Anda di halaman 1dari 32

TUGAS MAKALAH

KEGAWATDARURATAN I (CEDERA KEPALA)

Oleh Kelompok III :

1. Aqila Fidia Haya


2. Bq. Arifa
3. Beryl Aji Khafidyan
4. Nirmalawati
5. Siti Hadijah
6. Siti Rahayu Widiasari Putri
7. Sri Intan Dewi Lestari

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MATARAM

PROGRAM STUDI ALIH JENJANG SARJANA TERAPAN

KEPERAWATAN MATARAM

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil
menyelesaikan makalah ini yang Alhamdulillah selesai tepat pada waktunya.
Makalah ini berjudul “Makalah Kegawatdaruratan I (Cedera Kepala)”. Makalah
ini berisikan informasi mengenai penjelasan cedera kepala dan pertolongan
yang diberikan pada klien dengan situasi kegawatdaruratan. Makalah ini
diharapkan dapat memberikan informasi pada kita semua dan mamapu
memberikan pengetahuan yang bermanfaat kepada kita semua. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,oleh karena itu kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal
sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.
Aamiin .

Mataram ,19 September 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.........................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB 1 PENDAHULUAN...................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Tujuan Makalah..................................................................................................5
C. Rumusan Masalah..............................................................................................5
D. Manfaat..............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................6
A. Definisi...............................................................................................................6
B. Epidemiologi......................................................................................................6
C. Klasifikasi............................................................................................................7
D. Patofisiologi........................................................................................................9
E. Patologi cedera kepala.....................................................................................10
F. Pemeriksaan Klinis...........................................................................................13
G. Penatalaksanaan..............................................................................................15
H. Komplikasi........................................................................................................17
I. Konsep Asuhan Keperawatan...........................................................................18
2. Diagnosa Keperawatan........................................................................................22
Diagnosa keperawatan primer.....................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................30
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara global insiden cedera kepala meningkat tajam karena adanya


peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Menurut WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2010 kecelakaan lalu lintas akan
menjadi penyebab penyakit trauma ketiga terbanyak di dunia. Data
insiden cedera kepala di Eropa pada tahun 2010 adalah 500 per 100.000
populasi. Insiden cedera kepala di Inggris pada tahun 2005 adalah 400
per 100.000 pasien per tahun (Irawan,2010).
Trauma kepala merupakan suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala baik mengenai tulang tengkorak atau otak akibat terbenturnya
atau terjadinya injury baik secara langsung maupun tidak langsung.
Seorang perawat  sangat berperan di dalam penanganan gawat
darurat dalam kasus trauma kepala, bagaimana cara kita melakukan
pengkajian keperawatan tentang trauma kepala sampai dengan
melakukan evaluasi dari kasus yang telah tersedia.

Trauma kepala dapat diklasifikasikan dengan beberapa jenis


diantaranya:

1. Trauma kepala minor, apabila trauma kapala dapat mengakibatkan


kehilangan kesadaran atau amnesia kurang dari 30 menit
2. Trauma kepala sedang, apabila trauma kepala yang dapat
mengakibatkan kehilangan kesadaran dan bisa mengakibatkan
amnesia lebih dari 30 menit namun kurang dari 24 jam
3. Trauma kepala berat, apabila trauma kepala yang dapat
mengakibatkan kehilangan kesadaran dan menyebabkan amnesia
lebih dari 24 jam
Sedangkan jenisnya dapat di bagi menjadi 2 yaitu trauma kepala sobek pada
kulit kepala dan fraktur pada tulang tengkorak.

B. Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui definisi dari trauma kepala


2. Untuk mengetahui bagaimana pengkajian terhadap kasus trauma
kepala
3. Memahami perumusan diagnosa keperawatan trauma kepala
4. Memahami tindakan planning dan intervensi sampai dengan
melakukan evaluasi.

C. Rumusan Masalah

1. Apa definisi trauma kapala?


2. Bagaimana pengklasifikasian dari trauma kepala?
3. Ada berapa jenis trauma kepala?
4. Bagaimana contoh kasusnya?
5. Bagaimana proses penataklasanaan kasus tersebut?

D. Manfaat

Dari penyusunan makalah ini, diharapkan dapat memebrikan manfaat


bagai mahasiswa keperawatan dalam menganalisa kasus dan menyusun
proses keperawatannya mualai dari pengkajian hingga melakukan
evaluasi dari kasus tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi

Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak


yang disertai atau tanpa perdarahan interstitial dalam substansi otak
tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.(Hudak dan Gallo,
2013)Trauma serebral adalah suatu bentuk trauma yang dapat mengubah
kemampuan otak dalam menghasilkan keseimbangan aktivitas fisik,
intelektual, emosional, sosial dan pekerjaan.
Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi
baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat
berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif,
psikososial, bersifat temporer atau permanent. Menurut Brain Injury
Assosiation of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada
kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau
mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif dan fungsi fisik.

B. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya


diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah tersebut, 10%
meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Yang sampai di rumah sakit,
80% dikelompokkan sebagai cedera kepala ringan (CKR), 10%
termasuk cedera kepala sedang (CKS), dan 10% sisanya adalah cedera
kepala berat (CKB). Insiden cedera kepala terutama terjadi pada
kelompok usia produktif antara 15-44 tahun. Kecelakaan lalu lintas
merupakan penyebab 48%-53% dari insiden cedera kepala, 20%-28%
lainnya karena jatuh dan 3%-9% lainnya disebabkan tindak kekerasan,
kegiatan olahraga dan rekreasi.
Data epidemiologi di Indonesia belum ada, tetapi data dari salah
satu rumah sakit di Jakarta, RS Cipto Mangunkusumo, untuk penderita
rawat inap, terdapat 60%-70% dengan CKR, 15%-20% CKS, dan
sekitar 10% dengan CKB. Angka kematian tertinggi sekitar 35%-50%
akibat CKB, 5%-10% CKS, sedangkan untuk CKR tidak ada yang
meninggal.

C. Klasifikasi

Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk


kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu
berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar
morfologi.
Klasifikasi cedera kepala:
1. Berdasarkan mekanisme
2. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, atau pukulan benda tumpul.
3. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau
pukulan benda tumpul.
4. Berdasarkan beratnya
5. Ringan (GCS 14-15)
6. Sedang (GCS 9-13)
7. Berat (GCS 3-8)
8. Berdasarkan morfologi
9. Fraktura tengkorak
10. Kalvaria
11. Linear atau stelata
12. Depressed atau nondepressed
13. Terbuka atau tertutup
14. Dasar tengkorak
15. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
16. Dengan atau tanpa paresis N VII
17. Lesi intracranial
18. Fokal
19. Epidural
20. Subdural
21. Intraserebral
22. Difusa
23. Komosio ringan
24. Jukomosio klasik
25. Cedera aksonal difusa

Klasifikasi yang mendekati keadaan klinis adalah berdasarkan


nilai GCS yang dikeluarkan oleh The Traumatic Coma Data Bank
(Hudak dan Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh Maryuani, et al. 2009)

Tabel 1.1 Kategori penentuan keparahan cedera kepala berdasarkan nilai skala
Koma Glasgow
Penentuan Deskripsi Frekuensi
keparahan
Minor/ringan GCS:13-15 55 %
Dapat terjadi kehilangan
kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit Tidak ada
fraktur tengkorak,tidak ada
kontusio serebral,tidak ada
hematom
Sedang GCS:9-12 24 %
Kehilangan kesadaran dan/atau amnesia
lebih dari 30 menit tetapi kurang dari
24 jam Dapat mengalami fraktur
tengkorak
Berat GCS:3-8 21 %
Kehilangan kesadaran dan /atau
amnesia lebih dari 24 jam,juga
meliputi kontusio
serebral,laserasi,atau hematom
intrakranial
(Sumber: Hudak dan Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh Maryuani, et al.
2009)
D. Patofisiologi

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terja di dalam dua tahap
yaitu     cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan
cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat
disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun
oleh proses akselarasi-deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme
cedera kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera
primer yang diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak
dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan
dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup.
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid)
menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan
intrakranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan
dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai
proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak
primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron
berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
E. Patologi cedera kepala

1. Fraktura Tengkorak
Fraktur tengkorak dapat terjadi pada kalvaria atau basis. Pada
fraktur kalvaria ditentukan apakah terbuka atau tertutup, linear atau
stelata, depressed atau nondepressed. Fraktur tengkorak basal sulit
tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan
setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Sebagai
pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak
(> 1 tabula) memerlukan operasi elevasi. Frakturatengkorak terbuka
atau compoundberakibat hubungan langsung antara laserasi scalp
dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini
memerlukan operasi perbaikan segera.Frekuensi fraktura tengkorak
bervariasi, lebih banyak fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan
pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura
kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar
400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak
sadar. Fraktura kalvaria linear mempertinggi risiko hematoma
intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali
pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura
tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat dirumah sakit untuk
pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien
tersebut.
2. Lesi Intrakranial
Lesi intrakranial dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau
difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi
fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi
(atau hematoma in traserebral). Pasien pada kelompok cedera otak
difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun
menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis
selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahun-tahun
terakhir ini.
3. Lesi Fokal
a. Hematoma Epidural
Epidural hematom (EDH) adalah perdarahan yang
terbentuk di ruang potensial antara tabula interna dan duramater.
Paling sering terletak diregio temporal atau temporal-parietal
dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media.
Perdarahan biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin
sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-
kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus
vena, terutama diregio parietal-oksipital atau fossa posterior.
Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari
keseluruhan atau 9% daripasien koma cedera kepala), harus
selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera.
Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak
disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcomelangsung
bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari
hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada
pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.
b. Hematoma Subdural
Hematoma subdural (SDH) adalah perdarahan yang terjadi
di antara duramater dan arakhnoid. SDH lebih sering terjadi
dibandingkan EDH, ditemukan sekitar 30% penderita dengan
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena
bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia
juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi
otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu,
kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta
biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari
hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin
diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan
pengelolaan medis agresif.
c. Kontusi dan hematoma intraserebral
Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Selanjutnya,
kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural.
Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal,
walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan
batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma
intraserebral traumatika tidak jelas batasannya. Bagaimanapun,
terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi
dalam jaringan (parenkim) otak. Perdarahan terjadi akibat
adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Lokasi yang paling sering adalah lobus frontalisdan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countrecoup). Defisit neurologi
yang didapatkan sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi
dan luas perdarahan.
F. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum


meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan neurologis
dan pemeriksaan radiologis. Pada anamnesis informasi penting yang
harus ditanyakan adalah mekanisme trauma. Pada pemeriksaan fisik
secara lengkap dapat dilakukan bersamaan dengan secondary
survey.Pemeriksaan meliputi tanda vital dan sistem organ. Penilaian
GCS awal saat penderita datang ke rumah sakit sangat penting untuk
menilai derajat kegawatan cedera kepala. Pemeriksaan neurologis,
selain pemeriksaan GCS, perlu dilakukan lebih dalam,
mencakuppemeriksaan fungsi batang otak, saraf kranial, fungsi motorik,
fungsi sensorik,dan refleks-refleks.
Table 1.2 Glasgow Coma Scale
Jenis pemeriksaan Nilai
Respon membuka mata (E)
Buka mata spontan
4

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara 3

Buka mata bila dirangsang nyeri 2

Tidak ada reaksi dengan rangsangan apapun 1


Respon verbal (V)
Komunikasi verbal baik
5

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang 4

3
Kata-kata tidak teratur 2

Suara tidak jelas 1

Tidak ada reaksi


Respon motorik (M) 6
Mengikuti perintah

Melokalisir nyeri 5

Fleksi normal 4

Fleksi abnormal
3
Ekstensi abnormal
2
Tidak ada reaksi
1

Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan


adalah rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu antero
posterior dan lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan
CT Scan, terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang
cukup bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan
CT Scan pada kasus cedera kepala adalah :

1. bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera


kepala sedang dan berat.
2. cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
3. adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
4. adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
5. sakit kepala yang hebat
6. adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
7. kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan
intraserebral.

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat


keparahannya berupa cedera kepala ringan, sedang atau berat. Tidak
semua pasien cedera kepala perlu dirawat inap di rumah sakit. Indikasi
rawat antara lain:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi


survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei
primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing,
circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan
resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera
kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera
otak sekunder dan mencegah homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala
ditentukan oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan
patofisiologi dari lesi. Secara umum digunakan panduan sebagai
berikut:

1. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah


supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
3. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
6. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT
scan
7. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis

Penatalaksanaan konservatif meliputi:

a. Bedrest total
b. Observasi tanda – tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
c. Pemberian obat – obatan
1) Dexamethason/ Kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
2) Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurangi
vasodilatasi.
3) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
4) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin) atau
untuk infeksi anaerob diberikan metronidazole
d. Makanan atau cairan
Pada trauma ringan bila muntah – muntah tidak dapat diberikan apa-
apa, hanya cairan infus Dextrosa 5 %, aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 – 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.
e. Pada trauma berat
Karena hari – hari pertama didapat klien mengalami penurunan
kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka
hari – hari pertama (2 – 3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa
5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua, dan dextrosa 5 % 8
jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah maka
makanan diberikan melalui nasogatric tube (2500 – 3000 TKTP).
Pemberian protein tergantung dari nilai urenitrogennya (Maryuani,
et al. 2009).

H. Komplikasi

1. Peningkatan TIK
Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga
15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25mmHg.
Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai perfusi
serebral. Dan yang merupakan komplikasi serius dengan akibat
herniasi dengan gagal pernafasan dan gagal jantung serta kematian.
2. Kejang
Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase
akut. Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan
kejang dengan menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau
jalan nafas oral disamping tempat tidur klien, juga peralatan
pengisap, selama kejang, perawat harus memfokuskan pada upaya
pertahanan, jalan nafas paten dan mencegah cedera lanjut
(Maryuani, et al. 2009).

I. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
a. Identitas pasien berisi biodata pasien yaitu nama, umur, jenis
kelamin, tempat tanggal lahir, golongan darah, pendidikan
terakhir, agama, suku, perkawinan, pekerjaan, TB/BB, alamat.
b. Identitas penanggung jawab yaitu nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku, hubungan dengan klien, pendidikan terakhir,
pekerjaan, alamat.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Adanya penurunan kesadaran, latergi, mual dan muntah,
sakit kepala, wajah tidak simetris, lemah, paralysis,
perdarahan, fraktur, hilang kesimbangan, sulut
menggenggam, anemia seputar kejadian, tidak bisa
beristirahat, kesulitan mendengar, mengecap dan
menciumbau, sulit mencerna/menelan makanan.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Pasien pernah mengalami penyakit sistem persyarafan,
riwayat trauma masa lalu, riwayat penyakit darah, riwayat
penyakit sistemik/persyarafan, kardiovaskuler dan metabolik.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Adanya penyakit menular.
Seorang leader tim harus langsung memberikan pengarahan secara
keseluruhan mengenai penatalaksanaan terhadap pasien yang
mengalami injuri, yang meliputi (Fulde, 2009) :
1) Primary survey
Nilai Tingkat kesadaran dilakukan penilaian ABC:
a) Airway: kaji apakah adanya muntah, perdarahan, benda
asing dalam mulut.
b) Breathing: kaji kemampuan bernapas, peningkatan
PCO2 akan memperburuk edema serebri.
c) Circulation: nilai denyut nadi dan perdarahan.
2) Intervensi Primer
a) Buka jalan nafas dengan teknik “jaw-thurust”
kepala jangan ditengkuk, isap lendir kalau perlu.
b) Beri O2 4-6 liter/menit untuk mencegah anoreksia serebri.
3) Hiperventilasi 20-25x/menit meningkatkan vasokontriksi
pembuluh darah otak sehingga edema serebri menurun.
a) Kontrol perdarahan, jangan beri tekanan pada luka
perdarahan di kepala, tutup saja dengan kassa, diplester.
jangan berusaha menghentikan aliran darah dari lubang
telinga atau hidung dengan menyumbat atau menutup
lubang tersebut.
b) Pasang infus
c) Secondary Survey
d) Kaji riwayat trauma:
i. Mekanisme trauma
ii. Posisi klien saat ditemukan
iii. Memori
e) Tingkat kesaran
Nilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS)
f) Ukur tanda-tanda vital
i. Hipertensi dan bradikardi menandakan peningkatan
TIK
ii. Nadi irregular atau cepat menandakan distrimia
jantung
iii. Apnea, perubahan pola nafas terdapat pada cedera
kepala
iv. Suhu meningkat dihubungkan dengan heat injuri
(trauma panas)
g) Respon pupil, apakah simetris atau tidak
h) Gangguan penglihatan
i) Sunken eyes (mata terdorong kedalam):
satu atau keduanya
j) Aktivitas kejang
k) Tanda Battle’s yaitu “blush discoloration”
atau memar dibelakang telinga (mastoid)
menandakan adanya fraktur dasar tengkorak
l) Rinorea atau otorea menandakan kebocoran
CSF
m) Periorbital ecchymosis akan ditemukan
pada fraktur anterior basilar
4) Penatalaksanaan Jalan Nafas Dan Proteksi
Spinal Cord
Pasien dengan kepala, leher, atau trauma wajah
juga dijuga mengalami trauma tulang belakang,
maka pencegahan trauma tulang belakang harus
di pertahankan melalui periode pengkajian awal
sampai perkembangan trauma dapat di
pastikan. Jalan napas harus dipertahankan tanpa
hiperekstensi. jaw-thurust dan manuver chin-
lift direkomendasikan untuk mempertahankan
jalan nafas, dan pernapasan mungkin
memerlukan bantuan awal dengan satu unit
bag-valce-mask sejak kekurangan oksigen
berkontribusi pada edema serebral. otak
mempunyai kemampuan menyimpan suplai
oksigen dalam waktu singkat (misalnya sekitar
10 detik), sehingga kebutuhan metabolik
jaringan vital menderita pada saat kurangnya
ventilasi dan perfusi. Pasien trauma kepala
serius harus inventilasi dengan oksigen
tambahan (10-12 L/menit) dengan pernapasan
24x/menit. Jika pasien tidak sadar, nilai normal
analisa gas darah harus dipertahankan dan
intubasi endotrakeal (ET) mengkin diberikan
(Krisanty, et al. 2009).
5) Tanda-tanda vital
6) Parameter Monitor Lainnya
Refleks dan sistem motorik juga harus secara
berseridievaluasi. sejalan dengan kelanjutan pengkajian
motorik, kedua sisi harus di tes dan dibandingkan. postur
abnormal harus di catat.
Tanda peningkatan TIK harus dicatat, yaitu termaksud:
a) Sakit kepala
b) Muntah proyektil
c) Devisiasi mata kesisi lesi
d) Perubahan kekuatan atau otot tonus
e) Kejang
f) Peningkatan tekanan darah dan penurunanan tekanan nadi
g) Perubahan pernafasan
h) Takhikardia
i) Postur abnormal (contoh deserebrasi atau dekontraksi)
(Krisanty, et al. 2009).

Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada


gangguan system pernafasan sehubungan dengan cedera kepala
tergantung pada bentuk,lokasi,jenis injuri,dan adanya komplikasi
pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala
meliputu anamsis riwayat penyakit,pemeriksaan fisik,pemeriksaan
diagnostic dan pengkajian psikososial.
Skala Coma Glasgow (GCS) Tabel 2. Skala Coma Glasgow
Buka mata (E) Respon verbal (V) Respon motorik (M)
1Tidak ada reaksi 1 Tidak ada 1 Tidak ada reaksi
jawaban
2 Dengan rangsang 2 Mengerang 2 Reaksi
nyeri 3 Tidak tepat Ekstensi
3 Terhadap suara 4 Kacau/con (deserebrasi)
4 Spontan fused
5 Baik, 3 Reaksi fleksi
tidak ada (dekortikasi)
Disorientasi
4 Reaksi menghindar
5 Melokalisir nyeri
6 Menurut perintah
(Sumber:Hudak dan Gallo ; 1996 : 59, dikutip oleh Maryuani, et al. 2009)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan primer

a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan


adanya obstruksi tracheobronchial atau sekresi
b. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubunga dengan
ganguan/kerusakan pusat pernafasan,peningkatan TIK
c. Ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
pertukaran sel, sumbatan aliran serebral
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan
kapasitas darah membawa oksigen. (Krisanty, et al. 2009).

Diagnosa keperwatan sekunder

a. Kerusakan Integritas kulit berhubungan dengan adanya injuri


vulnus raceratum
b. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik,
penurunan kesadaran (Krisanty, et al. 2009).
3. Rencana Intervensi
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
adanya obstruksi trakheobronchial atau sekresi.
Tujuan : Dalam jangka waktu 3x24jam bersihan jalan napas
efektif. Kriteria hasil:
1) Dapat batuk secara efektif
2) Dapat mengeluarkan sptum
3) Tidak ada suara napas tambahan

Batasan karakteristik:
1) Suara napas tidak biasa (Ronchi, krepitasi, mengi)
2) Perubahan kecepatan atau irama respirasi
3) Sianosis
4) Penurunan suara napas

Intervensi dan Rasional:


1) Kaji status pernapasan sekurangnya setiap 4 jam atau
menurut standar yang ditetapkan.
Rasional: untuk mendeteksi tanda awal bahaya
2) Gunakan posisi fowler dan sanggah lengan pasien.
Rasional: untuk membantu bernapas dan ekspansi dada
serta ventilasi lapang paru basilar.
3) Bantu pasien mengubah posisi batuk dan bernafas setiap 2-4
jam
Rasional: untuk membantu mengeluarkan sekresi dan
mempertahankan patensi jalan nafas.
4) Isap sekresi sesuai keperluan.
Rasional: untuk menstimulasi batuk dan membersihkan jalan
nafas penggunaan bantal yang tinggi pada kepala.Rasional:
untuk menstimulasi batuk dan membersihkan.
5) Mobilisasi pasien dengan kemampuan penuh
Rasional: untuk memfasilitasi ekspansi dada dan ventilasi.
6) Hindari posisi terlentang pada periode yang lama. Berikan
periode istirahat antara tindakan perawatan dan batasi
lamanya prosedur. Rasional: Beri dorongan untuk memilih
posisi lateral, duduk, telungkup, dan tegak lurus (Krisanty,
et al. 2009).
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan gangguan/
kerusakan pusat pernapasan, peningkatan TIK
Tujuan: Dalam waktu 3 x 24 jam setelah intervensi, adanya
peningkatan, pola napas kembali efektif.
Kriteria hasil:
1) Dapat batuk secara efektif
2) Dapat mengeluarkan sptutum
Batasan krakteristik:
1) Pernapasan 16-20x/menit
2) Retraksi otot pernapasan
3) Pola napas normal, bunyi napas bersih.
Intervensi dan Rasional
1) Kaji status pernapasan klien.
Rasional :mendeteksi tanda awal bahaya.
2) Kaji penyebab ketidakefektifan pernafasan.
Rasional: mengetahui permasalahan ketidakefektifan
pernapasan.
3) Beri posisi fowler
Rasional:untuk membantu ekspansi paru
4) Sediakan tisu dan kantong untuk tempat pembuangan sputum
Rasional:untuk mencegah penyebaran infeksi
5) Hindari posisi terlentang pada periode yang lama
Rasional: untuk meningkatkan ekpansi dada dan ventilasi
(Krisanty, et al. 2009).
c. Ketidakefektifan perfusis jaringan serebral b/d
pertukaran sel,kerusakan sel.
Tujuan : Pasien menunjukan perfusi jaringan
serebral adekuat Kriteria hasil :
1) Tidak gelisah
2) Tingkat kesadaran membaik
3) Tidak ada peningkatan TIK Batasan

karakteristik:

1) Perubahan tingkat kesadaran


2) Perubahan pola napas
3) Sakit kepala
4) Pusing
5) Kehilangan memori (Krisanty, et al. 2009).
Intervensi dan Rasional

1) Lakukan pengkajian neurologis setiap 1-2


jam pada awalnya, kemudian setiap 4 jam
pasien sudah stabil
Rasional: untuk mengskrining perubahan
tingkat kesadaran dan status neurologis
2) Ukur tanda-tanda vital setiap 1-2 jam pada
awalnya kemudian setiap 4 jam bila pasien
sudah stabil.
Rasional: untuk mendeteksi secara dini
tanda-tanda penurunan pefusi serebral
3) Ukur suhu pasien minimal setiap 4 jam
Rasional: hipotermia menyebabkan
penurunan tekanan perfusi serebral
4) Tinggikan kepala tempat tidur samapai 30
derajat
Rasional: untuk mencegah terjadinya
peningkatan intra serebral.
5) Pertahankan kepala pasien dalam posisi netral
Rasional: untuk mempertahankan aliran
karotia tanpa halangan sehinggga dapat
memfasilitasi perfusi (Krisanty, et al. 2009).

d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan


perubahan kapasitas darah membawa oksigen.
Tujuan: Dapat mempertahankan perukaran gas
yang baik Kriteria Hasil:
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
tanpa mengalami kelemahan atau keletihan.
2) Hematokrit dan hemoglobin dan hematokrit
kembali ke kadar normal.
3) Pasien mempertahankan ventilasi yang
adekuat.

Batasan Karakteristik:

1) Sianosis
2) Hipoksia
3) Pusing
4) Dispnea
5) Ansietas

Intervensi dan Rasional:

1) Dorong pasien untuk beraktivitas dan istirahat.


Rasional: Aktivitas meningkatkan kebutuhan
oksigen kejaringan, istirahat meningkatkan
perfusi oksigen kejaringan.
2) Rencanakan aktivitas pasien dalam tingkatan
yang masih dapat ditoleransi
Rasional: Untuk menghindari keletihan.
3) Auskultasi paru tiap 4 jam.
Rasional: Untuk mendeteksi krepitasi
4) Pantau tanda-tanda vital
Rasional: Perubahan pada satu atau semua
parameter tersebut dapat mengindikasikan
awitan komplikasi serius
5) Bantu pasien saat turun dari tempat tidur jika
pasien merasa pusing
Rasional: Untuk menghindari terjadinya
trauma dan perdarahan jaringan.

e. Kerusakan integritas kulit b/d adanya injuri


valnusraceratum
Tujuan: Dapat mempertahankan itegritas kulit
yang baik.
Kriteria Hasil:
1) Pasien menunjukan tidak adanya kerusakan
kulit
2) Turgor kulit yang normal
3) Luka jahitan sembuh

Batasan Karakteristik:

1) Kerusakan lapisan kulit,


2) Kerusakan permukaan kulit

Intervensi dan Rasional:

1) Kaji kulit dan identifikasi pada tahap


perkembangan luka.
Rasional: mengetahui sejauh mana
perkembangan luka mempermudah dalam
melakukan tindakan yang tepat.
2) Pantau peningkatan suhu tubuh pasien
Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat
diidentifikasikan sebagai adanya preses
peradangan
3) Berikan perawatan luka dengan teknik
aseptik membantu dengan balut luka
memakai kassa kering, dan gunakan plester
kertas
Rasional: teknik aseptik membantu
mempercepat penyembuhan dan mencegah
terjadinya infeksi
4) Kolaborasi pemberian atibotik
Rasional: anti biotik berguna untuk
mematikan mikroorganisme pathogen pada
daerah yang beresiko terjadi infeksi. (Krisanty,
et al. 2009).
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan
kelemahan fisik, penurunan kesadaran.
Tujuan: Dalam jangka waktu 1x 24 jamTidak
terjadi defisit perawatan diri selama dalam
perawatan
Kriteria Hasil:
1) Bantu pasien dengan melibatkan keluaraga
membersihkan mulut dan menggosok gigi
setelah makan
Rasional: mencegah terjadinya karies dalam
mulut
2) Bantu pasien dengan melibatkan keluarga
dalam memandikan pasien ditempat tidur.
Rasional: membantu pasien dan keluarga
dalam memenuhi kebutuhan persona hygiene
(Krisanty, et al. 2009).
4. Implementasi
Implementasikan merupakan serangkaian kegiatan
yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien
dalam status kesehatan baik yang mengggambarkan
kriteria hasil yang diharapkan. Tujuan dari
pelaksanaan adalah membantu klien dalam mencapai
tujuan yang mencakup peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, pemulihan kesehatan dan
memfasilitasi koping. (Krisanty, et al. 2009).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi
proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh
diagnosa keperawatan, rencana tindakan, dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. (Mancini, et
al. 2011).
BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

Cidera kepala adalah trauma yang mengenai otak yang terjadi

secara langsung atau tidak langsung atau efek sekunder yang

menyebabkan atau berpengaruh berubahnya fungsi neurologis,

kesadaran, kognitif, perilaku, dan emosi.

B. SARAN

1. Kepada Masyarakat

Cedera kepala dapat terkena pada siapa saja. Banyak yang

terkena pada usia produktif. Sebelum cedera kepala mengenai

gunakan alat pelindung kepala yang sesuai standar. Khususnya

bagi pengendara kendaraan bermotor, pekerja konstruksi

hendkanya memakai pelindung kepala yang standar.

2. Kepada Tenaga Kesehatan

Pasien-pasien dengan cedra kepala dapat memburuk jika tidak

ditangani secara optimal. Berikanlah perawatan yang optimal,

cepat, tanggap, dan komprehensif dengan hati yang tulus tanpa

ada yang dibedakan.

3. Kepada Akademisi

Semoga akan lebih banyak perawat-perawat yang mengabdikan


dirinya dalam hal riset, karena dunia keperawatan membutuhkan

pengembangan ilmu-ilmu demi kemajuan profesi keperawatan.

4. Kepada Pemerintah

Diharapkan pemerintah mampu membantu penanganan promotif

dan preventif tentang cedera kepala kepada masyarakat karena

kasus ini dapat mengenai semua usia dan menimbulkan dampak

negatif, serta dukungan dalam sistem pendukung misalnya jalan

yang memadahi demi terciptanya masyarakat yang lebih

produktif.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. (2014). Survey Kesehatan Nasional. Laporan.Depkes


RI Jakarta.

Maryuani, A. &. (2009). Asuhan Kegawatdaruratan. Jakarta: Trans Info Media.

Wedho, M. M. (2014). Konsep Kebutuhan Dasar Manusia II. Kupang: Gita


Kasih.

Anda mungkin juga menyukai