Anda di halaman 1dari 37

REFERAT

Trauma Brain Injury

PEMBIMBING:
dr. Nanik Yuliana, Sp. Rad

Disusun Oleh :
Aulia Choirunnisa 202110401011034
Olivia Devis Adini 202110401011061
R. Mohamad Javier 202110401011018

SMF RADIOLOGI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA KEDIRI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat stase Radiologi dengan mengambil topik “Trauma Brain Injury”.
Referat ini disusun dalam rangka menjalani kepaniteraan klinik bagian Ilmu Radiologi di
Rumah Sakit Bhayangkara Kediri. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu dalam penyusunan referat ini terutama dr. Nanik Yuliana,Sp.Rad
selaku dokter pembimbing yang telah memberikan bimbingan kepada penulis dalam
penyusunan dan penyempurnaan tugas ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, untuk itu
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini dapat
memberikan manfaat dalam bidang kedokteran khususnya Bagian Radiologi.

Malang, 9 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB 1 PENDAHULUAN.........................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Tujuan..........................................................................................................................1
1.3 Manfaat........................................................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................2
2.1 Anatomi.......................................................................................................................2
2.1.1 Kulit Kepala.........................................................................................................2
2.1.2 Cranium................................................................................................................2
2.1.3 Lapisan Meningen................................................................................................3
2.1.4 Otak......................................................................................................................4
2.1.5 Cairan Serebrospinal............................................................................................4
2.2 Definisi TBI.................................................................................................................5
2.3 Epidemiologi...............................................................................................................5
2.4 Etiologi........................................................................................................................6
2.5 Manifestasi Klinis........................................................................................................6
2.6 Indikasi Imaging..........................................................................................................7
2.7 Klasifikasi....................................................................................................................8
2.7.1 EDH......................................................................................................................8
2.7.2 SDH......................................................................................................................9
2.7.3 SAH....................................................................................................................11
2.7.4 Fraktur Kranium.................................................................................................13
2.7.5 ICH.....................................................................................................................15
2.7.6 IVH.....................................................................................................................18
2.7.7 DAI.....................................................................................................................19
2.7.8 Kontusio Serebri.................................................................................................20
2.8 Tatalaksana................................................................................................................23
2.9 Komplikasi................................................................................................................26
2.10 Prognosis...................................................................................................................26
BAB III KESIMPULAN..........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................28

ii
iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trauma brain injury merupakan penyebab utama morbilitas dan mortalitas setelah
infark myokard di dunia. Lebih dari 50% kematian di sebabkan oleh trauma brain injury
dan kecelakan kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami
cidera kepala, 75.000 di antranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang
selamat akan mengalami disabilitas permanen. Trauma brain injuri (TBI) merupakan
cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak, dan otak. Secara global, insiden
trauma brain injury meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor.
Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO),korban meninggal akibat
kecelakaan kendaraan bermotor mencapai 1,25 juta jiwa dan korban luka-luka atau cacat
lebih dari 30 juta per tahun, 50% dengan trauma brain injury di Amerika kurang lebih
348,934 orang yang menderita. Tahun 2014 sampai 2015 sebanyak 566 penderita setia
100.000 populasi.
Berdasarkan data terbaru Amerika Serikat memperkirakan 1.700.000 TBI terjadi
setiap tahun, termasuk 275.000 jiwa dirawat di rumah sakit dan 52.000 diantaranya
mengalami kematian. Korban TBI sering dibiarkan dengan gangguan neuropsikologis
yang mengakibatkan kecacatan yang memengaruhi pekerjaan dan aktivitas sosial. Setiap
tahun, diperkirakan 80.000 hingga 90.000 orang di Amerika Serikat mengalami cacat
jangka panjang akibat TBI (American College Surgeon, 2018).
1.2 Tujuan
Untuk mengetahui pneumonia meliputi definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi,
gejala klinis, klasifikasi, pemeriksaan penunjang, diagnosis, diagnosis banding,
tatalaksana, komplikasi dan prognosis
1.3 Manfaat
1. Menambah pengetahuan mengenai pneumonia
2. Sebagai bahan pembelajaran untuk memenuhi salah satu persyaratan mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik bagi Dokter Muda Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Malang di SMF Radiologi RS Bhayangkara Kediri.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri atas beberapa lapisan yang biasa disingkat dengan SCALP,
yaitu (Netter, 2019) :
 Skin
 Connective tissue
 Aponeurosis atau Galea aponeurotika atau Epicranial aponeurosis
 Loose areolar tissue
 Pericranium

2.1.2 Cranium
Tulang tengkorak atau kranium terdiri dari kalvarium dan basis kranii. Basis
kranii berbentuk tidak rata dan tidak teratur sehingga cedera pada kepala dapat
menyebabkan kerusakan pada bagian dasar otak yang bergerak akibat cedera
akselerasi dan deselerasi (Netter, 2019).

2
2.1.3 Lapisan Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak, terdiri dari tiga lapisan
yaitu duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat dengan tabula interna atau
bagian dalam kranium. Duramater tidak melekat dengan lapisan dibawahnya
(araknoid), terdapat ruang subdural (Netter, 2019).
Pada cedera kepala, pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut bridging veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Arteri-arteri meningea
terletak antara duramater dan tabula interna tengkorak, jadi terletak di ruang
epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fossa temporalis (fossa media). Di bawah duramater terdapat araknoid
yang merupakan lapisan kedua dan tembus pandang. Lapisan yang ketiga adalah
piamater yang melekat erat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal
bersirkulasi diantara selaput araknoid dan piameter dalam ruang sub araknoid
(Netter, 2019).

2.1.4 Otak
Otak manusia terdiri dari cerebrum, cerebellum, dan batang otak. Cerebrum
terbagi atas dua hemisfer, yaitu hemisfer dextra dan sinistra. Pada cerebrum
terdapat beberapa lobus yang mempunyai fungsi masing-masing. Lobus frontalis
berfungsi sebagai pusat motorik. Sedangkan pusat sensorik berada pada lobus
parietalis. Fungsi penglihatan terletak pada lobus oksipitalis yang berada di
belakang. Lobus temporalis berfungsi untuk pendengaran. Cerebellum memiliki
fungsi sebagai pusat koordinasi, keseimbangan, dan tonus otot (Netter, 2019).

3
4
2.1.5 Cairan Serebrospinal
Cairan serebrospinal dihasilkan oleh pleksus choroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 30 ml/jam. Pleksus choroideus terletak di ventrikel lateralis baik
kanan maupun kiri, mengalir melalui foramen monroe ke dalam ventrikel tiga.
Selanjutnya melalui akuaduktus sylvius menuju ventrikel ke empat, selanjutnya
keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan diserap ke dalam sirkulasi vena
melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya
darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu
penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial (Netter, 2019).

2.2 Definisi TBI


Traumatic Barin Injury (TBI) atau cedera otak traumatis merupakan kondisi
dimana kepala mengalami cedera, baik oleh benda tumpul ataupun tajam, yang akan
menyebabkan kerusakan pada fungsi otak. Keadaan ini merupakan cedera dengan tingkat
mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Brazinova, et. al. 2015)
2.3 Epidemiologi
Secara umum, jumlah pasien yang mengalami TBI setiap tahunnya diperkirakan
sekitar 1,5–2 juta. Setengah dari pasien meninggal dan telah diprediksi menjadi
penyebab utama kematian dan kecacatan di dunia pada tahun 2020 (Goyal, et. al. 2018).
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, Indonesia mempunyai prevalensi trauma kepala
sebesar 13,2%. Berdasarkan pola distribusi, pada umumnya di Indonesia ini trauma

5
kepala sering terjadi pada pasien anak yang usianya >1 tahun (50%), dan usia antara 15-
44 tahun yaitu usia sekolah dan produktif (33,7%). Seiring bertambahnya jumlah
penduduk dan pemakaian kendaraan bermotor meningkat maka prevalensinya akan
meningkat secara berkelanjutan (RISKESDAS, 2013).

2.4 Etiologi
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera traumatis
lainnya pada kepala atau tubuh. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa
faktor, termasuk sifat cedera dan kekuatan benturan.
Peristiwa umum yang menyebabkan cedera otak traumatis meliputi:
 Jatuh. Jatuh dari tempat tidur atau tangga, menuruni tangga, di kamar
mandi, dan jatuh lainnya adalah penyebab paling umum dari cedera otak
traumatis secara keseluruhan, terutama pada orang dewasa yang lebih tua
dan anak-anak.
 Tabrakan terkait kendaraan. Tabrakan yang melibatkan mobil, sepeda
motor atau sepeda — pejalan kaki yang terlibat dalam kecelakaan semacam
itu, adalah penyebab umum cedera otak traumatis.
 Kekerasan. Luka tembak, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak
dan serangan lainnya adalah penyebab umum. Sindrom bayi terguncang
adalah cedera otak traumatis pada bayi yang disebabkan oleh guncangan
keras.
 Cedera olahraga. Cedera otak traumatis dapat disebabkan oleh cedera dari
sejumlah olahraga, termasuk sepak bola, tinju, sepak bola, baseball,
lacrosse, skateboard, hoki, dan olahraga berdampak tinggi atau ekstrem
lainnya. Ini sangat umum di masa muda.
 Ledakan eksplosif dan cedera tempur lainnya. Ledakan eksplosif adalah
penyebab umum cedera otak traumatis pada personel militer yang bertugas
aktif. Meskipun bagaimana kerusakan terjadi belum dipahami dengan baik,
banyak peneliti percaya bahwa gelombang tekanan yang melewati otak
secara signifikan mengganggu fungsi otak (Jundi, 2017).

6
Cedera otak traumatis juga diakibatkan oleh luka tembus, pukulan keras di kepala
dengan pecahan peluru atau serpihan, dan jatuh atau benturan tubuh dengan benda
setelah ledakan (Guzman, 2015).
2.5 Manifestasi Klinis
Cedera otak traumatis dapat memiliki efek fisik dan psikologis yang luas. Beberapa
tanda atau gejala mungkin muncul segera setelah peristiwa traumatis, sementara yang
lain mungkin muncul beberapa hari atau minggu kemudian (Guzman, 2015).

(Jundi, 2017)
Pemeriksaan fisik :

(Greta, 2015)

7
(Wulandari, et al., 2021)
2.6 Indikasi Imaging
Keputusan untuk melakukan pencitraan dalam pengaturan trauma kepala akan
tergantung pada beberapa faktor, termasuk pedoman departemen lokal dan akses ke
pencitraan. Berbagai
alat klinis ada yang
membantu untuk
menyaring pasien yang
memerlukan pencitraan
saraf akut, termasuk:
Peraturan CT Kepala
Kanada, kriteria
Studi
Pemanfaatan X-
Radiografi Darurat
Nasional II (NEXUS-
II), dan Kriteria Kesesuaian American College of Radiology untuk trauma kepala.

(Hilda, 2016)
Indikasi potensial untuk melakukan CT dalam pengaturan akut untuk pasien
dengan gegar otak (untuk mengecualikan bentuk cedera otak traumatis yang lebih serius
seperti perdarahan intrakranial) mungkin termasuk yang berikut: kehilangan kesadaran,

8
amnesia pascatrauma, perubahan status mental yang persisten, neurologi fokal, tanda-
tanda patah tulang tengkorak atau bukti perburukan klinis (Saber, 2021).
2.7 Klasifikasi
2.7.1 EDH
 Definisi
Epidural Hematome (EDH) adalah perdarahan yang terjadi pada ruang
epidural. Biasanya terjadi pada fossa kranii media karena adanya laserasi arteri
meningea media, walaupun bisa juga terjadi pada fossa anterior ataupun
posterior.
 Patofisiologi
Hematoma epidural paling sering terjadi akibat kecelakaan kendaraan
bermotor, jatuh, dan cedera olahraga. Darah terkumpul antara duramater
periosteal dan tulang tengkorak. Sumber perdarahan biasanya arteri (85%);
lokasi umum termasuk frontal, temporal (arteri meningeal media sangat rentan,
terutama di mana itu terletak jauh ke pterion), dan daerah oksipital (Netter,
2019).

 Manifestasi Klinis
- Lucid interval
- Pupil anisokor
- Pusing
- Nausea, vomiting
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

Deskripsi :

9
Tampak adanya area hiperdens berbentuk convex pada lobus temporal dextra
2.7.2 SDH
 Definisi
Subdural Hematome (SDH) adalah perdarahan yang terjadi antara duramater
dan arakhnoid, biasanya sering di daerah frontal, pariental, dan temporal. Pada
subdural hematoma yang seringkali mengalami pendarahan ialah bridging
vein, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan
subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisfer dan
sebagian di daerah temporal, sesuai dengan distribusi bridging vein.
 Patofisiologi
Putusnya vena-vena penghubung antara permukaan otak dan sinus dural adalah
penyebab perdarahan subdural yang paling sering terjadi. Perdarahan ini
seringkali terjadi sebagai akibat dari trauma yang relatif kecil, dan mungkin
terdapat sedikit darah di dalam rongga subaraknoid. Anak-anak (karena anak-
anak memiliki venavena yang halus) dan orang dewasa dengan atrofi otak
(karena memiliki vena-vena penghubung yang lebih panjang) memiliki resiko
yang lebih besar. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan
lateral dan atas hemisfer dan sebagian di daerah temporal, sesuai dengan
distribusi bridging veins. Karena perdarahan subdural sering disebabkan oleh
perdarahan vena, maka darah yang terkumpul hanya 100-200 cc saja.
Perdarahan vena biasanya berhenti karena tamponade hematom sendiri. Setelah
5-7 hari hematom mulai mengadakan reorganisasi yang akan terselesaikan
dalam 10-20 hari.
 Manifestasi Klinis
Secara klinis subdural hematom akut ditandai dengan penurunan
kesadaran, disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa
hemiparese/plegi.
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

10
Deskripsi :
Tampak adanya area hiperdens berbentuk crescent

Tampak adanya area radio-opaque pada hemisfer cerebri sinistra akibat


kalsifikasi pada SDH yang kronik.

2.7.3 SAH
 Definisi
11
Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan salah satu jenis stroke
hemoragik dan merupakan penyakit cerebrovaskular yang bersifat
merusak setelah pecahnya aneurisma intrakranial, mendorong darah masuk
kedalam ruang subarakhnoid sehingga menyebabkan gangguan perfusi dan
fungsi otak (Reis, et al., 2017)

 Patofisiologi

(Reis, et al., 2021)


Mekanisme SAH, melibatkan early brain injury (EBI) dan delayed cerebral
ischemia (DCI). Pembentukan aneurisma terjadi dengan lesi vaskuler awal
setelah interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal tertentu. Gaya tangensial
(shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran darah menyebabkan
aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh darah. Segera setelah
aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral ischemia, disebut EBI.
Sedangkan vasospasme serebral dianggap berkonstribusi pada DCI (Reis, et al.,
2021).

12
 Manifestasi Klinis (Wulandari et. Al., 2021)
- Nyeri kepala yang hebat mendadak
- Penurunan kesadaran
- Mual/muntah
- Fotofobia
- Kejang
 Gambaran Radiologi dan deskripsi
(Cairan serebrospinal)

13
(Angiograf
i) (X Ray)
(Van, et al., 2007) (Stornelly, 1964)
(CT Scan)

 Deskrispi menggunakan cairan serebrospinal :


Jumlah sel darah merah yang meningkat secara konsisten di dalam tabung
cairan serebrospinal (CSF) dapat mengindikasi terjadinya SAH. CSF juga dapat
diperiksa melalu pemeriksaan visual atau spektofotometri berwarna kuning
(xanthocromia). (Namun, dibutuhkan waktu minimal 12 jam metabolisme
hemoglobin, sehingga metode CSF ini hanya dapat digunakan 12 jam setelah
onsetnya) (Kairys, 2021).
 Deskripsi menggunakan angiogram atau x ray :
Tampak gambaran angiospasme pada arteri communicating anterior (Stornelly,
1964).
 Deskripsi menggunakan CT Scan
Adanya gambaran filling the sulci
2.7.4 Fraktur Kranium
 Definisi

14
Suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital maupun degeneratif,
melainkan dikarenakan serangan atau benturan fisik dari luar yang dapat
menimbulkan kerusakan pada tengkorak atau jaringan otak. Fraktur tulang
kepala dapat berbentuk linier, depressed, dan diastatic (Murtala, 2019).
 Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata pada
tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala. Fraktur
depresi merupakan fraktur yang mengalami dislokasi ke arah dalam, dapat
menyebabkan laserasi dura, arachnoid, dan cedera parenkim.
 Patofisiologi
Trauma yang disebabkan oleh benda tumpul dan benda tajam atau kecelakaan
dapat menyebabkan cedera kepala. Akibat trauma terjadi peningkatan
kerusakan sel otak sehingga menimbulkan gangguan autoregulasi. Penurunan
aliran darah ke otak menyebabkan penurunan suplai oksigen ke otak dan terjadi
gangguan metabolisme dan perfusi otak. Peningkatan rangsangan simpatis
menyebabkan peningkatan tahanan vaskuler sistematik dan peningkatan
tekanan darah.
 Manifestasi Klinis
- Battle Sign
- Hemotipanum
- Otorea
- Rhinorea

 Gambaran Radiologi dan deskripsi

15
 Fraktur Linier foto Skull XRay :
Garis lusen berbaas tegas
 Fraktur Linier CT Scan :
Terdapat gambaran garis pada tulang tengkorak

 Deskripsi :
Terlihat adanya fraktur yang terdorong ke arah dalam tengkorak.

16
 Deskripsi :
Tampak pelebaran pada garis suture
2.7.5 ICH
 Definisi
Perdarahan intracranial adalah perdarahan fokal dari pembuluh darah di
parenkim otak. Penyebabnya biasanya hipertensi. Gejala khas termasuk defisit
neurologis fokal, sering dengan onset tiba-tiba sakit kepala, mual, dan
gangguan kesadaran. Diagnosis adalah dengan CT atau MRI. Perawatan
termasuk kontrol tekanan darah, tindakan suportif, dan, untuk beberapa pasien,
evakuasi bedah (Ye Chong, 2020).
Sebagian besar perdarahan intracranial terjadi di ganglia basalis, lobus
serebral, serebelum, atau pons. Perdarahan intracranial juga dapat terjadi di
bagian lain dari batang otak atau di otak tengah (Ye Chong, 2020).
 Patofisiologi
ICH primer biasanya merupakan manifestasi dari penyakit pembuluh darah
kecil yang mendasarinya. Pertama, hipertensi yang berlangsung lama
menyebabkan vaskulopati hipertensi yang menyebabkan perubahan
degeneratif mikroskopis pada dinding pembuluh darah kecil hingga menengah,
yang dikenal sebagai lipohyalinosis. Kedua, CAA ditandai dengan deposisi
amyloid-beta peptide (Aβ) di dinding pembuluh darah kecil leptomeningeal
dan kortikal. Meskipun mekanisme yang mendasari terjadinya akumulasi
amiloid masih belum diketahui, konsekuensi akhirnya adalah perubahan

17
degeneratif pada dinding pembuluh darah yang ditandai dengan hilangnya sel
otot polos, penebalan dinding, penyempitan luminal, pembentukan
mikroaneurisma dan perdarahan mikro (Goldstein, 2012).
Setelah ruptur pembuluh darah awal, hematoma menyebabkan cedera mekanis
langsung pada parenkim otak. Edema perihematomal berkembang dalam 3 jam
pertama dari onset gejala dan puncaknya antara 10 sampai 20 hari.
Selanjutnya, darah dan produk plasma memediasi proses cedera sekunder
termasuk respon inflamasi, aktivasi kaskade koagulasi, dan deposisi besi dari
degradasi hemoglobin. Akhirnya, hematoma dapat terus meluas hingga 38
persen pasien selama 24 jam pertama (Alfredo, 2012).
 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis akut ICH bisa sulit dibedakan dari stroke iskemik. Gejala
mungkin termasuk sakit kepala, mual, kejang dan gejala neurologis fokal atau
umum. Temuan seperti koma, sakit kepala, muntah, kejang, leher kaku dan
peningkatan tekanan darah diastolik meningkatkan kemungkinan ICH
dibandingkan dengan stroke iskemik, tetapi hanya neuroimaging yang dapat
memberikan diagnosis pasti (Alfredo, 2012).
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

18
AC Xray (Mitsuo, 1977)
Deskripsi : Didapatkan gambaran dari angiografi dan pemeriksaan neurologis
untuk mengindikasikan tipe dari hematoma, dan lokasi serta ukuran
perdarahan yang terjadi. Pada gambar kiri terdapat gambar angiogram karotid
kanan dengan tampilan anteroposterior, dan tampilan lateral pada gambar
kanan. Didapatkan gambar ekstravasasi arterial pada gambar yang dipanah
(Tomomi, 1977).

(Mit
suo, 1977)

19
CT Scan ICH (Grey, 2016)
Deskripsi : CT scan dengan mudah menunjukkan perdarahan akut sebagai
intensitas sinyal hiperdens. Perdarahan multifokal di kutub frontal, temporal,
atau oksipital menunjukkan etiologi traumatis (Guzman, 2015)

20
Film Xray menunjukkan hasil perdarahan darah traumatis. Pemeriksaan
kesehatan otak pasien. Kraniotomi otak. Penghapusan sel darah dari tulang.
Tengkorak bulat dengan perdarahan intraserebral (Sopone, 2019)
2.7.6 IVH
 Definisi
Perdarahan intraventrikular dapat terjadi secara primer atau berhubungan
dengan perdarahan intraserebral, perdarahan subarakhnoid maupun cedera
otak traumatik. Perdarahan intraventrikular primer disebut juga sebagai
perdarahan intraserebral non-traumatik yang terbatas pada sistem ventrikel,
sedangkan perdarahan intraventrikular sekunder muncul akibat perdarahan

21
yang berasal dari parenkim maupun rongga subarakhnoid yang meluas ke
sistem ventrikel (Betris, 2017).
 Patofisiologi
Sistem ventrikel otak merupakan low-pressure pathway yang berfungsi dalam
pergerakan cairan serebrospinal. Sistem ini sering pecah akibat darah yang
masuk melalui defek pada dinding arteri dan akibat tindakan pembedahan pada
kasus perdarahan intraserebral spontan. Defek pada pembuluh darah yang
dapat menyebabkan perdarahan pada otak diantaranya adalah aneurisma,
arteriovenous malformation, small vessel microaneurysm, profil koagulopati
atau peningkatan tekanan darah.
Setelah perdarahan inisial terjadi, tiga risiko utama yang akan mempengaruhi
kejadian selanjutnya yaitu rebleeding, vasokonstriksi dan hidrosefalus. Sekali
dinding luar pembuluh darah yang abnormal rusak, pembuluh darah ini akan
rentan terhadap rebleeding. Perdarahan kemudian akan mengancam hidup
karena terjadi peningkatan tekanan intrakranial dan sejumlah darah yang
terdapat dalam sistem cairan serebrospinal. Darah dalam sistem ini dapat
menyumbat membran absorbtif dan akan menyebabkan hidrosefalus serta
dilatasi seluruh sistem ventrikular (Betris, 2017)
 Manifestasi Klinis (Betris, 2017)
- Nyeri kepala mendadak
- Kaku kuduk
- Muntah
- Letargi
- Penurunan kesadaran
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

22
Deskripsi :
Adanya gambaran hiperdens pada ventrikel lateral
2.7.7 DAI
 Definisi
Diffuse Axonal Injury (DAI) merupakan cedera otak yang disebabkan karena
gaya gesek yang akan menyebabkan robeknya akson dan pembuluh-pembuluh
darah kecil yang meluas.
 Patofisiologi
Diffuse axonal injury adalah hasil dari gaya geser, biasanya dari akselerasi
rotasi (paling sering deselerasi). Karena gravitasi spesifik yang sedikit berbeda
(massa relatif per satuan volume) substansia alba dan substansia gresia, geser
karena perubahan kecepatan memiliki kecenderungan untuk akson di
persimpangan substansia alba dan substansia gresia, seperti namanya. Dalam
sebagian besar kasus, kekuatan ini mengakibatkan kerusakan sel dan
mengakibatkan edema. Robekan lengkap akson yang sebenarnya hanya terlihat
pada kasus yang parah. Diketahui juga bahwa beberapa neuron dapat
mengalami degenerasi dalam beberapa minggu atau bulan setelah trauma,
yang disebut aksonotmesis sekunder.
 Manifestasi Klinis
Gejala klinis pasien dengan DAI berhubungan dengan tingkat keparahan DAI.
Misalnya, pasien dengan DAI ringan datang dengan tanda dan gejala yang
mencerminkan gangguan cedera otak. Gejala-gejala yang paling sering muncul
yaitu pusing, mual, muntah, dan kelelahan. Namun, pasien dengan DAI yang

23
parah juga dapat datang dengan kehilangan kesadaran dan tetap dalam keadaan
vegetatif yang persisten (Mesfin, et. al., 2016)
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

Deskripsi :
Tampak adanya area hiperdens berbentuk bulat di lobus frontalis dextra
disertai dengan teregangnya parenkim otak akibat proses akselerasi dan
deselerasi pada otak.
2.7.8 Kontusio Serebri
 Definisi
Kontusio cerebri merupakan cedera kepala barat, dimana otak mengalami
memar, dengan kemungkinan adanya hemoragi. Pasien berada pada periode
tidak sadarkan diri. Gejala akan muncul dan lebih khas. Pasien terbaring
kehilangan gerakan, denyut nadi lemah,pernafasan dangkal, kulit dingin dan
pucat. Sering terjadi defekasi dan berkemih tanpa disadari. Pasien tetap
diusahakan untuk banguntetapi segera masuk kembali ke keadaan tidak sadar.
Tekanan darah dan suhu subnormal dan gambaran sama dengan syok.
Umumnya pasien yang mengalami cedera luas mengalami fungsi motorik
abnormal, gerakan mata abnormal , dan peningkatan TIK mempunyai
prognosis buruk (Smeltzer & Bare, 2006).
 Patofisiologi
Kontusio serebral adalah area perdarahan yang tersebar di permukaan otak,
paling sering di sepanjang permukaan bawah dan kutub lobus frontal dan
temporal. Mereka terjadi ketika otak membentur punggungan di tengkorak
atau lipatan di duramater, lapisan luar otak yang keras. Kontusio ini dapat
terjadi tanpa jenis perdarahan lain atau dapat terjadi dengan hematoma
subdural atau epidural akut (Wilson, 2020).
 Manifestasi Klinis

24
Kontusio serebri (memar otak) memiliki tanda-tanda sebagai berikut:
(Muttaqin, Arif. 2008) :
 Ada memar otak
 Perdarahan kecil lokal/difus dengan gejala adanya gangguan lokal dan
adanya perdarahan
 Gangguan kesadaran lebih lama
 Kelainan neurologis positif
 Refleks patologis positif, lumpuh, konvulsi
 Gejala TIK meningkat
 Amnesia retrograd lebih nyata
 Gambaran Radiologi dan deskripsi

AP & CT
Axial (Peds, 2011)
Deskripsi : Radiografi AP dan lateral tengkorak menunjukkan banyak
percabangan lusen di tulang parietal kanan. CT aksial tanpa kontras otak
menunjukkan material dengan densitas tinggi di jaringan subgaleal kanan,
kumpulan cairan cresenteric densitas tinggi kecil di ruang ekstra-aksial kanan
yang meluas ke posterior sepanjang falx cerebri, dan lesi campuran densitas
rendah dan densitas tinggi di parenkim otak parietal posterior kanan (Peds,
2011).

25
Deskripsi : Gambar CT scan otak dari pasien cedera otak traumatis baru-baru
ini menunjukkan kontusio cerebri dan perdarahan di frontal dengan perdarahan
subarachnoidal di dasar tengkorak (Tommy, 2016)

Deskripsi : X-ray films of a patient with a tip of a knife retaining in the skull.
Contusion cerebral was showed on temporal lobe syndrome (Picture 5) with
hipodense area on supratemporal lobe (Sopone, 2019).

2.8 Tatalaksana

26
Terapi Konservatif
- Primary Survey
o Airway
o Lihat apakah ada obstruksi jalan napas? Lakukan chin lift dan jaw thrust
o Apakah ada darah yang keluar? → Lakukan suction
o Apabila GCS < 9 (Severe TBI), obstruksi jalan napas, hipoksia, hipoventilasi,
ada suara tambahan (stridor) → Intubasi
o Breathing
o Saturasi O2 < 90% → nasal kanul
o Circulation
o Adanya tanda-tanda syok hipovolemik → infus darah IV line
o Dissability
o Explore
- Secondary survey
o Antikonvulsi → diberikan apabila terdapat gejala kejang biasanya pada TBI
moderete dan berat (Carney, et al., 2017).

27
Indikasi Terapi Konservatif

(Sopone, 2019)

(Yuniati, 2015)

(Alfredo, 2017)
Indikasi Pembedahan pada TBI
Pembedahan pada kasus TBI paling banyak dilakukan untuk mengevakuasi dari
hematoma yang terjadi. Umumnya, permbedahan perlu dipertimbangkan apabila adanya
hematoma dengan volume melebihi 25 cm3 pada hasil CT Scan kepala dan munculnya
perburukan klinis.
- EDH
Indikasi bedah pada kasus EDH antara lain :
o Volume hematoma >30 cm3 pada hasil CT Scan kepala (dengan GCS berapapun)

28
o Pasien dengan GCS <9 harus segera dilakukan pembedahan untuk evakuasi
hematoma
o EDH yang berlangsung secara progresif
o Tindakan konservatif dapat dilakukan apabila tidak adanya kondisi-kondisi di atas
dengan pertimbangan hasil CT Scan serial dan tidak adanya perburukan baik
secara klinis maupun hasil CT Scan dalan 36 jam pasca trauma Pemeriksaan CT
Scan serial dapat dilakukan dalam 6-8 jam dari pemeriksaan terakhir (Servadei et.
al., 2007).
- SDH
Indikasi dilakukan pembedahan pada kasus SDH antara lain (Servadei et. al., 2007) :
o Ditemukan ketebalan hematoma >10 mm atau midline shifting >5 mm pada
gambaran CT Scan kepala
o Pasien dengan GCS <9 yang disertai dengan tekanan intrakranial >20 mmHg atau
pupil anisokor
o Tidak ditemukan GCS <9, ketebalan hematoma <10 mm, dan midline shifting >5
mm namun GCS turun 2 nilai dari saat kejadian hingga tiba di Rumah Sakit
- SAH
Pada kasus SAH karena trauma kepala, biasanya sering terjadi bersamaan
dengan perdarah lainnya, seperti EDH, SDH, maupun ICH. Indikasi pembedahan
untuk kasus SAH biasanya mengikuti indikasi operasi pada kasus perdarahan lainnya.
- Fraktur
Fraktur impresi terbuka pada cranium yang melebihi ketebalan dari cranium
harus segera dilakukan tindakan operasi untuk mencegah infeksi. Fraktur cranial
impresi dapat dilakukan terapi tanpa operasi bila baik klinis maupun radiologi tidak
menunjukkan adanya penetrasi duramater, ICH, tidak mengenai sinus frontalis, dan
adanya infeksi. Fraktur cranial impresi yang tertutup tidak memerlukan tindakan
operasi (Servadei et. al., 2007).
- ICH
Indikasi utama dilakukan pembedahan pada ICH adalah untuk menurunkan TIK
pasien. Indikasi pembedahan pada lesi parenkim otak akibat trauma adalah :
o Terdapat defisit neurologis yang berlangsung secara progresif
o Terdapat peningkatan TIK yang refrakter
o Munculnya tanda-tanda cushing triad

29
o Pasien dengan GCS 6-8 yang disertai kontusio serebri >20 cm3 di daerah frontal
atau temporal dengan midline shifting ≥5 mm dan ukuran lesi 50 cm3
Pasien dengan ICH yang tidak menunjukkan adanya defisit neurologis, TIK
yang terkontrol, dan tidak ada kelainan pada gambaran CT Scan kepala dapat
dilakukan terapi secara konservatif dengan monitoring CT Scan serial (Servadei et.
al., 2007).
2.9 Komplikasi
 Komplikasi psikiatri
 Depresi 14-77%
 Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) 3-27%
(Ahmed, et al., 2017)
2.10 Prognosis
Prognosis tergantung tingkat keparahan dari trauma cedera otak. Rata-rata cedera
trauma otak dapat menyebabkan kematian. Sekitar 41,5 %, seseorang mengalami
trauma cedera otak tingkat sedang dan berat dengan prognosis yang tidak baik atau
diprediksikan menyebabkan kematian dan cacat berat (Haghbayan, et al., 2017).

30
BAB III
Kesimpulan

Traumatic Brain Injury (TBI) atau cedera otak traumatis merupakan kondisi dimana
kepala mengalami cedera, baik oleh benda tumpul ataupun tajam, yang akan menyebabkan
kerusakan pada fungsi otak.
Secara umum, jumlah pasien yang mengalami TBI setiap tahunnya diperkirakan sekitar
1,5–2 juta. Setengah dari pasien meninggal dan telah diprediksi menjadi penyebab utama
kematian dan kecacatan di dunia pada tahun 2020 (Goyal, et. al. 2018). Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar, Indonesia mempunyai prevalensi trauma kepala sebesar 13,2%.
Berdasarkan pola distribusi, pada umumnya di Indonesia ini trauma kepala sering terjadi pada
pasien anak yang usianya >1 tahun (50%), dan usia antara 15-44 tahun yaitu usia sekolah dan
produktif (33,7%).
Cedera otak traumatis biasanya disebabkan oleh pukulan atau cedera traumatis lainnya
pada kepala atau tubuh. Tingkat kerusakan dapat bergantung pada beberapa faktor, termasuk
sifat cedera dan kekuatan benturan.
Keputusan untuk melakukan pencitraan dalam pengaturan trauma kepala akan
tergantung pada beberapa faktor, termasuk pedoman departemen lokal dan akses ke
pencitraan. Berbagai alat klinis ada yang membantu untuk menyaring pasien yang
memerlukan pencitraan saraf akut, termasuk: Peraturan CT Kepala Kanada, kriteria Studi
Pemanfaatan X-Radiografi Darurat Nasional II (NEXUS-II), dan Kriteria Kesesuaian
American College of Radiology untuk trauma kepala.
Klasifikasi TBI terdapat sebagai berikut : EDH, ICH, SDH, SAH, DAI, IVH, Kontusio
cerebri, Fraktur kranium. Perbedaan signifikan yang terlihat dari letak terjadinya disease dan
gambaran radiologi masing-masing penyakit.
Prognosis tergantung tingkat keparahan dari trauma cedera otak. Rata-rata cedera
trauma otak dapat menyebabkan kematian. Sekitar 41,5 %, seseorang mengalami trauma
cedera otak tingkat sedang dan berat dengan prognosis yang tidak baik atau diprediksikan
menyebabkan kematian dan cacat berat

27
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S., Venigalla, H., Mekala, H.M., Dar, S., Hassan, M. and Ayub, S., 2017. Traumatic
brain injury and neuropsychiatric complications. Indian journal of psychological
medicine, 39(2), pp.114-121.
AKHIR, K.I. and NERS, P.P., Manajemen Resume Keperawatan Kegawatdaruratan Trauma
Brain Injuri (TBI) SDH dengan Tindakan Kraniotomi pada Nn I di Ruang OK Cito
Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.
American College Surgeon. 2018. Advanced Trauma Life Support (ATLS). USA: American
College Surgeon.
Brazinova, A. et al. 2018. Epidemiology of Traumatic Brain Injury in Europe: A Living
Systematic Review. Journal of Neurotrauma vol. 30, pp. 1–30.
Betris, S., 2017. Hubungan Modified Graeb Score Dengan Kematian Dalam 14 Hari Pertama
pada Penderita Stroke Perdarahan Intraventrikular.
Carney, N., Totten, A.M., O'Reilly, C., Ullman, J.S., Hawryluk, G.W., Bell, M.J., Bratton,
S.L., Chesnut, R., Harris, O.A., Kissoon, N. and Rubiano, A.M., 2017. Guidelines for
the management of severe traumatic brain injury. Neurosurgery, 80(1), pp.6-15.
Goyal, K., Hazarika, A., et al. (2018). Nonneurological complications after traumatic brain
injury: A prospective observational study. Indian Journal of Critical Care Medicine,
22(9).
Haghbayan, H., Boutin, A., Laflamme, M., Lauzier, F., Shemilt, M., Moore, L., … Turgeon,
A. F. (2017). The Prognostic Value of MRI in Moderate and Severe Traumatic Brain
Injury. Critical Care Medicine, 45(12), e1280–e1288.
doi:10.1097/ccm.0000000000002731
Kairys N, M Das J, Garg M. Acute Subarachnoid Hemorrhage. [Updated 2021 Aug 11]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-.
Kavčič, A., Meglič, B., Meglič, N.P., Vodušek, D.B. and Mesec, A., 2006. Asymptomatic
huge calcified subdural hematoma in a patient on oral anticoagulant therapy.
Neurology, 66(5), pp.758-758.
Mesfin FB, Gupta N, Hays Shapshak A, et al. 2021. Diffuse Axonal Injury. In: StatPearls
[Internet].
Mitchell, P., Wilkinson, I.D., Hoggard, N., Paley, M.N.J., Jellinek, D.A., Powell, T.,
Romanowski, C., Hodgson, T. and Griffiths, P.D., 2001. Detection of subarachnoid

28
haemorrhage with magnetic resonance imaging. Journal of Neurology, Neurosurgery &
Psychiatry, 70(2), pp.205-211.
Murtala, B., 2019. Radiologi Trauma & Emergensi. PT Penerbit IPB Press.
Netter F.H., 2019. Atlas of Human Anatomy 7th edition. Elsevier
Reis, C., Ho, W. M., Akyol, O., Chen, S., Applegate, R., & Zhang, J. (2017).
Pathophysiology of Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and Delayed
Cerebral Ischemia. Primer on Cerebrovascular Diseases, 125–130. doi:10.1016/b978-
0-12-803058-5.00025-4
Servadei, F., Compagnone, C. and Sahuquillo, J., 2007. The role of surgery in traumatic brain
injury. Current opinion in critical care, 13(2), pp.163-168.
Stornelli, S. A., & French, J. D. 1964. Subarachnoid Hemorrhage—Factors in Prognosis and
Management. Journal of Neurosurgery, 21(9), 769–780.
doi:10.3171/jns.1964.21.9.0769
Tabrizi, P. R., Obeid, R., Mansoor, A., Ensel, S., Cerrolaza, J. J., Penn, A., & Linguraru, M.
G. (2017). Cranial ultrasound-based prediction of post hemorrhagic hydrocephalus
outcome in premature neonates with intraventricular hemorrhage. 2017 39th Annual
International Conference of the IEEE Engineering in Medicine and Biology Society
(EMBC). doi:10.1109/embc.2017.8036789
Van Gijn, J., Kerr, R. S., & Rinkel, G. J. (2007). Subarachnoid haemorrhage. The Lancet,
369(9558), 306–318. doi:10.1016/s0140-6736(07)60153-6
Wulandari, D.A., Hunaifi, I. and Sampe, E., 2021. Subarachnoid Hemorrhage (SAH). Jurnal
Kedokteran, 10(1), pp.338-346.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3443867/
https://www.msdmanuals.com/professional/neurologic-disorders/stroke/intracerebral-
hemorrhage
https://www.uclahealth.org/neurosurgery/cerebral-contusion-intracerebral-hematoma
https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/traumatic-brain-injury/symptoms-causes/
syc-20378557
https://dspace.umkt.ac.id/bitstream/handle/463.2017/956/KIAN.pdf?
sequence=1&isAllowed=y
https://pediatricimaging.org/diseases/cerebral-contusion/

29

Anda mungkin juga menyukai