Anda di halaman 1dari 31

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DENGAN CEDERA KEPALA

OLEH KELOMPOK 3:

1. DESMI SAMOSIR
2. ERIKA GINTING
3. JAMIATUL ULWANI
4. HARI SETIAWAN
5. NADIA PUTRIYANDA
6. RANTIKA ARIN DITA
7. SITI NURJANAH
8. WULAN SARAGIH
9. RIZKY VERAWATI PAKPAHAN

AKADEMI KEPERAWATAN KESDAM I BUKIT BARISAN

PEMATANGSIANTAR

T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Gawat Darurat Dan Manajemen Bencana 1 Dengan Cedera Kepala” dengan tepat
waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Gawat Darurat. Selain
itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Wulan
Sari Purba ,S.Kep.,Ns,. MNS selaku dosen Mata Kuliah Keperawatan Gawar Darurat
Dan Manajemen Bencana I yang telah mengajarkan dan membimbing penulis untuk
dapat menyelesaikan tugas makalah yang telah diberikan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dikarnekan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan penulis. Oleh
karena itu penulis segala bentuk saran dan masukan serta kritik yang membangun.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan pada bidang pendidikan .
DAFTAR ISI

Kata Pengantar…………………………………………………………………………. i
Daftar Isi………………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………. 1
A. Latar Belakang…………………………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………. 2
C. Tujuan………………………………………………………………………….. 2

BAB II TINJAUAN TEORITIS


1. Tinjauan Teoritis Medis………………………………………………………… 3
A. Definisi Cedera Kepala………………………………………………………..3
B. Anatomi Fisiologis Organ Kepala…………………………………………… 3
C. Etiologi Cedera Kepala ……………………………………………………… 5
D. Patofisiologi Cedera Kepala ………………………………………………… 7
E. Klasifikasi Cedera Kepala.. …………………………………………………..9
F. Manifestasi Klinis ……………………………………………………………. 10
G. Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………….. 11
H. Penatalaksanaan …………………………………………………………….. 12

2. Tinjauan Teoritis Keperawatan………………………………………………...15


A. Pengkajian Keperawatan…………………………………………………… 15
B. Diagnosa Keperawatan………………………………………………………. 16
C. Intervensi Keperawatan…………………………………………………….. 22
D. Implementasi Keperawatan………………………………………………….. 30
E. Evaluasi Keperawatan………………………………………………………. 30

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan………………………………………………………………………….. 32
B. Saran………………………………………………………………………………… 32

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Haryono & Utami, (2019) cedera kepala merupakan
istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi
pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta
pembuluh darah di kepala.
Cedera kepala berat merupakan penyebab utama kematian dan
kecacatan pada populasi dari segala usia. Banyak faktor yang
mempengaruhi kematian pada cedera kepala berat, salah satunya adalah
penurunan kadar hemoglobin. Penurunan kadar hemoglobin pada cedera
kepala berat mengurangi oksigenasi otak dan memperburuk cedera otak
sekunder. Penurunan kadar hemoglobin berhubungan dengan outcome
yang lebih buruk, namun hingga saat ini belum ada kesepakatan hubungan
bermakna antara penurunan kadar Hb dengan kematian pada cedera
kepala berat (Sulistyowati, R. 2019). Prevalensi terjadinya cedera di
Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2007 terdapat sekitar 7,5%, pada tahun 2013 sebesar 8,2%, dan prevalensi
cedera kepala di Indonesia pada tahun 2018 yaitu sebesar 11,9%
(Balitbankes, 2018).
Menurut Riskesdas 2018, prevalensi kejadian cedera kepala di
Indonesia berada pada angka 11,9 %. Cedera kepala pada anggota gerak
bawah dan bagian anggota gerak atas dengan prevalensi masing-masing
67,9% dan 32,7%. Kejadian cedera kepala yang terjadi di provinsi bali
memiliki prevalensi sebesar 10,7% , dimana provinsi dengan cedera
kepala tertinggi yaitu provinsi gorontolo dengan prevalensi 17,9
(Kementrian Kesehatan RI, 2019) Insiden cedera kepala di Kalimantan
Barat khususnya di kota Pontianak angka kejadian cedera kepala kepala
11,3% ( RISKESDAS 2018 ).
Berdasarkan hasil data laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018, proporsi terjadinya cedera
kepala di Kota Medan adalah 8,98%. Terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
di Kota Medan (2,37%). Proporsi terlibatnya bagian kepala pada saat
cedera dialami oleh kelompok umur 15-24 tahun (6,41%), dengan jenis
kelamin pada laki-laki (11,1%) dan pada perempuan (9,1%), terjadi pada
status sekolah (7,45%), tempat terjadinya cedera di jalan raya (47,53%)
pada kelompok umur 15-24 tahun, dialami pada laki-laki (27,45%) dan
perempuan (26,93%), dan pada usia sekolah (30,48%), (Lembaga Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB), 2019).
Penanganan pada pasien cedera kepala yaitu dengan
dilakukannya pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai
macam cedera atau gangguangangguan di bagian tubuh lainnya,
pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik, dan okuloves tubuler,
penanganan cedera-cedera dibagian tubuh lainnya, pemberian
terapi pengobatan seperti anti edema serebri, anti kejang, serta
natrium bikarbonat, dan dilakukannya tindakan pemeriksaan
diagnostik seperti scan tomografi computer, angiografi serebral,
dan lainnya (Nurarif & Kusuma, 2013)

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang penulis merumuskan
masalah yaitu: “Bagaimana konsep Asuhan Keperawatan Gawat
Darurat Pada Sistem Saraf Dengan Cedera Kepala

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum:
Mampu Memahami asuhan keperawatan Gawat Darurat Dan
pada pasien Cedera Kepala
2. Tujuan Khusus:
a. Mengetahui definisi Cedera Kepala
b. Mengetahui anatomi dan fisiologis organ kepala
c. Mengetahui etiologi Cedera Kepala
d. Mengetahui patofisiologi Cedera Kepala
e. Mengetahui klasifikasi Cedera Kepala
f. Mengetahui manifestasi klinis
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang
h. Mengetahui penatalaksanaan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. TINJAUAN TEORITIS MEDIS


A. Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala adalah (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang
secara langsung maupun tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan
luka di kulit kepala, fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis.
Cedera kepala merupakan suatu proses terjadinya cedera langsung maupun
deselerasi terhadap kepala yang dapat menyebabkan kerusakan tengkorak dan
otak (Mawarni, 2020).

B. Anatomi Fisiologis Organ Kepala


1. Tengkorak
Tulang tengkorak merupakan struktur tulang yang menutupi dan
melindungi otak dari cedera. Terrdapat empat tuang yang
berhubungan membentuk tulang tengkorak yaitu tulang frontal,
parietal, temporal dan oksipital.
Pada masing-masing tulang disatukan oleh sutura (kecuali pada
mandibula) atau jaringan fibrosa yang mengunci pinggiran tulang
yang bergerigi. Pada bagian dasar tengkorak terdiri atas tiga
rongga (fossa) yaitu fossa anterior (terdiri dari lobus frontral
serebral bagian hemifer), fossa tengah atau media (terdiri dari lobus
parietal, temporal dan oksipital) dan pada fossa posterior (terdiri
dari batang otak dan medula). Tengkorak berfungsi untuk
melindungi otak, indra penglihatan dan indra pendengaran. Selain
itu tengorak juga berfungsi sebagai tempat melekatnya otot yang
bekerja di daerah kepala. (PGS, 2021),
Gambar 1 Struktur Rangka Kepala

2. Meningen
Meningen atau selaput otak adalah selaput yang membungkus
otak dan sumsum tulang belakang serta melindungi struktur saraf
yang halus. Selaput meningen membawa pembuluh darah dan
cairan sekrsesi atau biasa disebut dengan cairan serebrospinal
yang berfungsi untuk memperkecil benturan, getaran atau
goncangan pada otak. Meningen atau selaput otak terbagi menjadi
3 lapisan yaitu:
a. Duramater merupakan selaput selaput keras yang membungkus
otak, berasal dari jaringan ikat yang tebal dan kuat. Duramater
dibagian tertentu mengandung rongga yang dapat mengalirkan
darah dari vena otak. Rongga ini disebut dengan sinus vena.
Ketika terjadi cedera otak, pembuluhpembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di
garis tengah dapat mengalami robekan sehingga menyebabkan
perdarahan subdural. Apabila terjadi perdarahan subdural yang
besar maka akan menyebabkan gejala-gejala neurologis dan
biasanya perdarahan tersebut dapat dikeluarkan melalui
pembedahan.
b. Arakhnoid (arachnoid) merupakan selaput yang tipis dan lembut
yang membentuk sebuah balon. Selaput ini berwarna putih
karena tidak teraliri aliran darah.pada dinding arakhnoid terdapat
pleksus khoroid yang berfungsi untuk memproduksi cairan
serebrospinal (CSS). Normal CSS yang diproduksi pada orang
dewasa yatu 500ml/hari. Kantong arakhnoid yang berisi CSS
berakhir dibagian sakrum (lumbal I-II). Pada bagian dibawah
lumbal II CSS hanya terdapat pada bagian saraf-saraf perifer
yang keluar dari medulaspinalis. Hal tersebut biasanya
dimanfaatkan untuk pengambilan cairan otak atau biasa disebut
dengan fungsi lumbal. (Batticaca, 2018)
c. Piamater merupakan selaput yang paling dalam berupa dinding
tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap
bagian otak. Piamater menempel erat dengan permukaan otak
dan mengikuti bentuk setiap ulkus dan gyrus otak. Pembuluh
darah otak memasuki otak dengan menembus lapisan piamater.
piamater terdiri dari laposan sel mesodermal tipis yang menutupi
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. (Batticaca, 2018)

Gambar 2 Lapisan meningen


3. Otak
Otak dibagi menjadi 3 besar yaitu:
a. Cerebrum (Otak Besar)
Cerebrum/serebrum merupakan bagian terbesar dari
otak, terdiri dari dua hemisfer serebri (kanan dan kiri) yang
terhubung oleh serabut saraf (korpus kolasum). Hemisfer kanan
bertugas untuk megontrol sisi tubuh bagian kiri. Sedangkan
hemisfer kiri bertugas untuk mengontrol sisi tubuh bagian
kanan.
Apabila dilihat dari lobusnya, cerebrum atau otak besar
dibagi menjadi empat bagian yaitu:
1) Lobus Frontal
Merupakan lobus terbesar yang berada di bagian fosa
anterior. Lobus ini berfungsi untuk mengontrol perilaku,
membuat keputusan, membentuk kepribadian dan menahan
diri.
2) Lobus Parietal
Bisa juga disebut sebagai lobus sensorik, terletak di
belakang lobus frontal. Lobus ini berfungsi untuk
menginterpretasikan sensasi seperti sentuhan, tekanan,
nyeri dan suhu. Tugas lain dari lobus ini yaitu untuk
mengendaikan orientasi spesial seperti pemahaman terkait
ukuran, bentuk dan arah. Kerusakan pada lobus ini dapat
menimbulkan sindrom Hemineglect.
3) Lobus Temporal
Lobus ini terletak di bawah lobus parietal tepatnya di
sebelah kiri cerebrum. Lobus temporal berfungsi untuk
mengendalikan indra pengecap, penciuman dan
pendengaran. Memori jangka pendek sangat berhubungan
dengan lobus ini.
4) Lobus Oksipital
Lobus ini terletak dibagian belakang cerebrum yang
berfungsi untuk mengendalikan penglihatan atau sebagai
pusat visual. (Batticaca, 2018).
b. Cerebellum (Otak Kecil)
Bagian kedua dari otak yaitu otak kecil atau cerebellum.
Cerebellum terletak di bawah otak besar bagian belakang
tepatnya dibawah lopus oksipital. Sama seperti cerebrum,
cerebellum juga memiliki dua belahan otak dan berwarna
abu-abu dan putih. Beberapa fungsi dari cerebellum yaitu
mengontrol gerakan (kontrol motorik), menjaga keseimbang
dan poster tubuh, mempelajari gerakan baru, mengatur
gerakan bola mata.
c. Brainstem (Batang Otak)
Brainstem terletak pada bagian fosa anterior, terdiri dari
mesenfalon (otak tengah), pons dan medulla oblongata.
Otak tengah (mesenfalon) merupakan bagian sempit pada
otak yang melewati incisura tertorii yang menghubungkan
pons dan cerebellum dengan hemisfer cerebrum, terdiri atas
jalus sensorik dan motorik serta sebagai pusat pendengaran
dan penglihatan. Pons terletak didepan cerebellum dan
merupakan jembatan antara dua bagian cerebellum serta
antara medulla dan cerebrum. Pons juga berisi pusat-pusat
penting untuk mengontrol jantung, pernapasan, tekanan
darah serta sebagai inti dari saraf ke 5 sampai ke 8. Medulla
oblongata adalah serabutserabut motorik yang berada si
medulla spinalis menuju otak, berbentuk kerucut dan
sebagai penghubung antara pons dan medulla spinalis.
d. Diensefalon
Merupakan fosa bagian tengah otak, terdiri atas
thalamus di kiri dan ventrikel tertius di kanan, hipotalamus di
ventral dan kelenjar hipofisis. Thalamus terletak pada salah
satu sisi sepertiga ventrikel, berfungsi sebagai penyambung
sensasi bau yang diterima. Selain itu semua implus, sensasi
dan nyeri melalui bagian ini. Hipotalamus terletak di anterior
thalamus, berfungsi sebagai pengatur sistem saraf otonom
seperti mempertahankan keseimbangan cairan tubuh,
pengaturan suhu tubuh dan memengaruhi sekresesi hrmonal
dengan kelenjar hipofisis. Selain itu hipotalamus juga
berperan sebagai pusat lapar, pengatur berat badan, siklus
tidur, tekanan darah, perilaku agresif dan seksual dan pusat
rspon emosional (malu, marah, depresi, panik dan takut).
Kelenjar hipofisis berfungsi sebagai master dari kelenjar
karena sekresi sejumlah hormon-hormon yang dapat
mengontrol fungsi ginjal, pankreas, organ reproduksi, tiroid,
korteks adrenal dan organ-organ lainnya.

4. Sirkulasi Cerebral
Sirkulasi serebral menerima kira-kira sekitar 20% (750ml) aliran
darah dari jantung karena hal ini sangat dibutuhkan oleh otak akibat
otak tidak mampu menyimpan makanan sementara kebutuhan
metabolisme otak tinggi. Aliran darah di otak sangat unik karena
melawan gravitasi yaitu darah arteri dari bawah dan darah vena
mengalir dari atas. Apabila terjadi kekurangan penambahan aliran
darah menuju otak dapat menyebabkan jaringan di otak rusak
secara permanen, berbeda dengn organ tubuh lain yang cepat
menoleransi apabila aliran darah menurun.
a. Arteri
Otak diperdarahi oleh dua arteri karotis interna dan dua
arteri vertebralis yang meluas ke sistem percabangan. Karotis
interna terbentuk dari percabangan dua karotis dan berguna
untuk memberikan sirkuasi darah ke otak bagian anterior.
Sedangkan arteri vertebralis merupakan cabang dari arteri
subclavia yang mengalir ke belekang bagian vertikal dan masuk
menuju tengkorak melalui foramen magnum, kemudian saling
berhubungan menjadi arteri basilaris pada batang otak dan
berfungsi untuk memperdarahi orak bagian belakang.
b. Vena
Aliran Vena otak tidak menyertai sirkulasi arteri seperti
pada struktur organ llain. Vena di otak menjangkau daerah
otak dan bergabung menjadi vena besar. Jaringan kerja pad
sinus-sinus membawa vena keluar dari otak dan
menyebabkan pengosongan vena jugularis menuju sistem
sirkulasi pusat. Vena serebri berdeba dengan vena di organ
lain karena tidak berkatup sehingga tidak dapat mencegah
aliran darah balik.
5. Sistem Saraf Cranialis
Saraf kranialis merupakan sebuah struktur yang menjalar
melewati foramina pada tulang kranium serta berasal dari otak
didalam rongga kranium dan terdiri dari 12 nervus yang juga
merupakan bagian dari sistem saraf perifer. Tiga nervus kranialis (I,
II dan VII) disebut juga nervus sensorik spesialis. Nervus tersebut
berkaitan dengan sensasi penghidu, penglihatan dan pendengaran.
Lima nervus kranialis (III, IV, VI, XI dan XII) disebut sebagai nervus
motorik. Empat nervus kranialis lainnya (V, VII. IX dan X) dibeut
sebagai nervus campuran karena memiliki akson neuron sensorik
maupun motorik. Ke 12 nervus tersebut antara lain yaitu:
a. Nervus Olfaktorius (N I)
Merupakan saraf pembau yang keluar dari otak, berfungsi untuk
membawa rangsangan aroma (bau-bauan) dari rongga hidung ke
otak
b. Nervus Optikus (N II)
Berfungsi untuk mensarafi bola mata dan membawa
rangsangan penglihatan menuju otak.
c. Nervus Okulomotorius (N III)
Bersifat motoris, berfungsi untuk mensarafi otot-otot
orbital atau penggerak bola mata dan kelopak mata atas serta
pengaturan lensa untuk akomodasi dan konstruksi pupil.
d. Nervus trokhelearis (N IV)
Bersifat motoris, berfungsi untuk mensarafi otot-otot
orbital. Saraf pemutar mata yang pusatnya teretak
dibelakang pusat saraf penggerak mata.
e. Nervus Trigeminus (N V)
Sifatnya campuran (sensoris motoris), berfungsi untuk
sensasi sentuhan, nyeri, suhu dari kulit kepala, wajah dan
rongga mulut (mencakup gigi dan 2/3 anterior lidah).
f. Nervus Abducens (N VI)
Bersifat motoris dan brfungsi sebagai saraf penggoyang
sisi mata.
g. Nervus Fasialis (N VII)
Bersifat campuran, serabut motorisnya berfungsi untuk
mensarafi otot-otot lidah dan selapu lndir rongga mulut.
Didalamnya terdapat serabut saraf otonom (parasimpatis)
untuuk wajah dan kulit epal yang berfungsi sebagai
pengaturan mimik wajah uuntuk menhantarkan rasa
pengecap.
h. Nervus Akustikus (VIII)
Bersifat sensori, berfungsi untuk mensarafi alat
pendengar, membawa rangsan pendengaran dari telinga
menuju otak.
i. Nervus Glosofaringeus (N IX)
Bersifat campuran, berfungsi mensarafi faring, tonsil dan
lidah. Saraf ini membawa rangsangan cita rasa menuju ke
otak.
I. Nervus Vagus (N X)
Bersifat campuran, mengandung saraf motorik, sensorik
dan parasimpatis faring, laring, paru-paru, esofagus, gaster
intestinum minor, kelenjar pencernaan didalam abdomen.
Berfungsi sebagai saraf perasa.
J. Nervus Aksesorius (N XI)
Nervus ini mensarafi muskulus sternokleidomastoid dan
muskulus trapezeum, fungsinya sebagai pengerak kepala dan
juga saraf tambahan. l. Nervus Hipoglosus (N XII) Mensarafi
otot-otot lidah, berfungsi untuk berbicara., manipulasi makanan
dan menelan. (Rehatta et al., 2019).
C. Etiologi Cedera Kepala
Menurut Sinurya & dkk (2020), penyebab cedera kepala dibagi menjadi :
1. Trauma Tajam
Trauma akibat benda tajam dapat mengakibatkan cedera
setempat atau cedera lokal. Kerusakan lokal yaitu hemtom serebral,
kontusio serebral dan kerusakan otak sekunder yang diakibatkan
perluasan masa lesi,pergeseran otak atau hernia.
2. Trauma Tumpul
Trauma akibat benda tumpul dapat mengakibatkan cedera
menyeluruh (difusi). Kerusakannya dapat menyebar secara luas
dan terjadi dalam 4 bentuk yaitu kerusakan otak hipoksia,
pembengkakan otak yang meluas,cedera akson dan hemoragi kecil
multiple pada otak koma terjadi akibat cedera meluas pada
hemisfer serebral, batang otak atau keduanya.
D. Patofisiologis Cedera Kepala

Cedera Kepala

Ekstracranial Tulang cranial Intra cranial


Tulang cranial Cedera Kepala

Terputusnya Terputusnya Jaringan otak


Kontuinitas kontunuitas rusak, kontatio,
jaringan otot, jaringan tulang laserasi
kulit

Perubahan
protoregulasi
Perdarahan Gangguan
dan suplai darah Risiko infeksi
hematoma
Kejang

Iskemia
Peningkatan
TIK Penurunan
kesadaran
Hipoksia

Peregangan
Kompresi Risiko
doramen
batang otak ketidakefektif Bedrest Akumulasi
dan
an perfusi total cairan
pembuluh
jaringan otak
darah

Risiko
Nyeri akut gangguan Pola
integritas Napas
kulit tidak
efektif

Gangguan
mobilitas fisik
E. Klasifikasi Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
yaitu (Nasution, 2014) :
1. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada
penurunan kesadaran hanya terjadi beberapa detik sampai
beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan pada pemeriksaan
CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
2. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga
beberapa jam. Sering tanda neurologis abnormal, biasanya disertai
edema dan kontusio serebri. Terjadi juga drowsiness dan confusion
yang dapat bertahan hingga beberapa minggu. Fungsi kognitif
maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.
3. Cedera kepala berat (GCS
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang
disebut koma. Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan.
Pasien tidak mampu mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena
gangguan penurunan kesadaran. Termasuk juga dalam hal ini
status vegetatif persisten. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien
digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila pupil tak
ekual, pemeriksaan motor tak ekual, cedera kepala terbuka dengan
bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka, perburukan
neuroloik, dan fraktur tengkorak depressed. Selain itu, bila pasien
mengalami kejang, kesulitan berbicara, episode muntah yang
berulang, kehilangan ingatan, serta memar disekitar mata dan
telinga juga bisa digolongkan sebagai penderita cedera kepala
berat.
F. Manifestasi Klinis
Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara
lain:
1. Commotio Cerebri
a) Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit
b) Mual dan muntah
c) Nyeri kepala (pusing)
d) Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal
2. Contosio cerebri
a) Tidak sadar lebih 10 menit
b) Amnesia anterograde
c) Mual dan muntah
d) Penurunan tingkat kesadaran
e) Gejala neurologi, seperti parese
f) Perdarahan
3. Laserasio Serebri
a) Jaringan robek akibat fragmen patah
b) Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-
bulan
c) Kelumpuhan anggota gerak
d) Kelumpuhan saraf otak

Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan lokasinya.
Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan kesadaran
penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar otak, dengan
gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja, atas dasar ini
trauma kepala dapat digolongkan menjadi:

1. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)


a) Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternative dan
orientatif)
b) Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)
c) Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang
d) Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.
e) Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit
kepala
f) Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.
2. Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)
a) Skor skala koma Glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)
b) Konfusi
c) Amnesia pasca trauma
d) Muntah
e) Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata
rabun, hemotimpanum, otore atau rinore cairan
cerebrospinal
f) Kejang
3. Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)
a) Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)
b) Penurunan derajat kesadaran secara progersif
c) Tanda neurologis fokal
d) Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium.

G. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Manurung (2018) hasil pemeriksaan laboratorium yang sering
ditemukan pada pasien dengan cedera kepala sebagai berikut :
1. Foto Polos Foto polos indikasi meliputi jejas lebih dari 5 cm , luka
tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi),
nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, dan gangguan
kesadaran.
2. CT – Scan CT scan kepala adalah standart baku dalam
penatalaksanaan cedera kepala. Pemeriksaan CT scan kepala
untuk memastikan adanya patah tulang, pendarahan,
pembengkakan jaringan otak, dan kelainan lain di otak. Indikasi CT
Scan adalah :
a) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak
menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia atau
antimuntah.
b) Adanya kejang – kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna
terdapat pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang
general.
c) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana faktor – faktor ekstrakranial
telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi
misalnya karena syok, febris, dll).
d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.
e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.
f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik
dari GCS
3. Untuk pemeriksaan laboratorium, umumnya pemeriksaan darah
lengkap, gula darah sewaktu, ureum-kreatinin, analisis gas darah
dan elektrolit.
4. Pemeriksaan neuropsikologis (sistem saraf kejiwaan) adalah
komponen penting pada penilaian dan penatalaksanan cedera
(Anurogo and Usman, 2014)
5. MRI Magnetic resonance imaging (MRI) biasa digunakan untuk
pasien yang memiliki abnormalitas status mental yang digambarkan
oleh CT Scan. MRI telah terbukti lebih sensitif daripada CT-Scan,
terutama dalam mengidentifikasi lesi difus non hemoragik cedera
aksonal.
6. EEG Peran yang paling berguna EEG pada cedera kepala mungkin
untuk membantu dalam diagnosis status epileptikus non konfulsif.
Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis. Dalam
sebuah studi landmark pemantauan EEG terus menerus pada
pasien rawat inap dengan cedera otak traumatik. Kejang konfulsif
dan non konfulsif tetap terlihat dalam 22%. Pada tahun 2012
sebuah studi melaporkan bahwa perlambatan yang parah pada
pemantauan EEG terus menerus berhubungan dengan gelombang
delta atau pola penekanan melonjak dikaitkan dengan hasil yang
buruk pada bulan ketiga dan keenam pada pasien dengan cedera
otak traumatik.
7. Serebral angiography: menunjukan anomalia sirkulasi serebral ,
seperti perubahan jarigan otak sekunder menjadi udema,
perubahan dan trauma. h. Serial EEG: dapat melihat
perkembangan gelombang yang patologis.
8. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
9. BAER: mengoreksi bats fungsi corteks dan otak kecil k. PET:
mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
10. CSF, lumbalis punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
11. ABGs: mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
12. Kadar elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial
13. Screen toxicologi: untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran (Rendy and Margaret Clevo,
2012)
14. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral) Rontgen thoraks
menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
15. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
16. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup) Analisa gas darah adalah salah
satu tes diagnostic untuk menentukan status repirasi. Status
respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini
adalah status oksigenasi dan status asam basa.

H. Penatalaksanaan Cedera Kepala


Penatalaksanaan yang dilakukan apabila terjadi cedera kepala menurut
(Firmansyah et al., 2021) yaitu:
1. Penilaian jalan napas: membersihkan jalan napas dari muntahan,
melepas gigi palsu, mempertahankan tulang servikal segaris dengan
badan dengan cara memasang kolar servikal. Jika cedera orovasial
mengganggu jalan napas maka harus dilakukan intubasi.
2. Penilaian pernafasan: menentukan apakah pasien bernafas spontan
atau tidak. Apabila tidak segera beri oksigen, apabila bernafas spontan
selidiki dan atasi cedera pada dada seperti pneumothorak,
pneumothorak tensif dan hemopneumothoraks. Kemudian pasang
oksimetri nadi untuk mengetahui saturasi oksigen minimum 95%.
Apabila jalan napas terancam (PaO2 >95 mmHg, PaCO2 >95 mmHg,
PaCO2 dan terjadi muntah maka harus dilakukan intubasi dan
diventilasi oleh ahli anetesi.
3. Penilaian sirkulasi: otak yang mengalami kerusakan tidak mampu
mentolerir hipotensi sehingga perdarahan harus dilakukan dengan
menekan arterinya. Selain itu perhatikan adanya cedera intraabdomen
atau dada. Lakukan pengukuran dan pencatatan frekuensi denyut
jantung dan tekanan darah, pasang EKG bila tersedia.
4. Atasi kejang: kejang konvulsi dapat terjadi setelah mengalami cedera
kepala dan harus segera diobati. Berikan diazepam 10mg per-IV
secara perlahan dan ulangi sebanyak 3 kali apabila masih terjadi
kejang. Apabila tidak berhasil, berikan fenitoin 15mg/kgBB per-IV
secara perlahan dengan kecepatan tidak melebihi 50mg/menit.
5. Pada semua pasien dengan cedera kepala segera meakukan prosedur
pemasangan infus (NaCl 0.9% atau RL) yang berguna untuk
mengganti volume intravaskuler dan larutan ini tidak menambah edema
serebri. Kemudian lakukan pemeriksaan darah lengkap, masa
protombin atau masa tromboplastin parsial serta skrining toksikologi
dan kadar akohol bila perlu.
6. Melakukan CT Scan: foto rontgen kepala tidak perlu dilakukan apabila
sudah dilakukan CT Scan karena CT Scan lebih sensitif untuk
mendeteksi fraktur. Pasien dengan cedera kepala harus dievaluasi
adanya hematoma epidural, adanya darah dalam subarakhnoid dan
intraventrikel, kontusio dan perdarahan jaringan orak, edema serebri,
obiterasi sistema perimesensefalik, pergesaran garis tengah, fraktur
kranium, adanya cairan dalam sinus dan penumosefalus.
2. TINJAUAN TEORITIS KEPERAWATAN
A. Pengkajian Keperawatan
Pengkajian Keperawatan menurut (Jainurakhma, dkk, 2021)
adalah sebagai berikut:
1) Identitas
Data identitas merupakan upaya mengumpulkan berbagai data
yang akurat dari pasien. Data tersebut akan ditemukan berbagai
masalah keperawatan. Data identitas yang dibutuhkan yaitu
identitas klien berupa nama, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, pekerjaan, diagnose medis, tanggal masuk rumah sakit
serta alamat. Selain itu identitas penanggungjawab pasien juga
dibutuhkan seperti nama, umur, pekerjaan, pendidikan, dan
hubungan dengan pasien.
2) Pengkajian Primer
a. Keadaan umum
Kesadaran dan responsivitas dikaji secara teratur karena
perubahan pada tingkat kesadaran mendahului semua
perubahan tanda vital dan neurologik lainnya. Penilaian tingkat
kesadaran menggunakan skala koma Glasgow (GCS)
berdasarkan tiga kriteria yaitu respon mata, respon verbal dan
respon motorik

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale (GCS) (Lumbantobing, 2006 :


Ginsberg, 2008: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,
2011)

Kriteria Respon score


Respon Buka - Buka mata spontan 4
Mata
- Buka mata terhadap 3
- suara / mengikuti
perintah

- Buka mata dengan 2


rangsangan nyeri

- Tidak ada respon 1

Respon Verbal / - Bicara spontan/ 5


Bicara orientasi baik

- Disorientasi/ bingung/ 4
bicara mengacau

- Tidak tepat/ tidak 3


sesuai/ satu kata saja

- Mengerang/ tidak 2
dimengerti/ suara
saja

- Tidak ada suara 1


sama sekali

Respon Motorik / - Menuruti / mengikuti 6


Gerakan perintah

- Menepis rangsangan 5
nyeri / mengetahui
lokasi nyeri

- Gerakan menghindari 4
/ menjauh terhadap
nyeri

- Reaksi fleksi 3

- Reaksi ekstensi 2

- Tidak ada gerakan 1


sama sekali / tidak
ada reaksi

b. Penilaian ABC
 Airway
Kaji apakah ada muntah, perdarahan, benda asing dalam
mulut
 Breathing
Kaji kemampuan bernafas, peningkatan PCO2 akan
memperburuk edema serebri
 Circulation
Nilai denyut nadi dan perdarahan
3) Pengkajian Sekunder
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit/ kesehatan saat ini merupakan factor yang
penting bagi petugas kesehatan pada saat penegakan diagnosis
atau akan menentukan kebutuhan pasien. Identifikasi kapan
cedera terjadi, penyebab cedera.
b. Tanda- tanda vital
 Tanda peningkatan TIK meliputi perlambatan nadi, peningkan
tekanan darah sistolikm dan pelebaran tekanan nadi
 Pada saat kompres otak meningkat, tanda vital, cenderung
sebaliknya , nadi dan pernapasan menjadi cepat, dan tekanan
darah menurun. Ini adalah perkembangan yang
menenangkan, sesuai dengan fluktuasi cepat tanda vital.
 Peningkatan cepat suhu tubuh dianggap hal yang tidak
menguntungkan, karena hipertermia meningkatkan kebutuhan
metabolism otak dan merupakan indikasi kerusakan batang
otak yang merupakan indicator prognosis buruk.
 Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasikan
perdarahan, sedang terjadi ditempat lain ditubuh.
4) Pemeriksaan Fisik
a. Neurologi
Kaji tingkat kesadaran, orientasi, reflex Babinski biasanya
postif, kaku kuduk, hemiparese, serta kaji 12 nervus kranial
khususnya Nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
b. Respirasi
Perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun
frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur, bunyi
napas ronchi, wheezing, atau stridor. Adanya secret pada
tracheobrokhiolus.
c. Kardiovaskular
Adanya perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila
terjadi peningkatan tekanan intracranial, denyut nadi
brakikardia, kemudian takikardia, atau iramanya tidak teratur.
Kaji adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, atau mata. Adamya perdarahan terbuka/
hematoma.
d. Gastrointestinal
Kaji tanda- tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti
bising usus yang tidak terdengar/ lemah, adanya mual dan
muntah, terdapat ketidakseimbangan cairan elektrolit, terdapat
hiponatremia atai hypokalemia.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko Perfusi Serebral Tidak Efektif (D.0017) berhubungan
dengan cedera kepala ditandai dengan cedera kepala.
2. Nyeri Akut (D.0077) berhubungan dengan agen pencedera fisik
(mis. Trauma) ditandai dengan mengeluh nyeri, tampak meringis,
bersikap protektif, gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur,
berfokus pada diri sendiri.
3. Intoleransi Aktivitas (D.0056) berhubungan dengan imobilitas
ditandai dengan merasa lemah.
4. Pola Napas Tidak Efektif (D.0005) berhubungan dengan gangguan
neurologis (mis.cedera kepala).
5. Resiko Infeksi (D.0142) berhubungan dengan penyakit kronis
ditandai dengan resiko infeksi.
6. Resiko Gangguan Integritas Kulit (D.0139) berhubungan dengan
neuropati perifer ditandai dengan penurunan mobilitas.

C. Intervensi Keperawatan
Menurut PPNI (2016) intervensi keperawatan adalah segala
treatment yang dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada
pengetahuan dan penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome)
yang diharapkan. Adapun intervensi keperawatan yang diberikan
sesuai dengan diagnosis yang diprioritaskan ialah sebagai berikut.
Diagnosa Tujuan Dan Kriteria Intervensi
Keperawatan Hasil Keperawatan
1. Resiko Perfusi Tujuan: Setelah Pencegahan syok
Serebral Tidak dilakukan tindakan (I.14544)
Efektif (D.0017) keperawatan selama  Observasi
berhubungan 2x24 jam diharapkan - Monitor
dengan cedera perfusi serebral status
kepala ditandai meningkat kardiopulmon
dengan cedera Kriteria hasil: Perfusi al (frekuensi
kepala. Serebral (L.02014) dan kekuatan
- Tekanan nadi,
intracranial frekuensi
menurun napas, TD,
- Sakit kepala MAP)
menurun - Monitor
- Gelisah status cairan
menurun (CRT, turgor
- Kecemasan kulit)
menurun - Monitor
- Demam tingkat
menurun kesadaran
- Kesadaran dan respon
membaik pupil
- Periksa
riwayat alergi

 Teraupetik
- Berikan
oksigen
untuk
mempertaha
nkan saturasi
oksigen
- Pasang jalur
IV, jika perlu
 Edukasi
- Jelaskan
penyebab/
faktor risiko
syok
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Cedera kepala merupakan istilah luas yang menggambarkan sejumlah cedera
yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan jaringan di bawahnya serta
pembuluh darah di kepala.Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma
pada kepala, trauma yang dapat menyebabkan cedera kepala antara lain
kejadian jatuh yang tidak disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan
benda tajam dan tumpul, benturan dari objek yang bergerak, serta benturan
kepala pada benda yang tidak bergerak (Manurung, 2018).

B. SARAN
1) Untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan hendaknya perawat
mengkaji secara tepat pada pasien dengan cedera kepala dalam membuat
catatan perkembangan dan adanya kerjasama yang baik antara perawat,
pasien, dan keluarga serta tim kesehatan lainnya
2) Untuk Mahasiswa Keperawatan hendaknya membekali diri dengan
pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta mengevaluasi anatomi,
patofisiologi, dan proses perawatan tentang penyakit cedera kepala sehimgga
dapat menentukan permasalahan pasien dengan tepat dan dapat melakukan
asuhan keperawatan secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A. A. (2021). Proses Keperawatan: Pendekatan NANDA, NIC, NOC dan


SDKI. Health Book Publishing.
https://www.google.co.id/books/edition/Proses_Keperawatan_Pendekatan_N
ANDA_NIC/h3scEAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1.

Sinurya, dkk. (2020). Lama Rawat Pada Pasien Dengan Cedera Kepala Ringan.
Holistik Jurnal Kesehatan, 13(2), 136–142. https://doi.org/10.33024/hjk.v13i2.1391

Mawarni, I. (2020) ‘Asuhan Keperawatan Pasien Cedera Kepala Dengan Masalah


Keperawatan Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif’, Tetrahedron Letters, 55, p. 3909.

Haryono & Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah Ii. Yogyakarta.Pustaka Baru
Press

Rehatta, N. M., Hanindito, E., & Tantri, A. R. (2019). Anestesiologi dan Terapi
Intensif: Buku Teks Kati-Perdatin. Gramedia Pustaka Utama.

Manurung, N. (2018). Keperawatan Medikal Bedah Konsep, Mind Mapping dan


NANDA NIC NOC. Jakarta: TIM.

Batticaca B Fransisca. (2018). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Persarafan (novianty aulia, Ed.). Jakarta: salemba medika.

Dinarti, & Muryanti, Y. (2017). Bahan Ajar Keperawatan: Dokumentasi Keperawatan.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.(2016).Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia (SDKI)


Edisi 1,Jakarta:Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.(2018).Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI)


Edisi 1,Jakarta:Persatuan Perawat Indonesia.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI.(2016).Standar Luan Keperawatan Indonesia (SLKI)


Edisi 1,Jakarta:Persatuan Perawat Indonesia.

Nursalam. 2016. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis


Edisi.4. Jakarta : Salemba Medika.
Nasution, S. H. (2014). Mild Head Injury. Medula. Vol.2 : 4. Lampung : Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung. Newgard, C.D., Schmicker, M.S., Hedges, J.R.,
Tricket, P.T., Davis, D.P & Bulger, E.M.

Nurarif H. Amin & Kusuma Hardi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) NIC-
NOC. Mediaction Publishing

Padila. (2012). Buku Ajar: Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai