Anda di halaman 1dari 41

MAKALAH

TRAUMA MEDULLA SPINALIS

Mata Kuliah KMB II

DOSEN PEMBIMBING:

SYOKUMAWENA, S.Kep, M. Kes

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 5

PITIONO PO.71.20.1.1.9.071

PUTRI APRIYANDINI PO.71.20.1.19.072

PUTRI NABILAH PO.71.20.1.19.073

PUTRI RAMADHANI PO.71.20.1.19.074

RAMA FERLA PUTRI PO.71.20.1.19.075

REGITA DWI CAHYA PO.71.20.1.19.076

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN PALEMBANG

JURUSAN KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah Keperawatan
Medikal Bedah II dengan judul “ Trauma Medulla Spinalis”.

Dalam menyusun makalah ini, kami banyak menemui kesulitan dan hambatan
sehingga tidak terlepas dari segala bantuan, arahan, dorongan semangat dari berbagai
pihak. Dan akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
berbagai pihak yang telah membantu kami yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Terimakasih atas kesabaran dann keiklasannya dalam memberikan masukan, motivasi dan
bimbigan selama penyusunan makalah ini.

Segala kemampuan dan upaya telah saya usahakan semaksimal mungkin, namun
menyadari bahwa kami selaku penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca. Penulis berharap semoga hasil makalah ini memberikan manfaat bagi kita
semua, amiin .

Palembang,9 maret 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ..........................................................................................................


Daftar isi.....................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................
1.1 Latar belakang................................................................................................
1.2 Tujuan ...........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................
2.1 Definisi...........................................................................................................
2.2 Epidemiologi..................................................................................................
2.3 Anatomi Dan Fisiologi...................................................................................
2.4 Mekanisme cidera..........................................................................................
2.5 Klasifikasi ......................................................................................................
2.6 Patofisiologi...................................................................................................
2.7 Manifestasi Klinis..........................................................................................
2.8 Kompikasi......................................................................................................
2.9 Pemeriksaan Penunjang..................................................................................
2.10Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)..............................
BAB III KONSEP TEORI.........................................................................................
3.1 Pengkajian......................................................................................................
3.2 Diagnosa.........................................................................................................
3.3 Perencanaan / Intervensi ................................................................................
3.4 Evaluasi .........................................................................................................
BAB IV PENUTUP ..................................................................................................
4.1 kesimpulan.....................................................................................................
4.2 saran ..............................................................................................................

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 latar belakang
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari satu/lebih
tulang vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan akar-akar saraf
sehingga mengakibatkan defisit neurologis dan perubahan persepsi sensori / paralisis
atau keduanya. ( Wahyu Widagdo, 1995 ).
Trauma medulla spinalis pada daerah lumbal pertama akan mengakibatkan
kelumpuhan semua area extremitas bawah, menyebar sampai lipat paha dan bagian
belakang dari bokong. Komplikasi yang di timbulkan adalah kelumpuhan permanen,
sehingga memerlukan perawatan yang kontinue dan lama serta mengeluarkan biaya
yang sangat besar bila akan dilaksanakan operasi.
Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis karena
trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya,
seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun
inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan penyebab kematian dan kecacatan pada
era modern, dengan 8.000-10.000 kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan
membawa dampak ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di
USA.
1.2 Tujuan
1.1 Tujuan Penulisan
1.1.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tentang asuhan keperawatan Trauma Medulla
Spinalis

1.1.2 Tujuan Khusus


1) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang pengertian Trauma Medulla
Spinalis
2) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang etiologi Trauma Medulla
Spinalis
3) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang patofisiologi Trauma Medulla
Spinalis
4) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang manifestasi klinis Trauma
Medulla Spinalis

4
5) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang klasifikasi Trauma Medulla
Spinalis
6) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang komplikasi Trauma Medulla
Spinalis
7) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang pemeriksaan penunjang
8) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang penatalaksaan medis
9) Agar mahasiswa/I dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan Trauma
Medulla Spinalis

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung
maupun tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga
menimbulkan gangguan neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau
kematian. Trauma medula spinalis meliputi kerusakan medula spinalis karena trauma
langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan fungsi utamanya, seperti
fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refleks, baik komplet ataupun inkomplet.
(PERDOSSI, 2006)

2.2 EPIDEMIOLOGI
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada sebanyak
183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula spinalis di negara
tersebut.(Cristopher, 2004)
Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk
mengetahui epidemiologi penderita cedera medula spinalis dan yang mengalami
paralisis di Amerika Serikat.

6
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut.
Sekitar 0,4% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang
dilaporkan mengalami paralisis dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Penyebab cedera medula spinalis yang terbanyak di Helsinki, Finlandia
adalah jatuh (43%) , diikuti dengan kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%),
kekerasan (4%) dan penyebab lain (9%).Penyebab cedera medula spinalis di negara
berkembang bervariasi dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas
mencakup sebesar 49% penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di
Turki dan 30% di Taiwan.
Bila dibandingkan dengan negara maju, insiden cedera medula spinalis
lebih tinggi di negara yang sedang berkembang. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap hal ini antara lain:
a. Kondisi jalan yang buruk
b. Berkendara melewati batas kecepatan
c. Kurangnya penggunaan sabuk pengaman dan sandaran kepala di dalam mobil
d. Volume kendaraan yang berlebih
e. Perlengkapan keamanan yang tidak adekuat saat menyelam dan bekerja
f. Kondisi-kondisi yang tidak lazim seperti jatuh dari pohon dan jembatan.
(Cristopher, 2004)

2.3 ANATOMI DAN FISIOLOGI


Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya
terletak dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus
yang disebut meningen. Lapisan-lapisan dan struktur yang mengelilingi
medulavspinalis dari luar ke dalam antara lain:
1. dinding kanalis vertebralis (terdiri atas vertebrae dan ligamen)
2. lapisan jaringan lemak (ekstradura) yang mengandung anyaman pembuluh
pembuluh darah vena
3. duramater
4. arachnoid
5. ruangan subaraknoid (cavitas subarachnoidealis) yang berisi
liquorcerebrospinalis

7
6. piamater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung
membungkus permukaan sebelah luar medula spinalis. (Fahriansyah, 2012)
Lapisan meningen terdiri atas pachymeninx (duramater) dan leptomeninx
(arachnoid dan piamater). Pada masa kehidupan intrauterin usia 3 bulan, panjang
medula spinalis sama dengan panjang kanalis vertebralis, sedang dalam masa-masa
berikutnya kanalis vertebralis tumbuh lebih cepat dibandingkan medula spinalis
sehingga ujung kaudal medula spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat yang
lebih tinggi. Pada saat lahir, ujung kaudal medula spinalis terletak setinggi tepi
kaudal corpus vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung kaudal medula
spinalis umumnya terletak setinggi tepi kranial corpus vertebrae lumbalis II atau
setinggi discus intervertebralis antara corpus vertebrae lumbalis I dan II. Terdapat
banyak jalur saraf (tractus) di dalam medula spinalis. Jalur saraf tersebut dapat
dilihat pada gambar di berikut. (Guyton, 2009)

Medula Spinalis merupakan kelanjutan dari otak dimulai setinggi foramen


occipitalis magnum melanjutkan ke bawah di dalam canalis spinalis dan beakhir
pada conus medullaris setinggi Lumbalis I. Kemudian hanya berupa serabut serabut
saraf yang disebut caudal aquina. Medulla spinalis ini mempunyai bentuk seperti
tabung silindris dan didalamnya terdapat l ubang atau canalis centralis. Bagian tepi
atau cortex mengandung serat-serat saraf (white matter) dan bagian tengahnya
berwarna gelap (grey matter) yang mengandung sel-sel body dan bentuknya seperti

8
kupu-kupu. Dari medulla spinalis ini keluar masuk serabut saraf sebanyak 31
pasang yang melalui foramen intervertebralis. Sebagaimana otak medulla spinalis
juga dilapisi oleh selaput meningen dan mengandung cairan otak. (Fahriansyah,
2012)
Pada medulla spinalis terdapat rute utama pada setiap ketiga columna alba.
Pada tractus asendens terdiri atas tiga tractus yaitu: (Guyton,2009)
1. Tractus spinothalamicus anterior atau ventralis
Meneruskan impuls taktil dan tekanan dari medulla ke thalamus. Serabutnya
dimulai pada collumna posterior substantia grisea dari sisi berseberangan dan
melintas di atas commisura alba anterior sebelum naik pada columna alba anterior.
2. Tractus spinothalamicus lateralis
Membawa impuls sakit dan temperatur ke thalamus. Serabutnya bergabung
pada medulla dengan serabut dari tractus spinothalamicus anterior untuk
membentuk lemnicus spinalis. Serabut keluar dari sel yang terletak pada cornu
posterior subatantia grisea sisi seberangannya dan terutama berjalan naik pada
columna lateralis.
3. Tractus spinothalamicus anterior posterior atau ventralis dorsalis
Meneruskan informasi ke cerebellum yang dapat membantu koordinasi otot
(aktivitas sinergik) dan tonus otot juga sentuhan dan tekanan. Serabut-serabut saraf
mulai keluar pada cornu posterius dari sisi yang sama dan berjalan menuju columna
alba lateralis.

Tractus desendens terdiri atas:


1. Tractus corticospinalis atau cerebrospinalis anterior atau ventralis atau
disebut juga tractus pyramidalis direk
Tersusun atas serabut-serabut yang berjalan turun melalui otak daricortex
cerebri. Medulla terletak didekat fissura antero-media dan berhubungan dengan
kontrol voluntaris dari otot skeletal. Tractus menjadi lebih kecil ketika berjalan naik
dan hampir hilang pada regio thoracis media karena pada ketinggian ini sebagian
besar serabut pembentuknya sudah menyeberang ke sisi berlawanan untuk berakhir
dengan cara membentuk sinaps di sekitar cornu anterior dari neuron motoris
inferior. Beberapa serabut yang masih tersisa akan berakhir pada columna anterior
substantia grisea pada sisi chorda yang sama.
2. Tractus lateralis atau tractus pyramidalis transverse

9
Mengandung sejumlah besar serabut untuk mengontrol gerak ototvolunter.
Serabutnya keluar pada cortex motoris dan melintang diatas atau bergabung dengan
tractus sisi seberangnya pada medulla.
3. Tractus vestibulospinalis
Juga berjalan turun pada columna anterior substantia alba. Tractus ini
mempunyai hubungan dengan fungsi keseimbangan dan postur. Serabut saraf mulai
keluar pada medulla di sisi yang sama dari gabungan sel-sel yang disebut nucleus
vestibularis.
4. Tractus rubrospinalis
Terletak tepat di depan tractus corticospinalis lateralis, serabutnya dimulai
pada mesenchepalon dan berjalan turun untuk berakhir di sekitar sel-sel cornu
anterius. Berhubungan dengan kontrol aksi otot dan merupakan bagian utama dari
sistem extrapyramidal. Tractus motoris dan sensoris merupakan tractus yang paling
penting didalam otak dan medulla spinalis dan mempunyai hubungan yang erat
untuk gerakan motoris voluntaris, sensasi rasa sakit, temperatur dan sentuhan dari
organ-organ indera pada kulit dan impuls propioseptif dari otot dan sendi.
Tractus corticospinalis atau pyramidalis atau motoris berasal dari cortex
motoriius precentralis, serabutnya berjalan turun melalui capsula interna pada genu
dan dua pertiga anterior limbus posterior.
Tractus cortico ventralis mengendalikan neuron-neuron motorik yang
melayani otot-otot pada truncus termasuk mm.intercostalis dan abdominalis.
Semua neuron yang menyalurkan impul-impuls motorik ke nuclei motorii di
dalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut sebagai neuron motor atas
(upper motor neuron). Impuls-impuls motorik ini dapat disalurkan melalui jalur-
jalur saraf yang termasuk dalam susunan pyramidal dan susunan ekstrapyramidal
oleh karena itu dalam area yang luas sel-sel neuron yang membentuk jalur
desendens pyramidal (tractus corticobulbaris dan corticospinalis) dan
ekstrapyramidal (tractus reticulospinalis dan rubrospinalis) dapat disebut sebagai
neuron motor atas sedangkan neuron-neuron motorik di dalam nuclei motorii
didalam batang otak dan medulla spinalis dapat disebut neuron motor bawah
(lowermotor neuron).
(Fahriansyah, 2012)

10
Columna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi
medulla spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh. Masing-masing
tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.
Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut: Fahriansyah, 2012)
a. Vertebrata cervicalis ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata
cervicalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinosus paling
panjang.
b. Vertebra Thoracalis
Ukurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung,
berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.
c. Vertebra Lumbalis
Corpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah
5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar
ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.
d. Os. Sacrum
Terdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke
5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.
e. Os. Coccygeal
Terdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami
rudimenter. Beberapa segmen ini membentuk 1 pasang saraf coccygeal.

Gambar .Segmen Corda Spinalis

11
Lengkung kolumna vertebralis kalau dilihat dari samping maka kolumna
vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior yaitu
lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal
melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung
kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis,
disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari
hidung tulang belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak
ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan
badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung
servikal berkembang ketika anak-anak mengangkat kepalanya untuk melihat
sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia
merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak.
Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medulla
oblongata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara
vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medulla spinalis meruncing sebagai
konus medularis, dan kemudian sebuah sambungan tipis dasri piameter yang
disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju
koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada
bagian depannya dibelah oleh fisura anterior yang dalam, sementara bagian
belakang dibelah oleh sebuah fisura sempit.
Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal.
Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas
dan bawah dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis.
Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan
semua bagian tubuh dan bergerak refleks.
Untuk terjadinya gerakan refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut:
1. Organ sensorik: menerima impuls, misalnya kulit
2. Serabut saraf sensorik: mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel
dalam ganglion radix posterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada
kornu posterior mendula spinalis.
3. Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung
menghantarkan impuls-impuls menuju kornu anterior medula spinalis.
4. Sel saraf motorik: dalam kornu anterior medula spinalis yang menerima dan
mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.

12
5. Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls
saraf motorik.
6. Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada
daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis
beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua
anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.

Berikut ini adalah fungsi dari tiap segmen saraf pada tulang belakang:

Gambar 2.2 Fungsi segmen tulang belakang


Level Function
C1-C6 Neckflexors
C1-T1 Neckextensors
C3, C4, Supply diaphragm (mostly C4)
C5
C5, C6 Shoulder movement, raise arm (deltoid); flexion of elbow (biceps); C6
externally rotates the arm (supinates)
C6, C7 Extends elbow and wrist (triceps and wrist extensors); pronates wrist
C7, T1 Flexes wrist

13
Supply small muscles of the hand
T1 -T6 Intercostals and trunk above the waist
T7-L1 Abdominal muscles
L1, L2, Thighflexion
L3, L4
L2, L3, Thighadduction
L4 Extension of leg at the knee (quadriceps femoris)
L4, L5, Thighabduction
S1 Dorsiflexion of foot (tibialis anterior)
Extension of toes
L5, S1, Extension of leg at the hip (gluteus maximus)
S2 Plantarflexion of foot
Flexion of toes
L4, L5, Flexion of leg at the knee (hamstrings)
S1, S2
(Michael, 2012)

2.4 MEKANISME CEDERA


1. Mekanisme trauma dan stabilitas fraktur

Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio, laserasi,


atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medullaspinalis berupa rusaknya
traktus padamedula spinalis, baik asenden ataupun desenden. Petekie tersebar pada
substansia grisea, membesar, lalu menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma.
Selanjutnya,terjadi nekrosis hemoragik dalam 24-36jam. Pada substansia alba,
dapat ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut
mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan structural luas.
Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui4 mekanisme berikut:
a. Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan hematoma.
Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan kompresi oleh
korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan trauma
hiperekstensi.
b. Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi
medulla spinalis terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.
c. Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma mengganggu aliran
darah kapiler dan vena.

14
d. d. Gangguan sirkulasi atau sistem arteries pinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang.(Yoanes, 2014)

2. Mekanisme kerusakan primer

Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:


(1) gaya impact dan kompresi persisten,
(2) gaya impact tanpa kompresi,
(3) tarikan medula spinalis,
(4) laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma.
Sel neuron akan rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut
berdampak pada selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf
terganggu, baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu jam
pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami kerusakan pada
72 jam setelah trauma. (Yoanes, 2014)

3. Mekanisme kerusakan sekunder

Kerusakan primer merupakan sebuah nidusatau titik awal terjadinya


kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh syok
neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia, eksitotoksisitas,
lesisekunder yang dimediasi kalsium, gangguan elektrolit, kerusakan karena proses
imunologi, apoptosis, gangguan pada mitokondria, danproses lain. (Yoanes, 2014)

2.5 KLASIFIKASI

Berikut adalah Skala kerusakan berdasarkan American spinal injury association


(ASIA) scale .
Berdasarkan tipe dan lokasi trauma :
1. Complete spinal cord injury (Grade A)
Cedera komplit didefinisikan sebagai kehilangan total fungsi sensoris dan fungsi
motoris pada area yang terinervasi lebih dari 2 level di bawah lokasi tulang belakang
yang cedera dan bertahan selama lebih dari 48 jam. Terdiri, yaitu :
a. Unilevel

15
b. Multilevel
2. Incomplete spinal cord irjury (Grade B, C, D)
a. Cervico medullary syndrome
b. Central cord syndrome
c. Anterior cord syndrome
d. Posterior cord syndrome
e. Brown sequard syndrome
f. Gonus medullary syndrome
3. Complete cauda equina injury (Grade A)
4. Incomplete cauda equina injury (Grade B, C daa D)

Tabel1. Skala kerusakan berdasarkan American spinal injury association (ASIA)


(Consortium SCM,2006)
Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu
sampaisegmen sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, tapi otot-ototmotorik
utama masih punya kekuatan < 3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, otot-otot
motorikutama punya kekuatan > 3
E Normal Fungsi motorik dan sensorik normal
(Sina MI, 2013)
Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sesuai dengan level, beratnya defisit
neurologik, spinal cord syndrome, dan morfologi.
A. Level
Level neurologist adalah segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang
masih dapat ditemukan keadaan sensoris dan motoris yang normal di kedua sisi tubuh.
Apabila level sensoris digunakan, ini menunjukan kearah bagian segmen kaudal
medulla spinalis dengan fungsi sensoris yang normal pada ke dua bagian tubuh. Level
motoris dinyatakan seperti sensoris, yaitu daerah paling kaudal dimana masih dapat
ditemukan motoris dengan tenaga 3/5 pada lesi komplit, mungkin masih dapat
ditemukan fungsi sensoris maupun motoris di bawah level sensoris/motoris. Ini
disebut sebagai daerah dengan “preservasi parsial”. Penentuan dari level cedera pada
dua sisi adalah penting.

16
Terdapat perbedaan yang jelas antara lesi di bawah dan di atas T1. Cedera pada
segmen servikal diatas T1 medulla spinalis menyebabkan quadriplegia dan bila lesi di
bawah level T1 menghasilkan paraplegia. Level tulang vertebra yang mengalami
kerusakan, menyebabkan cedera pada medulla spinalis. Level kelainan neurologist
dari cedera ini ditentukan hanya dengan pemeriksaan klinis. Kadang-kadang terdapat
ketidak cocokan antara level tulang dan neurologis disebabkan nervus spinalis
memasuki kanalis spinalis melalui foramina dan naik atau turun didalam kanalis
spinalis sebelum benar-benar masuk kedalam medulla spinalis. Ketidak cocokan akan
lebih jelas kearah kaudal dari cedera. Pada saat pengelolaan awal level kerusakan
menunjuk pada kelainan tulang, cedera yang dimaksudkan level neurologist.

B. Beratnya Defisit Neurologis


Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan sebagai paraplegia tidak komplit,
paraplegia komplit, kuadriplegia tidak komplit, dan kuadraplegia komplit. Sangat
penting untuk menilai setiap gejala dari fungsi medulla spinalis yang masih tersisa.
Setiap fungsi sensoris atau motoris dibawah level cedera merupakan cedera yang tidak
komplit. Yang termasuk dalam cedera tidak komplit adalah :
1. Sensasi (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunteer pada ekstremitas
bawah.
2. Sakra l sparing, sebagai contoh: sensasi perianal, kontraksi sphincter ani secara
volunter atau fleksi jari kaki volunter.
Suatu cedera tidak dikualifikasikan sebagai tidak komplit hanya dengan dasar
adanya reservasi refleks sacral saja, misalnya bulbocavernosus, atau anal wink.
Refleks tendo dalam juga mungkin dipreservasi pada cedera tidak komplit.

C. Spinal Cord Syndrome


Beberapa tanda yang khas untuk cedera neurologist kadang-kadang dapat
dilihat pada penderita dengan cedera medulla spinalis.Pada sentral cord syndrome
yang khas adalah bahwa kehilangan tenaga pada ekstremitas atas, lebih besar
dibanding ekstremitas bawah, dengan tambahan adanya kehilangan adanya sensasi
yang bervariasi. Biasanya hal ini terjadi cedera hiperekstensi pada penderita dengan
riwayat adanya stenosis kanalis sevikalis (sering disebabkan oleh osteoarthritis
degeneratif). Dari anamnesis umumnya ditemukan riwayat terjatuh ke depan yang

17
menyebabkan tumbukan pada wajah yang dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi
tulang servikal.
Penyembuhannya biasanya mengikuti tanda yang khas dengan penyembuhan
pertama pada kekuatan ekstremitas bawah. Kemudian fungsi kandung kemih lalu
kearah proksimal yaitu ekstremitas atas dan berikutnya adalah tangan. Prognosis
penyembuhannya sentral cord syndrome lebih baik dibandingkan cedera lain yang
tidak komplit. Sentral cord syndrome diduga disebabkan karena gangguan vaskuler
pada daerah medulla spinalis pada daerah distribusi arteri spinalis anterior. Arteri ini
mensuplai bagian tengah medulla spinalis. Karena serabut saraf motoris ke segmen
servikal secara topografis mengarah ke senter medulla spinalis, inilah bagian yang
paling terkena.
Anterior cord syndrome ditandai dengan adanya paraplegia dan kehilangan
dissosiasi sensoris terhadap nyeri dan sensasi suhu. Fungsi kolumna posterior
(kesadaran posisi, vibrasi, tekanan dalam) masih ditemukan.Biasanya anterior cord
syndrome disebabkan oleh infark medulla spinalis pada daerah yang diperdarahi oleh
arteri spinalis anterior. Sindrom ini mempunyai prognosis yang terburuk diantara
cidera inkomplik.
Brown Sequard Sydrome timbul karena hemiksesi dari medulla spinalis dan
akan jarang dijumpai. Akan tetapi variasi dari gambaran klasik cukup sering
ditemukan.Dalam bentuk yang asli syndrome ini terdiri dari kehilangan motoris
opsilateral (traktus kortikospinalis) dan kehilangan kesadaran posisi (kolumna
posterior) yang berhubungan dengan kehilangan disosiasi sensori kontralateral dimulai
dari satu atau dua level dibawah level cedera (traktus spinotalamikus). Kecuali kalau
syndrome ini disebabkan oleh cedera penetrans pada medulla spinalis,penyembuhan
(walaupun sedikit) biasanya akan terjadi.
(Fahriansyah,2012)
D. Morfologi
Cedera tulang belakang dapat dibagi atas fraktur, fraktur dislokasi, cedera
medulla spinalis tanpa abnormalitas radiografik (SCIWORA), atau cedera penetrans.
Setiap pembagian diatas dapat lebih lanjut diuraikan sebagai stabil dan tidak stabil.
Walaupun demikian penentuan stabilitas tipe cedera tidak selalu sederhana dan ahli
pun kadang-kadang berbeda pendapat. Karena itu terutama pada penatalaksanaan awal
penderita, semua penderita dengan deficit neurologist,harus dianggap mempunyai

18
cedera tulang belakang yang tidak stabil. Karena itu penderita ini harus tetap di
imobolisasi sampai ada konsultasi dengan ahli bedah saraf/ ortofedi.
Cedera servikal dapat disebabkan oleh satu atau kombinasi dari mekanisme
cedera:
(1) pembebanan aksial (axial loading),
(2) fleksi,
(3) ekstensi,
(4) rotasi,
(5) lateral bending, dan
(6) distraksi.
Cedera yang mengenai kolumna spinalis akan diuraikan dalam urutan
anatomis, dari cranial mengarah keujung kaudal tulang belakang. 
 Dislokasi atlanto – oksipita (atlanto – occipital dislokatiaon)
Cedera ini jarang terjadi dan timbul sebagai akibat dari trauma fleksi
dan distraksi yang hebat. Kebanyakan penderita meninggal karena
kerusakan batang otak. Kerusakan neurologist yang berat ditemukan pada
level saraf karanial bawah.kadang –kadang penderita selamat bila resusitasi
segera dilakukan ditempat kejadian.
 Fraktur atlas (C-1)
Atlas mempunyai korpus yang tipis dengan permukaan sendi yang
lebar. Fraktur C-1 yang paling umum terdiri dari burst fraktur (fraktur
Jefferson). Mekanisme terjadinya cedera adalah axial loading, seperti kepala
tertimpa secara vertikal oleh benda berat atau penderita terjatu dengan
puncak kepala terlebih dahulu. Fraktur jefferson berupa kerusakan pada
cincin anterior maupun posterior dari C-1, dengan pergeseran masa lateral.
Fraktur akan terlihat jelas dengan proyeksi open mouth dari daerah C-1 dan
C-2 dan dapat di konfirmasikan dengan CT Scan. Fraktur ini harus ditangani
secara awal dengan koral sevikal.
 Rotary subluxation dari C-1
Cedera ini banyak ditemukan pada anak –anak. Dapat terjadi spontan
setelah terjadi cedera berat/ ringan, infeksi saluran napas atas atau penderita
dengan rematoid arthritis. Penderita terlihat dengan rotasi kepala yang
menetap. Pada cedera ini jarak odontoid kedua lateral mass C-1 tidak sama,

19
jangan dilakukan rotasi dengan paksa untuk menaggulangi rotasi ini,
sebaiknya dilakukan imobilisasi. Dan segera rujuk.
 Fraktur aksis(C-2)
Aksis merupakan tulang vertebra terbesar dan mempunyai bentuk
yang istimewah karena itu mudah mengalami cedera.
1. fraktur odontoid
Kurang 60% dari fraktur C-2 mengenai odontoid suatu tonjolan tulang
berbentuk pasak. Fraktur ini daoat di identifikasi dengan foto ronsen
servikal lateral atau buka mulut.
2. Fraktur dari elemen posterior dari C-2
Fraktur hangman mengenai elemen posterior C-2, pars interartikularis
20 % dari seluruh fraktur aksis fraktur disebabkan oleh fraktur ini.
Disebabkan oleh trauma tipe ekstensi, dan harus dipertahankan dalam
imobilisasi eksternal. 
 Fraktur dislocation ( C-3 sampai C-7) 
Fraktur C-3 sangat jarang terjadi, hal ini mungkin disebabkan
letaknya berada diantara aksis yang mudah mengalami cedera dengan titik
penunjang tulang servikal yang mobile, seperti C-5 dan C-6, dimana terjadi
fleksi dan ekstensi tulang servikal terbesar.
 Fraktur vertebra torakalis ( T-1 sampai T-10)
Fraktur vertebra Torakalis dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori :
(1) cedera baji karena kompresi bagian korpus anterior,
(2) cedera bursi,
(3) fraktur Chance,
(4) fraktur dislokasi.

Axial loading disertai dengan fleksi menghasilkan cedera kompresi pada


bagian anterior. Tip kedua dari fraktur torakal adalah cedera burst
disebabkan oleh kompresi vertical aksial. Fraktur dislokasi relative jarang
pada daerah T-1 sampai T-10.
 Fraktur daerah torakolumbal (T-11 sampai L-1)fraktur lumbal
Fraktur di daerah torakolumbal tidak seperti pada cedera tulang
servikal, tetapi dapat menyebabkan morbiditas yang jelas bila tidak dikenali

20
atau terlambat mengidentifikasinya. Penderita yang jatuh dari ketinggian
dan pengemudi mobil memakai sabuk pengaman tetapi dalam kecepatan
tinggi mempunyai resiko mengalami cedera tipe ini. Karena medulla
spinalis berakhir pada level ini , radiks saraf yang membentuk kauda ekuina
bermula pada daerah torakolumbal. (Peter 2008)

2.6 PATOFISIOLOGI
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan
kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan
tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma
indirek. Whiplash adalah gerakan dorsofleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang
belakang secara cepat dan mendadak.
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah
maupun torakalis bawah misalnya pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat
berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi
menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.
Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,
tekanan vertikal (terutama pada T12 sampai L2), rotasi. Kerusakan yang dialami
medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap Akibat trauma terhadap tulang
belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla
spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan
adalah berupa edema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.
Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat
terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di
medulla spinalis.
Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang
secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan
ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis
tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran
transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk
lonjong dan bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash“ yaitu jatuh
dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau

21
fraktur dislokasio. kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis
dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.
Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler
traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip
diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan
sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis
vertebralis.
Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat
tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat
mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang
bersifat hiperpatia, gambaran tersebut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis
traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka
gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya
arteri radikuler terutama radiks T8 atau T9 yang akan menimbulkan defisit sensorik
motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema
anastomosis anterial anterior spinal. (Yoanes, 2012)

2.7 MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis bergantung pada lokasi yang mengalami trauma dan apakah
trauma terjadi secara parsial atau total. Berikut ini adalah manifestasi berdasarkan
lokasi trauma : (Michael, 2012)
 Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
 Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah;
kehilangan refleks brachioradialis
 Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku
masih bisa dilakukan; kehilangan refleks bisep
 Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
 C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki

22
 Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
 T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
 Cauda equina
Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain
and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
 S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total
Bila terjadi trauma spinal total atau complete cord injury, manifestasi yang
mungkin muncul antara lain total paralysis, hilangnya semua sensasi dan aktivitas refleks
(Merck,2010).

Gambar 2.3 Efek Trauma Spinal

2.8 KOMPLIKASI

a. Neurogenik shock.
b. Hipoksia.
c. Gangguan paru-paru
d. Instabilitas spinal
e. Orthostatic Hipotensi
23
f. Ileus Paralitik
g. Infeksi saluran kemih
h. Kontraktur
i. Dekubitus
j. Inkontinensia blader
k. Konstipasi

2.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain:


1. X-Ray spinal: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislokasi)
2. CT Scan: untuk menentukan tempat luka/jejas, mengevaluasi gangguan struktural.
3. MRI: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor patologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub arakhnoid medulla spinalis
(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5. Foto rongent thorak: mengetahui keadaan paru (contoh : perubahan pada diafragma,
atelektasis)
6. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi
maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikal bagian bawah atau pada
trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
7. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi. (Fahriansyah,
2012)

2.10 Penatalaksanaan Cedera Medulla Spinalis (Fase Akut)

Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medulla spinalis lebih


lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan
resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.
Farmakoterapi: Berikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan
edema medula.

24
 Airway
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak
sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah,
atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan
ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, dapat
dilakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar
melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara
membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan
napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring.
 Breathing
Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas
dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan
dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika
penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila
memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal.
 Sirkulasi
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi. Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat.
Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk memperkirakan tekanan
sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90
mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih
dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka
tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera
hentikan dengan penekanan pada luka.
Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,
sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena
cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak

25
dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi
tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih
rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan vena di kepala dan
menaikkan tekanan intrakranial.(Chandler 1992)

A. PRINSIP-PRINSIP UTAMA PENATALAKSANAAN TRAUMA SPINAL

1. Immobilisasi
Tindakan immobilisasi harus sudah dimulai dari tempat
kejadian/kecelakaan sampai ke unit gawat darurat.. Yang pertama ialah
immobilisasi dan stabilkan leher dalam posisi normal; dengan menggunakan
’cervicalcollar’. Cegah agar leher tidak terputar(rotation). Baringkan penderita
dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras. Pasien
diangkat/dibawa dengan cara ”4men lift” atau menggunakan
’Robinson’sorthopaedic stretcher’.
2. Stabilisasi Medis
Terutama sekali pada penderita tetraparesis/ tetraplegia.
1. Periksa vital signs
2. Pasang ’nasogastric tube’
3. Pasang kateter urin
4. Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan
3. Mempertahankan posisi normalvertebra (”Spinal Alignment”)
tekanan darah yang normal dan perfusi jaringan yang baik. Berikan oksigen,
monitor produksi urin, bila perlu monitor AGDA (analisa gas darah), dan
periksaapa ada neurogenic shock. Pemberian megadose Methyl Prednisolone
Sodium Succinate dalam kurun waktu 6 jam setaleh kecelakaan dapat
memperbaiki kontusio medula spinalis.
4. Dekompresi dan Stabilisasi Spinal
 SPINAL ALIGNMENT

Bila terdapat fraktur servikal dilakukan traksi dengan Cruthfield tong atau
Gardner-Wells tong dengan beban 2.5 kg perdiskus. Bila terjadi dislokasi traksi
diberikan dengan beban yang lebih ringan, beban ditambah setiap 15 menit
sampai terjadi reduksi.
 DEKOMPRESI DAN STABILISASISPINAL

26
Bila terjadi ’realignment’ artinya terjadi dekompresi. Bila ’realignment’ dengan
cara tertutup ini gagal maka dilakukan ’openreduction’ dan stabilisasi dengan
’approach’ anterior atau posterior.
5. Rehabilitasi.
Rehabilitasi fisik harus dikerjakan sedini mungkin. Termasuk dalam
program ini adalah’bladder training’, ’bowel training’, latihan otot pernafasan,
pencapaian optimal fungsi –fungsi neurologik dan program kursi roda bagi
penderita paraparesis/paraplegia. (Hanafiah 2007)

BAB III

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Asuhan keperawatan merupakan bagian dari pelayanan kesehatan untuk


memberikan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang meliputi pengkajian diagnosa keperawatan, perencanaan dan
evaluasi.

27
3.1 PENGKAJIAN

A. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa, status perkawinan,
alamat, pekerjaan, agama, pedidikan.
B. Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan masa lalu meliputi apakah klien mempunyai
riwayat kecelakaan, jenis kecelakaan dan posisi klien pada saat kecelakaan.
Riwayat kesehatan sekarang meliputi keluhan/ gangguan yang
dirasakan saat ini, apakah ada kelumpuhan otot pada / di bawah lesi,
inkontinensia defekasi dan berkemih serta kehilangan tonus otot
( motorik).
Riwayat kesehatan keluarga meliputi riwayat penyakit ada di keluarga
berhubungan dengan penyakit yang diderita oleh klien.
C.Dasar Data Pengkajian
Menurut Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan
Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta adalah sebagai berikut :
Aktivitas / Istirahat pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan kelumpuhan otot ( terjadi kelemahan selama syok spinal )
pada / di bawah lesi, kelemahan umum / kelemahan otot ( trauma dan
adanya kompresi saraf ).
Sirkulasi pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai
dengan hipotensi, bradikardi, extremitas bawah dingin dan pucat, hilangnya
keringat pada daerah yang terkena, sedangkan gejalanya berdebar-debar
saat melakukan perubahan posisi / bergerak.
Integritas Ego pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan menyangkal, sedih dan marah, sedangkan gejalanya takut,
cemas dan gelisah.
Makanan / Cairan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan distensi abdomen, peristaltik usus hilang, nafsu makan
meningkat.
Hygiene pada penderita Trauma Medulla Spinalis di tandai dengan
sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

28
Neurosensori pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai
kelumpuhan, kelemahan, kehilangan tonus otot / vasomotor, kehilangan
reflek termasuk tendon dalam, sedangkan gejalanya kesemutan, paralisis.
Nyeri / kenyamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah
ditandai dengan deformitas, nyeri vertebra, sedangkan gejalanya nyeri tekan
otot.
Pernafasan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai
dengan pernafasan dangkal, dispneu, suara nafas ronkhi, pucat, sianosis,
sedangkan gejalanya sulit bernafas dan nafas pendek.
Keamanan pada penderita Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai
dengan Gejala suhu yang berfluktuasi ( suhu tubuh ini diambil dalam suhu
kamar ).
Seksualitas pada pendertia Trauma Medulla Spinalis adalah ditandai
dengan menstruasi tidak teratur pada wanita, ereksi tidak terkendali pada
pria, sedangkan gejalanya adanya keinginan kembali seperti fungsi normal.

D.Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan Diagnostik pada penderita Trauma Medulla Spinalis
menurut Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan
Keperawatan , Edisi 3, EGC, Jakarta adalah : 1). Sinar X Spinal :
menentukan lokasi dan jenis cedera tulang, untuk kesejajaran operasi; 2).
CT-SCAN : menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi gangguan
struktural; 3). MRI : mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema
dan komprasi; 4). Myelografi : memperlihatkan columna spinal jika fraktur
patologisnya tidak jelas atau dicurigai; 5). Foto Rontgen Torax :
memperlihatkan keadaan paru ( contoh : perubahan pada diafragma,
ateletaksis ).

3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan Pada Penderita Trauma Medulla Spinalis Menurut


Marylinn E. Doengoes, et.al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC,
Jakarta adalah :
1. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan
kerusakan persarafan dari diafragma.

29
2. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan kelemahan
temporer.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
4. Perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus sensori.
5. Adanya nyeri berhubungan dengan cedera psikis.
6. Antisipasi berduka berhubungan dengan kehilangan yang dirasakan / aktual
tentang kesejahteraan fisiopsikologis.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan cedera traumatik, krisis situasional.
8. Inkontinensia usus / konstipasi berhubungan dengan persyarafan pada usus
dan rektum.
9. Perubahan pola eliminasi urinarius berhubungan dengan gangguan
persyarafan pada kandung kemih, hipotoni kandung kemih.
10. Resiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan perubahan fungsi
syaraf ( cedera medulla spinalis pada Torakal 6 dan di atasnya ).
11. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
ketidak adekuatan sirkulasi perifer.
12. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai
kondisi prognosis dan pengobatan.

3.3 INTERVENSI / PERENCANAAN

Perencanaan merupakan tahap ke-3 dalam proses keperawatan, pada tahap


ini menentukan prioritas masalah keperawatan yang dapat disesuaikan dengan
hirarki kebutuhan dasar Maslow, Tujuan yang akan dicapai dan merencanakan
tindakan, keperawatan serta menentukan kriteria hasil.
Rencana keperawatan Trauma Medulla Spinalis menurut Marylinn E.
Doengos, et.al, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.
Yaitu :

1. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan


kerusakan persarafan diafragma. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan jalan nafas kembali normal.
Kriteria Hasilnya Jalan nafas paten, dispneu hilang, syanosis bunyi nafas
normal, Frekuensi pernafasan normal ( 16-20 x / mnt).
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :

30
 Pertahankan jalan nafas : posisi kepala dalam keadaan netral,
tinggikan sedikit posisi kepala tempat tidur. Rasionalnya pasien
dengan trauma servikal bagian atas dan gangguan muntah/batuk
akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi.
 Auskultasi suara nafas. Rasionalnya hipoventilasi biasanya
menyebabkan akumulasi/pneumonia.
 Anjurkan batuk efektif. Rasionalnya untuk memperlancar jalan
nafas.
 Observasi warna kulit; adanya syanosis. Rasionalnya
menggambarkan akan terjadi gagal nafas yang memerlukan evaluasi
dan intervensi medis dengan segera.
2. Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan kelemahan
temporer. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x
24 jam diharapkan trauma tambahan tidak terjadi. Kriteria hasilnya trauma
tidak terjadi, mempertahankan kesejajaran yang tepat dari spinal.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Pertahankan tirah baring. Rasionalnya menjaga kestabilan dari
columna vertebra dan membantu proses penyembuhan.
 Ganti posisi secara periodik. Rasionalnya mempertahankan posisi
kolumna spinal yang tepat sehingga mengurangi resiko terjadinya
trauma.
 Gunakan penyokong / pelindung pada sisi tempat tidur.
Rasionalnya untuk mencegah terjadinya trauma.
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan kontraktur tidak terjadi, kekuatan tonus otot meningkat. Kriteria
Hasil kontraktur tidak terjadi, kekuatan tonus otot ( motorik ) meningkat,
mendemonstrasikan tehnik/perilaku yang memungkinkan melakukan
kembali aktivitas.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasionalnya mengevaluasi
keadaan secara khusus.

31
 Bantu / lakukan latihan ROM pada semua extremitas. Rasionalnya
meningkatkan sirkulasi, mempertahankan tonus otot dan mobilisasi
sendi.
 Ajarkan tehnik relaksasi. Rasionalnya mengurangi
tekanan/ketegangan otot, kelelahan dan membantu mengurangi
nyeri, spasme otot.
 Inspeksi area kulit tiap 1x24 jam. Rasionalnya gangguan sirkulasi,
hilangnya sensasi kelumpuhan merupakan resiko tinggi terjadinya
luka.
4. Perubahan sensori-perseptual berhubungan dengan kerusakan traktus
sensori. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24
jam diharapkan kerusakan sensori-perseptual tidak terjadi. .Kriteria Hasil
mengenali kerusakan sensori-perseptual, mengidentifikasi perilaku untuk
mengkompensasi kekurangan.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Kaji fungsi sensori klien. Rasionalnya perubahan mungkin tidak
terjadi selama fase akut tetapi saat syok spinal membaik, digunakan
kartu dermatom/tanda peta anatomik.
 Lindungi diri dari bahaya tubuh. Rasionalnya pasien mungkin tidak
merasakan nyeri/tidak sadar tentang posisi tubuh.
 Berikan aktifitas hiburan. Rasionalnya membatu mempertahankan
orientasi realita dan memberikan rasa normal tiap hari.
5. Adanya nyeri berhubungan dengan cemas psikis. Tujuannya Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri hilang
/ terkontrol. Kriteria Hasil Nyeri hilang / terkontrol, Wajah tampak tenang,
rileks, Istirahat / tidur terpenuhi.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Kaji tingkat nyeri. Rasionalnya untuk mengantisipasi terjadinya
spasme otot, cedera dan nyeri di bawah tingkat cedera.
 Ajarkan tehnik relaksasi. Rasionalnya mengurangi ketegangan otot
dan mengurangi nyeri.
 Evaluasi peningkatan iritabilitas, tegangan otot dan perubahan vital
sign. Rasionalnya petunjuk non verbal dari nyeri / ketidaknyamanan
memerlukan intervensi.

32
6. Antisipasi berduka berhubungan dengan kehilangan yang diraskan/actual
tentang kesejahteraan fisiopsikologis. Tujuannya Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan rasa berduka
hilang/terkontrol. Kriteria Hasil pola tidur adekuat, komunikasi kooperatif,
rasa berduka hilang/terkontrol, wajah ceria. Adapun Rencana Tindakan
Keperawatannya adalah :
 Identifikasi tanda-tanda duka. Rasionalnya pasien mengalami
banyak rekasi emosional terhadap cedera dan dampak
aktualisasi/potensi pada hidup.
 Pantau pola komuniaksi. Rasionalnya syok spinal adalah reaksi awal
berkenaan dengan cedera yang berlebihan.
 Berikan informasi sederhana dan akurat pada pasien berkenaan
dengan perawatannya. Rasionalnya kesadaran pasien tentang
sekitarnya dan aktifitas mungkin terhambat pada awalnya.
Dukungan emosional pada fokus awal diarahkan pada orang
terdekat.
7. Harga diri rendah berhubungan dengan cedera traumatik. Tujuannya Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan percaya diri
klien meningkat. Kriteria Hasil klien dapat mengungkapkan penerimaan diri
sendiri dalam situasi, mengembangkan rencana realitas untuk beradaptasi
pada peran/perubahan peran baru. Adapun rencana tindakan
keperawatannya adalah :
 Dengarkan keluhan klien. Rasionalnya memberikan petunjuk bagi
pasien dalam memandang dirinya, adanya perubahan peran dan
kebutuhan dan berguna untuk memberikan informasi pada saat tahap
penerimaan.
 Berikan arti kehilangan /perubahan. Rasionalnya perubahan yang
actual dari gambaran diri pasien mungkin berbeda dari yang
dirasakan.
 Libatkan pasien/orang terdekat dalam perawatan, biarkan pasien
membuat keputusan dan berperan dalam aktifitas serta perawatan
diri. Rasionalnya meyakinkan bahwa pasien masih bertanggung
jawab atas kehidupan sendiri dan memberikan perasaan untuk dapat
mengatur keadaan/situasi diri.

33
8. Inkontinensia usus / konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan
pada usus dan rectum. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24
jam diharapkan eliminasi BAB kembali normal. Kriteria hasilnya bising
usus ada, BAB lancar 1-2x/hari, tidak terjadi distensi abdomen.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Auskultasi bising usus. Rasionalnya hilangnya bising usus
menandakan adanya paralitik ileus.
 Anjurkan klien untuk makan makanan yang tinggi serat.
Rasionalnya mengkatkan konsistensi feses untuk dapat melewati
usus dan cepat dan mudah.
 Observasi adanya distensi abdomen. Rasionalnya hilangnya
peristaltik melumpuhkan usus dan membuat distensi ileus dan usus.
 Beri perawatan kulit. Rasionalnya hilangnya kontrol sfingter ani dan
saraf didaerah tertentu beresiko tinggi untuk iritasi / kerusakan kulit.
9. Perubahan pola eliminasi urinarius berhubungan dengan gangguan
persarafan kandung kemih dan hipotoni kandung kemih. Tujuannya setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan persarafan
kandung kemih kembali normal. Dengan kriteria hasil tidak terjadi distensi
kandung kemih, pola berkemih klien kembali normal, warna urine kuning
jernih.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Kaji pola berkemih klien. Rasionalnya mengidentifikasi fungsi
kandung kemih.
 Palpasi adanya distensi kandung kemih. Rasionalnya disfungsi
kandung kemih bervariasi, ketidak mampuan berhubungan dengan
hilangnya kontrakasi kandung kemih untuk merilekskan sfingter
urinarius.
 Anjurkan klien untuk minum + 2-4 liter/hari. Rasionalnya
membantu mempertahankan fungsi ginjal, mencegah infeksi dan
pembentukan batu.
 Observasi adanya urine seperti berdarah, bau yang tidak enak.
Rasionalnya tanda-tanda infeksi saluran perkemihan / ginjal dapat
menyebabkan sepsis.

34
 Berikan perawatan kateter dan bersihkan daerah perineum.
Rasionalnya menurunkan resiko terjadinya infeksi dan iritasi kulit /
kerusakan kulit.
10. Resiko tinggi terhadap disrefleksia berhubungan dengan perubahan fungsi
saraf ( cedera medulla spinalis pada Torakal 6 dan di atasnya ). Tujuannya
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
disrefleksia tidak terjadi. Dengan kriteria hasil tidak terjadi spasme otot,
tidak ada infeksi kandung kemih, tanda-tanda vital dalam batas normal.
Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Observasi tanda-tanda vital. Rasionalnya terapi/pengurangan
terhadap stimulus yang berlebihan dapat menyebabkan hipotensi,
takikardi.
 Berikan posisi semi fowler. Rasionalnya dengan terjadinya hipotensi
dapat mencegah perdarahan intra kranial, kejang/meninggal
 Dampingi klien selama fase ini. Rasionalnya potensial untuk
terjadinya komplikasi sangat fatal, pemantauan / intervensi yang
terus-menerus dapat mengurangi kecemasan klien.
11. Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
ketidak adekuatan sirkulasi perifer. Tujuannya setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam diharapkan keutuhan kulit terjaga. Kriteria
hasil tumbuh jaringan baru, tidak ada jaringan kulit yang terbuka. Adapun
rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Inspeksi area kulit. Rasionalnya kulit biasanya cenderung rusak
karena perubahan sirkulasi perifer.
 Lakukan masase pada daerah punggung. Rasionalnya dapat
meningkatkan sirkulasi dan melindungi permukaan kulit dan
mengurangi terjadinya ulserasi.
 Lakukan perawatan luka. Rasionalnya untuk mencegah terjadinya
infeksi.
 Jagalah alat tenun tetap kering. Rasionalnya meningkatkan sirkulasi
pada kulit dan mengurangi tekanan pada daerah tulang yang
menonjol.
12. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya Informasi mengenai
kondisi dan kebutuhan tindakan. Tujuannya Setelah dilakukan tindakan

35
keperawatan selama 1 x 60 menit diharapkan klein mengerti dan memahami
kondisi, pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta cara pencegahan
penyakit. Kriteria hasil menyatakan pemahaman kondisi, pengertian,
penyebab, tanda dan gejala, cara pencegahan dan pengobatan penyakit.
Melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan. Adapun rencana tindakan keperawatannya adalah :
 Berikan Informasi dalam bentuk tertulis dan verbal. Rasional
kelemahan dan depresi dapat mempengaruhi kemampuan untuk
mengasimilasi informasi / mengikuti program medik.
 Berikan informasi dan demonstrasikan tehnik posisi Rasionalnya
meningkatkan pemahaman klien, meningkatkan sirkulasi dan
mengurangi tekanan pada jaringan serta resiko terjadinya
komplikasi.
 Diskusikan aspek ketidak mampuan dari penyakit, lamanya
penyembuhan dan harapan kesembuhan. Rasional informasi dapat
meningkatkan koping dan membantu menurunkan ansietas dan
masalah berlebihan.

4. EVALUASI
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan. Dengan adanya
evaluasi dapat mengetahui sejauh mana tujuan keperawatan tercapai sehingga dapat
memutuskan apakah rencana tindakan keperawatan dapat dihentikan, dipertahankan,
dilanjutkan / dimodifikasi.
Evaluasi pada Trauma Medulla Spinalis dari masing-masing Diagnosa
Keperawatan adalah sebagai berikut :

Diagnosa 1
Evaluasi yang diharapkan adalah jalan nafas adekuat, bunyi nafas normal,
tidak ada dispneu dan sianosis, frekuensi pernafasan normal.

Diagnosa 2
Evaluasi yang diharapkan trauma tidak terjadi, dapat mempertahankan
kesejajaran yang tepat dari spinal.

Diagnosa 3

36
Evaluasi yang diharapkan adalah kontraktur tidak terjadi, kekuatan tonus
otot meningkat, mendemostrasikan tehnik / perilaku yang memungkinkan
melakukan kembali aktifitas.

Diagnosa 4
Evaluasi yang diharapkan adalah mengenal kerusakan sensori,
mengidentifikasi perilaku untuk mengkompensasi kekurangan.

Diagnosa 5
Evaluasi yang diharapkan adalah nyeri hilang/terkontrol, wajah tampak
rilex, istirahat/tidur dan peningkatan aktivitas dengan tepat

Diagnosa 6
Evaluasi yang diharapkan adalah pola tidur adekuat, komunikasi kooperatif,
ekspresi wajah ceria, cemas hilang dan sedih hilang.

Diagnosa 7
Evaluasi yang diharapkan adalah penerimaan diri sendiri dalam situasi,
mengembangkan rencana realitas untuk beradaptasi pada peran/perubahan peran
baru.

Diagnosa 8
Evaluasi yang diharapkan adalah bising usus ada, BAB normal 1-2 x / hari,
tidak terjadi distensi abdomen.

Diagnosa 9
Evaluasi yang diharapkan adalah tidak terjadi distensi kandung kemih, pola
berkemih klien kembali normal, warna urine kuning jernih.

Diagnosa 10
Evaluasi yang diharapkan adalah tidak terjadi spasme otot, tidak ada infeksi
dalam kandung kemih, tanda-tanda vital dalam batas normal.
Diagnosa 11
Evaluasi yang diharapkan adalah keutuhan kulit terjaga, tumbuh jaringan
baru, tidak ada jaringan kulit yang tebuka dan infeksi tidak terjadi.

Diagnosa 12
Evaluasi yang diharapkan adalah menyatakan pemahaman kondisi,
pengertian, penyebab, tanda dan gejala, cara pencegahan dan pengobatan penyakit

37
serta melakukan perubahan pola hidup dan berpartisipasi dalam program
pengobatan.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Trauma Medulla Spinalis adalah suatu fraktur atau pergeseran dari satu/lebih tulang
vertebra yang menyebabkan kerusakan medulla spinalis dan akar-akar saraf sehingga

38
mengakibatkan defisit neurologis dan perubahan persepsi sensori / paralisis atau
keduanya. ( Wahyu Widagdo, 1995 ).
Trauma medulla spinalis pada daerah lumbal pertama akan mengakibatkan
kelumpuhan semua area extremitas bawah, menyebar sampai lipat paha dan bagian
belakang dari bokong. Komplikasi yang di timbulkan adalah kelumpuhan permanen,
sehingga memerlukan perawatan yang kontinue dan lama serta mengeluarkan biaya
yang sangat besar bila akan dilaksanakan operasi.
Medula spinalis adalah bagian dari susunan saraf pusat yang seluruhnya terletak
dalam kanalis vertebralis, dikelilingi oleh tiga lapis selaput pembungkus yang disebut
meningen

4.2 Saran

Adapun saran dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :


1. Diharapkan sebagai seorang perawat mampu memberikan asuhan keperawatan
dengan pendekatan yang komprehensif demi tercapainya asuhan keperawatan yang
optimal serta perlunya meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar dapat
melaksanakan asuhan keperawatan kepada klien dengan cermat,cepat dan tepat.
2. Diharapkan dapat meningkatkan ilmu dan wawasan kepada para pembaca tentang
asuhan keperawatan trauma medulla spinalis
3. Diharapkan dengan adanya makalah ini, dapat dijadikan acuan dalam peningkatan
pendidikan dan pengetahuan dalam pemberian asuhan keperawatan medical bedah
yang optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Marylinn E. Doengoes, et. al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Brunner and Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Edisi 8, Volume 3,
EGC, Jakarta.

39
Carpenito Lynda Juall, 1998, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Edisi 2,
EGC, Jakarta.

Doengoes E Marylinn., et.al, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.

Guyton, 1994, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, EGC, Jakarta.

Hudak and Gallo, 1996, Keperawatan Kritis, Edisi VI, Volume 2, EGC, Jakarta.

.Isselbacher Kurt J, A.B, M.D, 2000, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam,
Edisi 13, Volume 5, EGC, Jakarta.

Wilson Sylvia, et.al, 1995, Patofisiologi Klinis-klinis Penyakit, Edisi 1, Volume 2, EGC,
Jakarta.

Wahyu Widagdo, 1995, Rencana Asuhan Keperawatan Neurologis, DEPKES RI, Jakarta.

40
41

Anda mungkin juga menyukai