Anda di halaman 1dari 36

REFERAT

TRAUMA KEPALA

Oleh:
Tazqia Hidayatul Mufidah
41201396100063

Pembimbing:
dr. Dany Kurniadi Ramdhan, Sp.BS

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH RSUP FATMAWATI

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Referat dengan Judul


“TRAUMA KEPALA”
Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan
klinik ilmu bedah di RSUP Fatmawati periode 1 Agustus – 7 Oktober 2022

Jakarta, 14 Agustus 2022

dr. Dany Kurniadi Ramdhan, Sp.BS

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Salam sejahtera bagi kita semua.
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat
dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah referat yang berjudul “Trauma
Kepala” dalam Kepaniteraan Klinik Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah di RSUP Fatmawati. Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang selalu menjadi panutan kehidupan umat manusia.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnyanya
kepada para pengajar, fasilitator dan narasumber KSM Bedah RSUP Fatmawati, khususnya dr.
Dany Kurniadi Ramdhan, Sp.BS selaku pembimbing dalam referat ini yang senantiasa
memberikan ilmu dan nasihat kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak akan sangat dibutuhkan.
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah referat ini dapat memberikan
manfaat bagi yang membacanya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Jakarta, 14 Agustus 2022

Tazqia Hidayatul Mufidah

iii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ....................................................................................................................... ii


KATA PENGANTAR ................................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... iv
BAB I LATAR BELAKANG ..................................................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................................ 6
2.1. Definisi Trauma Kepala ............................................................................................................. 6
2.2. Epidemiologi Trauma Kepala .................................................................................................... 6
2.3. Anatomi........................................................................................................................................ 7
2.4. Fisiologi ...................................................................................................................................... 11
2.5. Klasifikasi Trauma Kepala ...................................................................................................... 13
2.6. Patofisiologi Cedera Kepala ..................................................................................................... 19
2.7. Primary Survey dan Secondary survey .................................................................................. 23
2.8. Algoritma Tatalaksana Trauma Kepala ................................................................................. 24
2.9. Tatalaksana Medikamentosa Trauma Kepala ....................................................................... 28
2.10. Tatalaksana Pembedahan .................................................................................................... 30
2.11. Komplikasi Trauma Kepala ................................................................................................. 32
2.12. Prognosis ................................................................................................................................ 33
BAB III KESIMPULAN........................................................................................................................... 34
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................ 35

iv
BAB I

LATAR BELAKANG

Trauma kepala atau “Head trauma” merupakan jenis kasus trauma yang paling sering
menyebabkan pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat.1 Trauma kepala adalah istilah luas yang
menggambarkan trauma eksternal pada area kraniofasial tubuh baik karena trauma tumpul, trauma
tembus, ledakan, rotasi ataupun mekanisme akselerasi-deselerasi.2 Insiden trauma kepala
meningkat seiring dengan peningkatan angka kecelakaan kendaran bermotor terutama di negara
berpenghasilan menengah kebawah. Lebih dari 1,4 juta pasien trauma kepala ditangani tiap tahun
di unit gawat darurat di Amerika Serikat.3 Prevalensi kejadian cedera kepala di Indonesia sebesar
11,9% dan menempati posisi ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan anggota gerak
atas.4

Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu dari derajat keparahan
cedera kepala dan morfologi cedera kepala. Derajat keparahan cedera kepala dapat dibedakan
berdasarkan Glasgow Coma Scale (GCS) menjadi cedera kepala ringan, sedang, dan berat.1 Pada
trauma kepala terdapat Doktrin Monro-Kellie yang mengatakan bahwa total volume pada
intrakranial harus konstan, karena kranium adalah struktur yang rigid dan tidak dapat
mengembang. Apabila terjadi peningkatan dari salah satu komponen di dalam rongga kranial atau
adanya komponen lain akan menyebabkan pengurangan atau penekanan pada komponen
lainnya.1,2 Trauma kepala dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial yang
dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu. Hal tersebut dapat menyebabkan kerusakan
pada jaringan otak yang dapat berujung pada kematian.2

Pemeriksaan fisik yang cermat sangat diperlukan dalam mendiagnosis trauma kepala.
Penanganan kegawatdaruratan pada trauma kepala dapat mencegah terjadinya kerusakan pada
jaringan otak. Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh dan mendalam mengenai
trauma kepala dan penanganannya untuk meminimalir terjadinya komplikasi dari trauma kepala.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Trauma Kepala


Trauma kepala atau “Head trauma” merupakan jenis kasus trauma yang paling
sering menyebabkan pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).1 Trauma kepala
adalah istilah luas yang menggambarkan trauma eksternal pada area kraniofasial tubuh
baik karena trauma tumpul, trauma tembus, ledakan, rotasi ataupun mekanisme akselerasi-
deselerasi. Istilah cedera kepala atau “head injury” merujuk pada cedera yang terbukti
secara klinis pada pemeriksaan fisik dan dikenali dengan adanya ekimosis, laserasi atau
deformitas. Sedangkan istilah “Traumatic Brain Injury” (TBI) mengindikasikan adanya
cedera pada otak itu sendiri.2

2.2. Epidemiologi Trauma Kepala


Insiden trauma kepala meningkat seiring dengan peningkatan angka kecelakaan
kendaran bermotor terutama di negara berpenghasilan menengah kebawah dan
menurunnya populasi usia lanjut pada negara berpenghasilan tinggi. Kasus kekerasan
dilaporkan menjadi penyebab trauma kepala tertutup pada sekitar 7 – 10% kasus. Trauma
tembus sering terjadi pada penggunaan senjata api, sedangkan trauma akibat ledakan
meningkat karena adanya peningkatan penggunaan alat peledak yang biasa digunakan
oleh teroris maupun penyerang lainnya.3 Luka tembak pada kepala memiliki angka
mortalitas yang tinggi yaitu diperkirakan mencapai 90% dengan 70% kematiannya terjadi
di lokasi kejadian.2
Lebih dari 1,4 juta pasien trauma kepala ditangani tiap tahun di unit gawat darurat
di Amerika Serikat dan sekitar 21% pasien tersebut dirawat inap. Hampir 10% dari seluruh
jumlah kematian di Amerika Serikat disebabkan karena cedera, dan setengah dari
kematian akibat cedera melibatkan cedera pada otak. Di Amerika Serikat cedera kepala
terjadi setiap 7 detik, dan traumatic brain injury terjadi setiap 5 menit.3
Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 prevalensi kejadian
cedera kepala di Indonesia berada pada angka 11,9%. Cedera kepala menempati posisi
ketiga setelah cedera pada anggota gerak bawah dan anggota gerak atas atas dan dengan

6
prevalensi masing-masing 67,9% dan 32,7%. Kejadian cedera kepala tertinggi terjadi di
provinsi Gorontalo dengan prevalensi sebesar 17,9%.4
TBI dapat terjadi pada semua kalangan usia, tetapi puncaknya terjadi pada dewasa
muda diantara 15 – 25 tahun. Laki-laki 3 – 4 kali lipat lebih sering mengalami cedera
kepala dibanding perempuan.3 Pada TBI kelangsungan hidup dan fungsi neurologis
bergantung pada tingkan TBI yang terjadi saat itu dan efek sistemik yang dihasilkan
seperti kondisi hipotensi dan hipoksia. Oleh karena itu, penanganan awal pada pasien TBI
sangat berguna untuk meminimalkan terjadinya cedera otak sekunder.2

2.3. Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yaitu kulit, jaringan ikat, aponeurosis atau
galea aponeurotica, jaringan longgar areolar, dan periosteum atau pericranium. Karena
banyaknya pembuluh darah yang memperdarahi daerah kulit kepala, laserasi pada
daerah kulit kepala dapat menyebabkan perdarahan hebat terutama pada bayi dan
anak-anak.1

Gambar 2. 1 Anatomi Kulit Kepala


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019
b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak memiliki 22 tulang, dimana 8 tulang tersebut membentuk
kranium dan 14 tulang lainnya membentuk wajah. Kranium terdiri dari 2 bagian yaitu
bagian tempurung (cranial vault) dan bagian basal. Bagian kubah superior dari
kranium disebut dengan calvaria. Tulang-tulang yang membentuk calvaria strukturnya
7
unik, terdiri dari tabula interna dan tabula externa tulang kompakta yang dipisahkan
oleh lapisan tulang rawan berongga (diploe). Tempurung tulang tengkorak merupakan
struktur yang tipis terutama bagian temporal. Bentuk dari basal tulang tengkorak
iregular sehingga ketika terjadi adanya akselerasi dan deselerasi maka dapat
menyebabkan trauma pada otak. Bagian dari basal tulang tengkorak dapat dibagi
menjadi 3 bagian besar yaitu anterior fossa tempat dari lobus frontal, middle fossa
untuk lobus temporal, dan posterior fossa untuk cerebellum dan brainstem bagian
bawah.1,4

Gambar 2. 2 Anatomi Calvaria


Sumber: Gray’s Basic Anatomy, 2012
c. Lapisan Meninges
Lapisan meninges terdiri dari 3 lapisan yaitu dura mater, arachnoid mater, dan
pia mater. Dura mater merupakan lapisan meninges terluar yang menempel
pada bagian dalam dari tulang tengkorak. Diantara dura mater (epidural space)
terdapat pembuluh darah yaitu arteri meningea. Arteri meningea yang paling sering
terkena trauma adalah arteri meningea media yang berada pada bagian temporal fossa.
Trauma pada arteri meningea dapat menyebabkan epidural hematoma (EDH).5,6

8
Gambar 2. 3 Lapisan Meninges
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
Di bawah dura mater terdapat arachnoid mater, yang merupakan lapisan
transparan tipis, tidak melekat pada dura sehingga terdapat rongga subdural (subdural
space). Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan
otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.5
Lapisan ketiga dari meninges adalah pia mater yang melekat pada permukaan
otak. Cairan cerebrospinal mengisi ruang antara arachnoid mater dan pia mater yang
disebut rongga subarachnoid (arachnoid space), sebagai bantalan dari otak dan
medula spinalis.5,6

Gambar 2. 4 Lapisan Meninges


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019

9
d. Jaringan Otak
Otak merupakan organ semisolid yang memiliki berat sekitar 1.400 g dan
menempati sekitar 80% rongga kranium. Otak terdiri dari 3 bagian besar yaitu
cerebrum, batang otak, dan cerebellum. Cerebrum terdiri dari 2 bagian yaitu hemisfer
kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falx cerebri. Lobus frontal untuk mengatur fungsi
eksekutif, emosi, motoric, dan motor speech. Lobus parietal untuk fungsi sensori dan
orientasi spatial. Lobus temporal untuk regulasi memori. Lobus occipital bertanggung
jawab untuk pengelihatan. Batang otak terdiri dari otak tengah (midbrain), pons dan
medulla oblongata. Midbrain dan otak bagian atas terdiri atas reticular activating
system. Pusat kardiorespirasi berada di medulla oblongata dan diteruskan hingga
kemedulla spinalis. Cerebellum berfungsi untuk koordinasi dan keseimbangan.5,6
e. Sistem Ventrikel
Ventrikel merupakan sebuah sistem yang terdiri dari ruangan berisi cairan
cerebrospinal (CSF) dan aquaduktus didalam otak. CSF secara konstran diproduksi di
pleksus choroideus yang terletak terutama di ventrikel lateral, kemudian CSF akan
melewati ventrikel ke dalam ruang subarachnoid dan akan diabsorpsi di arachnoid
granulation. Tekanan normal yang dihasilkan oleh CSF sebesar 65-195 mmH2O atau
15 mmHg. Apabila terdapat darah di dalam CSF dapat mengganggu reabsorpsi CSF
dan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial.5,6

10
Gambar 2. 5 Sirkulasi Cairan Cerebrospinal
Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019
2.4. Fisiologi
a. Tekanan Intrakranial
Isi rongga kranium terdiri dari jaringan otak ± 1.300 ml, darah di dalam pembuluh
darah ± 150 ml, dan cairan cerebrospinal ±150 ml. Peningkatan tekanan intrakranial
(ICP) dapat menurunkan perfusi otak dan menyebabkan kondisi iskemia. Tekanan
intrakranial yang normal adalah 10 – 15 mmHg. Tekanan pada intrakranial lebih dari
20 mmHg menyebabkan defisit neurologis yang berujung pada prognosis yang
buruk.2,7
b. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie mengatakan bahwa total volume pada intrakranial harus
konstan, karena kranium adalah struktur yang rigid dan tidak dapat mengembang.
Apabila terjadi peningkatan dari salah satu komponen di dalam rongga kranial atau
adanya komponen lain seperti tumor dan hematom akan menyebabkan pengurangan
atau penekanan pada komponen lainnya. Aliran darah vena dan cairan cerebrospinal
dapat dekularkan dari intrakranial sebagai kompensasi dari adanya tekanan
atau pendesakkan dalam intrakranial.1,2

11
Gambar 2. 6 Doktrin Monro-Kellie
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
c. Cerebral Blood Flow
Otak merupakan organ dengan tingkat metabolisme yang tinggi dengan konsumsi
oksigen sekitar 20% dari total oksigen yang masuk ke dalam tubuh dan membutuhkan
sekitar 15% dari total cardiac output. Pada kondisi normal, Cerebral Blood Flow
(CBF) dipertahankan pada kondisi konstan dengan cara merubah diameter pembuluh
darah otak sebagai respon terhadap perubahan kondisi fisiologis. Kondisi hipertensi,
alkalosis, hipokarbia akan menyebabkan vasokonstriksi cerebral, sedangkan kondisi
hipotensi, asidosis dan hiperkarbia akan menyebabkan vasodilatasi cerebral.2
Vasoaktif cerebral juga sangat sensitif terhadap perubahan tekanan parsial oksigen
(PO2) dan karbon dioksida (PCO2). Penurunan 1 mmHg PCO2 akan menurunkan
diameter pembuluh darah cerebral sebesar 2-3% dan perubahan CBF sebesar 1,1
mL/100g pada jaringan/menit. Penurunan PO2 akan menyebabkan dilatasi pembuluh
darah serebral untuk memastikan oksigenasi pada jaringan otak tetap adekuat. Apabila
terjadi kerusakan otak, peningkatan CBF, dilatasi vaskular dan gangguan blood brain
barrier (BBB) dapat menyebabkan edema vasogenik dan akan meningkatkan tekanan
intrakranial.2
Vaskularisasi untuk ke otak pada normalnya dapat mengalami vasokonstriksi dan
vasodilatasi bergantung pada perubahan mean arterial blood pressure (MAP). Untuk

12
tujuan klinis, cerebral perfusion pressure (CPP) didefinisikan sebagai hasil dari
pengurangan MAP dan ICP (CPP = MAP – ICP). Nilai MAP 50 mmHg – 150 mmHg
adalah nilai yang dipertahankan dengan cara autoregulasi agar otak mendapatkan
suplai darah. Pada keadaan trauma kepala yang berat dapat mengganggu mekanisme
autoregulasi dari MAP ini dan dapat menyebabkan aliran darah ke otak terganggu.
Jika MAP terlalu rendah, maka dapat menyebabkan iskemik dan infark jaringan otak.
Sebaliknya, jika MAP terlalu tinggi, dapat pula terjadi edema serebri.1,2
d. Refleks Cushing
Refleks Cushing atau fenomena Cushing merupakan refleks fisiologis sistem saraf
terhadap peningkatan tekanan intrakranial akut yang ditandai dengan hipertensi
progresif (peningkatan tekanan sistolik dan penurunan tekanan diastolik), bradikardi,
pernafasan yang ireguler.1,8

2.5. Klasifikasi Trauma Kepala


Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu dari derajat
keparahan cedera kepala dan morfologi cedera kepala. Derajat keparahan cedera kepala
dapat dibedakan menjadi cedera kepala ringan (CKR) dengan penilaian skor Glasgow
Coma Scale (GCS) 13-15, cedera kepala sedang (CKS) dengan penilaian skor GCS 9-12
dan cedera kepala berat (CKB) dengan penilaian skor GCS 3-8.1

Gambar 2. 7 Skor GCS (Glasgow Coma Scale)


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019

13
Klasifikasi berdasarkan morfologi dapat dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu fraktur
tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Fraktur tulang tengkorak dapat dibagi menjadi
fraktur tempurung dan fraktur basilar. Lesi intrakranial dapat dibagi menjadi dua yaitu lesi
fokal dan lesi difus.1

Tabel 2. 1 Klasifikasi Trauma Kepala

• Ringan • Skor GCS 13-15


Derajat
• Sedang • Skor GCS 9-12
Keparahan
• Berat • Skor GCS 3-8
Fraktur tulang Tempurung • Linear vs stellate
tengkorak • Depresi/non depresi
• Terbuka/tertutup
Basilar • Dengan/tanpa kebocoran CSF
• Dengan/tanpa kelumpuhan n.VII
Fokal • Epidural
Morfologi
• Subdural
• Intracereberal
Lesi intrakranial Difus • Konkusio
• Kontusio multipel
• Hipoksia/trauma iskemik
• Trauma axon

a. Fraktur Tulang Tengkorak


Trauma pada tempurung tulang tengkorak yang tersering adalah fraktur
depresi pada bagian temporal yang berhubungan dengan terjadinya cedera juga pada
otak dan pembuluh darah. Fraktur linear pada tempurung tulang tengkorak yang
melintasi arteri meningea media dapat menyebabkan terjadinya epidural hematoma.
Fraktur terbuka pada tulang tengkorak dapat meningkatkan resiko terjadinya
kebocoran cairan cerebrospinal dan infeksi karena terpapar oleh lingkungan luar.1,5

Gambar 2. 8 Fraktur Tulang Tempurung


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019

14
Fraktur pada basal tulang tengkorak dapat diidentifikasi dengan gejala
patognomonik yaitu adanya raccoon’s eyes atau panda bear eyes yang terjadi akibat
rembesan darah dari anterior fossa ke jaringan periorbital, battle signs (ekimosis pada
mastoid) dan adanya kebocoran dari cairan cerebrospinal dari hidung (rhinorrhea),
telinga (otorrhea), disfungsi dari saraf kranialis VII dan VIII yang dapat terjadi
langsung ataupun beberapa hari kemudian.1,5

Gambar 2. 9 Fraktur Basal Tulang Tengkorak


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019
b. Lesi Intrakranial
Lesi interkranial dapat berupa lesi fokal maupun difus. Lesi fokal dapat dibagi
menjadi tiga yaitu hematoma epidural, hematoma subdural, dan hematoma
intercerebral. Hematoma epidural adalah perdarahan yang terjadi diantara duramater
dan bagian dalam dari tulang tengkorak. Terjadi sekitar 2% dari kejadian trauma
kepala. Sering terjadi pada regio temporal dan parietal, dan sekitar 90% hematoma
epidural berhubungan dengan fraktur tulang tengkorak. Pembuluh darah yang sering
terkena adalah arteri meningea media. Gejala klasik yang akan timbul pada pasien
dengan hematoma epidural adalah adanya lucid interval. Lucid interval adalah adanya
episode sadar diantara dua episode tidak sadar setelah terjadinya trauma. Pada

15
pemeriksaan CT scan kepala akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk bikonveks
diantara jaringan otak dan tulang tengkorak.1,5

Gambar 2. 10 Hematoma epidural


Netter’s Clinical Anatomy, 2019
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara dura mater dan
arachnoid mater. Hematoma subdural lebih sering terjadi dibandingkan dengan
hematoma epidural, kejadiannya sekitar 15% dari pasien yang mengalami trauma
kepala. Faktor resiko dari hematoma subdural adalah orang tua. Pada orang usia lanjut,
jaringan otak mengalami penurunan volume sehingga menciptakan rongga subdural
menjadi bertambah. Dengan adanya pertambahan pada rongga subdural, maka
bridging vein yang melekat pada tulang tengkorak dan permukaan jaringan otak akan
meregang. Ketika seseorang mengalami trauma, jaringan otak akan mengalami
aselerasi dan deselerasi yang mengakibatkan robeknya bridging vein. Pada gambaran
CT Scan kepala maka akan didapatkan gambaran hiperdens, bentuk konveks (cresent-
shape) yang berada antara tulang tengkorak dan jaringan otak.1,5

Gambar 2. 11 Hematoma Subdural


Sumber: Netter’s Clinical Anatomy, 2019

16
Hematoma intercerebral adalah perdarahan yang terjadi diantara jaringan otak.
Perdarahan intercerebral sering berhubungan dengan kontusio atau memar
pada jaringan otak. Sebanyak 20-30% pasien dengan trauma kepala berat mengalami
kontusio. Kontusio sering terjadi pada lobus frontal dan temporal, meskipun dapat
terkena juga pada daerah otak yang lainnya. Lesi memar pada jaringan otak terdiri dari
perdarahan, jaringan infark dan nekrosis. Lesi coup biasa ditemukan di tempat
terjadinya perlukaan. Lesi countercoup berada pada daerah yang berlawanan dengan
tempat terjadinya perlukaan. Lesi konsutio dalam hitungan hari ataupun jam dapat
berubah menjadi hematoma intercerebral.1,5

Gambar 2. 12 Hematoma Intracerebral


Sumber: Rosen’s Emergency Medicine 9th Ed, 2018
Lesi difus pada trauma kepala dapat dibagi menjadi empat yaitu konkusio, kontusio
multipel, hipoksia/trauma iskemik dan trauma axonal. Konkusio atau trauma kepala
ringan terjadi akibat benturan, atau perlukaan pada daerah kepala yang sifatnya tidak
mengancam jiwa. Gejala yang ditimbulkan dibagi menjadi 4 grup yaitu masalah
memori, masalah fisik, masalah emosional dan gangguan tidur yang dapat terjadi
dalam hitungan hari atau bahkan pada beberapa kasus tertentu dapat menetap dalam
hitungan bulan atau tahun.1,5

Tabel 2. 2 Kategori gejala pada trauma kepala ringan

Masalah memori Masalah fisik Masalah emosional Gangguan tidur


Kesulitan berpikir Nyeri kepala Cemas Lebih sedikit/banyak
jernih Mual dan muntah Merasa sedih tidur dibandingkan
Sulit konsentrasi Gangguan Lebih emosional biasanya
Sulit mengingat keseimbangan Mudah marah Susah untuk tertidur
informasi baru Pusing
Gangguan penglihatan

17
Lemas
Sensitif terhadap suara
atau cahaya
Trauma axon dapat terjadi akibat adanya kombinasi dari rotasional akselerasi dan
deselerasi ketika terjadi trauma sehingga terjadi robekan antara jalur axon dan kapiler.
Kejadian yang paling sering menyebabkan trauma axonal adalah kecelakaan lalu lintas
dengan kecepatan tinggi. Axon yang rentan untuk mengalami trauma berada di
cerebral white matter, corpus callosum, dan batang otak. Trauma axon merupakan
kesatuan yang kompleks dimana peregangan pada axon dapat menyebabkan
perubahan permeabilitas pada axon yang mengganggu transpor dari axon itu sendiri
dan metabolisme selular yang berujung dengan cepat atau lambat kepada kematian
sel.9
Trauma kepala juga dapat diklasifikasikan menjadi trauma kepala langsung (direk)
dan trauma kepala tidak langsung (indirek). Trauma kepala direk terjadi ketika pergerakan
kepala terhenti tiba-tiba akibat adanya suatu objek. Hal tersebut akan menyebabkan
kerusakan pada tulang kranium dan otak yang bergantung pada konsistensi, berat, area
permukaan, dan kecepatan objek tersebut mengenai kepala. Trauma kepala direk juga
dapat menyebabkan kompresi pada kepala. Derajat kerusakan trauma kepala direk juga
bergantung pada elastisitas jaringan otak, durasi kekuatan yang didapatkan, besarnya gaya
yang mengenai jaringan otak, dan permukaan otak yang terkena. Trauma kepala indirek
terjadi akibat pergerakan dari isi rongga kranium akibat gaya selain yang berasal dari
kontak langsung benda dengan kepala. Contoh umum dari trauma indirek adalah trauma
akselerasi-deselerasi.2

18
Gambar 2. 13 Lesi Coup dan Countercoup

2.6. Patofisiologi Cedera Kepala


a. Cedera Kepala Primer dan Sekunder
Berdasarkan progresivitasnya cedera kepala dibagi menjadi 3 yaitu cedera
primer, cedera sekunder, dan secondary brain insult. Cedera primer adalah kerusakan
yang terjadi pada struktur kepala, jaringan otak, serta pembuluh darah pada saat
terjadinya cedera kepala, yang termasuk adalah kontusio, hematoma, laserasi, fraktur
tulang tengkorak, dan kerusakan dari luka penetrasi. Cedera sekunder adalah keruskan
otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer. Kaskade sekunder pada
trauma kepala meliputi pergeseran kalsium dan ion, kerusakan mitokondria, produksi
radikal bebas, dan enzim yang menyebabkan kematian sel.2
Secondary brain insult adalah peristiwa sistemik yang terjadi setelah trauma
kepala, yang memiliki potensi untuk menambah kerusakan sel saraf, akson, dan
pembuluh darah otak seperti keadaan hipoksia, hipotensi, hiperkarbia, hiperpireksia,
hiperglikemia, kejang, dan ketidakseimbangan elektrolit.10 Hipotensi didefinisikan
sebagai tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg dan telah diketahui memberikan
dampak negatif pada cedera otak yang parah. Hipotensi sistemik akan menurunkan
perfusi cerebral yang akan berpotensi menyebabkan kondisi iskemia dan infark.

19
Hipoksia merupakan kondisi dimana PO2 kurang dari 60 mmHg yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti kondisi apnea baik sementara maupun
berkepanjangan setelah kejadian trauma, obstruksi jalan nafas akibat darah, muntahan
ataupun debris yang lain, trauma pada dinding dada yang mengganggu sistem respirasi
normal, cedera pada paru yang menurunkan efektivitas oksigenasi, dan manajemen
jalan nafas yang tidak efektif. Hiperkarbia merupakan kondisi dimana PaCO2 ≥ 46
mmHg dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien cedera kepala.
Hiperkarbia akan menyebabkan vasodilatasi serebral yang akan berujung pada edema
serebri dan peningkatan ICP. Anemia pada cedera kepala dapat disebabkan oleh
adanya kehilangan darah sehingga kapasitas pengangkutan oksigen ke jaringan otak
yang mengalami kerusakan akan berkurang. Hiperpireksia merupakan kondisi ketika
suhu tubuh mencapai >38,5°C yang akan menyebabkan peningkatan metabolisme area
otak yang mengalami cedera sehingga meningkatkan aliran darah ke area tersebut dan
pada akhirnya menyebabkan peningkatan ICP.2

Gambar 2. 14 Patofisiologi Cedera Kepala Sekunder


Sumber: Rosen’s Emergency Medicine 9th Ed, 2018
b. Perubahan Tingkat Kesadaran
Kesadaran merupakan keadaan kesadaran diri terhadap lingkungan dimana hal
ini membutuhkan fungsi yang lengkap dari korteks cerebri dan reticular activating
system (RAS) pada batang otak. Pada pasien dengan “Traumatic Brain Injury” (TBI)

20
biasanya dapat ditemukan adanya perubahan kesadaran atau level of consciousness
(LOC), dan apabila didapatkan hal tersebut didapatkan maka beberapa kondisi yang
dapat menyebabkan perubahan status mental seperti hipoksia, hipotensi, atau
hipoglikemia harus diidentifikasi dan diatasi. Hipoksia pada pasien cedera kepala
dapat disebabkan karena cedera pada pusat pernapasan atau karena cedera pada sistem
pernapasan. Hipotensi pada pasien cedera kepala juga dapat berhubungan dengan
cedera di tempat yang lain. Selain itu intoksikasi zat yang dikonsumsi sebelumnya,
hipoglikemia, posttraumatic seizure (PTS) juga dapat menjadi penyebab penurunan
kesadaran. Adanya peningkatan ICP karena adanya edema otak atau karena adanya
massa dapat menyebabkan kompresi pada RAS dan menyebabkan penurunan
kesadaran.2
c. Sindrom Hernia Cerebral
Hernia cerebral dapat terjadi ketika peningkatan volume intrakranial dan ICP
melebihi kapasitas mekanisme kompensasi sistem saraf pusat. Terdapat 4 tipe herniasi
otak yaitu herniasi subfalcine, herniasi sentral, herniasi uncal, dan herniasi
serebelotonsilar.Apabila gejala dan tanda sindrom herniasi muncul maka mortalitas
akan meningkat mencapai 100% tanpa adanya tindakan gawat darurat sementara dan
terapi bedah saraf definitif.2,11

Gambar 2. 15 Hernia Cerebral


Sumber: Jeong-Ho Gong, 2016

21
Hernia uncal merupakan sindrom hernia traumatik yang paling umum terjadi.
Biasanya hernia uncal berhubungan dengan hematoma ekstra-aksial pada lateral
middle fossa atau pada lobus temporal. Ketika kompresi pada uncus mulai terjadi
maka n. occulomotorius (N.III) akan mengalami kompresi dan menyebabkan adanya
anisokoria, ptosis, gangguan gerakan ekstraokular, refleks pupil berkurang pada area
ipsilateral dari lesi yang berkembang. Kemudian seiring berkembangnya herniasi
maka akan tampak dilatasi pupil dan non-reaktif pada mata ipsilateral.2,12
Pada awal proses herniasi, pemeriksaan motorik dapat normal, tetapi refleks
Babinski pada kontralateral dapat muncul lebih awal. Apabila peduncle ipsilateral
menekan tentorium maka dapat muncul hemiparesis kontralateral dan akan apabila
terus berkembang akan ditemukan deserebrasi postur bilateral. Pada beberapa TBI,
peduncle cerebral kontralateral dapat menekan bagian sisi yang berlawanan sehingga
dapat juga ditemukan hemiparesis ipsilateral (Kernohan’s notch syndrome).2
Pada herniasi uncal dapat terjadi kompresi secara langsung pada batang otak
yang akan menyebabkan perubahan LOC, gangguan fungsi respirasi dan
kardiovaskular. Status hemodinamik pasien dapat berubah dengan cepat. Hernia yang
tidak terkontrol dapat terus berkembang dan menyebabkan kegagalan batang otak,
kolaps sistem kardiovaskular, dan kematian.2
Herniasi sentral terjadi ketika diencephalon (thalamus dan hipotalamus)
dan bagian medial dari lobus temporalis dipaksa untuk melewati lekukan di tentorium.
Yang sering menjadi penyebab utama terjadinya herniasi sentral adalah edema
serebral yang bersifat difus yang biasa terlihat pada pasien dengan cedera kepala berat.
Gejala yang prominen adalah pupil pinpoint bilateral, Babinski’s sign bilateral,
peningkatan tonus otot.11
Herniasi subfalcine terjadi pada pasien dengan massa yang terjadi pada bagian
lobus frontal yang menyebabkan girus cingulate herniasi melewati falx serebri.
Herniasi subfalcine merupakan herniasi yang paling sering terjadi diantara semua tipe
herniasi otak. Gejala yang ditimbulkan saat terjadi herniasi subfalcine adalah
penurunan kesadaran, kelemahan ekstrimitas bawah kontralateral. Pada gambaran
radiologi, karakteristik dari herniasi subfalcine adalah adanya pergeseran dari

22
septum pellucidum, tanduk anterior dari ventrikel lateral terlihat tipis dan adanya
kompresi arteri serebral anterior.
Herniasi serebelotonsilar terjadi ketika tonsil serebelar turun kebawah melalui
foramen magnum yang menyebabkan terjadinya kompresi dari medulla oblongata dan
spinal cord bagian servikal. Herniasi sereberotonsilar dapat menyebabkan disfungsi
dari jantung dan fungsi pernafasan.11

2.7. Primary Survey dan Secondary survey


a. Primary survey
• Airway
Memastikan jalur pernafasan tidak ada yang terhambat termasuk tindakan untuk
suction dan inspeksi benda asing pada saluran pernafasan. Fraktur pada facial, mandibular,
trakea ataupun laringdapat menyebabkan terjadinya obstruksi jalan nafas. Dilakukan
manuver chin-lift atau jaw-thrust agar jalan nafas dapat terbuka. Pada pasien dengan
trauma kepala berat dimana GCS < 8 maka dapat dilakukan intubasi. Dapat diberikan neck
collar untuk mempertahankan posisi kepala agar tidak hiperekstensi dan mempertahankan
posisi agar jalan nafas terbuka.1
• Breathing
Dapat dilakukan pemeriksaan pada bagian toraks secara menyeluruh dan cepat untuk
mengetahui adanya gangguan dari ventilasi. Pada pasien dengan trauma kepala harus
dipastikan mendapatkan asupan oksigen yang cukup untuk mencegah terjadinya kerusakan
sekunder pada otak. Saturasi oksigen dalam darah dipertahankan >98%.1
• Circulation
Kegagalan dalam sirkulasi pada pasien trauma dapat berasal dari berbagai sumber
perlukaan, antara lain kuranganya volume darah, cardiac output dan perdarahan. Observasi
awal yang dapat dilakukan adalah memeriksa kesadaran dimana ketika volume darah
tidak mencukupi hingga ke otak maka dapat terjadi penurunan kesadaran. Beberapa
parameter yang dinilai adalah warna kulit (kondisi pucat), akral, nadi terutama bagian
sentral (arteri carotis atau femoralis) meliputi kualitas, rate dan regularitasnya. Sumber
perdarahan dapat berasal dari internal atau eksternal. Pada pasien dengan trauma kepala,
keadaan euvolemia harus dipertahankan dengan menggunakan produk darah, ataupun
cairan isotonik.1

23
• Disability
Pemeriksaan neurologis dilakukan dengan singkat dan cepat. Dilakukan pemeriksaan
tingkat kesadaran pasien menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS), reflek cahaya, dan
defisit neurologis fokal. Pemeriksaan doll’s eye movement (oculocephalic), tes
kalorik dengan air dingin (oculovestibular) dan reflek kornea dapat dilakukan oleh dokter
bedah saraf. Dolls’s eye tidak boleh dilakukan sampai dapat dipastikan tidak ada cedera
pada bagian cervical.1
• Exposure
Semua pakaian pasien dapat dibuka untuk mengetahui adanya perlukaan pada daerah
tubuh yang lain.1
b. Secondary Survey
Pada secondary survey dapat dilakukan pemeriksaan status generalisata secara lebih
mendetail dibandingkan pada primary survey. Pemeriksaan neurologis yang dapat
dilakukan pada secondary survey adalah pemeriksaan GCS, lateralisasi, dan reaksi pupil.
Setelah dilakukan pemeriksaan status generalisata dan neurologis secara mendetail dan
kondisi pasien sudah stabil, pemeriksaan CT-Scan pada pasien dengan trauma kepala harus
segera dilakukan dan dapat diulang 24 jam berikutnya jika didapatkan kontusio atau
hematoma pada hasil CT-Scan awal. Penemuan bermakna pada CT-Scan dapat meliputi
pembengkakan pada bagian kulit kepala, hematoma subgaleal didaerah yang terkena
trauma. Fraktur tulang kepala dapat dilihat dengan lebih baik menggunakan bone window,
tetapi dapat juga terlihat pada soft-tissue window. Penemuan penting pada CT-Scan kepala
pada pasien dengan trauma kepala adalah perdarahan intrakranial, kontusio, pergeseran
midline (efek massa) dan hilangnya sisterna.1

2.8. Algoritma Tatalaksana Trauma Kepala


a. Trauma Kepala Ringan
Pada pasien dengan trauma kepala ringan, gejala yang dapat timbul adalah
disorientasi, amnesia, hilang kesadaran sesaat pada pasien yang sadar penuh. Dapat
pula ditanyakan mengenai kejadian pada saat trauma untuk mengetahui adanya
amnesia anterograde atau retrograde. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan adanya
kelainan neurologis. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah CT-Scan
untuk melihat adanya kelainan pada otak seperti perdarahan, dan bone window untuk

24
melihat adanya kelainan pada tulang. Beberapa indikasi pemeriksaan CT-Scan pada
pasien dengan trauma kepala ringan akan dijelaskan dalam tabel berikut.1

Tabel 2. 3 Indikasi CT-Scan Pasien dengan Trauma Kepala Ringan

CT-Scan diperlukan untuk pasien dengan kecurigaan trauma kepala ringan (yaitu kehilangan
kesadaran yang dapat dilihat, amnesia definitif, adanya disorientasi pada pasien dengan skor GCS
13-15) dan salah satu dari faktor berikut:
Risiko tinggi untuk intervensi bedah saraf Risiko sedang untuk cedera otak pada CT-Scan
• GCS <15 dalam 2 jam setelah kejadian • Pasien yang hilang kesadaran lebih dari 5
trauma menit
• Dicurigai adanya fraktur terbuka atau • Hilang ingatan lebih dari 30 menit sebelum
depresi kejadian
• Adanya tanda-tanda dari fraktur basal • Pasien yang trauma dengan mekanisme
tulang tengkorak trauma yang hebat (tertabrak oleh kendaraan
• Episode muntah lebih dari 2x bermotor, terlempar dari kendaraan bermotor,
• usia lebih dari 65 tahun jatuh dari ketinggian 3 kaki atau 1 meter)
• Penggunaan obat antikoagulan
Pasien trauma kepala ringan dapat dirawat inap dan dirujuk ke bedah saraf jika
ada kelainan pada hasil CT-Scan kepala, adanya gejala simptomatis yang menetap,
dan adanya kelainan neurologis yang menetap. Pasien yang sadar dan asimptomatis
dapat diobservasi, jika kondisi stabil maka pasien dapat dipulangkan dengan syarat
dirumah harus diobservasi selama 24 jam pertama, jika ada tanda-tanda seperti
penurunan kesadaran, nyeri kepala yang hebat, maka pasien harus segera kembali ke
rumah sakit.1

25
Gambar 2. 16 Algoritma Tatalaksana Trauma Kepala Ringan
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018
b. Trauma Kepala Sedang
Pasien dengan trauma kepala sedang masih dapat mengikuti instruksi sederhana
meskipun pasien dalam keadaan bingung, terdapat gejala defisit neurologis fokal. CT-
Scan harus segera dilakukan pada pasien dengan trauma kepala sedang dan harus
segera menghubungi dokter bedah saraf jika memerlukan untuk dirujuk. Pasien
seharusnya dirawat di ICU untuk observasi ketat dalam 12 hingga 24 jam pertama.
Dapat dipertimbangkan untuk CT-Scan ulangan jika ada kelainan pada hasil CT-Scan
yang pertama dan adanya penurunan status neurologis.1

26
Gambar 2. 17 Algoritma Tatalaksalana Trauma Kepala Sedang
Sumber: ATLS 10th Ed, 2018

c. Trauma Kepala Berat


Pasien dengan trauma kepala berat sudah tidak dapat mengikuti perintah.Harus
segera dilakukan CT-Scan. (Do not delay patient transfer in order to obtain a CT
Scan).1

Gambar 2. 18 Algorita Tatalaksana Trauma Kepala Berat


Sumber: ATLS 10th Ed, 2018

27
2.9. Tatalaksana Medikamentosa Trauma Kepala
Tujuan utama dari tatalaksana trauma pada kepala adalah untuk mencegah
terjadinya kerusakan sekunder pada otak yang sudah mengalami trauma. Prinsip dasar
tatalaksana trauma kepala adalah jaringan otak yang sudah mengalami kerusakan
diberikan kondisi seoptimal mungkin untuk mengalami perbaikan dan kembali ke fungsi
normal.1
a. Cairan Intravena
Cairan intravena dan produk darah harus segera diberikan ketika melakukan
resusitasi pada pasien dengan trauma kepala agar kondisi pasien tetap dipertahankan
pada kondisi normovolemia. Kondisi hipovolemia sangat berbahaya pada pasien
trauma kepala. Harus juga diperhatikan agar tidak kelebihan cairan yang dapat
menyebabkan pada edema serebri. Cairan hipotonik tidak dianjurkan untuk
digunakan. Cairan yang mengandung glukosa juga tidak dianjurkan karena dapat
berujung pada hiperglikemia dan merusak otak. Cairan yang dianjurkan adalah ringer
laktat atau normal saline. Kadar sodium juga harus di monitor agar tidak menjadi
hiponatremia yang dapat menyebabkan edema serebri.1
b. Koreksi Antikoagulan
Diperlukan pernilaian dan pengelolaan dengan hati-hati pada pasien yang
mengalami trauma kepala dan mendapatkan terapi antikoagulan atau antiplatelet.
Setelah mendapatkan nilai international normalized ratio (INR), dokter harus segera
melakukan CT-Scan pada pasien bila diindikasikan. Secara umum menormalkan
antikoagulan secara cepat diperlukan pada pasien trauma kepala.1

28
c. Hiperventilasi
Kondisi normocarbia disarankan pada kebanyakan pasien. Kondisi
hiperventilasi bekerja dengan cara menurunkan kadar PaCO2 yang menyebabkan
vasokonstriksi dari pembuluh darah. Kondisi hiperventilasi yang agresif
dan berkepanjangan juga dapat menyebabkan iskemik pada jaringan otak.
Kadar PaCO2 pada keadaan hiperventilasi dapat mencapai hingga dibawah 30 mmHg.
Kondisi hiperkarbia dimana PaCO2 >45 mmHg akan menyebabkan vasodilatasi dan
peningkatan tekanan intrakranial dimana kondisi tersebut harus dicegah. Penggunaan
hiperventilasi sebaiknya hanya dalam jumlah sedikit dan untuk periode sesingkat
mungkin. Secara keseluruhan kondisi PaCO2 dapat dipertahankan pada 35 mmHg
yaitu nilai terbawah dari kadar normal. Keadaan hiperventilasi dapat menurunkan
tekanan intrakranial dengan kondisi hematoma yang bertambah luas pada keadaan
yang membutuhkan tindakan emergensi kraniotomi.1
d. Mannitol
Manitol digunakan untuk mengurangi peningkatan ICP. Kadar manitol yang biasa
digunakan adalah 20% dari cairan (20g manitol per 100ml cairan). Tidak boleh
digunakan pada pasien dengan hipotensi karena menyebabkan eksaserbasi hipotensi
dan iskemik serebri. Kerusakan neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil,
hemiparesis, atau hilang kesadaran merupakan indikasi untuk pemberian manitol
dimana kondisi pasien adalah euvolemia. Pada kondisi seperti ini dapat diberikan
manitol bolus (1g/kg) dapat diberikan dalam waktu cepat (lebih dari 5 menit) dan
dilakukan pemeriksaan CT-Scan atau langsung dilakukan tindakan operatif jika lesi
intrakranial sudah diidentifikasi.1
e. Salin Hipertonik
Salin hipertonik digunakan juga untuk mengurangi tekanan intrakranial yang
meningkat. Konsentrasi yang digunakan adalah 3%-23,4%, yang lebih
memungkinkan menjadi pilihan terbaik pada pasien dengan hipotensi karena tidak
berperan sebagai diuretik.1
f. Barbiturate
Barbiturate efektif untuk mengurangi tekanan intrakranial yang sulit
untuk diturunkan. Tidak boleh digunakan pada keadaan hipotensi atatu hipovolemia.

29
Efek samping dari barbiturat sendiri adalah hipotensi sehingga tidak disarankan untuk
resusitasi pada keadaan akut.1
g. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
trauma kepala tertutup dan 15% dari pasien dengan trauma kepala berat. Tiga faktor
utama yang terkait tingginya insiden epilepsi adalah kejang terjadi dalam minggu
pertama, hematoma intrakranial, dan fraktur depresi tulang tengkorak. Kejang akut
dapat dikontrol menggunakan antikonvulsan, akan tetapi pemberian antikonvulsan
terlalu dini tidak akan mengubah hasil akhir kejang traumatis jangka panjang.1
Antikonvulsan juga dapat menghambat pemulihan otak, sehingga digunakan ketika
benar-benar membutuhkan. Antikonvulsan yang digunakan saat ini adalah fenitoin
dan fosfenitoin dalam kondisi akut. Pada orang dewasa dosis awal yang diberikan
adalah 1gram fenitoin diberikan secarai intravena dan tidak lebih cepat dari 50
mg/menit. Dosis pemeliharaan adalah 100 mg/8jam, dengan dosis titrasi hingga
mencapai kadar untuk terapi. Diazepam ataupun lorazepam dapat digunakan juga
sebagai tambahan hingga kejang berhenti. Jika kejang berlanjut terus menerus dapat
dilakukan anestesi secara umum. Kejang yang berkepanjangan (30 hingga 60 menit)
dapat menyebabkan kerusakan sekunder pada otak.1

2.10. Tatalaksana Pembedahan


Tatalaksana pembedahan pada trauma kepala memerlukan beberapa pertimbangan
dan terdapat perbedaan pada setiap jenis trauma kapitis. pada umumnya, pembedahan
untuk evakuasi hematoma perlu dipertimbangkan pada hematoma dengan volume lebih
dari 25 cm3 pada hasil CT-Scan. Meskipun demikian, indikasi pembedahan pada cedera
kepala tidak hanya berdasarkan hasil CT-scan saja, tetapi juga berdasarkan adanya
perburukan klinis dan lokasi lesi. Semua luka penetrasi/tembus merupakan indikasi
pembedahan. Tatalaksana pembedahan juga dapat dilakukan jika terdapat perlukaan pada
kulit kepala, fraktur depresi kepala, dan massa intrakranial. Beberapa indikasi
pembedahan pada setiap jenis trauma kepala akan dijelaskan dalam tabel berikut.13

30
Tabel 2. 4 Indikasi Pembedahan pada Trauma Kepala13

Jenis Trauma Kepala Indikasi Pembedahan


Hematoma Epidural • Volume hematoma >30 cm3 pada hasil CT-Scan dengan GCS
berapapun
• Pasien dengan GCS <9 harus dilakukan evakuasi pembedahan
secepatnya
• Hematoma epidural yang progresif
Catatan: bila volume hematoma <30 cm3, ketebalan <15 mm, dan midline
shift <5 mm, GCS >8 dan tanpa defisit neurologi dapat diterapi
konservatif dengan pemeriksaan CT-scan serial.
Hematoma Subdural • Ketebalan hematoma >10 mm atau midline shift >5 mm pada
CT-scan dengan GCS berapapun
• GCS <8 perlu monitoring ICP secara hati-hati. Bila ICP >20
mmHg atau pupil anisokor atau terdilatasi tetap perlu dilakukan
pembedahan
• GCS <9 dengan ketebalan hematoma <10 mm, midline shift <5
mm harus dilakukan pembedahan jika GCS turun setidaknya 2
nilai dari saat kejadian sampai tiba di rumah sakit.
Fraktur Kranial Terdepresi • Fraktur kranial terdepresi terbuka dan melebihi ketebalan
kranium
Catatan: fraktur kranial terdepresi terbuka masih dapat diterapi tanpa
operasi bila baik klinis maupun radiologi tidak menunjukkan adanya
penetrasi duramater, hematoma intrakranial, keterlibatan sinus frontalis,
dan luka infeksi.
Hematoma Intraserebral • Terdapat defisit neurologis yang progresif
• Terdapat peningkatan ICP yang refrakter
• Cushing reflex
• GCS 6-8 dengan kontusio >20 cm3 di daerah frontal atau
temporal dengan midline shift ≥5 dan ukuran lesi >50 cm3

Pada pasien dengan luka penetrasi pada kepala dapat dilakukan CT scan, atau foto
polos kepala jika tidak ada CT-Scan untuk melihat adanya peluru atau benda asing yang
besar dan udara di dalam intrakranial. Pasien dengan luka penetrasi yang melibatkan
orbitofacial atau regio pterional sebaiknya dilakukan angiografi untuk mencari adanya
aneurisma traumatik intrakranial atau arteriovenous fistula. Antibiotik broad-spectrum
sebagai profilaksis dapat diberikan pada pasien dengan trauma penetrasi pada kepala.
Benda asing yang masuk kedalam jaringan otak harus tetap didiamkan ditempatnya
sampai trauma vaskular telah dievaluasi dan tatalaksana bedah saraf sudah dilakukan.
Pencabutan benda asing yang penetrasi pada jaringan otak dapat membuat kejadian trauma
vaskular dan perdarahan intrakranial yang fatal.1

31
Burr hole craniostomy/kraniotomi telah dianjurkan sebagai metode diagnosis
emergensi untuk mengidentifikasi adanya hematoma pada pasien yang mengalami
deteriorasi neurologis dengan cepat dimana di tempat tersebut tidak ada pemeriksaan
pencitraan dan dokter bedah saraf. Kraniektomi dekompresi merupakan prosedur
pembedahan dengan mengambil tulang tempurung kepala dengan tujuan mengurangi
peningkatan ICP dan memperbaiki kondisi pasien. Kraniektomi dekompresi bifrontal
dapat digunakan untuk pasien cedera kepala dengan kerusakan yang difus dan peningkatan
ICP mencapai >20 mmHg selama lebih dari 15 menit dalam periode 1 jam yang berulang
setelah tatalaksana awal diberikan.1,2

2.11. Komplikasi Trauma Kepala


• Post traumatic seizure (PTS)
Diklasifikasikan menjadi early onset (<7 hari) dan late onset (> 7 hari). Hal ini
disebabkna perubahan neurokimiawi dalam otak. Faktor risiko yang menyebabkan
PTS early onset diantaranya GCS ≤ 10, post traumatic amnesia > 30 menit, fraktur
kepala linear atau depresi, luka tusuk kepala, subdural, epidural, atau intracerebral
hematoma. Kejadian ini lebih banyak ditemukan pada anak-anak. Pemberian fenitoin
di rekomendasikan untuk menurunkan terjadinya early PTS.2
• Diseminate Intravascular Coagulation (DIC)
Dapat terjadi dalam hitungan jam akibat adanya kerusakan pada jaringan otak.
Kondisi ini ditemukan pada 50% pasien trauma kepala berat. DIC dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas sehingga perlu pemeriksaan CT scan yang cepat untuk
mendeteksi adanya perdarahan.2
• Infeksi sistem saraf pusat
- Meningitis setelah fraktur basilar
Pasien mengalami gejala dan tanda meningitis seperti demam, penurunan
kesadaran, dan tanda neurologis fokal.2
- Abses otak
Biasa terjadi akibat trauma tembak. manifestasi yang muncul seperti pusing, mual,
muntah, penurunan kesadaran, dan tanda-tanda peningkatan ICP.2
- Osteomielitis kranial

32
Terjadi setelah luka tusuk pada kepala. Manifestasi klinis berupa nyeri, bengkak,
dan panas di area trauma. Pemberian antibiotik berdasarkan hasil kultur. Jika
terjadi gejala sistemik maka perlu dipertimbangkan adanya subdural atau epidural
empyema.2

2.12. Prognosis
Hasil akhir dari trauma kepala tergantung pada beberapa faktor. Skor GCS dapat
memberikan beberapa informasi penting terutama skor motorik. Pasien dengan GCS
kurang dari 8 memiliki angka mortalitas yang tinggi. Pasien usia lanjut, dengan komorbid,
gangguan pernapasan, dan kondisi koma juga memiliki prognosis yang buruk. Semua
pasien trauma kepala harus segera diberikan tatalaksana secara agresif sambil menunggu
konsultasi dengan ahli bedah saraf, terutama pada anak-anak yang memiliki kemampuan
untuk pulih dari cedera bahkan yang parah sekalipun.1,7

33
BAB III

KESIMPULAN

Trauma kepala adalah istilah luas yang menggambarkan trauma eksternal pada area
kraniofasial tubuh baik karena trauma tumpul, trauma tembus, ledakan, rotasi ataupun mekanisme
akselerasi-deselerasi.

Klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 bagian besar yaitu berdasarkan derajat
keparahan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat, dan berdasarkan morfologi cedera
kepala menjadi fraktur tulang tengkorak dan lesi intrakranial. Berdasarkan progresivitasnya cedera
kepala dibagi menjadi 3 yaitu cedera primer, cedera sekunder, dan secondary brain insult. Trauma
kepala dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan terjadinya
desakan intrakranial sehingga menyebabkan timbulnya beberapa manifestasi seperti defisit
neurologis, penurunan kesadaran, gangguan fungsi respirasi dan kardiovaskular sehingga dapat
berujung pada kematian.

Tatalaksana kegawatdaruratan pasien trauma kepala sangat penting untuk mencegah


terjadinya kerusakan jaringan otak lebih lanjut. Penilaian primary survey dan secondary survey
secara menyeluruh dan teliti penting dilakukan untuk menentukan derajat keparahan cedera kepala
dan menentukan manajemen tatalaksana yang akan diberikan. Tatalaksana medikamentosa yang
bisa diberikan pada trauma kepala meliputi pemberian cairan intravena, keadaan hiperventilasi
sementara, manitol, saline hipertonik, barbiturate, dan antikonvulsan. Tatalaksana
pembedahan dapat dilakukan apabila didapatkan adanya indikasi.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. ACS Committee on Trauma. Advanced Trauma Life Support 10th Ed. Chicago: Americans
College of Surgeons. 2018.

2. Walls R et al. Rosen’s Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice 9th Ed.
Philadelphia: Elsevier. 2018.

3. Franjic S. Head Injuries, a General Approach. Iberoamerican Journal of Medicine. 2020.


1(1): 19-23.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Hasil Utama Riset Kesehatan Dasar
2018. Kementerian Kesehatan RI. 2018.

5. Jones HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. Netter's Neurology 2nd Ed. Philadelphia:
Elsevier. 2012.

6. Hansen J, Netter F. Netter’s Clinical Anatomy 4th Ed. Philadelphia: Elsevier. 2019.

7. Shaikh F, Waseem M. Head Trauma. [Updated 2022 May 15]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.

8. Dinallo S, Waseem M. Cushing Reflex. [Updated 2022 Mar 26]. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.

9. Watanabe TK, Marino MH. Traumatic Brain Injury. In: Maitin IB, Cruz E. eds. CURRENT
Diagnosis & Treatment: Physical Medicine & Rehabilitation. New York, NY: McGraw-
Hill; 2014.
10. Satyanegara, Arifin MZ, Hasan RY, Abubakar S, et al. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara
Edisi V. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2014.
11. Pandey AS, Thompson B. Neurosurgery. In: Doherty GM. eds. CURRENT Diagnosis &
Treatment: Surgery, 14 Ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2014.
12. Wright DW, Merck LH. Chapter 254. Head Trauma in Adults and Children. In: Tintinalli
JE, Stapczynski J, Ma O, Cline DM, Cydulka RK, Meckler GD, T. eds. Tintinalli's
Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide, 7 Ed. New York, NY: McGraw-Hill;
2011.

35
13. Atmadja Andika S. Indikasi Pembedahan pada Trauma Kapitis. CDK Journal. 2016.
43(1): 29-33.
14. Drake R, Vogl W, Mitchell A. Gray’s Basic Anatomy 1st Ed. Philadelphia: Elsevier. 2012.

36

Anda mungkin juga menyukai