Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan tugas mata kuliah Keperawatan Gawat
Darurat

KELOMPOK 4
1. Dwinanda Mulia Putri
2. Icha Intan Permata Sari
3. Intan Rafika sari
4. Miranda Sari
5. Novria Wulandari
6. Putri Ayundhari Anwar
7. Sarah Afriana

DOSEN PENGAMPU
Ns. Lola Despitasari , M.Kep.

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan askep dengan judul
“Asuhan Keperawatan Gawat Darurat” dengan baik dan tepat waktu. Adapun
pembuatan laporan ini dilakukan sebagai pemenuhan nilai tugas dari mata kuliah
Keperawatan Gawat Darurat. Selain itu, pembuatan laporan ini juga bertujuan untuk
memberikan manfaat yang berguna bagi ilmu pengetahuan. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dan membantu dalam pembuatan
makalah sehingga semua dapat terselesaikan dengan baik dan lancar.
Selain itu, penulis juga mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
terhadap kekurangan dalam laporan agar selanjutnya penulis dapat memberikan karya
yang lebih baik dan sempurna. Semoga laporan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
pengetahuan para pembaca.

Padang, 22 Mei 2021

Penulis
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................
1.2 Tujuan Umum.........................................................................................
1.3 Tujuan Khusus........................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar
1. Pengertian..............................................................................................
2. Etiologi...................................................................................................
3. Manifestasi Klinik..................................................................................
4. Klasifikasi..............................................................................................
5. Komplikasi.............................................................................................
6. Patofisiologi …………………………………………………………..
7. Penatalaksanaan ………………………………………………………
8. Pemeriksaan Penunjang ………………………………………………
9. WOC ………………………………………………………………….
Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat
1. Pengakajian............................................................................................
1.1 Pengkajian Primer ……………………………………………..
1.1.1 Diagnosa …………………………………………………
1.1.2 Intervensi ………………………………………………...
1.1.3 Implementasi …………………………………………….
1.2 Pengkajian Sekunder …………………………………………..
1.3 Riwayat Kesehatan Sekarang ………………………………….
1.4 Riwayat Kesehatan Dulu ………………………………………
1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga ………………………………….
1.6 Pemeriksaan Fisik ……………………………………………..
1.6.1 Diagnosa …………………………………………………
1.6.2 Intervensi ………………………………………………...
1.6.3 Implementasi …………………………………………….

BAB III Penutup


Kesimpulan …………………………………………………………...
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Cidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2
dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan
sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Cidera medulla spinalis
diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan
tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter (Marilynn E.
Doenges,1999;338).
Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000
orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap
tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari
seluruh cedera (Suzanne C. Smeltzer,2001;2220). Data dari bagian rekam medik
Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari
Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah
berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla
spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).
Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih
banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahan hormonal (menopause) (di kutip dari Medical Surgical Nursing, Charlene J.
Reeves,1999). Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada
L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan
dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko
mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena, profunda,
gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat
merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitative sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah
yang paling buruk.
2. TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi trauma
2. Untuk mengetahui etiologi trauma spinal?
3. Untuk mengetahui manifestasi klinis trauma spinal?
4. Untuk mengetahui klasifikasi trauma spinal?
5. Untuk mengetahui pathway trauma spinal?
6. Untuk mengetahui patofisiologis trauma spinal?
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dasar
1. Pengertian
Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang di
akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan
saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau
inkomplet (Tarwato, 2007). Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada
sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau
permanen, perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera
tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering mengalami
kecacatan (Lawrence, 2014).
2. Etiologi
Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi kolumna vertebra
yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher. Kerusakan dapat mengenai
seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah satu belahan dan bisa terjadi pada
setiap level (Kowalak, 2011). Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi
neurologis akibat trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga
mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Trauma
Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah akibat trauma
langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang
belakang dala melindungi saraf-saraf yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka
tembak dan terbentur benda keras (Muttaqin, 2008). Trauma Medula Spinalis
dibedakan menjadi 2 macam yaitu :
1. Cedera medula spinalis traumatik
Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera medula
spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam
defisit motorik dan sensorik atau paralisis.
2. Cedera medula spinalis non traumatik
Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan
kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula
spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius
dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik
dan gangguan kongenital dan perkembangan.
Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula spinalis adalah
sebagai berikut:
1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering)
2. Olahraga
3. Menyelam pada air dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam
Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti
spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit yang
mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar; mielitis akibat
inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur
kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit
vaskuler.
3. Manifestasi Klinik
Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan lokasi
kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter,
hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan proprioseption, hilangnya fungsi
bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.
1. Perubahan reflex
Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis sehingga stimulus
refleks juga terganggu misalnya rfeleks p[ada blader, refleks ejakulasi dan aktivitas
viseral.
2. Spasme otot
Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana pasien
trejadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
3. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis
kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses.
4. Autonomik dysrefleksia
Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom
seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal, distensi bladder.
5. Gangguan fungsi seksual.
Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki adanya impotensi, menurunnya sensai
dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagai berikut:
1. Pernapasan dangkal
2. Penggunaan otot-otot pernapasan
3. Pergerakan dinding dada
4. Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
5. Bradikardi
6. Kulit teraba hangat dan kering
7. Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu
tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
8. Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak
9. Kehilangan sensasi
10. Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau quadriparesis/quadriplegia
11. Adanya spasme otot, kekakuan
Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)
1. Kelemahan otot
2. Adanya deformitas tulang belakang
3. Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
4. Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
5. Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses,
6. Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)

4. Klasifikasi
Menurut Batticaca (2008) trauma medula spinalis dapat diklasifikasi menjadi 2 macam,
yaitu:
1. Cedera tulang
a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan tulang untuk
bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak serta
ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal
posterior tidak robek.
b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang yang terlalu
jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak
keutuhan arkus neural.
2. Cedera neurologis
a. Tanpa defisit neurologis
b. Disertai defisit neurologis
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical
Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart
Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis.
Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP
dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif.
Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai berikut:
1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap
(complete loss).
2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.
3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak
berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak
dengan nomal "gait").
5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.
Cedera umum medula spinalis dapat dibagi menjadi komplit dan Inkomplit
berdasarkan ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan dibawah lesi. Terdapat 5 sindrom
utama cedera medula spinalis inkomplit menurut American Spinal Cord Injury
Association yaitu:

Nama sindroma Pola dari lesi saraf kerusakan


Central Cord Syndrome Cedera pada posisi central Menyebar ke daerah sacral
dan Sebagian daerah lateral kelemahan otot ekstremitas
sering terjadi pada trauma atas lebih berat dari
daerah servikal ekstremitas bawah
Anterior Cord Syndrome Cidera pada sisi anterior Kehilangan perioperative
dan posterior dari medulla dan kehilangan fungs
spinalis cedera akan imotorik secara ipsilateral
menghasilkan gangguan
spinalis unilateral
Brown Sequard Syndrome Kerusakan pada interior Kehilangan fungsi motoric
daerah putih dan abu-abu dan sensorik secara
modula spinalis komplit
Cauda Equina Syndrome Kerusakan pada posterior Kerusakan propriotif
dan daerah putih dan diskriminasi dan getaran
modula spinalis fungsi motoric juga
terganggu

Posterior Cord Syndrome Kerusakan pada saraf Kerusakan sensori dan


lumbal atau sacral sampai lumpuh flaccid pada
ujung medulla spinalis ekstremitas bawah dan
control berkemih dan
defekasi

Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


1. Complete injury
Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi sensorik dan
motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari mekanisme cedera, jenis
cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau robekan lengkap pada sumsum tulang
belakang yang menghasilkan dua kondisi:
a. Tetraplegia
Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual tergantung
pada segmen servikal yang terpengaruh.
b. Paraplegia
Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya fungsi sensorik
dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun sacral
2. Incomplete injury
Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam keadaan
baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral S4-S5 (Kirshblum dkk,
2011).
Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan
cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan
pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla spinalis, trauma medulla spinalis
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Complete transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus
menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah level
terjadinya transection semua terganggu dan terjadi kerusakan permanen.
Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa tetraplegia
pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi
flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level trabsseksi.
Kandung kemih dan susu atoni sehingga menyebabkan ileus paralitik.
Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan
darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi
menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.
2. Incomplete transaction : Central cord syndrome
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak
pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan
kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah
adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis
stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh
kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa
fraktur tulang servikal atau dislokasi. Gambaran khas Central Cord Syndrome
adalah kelemahan yang lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding
ektremitas bawah. Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat,
sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering
dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama disebabkan karena
pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling
hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.
3. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi
dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi,
vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome
disebabkan infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri
spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera
inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi
tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.
4. Brown Sequard Syndrome
Sindrome ini terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat
luka tembus. Namun variasi gambaran klasik tidak jarang terjadi. Pada kasus
murni, sindrom ini terdiri dari kehilangan sistem motorik ipsilateral (traktus
kortikospinalis) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna posterior), disertai
dengan hilangnya sensasi suhu serta nyeri kontralateral mulai satu atau dua
level di bawah level trauma (traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini
disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih
mungkin untuk terjadi perbaikan.
Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan
fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan
kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.

6. Komplikasi
Kerusakan medula spinalis dari komorsio sementara (dimana pasien sembuh
sempurna) sampai kontusio, laserasi, dan komperensi substansi medulla baik
salah satu atau dalam kombinasi), sampai transaksi lengkap medula (yang
membuat pasien paralisis dibawah tingkat cidera).
Bila hemoragi terjadi pada daerah spinalis, darah dapat merembes keekstra
dural, subdural, atau daerah subarakhloid pada kanal spinal. Setelah terjadi
kontisio atau robekan akibat cidera, serabut-serabut saraf mulai membengkak
dan hancur. Sirkulsi darah kesubtansia grisea medula spinalis menjadi
terganggu.
Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami herniasi
nukleus pulposus. Kandungan air diskus berkurang bersamaa dengan
bertambahnya usia. Selain itu, serabut-serabut itu menjadi kasar dan
mengalami hialinisasi yang ikut membantu terjadinya perubahan kearah hernia
nukleus pulposus melalui anulus, dan menekan radiks saraf spinal.
1. Pendarahan mikroskopik
Pada semua cedera madula spinalis atau vertebra, terjadi perdarahan-
perdarahan kecil. Yang disertai reaksi peradangan, sehingga menyebabkan
pembengkakan dan edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan
tekanan didalam dan disekitar korda. Peningkatan tekanan menekan saraf
dan menghambat aliran darah sehingga terjadi hipoksia dan secara drastis
meningkatkan luas cidera korda. Dapat timbul jaringan ikat sehingga saraf
didarah tersebut terhambat atau terjerat.
2. Hilangnya sensasi, kontrol motorik, dan refleks.
Pada cedera spinal yang parah, sensasi, kontrol motorik, dan refleks
setinggi dan dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks
disebut syok spinal. Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda
dapat meluas kedua segmen diatas kedua cidera. Dengan demkian
lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok spinal dapat terjadi
mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spnal biasanya menghilang
sendiri, tetap hilangnya kontrol sensorik dan motorik akan tetap permanen
apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang
parah.
3. Syok spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua
segmen diatas dan dibawah tempat cidera. Refleks-refleks yang hilang
adalah refleks yang mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum,
tekanan darah, dan pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat
hilangnya secara akut semua muatan tonik yang secara normal dibawah
neuron asendens dari otak, yang bekerja untuk mempertahankan fungsi
refleks. Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan 12 hari, tetapi dapat
lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul hiperreflekssia, yang
ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung kemih dan
rektum.
4. Hiperrefleksia otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar
refleks, yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia
otonom dapat timbul setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu
rangsangan sensorik nyeri disalurkan kekorda spnalis dan mencetukan
suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem saraf simpatis. Dengan
diaktifkannya sistem simpatis, maka terjadi konstriksi pembuluh-
pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah.
Pada orang yang korda spinalisnya utuh, tekanan darahnya akan
segera diketahui oleh baroreseptor. Sebagai respon terhadap pengaktifan
baroreseptor, pusat kardiovaskuler diotak akan meningkatkan stimulasi
parasimpatis kejantung sehingga kecepatan denyut jantunhg
melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi dilatasi
pembuluh darah. Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara
cepat memulihkan tekanan darah kenormal. Pada individu yang
mengalami lesi korda, pengaktifan parasimpatis akan memperlambat
kecepatan denyut jantung dan vasodilatasi diatas tempat cedera, namun
saraf desendens tidak dapat melewati lesi korda sehngga vasokontriksi
akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus berlangsung.
Pada hiperrefleksia otonom, tekanan darah dapat meningkat melebihi
200 mmHg sistolik, sehingga terjadi stroke atau infark miokardium.
Rangsangan biasanya menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi
kandung kemih atau rektum,atau stimulasi reseptor-reseptor permukaan
untuk nyeri.
5. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter. Pada
transeksi korda spinal, paralisis bersifat permanen. Paralisis ekstremitas
atas dan bawah terjadi pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi
dan disebut kuadriplegia. Paralisis separuh bawah tubuh terjadi pada
transeksi korda dibawah C6 dan disebut paraplegia. Apabila hanya
separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi hemiparalisis.
6. Autonomic Dysreflexia
Terjadi adanya lesi diatas T6 dan Cervical. Bradikardia, hipertensi
paroksimal, berkeringat banyak, sakit kepala berat, goose flesh, nasal
stuffness
7. Fungsi Seksual
Impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi, pada wanita
kenikmatan seksual berubah
8. Syok hipovolemik
Akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke Jaringan yang
rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
9. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka
atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh
pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
10. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan
bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian
menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal,
dan organ lain

7. Patofisiologi
Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau
menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak
berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh
kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema,
perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan
medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat
dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula
spinalis.
Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut
saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea
medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada
cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu
rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema,
dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin
dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi
medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6
jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki,
maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan
kortikosteroid dan obat- obat anti-inflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk
mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya,masuk kedalam
kerusakan total dan menetap.
8. Penatalaksanaan
1. Penatalaksaan medis
Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam
posisi lurus:
a. Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan
agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan
pasien.
b. Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan
Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.
c. Tirah baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur
servikal stabil ringan.
d. Pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington)
untuk mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui
spinal tidak aktif. Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada
medula spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan pada neurologis,
kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan
fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi
b. Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya
c. Pemeriksaan diagnostik
d. Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation).

9. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di
rumah sakit
2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan,
gangguan gerakan(terutama leher)
3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal
diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).
a. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk
kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.
b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan
pada diafragma, atelektasis)
4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi harus
dilakukan MRI atau mielografi.
a. CT-Scan
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
b. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
c. Mielografi
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor
putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub
anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah
mengalami luka penetrasi).
5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume
inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah
atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).
6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi
7. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan
elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt.
8 Urodinamik, proses pengosongan bladder.
10. WOC

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat

1. Pengakajian
1.1 Pengkajian Primer (Airway,Breathing,Circulation,Disability,Exposure)
a. Airway
Control servical (adanya desakan otot diafragma dan interkosta
sehingga mengganggu jalan nafas)
b. Breathing
Control ventelasi (adanya pernafasan dangkal dan penggunaan otot-
otot bantu pernafasan)
c. Circulation
Adanya hipotensi, bradikardi, poikilotermi
d. Disability
Kaji sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan
sensasi, dan kelemahan otot
e. Exposure
Buka pakaian pasien dan selimuti, periksa secara menyeluruh dan
teliti mulai dari kepala sampai kaki

1.1.1 Diagnosa keperawatan

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala


b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan cedera padamedula spinalis
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi
perfusi
d. Resiko aspirasi berhubungan dengan cedera medulla spinalis
e. Perfusi perifer tidak efektifberhubungan dengan kurang terpapar informasi
tentang factor pemberat (mis: merokok, gaya hidup monoton, trauma,
obesitas, asupan garam, imobilitas)
f. Resiko gangguan sirkulasi spontan berhubungan dengan trauma
g. Resiko pendarahan berhubungan dengan trauma
h. Resiko perfusi selebral tidak efektif berhubungan dengan cedera kepala
i. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (mis: abses,
amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma,
latihan fisik berlebhan.
j. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan gangguan muskuloskletal
k. Gangguan menelan berhubungan dengan keruskan saraf kranialis V, VII, IX,
X, XI.
1.1.2 Intervensi keperawatan
Diagnose Slki Siki
l. Bersihan Bersihan jalan nafas: Manajemen jalan nafas:
jalan - Membaik frekuensi Observasi :
nafas nafas - Monitor pol nafas
tidak - Membaik pola ( frekuensi, kedalaman,
efektif nafas usaha nafas)
berhubun - Monitor bunyi nafas
gan tambahan (mis: gungling,
dengan wheezing, ronki kering)
cedera - Monitor sputum (jumlah,
kepala warna aroma)
Terapetik
- Pertahankan kepatenan
jalan nafas dengan head-
lift ( jau-thrust jika curiga
trauma servikal)
- Posisikan semi fowler atau
fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan penghisapan
lender kurang dari 15
detik
- Lakukan hiperosigenasi
sebelum penghisapan
endotrakeal
- Berikan oksigen jika peril

Edukasi
- Anjurkan asupan cairan
2000 ml/ hari jika idak
kontraindikasi
- Ajarkan teknik batuk
efektif
Klaborasi
- Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik,
jika perlu.
b. Pola nafas tidak Pola nafas: Pemantauan respirasi
efektif bd cedera - Meningkat ventilasi Observasi :
padamedula spinalis semenit - Monitor frekuensi, irama,
- Kapasitas vital kedalaman, dn upaya
meningkat nafas
- Diameter torhak - Monitor pola nafas
anterior posterior (seperti bradipnie,
meningkat takipnie, hiperventilasi,
- Tekanan ekspirasi kussmeul, cheyne-stokes,
meningkat biok, ataksit)
- Tekanan insprasi - Monitor adanya produksi
meningkat sputum
- Penggunaanotot - Monitor adanya sumbatan
bantu nafas jalan nafas
menurun - Palpasi kesemetrisn
- Pernapasan pursed- ekpansi paru
tip menurun - Auskultasi bunyi nafas
- Frekuensi nafas - Monitor saturasi oksigen
membaik - Monitor nilai AGD
- Kedalaman nafas - Monitor hasil x-ray toraks
membaik Terapetik
- Atur interfalpemantauan
respirasi sesuai kodisi
asien
- Dokumentasi
hasilpemantauan
Edukasi ;
- Jelaskan prosedur dan
tujuan pematauan
- Informasikan hasil
pemantauan jika perlu
a. Perfusi Tingkat cedera Perawatan sirkuasi
perifer tidak - Toleransi aktivias Observasi :
efektif meningkat - Periks sirkulasi perifer
berhubungan - Nafsu makan (mis: nadi perifer, edema,
dengan meningkat pengikisan kapiler, warna,
kurang - Toleransi makan suhu,ankle brakel index)
terpapar meningkat - Identifiksi factor resiko
informasi - Luka/lecet menurun gangguan sirkulasi ( mis:
tentang factor - Ketegangan otot diabetes, perokok, orang
pemberat menurun tus, hipertensi, dan kadar
(mis: - Fraktur menurun kolesterol tinggi)
merokok, - Perdarahan Terapetik
gaya hidup menurun - Hindri pemasangan infus
monoton, - Ekspresi wajah pada area keterbatasan
trauma, kesakitan menurun perfusi
obesitas, - Gangguan kognitif - Hindari penekanan dan
asupan menurun pemasangan tourniket
garam, - Tekanan darah pada area yang cedera
imobilitas) membaik - Laukan pencegahan
- Frekuensi nadi infeksi
membaik - Lakukan perawatan kaki
- Frekuensi nafas dan kuku
membaik Edukasi :
- Pola isrtirahat tidur - Anjurkan berhenti
membaik. merokok
- Anjurkan olahraga rutin
- Ajarkan program diet
untuk memperbiki
sirkulasi (mis: rendah
lemakjenuh, minyak ikan
omega 3)
- Informasikan tanda dan
gejalayang darurat yang
harus dilaporkan ( mis:
rasasakit yang tidak hilang
saat istirahat, lukan tidak
sembuh)

1.1.3 Implementasi dan evaluasi

Imlementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharabkan.

Sedangkan evaluasi keperawatan adalah langkah terakhir dari proses


keperawatan untuk mengetahui sejauhmana tujuan dari rencana keperwatan
tercapai, evluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang
teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan.

1.2 Pengkajian Sekunder


a. Aktifitas dan Istirahat
Ds : - Klien Mengatakan Kesulitan Dalam Bernafas
-Klien Mengatakan Tidak Mampu Untuk Beraktifitas
-Klien Mengatakan Mudah Lelah
-Klien mengatakan kesulitan dalam istirahat
Do : -Perubahan tonus otot
-Kelemahan Otot

b. Sirkulasi
Do : -Hipotesis
-Bradikardi
-Ekstremitas dingin
-Pucat
c. Eliminasi
Ds : -Klien mengatakan kesulitan BAK dan BAB
Do : -Retensi urin
-Distensi Abdomen
-Peristaltik usus hilang
-Melena
-Emisis bewarna
-Hematemesis
d. Makanan dan Cairan
Ds : -Klien mengatakan nafsu makannya berkurang
Do : -Porsi makan tidak dihabiskan
e. Personal Hygiene
Ds : -Klien mengatakan tidak mampu melakukan aktifitas perawatan diri
Do : -Aktifitas dibantu oleh keluarga
f. Neurosensory
Do : -Kehilangan sensasi (derajat berfariaasi dapat Kembali normal setelah
syok spinal sembuh)
-Kehilangan tonus otot/vasomotor, kehilangan reflek perubahan reaksi
pupil, ptosis, hilang nya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh
troma spinal
g. Nyeri/Kenyamanan
Ds : -Klien mengatakan nyeri pada kepala bagian belakang
Do : -Nyeri tekan verteberal
-Ekspresi wajah meringis
h. Pernafasan
Ds : -Klien mengeluh kesulitan dalam bernapas
Do : -Pernafasan dangkal
-Penggunaan otot pernafasan
-Sianosis

1.3 Riwayat kesehatan sekarang


Riwayat Kesehatan sekarang berisi kondisi yang dialami klien saat pertama kali
masuk rumah sakit

1.4 Riwayat Kesehatan dahulu


Riwayat Kesehatan dahulu berisi tentang Riwayat atau kondisi klinis klien tersebut
pada waktu dahulu

1.5 Riwayat Kesehatan keluarga


Riwayat Kesehatan keluarga berisi tentang Riwayat atau kondisi keluarga klien
tersebut

1.6 Pemeriksaan fisik


GAMBARAN
Tanda Vital Suhu : 36,6
Nadi : 80 x/i
TD : 100/80 mmHg
RR : 28 x/i
Tinggi Badan
Berat Badan
LILA
Kepala

Rambut Bersih , tidak ada lesi

Mata Simetris, kunjugtiva enemis


Hidung Simetris, bersih, ada bulu hidung

Mulut Mulut bersih, terdaapt air ludah, gigi

Telinga Telinga bersih, simtris

Leher Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cidera

Trakea

JVP

Tiroid Tidak terdapatnya kelenjar tiroid

Dada Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan,


pergerakan dinding dada,
Paru

Jantung bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat


cedera spinal

Abdomen

Ekstremitas terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atau


quadriparesis/quadriplegia
Muskulusskeletal

Integument Kulit biasanya teraba hangat dan kering pada daerah yang terkena
trauma

Neurologi

Status mental/gcs Pemeriksaan fungsi serebral. Pemeriksaan dilakukan


denganmengobservasi penampilan, tingkah laku, gaya bicara,
Saraf cranial ekspresiwajah, dan aktivitas motorik klien. Klien yang telah
lama mengalami cedera tulang belakang biasanya mengalami
Reflex fisiologi perubahanstatus mental

Reflex patologi Pada fase akut refleks fisiologis akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali yang
didahului dengan refleks patologis
Payudara Normal

Genetalia Bersih , tidak terdapat kelainan

Rectal Normal

1.7 pemeriksaan penunjang


1. Sinar x spinal (fraktur / dislokasi )
2. CT Scan ( tempat luka )
3. Foto rontogen thorak
4. AGD ( analisis gas darah )

1.7.1 Diagnose keperawatan


a. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis
b. Gangguan eliminasi urin b.d penurunan fungsi syaraf
c. Gangguan mobilitas fisik b.d penurunan masa otot

1.7.2 Intervensi keperawatan

N DIAGNOSA KEP SLKI SIKI


O
1 Nyeri akut b.d agen Luaran utama Intervensi
pencendera fisiologis A tingkat nyeri Manajemen nyeri
Hasil kriteria: Observasi
-menurun keluhan nyeri -identifikasi lokasi,
-menurun meringgis karakteristik , durasi,
-menurun gelisah frekuensi, kualitas intesitas
-menurun ketegangan nyeri
otot - identifikasi skala nyeri
- membaik frekuensi -identifikasi pengetahuan
nadi tentang nyeri
-identifikasi pengaruh
nyeri pada kualitas hidup
Teraupetik
-berikan tekhnik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
-fasilitasi istirahat dan tidur
Edukasi
-jelaskan penyebab dan
pemicu nyeri
-jelaskan strategi
meredakan nyeri
Kolaborasi
-kolaborasi pemberian
analgetik
2 Gangguan eliminasi urin Luaran utama Intervensi
b.d penurunan fungsi A eliminasi urine Manajemen eliminasi urine
syaraf Kriteria hasil Observasi
-meningkat sensasi -identifikasi tanda dan
berkemih gejala retensi atau
-menurun berkemih inkontinesia urin
tidak tuntas -monitor eliminasi urin
-membaik frekuensi -identifikasi factor yang
BAK menyebablan retensi atau
-membaik karakteristik inkonetensia urin
urine Teraupetik
-catat waktu dan haluaran
berkemih
-ambil sampel urine tengah
Edukasi
-ajarkan tanda dan gejala
infeksi saluran kemih
-anjurkan minum yang
cukup
-ajarkan waktu yang tepat
untuk berkemah
-anjurkan mengurangi
minum menjelang tidur
Kolaborasi
-kolaborasi pemberian obat
supositoria uretra, jika
perlu
3 Gangguan mobilitas fisik Luaran utama Intervensi
b.d penurunan masa otot Mobilitas fisik Dukungan mobilisasi
Kriteria hasil: Observasi
-meningkat pergerakan -identifikasi adanya nyeri
ekstremitas atau keluhan fisik lainnya
-meningkat kekuatan -identifikasi toleransi fisik
otot melakukan pergerakan
-Meningkat gerak -monitor frekuensi jantung
Menurun nyeri dan tekanan dara
-menurun kecemasan -monitor kondisi umum
- menurun kaku sendi selama melakukan
-menurun kelemahan mobilisasi
fisik Teraupetik
-fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
-fasilitasi melakukan
pergerakan,jika perlu
-libatkan keluarga untuk
membantu passien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
-jelaskan tujuan dan produr
mobilisasi
- anjurkan melakukan mo
bilisasi dini
-ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan.`

1.7.3 Implementasi dan evaluasi

Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh


perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke
status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharabkan.

Sedangkan evaluasi keperawatan adalah langkah terakhir dari proses


keperawatan untuk mengetahui sejauhmana tujuan dari rencana keperwatan
tercapai, evluasi ini dilakukan dengan cara membandingkan hasil akhir yang
teramati dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat dalam rencana keperawatan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologi yang
disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinal.penyebab dari trauma
medulla spinalis yaitu : kecelakaan otomobil,industry terjatuh,olah raga ,
menyelam dan luka tusuk.Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis ,
darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal
spinal , segera sebelum terjadi kontunsio atau robekan pada trauma, serabut-
serabut saraf mulai membengkak dan hancur.sirkulasi darah ke medulla
spinalis menjadi terganggu , tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik
menyebabkan kerusakan yang terjadi pada trauma medulla spinalis akut. Suatu
rantai sekunder kejadian kejadian yang menimbulkan
iskemia,hipoksia,edema,lesi dan hemoragi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting
karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan
kehilangan fungsi neurologiik.pada kepala dan leher harus dipertimbangkan
mengalami trauma medulla spinalis sampai bukti trauma ini disingkirkan.
Memindahkan pasien,selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan
radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindaian.
Asuhan keperawatan yang diberikan pada pasien dengan trauma medulla
spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit
lainya,karena kesalahan ini dalam memberikan asuhan keperawatan dapat
menyebabkan trauma medulla spinalis semakin komplit dan dapat
menyebabkan kematian
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Kirshblum, steven dkk. 2011. International standards for neurological classification of

spinal cord injury. Diakses dari

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3232636/pdf/scm-34-535.pdf Kowalak,
Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem

Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta

: Sagung Seto.

Ziu, Endrit & Fassil B. Mesfin. 2017. Spinal Shock. Columbia: NCB

Anda mungkin juga menyukai