TRAUMA KEPALA
Oleh:
Tazqia Hidayatul Mufidah
41201396100063
Pembimbing:
dr. Dany Kurniadi Ramdhan, Sp.BS
2022
LEMBAR PERSETUJUAN
ii
KATA PENGANTAR
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
LATAR BELAKANG
Trauma kepala atau “Head trauma” merupakan jenis kasus trauma yang paling sering
menyebabkan pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat.1 Trauma kepala adalah istilah luas yang
menggambarkan trauma eksternal pada area kraniofasial tubuh baik karena trauma tumpul, trauma
tembus, ledakan, rotasi ataupun mekanisme akselerasi-deselerasi.2 Insiden trauma kepala
meningkat seiring dengan peningkatan angka kecelakaan kendaran bermotor terutama di negara
berpenghasilan menengah kebawah. Lebih dari 1,4 juta pasien trauma kepala ditangani tiap tahun
di unit gawat darurat di Amerika Serikat.3 Prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar
11,9% dan menempati posisi ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan anggota gerak
atas.4
Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu dari derajat keparahan
cedera kepala dan morfologi cedera kepala. Derajat keparahan cedera kepala dapat dibedakan
berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat.1 Pada
trauma kepala terdapat Doktrin Monro-Kellie yang mengatakan bahwa total volume pada
intrakranial harus konstan, karena kranium adalah struktur yang rigid dan tidak dapat
mengembang. Apabila terjadi peningkatan dari salah satu komponen di dalam rongga kranial atau
adanya komponen lain akan menyebabkan pengurangan atau penekanan pada komponen
lainnya.1,2 Trauma kepala dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang
dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan otak yang dapat berujung pada kematian.2
Pemeriksaan fisik yang cermat sangat diperlukan dalam mendiagnosis trauma kepala.
Penanganan kegawatdaruratan pada trauma kepala dapat mencegah terjadinya kerusakan pada
jaringan otak. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam mengenai
trauma kepala dan penanganannya untuk meminimalir terjadinya komplikasi dari trauma kepala.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7%. Kejadian cedera kepala tertinggi terjadi di
provinsi Gorontalo dengan prevalensi sebesar 17,9%.4
TBI dapat terjadi pada semua kalangan usia, tetapi puncaknya terjadi pada dewasa
muda diantara 15 – 25 tahun. Laki-laki 3 – 4 kali lipat lebih sering mengalami cedera
kepala dibanding perempuan.3 Pada TBI kelangsungan hidup dan fungsi neurologis
bergantung pada tingkan TBI yang terjadi saat itu dan efek sistemik yang dihasilkan
seperti kondisi hipotensi dan hipoksia. Oleh karena itu, penanganan awal pada pasien TBI
sangat berguna untuk meminimalkan terjadinya cedera otak sekunder.2
2.3. Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yaitu kulit, jaringan ikat, aponeurosis atau
galea aponeurotica, jaringan longgar areolar, dan periosteum atau pericranium. Karena
banyaknya pembuluh darah yang memperdarahi daerah kulit kepala, laserasi pada
daerah kulit kepala dapat menyebabkan perdarahan hebat terutama pada bayi dan
anak-anak.1
8
Gambar 2. 3 Lapisan Meninges
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
Di bawah dura mater terdapat arachnoid mater, yang merupakan lapisan
transparan tipis, tidak melekat pada dura sehingga terdapat rongga subdural (subdural
space). Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.5
Lapisan ketiga dari meninges adalah pia mater yang melekat pada permukaan
otak. Cairan cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater dan pia mater yang
disebut rongga subarachnoid (arachnoid space), sebagai bantalan dari otak dan
medula spinalis.5,6
9
d. Jaringan Otak
Otak merupakan organ semisolid yang memiliki berat sekitar 1.400 g dan
menempati sekitar 80% rongga kranium. Otak terdiri dari 3 bagian besar yaitu
cerebrum, batang otak, dan cerebellum. Cerebrum terdiri dari 2 bagian yaitu hemisfer
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx cerebri. Lobus frontal untuk mengatur fungsi
eksekutif, emosi, motoric, dan motor speech. Lobus parietal untuk fungsi sensori dan
orientasi spatial. Lobus temporal untuk regulasi memori. Lobus occipital bertanggung
jawab untuk pengelihatan. Batang otak terdiri dari otak tengah (midbrain), pons dan
medulla oblongata. Midbrain dan otak bagian atas terdiri atas reticular activating
system. Pusat kardiorespirasi berada di medulla oblongata dan diteruskan hingga
kemedulla spinalis. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi dan keseimbangan.5,6
e. Sistem Ventrikel
Ventrikel merupakan sebuah sistem yang terdiri dari ruangan berisi cairan
cerebrospinal (CSF) dan aquaduktus didalam otak. CSF secara konstran diproduksi di
pleksus choroideus yang terletak terutama di ventrikel lateral, kemudian CSF akan
melewati ventrikel ke dalam ruang subarachnoid dan akan diabsorpsi di arachnoid
granulation. Tekanan normal yang dihasilkan oleh CSF sebesar 65-195 mmH2O atau
15 mmHg. Apabila terdapat darah di dalam CSF dapat mengganggu reabsorpsi CSF
dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.5,6
10
Gambar 2. 5 Sirkulasi Cairan Cerebrospinal
Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019
2.4. Fisiologi
a. Tekanan Intrakranial
Isi rongga kranium terdiri dari jaringan otak ± 1.300 ml, darah di dalam pembuluh
darah ± 150 ml, dan cairan cerebrospinal ±150 ml. Peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan kondisi iskemia. Tekanan
intrakranial yang normal adalah 10 – 15 mmHg. Tekanan pada intrakranial lebih dari
20 mmHg menyebabkan defisit neurologis yang berujung pada prognosis yang
buruk.2,7
b. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie mengatakan bahwa total volume pada intrakranial harus
konstan, karena kranium adalah struktur yang rigid dan tidak dapat mengembang.
Apabila terjadi peningkatan dari salah satu komponen di dalam rongga kranial atau
adanya komponen lain seperti tumor dan hematom akan menyebabkan pengurangan
atau penekanan pada komponen lainnya. Aliran darah vena dan cairan cerebrospinal
dapat dekularkan dari intrakranial sebagai kompensasi dari adanya tekanan
atau pendesakkan dalam intrakranial.1,2
11
Gambar 2. 6 Doktrin Monro-Kellie
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
c. Cerebral Blood Flow
Otak merupakan organ dengan tingkat metabolisme yang tinggi dengan konsumsi
oksigen sekitar 20% dari total oksigen yang masuk ke dalam tubuh dan membutuhkan
sekitar 15% dari total cardiac output. Pada kondisi normal, Cerebral Blood Flow
(CBF) dipertahankan pada kondisi konstan dengan cara merubah diameter pembuluh
darah otak sebagai respon terhadap perubahan kondisi fisiologis. Kondisi hipertensi,
alkalosis, hipokarbia akan menyebabkan vasokonstriksi cerebral, sedangkan kondisi
hipotensi, asidosis dan hiperkarbia akan menyebabkan vasodilatasi cerebral.2
Vasoaktif cerebral juga sangat sensitif terhadap perubahan tekanan parsial oksigen
(PO2) dan karbon dioksida (PCO2). Penurunan 1 mmHg PCO2 akan menurunkan
diameter pembuluh darah cerebral sebesar 2-3% dan perubahan CBF sebesar 1,1
mL/100g pada jaringan/menit. Penurunan PO2 akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah serebral untuk memastikan oksigenasi pada jaringan otak tetap adekuat. Apabila
terjadi kerusakan otak, peningkatan CBF, dilatasi vaskular dan gangguan blood brain
barrier (BBB) dapat menyebabkan edema vasogenik dan akan meningkatkan tekanan
intrakranial.2
Vaskularisasi untuk ke otak pada normalnya dapat mengalami vasokonstriksi dan
vasodilatasi bergantung pada perubahan mean arterial blood pressure (MAP). Untuk
12
tujuan klinis, cerebral perfusion pressure (CPP) didefinisikan sebagai hasil dari
pengurangan MAP dan ICP (CPP = MAP – ICP). Nilai MAP 50 mmHg – 150 mmHg
adalah nilai yang dipertahankan dengan cara autoregulasi agar otak mendapatkan
suplai darah. Pada keadaan trauma kepala yang berat dapat mengganggu mekanisme
autoregulasi dari MAP ini dan dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu.
Jika MAP terlalu rendah, maka dapat menyebabkan iskemik dan infark jaringan otak.
Sebaliknya, jika MAP terlalu tinggi, dapat pula terjadi edema serebri.1,2
d. Refleks Cushing
Refleks Cushing atau fenomena Cushing merupakan refleks fisiologis sistem saraf
terhadap peningkatan tekanan intrakranial akut yang ditandai dengan hipertensi
progresif (peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik), bradikardi,
pernafasan yang ireguler.1,8
13
Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu fraktur
tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur tulang tengkorak dapat dibagi menjadi
fraktur tempurung dan fraktur basilar. Lesi intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu lesi
fokal dan lesi difus.1
14
Fraktur pada basal tulang tengkorak dapat diidentifikasi dengan gejala
patognomonik yaitu adanya raccoon’s eyes atau panda bear eyes yang terjadi akibat
rembesan darah dari anterior fossa ke jaringan periorbital, battle signs (ekimosis pada
mastoid) dan adanya kebocoran dari cairan cerebrospinal dari hidung (rhinorrhea),
telinga (otorrhea), disfungsi dari saraf kranialis VII dan VIII yang dapat terjadi
langsung ataupun beberapa hari kemudian.1,5
15
pemeriksaan CT scan kepala akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk bikonveks
diantara jaringan otak dan tulang tengkorak.1,5
16
Hematoma intercerebral adalah perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak.
Perdarahan intercerebral sering berhubungan dengan kontusio atau memar
pada jaringan otak. Sebanyak 20-30% pasien dengan trauma kepala berat mengalami
kontusio. Kontusio sering terjadi pada lobus frontal dan temporal, meskipun dapat
terkena juga pada daerah otak yang lainnya. Lesi memar pada jaringan otak terdiri dari
perdarahan, jaringan infark dan nekrosis. Lesi coup biasa ditemukan di tempat
terjadinya perlukaan. Lesi countercoup berada pada daerah yang berlawanan dengan
tempat terjadinya perlukaan. Lesi konsutio dalam hitungan hari ataupun jam dapat
berubah menjadi hematoma intercerebral.1,5
17
Lemas
Sensitif terhadap suara
atau cahaya
Trauma axon dapat terjadi akibat adanya kombinasi dari rotasional akselerasi dan
deselerasi ketika terjadi trauma sehingga terjadi robekan antara jalur axon dan kapiler.
Kejadian yang paling sering menyebabkan trauma axonal adalah kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan tinggi. Axon yang rentan untuk mengalami trauma berada di
cerebral white matter, corpus callosum, dan batang otak. Trauma axon merupakan
kesatuan yang kompleks dimana peregangan pada axon dapat menyebabkan
perubahan permeabilitas pada axon yang mengganggu transpor dari axon itu sendiri
dan metabolisme selular yang berujung dengan cepat atau lambat kepada kematian
sel.9
Trauma kepala juga dapat diklasifikasikan menjadi trauma kepala langsung (direk)
dan trauma kepala tidak langsung (indirek). Trauma kepala direk terjadi ketika pergerakan
kepala terhenti tiba-tiba akibat adanya suatu objek. Hal tersebut akan menyebabkan
kerusakan pada tulang kranium dan otak yang bergantung pada konsistensi, berat, area
permukaan, dan kecepatan objek tersebut mengenai kepala. Trauma kepala direk juga
dapat menyebabkan kompresi pada kepala. Derajat kerusakan trauma kepala direk juga
bergantung pada elastisitas jaringan otak, durasi kekuatan yang didapatkan, besarnya gaya
yang mengenai jaringan otak, dan permukaan otak yang terkena. Trauma kepala indirek
terjadi akibat pergerakan dari isi rongga kranium akibat gaya selain yang berasal dari
kontak langsung benda dengan kepala. Contoh umum dari trauma indirek adalah trauma
akselerasi-deselerasi.2
18
Gambar 2. 13 Lesi Coup dan Countercoup
19
Hipoksia merupakan kondisi dimana PO2 kurang dari 60 mmHg yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti kondisi apnea baik sementara maupun
berkepanjangan setelah kejadian trauma, obstruksi jalan nafas akibat darah, muntahan
ataupun debris yang lain, trauma pada dinding dada yang mengganggu sistem respirasi
normal, cedera pada paru yang menurunkan efektivitas oksigenasi, dan manajemen
jalan nafas yang tidak efektif. Hiperkarbia merupakan kondisi dimana PaCO2 ≥ 46
mmHg dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien cedera kepala.
Hiperkarbia akan menyebabkan vasodilatasi serebral yang akan berujung pada edema
serebri dan peningkatan ICP. Anemia pada cedera kepala dapat disebabkan oleh
adanya kehilangan darah sehingga kapasitas pengangkutan oksigen ke jaringan otak
yang mengalami kerusakan akan berkurang. Hiperpireksia merupakan kondisi ketika
suhu tubuh mencapai >38,5°C yang akan menyebabkan peningkatan metabolisme area
otak yang mengalami cedera sehingga meningkatkan aliran darah ke area tersebut dan
pada akhirnya menyebabkan peningkatan ICP.2
20
biasanya dapat ditemukan adanya perubahan kesadaran atau level of consciousness
(LOC), dan apabila didapatkan hal tersebut didapatkan maka beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan perubahan status mental seperti hipoksia, hipotensi, atau
hipoglikemia harus diidentifikasi dan diatasi. Hipoksia pada pasien cedera kepala
dapat disebabkan karena cedera pada pusat pernapasan atau karena cedera pada sistem
pernapasan. Hipotensi pada pasien cedera kepala juga dapat berhubungan dengan
cedera di tempat yang lain. Selain itu intoksikasi zat yang dikonsumsi sebelumnya,
hipoglikemia, posttraumatic seizure (PTS) juga dapat menjadi penyebab penurunan
kesadaran. Adanya peningkatan ICP karena adanya edema otak atau karena adanya
massa dapat menyebabkan kompresi pada RAS dan menyebabkan penurunan
kesadaran.2
c. Sindrom Hernia Cerebral
Hernia cerebral dapat terjadi ketika peningkatan volume intrakranial dan ICP
melebihi kapasitas mekanisme kompensasi sistem saraf pusat. Terdapat 4 tipe herniasi
otak yaitu herniasi subfalcine, herniasi sentral, herniasi uncal, dan herniasi
serebelotonsilar.Apabila gejala dan tanda sindrom herniasi muncul maka mortalitas
akan meningkat mencapai 100% tanpa adanya tindakan gawat darurat sementara dan
terapi bedah saraf definitif.2,11
21
Hernia uncal merupakan sindrom hernia traumatik yang paling umum terjadi.
Biasanya hernia uncal berhubungan dengan hematoma ekstra-aksial pada lateral
middle fossa atau pada lobus temporal. Ketika kompresi pada uncus mulai terjadi
maka n. occulomotorius (N.III) akan mengalami kompresi dan menyebabkan adanya
anisokoria, ptosis, gangguan gerakan ekstraokular, refleks pupil berkurang pada area
ipsilateral dari lesi yang berkembang. Kemudian seiring berkembangnya herniasi
maka akan tampak dilatasi pupil dan non-reaktif pada mata ipsilateral.2,12
Pada awal proses herniasi, pemeriksaan motorik dapat normal, tetapi refleks
Babinski pada kontralateral dapat muncul lebih awal. Apabila peduncle ipsilateral
menekan tentorium maka dapat muncul hemiparesis kontralateral dan akan apabila
terus berkembang akan ditemukan deserebrasi postur bilateral. Pada beberapa TBI,
peduncle cerebral kontralateral dapat menekan bagian sisi yang berlawanan sehingga
dapat juga ditemukan hemiparesis ipsilateral (Kernohan’s notch syndrome).2
Pada herniasi uncal dapat terjadi kompresi secara langsung pada batang otak
yang akan menyebabkan perubahan LOC, gangguan fungsi respirasi dan
kardiovaskular. Status hemodinamik pasien dapat berubah dengan cepat. Hernia yang
tidak terkontrol dapat terus berkembang dan menyebabkan kegagalan batang otak,
kolaps sistem kardiovaskular, dan kematian.2
Herniasi sentral terjadi ketika diencephalon (thalamus dan hipotalamus)
dan bagian medial dari lobus temporalis dipaksa untuk melewati lekukan di tentorium.
Yang sering menjadi penyebab utama terjadinya herniasi sentral adalah edema
serebral yang bersifat difus yang biasa terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat.
Gejala yang prominen adalah pupil pinpoint bilateral, Babinski’s sign bilateral,
peningkatan tonus otot.11
Herniasi subfalcine terjadi pada pasien dengan massa yang terjadi pada bagian
lobus frontal yang menyebabkan girus cingulate herniasi melewati falx serebri.
Herniasi subfalcine merupakan herniasi yang paling sering terjadi diantara semua tipe
herniasi otak. Gejala yang ditimbulkan saat terjadi herniasi subfalcine adalah
penurunan kesadaran, kelemahan ekstrimitas bawah kontralateral. Pada gambaran
radiologi, karakteristik dari herniasi subfalcine adalah adanya pergeseran dari
22
septum pellucidum, tanduk anterior dari ventrikel lateral terlihat tipis dan adanya
kompresi arteri serebral anterior.
Herniasi serebelotonsilar terjadi ketika tonsil serebelar turun kebawah melalui
foramen magnum yang menyebabkan terjadinya kompresi dari medulla oblongata dan
spinal cord bagian servikal. Herniasi sereberotonsilar dapat menyebabkan disfungsi
dari jantung dan fungsi pernafasan.11
23
• Disability
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan singkat dan cepat. Dilakukan pemeriksaan
tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), reflek cahaya, dan
defisit neurologis fokal. Pemeriksaan doll’s eye movement (oculocephalic), tes
kalorik dengan air dingin (oculovestibular) dan reflek kornea dapat dilakukan oleh dokter
bedah saraf. Dolls’s eye tidak boleh dilakukan sampai dapat dipastikan tidak ada cedera
pada bagian cervical.1
• Exposure
Semua pakaian pasien dapat dibuka untuk mengetahui adanya perlukaan pada daerah
tubuh yang lain.1
b. Secondary Survey
Pada secondary survey dapat dilakukan pemeriksaan status generalisata secara lebih
mendetail dibandingkan pada primary survey. Pemeriksaan neurologis yang dapat
dilakukan pada secondary survey adalah pemeriksaan GCS, lateralisasi, dan reaksi pupil.
Setelah dilakukan pemeriksaan status generalisata dan neurologis secara mendetail dan
kondisi pasien sudah stabil, pemeriksaan CT-Scan pada pasien dengan trauma kepala harus
segera dilakukan dan dapat diulang 24 jam berikutnya jika didapatkan kontusio atau
hematoma pada hasil CT-Scan awal. Penemuan bermakna pada CT-Scan dapat meliputi
pembengkakan pada bagian kulit kepala, hematoma subgaleal didaerah yang terkena
trauma. Fraktur tulang kepala dapat dilihat dengan lebih baik menggunakan bone window,
tetapi dapat juga terlihat pada soft-tissue window. Penemuan penting pada CT-Scan kepala
pada pasien dengan trauma kepala adalah perdarahan intrakranial, kontusio, pergeseran
midline (efek massa) dan hilangnya sisterna.1
24
melihat adanya kelainan pada tulang. Beberapa indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
pasien dengan trauma kepala ringan akan dijelaskan dalam tabel berikut.1
CT-Scan diperlukan untuk pasien dengan kecurigaan trauma kepala ringan (yaitu kehilangan
kesadaran yang dapat dilihat, amnesia definitif, adanya disorientasi pada pasien dengan skor GCS
13-15) dan salah satu dari faktor berikut:
Risiko tinggi untuk intervensi bedah saraf Risiko sedang untuk cedera otak pada CT-Scan
• GCS <15 dalam 2 jam setelah kejadian • Pasien yang hilang kesadaran lebih dari 5
trauma menit
• Dicurigai adanya fraktur terbuka atau • Hilang ingatan lebih dari 30 menit sebelum
depresi kejadian
• Adanya tanda-tanda dari fraktur basal • Pasien yang trauma dengan mekanisme
tulang tengkorak trauma yang hebat (tertabrak oleh kendaraan
• Episode muntah lebih dari 2x bermotor, terlempar dari kendaraan bermotor,
• usia lebih dari 65 tahun jatuh dari ketinggian 3 kaki atau 1 meter)
• Penggunaan obat antikoagulan
Pasien trauma kepala ringan dapat dirawat inap dan dirujuk ke bedah saraf jika
ada kelainan pada hasil CT-Scan kepala, adanya gejala simptomatis yang menetap,
dan adanya kelainan neurologis yang menetap. Pasien yang sadar dan asimptomatis
dapat diobservasi, jika kondisi stabil maka pasien dapat dipulangkan dengan syarat
dirumah harus diobservasi selama 24 jam pertama, jika ada tanda-tanda seperti
penurunan kesadaran, nyeri kepala yang hebat, maka pasien harus segera kembali ke
rumah sakit.1
25
Gambar 2. 16 Algoritma Tatalaksana Trauma Kepala Ringan
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
b. Trauma Kepala Sedang
Pasien dengan trauma kepala sedang masih dapat mengikuti instruksi sederhana
meskipun pasien dalam keadaan bingung, terdapat gejala defisit neurologis fokal. CT-
Scan harus segera dilakukan pada pasien dengan trauma kepala sedang dan harus
segera menghubungi dokter bedah saraf jika memerlukan untuk dirujuk. Pasien
seharusnya dirawat di ICU untuk observasi ketat dalam 12 hingga 24 jam pertama.
Dapat dipertimbangkan untuk CT-Scan ulangan jika ada kelainan pada hasil CT-Scan
yang pertama dan adanya penurunan status neurologis.1
26
Gambar 2. 17 Algoritma Tatalaksalana Trauma Kepala Sedang
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
27
2.9. Tatalaksana Medikamentosa Trauma Kepala
Tujuan utama dari tatalaksana trauma pada kepala adalah untuk mencegah
terjadinya kerusakan sekunder pada otak yang sudah mengalami trauma. Prinsip dasar
tatalaksana trauma kepala adalah jaringan otak yang sudah mengalami kerusakan
diberikan kondisi seoptimal mungkin untuk mengalami perbaikan dan kembali ke fungsi
normal.1
a. Cairan Intravena
Cairan intravena dan produk darah harus segera diberikan ketika melakukan
resusitasi pada pasien dengan trauma kepala agar kondisi pasien tetap dipertahankan
pada kondisi normovolemia. Kondisi hipovolemia sangat berbahaya pada pasien
trauma kepala. Harus juga diperhatikan agar tidak kelebihan cairan yang dapat
menyebabkan pada edema serebri. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk
digunakan. Cairan yang mengandung glukosa juga tidak dianjurkan karena dapat
berujung pada hiperglikemia dan merusak otak. Cairan yang dianjurkan adalah ringer
laktat atau normal saline. Kadar sodium juga harus di monitor agar tidak menjadi
hiponatremia yang dapat menyebabkan edema serebri.1
b. Koreksi Antikoagulan
Diperlukan pernilaian dan pengelolaan dengan hati-hati pada pasien yang
mengalami trauma kepala dan mendapatkan terapi antikoagulan atau antiplatelet.
Setelah mendapatkan nilai international normalized ratio (INR), dokter harus segera
melakukan CT-Scan pada pasien bila diindikasikan. Secara umum menormalkan
antikoagulan secara cepat diperlukan pada pasien trauma kepala.1
28
c. Hiperventilasi
Kondisi normocarbia disarankan pada kebanyakan pasien. Kondisi
hiperventilasi bekerja dengan cara menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan
vasokonstriksi dari pembuluh darah. Kondisi hiperventilasi yang agresif
dan berkepanjangan juga dapat menyebabkan iskemik pada jaringan otak.
Kadar PaCO2 pada keadaan hiperventilasi dapat mencapai hingga dibawah 30 mmHg.
Kondisi hiperkarbia dimana PaCO2 >45 mmHg akan menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan tekanan intrakranial dimana kondisi tersebut harus dicegah. Penggunaan
hiperventilasi sebaiknya hanya dalam jumlah sedikit dan untuk periode sesingkat
mungkin. Secara keseluruhan kondisi PaCO2 dapat dipertahankan pada 35 mmHg
yaitu nilai terbawah dari kadar normal. Keadaan hiperventilasi dapat menurunkan
tekanan intrakranial dengan kondisi hematoma yang bertambah luas pada keadaan
yang membutuhkan tindakan emergensi kraniotomi.1
d. Mannitol
Manitol digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP. Kadar manitol yang biasa
digunakan adalah 20% dari cairan (20g manitol per 100ml cairan). Tidak boleh
digunakan pada pasien dengan hipotensi karena menyebabkan eksaserbasi hipotensi
dan iskemik serebri. Kerusakan neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis, atau hilang kesadaran merupakan indikasi untuk pemberian manitol
dimana kondisi pasien adalah euvolemia. Pada kondisi seperti ini dapat diberikan
manitol bolus (1g/kg) dapat diberikan dalam waktu cepat (lebih dari 5 menit) dan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau langsung dilakukan tindakan operatif jika lesi
intrakranial sudah diidentifikasi.1
e. Salin Hipertonik
Salin hipertonik digunakan juga untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, yang lebih
memungkinkan menjadi pilihan terbaik pada pasien dengan hipotensi karena tidak
berperan sebagai diuretik.1
f. Barbiturate
Barbiturate efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sulit
untuk diturunkan. Tidak boleh digunakan pada keadaan hipotensi atatu hipovolemia.
29
Efek samping dari barbiturat sendiri adalah hipotensi sehingga tidak disarankan untuk
resusitasi pada keadaan akut.1
g. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
trauma kepala tertutup dan 15% dari pasien dengan trauma kepala berat. Tiga faktor
utama yang terkait tingginya insiden epilepsi adalah kejang terjadi dalam minggu
pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tulang tengkorak. Kejang akut
dapat dikontrol menggunakan antikonvulsan, akan tetapi pemberian antikonvulsan
terlalu dini tidak akan mengubah hasil akhir kejang traumatis jangka panjang.1
Antikonvulsan juga dapat menghambat pemulihan otak, sehingga digunakan ketika
benar-benar membutuhkan. Antikonvulsan yang digunakan saat ini adalah fenitoin
dan fosfenitoin dalam kondisi akut. Pada orang dewasa dosis awal yang diberikan
adalah 1gram fenitoin diberikan secarai intravena dan tidak lebih cepat dari 50
mg/menit. Dosis pemeliharaan adalah 100 mg/8jam, dengan dosis titrasi hingga
mencapai kadar untuk terapi. Diazepam ataupun lorazepam dapat digunakan juga
sebagai tambahan hingga kejang berhenti. Jika kejang berlanjut terus menerus dapat
dilakukan anestesi secara umum. Kejang yang berkepanjangan (30 hingga 60 menit)
dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada otak.1
30
Tabel 2. 4 Indikasi Pembedahan pada Trauma Kepala13
Pada pasien dengan luka penetrasi pada kepala dapat dilakukan CT scan, atau foto
polos kepala jika tidak ada CT-Scan untuk melihat adanya peluru atau benda asing yang
besar dan udara di dalam intrakranial. Pasien dengan luka penetrasi yang melibatkan
orbitofacial atau regio pterional sebaiknya dilakukan angiografi untuk mencari adanya
aneurisma traumatik intrakranial atau arteriovenous fistula. Antibiotik broad-spectrum
sebagai profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan trauma penetrasi pada kepala.
Benda asing yang masuk kedalam jaringan otak harus tetap didiamkan ditempatnya
sampai trauma vaskular telah dievaluasi dan tatalaksana bedah saraf sudah dilakukan.
Pencabutan benda asing yang penetrasi pada jaringan otak dapat membuat kejadian trauma
vaskular dan perdarahan intrakranial yang fatal.1
31
Burr hole craniostomy/kraniotomi telah dianjurkan sebagai metode diagnosis
emergensi untuk mengidentifikasi adanya hematoma pada pasien yang mengalami
deteriorasi neurologis dengan cepat dimana di tempat tersebut tidak ada pemeriksaan
pencitraan dan dokter bedah saraf. Kraniektomi dekompresi merupakan prosedur
pembedahan dengan mengambil tulang tempurung kepala dengan tujuan mengurangi
peningkatan ICP dan memperbaiki kondisi pasien. Kraniektomi dekompresi bifrontal
dapat digunakan untuk pasien cedera kepala dengan kerusakan yang difus dan peningkatan
ICP mencapai >20 mmHg selama lebih dari 15 menit dalam periode 1 jam yang berulang
setelah tatalaksana awal diberikan.1,2
32
Terjadi setelah luka tusuk pada kepala. Manifestasi klinis berupa nyeri, bengkak,
dan panas di area trauma. Pemberian antibiotik berdasarkan hasil kultur. Jika
terjadi gejala sistemik maka perlu dipertimbangkan adanya subdural atau epidural
empyema.2
2.12. Prognosis
Hasil akhir dari trauma kepala tergantung pada beberapa faktor. Skor GCS dapat
memberikan beberapa informasi penting terutama skor motorik. Pasien dengan GCS
kurang dari 8 memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pasien usia lanjut, dengan komorbid,
gangguan pernapasan, dan kondisi koma juga memiliki prognosis yang buruk. Semua
pasien trauma kepala harus segera diberikan tatalaksana secara agresif sambil menunggu
konsultasi dengan ahli bedah saraf, terutama pada anak-anak yang memiliki kemampuan
untuk pulih dari cedera bahkan yang parah sekalipun.1,7
33
BAB III
KESIMPULAN
Trauma kepala adalah istilah luas yang menggambarkan trauma eksternal pada area
kraniofasial tubuh baik karena trauma tumpul, trauma tembus, ledakan, rotasi ataupun mekanisme
akselerasi-deselerasi.
Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu berdasarkan derajat
keparahan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat, dan berdasarkan morfologi cedera
kepala menjadi fraktur tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Berdasarkan progresivitasnya cedera
kepala dibagi menjadi 3 yaitu cedera primer, cedera sekunder, dan secondary brain insult. Trauma
kepala dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan terjadinya
desakan intrakranial sehingga menyebabkan timbulnya beberapa manifestasi seperti defisit
neurologis, penurunan kesadaran, gangguan fungsi respirasi dan kardiovaskular sehingga dapat
berujung pada kematian.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support 10th Ed. Chicago: Americans
College of Surgeons. 2018.
2. Walls R et al. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice 9th Ed.
Philadelphia: Elsevier. 2018.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar
2018. Kementerian Kesehatan RI. 2018.
5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter's Neurology 2nd Ed. Philadelphia:
Elsevier. 2012.
6. Hansen J, Netter F. Netter’s Clinical Anatomy 4th Ed. Philadelphia: Elsevier. 2019.
7. Shaikh F, Waseem M. Head Trauma. [Updated 2022 May 15]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
8. Dinallo S, Waseem M. Cushing Reflex. [Updated 2022 Mar 26]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
9. Watanabe TK, Marino MH. Traumatic Brain Injury. In: Maitin IB, Cruz E. eds. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Physical Medicine & Rehabilitation. New York, NY: McGraw-
Hill; 2014.
10. Satyanegara, Arifin MZ, Hasan RY, Abubakar S, et al. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara
Edisi V. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2014.
11. Pandey AS, Thompson B. Neurosurgery. In: Doherty GM. eds. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery, 14 Ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2014.
12. Wright DW, Merck LH. Chapter 254. Head Trauma in Adults and Children. In: Tintinalli
JE, Stapczynski J, Ma O, Cline DM, Cydulka RK, Meckler GD, T. eds. Tintinalli's
Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7 Ed. New York, NY: McGraw-Hill;
2011.
35
13. Atmadja Andika S. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK Journal. 2016.
43(1): 29-33.
14. Drake R, Vogl W, Mitchell A. Gray’s Basic Anatomy 1st Ed. Philadelphia: Elsevier. 2012.
36