Dosen Pengampu :
Dengan mengucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada tim penulis sehingga dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul: “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Masalah
Trauma Kepala Leher”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini banyak terdapat kesalahan,
berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak maka makalah ini dapat diselesaikan. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masihjauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun, tim penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis dengan rendah hati dan dengan
tangan terbuka menerima masukan,saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya tim penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A. Latar Belakang......................................................................................................4
B. Manfaat Penulisan................................................................................................4
A. Trauma Kepala.......................................................................................................6
B. Trauma Leher........................................................................................................17
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN.............................................................................24
A. Pengakjian............................................................................................................28
B. Diagnosa...............................................................................................................28
C. Intervensi..............................................................................................................27
A. Kesimpulan...........................................................................................................28
B. Saran.....................................................................................................................28
BAB IV ANALISA............................................................................................................30
A. Telaah Jurnal........................................................................................................30
A. Kesimpulan...........................................................................................................32
B. Saran.....................................................................................................................32
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai
atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2015), cedera kepala biasanya
diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari
terjadinya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma
kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis,
asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting
terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah
infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh
kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang
serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat
dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan
terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin
memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2015).
Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian
cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari
jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih
dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera
kepala tersebut (Depkes, 2012). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera
cukup berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
4
Dua per tiga dari kasus ini berusia di bawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki
lebih banyak dari wanita. Lebih dari setengah dari semua pasien cedera kepala
berat mempunyai signifikasi terhadap cedera bagian tubuh lainnya.
B. Tujuan
a. Tujuan umum
Tujuan umum agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui asuhan
keperawatan pada pasien dengan cedera kepala .
b. Tujuan Khusus
Mahasiswa mengetahui dan mampu:
1) Melakukan pengkajian gawat darurat pada pasien dengan cedera
kepala.
2) Merumuskan diagnosa keperawatan gawat darurat pada pasien dengan
cedera kepala.
3) Menyusun intervensi keperawatan gawat darurat pada pasien dengan
cedera kepala.
4) Melakukan implementasi keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan cedera kepala.
5) Melakukan evaluasi keperawatan gawat darurat pada pasien dengan
cedera kepala
6) Melakukan dokumentasi keperawatan gawat darurat pada pasien
dengan cedera kepala.tugasnya.
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Trauma Kepala
1. Definisi
Trauma kepala atau cedera kepala atau trauma kapitis menurut Konsensus
Nasional Penanganan Trauma Kapitis didefinisikan sebagai trauma mekanik
terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan
gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik
temporer maupun permanen (PERDOSSI, 2006).
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatic dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa pendarahan intestinaldalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitasotak. Cedera kepala merupakan adanya pukulan atau benturan
mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran (Febriyanti, dkk,
2017).
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma kepala
adalah suatu trauma kranioserebral, secara spesifik terjadinya cedera pada kepala
(akibat trauma tumpul atau tajam atau akibat daya akselerasi atau deselerasi) yang
terkait dengan gejala akibat cedera tersebut seperti penurunan kesadaran, amnesia,
abnormalitas neurologi atau neuropsikologi lainnya, fraktur tengkorak, lesi
intrakranial atau kematian (CDC, 2010).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2012), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi
disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif
dan fungsi fisik.
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka kelompok dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh
trauma benda tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada
kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.
6
Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera kepala
diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi, yaitu berdasarkan ; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
a. Mekanisme Cedera Kepala
Percobaan biomekanika cedera kepala telah banyak dipelajari pada hewan
coba, cadaver manusia, dan model eksperimental tulang kepala dan otak. Pada
tahun 1943, Holbourn menunjukkan efek kekuatan rotasional dengan gel pada
tengkorak manusia, dan 3 tahun kemudian, (Pudenzand Shelden, 1947)
merekam fenomena ini pada tengkorak monyet yang digantikan dengan plastic
transparan. Perkembangan teknologi memungkinkan dengan Computed
Tomography (CT Scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) mempelajari
efek linier dan angular akselerasi pada otak pasien percobaan (Bayly dkk,
2005).
7
Menyebabkan cedera pada permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam
(Youmans, 2011).
Glasgow Coma Scale (GCS) dikembangkan oleh Teasdale and Jennett pada
1974 dan saat ini digunakan secara umum dalam deskripsi beratnya penderita
cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua matanya secara spontan,
mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15,
sementara pada penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan
tidak membuka mata atau pun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai
koma atau cedera otak berat.
8
Berdasarkan derajat kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow dibagi
menjadi :
1) Cedera kepala ringan (CKR)
GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan kesadaran kurang dari 30
menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada penyerta
seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55% ).
2) Cedera kepala sedang (CKS)
GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam,
dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3) Cedera kepala berat (CKB)
GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam,juga meliputi contusio
cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema
(PERDOSSI, 2006)
9
luka nya akan tampak rata dan teratur. Luka robek adalah apabila terjadi
kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan bawah kulit. Laserasi kulit
kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit kepala terdiri
dari lima lapisan yang disingkat dengan akronim SCALP yaitu skin,
connective tissue, apponeurosis galea, loose connective tissue dan
percranium. Diantara galea aponeurosis dan periosteum terdapat jaringan
ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap tulang. Pada
fraktur tulang kepala sering terjadi robekan pada lapisan ini.
10
fisik dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada
fraktur basis crania fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign pada
fraktur basis crania fossa media.
4) Abrasi
Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya superfisial. Luka ini
bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit. Luka ini tidak sampai pada
jaringan subkutis tetapi akan terasa sangat nyeri karena banya kujung-
ujung saraf yang rusak
5) Avulsi
Luka avulse yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit terkelupas, tetapi
sebagian masih berhubungan dengan tulang kranial. Dengan kata lain
intak kulit pada cranial terlepas setelah cedera (Mansjoer,2010)
2. Etiologi
Menurut Tarwoto (2007), penyebab cedera kepala adalah karena adanya trauma
yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
a. Trauma primer
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dn deselerasi)
1) Kecelakaan lalu lintas
11
2) Pukulan dan trauma tumpul pada kepala
3) Terjatuh
4) Benturan langsung dari kepala
5) Kecelakaan pada saat olahraga
6) Kecelakaan industry
b. Trauma sekunder
Terjadi akibat dari truma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
3. Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema
dan gangguan biokimia otak sepertipenurunan adenosis tripospat, perubahan
permeabilitas vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses
yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala
terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala
sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer, misalnya akibat dari
hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
12
b. Cedera Sekunder
Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut melampaui
batas kompensasi ruang tengkorak. Hukum Monroe Kellie mengatakan bahwa
ruang tengkorak tertutup dan volumenya tetap. Volume dipengaruhi oleh tiga
kompartemen yaitu darah, liquor, dan parenkim otak. Kemampuan
kompensasi yang terlampaui akan mengakibatkan kenaikan TIK yang
progresif dan terjadi penurunan Tekanan Perfusi Serebral (CPP) yang dapat
fatal pada tingkat seluler.
c. Edema Sitotoksik
Kerusakan jaringan (otak) menyebabkan pelepasan berlebih sejenis
Neurotransmitter yang menyebabkan Eksitasi (Exitatory Amino Acid a.l.
glutamat, aspartat). EAA melalui reseptor AMPA (N-Methyl D-Aspartat) dan
NMDA (Amino Methyl Propionat Acid) menyebabkan Ca influks berlebihan
yang menimbulkan edema dan mengaktivasi enzym degradatif serta
menyebabkan fast depolarisasi (klinis kejang-kejang).
13
membran tersebut). Melalui rusaknya fosfolipid akan meyebabkan
terbentuknya asam arakhidonat yang menghasilkan radikal bebas yang
berlebih.
e. Apoptosis
Sinyal kemaitan sel diteruskan ke Nukleus oleh membran bound apoptotic
bodies terjadi kondensasi kromatin dan plenotik nuclei, fragmentasi DNA dan
akhirnya sel akan mengkerut (shrinkage).
4. WOC
14
5. Manifestasi Klinis
a. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
b. Kebingungan
c. Iritabel
d. Pucat
e. Mual dan muntah
f. Pusing kepala
g. Terdapat hematoma
h. Kecemasan
i. Sukar untuk dibangunkan
j. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.
k. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan
6. Komplikasi
a. Perdarahan intra cranial
b. Kejang
c. Parese saraf cranial
d. Meningitis atau abses otak
e. Infeksi pada luka atau sepsis
f. Edema cerebri
g. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
h. Kebocoran cairan serobospinal
i. Nyeri kepala setelah penderita sadar
7. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera Kepala :
a. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan
perubahan jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontrasradioaktif
15
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak
sekunder menjadi edema, pendarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan
intracranial
j. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruhobat yang dapat menyebabkan penurunan
kesadaran
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status
repirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD
ini adalah status oksigenasi dan status asam basa
8. Penatalaksanaan
a. Keperawatana
1) Observasi 24 jam
2) Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu. Makanan
atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya cairan infus
16
dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
3) Berikan terapi intravena bila ada indikasi
4) Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
b. Medis
Terapi obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
3) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
4) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub
dural, cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
5) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan
MRI
(Satynagara, 2010)
B. Trauma Leher
1. Definisi
Trauma tembus leher merupakan keadaan gawat darurat yang bersifat mengancam
nyawa. Dikatakan trauma tembus leher apabila trauma menembus otot platisma.
Trauma ini memerlukan penanganan yang segera. Di leher terdapat struktur-
struktur vital yang memungkinkan mengalami cedera pada trauma tembus leher
karena organ-organ ini tidak dilindungi oleh tulang. Kasus trauma tembus leher
terjadi antara 5% - 10% dari seluruh trauma. Di berbagai kepustakaan dilaporkan
luka tembak merupakan penyebab terbanyak diikuti luka tusuk/ luka sayat. Hal ini
menyebabkan pembicaraan luka tembus leher sering dikaitkan dengan balistik.
(Newton K, 2006)
17
Struktur vital di leher dapat dibedakan secara umum menjadi empat kelompok
yaitu
a. saluran nafas (trakea , laring dan faring)
b. pembuluh darah (arteri karotis, vena jugularis, arteri subclavia, arteri
innominata, arkus aorta)
c. traktus digestif (faring dan esophagus)
d. organ neurologis (medula spinalis, pleksus brakhialis, saraf perifer dan saraf
kranial)
18
2) Stabilitas pasien
a) stabil (tidak mengancam nyawa)
Trauma tembus leher yang stabil datang dengan gejala yang lebih
bervariasi dan biasanya masih cukup waktu untuk mendapatkan
riwayat dan pemeriksaan yang lengkap serta tidak memerlukan operasi
eksplorasi segera.
b) tidak stabil (mengancam nyawa)
Pasien yang tidak stabil ditandai dengan perdarahan masif, hematom
yang luas, hemodinamik yang tidak stabil, hemomediastinum,
hemotoraks, syok hipovolemik, defisit neurologi, gangguan respirasi
dan jalan nafas serta memerlukan operasi eksplorasi segera.
2. Etiologi
Penyebab utama kematian pasien trauma tembus leher adalah perdarahan masif
akibat cedera pembuluh darah, disamping penyebab lain yaitu cedera medula
spinalis, iskemia serebri, sumbatan jalan nafas, emboli udara dan emboli paru
serta sepsis pada kasus cedera esofagus yang tidak terdeteksi. Penyebab terbanyak
luka tembus leher yang datang ke berbagai unit gawat darurat adalah :
a. luka tembak dan luka sayat,
b. kecelakaan saat berburu
c. kecelakaan lalu lintas biasanya berupa trauma tumpul.
3. Manifestasi Klinis
a. Berdasarkan struktur yang terlibat
Pada trauma zona I, cedera terhadap pembuluh darah merupakan keadaan
yang paling sering terjadi, lebih kurang 30% pasien yang tanpa gejala
sebenarnya mengalami cedera pembuluh darah pada zona I. Trauma Zona I
juga berisiko terjadi cedera pada trakea dan esofagus. Berbeda dengan trauma
19
esofagus pada zona II, yang akan menimbulkan gejala beberapa jam setelah
kejadian, cedera esofagus pada zona I tidak menimbulkan gejala sampai
terjadi komplikasi yang serius berupa mediastinitis atau sepsis.
1) Cedera pembuluh darah
a) Syok
b) Hematoma
c) Perdarahan
d) Nadi lemah atau hilang
e) Deficit neurologi
f) Bruit atau thril di leher
2) Cedera laringotrakea
a) Emfisema subkutis
b) Sumbatan jalan nafas
c) Sucking wound
d) Hemoptisis
e) Dyspnea
f) Stridor
g) Suara serak/disfoni
3) Cedera faringoesofagus
a) Emfisema subkutis
b) Hematemesis
c) Disfagia/odinofagia
20
dan pemeriksaan yang lengkap. Gejala dapat berupa nyeri, disartria, suara
serak, disfagia, odinofagia, hemoptisis, droolingdan demam. Kadang-
kadang pasien juga mengeluhkanhilangnya sensoris daerah wajah.
4. Patofisiologi
Cedera pembuluh darah akan menimbulkan hematom leher atau orofaring, nadi
halus, takikardia, hipotensi, carotid bruitatau thrill.Trauma jalan nafas atas akan
menimbulkan stridor, emfisema subkutis dan adanya gelembung udara dari luka
terbuka. Adanya kelumpuhan saraf kranial, sindoma Horner, hemiplegi dan
kuadriplegi berhubungan dengan cedera terhadap jaringan saraf, yaitu saraf
kranial, pleksus brakhialis, saraf simpatis dan medula spinalis.
5. Komplikasi
Komplikasi trauma tembus leher yang terjadi dapat akibat langsung dari trauma
dan dapat juga sebagai akibat keterlambatan penatalaksanaan atau tidak terdeteksi
saat pemeriksaan. Komplikasi yang mungkin timbul dapat berupa perdarahan
yang persisten, pseudoaneurisma, fistel esofagokutan, fistel esofagotrakeal, fistel
trakeokutan, fistel venoarterial, infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan
abses leher, sepsis, mediastinitis, stenosis dari stuktur berlumen seperti trakea dan
esofagus serta defisit neurologi. Cara terbaik untuk mencegah terjadinya
komplikasi adalah melakukan evaluasi yang lengkap dan teliti serta follow-up
ketat pasca tindakan serta pemberian antibiotika.
6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan awal pasien trauma tembus leher sesuaidengan prinsip Advanced
Trauma Life Support (ATLS), yaitu evaluasi terhadap jalan nafas, pernafasan,
sirkulasidanstatus neurologis.
a. Jalan nafas
Penanganan jalan nafas harus merupakan prioritas utama pada pasien trauma
tembus leher. Kegawatan jalan nafas terjadi pada 10% kasus, dan
membutuhkan intubasi atau trakeostomi. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
trauma terhadap jalan nafas itu sendiri, perdarahanmasifyang masuk jalan
nafas, penekanan akibat hematom di leher atau emfisema masif di sekitar
leher. Bantuan ventilasi dengan menggunakan bag-valve-mask harus sangat
21
hat-hati, karena udara dapat terdorong ke jaringan yang cedera yang dapat
menimbulkanemfisema subkutis yang masifatau emboli udara. Bila jalan nafas
sudah stabil, evaluasi terhadap pernafasan harus dilakukan untuk menentukan
ada tidaknya hemotoraks atau pneumo-toraks.
b. Sirkulasi
Menstabilkan status kardio-vaskuler dengan melakukan pemeriksaan
hemodinamik, pemeriksaan nadi, tekanan darah, pemasangan jalur intravena
dan penekanan langsung pada sumber perdarahan. Resusitasi cairan dan
tranfusi darah kadang-kadang diperlukan. Hipotensi yang tidak disertai
takikardia merupakan tandakecurigaan adanya cedera medula spinalis.
Servikal harus diproteksi sampai dapat dipastikan tidak terdapat trauma pada
servikal secara klinis danradiologi tulang servikal, meskipun keadaan ini
jarang terjadi.
c. Neurologis
Pemeriksaan status neurologis (tingkat kesadaran) juga diperlukan.
Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala dan leher, terutama terhadap tanda-
tanda trauma. Inspeksi terhadap luka dilakukan tanpa menelusuri luka, karena
akan menyebabkan lepasnya bekuan darah yang dapatmenimbulkan
perdarahan yang hebatdan emboli udara. Inspeksi luka dilakukan untuk
menentukan kedalaman luka dan hubungannya dengan otot platisma.
Mengingat lapisan fasia servikal profunda yang melindungi struktur-struktur
vital berada di bawah platisma, sehingga cedera terhadap platisma harus
dicurigai adanya cedera terhadap struktur vital, dan membutuhkan evaluasi
lebih lanjut.
d. Pemeriksaan pada bagian tubuh diluar kepala dan leher juga harus dilakukan
untuk menyingkirkan kemungkinan adanya trauma multipel.
22
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium darah rutin dilakukan termasuk hemoglobin dan
hematokrit untuk menentukan perlunya tranfusi segera dan sebagai data awal
untuk perbandingan dengan keadaan pasien tersebut selanjutnya.
b. Pasien memerlukan pemeriksaan radiologi berupa foto polos toraks dan
servikal untuk menilai adanya cedera tulang servikal, adanya sisa benda asing,
emfisemadan mendeteksi pneumotorak, hemotorak atau pneumo-mediastinum.
c. Pemeriksaan laringoskopi fleksibel (di IGD) perlu dilakukan pada trauma
tembus leher zona I. Pemeriksaan ini untuk menilai adanya paralisis pita suara
serta adanya darah atau edema pada jalan nafas atas. Sedangkan pemeriksaan
laringoskopi intra-operatif dan trakeoskopi serta bronkoskopi dilakukan jika
ditemukan kelainan pada pemeriksaan laringoskopi fleksibel
d. Penggunaan CT scan helical/ multidetectordengan kontras dilaporkan cukup
efektif dan aman untuk mendeteksi cedera struktur vital pada trauma tembus
leher, namun tidak untuk cedera esofagus yang kecil akibat luka tusuk
23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang
wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal
ini dapat dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan
memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan
ekstensi, fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik
dari paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap disebabkan
oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan detik dapat memberikan
informasi mengenai keadaan hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan
nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi
pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
6
b. Pengkajian sekunder
1) Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi
badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.
2) Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian,
status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah
kejadian.
3) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,
puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
5) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
6) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
7) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.
8) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope,
kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan
penglihatan seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status
mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
9) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
10) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
25
hiperventilasi nafas berbunyi)
11) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam,
gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12) Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme jalan nafas
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi –
perfusi
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan neurologis (cedera
kepala).
4. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala.
5. Penurunan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan edema otak.
6. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (trauma)
7. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan
8. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler.
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas.
(SDKI, 2017).
Diagnosa Utama:
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan spasme darah
b. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala.
c. Resiko Hipovolemia dibuktikan dengan kehilangan cairan secara aktif
(pendarahan)
26
C. Intervensi Keperawatan
27
i. Monitor nilai AGD
28
g. Monitor kesimetrisan
wajah
h. Monitor karakteristik
bicara, kelancaran,
kefihan, atau
kesulitan mencari
kata.
i. Monitor respons
babinski
j. Monitor respons
cushing
29
BAB IV
ANALISA JURNAL
Intervensi keperawatan pada kasus yang sesuai dengan jurnal dengan masalah
keperawatan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan cedera
kepala ditandai dengan adanya penurunan sirkulasi jaringan otak, akibat situasi O2 di
dalam otak dan nilai Gaslow Coma Scale menurun. Penanganan utama pada pasien
cidera kepala dengan meningkatkan status O2 dan memposisikan pasien 15 - 30°
(Soemarno Markam, 2018). Pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º yang
membantu peningkatan tingkat kesadaran dan memperbaiki sirkulasi oksigen ke otak,
nyeri kepala akibat trauma menurun, tekanan darah stabil, sehingga pertukaran gas
6
yang maksimal meningkatkan kesadaran. Dengan meningkatnya jumlah oksigen di
dalam darah, homeostatis menjadi seimbang maka tubuh akan mengupayakan
peningkatan kebutuhan oksigen dalam tubuh. Penatalaksanaan pemberian oksigen
pada pasien cedera kepala sedang menggunakan rebreathing mask dan simple mask
yang diberikan 8 - 10 liter / menit dengan saturasi oksigen 95% - 100%. Indikasi
pemberian oksigen disebabkan oleh hipoksia sedang dan berat. Konsentrasi oksigen
yang lebih tinggi akan meningkatkan pemenuhan oksigen (Korzier, dkk 2010).
Penatalaksanaa pemberian elevasi kepala 30º pada pasien cedera kepala sedang
dengan mengatur bed pasien pada bagian kepala menjadi elevasi kepala 30º. Indikasi
pemberian elevasi kepala 30º disebabkan oleh terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial ditandai dengan nyeri kepala akibat trauma pada bagian otak, tekanan darah
yang meningkat, mual muntah, perubahan perilaku. Elevasi kepala 30º akan
meningkatkan aliran vena jugularis yang tak berkatup sehingga mampu menurunkan
volume darah vena sentral yang menurunkan tekanan intrakraninal sehingga nyeri
kepala, peningkatan tekanan darah, mual muntah dan perubahan perilaku pada pasien
cedera kepala sedang dapat teratasi.
31
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala atau cedera otak merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak
yang di sertai atau tanpa di sertai perdarahan innterstiil dalm substansi otak tanpa di
ikuti terputusnya kontinuitas otak. (Arif Muttaqin, 2008, hal 270-271).
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma oleh
benda/serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan atau energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (ekselerasi-deselarasi)
pada otak.
Cedera otak sekunder terjadi karena perubahan aliran darah ke otak dan juga terjadi
peningkatan tekanan intrakranial karena meningkatnya volume isi kepala. Kedua
mekanisme tersebut memperberat cedera otak yang sudah ada.Cedera otak bisa
menimbulkan dampak fisik, kognitif, emosi dan sosial. Prognosis cedera otak bisa
sangat bervariasi dari mulai sembuh total sampai cacat menetap bahkan kematian.
B. Saran
Setelah pembuatan makalah ini sukses diharapkan agar mahasiswa giat membaca
makalah ini, dan mencari ilmu yang lebih banyak diluar dari makalah ini terkait
tentang meteri dalam pembahasan, dan tidak hanya berpatokan dengan satu sumber
ilmu (materi terkait), sehingga dalam tindakan keperawatan dapat menerapkan asuhan
keperawatan pada klien dengan cedera kepala. Penulis menyadari masih banyak
terdapat kekurangan pada makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sekali
kritik yang membangun bagi makalah ini, agar penulis dapat berbuat lebih baik lagi di
kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya
dan pembaca pada umumnya.
6
DAFTAR PUSTAKA
Corrigan, P. 2004. How stigma interferes with mental health care. American Psychologist
Febriyanti, dkk. 2017. Pengaruh Terapi Oksigenasi Nasal Prong Terhadap Perubahan
Saturasi Oksigen Pasien Cedera Kepala Di Instalasi GawatDarurat Rsup Prof. Dr. R.
D. Kandou Manado. e-Jurnal Keperawatan (e-Kp) Vol 5 No 1
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika
Newton K. 2006. Rosen's Emergency Medicine-Concepts and Clinical Practice, 6th ed.
Massachusetts : Mosby Elsevier
Pascual,J.L.,et al. 2008. Injury to the brain. In : Flint LF et al, editor . Trauma :
Contemporary Principles and Therapy. Philadelphia: Lippincot
Tarwoto, Wartonah & Suryati. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem
Pernafasan. Jakarta : Sagung Seto
LAMPIRAN PPT