Anda di halaman 1dari 20

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

TRAUMA SPINAL

OLEH:
KELOMPOK IX
A12-A

1. Agus Triana Putra (18.321.2828)


2. Fitri Yani (18.321.2829)
3. Kadek Sri Wahyuni (18.321.2840)
4. Ni Putu Gintan Diah Pratiwi (18.321.2854)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA PPNI BALI
DENPASAR

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widh Wasa Tuhan
Yang Maha Esa karena berkat rahmat Beliaulah penulis bisa membuat dan menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “Trauma Spinal “.
Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat untuk meningkatkan
penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar kompetensi yang diharapkan. Kritik
dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini
dimasa mendatang dan diakhir kata penulis ucapkan terimakasih.

Denpasar, 15 Maret 2021

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi trauma Spinal............................................................. 3
2.2 Etiologi..................................................................................... 3
2.3 Klasifikasi ............................................................................... 3
2.4 Manifestasi Klinis ................................................................... 4
2.5 Patofisiologi ............................................................................ 6
2.6 Pemeriksaan Dignostik ........................................................... 7
2.7 Penatalaksanaan Medis............................................................ 9
2.8 Komplikasi .............................................................................. 11

BAB III PENUTUP


3.1 simpulan................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 17
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spinal cord injury ( SCI) adalah trauma yang menyebabkan kerusakan pada spinal
cord sehingga menyebabkan menurunnya atau menghilangnya fungsi motorik maupun
sensoris.

Trauma ini disebabkan oleh kecelakaan lalulintas 36 %, karena kekerasan 28,9 %, dan
jatuh dari ketinggian 21,2 %, jumlah paraplegi lebih banyak dari pada tetraplegi dan sekitar
450.000 penduduk di Amerika hidup dengan SCI (The National Spinal Cord Injury, 2001).
Kemungkinan untuk bertahan dan sembuh pada kasus SCI, tergantung pada lokasi serta
derajat kerusakan akibat trauma, dan juga kecepatan mendapat perawatan medis setelah
trauma.

Trauma pada cervical dapat mengakibatkan seseorang mengalami penurunan


kemampuan bernafas dan kelemahan pada lengan, tungkai dan trunk atau yang disebut
tetraplegi. Trauma pada bagian bawah dari vertebra dapat menyebabkan hilang atau
berkurangnya fungsi motorik serta sensoris pada tungkai dan bagian bawah dari tubuh disebut
paraplegi. Pada kasus trauma yang berat, kesembuhan tergantung pada luasnya derajat
kerusakan, prognosis akan semakin baik bila pasien mampu melakukan gerakan yang disadari
atau dapat merasakan sensasi dalam waktu yang singkat.

Cedera servikal merupakan cedera tulang belakang yang paling sering menimbulkan
kecacatan dan kematian, dari beberapa penelitian terdapat korelasi antara tingkat cedera
servikal dengan morbiditas dan mortalitas, yaitu semakin tinggi tingkat cedera servikal
semakin tinggi pula morbiditas dan mortalitasnya (Ning GZ, 2011).

Trauma medula spinalis adalah cedera pada tulang belakang baik langsung maupun
tidak langsung, yang menyebabkan lesi di medula spinalis sehingga menimbulkan gangguan
neurologis, dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006).
Cedera medula spinalis pertama kali tercatat dalam sejarah sekitar 1700 SM pada papirus
Edwin Smith. Penyebab cedera medula spinalis tersering ialah kecelakaan lalu lintas (50%),
jatuh (25%), dan cedera yang berhubungan dengan olahraga (10%); selain itu, akibat kekeras-
an dan kecelakaan kerja. Cedera medula spinalis akibat trauma diperkirakan terjadi pada 30-
40 per satu juta penduduk per tahun, dan sekitar 8.000-10.000 penderita setiap tahun;
umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda.

Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah trauma oleh karena kecelakaan
bermotor, jatuh, trauma olahraga, luka tembus sekunder seperti luka tusuk atau luka tembak.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker dan
stroke. Tercatat terjadi peningkatan ± 50 kasus per 100.000 populasi tiap tahun, dimana 3%
penyebab kematian ini karena trauma langsung pada medula spinalis, dan 2% karena trauma
ganda. Insidensi trauma medulla spinalis pada laki-laki 5 kali lebih besar daripada perempuan.
Ducker dan Perrot melaporkan 40% cedera medulla spinalis disebabkan kecelakaan lalulintas,
20% karena jatuh, 40% karena luka tembak, trauma olahraga, dan kecelakaan kerja. Lokasi
fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada vertebra C2 diikuti dengan C5 dan
C6. Sekitar 10% pasien dengan penurunan kesadaran yang dikirim ke Instalasi Gawat Darurat
akibat kecelakaan lalu lintas selalu menderita cedera servikal, baik cedera pada tulang
servikal, jaringan penunjang, maupun cedera pada cervical spine. Trauma servikal sering
terjadi pada pasien dengan riwayat kecelakaan kendaraan bermotor dengan kecepatan tinggi,
trauma pada wajah dan kepala, terdapat defisit neurologis, nyeri pada leher, dan trauma
multiple (Grundy, 2002; Weishaupt N., 2010).

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana konsep trauma spinal ?

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui konsep trauma spinal ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Trauma pada tulang belakang (spinal cors injury) adalah cedera yang mengenai
servikal, vertebralis, dan lumbalis dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang (Arif
Mutttaqin, 2008).

Trauma spinal adalah trauma yang terjadi pada spinal, meliputi spinal collumna
maupun spinal cord, dapat mengenai elemen tulang, jaringan lunak, dan struktur saraf pada
cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma berupa jatuh dari ketinggian, kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. Trauma spinalis menyebabkan
ketidakstabilan kolumna vertebral (fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra)
atau injuri saraf yang aktual maupun potensial (Sylvia, 2006).

2.2 Etiologi
Penyebab dari cedera medulla spinalis antara lain:
1. Kecelakaan di jalan raya (paling sering terjadi) Kecelakaan jalan raya adalah penyebab
terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina.
2. Olahraga
3. Menyelam pada air yang dangkal
4. Luka tembak atau luka tikam (Arif Mutttaqin, 2008).

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi derajat cedera medula spinalis menurut ASIA yaitu :


Tingkat Tipe Gangguan medulla spinallis
A Komplit Tidak ada fungsi motorik dan sensorik sampai S4-S5
B Inkomplit Fungsi sensorik masih baik tapi motorik terganggu sampai
segmen sakral S4-S5
C Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level tapi otot-otot motorik
utama masih mempunyai kekuatan <3
D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level, kekuatan otot-otot
motorik utama >3
E normal Fungsi motorik dan sensorik normal

2.4 Manifestasi Klinis

1. Bila pasien dalam keadaan sadar, biasanya mengeluh nyeri akut pada belakang leher,
yang mnyebar sepanjang saraf yang terkena

2. Cedera spinal dapat menyebabkan paraplegia atau quadriplegia. Akibat cedera


bergantung pada tingkat cedera pada medulla dan tipe cedera :

a. Tingkat neurologik: berhubungan dengan tingkat fungsi sensori dan motorik bagian
bawah yang normal. Tingkat neurologic bagian bawah mengalami paralisis sensori
dan motorik total, kehilangan kontrol kandeng kemih, penurunan keringat dan tonus
vasomotor dan penurunan tekanan darah diawali dengan resistensi vascular perifer.

b. Tipe cedera, mengacu pada luasnya cedera medulla spinalis itu sendiri: Masalah
pernapasan basanya dikaitkan dengan penurunan fungsi peranpasan, beratnya
bergantung pada tingkat cedera. Otot-otot yang berperan dalam pernapasan adalah
abdominal, interkostal (T1-T11) dan diafragma. Pada cedera medulla spinalis
servikal tinggi, kegagalan pernapasan akut adalah penyebab utama kematian
(Smeltzer & Bare, 2002).

Gejala klinis cedera medulla spinalis berdasarkan letak atau lokasi :

Level Gangguan motorik Gangguan sensorik Gangguan autonom


C1-C3 Quadriplegia, parese Sensoris sampai setinggi Kemampuan berkemih,
otot-otot leher, kepala, tepi rahang bagian pencernaan dan fungsi
kekakuan, bawah; sakit di belakang seksual, sindrom horner
kelumpuhan otot kepala, leher, dan bahu
pernafasan
C4-C5 Quadriplegia, Sensoris setinggi Kemampuan berkemih,
diagfragma dan clavicula/bahu pencernaan dan fungsi
pernafasan seksual, sindrom horner
C6-C8 Quadriplegia, Sensoris setinggi dinding Kemampuan berkemih,
kekakuan, dada/punggung bagian atas, pencernaan dan fungsi
kelamahan lengan, termasuk lengan kecuali bahu seksual, sindrom horner
diagfragma,
pernafasan
T1-T5 Paraplegia, Sensoris dari permukaan Kemampuan berkemih,
berkurangnya lengan bagian bawah, dinding pencernaan dan fungsi
volume pernafasan dada bagian atas, dan seksual
punggung bagian bawah
T5-T10 Paraplegia, Sensoris setinggi dinding dada Kemampuan berkemih,
kekakuan dan sesuai dermatomnya pencernaan dan fungsi
seksual
T11-L3 Paraplegia Sensoris setinggi perut, Kemampuan berkemih,
pangkal paha ke bawah dan pencernaan dan fungsi
sesuai dermatomnya seksual.
L4-S2 Paraplegia di bagian Sensoris setinggi lutut, Kemampuan berkemih,
distal punggung kaki kebawah, dan pencernaan dan fungsi
sesuai dermatomnya ereksi pada laki-laki

2.5 Patofisiologi
2.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan fisik seperti pasien trauma, evaluasi klinis awal dimulai dengan survey -
ABCDE. SCI (Spinal Cord Injury) harus dilakukan secara bersamaan. Masing-masing
pemeriksaannya adalah:
a) Fungsi paru - Respiration rate, sianosis, distress pernapasan, kesimetrisan dada, suara
tambahan, ekspansi dada, gerakan dinding perut, batuk, dan cedera paru. Analisis gas
darah arteri dan oksimetri.
b) Disfungsi respirasi pada akhirnya akan tergantung pada keadaan paru yang sudah ada,
tingkat SCI, cedera paru-paru. Hal-hal yang mungkin terganggu dalam pengaturan SCI:
1. Hilangnya fungsi otot ventilasi akibat adanya cedera dada.
2. Cedera paru, seperti pneumothoraks, hemotoraks, atau contusio paru.
3. Penurunan pengaturan ventilasi berhubungan dengan cedera kepala atau efek eksogen
alkohol dan obat-obatan.
a. CVS – nadi dan volume, tekanan darah (hemoragik atau shock neurogenik).
b. Suhu – hipotermia – shock spinal.
c. Pemeriksaan neurologis, menentukan tingkat cedera yang dialami, complete
atau incomplete.
c) Tes motorik – dilakukan bersamaan, tes tonus otot, kekuatan otor, refleks otot,
koordinasi, pemeriksaan refleks tendon dalam dan evaluasi perineal sangat penting. Ada
atau tidaknya prognosis sparingis sakral, indikator evaluasi sakral. Hal-hal yang
dievaluasi dapat didokumentasikan sebagai berikut:
1. Sensai perineum terhadap sentuhan ringan dan cocokan peniti
2. Refleks bulbocavernous (S3 atau S4)
3. Kedipan mata (S5)
4. Retensi urine atau inkontinensia
5. Priapisme
d) Seks – Rasio laki-laki : perempuan adalah sekitar 2,5-3,0 : 1.
e) Umur – Sekitar 80% dari laki-laki dengan SCIS berusia 18-25 tahun. SCIWORA terjadi
terutama pada anak-anak.

1. Pemeriksaan Motorik Tulang Belakang


1. C5 – Fleksor siku (bisep, brakialis) dan bahu
2. C6 – Ekstensor pergelangan tangan (ekstensor karpi radialis longus dan brevis)
3. C7 – Ekstensor siku (trisep)
4. C8 – Fleksor jari (fleksor digitorum profunda) untuk jari tengah
5. T1 – Jari kelingking (digiti mini)
6. L2 – Hip fleksor (iliopsoas)
7. L3 – Ekstensor lutut (quadrisep)
8. L4 – Ankle dorsifleksor (tibialis anterior)
9. L5 – Ekstensor kaki (ekstensor halusis longus)
10. S1 – Fleksor ankle plantar (gastrocnemius, soleus)

2. Pemeriksaan Sensori Tulang Belakang


1. C2 – Tonjolan oksipital
2. C3 – Fossa supraklavikula
3. C4 – Atas sendi akromioklavikularis
4. C5 – Sisi lateral lengan
5. C7 – Jari tengah
6. C8 – Jari kelingking
7. T1 – Sisi medial lengan
8. T2 – apex dari aksila atau ICS 2
9. T3 – ICS 3
10. T4 – ICS 4 lurus puting susu
11. T5 – ICS 5 (tengah antara T4 dan T6)
12. T6 – ICS 6 setinggi xiphisternum
13. T7 – ICS 7 (tengah antara T6 dan T8)
14. T8 – ICS 8 (tengah antara T6 dan T10)
15. T9 – ICS 9 (tengah antara T8 dan T10)
16. T10 – ICS 10 atau umbilikus
17. T11 – ICS 11 (tengah antara T10 dan T12)
18. T12 – Midpoint ligamentum inguinalis
19. L1 – Setengah jarak antara T12 dan L2
20. L2 – Paha mid-anterior
21. L3 –Kondilus femoralis medial atau kondilus femoralis lateralis
22. L4 – Maleolus medial
23. L5 – lateral kaki atau maleolus lateral atau dorsum kaki pada sendi
metatarsophalangeal ketiga
24. S1 – Tumit lateral
25. S2 – Fossa popliteal di garis tengah
26. S3 – tuberositas iskia
27. S4-S5 – Perianal
28. C6 – ibu jari dan lengan lateral
3. Imaging
a) Sinar x spinal
Menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
b) CT-scan
CT-scan untuk untuk menentukan tempat luka/jejas
c) X-Ray
3 standar untuk mendapatkan gambaran X-ray:
1. Antero-posterior
2. Gambaran lateral
3. Gambaran odontoid-membuka mulut
Gambaran oblique termasuk gambaran penekanan bahu
a. Direkomendasikan gambaran antero-posterior dan lateral dada serta lumbal
b. Radiografi leher harus menyertakan C7-T1
d) MRI
MRI baik untuk kecurigaan adanya lesi sumsum tulang belakang, ligamentum atau
kondisi lainnya. MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi hematoma tulang belakang
seperti ekstra dural, abses atau tumor, dan hemoragi tulang belakang, memar, dan/atau
edema.
e) Foto rongent thorak
Untuk mengetahui keadaan paru
f) AGD
Untuk menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi

2.7 Penatalaksanaan Medis

Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang dalam kecelakaan terdiri dari:
1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang
permanen.
2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan
leher dan kepala.
3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera.
Pembagian trauma atau fraktur tulang belakang secara umum:

1. Fraktur Stabil
a. Fraktur wedging sederhana (Simple wedges fraktur)
b. Burst fraktur
c. Extension
2. Fraktur tak stabil
a. Dislokasi
b. Fraktur dislokasi
c. Shearing fraktur

Perawatan:

1. Faktur stabil (tanpa kelainan neorologis) maka dengan istirahat saja penderita akan
sembuh.
2. Fraktur dengan kelainan neorologis.
Fase Akut (0-6 minggu)
a. Live saving dan kontrol vital sign
b. Perawatan trauma penyerta
1. Fraktur tulang panjang dan fiksasi interna.
2. Perawatan trauma lainnya.
c. Fraktur/Lesi pada vertebra
1. Konservatif (postural reduction) (reposisi sendiri)
Tidur telentang alas yang keras, posisi diubah tiap 2 jam mencegah dekubitus,
terutama simple kompressi.

2. Operatif
Pada fraktur tak stabil terdapat kontroversi antara konservatif dan operatif. Jika
dilakukan operasi harus dalam waktu 6-12 jam pertama dengan cara:
- Laminektomi
mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis,
menghilangkan kompresi medulla dan radiks.
- fiksasi interna dengan kawat atau plate
- anterior fusion atau post spinal fusion
3. Perawatan status urologi
Pada status urologis dinilai tipe kerusakan sarafnya apakah supra nuldear (reflek
bladder) dan infra nuklear (paralitik bladder) atau campuran. Pada fase akut
dipasang keteter dan kemudian secepatnya dilakukan bladder training dengan
cara penderita disuruh minum segelas air tiap jam sehingga buli-buli berisi tetapi
masih kurang 400 cc. Diharapkan dengan cara ini tidak terjadi pengkerutan buli-
buli dan reflek detrusor dapat kembali.
Miksi dapat juga dirangsang dengan jalan:
a. Mengetok-ngetok perut (abdominal tapping)
b. Manuver crede
c. Ransangan sensorik dan bagian dalam paha
d. Gravitasi/ mengubah posisi
4. Perawatan dekubitus
Dalam perawatan komplikasi ini sering ditemui yang terjadi karena
berkurangnya vaskularisasi didaerah tersebut.

Penanganan Cedera Akut Tanpa Gangguan Neorologis


Penderita dengan diagnose cervical sprain derajat I dan II yang sering karena
“wishplash Injury” yang dengan foto AP tidak tampak kelainan sebaiknya dilakukan
pemasangan culiur brace untuk 6 minggu. Selanjutnya sesudah 3-6 minggu post trauma
dibuat foto untuk melihat adanya chronik instability
Kriteria radiologis untuk melihat adanya instability adalah:
1. Dislokasi feset >50%
2. Loss of paralelisine dan feset.
3. Vertebral body angle > 11 derajat path fleksi.
4. ADI (atlanto dental interval) melebar 3,5-5 mm (dewasa- anak)
5. Pelebaran body mas CI terhadap corpus cervical II (axis) > 7 mm pada foto AP

Pada dasarnya bila terdapat dislokasi sebaiknya dikerjakan emergensi closed


reduction dengan atau tanpa anestesi. Sebaiknya tanpa anestesi karena masih ada kontrol
dan otot leher. Harus diingat bahwa reposisi pada cervical adalah mengembalikan
keposisi anatomis secepat mungkin untuk mencegah kerusakan spinal cord.
Penanganan Cedera dengan Gangguan Neorologis

Patah tulang belakang dengan gangguan neorologis komplit, tindakan pembedahan


terutama ditujukan untuk memudahkan perawatan dengan tujuan supaya dapat segera
diimobilisasikan. Pembedahan dikerjakan jika keadaan umum penderita sudah baik lebih
kurang 24-48 jam. Tindakan pembedahan setelah 6-8 jam akan memperjelek defisit
neorologis karena dalam 24 jam pertama pengaruh hemodinamik pada spinal masih
sangat tidak stabil. Prognosa pasca bedah tergantung komplit atau tidaknya transeksi
medula spinalis.

2.8 Komplikasi

Menurut Mansjoer, Arif, et al. 2000 trauma tulang belakang bisa mengakibatkan berbagai
macam komplikasi, diantaranya
1. Syok hipovolemik
akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga
terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.

2. Pendarahan Mikroskopik
Pada semua cidera madula spinalis atau vertebra,terjadi perdarahan-perdarahan
kecil.Yang disertaireaksi peradangan,sehingga menyebabkan pembengkakan dan
edema dan mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan didalam dan disekitar
korda.Peningkatan tekanan menekan saraf dan menghambat aliran darah sehingga
terjadi hipoksia dan secara drastis meningkatkan luas cidera korda.Dapat timbul
jaringan ikat sehingga saraf didarah tersebut terhambat atau terjerat.

3. Hilangnya Sesasi, Kontrol Motorik, Dan Refleks.


Pada cidera spinal yang parah, sensasi,kontrol motorik, dan refleks setingg dan
dibawah cidera korda lenyap. Hilangnya semua refleks disebut syok spinal.
Pembengkakan dan edema yang mengelilingi korda dapat meluas kedua segmen diatas
kedua cidera. Dengan demkian lenyapnya fungsi sensorik dan motorik serta syok
spinal dapat terjadi mulai dari dua segmen diatas cidera. Syok spinal biasanya
menghilang sendiri, tetap hilangnya kontor sensorik dan motorik akan tetap permanen
apabila korda terputus akan terjadi pembengkakan dan hipoksia yang parah.
4. Syok Spinal.
Syok spinal adalah hilangnya secara akut semua refleks-refleks dari dua segme
diatas dan dibawah tempat cidera. Repleks-refleks yang hilang adalah refleks yang
mengontrol postur, fungsi kandung kemih dan rektum, tekanan darah, dan
pemeliharaan suhu tubuh. Syok spinal terjadi akibat hilangnya secara akut semua
muatan tonik yang secara normal dibawah neuron asendens dari otak, yang bekerja
untuk mempertahankan fungsi refleks.Syok spinl biasanya berlangsung antara 7 dan
12 hari, tetapi dapat lebih lama. Suatu syok spinal berkurang dapat tmbul
hiperreflekssia, yang ditadai oleh spastisitas otot serta refleks, pengosongan kandung
kemih dan rektum.

5. Hiperrefleksia Otonom.
Kelainan ini dapat ditandai oleh pengaktipan saraf-saraf simpatis secar refleks,
yang meneyebabkan peningkatan tekanan darah. Hiper refleksia otonom dapat timbul
setiap saat setelah hilangnya syok spinal. Suatu rangsangan sensorik nyeri disalurkan
kekorda spnalis dan mencetukan suatu refleks yang melibatkan pengaktifan sistem
saraf simpatis.Dengan diaktifkannya sistem simpatis,maka terjadi konstriksi
pembuluh-pembuluh darah dan penngkatan tekanan darah system. Pada orang yang
korda spinalisnya utuh,tekanan darahnya akan segera diketahui oleh
baroreseptor.Sebagai respon terhadap pengaktifan baroreseptor,pusat kardiovaskuler
diotak akan meningkatkan stimulasi parasimpatis kejantung sehingga kecepatan
denyut jantunhg melambat,demikian respon saraf simpatis akan terhenti dan terjadi
dilatasi pembuluh darah.Respon parasimpatis dan simpatis bekerja untuk secara cepat
memulihkan tekanan darah kenormal.Pada individu yang mengalami lesi
korda,pengaktifan parasimpatis akan memperlambat kecepatan denyut jantung dan
vasodilatasi diatas tempat cedera,namun saraf desendens tidak dapat melewati lesi
korda sehngga vasokontriksi akibat refleks simpatis dibawah tingkat tersebut terus
berlangsung.Pada hiperrefleksia otonom,tekanan darah dapat meningkat melebihi 200
mmHg sistolik,sehingga terjadi stroke atau infark  miokardium.Rangsangan biasanya
menyebabkan hiperrefleksia otonom adalah distensi kandung kemih atau rektum,atau
stimulasi reseptor-reseptor permukaan untuk nyeri.

6. Paralisis
Paralisis adalah hilangnya fungsi sensorik dan motorik volunter.Pada transeksi
korda spinal,paralisis bersifat permanen.Paralisis ekstremitas atas dan bawah terjadi
pada transeksi korda setinggi C6 atau lebih tinggi dan disebut kuadriplegia.Paralisis
separuh bawah tubuh terjadi pada transeksi korda dibawah C6 dan disebut
paraplegia.Apabila hanya separuh korda yang mengalami transeksi maka dapat terjadi
hemiparalisis.
Persentase terjadinya komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit
adalah sebagai berikut :
1. pneumonia (60,3 %),
2. ulkus akibat tekanan (52,8 %),
3. trombosis vena dalam (16,4 %),
4. emboli pulmo (5,2 %),
5. infeksi pasca operasi (2,2 %).

Sedangkan untuk fraktur, komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:


1. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit
diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan
membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
2. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal
ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
3. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam
waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
4. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi
terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat
pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate,
paku pada fraktur.
5. Emboli lemak
6. Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan
trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah
kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
7. Sindrom Kompartemen. Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan
fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga
mengakibatkan defisit neurologi.
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Pertolongan pertama untuk cedera tulang belakang yaitu:
1. Jangan asal mengajak korban bergerak karena dapat menyebabkan kerusakan tulang
permanen.
2. Tempatkan handuk yang sudah digulung di bagian nyeri agar menghindari kerusakan
leher dan kepala.
3. Jangan lupa untuk meminta perhatian medis segera.

Setelah mendapat pertolongan oleh tenaga medis maka segera akan dilakukan
penanganan segera untuk trauma tulang belakang dan intervensi keperawatan untuk
kesembuhan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin. 2008. pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan sitem

Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Ning, G.Z, Yu, T.Q, Feng, S.Q, Zhow, X.H, Ban, D.X, Liu Y et al. 2011. Epidemiology of

Traumatic Spinal Cord Injury in Tianjin, China. Spinal Cord.


Grundy, D. & Swain, A. 2002. ABC of Spinal Cord Injury 4th ed. London: BMJ.

Weishaupt, N, Silasi, G, Colbourne, F, & Foud, K. 2010. Secondary Dmage in The Spinal

Cord After Motor Cortex Injury in Rats. J Neurotrauma.

Wilkinson, Judith M. 2015-2017. Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Hasil NOC. (Ed isi 10).

Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai