeriksaan kepala
Mencari tanda :
– Jejas di kepala meliputi : hematoma sub kutan, sub galeal, luka
terbuka, luka tembus dan benda asing.
– Tanda patah dasar tengkorak, meliputi : ekimosis periorbita (brill
hematoma), ekimosis post auricular (battle sign), rhinorhoe, dan
otorhoe serta perdarahan di membrane timpani atau leserasi kanalis
auditorius.

12
Gambar 2.13 Tanda Fraktur Basis Cranii
– Tanda patah tulang wajah meliputi; fraktur maxilla (LeFort), fraktur
rima orbita dan fraktur mandibular

Gambar 2.14 Fraktur Le Fort


– Tanda trauma pada mata meliputi; perdarahan konjungtiva, perdarahan
bilik mata depan, kerusakan pupil dan jejas lain di mata.
– Tanda peningkatan TIK : nyeri kepala hebat, mual muntah proyektil.
b. Pemeriksaan Neurologi13
– Tingkat kesadaran : berdasarkan skala Glasgow Coma Scale (GCS).
Cedera kepala berdasar GCS, yang dinilai setelah stabilisasi ABC
diklasifikasikan:
GCS 14 – 15 : Cedera otak ringan (COR)

13
GCS 9 – 13 : Cedera otak sedang (COS)
GCS 3 – 8 : Cedera otak berat (COB)

Gambar 2.15 Penilaian Glasgow Coma Scale


– Saraf kranial, terutama:
o Saraf II-III, yaitu pemeriksaan pupil : besar & bentuk, reflek
cahaya, reflek konsensuil  bandingkan kanan-kiri
o Tanda-tanda lesi saraf VII perifer.
– Fundoskopi dicari tanda-tanda edema pupil, perdarahan pre retina,
retinal detachment.
– Motoris & sensoris, bandingkan kanan dan kiri, atas dan bawah
mencari tanda lateralisasi.
– Autonomis: bulbocavernous reflek, cremaster reflek, spingter reflek,
reflek tendon, reflek patologis dan tonus spingter ani.
3. Pemeriksaan penunjang13
a. Foto polos kepala
Indikasi pemeriksaan foto polos kepala :
 Kehilangan kesadaran, amnesia
 Nyeri kepala menetap
 Gejala neurologis fokal

14
 Jejas pada kulit kepala
 Kecurigaan luka tembus
 Keluar cairan cerebrospinal atau darah dari hidung atau telinga
 Deformitas tulang kepala, yang terlihat atau teraba
 Kesulitan dalam penilaian klinis : mabuk, intoksikasi obat, epilepsi,
anak
 Pasien dengan GCS 15, tanpa keluhan dan gejala tetapi mempunyai
resiko : benturan langsung atau jatuh pada permukaan yang keras,
pasien usia > 50 tahun.
b. Pemeriksaan CT scan
Indikasi pemeriksaan CT kepala pada pasien cedera kepala :
 GCS< 13 setelah resusitasi.
 Deteorisasi neurologis : penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang.
 Nyeri kepala, muntah yang menetap
 Terdapat tanda fokal neurologis
 Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
 Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
 Evaluasi pasca operasi
 Pasien multitrauma ( trauma signifikan lebih dari 1 organ )
 Indikasi sosial
G. Tatalaksana
1. Primary survey13
Tabel 2.3 Primary Survey pada Pasien Cedera Otak13
Pemeriksaan Evaluasi Perhatikan, catat, dan
perbaiki
Airway Patensi saluran Obstruksi ?
napas ?
Suara tambahan ?
Breathing Apakah oksigenasi Rate dan depth
Efektif…. ? Gerakan dada
Air entry
Sianosis
Circulation Apakah perfusi Pulse rate dan volume
Adekuat …..? Warna kulit
Capilarry return
Perdarahan
15
Tekanan darah
Disability Apakah ada kecacatan Tingkat kesadaran
( status neurologis …? menggunakan
neurologis ) sistem
GCS atau AVPU.
Pupil (besar, bentuk,
reflek cahaya,
bandingkan kanan-kiri)
Exposure Cedera organ lain… ? Jejas, deformitas, dan
(buka seluruh gerakan ekstremitas.
pakaian) Evaluasi respon terhadap
perintah atau rangsang
nyeri

2. Secondary survey13
a. Anamnesa
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Neurologis
3. Tatalaksana konservatif13
a. Head Up 30oC
b. Berikan cairan secukupnya (normal saline) untuk resusitasi pasien agar
tetap normovolemia, atasi hipotensi yang terjadi dan berikan transfusi
darah jika Hb kurang dari 10 gr/dl.
c. Periksa tanda vital, adanya cedera sistemik di bagian anggota tubuh lain,
GCS dan pemeriksaan batang otak secara periodik.
d. Berikan obat-obatan analgetik (misal: acetaminophen, ibuprofen untuk
nyeri ringan dan sedang) bila didapatkan keluhan nyeri pada penderita.
e. Berikan obat-obatan anti muntah (misal: metoclopramide atau
ondansentron) dan anti ulkus gastritis H2 bloker (misal: ranitidin atau
omeprazole) jika penderita muntah.
f. Berikan Phenytoin (PHT). Phenytoin sebagai profilaksis anti kejang
efektif diberikan pada 1 minggu pertama pasca trauma pada pasien yang
mempunyai resiko tinggi untuk terjadi kejang pasca trauma karena pada
fase ini belum terbentuk fokus epilepsi. Alternatif obat yang efektif
adalah phenytoin dan levetiracetam. Kriteria pasien risiko tinggi kejang
pasca trauma:
1. GCS ≤ 10
2. Immediate seizures

16
3. Kontusio kortikal
4. Fraktur linier
5. Penetrating Head Injury
6. Fraktur depresi
7. Alkoholik kronis
8. Post traumatic Amnesia> 30 meni
9. Epidural, subdural, atau intracerebral hematom
10. Defisit neurologis fokal
11. Usia ≥ 65 tahun atau ≤15 tahun
Dosis dan cara pemberian : Pengobatan profilaksis dengan fenitoin untuk
menurunkan resiko kejang pasca trauma tipe awal dimulai dengan dosis
loading segera setelah trauma. Dosis loading untuk dewasa 15-20
mg/kgBB dalam 100 cc NS 0,9% dengan kecepatan infus maksimum 50
mg/menit. Pada pasien pediatri dosis loading fenitoin yang
direkomendasikan 10-20 mg/kgBB, diikuti dosis rumatan 5 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis rumatan dapat ditingkatkan hingga 10
mg/kgBB/hari untuk mencapai konsentrasi serum antara 10-20 mcg/ml.
Pengobatan profilaksis dengan levetiracetam dilakukan dengan cara
pemberian dosis 500 mg setiap 12 jam selama 7 hari setelah cedera otak
tanpa pemberian loading dose.
g. Tatalaksana peningkatan TIK13
Pada beberapa jurnal sudah disusun guideline penanganan peningkatan
TIK beserta beberapa pilihan yang didapatkan dari penelitian.:
 Pemasangan ICP Monitor
Pemasangan ICP monitor perlu dilakukan pada pasien COB
(GCS 3-8 setelah proses resusitasi) dengan CT Scan kepala
abnormal (hematoma, contusio, edema serebri atau penyempitan
sisterna basalis). ICP monitor juga dipasang pada pasien COB
dengan CT Scan kepala normal jika didapatkan 2 atau lebih dari hal
berikut :
1. Usia > 40 tahun
2. TDS < 90 mmHg
3. Postural bilateral atau unilateral

17
Tujuan utama Intensif Management Protocol adalah untuk
memelihara perfusi dan oksigenasi otak secara adekuat untuk
menghindari cedera otak sekunder. Perfusi otak yang menurun dan
outcome yang buruk berhubungan dengan hipotensi sistemik dan
hipertensi intrakranial. Satu-satunya jalan untuk menentukan CPP
adalah dengan memonitor TIK dan tekanan darah sistemik secara
kontinyu.
 Menjaga CPP>70 mmHg
 Drainase Cairan Serebrospinal(CSF)
 Manitol 0,25 - 1,0 gr/KgBB
Manitol sangat bermanfaat dalam terapi TIK yang meningkat.
Manitol dapat menurunkan TIK dengan cara menarik cairan ke
dalam ruangan Intra vaskular (TIK me↓→ CBF dan CPP me↑).
Manitol secara bermakna menurunkan mortalitas COB tipe “non
surgical mass lesion” bila tidak ada episode hipotensi atau hipoksia
selama perawatan pada GCS 3–5 atau CT Scan menunjukkan
kontusio serebri grade III. Sediaan manitol yang digunakan biasanya
15 dan 20%. Manitol diberikan bolus 0,25 – 1 gr/KgBB dalam 10 –
20 menit, setiap 4 – 8 jam. Sebelum memberikan manitol harus
dilakukan pemeriksaan darah rutin, fungsi ginjal, gula darah, dan
elektrolit darah. Penghitungan osmolaritas awal darah dilakukan
sebelum pemberian manitol. Dan harus terpasang foley kateter
untuk pengukuran diuresis.
Osmolaritas = 2(Na+ + K+) + Glukosa/18 + BUN/2,8
Dalam menggunakan manitol maka harus dilakukan observasi ketat
untuk menjaga pasien agar tetap dalam keadaan euvolemia dan
osmolaritas serum <320 mmol/l. Euvolemia dipertahankan dengan
penggantian volume cairan yang isotonis dan harus dicegah
terjadinya hipotensi (TDS <90 mmHg). Fenomena rebound dapat
dikurangi dengan pemberian bolus, dan penghentian manitol
dilakukan secara bertahap.
 Hyperventilation PaCO2 30-35 mmHg

18
 Terapi tersier: barbiturat dosis tinggi, hyperventilation
PaCo2<30mmHg, Hypothermia, Decompressive Craniecktomy.

h. Tatalaksana Operatif13
 Epidural hematom (EDH)
Indikasi pembedahan :
1) Pasien EDH tanpa melihat GCS dengan volume > 30 cc, atau
ketebalan > 15 mm, atau pergeseran midline > 5 mm, atau
2) Pasien EDH akut (GCS <9) dan pupil anisokor
Waktu :
Pasien EDH akut dengan koma (GCS < 9) dan pupil anisokor
dilakukan cito pembedahan atau evakuasi.
Metode :
Belum ada data yang cukup untuk mendukung satu metode
pembedahan, bagaimanapun juga craniotomy memberikan
kemungkinan evakuasi yang lebih baik.
 Subdural hematom (SDH)
Menurunkan TIK dengan drainase LCS transventrikel dan
monitoring TIK, keduanya lebih penting daripada operasi
dekompresi pada SDH tipis (tebal ≤ 10mm)
Indikasi pembedahan :
SDH Akut
1) Pasien SDH tanpa melihat GCS :
a) Dengan ketebalan > 10 mm
b) Atau midline shift (MLS) > 5 mm pada CT Scan
2) Semua pasien SDH dengan GCS < 9 harus dilakukan
monitoring TIK
3) Pasien SDH dengan GCS < 9 :
a) Ketebalan SDH < 10 mm dan pergeseran struktur midline,
jika mengalami penurunan GCS lebih dari 2 poin atau lebih
antara saat kejadian dengan saat masuk ke rumah sakit

19
b) Dan atau jika didapatkan pupil yang dilatasi asimetri atau
fixed
c) Dan/atau TIK > 20 mmHg

SDH Kronis
1) Terdapat gejala klinis penurunan kesadaran maupun defisi
neurologis fokal atau kejang
2) Ketebalan lesi > 1cm
Waktu :
Pada pasien SDH akut dengan indikasi pembedahan maka
pembedahan dilakukan secepat mungkin. Kemampuan untuk
mengontrol TIK lebih penting daripada evakuasi hematom.
Metode :
Metode penanganan pasien dengan SDH akut tipis traumatika
dengan drainase LCS transventrikel juga untuk monitor TIK.
Metode operasi craniotomy dekompresi dan pemasangan drainase
LCS transventrikel dilakukan pada penderita dengan indikasi
tertentu.
 Intraserebral hematom (ICH)
Indikasi pembedahan :
1) Pasien dengan GCS 6-8 dengan perdarahan parenkim otak pada
daerah frontal atau temporal dengan volume perdarahan > 20 cc,
dengan pergeseran struktur midline ≥ 5 mm dan atau kompresi
pada sisterna.
2) Perdarahan parenkim otak dengan volume perdarahan > 50 cc
3) Pasien dengan perdarahan parenkim otak dan tanda-tanda
deteriorasi neurologis yang progresif sesuai dengan lesi,
hipertensi intrakranial yang refrakter dengan medikamentosa,
atau didapatkan tanda-tanda efek massa pada CT scan.
Waktu dan Metode :
Kraniotomi dan evakuasi lesi massa direkomendasikan pada pasien
dengan lesi fokal dan dengan indikasi pembedahan di atas.

20
Kraniektomi dekompresi bifrontal dalam 48 jam sejak trauma
merupakan pilihan penanganan untuk pasien dengan cerebral edema
diffusa dan hipertensi intrakranial membandel dengan pengobatan.
Prosedur dekompresi termasuk dekompresi subtemporal, lobektomi
temporal dan kraniektomi dekompresi hemisfer, merupakan pilihan
penanganan untuk pasien dengan hipertensi intrakranial yang
membandel dan trauma parenkimal diffusa dengan klinis dan
radiologis adanya impending herniasi transtentorial.
 Diffuse axonal injury (DAI)
Pasien cedera otak berat dengan diffuse axonal injury tanpa
lesi massa harus diintubasi atau di tracheostomy untuk proteksi
terhadap jalan nafas, dan diberikan oksigen dengan monitoring
terhadap saturasi oksigen secara berkelanjutan. Pasien harus
mendapatkan support ventilator apabila didapatkan kondisi gagal
nafas atau klinis pasien yang mengalami perburukan. Dapat
diberikan sedasi ringan dengan midazolam i.v tunggal atau
kombinasi dengan morphine. Nimodipine memperbaiki prognosis
pasien dengan diffuse axonal injury dan menurunkan terjadinya
vasospasm. Nimodipine diberikan dengan dosis 60 mg setiap 4 jam
segera setelah pasien masuk RS13.
2.2. Herniasi Otak
A. Definisi
Herniasi otak adalah kondisi medis yang sangat berbahaya dimana adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang dapat menyebabkan pergeseran jaringan
otak dari posisi normalnya menuju ke area yang lebih rendah tekanan
intrakranialnya14.
B. Etiologi
Herniasi otak dapat disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan
efek massa dan meningkatkan tekanan intrakranial (TIK): ini termasuk cedera
otak traumatis, edema otak, stroke, atau tumor otak baik tumor otak primer
maupun sekunder. Selain itu, hernia otak juga bisa terjadi akibat dari abses otak
dan hidrosefalus (akumulasi cairan dalam otak). Herniasi dapat menekan bagian -

21
bagian otak tertentu sehingga menghambat suplai darah dan kompresi pada
struktur vital, sehingga dapat menyebabkan kematian15.
C. Patofisiologi
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat mekanisme kompensasi
terha- dap perubahan volume intrakranial untuk menjaga TIK dalam rentang
fisiologis. Kompensasi pertama yakni melalui sistem vena yang dapat dengan
mudah untuk kolaps mengeluarkan darah melalui vena jugularis, vena emisari,
dan vena daerah kulit kepala (scalp). Kompensasi kedua melalui peningkatan
pemindahan aliran CSS dari foramen magnum ke ruang subaraknoid. Oleh
karena itu, penambahan volume intrakranial sampai batas tertentu tidak akan
segera meningkatkan TIK. Namun jika volume terus bertambah sementara
mekanisme kompensasi sudah bekerja maksimal, maka akan terjadi peningkatan
TIK (intracranial pressure/ICP) yang akan menyebabkan kematian melalui
gangguan perfusi dan hemiasi otak16.
Mekanisme selanjutnya, peningkatan TIK yang tinggi akibat penambahan
massa fokal di otak dapat mendorong sebagian parenkim otak ke daerah yang
lemah yang tidak dibatasi oleh duramater, seperti falks atau tentorium, yang
disebut herniasi otak. Pada akhirnya, dorongan parenkim itu akan masuk ke satu-
satunya daerah kosong di intrakranial, yaitu foramen magnum, yang menuju area
batang otak yang sangat vital fungsinya, inilah yang paling ditakutkan dari
peningkatan TIK, yaitu kematian akibat herniasi ke batang otak sebagai pusat
kesadaran, respirasi, dan kardiovaskular16.
D. Klasifikasi
Ada dua kelompok utama herniasi : supratentorial dan infratentorial.
Herniasi supratentorial adalah struktur biasanya terdapat di atas tentorium
sedangkan infratentorial adalah struktur di bawahnya. Otak dapat ditekan ke
struktur seperti falx serebri, tentorium serebelli, dan bahkan melalui lubang yang
disebut foramen magnum di dasar tengkorak melalui sumsum tulang belakang
berhubungan dengan otak17.

22
Gambar 2.16 Klasifikasi Herniasi Otak
 Supratentorial herniasi :
1) Uncal
Merupakan herniasi yang sering terjadi, terutama pada
perdarahan epidural lobus temporal. Herniasi uncal terjadi akibat
ada- nya penambahan massa intrakranial di daerah temporal.
Penambahan massa tersebut, menekan massa otak di daerah
inferomedial (unkus) sehingga terdorong kebawah melalui celah
antara tentorium dengan batang otak17.
2) Central (transtentorial)
Pada herniasi sentral, (juga disebut "herniasi transtentorial")
diencephalon dan bagian lobus temporal dari kedua hemisfer otak
ditekan melalui celah di cerebelli tentorium. Herniasi transtentorial
dapat terjadi saat otak bergeser baik ke atas atau bawah melewati
tentorium, yang masing-masing disebut herniasi transtentorial
ascending dan descending. Herniasi descending dapat melebarkan
cabang arteri basilar (arteri pontine) yang nantinya menyebabkan
arteri tersebut robek dan berdarah. Hal tersebut dikenal sebagai
pendarahan Duret. Hal tersebut mempunyai efek yang fatal.
Secara radiografis, downward herniasi ditandai dengan tidak
terlihatnya suprasellar cistern dari herniasi lobus temporal ke hiatus

23
tentorial. Hal ini terkait dengan adanya kompresi pada pedunkulus
otak17.
3) Cingulate (subfalcine)
Terjadi akibat penambahan massa intrakranial di daerah
supratentorial. Penambahan ini mendorong girus cinguli yang
terletak di dekat falks serebri (lapisan meningen yang memisahkan
kedua hemisfer), sehingga bergeser ke hemisfer kontralateral17.
4) Transcalvarial
Pada herniasi transcalvarial, otak tergeser melalui fraktur
atau adanya pembedahan di dalam tengkorak atau juga biasa
disebut herniasi eksternal. Jenis herniasi ini mungkin terjadi selama
kraniotomi17.

 Infratentorial herniasi :
1) Upward (upward cerebellar or upward transtentorial)
Peningkatan tekanan pada fossa posterior dapat
menyebabkan otak kecil bergerak naik melalui pembukaan tentorial
atau disebut herniasi cerebellar. Otak tengah didorong melalui celah
tentorial. Hal ini juga mendorong otak tengah ke bagian bawah17.
2) Tonsillar (downward cerebellar)
Pada herniasi tonsillar yang juga disebut herniasi downward
cerebellar atau "coning", cerebellar tonsil bergerak ke bawah
melalui foramen magnum yang mungkin dapat menyebabkan
kompresi batang otak yang lebih bawah dan kompresi korda
spinalis servikal bagian atas pada saat mereka melewati foramen
magnum. Peningkatan tekanan pada batang otak bisa
mengakibatkan disfungsi pada pusat di otak yang bertanggung
jawab untuk mengendalikan fungsi pernafasan dan jantung.
Herniasi tonsilar dari otak kecil juga dikenal sebagai Malformasi
Chiari atau sebelumnya disebut Arnold Chiari Malformation
(ACM). Setidaknya ada tiga jenis malformasi Chiari yang diakui
secara luas, dan mereka mewakili proses penyakit yang sangat
berbeda dengan gejala dan prognosis yang berbeda-beda. Kondisi

24
ini dapat ditemukan pada pasien tanpa gejala atau malah dapat
juga terjadi pada pasien dengan gejala klinis yang begitu parah dan
membahayakan hidup. Kondisi ini sekarang lebih sering didiagnosis
oleh ahli radiologi karena semakin banyaknya pasien yang
menjalani CT scan kepala maupun MRI. Cerebellar ectopia
adalah istilah yang digunakan oleh ahli radiologi untuk
menggambarkan cerebellar tonsil yang “low lying” tapi yang
tidak memenuhi kriteria radiografi untuk dianggap sebagai
malformasi Chiari17.
E. Penegakkan Diagnosis
Tanda yang sering pada hernia otak adalah postur tubuh yang abnormal
dengan karakteristik posisi ekstremitas bawah yang menjadi tanda khas
terjadinya kerusakan otak yang berat. Pasien ini akan mengalami penurunan
kesadaran dengan ‘Glasgow Coma Scale’ antara 3 sampai 5. Satu atau kedua-dua
pupil akan berdilatasi dan reflex cahaya negatif atau tidak berespon terhadap
cahaya17.
Pada pemeriksaan neurologi, didapatkan penurunan derajat kesadaran.
Tergantung dari beratnya herniasi, gangguan pada satu atau beberapa refleks
batang otak serta fungsi dari nervus kranialis bias terjadi. Pasien juga akan
menunjukkan ketidak mampuan untuk bernapas secara konsisten dan didapatkan
denyut jantung yang irreguler17.
1. Herniasi Uncal
Gejala khas herniasi uncal adalah penurunan kesadaran yang
semakin memberat, dilatasi pupil ipsilateral (karena penekanan saraf
kranial ketiga, yang dapat mengganggu input parasimpatis mata pada
sisi dari saraf yang terkena sehingga menyebabkan pupil mata
mengalami dilatasi dan gagal untuk konstriksi pada tes respon cahaya,
dan hemiplegia kontralateral) 17.
Kompresi terhadap nervus kranialis ke III ipsilateral akan
menyebabkan dilatasi pupil ipsilateral dan pergerakan ekstraokuler yang
abnormal. Kompresi traktus kortikospinal ipsilateral pada batang otak
akan menyebabkan hemiparesis kontralateral karena traktus menyilang
pada batas medulla. Hemiparesis ipsilateral (false localizing sign, yang
disebut Kernohan`s notch) juga bisa terjadi apabila terdapat massa yang
25
cukup besar sehingga menekan pedunkulus serebral kontralateral ke arah
incisura. Dapat juga terjadi infark pada lobus occipitalis baik unilateral
maupun bilateral akibat dari penekanan terhadap arteri serebral posterior
sehingga mengakibatkan gangguan korteks visual primer ipsilateral dan
defisit lapangan pandang kontralateral pada kedua mata (kontralateral
hemianopia homonymous) 17.

Gambar 2.17 Penekanan N.III18 Gambar 2.18 Penekanan Arteri Cerebral Posterior18

Gambar 2.19 Herniasi dari uncus (panah) pada hiatus tentorii18

26
Gambar 2.20 Kasus SDH dengan herniasi uncal
Tampak uncus bergeser ke bawah melewati tentorial incisura (panah lengkung). Pelebaran sisterna
perimesencephalic ipsilateral (tanda panah dua arah) dan sisterna kontralateral mengalami kompresi 18

2. Herniasi cingulate (subfalcine)


Herniasi subfalcine tidak selalu menunjukkan gejala klinis yang
berat. Tipe herniasi ini akan menimbulkan gejala klinis seperti nyeri
kepala, dan bisa berlanjut menjadi kelemahan pada tungkai bawah yang
kontralateral atau gejala infark pada lobus frontalis akibat dari
penekanan pada arteri serebral anterior17.

Gambar 2.21 Herniasi subfalcine pada pasien Gambar 2.22 Tampak kompresi arteri
dengan cerebral metastasis dari germinal pericallosal (panah) karena herniasi
tumor. Tampak herniasi gyrus cinguli dibawah subfalcine18
falx cerebri dari kiri ke kanan (panah) serta
inferior dan lateral displacement corpus
callosum ipsilateral (*). Tampak kompresi
ventrikel ipsilateral (panah) 18.

27
3. Herniasi transcalvarial

Gambar 2. 23 Herniasi transcalvarial post craniectomy. Tampak parenkim otak


mengalami herniasi melalui defek di bagian frontal dan temporal (panah).

4. Upward (upward cerebellar or upward transtentorial)


Presentasi klinisnya ialah mual dan/atau muntah, serta penurunan
kesadaran yang cepat dan kematian.

Gambar 2.24 Upward transtentorial hernation. Tampak folding colliculi inferior


(kepala panah) dibawah colliculi superior, dan kedua struktur tersebut bergeser ke
atas. Anterior displacement dari brainstem mempersempit ruang antara pontine dan
medullary cisterns (panah lengkung). Tampak atap ventrikel III bergeser ke atas
(panah lurus) dan anterior displacement dari mamillary bodies dan tuber cinereum
(lingkaran) 18
5. Herniasi tonsillar
Gejala dari herniasi tonsillar meliputi hipertensi, bradikardi,
bradipnea bahkan sampai respiratory arrest yang diakibatkan oleh
disfungsi pada pusat di otak yang bertanggung jawab untuk
mengendalikan fungsi pernafasan dan jantung17.

28
Gambaran radiografi saat ini yang dianggap untuk suatu herniasi
tonsillar adalah bahwa adanya gambaran cerebellar tonsil setidaknya 5
mm di bawah tingkat foramen magnum. Ada banyak hal yang diduga
menyebabkan herniasi tonsillar termasuk: penurunan dan perubahan
bentuk dari fossa posterior. Perubahan tersebut menyebabkan tidak
cukupnya rongga untuk cerebellum. Pada hidrosefalus atau volume CSF
yang abnormal akan mendorong tonsil keluar17.

Gambar 2.25 Tampak cerebellar tonsil bergeser ke bawah (>5 mm). Tampak anterior
displacement dari medulla (panah), dan obstructive hydrocephalus (tanda bintang) 18

F. Tatalaksana
Hernia otak merupakan suatu kasus gawat darurat. Penatalaksanaan awal
herniasi otak bertujuan untuk menjaga TIK < 20 mmHg dan CPP > 60-70
mmHg17.
1) Segera17 :
 Elevasi kepala di tempat tidur (15-30 derajat, atau 30-45 derajat  guna
meningkatkan aliran keluar vena dari intracranial)
 Cegah hipotensi dengan cairan normal saline (0.9%) dengan kecepatan 80–
100 cc/jam (hindari cairan hipotonis)
 Intubasi (jika memungkinkan) dan lakukan ventilasi sehingga terjadi
normocarbia (PC02 35-40 mmHg) atau kalau bisa PCO2 = 28–32 mm Hg
 cegah vasodilatasi serebri (jika kadar CO2 lebih besar dari 45 mm Hg,
maka akan timbul cerebral vasodilation.)
 Berikan oxygen jika diperlukan untuk mempertahankan pO2 > 60 mmHg
 mencegah hypoxic brain injury

29
 Berikan Mannitol 20% 1–1.5 g/kg melalui infus IV secara cepat,
pertahankan Tekanan Darah >90 mmHg dan pemberian diuretik lain.
 Pasang Foley catheter
 Segera konsul ke spesialis bedah saraf
2) Hal lain yang bisa dilakukan17
 Sedasi (dapat mengurangi tonus simpatis dan hipertensi akibat kontraksi
otot).
 Kortikosteroid
o Mengurangi edema, setelah beberapa hari, disekitar tumor otak, abses,
darah
o Pemberian kortikosteroid pada kasus cedera kepala dan stroke belum
dapat dibuktikan menguntungkan secara klinis
 Drainase pada otak dengan tujuan untuk mengeluarkan cairan berlebihan
dari otak, terutama pada kasus obstruksi mekanikal yag menyebabkan
herniasi.
 Pengaliran darah keluar pada kasus perdarahan masif yang menyebabkan
herniasi.
 Pemasangan intubasi endotrakeal dan pemasangan ventilasi untuk
menurunkan kadar karbon dioksida dalam darah.
 Operasi dengan mengangkat massa tumor yang menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial atau drain kateter ventrikuler eksterna dengan tujuan
untuk pengaliran LCS keluar pada kasus akut atau dengan cara VP-shunt.

30
BAB III
KESIMPULAN

Cedera otak merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada
kelompok usia produktif. Cedera otak terbanyak disebabkan karena trauma. Cedera otak
traumatik merupakan cedera yang terjadi karena adanya tekanan mekanik eksternal yang
mengenai kranium dan komponen intrakranial, sehingga menimbulkan kerusakan
sementara atau permanen pada otak, gangguan fungsional, atau gangguan psikososial.
Klasifikasi cedera otak berdasarkan tingkat kesadarannya dapat dibagi menjadi tiga yaitu
cedera otak ringan (COR), cedera otak sedang (COS), dan cedera otak berat (COB).
Cedera otak harus segera mendapatkan terapi agar tidak menimbulkan komplikasi.
Komplikasi yang paling berbahaya dari cedera otak adalah terjadinya herniasi otak.
Herniasi otak adalah kondisi medis dimana terjadi pergeseran jaringan otak dari posisi
normalnya menuju ke area yang lebih rendah tekanan intrakranialnya. Apabila tidak
ditangani dengan segera, herniasi otak dapat menekan pusat pernapasan dan jantung
sehingga dapat menyebabkan kematian.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Dewan dkk. 2019. Estimating the Global Incidence of Traumatic Brain Injury. J
Neurosurg Vol. 13.
2. Laccarino dkk. 2018. Epidemiology of Severe Traumatic Brain Injury. Journal of
Neurosurgical Science. Vol. 62. No.5. Hal : 535.
3. Taylor CA dkk. 2017. Traumatic Brain Injury Related Emergency Departement Visits,
Hospitalizations, and Death – United States, 2007 and 2013. MMWE Surveill Summ.
4. Tahir S., Shuja A. 2011. Head Injury Pathology. Dalam : Independent Review,
Surgical Principle. Edisi ke-85. Pakistan : Faisalabad.
5. Sjamsudrajat R. 2016. Buku Ajar Ilmu Bedah : Sistem Organ dan Tindak Bedahnya.
Jakarta : EGC.
6. Sherwood. Anatomi dan Fisiologi Manusia.
7. Kemenkes RI. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta : Kemenkes RI.
8. Valadka, AB dan Narayan. 1996. Emergency Room Management of The Head Injured
Patient. New York : Mc Graw-Hill.
9. Amri, imtihanah. 2017. Pengelolaan Peningkatan Tekanan Intrakranial. Medika
Tadulako: Jurnal Ilmiah Kedokteran, Vol. 4, No.3.
10. Udayana. 2019. Modul Cedera Otak Traumatik. Denpasar : Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
11. Basmantika, Ida Ayu. Cedera Otak Sekunder. Denpasar : Universitas Udayana.
12. Prins M., dkk. 2013. The Pathophysiology of Traumatic Brain Injury At a Glance.
USA : Disease Models & Mechanisms.

32
13. Tim Neurotrauma RSU Dr. Soetomo. 2014. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak.
Surabaya : PT Revka Petra Media.
14. Gilardi BS dkk. 2019. Types of Cerebral Herniation and Their Imaging Features.
RadioGraphics Vol. 39 No.6.
15. Nasution, iskandar. 2017. Herniasi Otak. Medan : Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.
16. Anindhita T, Wiratman W. 2017. Buku Ajar Neurologi. Jakarta : Penerbit Kedokteran
Indonesia.
17. Nasution, iskandar. 2017. Herniasi Otak. Medan : Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran
USU/RSUP. H. Adam Malik Medan.
18. Gilardi BS dkk. 2019. Types of Cerebral Herniation and Their Imaging Features.
RadioGraphics Vol. 39 No.6.

33
34

Anda mungkin juga menyukai