TRAUMA KEPALA
Disusun oleh:
Kelompok 6
1. Novinda Walangitan : 1614201266
2. Oktavia V. Bujung : 1714201179
3. Dito Solon : 1714201169
4. Christiani : 17142011
FAKULTAS KEPERAWATAN
MANADO
2020
KATA PENGANTAR
Segalah puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-NYA sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah ini, dengan judul “ Trauma
Kepala “ , akan tetapi kami sadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan. Hal ini merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, dan
bukan merupakan suatu kesengajaan.
Dengan kerendahaan hati kami mengharapkan adanya masukan, kritik serta saran
yang bersifat membangun guna kesempurnaan Makalah ini.
Dalam kesempatan yang baik ini dan dengan kerendahaan hati serta penuh rasa
hormat yang tinggi penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada yang
terhormat:
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR………………………………………………………………...............2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..3
BAB I PENDAHULUAAN
BAB II
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………..…………………………26
B. Saran……………………………………………………………………..…………..26
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….………….27
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas
(Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari
700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit, dua
pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan
jumlah wanita, lebih dari setengah semua pasien cedera kepala mempunyai signifikasi
Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera
kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau askep
cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat
harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada
sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan
perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari
cedera kepala.
rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan
yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat
keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah
Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2008, kecelakaan lalu lintas
menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia dengan jumlah kematian 1,21 juta (2,1%)
sedangkan Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 cedera merupakan penyebab
kematian utama keempat (6,5%) untuk semua umur setelah Stroke, TB, dan Hipertensi.
Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera
kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang
meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan
akibat cedera kepala (Moore & 1 Argur, 2016). Penyebab cedera kepala yang terbanyak
adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%), dan cedera olahraga (10%).
Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007 Angka kejadian cedera kepala
yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan keempat
(6,5%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 penyakit terbanyak
Berdasarkan Survey data awal yang didapat oleh peneliti pada 3 bulan terakhir di
IGD RS Bhayangkara terdapat 125 orang yang mengalami cedera kepala akibat
kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini dilaksanakan di IGD RS Bhayangkara Manado dan
Populasi dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang di rawat di IGD RS
Bhayangkara Manado.
kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan
dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomic
dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan
padatya itu cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang. Pasien
dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosase dini mungkin agar tindakan
terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan
sistematis.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan Keperawatan Trauma Kepala?
2. Apa Definisi dari Trauma Kepala?
3. Apa saja Upaya-Upaya Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada Trauma
Kepala?
4. Apa saja Trend an Issue / Hasil Penelitian Terkait pada Kasus Trauma Kepala?
5. Bagaimana Evidance Based Practise Dalam Penatalaksanaan Khusus Trauma Kepala?
6. Bagaimana Manajemen Kasus Kegawatdaruratan Trauma Kepala?
7. Apa saja Peran dan Fungsi Perawat Dalam Advokasi Pada Kasus Trauma Kepala?
C. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan dan mengetahui apa yang
dimaksud dengan Trauma Kepala.
2. Tujuan Khusus
1) Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Trauma Kepala
2) Untuk Mengetahui Definisi dari Trauma Kepala
3) Untuk Mengetahui Upaya-Upaya Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada
Trauma Kepala
4) Untuk Mengetahui Trend an Issue / Hasil Penelitian Terkait pada Kasus Trauma
Kepala
5) Untuk Mengetahui Evidance Based Practise Dalam Penatalaksanaan Khusus
Trauma Kepala
6) Untuk Mengetahui Manajemen Kasus Kegawatdaruratan Trauma Kepala
7) Untuk Mengetahui dan Fungsi Perawat Dalam Advokasi Pada Kasus Trauma
Kepala
BAB II
1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan Cervical Control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing dan Ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan Hemorrhage Control
a) Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan
hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang
dalam hitungan 16 detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
b. Pengkajian Sekunder
1. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi badan,
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status
3. Aktivitas/istirahat
4. Sirkulasi
5. Integritas Ego
6. Makanan/Cairan
7. Eliminasi
fungsi.
8. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope, kehilangan
seperti ketajaman.
9. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
10. Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi nafas
berbunyi)
11. Keamanan
otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria.
2. MASALAH KEPERAWATAN
3. PRIORITAS MASALAH
DIAGNOSA KEPERAWATAN
2) Perubahan perilaku
5) Kesulitan menelan
b) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas
Batasan karakteristik :
Subjektif
1) Dispnea
Objektif
4) Sianosis
7) Ortopnea
8) Gelisah
9) Sputum berlebihan
1) Diabtes militus
3) Hipertensi
6) Merokok
Batasan karakteristik :
Subjektif
1) Perubahan sensasi 20
Objektif
3) Klaudikasi
4) Kelambatan penyembuhan
6) Edema
8) Diskolorasi kulit
1. Cedera jaringan
2. Jaringan rusak
Batasan karakteristik
a) Ansietas
d) Gangguan neuromuskular
e) Gangguan neurologis
f) Hiperventilasi
g) Keletihan
i) Nyeri
j) Obesitas
l) Sindrom hipoventilasi
INTERVNSI KEPERAWATAN
Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
TD sistolik dan diastolik
Bruit pembuluh darah besar
Hipotensi ortostatik
Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan usia serta kemampuan
Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi kognitif
Menunjukkan memori jangkan panjang dan saat ini
Mengolah informasi
Membuat keputusan yang tepat
Indikator :
1. Gangguan eksterm
2. berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi Dx 1
NIC: Monitor Tekanan Intra Kranial
1. Berikan informasi kepada keluarga/ orang penting lainnya
4. Berikan antibiotik
6. Beritahu dokter untuk peningkatan TIK yang tidak bereaksi sesuai peraturan
perawatan.
Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
Kemudahan bernapas
Frekuensi dan irama pernapasan
Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
Pergerakan sumbatan keluar dari jalan napas
Indikator :
1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi Dx 2
Faktor berhubungan :
1. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
2. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas
Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
Kemudahan bernapas
Indikator :
1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi Dx 3
Faktor berhubungan:
1. Cedera jaringan
2. Jaringan rusak
Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
Perfusi jaringan 3
Keutuhan kulit
Granulasi
Penyusutan luka
Indikator :
1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi Dx 4
1. Monitor warna, suhu, udem, kelembaban dan kondisi area sekitar luka
BAB III
TINJAUAN TEORI
Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada
otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.
Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan
gangguan biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas
vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera
kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater,
laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak
Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.
Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
6. Edema cerebri
9. Nyeri kepala setelah penderita sadar 12 oedema paru cardiac output Penumpukan
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut :
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan
kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau
amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi
ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga
Selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :
1. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang
tengkorak.
2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema
cerebra.
Abstract : According To the World Healt Organization (WHO) in 2008, traffic accidents
became the 10th leading cause of death in the world with the number of deats
is 1,21 million (2,1%), while according to the health profile of Indonesia in
2008 injury is the fourth major couse of death is (6,5%) for all ages after a
stroke, tuberculosis, and hypertension. Disorientation is the inability of a
person to know the position himself in relation to the time, place or specific
objects in the enviroment. The purpose of the research to know the
relationship of head injury with patient disorientation in ER Bhayangkara
Hsopital. Research Methods used in tihis research is a Cross Sectional
design, With a total of 38 samples of respondent.Techniques sampling is
Accidental Sampling. Data analysis was done using the chi-square test. Views
of the significance of 0.001 thus probability (significance) is smaller than 0.05.
Conclusion There is a connection between head Injuries on the patient
disorientation with traffic accidents. Expected results of this research can be
used as reference material in the library and can add to the wealth of
knowledge Especially in the field of health.
Abstrak : Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2008, kecelakaan lalu
lintas menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia dengan jumlah kematian
1,21 juta (2,1%) sedangkan Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008
cedera merupakan penyebab kematian utama keempat (6,5%) untuk semua
umur setelah Stroke, TB, dan Hipertensi. Disorientasi adalah
ketidaksanggupan seseorang untuk mengetahui posisi dirinya dalam
hubungannya dengan waktu tempat, atau bendabenda tertentu di
lingkungannya. Tujuan penelitian Untuk mengetahui hubungan cedera
kepala dengan disorientasi pada pasien cedera kepala di IGD RS Bhayangkara.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain cross
sectional dengan jumlah Sampel 38 responden. Teknik pengambilan sampel
yaitu Accidental Sampling Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji
chi-square. Dilihat dari nilai signifikan atau nilai p = 0,001 dengan demikian
probabilitas lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan ada hubungan antara cedera
kepala dengan disorientasi pada pasien kecelakaan lalu lintas.. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dalam kepustakaan dan
dapat menambah kekayaan ilmu pengetahuan khusunya dibidang kesehatan.
HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagian besar Cedera kepala
pada pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS Bhayangkara adalah cedera kepala ringan,
Sebagian besar disorientasi pada pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS Bhayangkara
adalah ringan dan berdasarkan Survey data awal yang didapat oleh peneliti pada 3 bulan
terakhir di IGD RS Bhayangkara terdapat 125 orang yang mengalami cedera kepala
Manado dan Telah dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di IGD RS Bhayangkara
Manado. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang di rawat di IGD
RS Bhayangkara Manado.
Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dam memiliki variabel-variabel yang saling
berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan otak sekunder. Target dari penanganan
trauma kepala adalah mencegah kerusakan sekunder karena komplikasi intrakranial dan
ektrakranial; dan menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan.
Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah hipoksia dan syok,
sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah diagnosa atau penundaan diagnosa
perdarahan intrakranial.
Manajemen emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi dan perfusi otak
yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.
Manajemen Respirasi
Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu
oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas. BGA yang diambil saat trauma dan
saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa hiperkapnea berkorelasi dengan derajat
keparahan cedera kepala. GCS dibawah 9 dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50
mmHg. Intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan
ventilasi spontan yang adekuat tidak dapat dipertahankan.
Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah
trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan
ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah 93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO2
lebih dari 45mmHg.
Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau
lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak
dianjurkan karena resiko perdarahan dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur
cervical harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin
Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder karena cedera
otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau CPAP. Bila penyebab memburuknya
respirasi karena overload cairan, dapat dikoreksi dengan loop diuretik seperti furosemide;
sebaiknya tidak dengan diuretik osmosis seperti mannitol.
Stabilisasi Cardiovaskuler
Target yang dituju adalah perfusi otak. Pada anak, perdarahan intrakranial dapat
menyebabkan hipovolemia. Pada dewasa, hipovolemia disebabkan cedera organ lain atau
kerusakan batang otak. Pasca trauma, autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting
untuk mempertahankan CPP.
Penilaian Neurologis
Evaluasi awal seharusnya meliputi informasi waktu, lokasi, dan mekanisme cedera.
Penilaian meliputi tingkat kesadaran, pemeriksaan mata, dan penilaian fungsi batang otak.
Durasi dan kedalaman tingkat ketidaksadaran berkorelasi dengan kedalaman lesi trauma otak.
Pemeriksaan neurologi lengkap hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar dan kooperatif
Studi Diagnostik
Fraktur liner tertentu, termasuk fraktur yang melewati arteri meningea media, major
venous sinuses, dan fraktur yang meluas di basis cranii, membawa resiko yang lebih besar
terjadinya hematom intrakranial dan kebocoran cairan serebrospinalis. Tidak seperti
angiografi atau ventriculografi, CT scanning mampu membedakan antara oedema otak,
kontusio dan hematom.
Antara 30-40 % pasien dengan cedera kepala berat awalnya gambaran CT scannya
normal. Beberapa pasien yang mengalami perburukan neurologi atau yang gagal mencapai
perbaikan yang diinginkan seharusnya dilakukan pengulangan CT scan. Semua pasien
dengan GCS kurang dari 12 seharusnya diperiksa dengan CT scan, perkecualian untuk pasien
yang terlihat gejala klasik dan tanda-tanda perluasan cepat perdarahan epidural. Pada evaluasi
cedera otak, MRI tampaknya lebih akurat dalam menggambarkan edema otak dini, kontusio
fokal, dan membedakan higroma dari hematoma subdural kronis. MRI juga menunjukan
prediktor yang lebih baik untuk delayed traumatic intracerebral hematoma (DTICH)
Perawat Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah
mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimiliki, diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Tyailor C. Lilis
C. Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat
atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses
penuaan. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat sesuai
dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah seperangkat tingkah laku yang
dilakukan oleh38 28 perawat sesuai dengan profesinya. Peran perawat dipengaruhi oleh
keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto, 2004
Peran perawat adalah tingkah laku perawat yang diharapkan oleh orang lain untuk berproses
dalam sistem sebagai pemberi asuhan, pembela pasien, pendidik, koordinator, kolaborator,
konsultan, dan pembaharu (Ali, 2002).
a. Care giver atau Pemberi asuhan keperawatan Perawat memberikan asuhan keperawatan
profesional kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga
evaluasi. Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien,
melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan
pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi (Susanto, 2012).
b. Client advocate atau Advokator Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara
antara pasien dengan tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien dalam memahami
informasi yang didapatkan, membantu pasien dalam mengambil keputusan terkait tindakan
medis yang akan dilakukan serta memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat dalam
c. Client educator atau Pendidik Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam
memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga
pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan
kesehatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai pendidik bertugas untuk memberikan pengajaran
baik dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah, maupun pusat kesehatan masyarakat
(Brunner & Suddarth, 2003). Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan
mengajarkan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta tenaga kesehatan lain sesuai
dengan tanggung jawabnya. Perawat sebagai pendidik berupaya untuk memberikan
pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat
meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009).
d. Change agent atau Agen pengubah Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat
suatu perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung tercapainya kesehatan
yang optimal. Perawat mengubah cara pandang dan pola pikir pasien, keluarga, maupun
masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat dapat tercapai (Susanto,
2012).
e. Peneliti Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk menemukan
masalah, menerapkan konsep dan teori, mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga
penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat untuk peningkatan mutu asuhan dan pelayanan
keperawatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu memanfaatkan
hasil penelitian untuk memajukan profesi keperawatan (Sudarma, 2008).
f. Consultant atau Konsultan Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga
dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan
oleh perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004).
g. Collaborator atau Kolaborasi Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja
sama dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada klien
(Susanto, 2012).
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.
B. Saran
Dalam melakukan Asuhan Keperawatan gawat darurat khususnya trauma kepala,
hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui keadaan klien dan menentukan
rencana asuhan keperawatan dengan kejadian trauma kepala untuk penganggulangan
yang lebih.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC.
Jakarta : EGC
https://www.academia.edu/29968747/makalah_cedera_kepala
www.academia.edu/kejadian_kecelakaan_pada_pasien_dengan_cedera_kepala_berat
Jurnal : Hubungan Cedera Kepala Dengan Disorientasi Pada Pasien Kecelakaan Lalu Lintas
Di IGD Rs Bhayangkara Manado, Trisnawati Habibie, Reginus T. Malara , Februari 2017
42
Brunner & Suddarth, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8