Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

TRAUMA KEPALA

Disusun oleh:
Kelompok 6
1. Novinda Walangitan : 1614201266
2. Oktavia V. Bujung : 1714201179
3. Dito Solon : 1714201169
4. Christiani : 17142011

Dosen : Ns Yanerit Purba, S.Kep., M.Kep

Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA

FAKULTAS KEPERAWATAN

MANADO

2020
KATA PENGANTAR

Segalah puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan
rahmat-NYA sehingga kami bisa menyelesaikan Makalah ini, dengan judul “ Trauma
Kepala “ , akan tetapi kami sadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan dan
banyak kekurangan. Hal ini merupakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, dan
bukan merupakan suatu kesengajaan.

Dengan kerendahaan hati kami mengharapkan adanya masukan, kritik serta saran
yang bersifat membangun guna kesempurnaan Makalah ini.

Dalam kesempatan yang baik ini dan dengan kerendahaan hati serta penuh rasa
hormat yang tinggi penulis menghanturkan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada yang
terhormat:

1. Ns Yanerit Purba, S.Kep., M.Kep

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR………………………………………………………………...............2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..3

BAB I PENDAHULUAAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………..….………….4


B. Rumusan Masalah……………………………………………………..………………6
C. Tujuan………………………………………………………………….…...................6

BAB II

Asuhan Keperawatan Trauma Kepala…………………………………………..….…………7

BAB III TINJAUAN TEORI

A. Definisi Trauma Kepala.............................................................................................16


B. Upaya-Upaya Pencegahan Primer, Sekunder Dan Tersier Pada Trauma Kepala…....19
C. Trend An Issue / Hasil Penelitian Terkait Pada Kasus Trauma Kepala.....................20
D. Evidance Based Practise Dalam Penatalaksanaan Khusus Trauma Dada................. (?)
E. Manajemen Kasus Kegawatdaruratan Trauma Kepala………………...................... (?)
F. Peran Dan Fungsi Perawat Dalam Advokasi Pada Kasus Trauma Kepala………... (?)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………………………………………………..…………………………26
B. Saran……………………………………………………………………..…………..26

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………….………….27
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama

pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas

(Mansjoer, 2007). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap tahunnya dan lebih dari

700.000 mengalami cedera cukup berat yang memerlukan perawatan dirumah sakit, dua

pertiga berusia dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan

jumlah wanita, lebih dari setengah semua pasien cedera kepala mempunyai signifikasi

terhadap cedera bagian tubuh lainya. (Smeltzer and Bare, 2012 ).

Ada beberapa jenis cedera kepala antara lain adalah cedera kepala ringan, cedera

kepala sedang dan cedera kepala berat. Asuhan keperawatan cedera kepala atau askep

cedera kepala baik cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan cedera kepala berat

harus ditangani secara serius. Cedera pada otak dapat mengakibatkan gangguan pada

sistem syaraf pusat sehingga dapat terjadi penurunan kesadaran. Berbagai pemeriksaan

perlu dilakukan untuk mendeteksi adanya trauma dari fungsi otak yang diakibatkan dari

cedera kepala.

Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi korban ke

rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan

penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi, anamnesis dan

pemeriksaan fisik umum serta neurologis harus dilakukan secara serentak. Pendekatan

yang sistematis dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya evaluasi unsur vital. Tingkat
keparahan cedera kepala, menjadi ringan segera ditentukan saat pasien tiba di rumah

sakit. (Sjahrir, 2014).

Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2008, kecelakaan lalu lintas

menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia dengan jumlah kematian 1,21 juta (2,1%)

sedangkan Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008 cedera merupakan penyebab

kematian utama keempat (6,5%) untuk semua umur setelah Stroke, TB, dan Hipertensi.

Disorientasi adalah ketidaksanggupan seseorang untuk mengetahui posisi dirinya dalam

hubungannya dengan waktu tempat, atau benda-benda tertentu di lingkungannya.

Menurut WHO setiap tahun di Amerika Serikat hampir 1.500.000 kasus cedera

kepala. Dari jumlah tersebut 80.000 di antaranya mengalami kecacatan dan 50.000 orang

meninggal dunia. Saat ini di Amerika terdapat sekitar 5.300.000 orang dengan kecacatan

akibat cedera kepala (Moore & 1 Argur, 2016). Penyebab cedera kepala yang terbanyak

adalah kecelakaan bermotor (50%), jatuh (21%), dan cedera olahraga (10%).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2007 Angka kejadian cedera kepala

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan penyebab kematian urutan keempat

(6,5%) setelah stroke, dan merupakan urutan kelima (2,18%) pada 10 penyakit terbanyak

yang dirawat di rumah sakit di Indonesia (Depkes RI, 2016).

Berdasarkan Survey data awal yang didapat oleh peneliti pada 3 bulan terakhir di

IGD RS Bhayangkara terdapat 125 orang yang mengalami cedera kepala akibat

kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini dilaksanakan di IGD RS Bhayangkara Manado dan

Telah dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di IGD RS Bhayangkara Manado.

Populasi dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang di rawat di IGD RS

Bhayangkara Manado.

Cedera kepala merupakan diagnosa terbanyak di P2 Bedah (RSMH, 2017). Cedera

kepala akan memberikan gangguan yang sifatnya lebih kompleks bila dibandingkan
dengan trauma pada organ tubuh lainnya. Hal ini disebabkan karena struktur anatomic

dan fisiologik dari isi ruang tengkorak yang majemuk, dengan konsistensi cair, lunak dan

padatya itu cairan otak, selaput otak, jaringan syaraf, pembuluh darah dan tulang. Pasien

dengan trauma kepala memerlukan penegakkan diagnosase dini mungkin agar tindakan

terapi dapat segera dilakukan untuk menghasilkan prognosa yang tepat, akurat dan

sistematis.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Asuhan Keperawatan Trauma Kepala?
2. Apa Definisi dari Trauma Kepala?
3. Apa saja Upaya-Upaya Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada Trauma
Kepala?
4. Apa saja Trend an Issue / Hasil Penelitian Terkait pada Kasus Trauma Kepala?
5. Bagaimana Evidance Based Practise Dalam Penatalaksanaan Khusus Trauma Kepala?
6. Bagaimana Manajemen Kasus Kegawatdaruratan Trauma Kepala?
7. Apa saja Peran dan Fungsi Perawat Dalam Advokasi Pada Kasus Trauma Kepala?

C. Tujuan
1. Tujuan umum
Agar mahasiswa mampu menerapkan asuhan keperawatan dan mengetahui apa yang
dimaksud dengan Trauma Kepala.

2. Tujuan Khusus
1) Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Trauma Kepala
2) Untuk Mengetahui Definisi dari Trauma Kepala
3) Untuk Mengetahui Upaya-Upaya Pencegahan Primer, Sekunder dan Tersier pada
Trauma Kepala
4) Untuk Mengetahui Trend an Issue / Hasil Penelitian Terkait pada Kasus Trauma
Kepala
5) Untuk Mengetahui Evidance Based Practise Dalam Penatalaksanaan Khusus
Trauma Kepala
6) Untuk Mengetahui Manajemen Kasus Kegawatdaruratan Trauma Kepala
7) Untuk Mengetahui dan Fungsi Perawat Dalam Advokasi Pada Kasus Trauma
Kepala

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA

1. Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway dan Cervical Control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat
dilakukan “chin lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
2) Breathing dan Ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang
terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi : fungsi yang baik dari
paru, dinding dada dan diafragma.
3) Circulation dan Hemorrhage Control
a) Volume darah dan Curah jantung Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan
hipotensi harus dianggap disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang
dalam hitungan 16 detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.

b. Pengkajian Sekunder

1. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan, tinggi badan,

pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota keluarga, agama.

2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status

kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.

3. Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia, ataksia, cara

berjalan tidak tegang.

4. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.

5. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan impulsive.

6. Makanan/Cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda  : muntah, gangguan menelan.

7. Eliminasi

Gejala   : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan

fungsi.

8. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope, kehilangan

pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan penglihatan

seperti ketajaman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,

konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.

9. Nyeri/Kenyamanan

Gejala : Sakit kepala.

Tanda  : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,

gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

10. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi nafas

berbunyi)

11. Keamanan

Gejala  : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak, tonus

otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam

regulasi suhu tubuh.

12. Interaksi Sosial

Tanda  : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,

disartria.

2. MASALAH KEPERAWATAN

1) Resiko Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

2) Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

3) Ketidakefektifan pola nafas


4) Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer

5) Kerusakan integritas jaringan kulit

3. PRIORITAS MASALAH

1) Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral

2) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas

3) Ketidakefektifan pola nafas

4) Ketidak efketifan perfusi jaringan perifer

5) Kerusakan integritas jaringan kulit

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral b/d Faktor resiko :

1) Perubahan status mental

2) Perubahan perilaku

3) Perubahan respon motorik

4) Perubahan reaksi pupil

5) Kesulitan menelan

6) Kelemahan atau paralisis ekstremitas

7) Paralisis Ketidaknormalan dalam berbicara

2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas Faktor berhubungan :

a) Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif 19

b) Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas

c) Fisiologis; kelainan dan penyakit

Batasan karakteristik :
Subjektif

1) Dispnea

Objektif

1) Suara napas tambahan

2) Perubahan pada irama dan frekuensi pernapasan

3) Batuk tidak ada atau tidak efektif

4) Sianosis

5) Kesulitan untuk berbicara

6) Penurunan suara napas

7) Ortopnea

8) Gelisah

9) Sputum berlebihan

10) Mata terbelalak

3. Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b/d Faktor berhubungan :

1) Diabtes militus

2) Gaya hidup kurnag gerak

3) Hipertensi

4) Kurang pengetahuan tentang faktor pemberat

5) Kurang pengetahuan tentang proses penyakit

6) Merokok

Batasan karakteristik :

Subjektif
1) Perubahan sensasi 20

Objektif

1) Perubahan karakteristik kulit

2) Perubahan tekanan darah pada ekstremitas

3) Klaudikasi

4) Kelambatan penyembuhan

5) Nadi arteri lemah

6) Edema

7) Kulit pucat saat elevasi, dan tidak kembali saat diturunkan

8) Diskolorasi kulit

9) Perubahan suhu kulit

10) Nadi lemah atau tidak teraba

4. Kerusakan integritas jaringan kulit b/d Faktor berhubungan :

1. Cedera jaringan

2. Jaringan rusak

Batasan karakteristik

1. Kerusakan pada lapisan kulit

2. Kerusakan pada permukaan kulit

3. Invasi struktur tubuh

5. Ketidakefektifan pola nafas Faktor berhubungan :

a) Ansietas

b) Cidera medula spinalis


c) Disfungsi neuromuskular

d) Gangguan neuromuskular

e) Gangguan neurologis

f) Hiperventilasi

g) Keletihan

h) Keletihan otot pernapasan

i) Nyeri

j) Obesitas

k) Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru

l) Sindrom hipoventilasi

INTERVNSI KEPERAWATAN

1. Diagnosa : Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak


Faktor berhubungan :
1) Perubahan status mental
2) Perubahan perilaku
3) Perubahan respon motorik
4) Perubahan reaksi pupil
5) Kesulitan menelan
6) Kelemahan atau paralisis ekstremitas
7) Paralisis Ketidaknormalan dalam berbicara

Tujuan dan Kriteria Hasil

NOC : Perfusi Jaringan Cerebral

Setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :
 TD sistolik dan diastolik
 Bruit pembuluh darah besar
 Hipotensi ortostatik
 Berkomunikasi dengan jelas dan sesuai dengan usia serta kemampuan
 Menunjukkan perhatian, konsentrasi dan orientasi kognitif
 Menunjukkan memori jangkan panjang dan saat ini
 Mengolah informasi
 Membuat keputusan yang tepat

Indikator :

1. Gangguan eksterm
2. berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan

Intervensi Dx 1
NIC: Monitor Tekanan Intra Kranial
1. Berikan informasi kepada keluarga/ orang penting lainnya

2. Monitor status neurologis

3. Periksa pasien terkait ada tidaknya kaku kuduk

4. Berikan antibiotik

5. Sesuaikan kepala tempat tidur untuk mengoptimalkan perfusi serebral.

6. Beritahu dokter untuk peningkatan TIK yang tidak bereaksi sesuai peraturan

perawatan.

2. Diagnosa : Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas Nafas


Faktor berhubungan:
1. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif
2. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas
3. Fisiologis; kelainan dan penyakit.

Tujuan dan Kriteria Hasil

NOC : Status pernafasan : Ventilasi

Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :

 Kemudahan bernapas
 Frekuensi dan irama pernapasan
 Pergerakan sputum keluar dari jalan napas
 Pergerakan sumbatan keluar dari jalan napas

Indikator :

1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan

Intervensi Dx 2

NIC : Manajemen Jalan Napas

1. Posisiskan klien untuk memaksimalkan ventilasi

2. Lakukan penyedotan melalui endotrakea dan nasotrakea

3. Kelola nebulizer ultrasonik

4. Posisikan untuk meringankan sesak napas

5. Monitor status pernapasan dan oksigenasi

3. Diagnosa : Ketidakefektifan Pola Nafas

Faktor berhubungan :
1. Lingkungan; merokok, menghisap asap rokok, perokok pasif

2. Obstruksi jalan napas; terdapat benda asing dijalan napas, spasme jalan napas

3. Fisiologis; kelainan dan penyakit

Tujuan dan Kriteria Hasil

NOC: Status Pernapasan: Ventilasi

Setelah dilakukan tindakan selama 1x 24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :

 Kemudahan bernapas

 Frekuensi dan irama pernapasan

 Pergerakan sputum keluar dari jalan napas

 Pergerakan sumbatan keluar dari jalan napas

Indikator :

1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan

Intervensi Dx 3

NIC: Manajemen Jalan Napas

1. Posisiskan klien untuk memaksimalkan ventilasi

2. Lakukan penyedotan melalui endotrakea dan nasotrakea

3. Kelola nebulizer ultrasonik

4. Posisikan untuk meringankan sesak napas

5. Monitor status pernapasan dan oksigenasi


4. Diagnosa : Kerusakan Integritas Jaringan Kulit

Faktor berhubungan:

1. Cedera jaringan

2. Jaringan rusak

Tujuan dan Kriteria Hasil

NOC: Intergritas Jaringan: Kulit Dan Membran Mukosa

Setelah dilakukan tindakan selama 1x24 jam masalah teratasi dengan kriteria hasil :

 Suhu, elastisitas, hidrasi dan sensasi

 Perfusi jaringan 3

 Keutuhan kulit

 Eritema kulit sekitar

 Luka berbau busuk

 Granulasi

 Pembentukan jaringan parut

 Penyusutan luka

Indikator :

1. Gangguan eksterm
2. Berat
3. Sedang
4. Ringan
5. Tidak ada gangguan
Intervensi Dx 4

NIC: Perawatan Luka Tekan

1. Monitor warna, suhu, udem, kelembaban dan kondisi area sekitar luka

2. Lakukan pembalutan dengan tepat

3. Berikan obat-obat oral

4. Monitor adanya gejala infeksi di area luka

5. Ubah posisi setiap 1-2 jam sekali untuk mencegah penekanan

6. Gunakan tempat tidur khusus anti dekubitus

7. Monitor status nutrisi

8. Pastikan bahwa pasien mendapat diet tinggi kalori tinggi protein

BAB III
TINJAUAN TEORI

A. DEFINISI TRAUMA KEPALA


Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2011)
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2011).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Defisit neurologis terjadi karena robekannya subtansia
alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar
jaringan otak (Batticaca, 2008).
Berdasarkan defenisi cedera kepala diatas maka dapat menarik suatu kesimpulan
bahwa cedera kepala adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda tajam
maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan
otak yang disertai atau tanpa pendarahan

Etiologi
Penyebab dari cedera kepala adalah adanya trauma pada kepala meliputi trauma
oleh benda/ serpihan tulang yang menembus jaringan otak, efek dari kekuatan/energi
yang diteruskan ke otak dan efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada
otak, selain itu dapat disebabkan oleh Kecelakaan, Jatuh, Trauma akibat persalinan.

Patofisiologi
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya
kerusakan pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan
gangguan biokimia otak seperti  penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas
vaskuler. Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera kepala
primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer merupakan suatu proses
biomekanik yang terjadi secara langsung saat kepala terbentur dan dapat memberi
dampak kerusakan jaringan otak. Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera
kepala primer, misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.
Patofisiologi cedera kepala dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Cedera Primer
Kerusakan akibat langsung trauma, antara lain fraktur tulang tengkorak, robek
pembuluh darah (hematom), kerusakan jaringan otak (termasuk robeknya duramater,
laserasi, kontusio).
2. Cedera Sekunder Kerusakan lanjutan oleh karena cedera primer yang ada berlanjut
melampaui batas kompensasi ruang tengkorak

Manifestasi Klinis
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung
(rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal
11. Peningkatan TD, penurunan frekuensi nadi, peningkatan pernafasan.

Komplikasi
1. Perdarahan intra cranial

2. Kejang

3. Parese saraf cranial

4. Meningitis atau abses otak

5. Infeksi pada luka atau sepsis

6. Edema cerebri

7. Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK

8. Kebocoran cairan serobospinal

9. Nyeri kepala setelah penderita sadar 12 oedema paru cardiac output Penumpukan

cairan/secret Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer Ketidakefektif pola napas

Difusi O2 terhambat Ketidakefektif bersihan jalan napas.


Klasifikasi

Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut :

1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15, dapat terjadi kehilangan

kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut kurang dari 2 jam, jika ada

penyerta seperti fraktur tengkorak, kontusio atau temotom (sekitar 55% ).

2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang kesadaran atau

amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak, disorientasi

ringan ( bingung ).

3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, juga

meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau edema.

Selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai berikut :

1. Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak tulang

tengkorak.

2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan disertai edema

cerebra.

B. UPAYA-UPAYA PENCEGAHAN PRIMER, SEKUNDER DAN TERSIER PADA


TRAUMA KEPALA

1. Upaya Pencegahan Primer pada Trauma Kepala


Upaya yang dilakukan perawat untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan
kepada masyarakat luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga social
lainnya. Program penyuluhan di arahkan pada penggunaan helm saat mengemudi
kendaraan bermotor, anak-anak yang masih balita selalu di awasi oleh orang tua,
jangan mengemudikan kendaraan dengan kecepatan yang tinggi, pada pemanjat
tebing saat memanjat harus menggunakan pengaman pada kepala dan badan, pada
pekerja bangunan agar menggunakan helm saat menaiki bangunan yang tinggi.

2. Upaya Pencegahan Sekunder pada Trauma Kepala


a. Penanganan segera secara cepat pada penderita multi truma pada cedera otak :
 Pertahankan kepala harus berada dalam posisi garis tengah
 Untuk jaringan yang terkoyak dari wajah, semua jaringan dan organ yang
lepas di kembalikan di tempat semula
 Berikan sedatif untuk agitasi, ventilasi mekanis
 Berikan obat untuk menghentikan kejang : Benzodiazepin
 Tindakan untuk menurunkan TIK
b. Pencegahan komplikasi akut dan kronis :
 Cegah perdarahan yang hebat

3. Upaya Pencegahan Tersier pada Trauma kepala


Pada Cedera Kepala Ringan :
 Klien harus di dampingi oleh seseorang selama waktu 24 jam sesudah cedera
 Jangan meminum minuman beralkohol selama 24 jam. Beristirahat selama 24 jam
berikutnya
 Jangan mengemudikan kendaraan, mengoperasikan mesin, atau mengambil
keputusan yang penting.

C. TREND AN ISSUE / HASIL PENELITIAN TERKAIT PADA KASUS TRAUMA


KEPALA
Sumber : Hubungan Cedera Kepala Dengan Disorientasi Pada Pasien Kecelakaan Lalu
Lintas Di IGD Rs Bhayangkara Manado

e-journal Keperawatan ( e-Kp ) Volume 5, nomor 1, Februari 2017

Peneliti : Trisnawati Habibie, Hendro Bidjuni, Reginus T. Malara

Abstract : According To the World Healt Organization (WHO) in 2008, traffic accidents
became the 10th leading cause of death in the world with the number of deats
is 1,21 million (2,1%), while according to the health profile of Indonesia in
2008 injury is the fourth major couse of death is (6,5%) for all ages after a
stroke, tuberculosis, and hypertension. Disorientation is the inability of a
person to know the position himself in relation to the time, place or specific
objects in the enviroment. The purpose of the research to know the
relationship of head injury with patient disorientation in ER Bhayangkara
Hsopital. Research Methods used in tihis research is a Cross Sectional
design, With a total of 38 samples of respondent.Techniques sampling is
Accidental Sampling. Data analysis was done using the chi-square test. Views
of the significance of 0.001 thus probability (significance) is smaller than 0.05.
Conclusion There is a connection between head Injuries on the patient
disorientation with traffic accidents. Expected results of this research can be
used as reference material in the library and can add to the wealth of
knowledge Especially in the field of health.

Keyword : Head Injury, Disorientation

Abstrak : Menurut World Health Organization (WHO) Tahun 2008, kecelakaan lalu
lintas menjadi penyebab kematian ke-10 di dunia dengan jumlah kematian
1,21 juta (2,1%) sedangkan Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2008
cedera merupakan penyebab kematian utama keempat (6,5%) untuk semua
umur setelah Stroke, TB, dan Hipertensi. Disorientasi adalah
ketidaksanggupan seseorang untuk mengetahui posisi dirinya dalam
hubungannya dengan waktu tempat, atau bendabenda tertentu di
lingkungannya. Tujuan penelitian Untuk mengetahui hubungan cedera
kepala dengan disorientasi pada pasien cedera kepala di IGD RS Bhayangkara.
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah disain cross
sectional dengan jumlah Sampel 38 responden. Teknik pengambilan sampel
yaitu Accidental Sampling Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji
chi-square. Dilihat dari nilai signifikan atau nilai p = 0,001 dengan demikian
probabilitas lebih kecil dari 0,05. Kesimpulan ada hubungan antara cedera
kepala dengan disorientasi pada pasien kecelakaan lalu lintas.. Diharapkan
hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi dalam kepustakaan dan
dapat menambah kekayaan ilmu pengetahuan khusunya dibidang kesehatan.

Kata Kunci : Cedera Kepala, Disorientasi

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebagian besar Cedera kepala

pada pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS Bhayangkara adalah cedera kepala ringan,

Sebagian besar disorientasi pada pasien kecelakaan lalu lintas di IGD RS Bhayangkara

adalah ringan dan berdasarkan Survey data awal yang didapat oleh peneliti pada 3 bulan

terakhir di IGD RS Bhayangkara terdapat 125 orang yang mengalami cedera kepala

akibat kecelakaan lalu lintas. Penelitian ini dilaksanakan di IGD RS Bhayangkara

Manado dan Telah dilaksanakan pada bulan Desember 2016 di IGD RS Bhayangkara

Manado. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien cedera kepala yang di rawat di IGD

RS Bhayangkara Manado.

D. EVIDANCE BASED PRACTISE DALAM PENATALAKSANAAN KHUSUS


TRAUMA DADA
E. MANAJEMEN KASUS KEGAWATDARURATAN TRAUMA KEPALA
Manajemen Gawadarurat

Cedera kepala merupakan proses yang dinamis dam memiliki variabel-variabel yang saling
berkaitan, tergantung pada cedera awal dan kerusakan otak sekunder. Target dari penanganan
trauma kepala adalah mencegah kerusakan sekunder karena komplikasi intrakranial dan
ektrakranial; dan menyediakan kondisi fisiologi yang optimal bagi otak untuk
memaksimalkan proses penyembuhan.
Penyebab kematian dari ekstrakranial yang paling umum adalah hipoksia dan syok,
sedangkan dari intrakranial tersering adalah salah diagnosa atau penundaan diagnosa
perdarahan intrakranial.
Manajemen emergency room diarahkan untuk memberikan oksigenasi dan perfusi otak
yang optimal dan diagnosa intrakranial yang tepat.

Manajemen Respirasi

Kebutuhan oksigen otak yang cedera lebih tinggi dari otak normal, oleh karena itu
oksigenasi otak yang adekuat harus menjadi prioritas. BGA yang diambil saat trauma dan
saat masuk rumah sakit menunjukkan bahwa hiperkapnea berkorelasi dengan derajat
keparahan cedera kepala. GCS dibawah 9 dihubungkan dengan kadar PaCO2 diatas 50
mmHg. Intubasi endotrakeal harus dipertimbangkan apabila baik patensi jalan nafas dan
ventilasi spontan yang adekuat tidak dapat dipertahankan.

Angka mortalitas meningkat dari 22-25 % pada pasien yang diintubasi 1 jam setelah
trauma menjadi 34,8 % pada pasien yang intubasinya ditunda lebih dari 1 jam. Bantuan
ventilasi diindikasikan bila saturasi O2 dibawah 93%, PaO2 kurang dari 70mmHg, dan PaCO2
lebih dari 45mmHg.

Intubasi pasien cedera kepala sebaiknya dengan kontrol ventilasi, tiopenthal dan atau
lidokain, relaksan short acting intravena, dengan penekanan krikoid. Nasal intubasi tidak
dianjurkan karena resiko perdarahan dan kemungkinan FBC. Intubasi pasien dugaan fraktur
cervical harus ditraksi dan seatraumatis mungkin; tidak dianjurkan dengan scholin

Pemasangan pipa lambung dapat merangsang reflek muntah sehingga sebaiknya


dilakukan setelah intubasi.

Respirasi dapat memburuk karena disfungsi SSP. Hipoksia sekunder karena cedera
otak biasanya merespon terhadap pemberian PEEP atau CPAP. Bila penyebab memburuknya
respirasi karena overload cairan, dapat dikoreksi dengan loop diuretik seperti furosemide;
sebaiknya tidak dengan diuretik osmosis seperti mannitol.

Stabilisasi Cardiovaskuler

Target yang dituju adalah perfusi otak. Pada anak, perdarahan intrakranial dapat
menyebabkan hipovolemia. Pada dewasa, hipovolemia disebabkan cedera organ lain atau
kerusakan batang otak. Pasca trauma, autoregulasi otak menjadi rusak, sehingga penting
untuk mempertahankan CPP.

Respon Cushing mempertahankan CPP dan meningkatkan MAP. Penurunan kondisi


klinis terjadi ketika CPP turun hingga dibawah 40-50 mmHg. Cedera spinal cord dapat
menyebabkan syok sekunder karena hilangnya inervasi otot polos vaskuler. Semua
perdarahan eksternal, termasuk laserasi scalp, harus dikontrol dan diinfus cepat dengan darah
ataupun kristaloid.

Penilaian Neurologis

Evaluasi awal seharusnya meliputi informasi waktu, lokasi, dan mekanisme cedera.
Penilaian meliputi tingkat kesadaran, pemeriksaan mata, dan penilaian fungsi batang otak.
Durasi dan kedalaman tingkat ketidaksadaran berkorelasi dengan kedalaman lesi trauma otak.

Istilah ‘stupor’,’semicomatous’, memiliki arti yang berbeda bagi pemeriksa yang


berbeda, sehingga menjadi kurang tepat; oleh karenanya, digunakan penilaian kuantitatif
dengan GCS. Bagaimanapun, GCS masih terlalu kasar untuk mengukur kesadaran dan bukan
untuk penilaian neurologis secara detil. Penilaian GCS harus hati-hati pada disfungsi otak
dengan penyebab selain trauma, seperti pengaruh alkohol dan obat-obatan

Pemeriksaan neurologi lengkap hanya bisa dilakukan pada pasien yang sadar dan kooperatif

Studi Diagnostik

Fraktur liner tertentu, termasuk fraktur yang melewati arteri meningea media, major
venous sinuses, dan fraktur yang meluas di basis cranii, membawa resiko yang lebih besar
terjadinya hematom intrakranial dan kebocoran cairan serebrospinalis. Tidak seperti
angiografi atau ventriculografi, CT scanning mampu membedakan antara oedema otak,
kontusio dan hematom.
Antara 30-40 % pasien dengan cedera kepala berat awalnya gambaran CT scannya
normal. Beberapa pasien yang mengalami perburukan neurologi atau yang gagal mencapai
perbaikan yang diinginkan seharusnya dilakukan pengulangan CT scan. Semua pasien
dengan GCS kurang dari 12 seharusnya diperiksa dengan CT scan, perkecualian untuk pasien
yang terlihat gejala klasik dan tanda-tanda perluasan cepat perdarahan epidural. Pada evaluasi
cedera otak, MRI tampaknya lebih akurat dalam menggambarkan edema otak dini, kontusio
fokal, dan membedakan higroma dari hematoma subdural kronis. MRI juga menunjukan
prediktor yang lebih baik untuk delayed traumatic intracerebral hematoma (DTICH)

F. PERAN DAN FUNGSI PERAWAT DALAM ADVOKASI PADA KASUS


TRAUMA KEPALA
https://docplayer.info/39816062-Peran-perawat-terhadap-ketepatan-waktutanggap-
penanganan-kasus-cedera-kepala-di-instalasi-gawat-darurat-rsud-dr-moewardi-
surakarta.html

 Perawat Perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, perawat adalah
mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimiliki, diperoleh melalui pendidikan keperawatan. Tyailor C. Lilis
C. Lemone (1989) mendefinisikan perawat adalah seseorang yang berperan dalam merawat
atau memelihara, membantu dengan melindungi seseorang karena sakit, luka dan proses
penuaan. Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan dari masyarakat sesuai
dengan kedudukannya di masyarakat. Peran perawat adalah seperangkat tingkah laku yang
dilakukan oleh38 28 perawat sesuai dengan profesinya. Peran perawat dipengaruhi oleh
keadaan sosial dan bersifat tetap (Kusnanto, 2004

Peran perawat adalah tingkah laku perawat yang diharapkan oleh orang lain untuk berproses
dalam sistem sebagai pemberi asuhan, pembela pasien, pendidik, koordinator, kolaborator,
konsultan, dan pembaharu (Ali, 2002).

1. Peran Perawat Peran perawat dalam melakukan perawatan diantaranya:

a. Care giver atau Pemberi asuhan keperawatan Perawat memberikan asuhan keperawatan
profesional kepada pasien meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi hingga
evaluasi. Selain itu, perawat melakukan observasi yang kontinu terhadap kondisi pasien,
melakukan pendidikan kesehatan, memberikan informasi yang terkait dengan kebutuhan
pasien sehingga masalah pasien dapat teratasi (Susanto, 2012).

b. Client advocate atau Advokator Perawat sebagai advokator berfungsi sebagai perantara
antara pasien dengan tenaga kesehatan lain. Perawat membantu pasien dalam memahami
informasi yang didapatkan, membantu pasien dalam mengambil keputusan terkait tindakan
medis yang akan dilakukan serta memfasilitasi pasien dan keluarga serta masyarakat dalam

upaya peningkatan kesehatan yang optimal (Kusnanto, 2004).

c. Client educator atau Pendidik Perawat sebagai pendidik menjalankan perannya dalam
memberikan pengetahuan, informasi, dan pelatihan ketrampilan kepada pasien, keluarga
pasien maupun anggota masyarakat dalam upaya pencegahan penyakit dan peningkatan
kesehatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai pendidik bertugas untuk memberikan pengajaran
baik dalam lingkungan klinik, komunitas, sekolah, maupun pusat kesehatan masyarakat
(Brunner & Suddarth, 2003). Perawat sebagai pendidik berperan untuk mendidik dan
mengajarkan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat, serta tenaga kesehatan lain sesuai
dengan tanggung jawabnya. Perawat sebagai pendidik berupaya untuk memberikan
pendidikan atau penyuluhan kesehatan kepada klien dengan evaluasi yang dapat
meningkatkan pembelajaran (Wong, 2009).

d. Change agent atau Agen pengubah Perawat sebagai agen pengubah berfungsi membuat
suatu perubahan atau inovasi terhadap hal-hal yang dapat mendukung tercapainya kesehatan
yang optimal. Perawat mengubah cara pandang dan pola pikir pasien, keluarga, maupun
masyarakat untuk mengatasi masalah sehingga hidup yang sehat dapat tercapai (Susanto,
2012).

e. Peneliti Perawat sebagai peneliti yaitu perawat melaksanakan tugas untuk menemukan
masalah, menerapkan konsep dan teori, mengembangkan penelitian yang telah ada sehingga
penelitian yang dilakukan dapat bermanfaat untuk peningkatan mutu asuhan dan pelayanan
keperawatan (Susanto, 2012). Perawat sebagai peneliti diharapkan mampu memanfaatkan
hasil penelitian untuk memajukan profesi keperawatan (Sudarma, 2008).

f. Consultant atau Konsultan Perawat sebagai tempat untuk konsultasi bagi pasien, keluarga
dan masyarakat dalam mengatasi masalah kesehatan yang dialami klien. Peran ini dilakukan
oleh perawat sesuai dengan permintaan klien (Kusnanto, 2004).

g. Collaborator atau Kolaborasi Peran perawat sebagai kolaborator yaitu perawat bekerja
sama dengan anggota tim kesehatan lainnya dalam memberikan pelayanan kepada klien
(Susanto, 2012).
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Cedera kepala atau trauma kapitis adalah suatu gangguan trauma dari otak
disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas dari otak.
Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak
langsung pada kepala.

B. Saran
Dalam melakukan Asuhan Keperawatan gawat darurat khususnya trauma kepala,
hal pertama yang harus kita lakukan adalah mengetahui keadaan klien dan menentukan
rencana asuhan keperawatan dengan kejadian trauma kepala untuk penganggulangan
yang lebih.
DAFTAR PUSTAKA

Google Books : Pertolongan Pertama Gawat Darurat, Tony Suharsono, 2019

Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC.

Jakarta : EGC

https://www.academia.edu/29968747/makalah_cedera_kepala

www.academia.edu/kejadian_kecelakaan_pada_pasien_dengan_cedera_kepala_berat

Jurnal : Hubungan Cedera Kepala Dengan Disorientasi Pada Pasien Kecelakaan Lalu Lintas
Di IGD Rs Bhayangkara Manado, Trisnawati Habibie, Reginus T. Malara , Februari 2017

e-journal Keperawatan ( e-Kp ) Volume 5, nomor 1, Februari 2017


https://docplayer.info/39816062-Peran-perawat-terhadap-ketepatan-waktutanggap-
penanganan-kasus-cedera-kepala-di-instalasi-gawat-darurat-rsud-dr-moewardi-surakarta.html

Batticaca, F. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem

Persyarafan Jakarta : Salemba Medika

42

Brunner & Suddarth, 2008. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8

vol 3. Jakarta : EGC

Doenges, Marilyn E 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : pedoman untuk

perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien alih bahasa : 1

Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Edisi : 3. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai