Disusun Oleh :
1. Ike Safira Afta Maulida (1801100486)
2. Kitera Telenggeng (1801100487)
1
Kata Pengantar
Puji syukur kehadiran Allah SWT. karena atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik,
dan Hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun. Shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada sang uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan kritis yang dimbing oleh Ns. Luluk Nur
Aini S.Kep.M.kep. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan,
dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya dapat dijadikan sebagai acuan dan petunjuk bagi
kami para mahasiswa STIKes Kendedes Malang.
Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
penyusunan makalah ini baik secara materi maupun non-materi. Makalah ini masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami
memerlukan masukan yang bersifat membangun dari para dosen, teman mahasiswa yang lain,
dan seluruh pembaca makalah ini guna penyempurnaan.
ii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
BAB IV : PENUTUP
4.1 kesimpulan.........................................................................................
4.2 saran...................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
iv
tinggi mengalami cedera kepala disbanding dengan perempuan (WHO, 2015)
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, jumlah data yang
dianilis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur.Adapun responden yang tidak
pernah mengalami cedera 942.984 orang dan yang pernah mengalami cedera 84.774
orang. Sebanyak 34.409 kasus cedera disebabkan karena transportasi sepeda motor, yang
menjadi penyebab cedera kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%). Pravelensi
cedera secara nasional adalah 8,2% dan pravalensi angka cedera yang disebabkan oleh
sepeda motor di Sumatera Barat 49,5%. Pravalensi cedera tertinggi berdasarkan
karakterisitik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%) dan pada laki-
laki (10,1%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,2018)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud degan cedera kepala?
2. Bagaimana klasifikasi dari cedera kepala?
3. Bagaiamana Etiologi dari cidera kepala?
4. Apa saja Manifestasi klinis dari cidera kepala?
5. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari cidera kepala?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari cidera kepala?
7. Bagaiamana penata laksanaan dari cidera kepala?
8. Apa saja komplikasi dari cidera kepala?
9. Bagaiamana konsep asuhan keperawatan dari cidera kepala?
1.3 TUJUAN
1. Utuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cidera kepala
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari cidera kepala
3. Memberi tahukan bagaimana etiologi dari cidera kepala
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari cidera kepala
5. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC dari cidera kepala
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja untuk cidera kepala
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari cidera kepala
8. Untuk mengetahui komplikasi dari cidera kepala
9. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dari cidera kepala menurut SDKI
v
BAB II
PEMBAHASAN
vi
2.1 PENGERTIAN
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak. Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda.
Penderita cedera kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan
cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakranial. (Morton,2012)
Berdasarkan tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga, yaitu
cedera kepala ringan, sedang, berat. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan gangguan
sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau kesulitan
mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala sedang juga dapat mengalami
kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih lama. Bagi penderita cedera kepala
berat, potensi komplikasi jangka panjang hingga kematian dapat terjadi jika tidak
ditangani dengan tepat. Perubahan perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang
dapat dialami penderita dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya
maupun struktur anatomisnya. Selain itu, cedera kepala juga dapat dibedakan menjadi
cedera kepala terbuka dan tertutup. Cedera kepala terbuka adalah apabila cedera
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan
otak.Sedangkan cedera kepala tertutup adalah bil cedera yang terjadi tidak menyebabkan
kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara langsung.
2.2 KLASIFIKASI
a. Fraktur petrosa os temporal
vii
Fraktur petrous os temporal ini meluas dari
bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi
temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif
akibat dislokasi incudostapedia. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur
oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada fraktur
transversal.
b. Fraktur longitudinal os temporal
viii
longitudinal dan transversal
Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporopariental.
Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fossa posterior, melalui
pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fossa kranial tengah. Kapsul otik
dan kranalis auditorius internal sering terlibat juga.
d. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/ OCS) dan kerusakan kapsul otik
ix
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap skuel
klinis (Ho dan Makishmia,2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada
OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis (30-50%),
SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).
2.3 ETIOLOGI
Menurut Tarwoto (2007), penyebab cedera kepala adalah karena adanya
trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
1) Trauma primer
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dn deselerasi)
2) Trauma sekunder
Terjadi akibat dari truma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
3) Kecelakaan lalu lintas
4) Pukulan dan trauma tumpul pada kepala
5) Terjatuh
6) Benturan langsung dari kepala
7) Kecelakaan pada saat olahraga
8) Kecelakaan industri.
x
e. GCS : 13-15
f. Tidak terdapat kelainan neurologis
g. Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
h. Respon pupil lenyap atau progresif menurun
i. Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap
Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan
xi
c. Rhinorrhea
xii
2) Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30dB yang berlangsung lebih dari 6-7
minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Fasial palsy, nystagmus, facial numbness
adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranial V, VI, VII.
3) Fraktur tranversal os temporal
Fraktur transfersal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss)
4) Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat lagka dan serius. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III
berbeda dalam keadaan koma dan terkait cidera tulang belakang serviklis. Pasien ini juga
memperlihat cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
2.5 PATOFISIOLOGI DAN WOC
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah- daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), transmisi energy yang berasal
dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dai beraturan pada kepala
(“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan
atau perubahan bentuk tengkorak) (Crowin, 2009).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karen area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasarkan tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit fracture komplit biasanya segera berakibat cedera batang otak.
Ring batan otak disertai dengan avulasi dan laserasi dari
pembuluh darah besar pada dasar tengkorak (Crowin, 2009).
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan
xiii
sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba-tiba mengalami percepatan gerakan
namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban
inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture.
xiv
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera
Kepala :
a. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, pendarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
xv
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial
j. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status repirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa
2.7 PENATALAKSANAAN
1) Keperawatan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
2) Medis
a. Terapi obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
3) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
4) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub dural,
cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
5) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan MRI
xvi
(Satynagara, 2010)
2.8 KOMPIKLASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intracranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a) Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang
mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira-kira 72 jam setelah
cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.
b) Defisit neurologic dan psikologic
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia(tidak dapat
mencium bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic seperti
afasia, efek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy
c) Komplikasi lain secara traumatic
1. Infeksi iskemik (pneumonia, SK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi, luka, meningitis, ventikulitis)
xvii
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 PENGKAJIAN
1) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar dari
pada resiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24
tahun, dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pindidikan,
pekerjaan, golongan darah, no register, tanggal MRS, dan diagnose medis.
2) Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama :
Keluhan utama biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya
sebelumnya.
xviii
3) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah.
b. Kesadaran : klien mengalami penurunan kesadaran GCS <15.
1. TD :Hipotensi dapat terjadi akibat cidera otak dengan tekanan darah <90 mmHg
(normalnya 120/80 mmHg)
2. N :Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK meningkat
(normalnya 60-100 x/menit)
3. S :Biasanya meningkat saat terjadi benturan (normalnya 36,5 0C – 37,50C)
4. RR :Biasanya menurun saat TIK meningkat (normalnya 16-24 x/menit)
d. Head to toe
1. Kepala :
Tulang tengkorak :
a. Inspeksi : bentuk mesocepal, ukuran cranium, adanya deformitas, ada luka
b. Palpasi : adanya nyeri tekan, ada robekan.
Kulit kepala:
a. Inspeksi : kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada kemerahan)
Wajah:
a. Inspeksi : Ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan simetris,
uban
b. Palpasi : apakah rambut mudah rontok
xix
Mata
a. Inspeksi : Simetris, konjungtiva pucat, sclera putih, pupil anisokor, reflek
pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, gerakan
mata tidak normal, banyak secret
b. Palpasi : apakah tidak ada nyeri tekan
Hidung
a. Inspeksi : ada rhinorhoe ( cairan cerebrospinal keluar dari hidung), ada
Telinga
a. Inspeksi : Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga diatas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane tympani telinga)
b. Palpasi : tidak ada lipatan, ada nyeri
Mulut
a. Inspeksi : keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membrane mukosa
kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersihtonsil ukuran normal
b. Palpasi : lidah tidak ada lesi, lidah tidak ada massa
Leher dan tenggorokan
a. Inspeksi dan palpasi : tidak ada pembesaran JVP, tidak ada pembesaran
Paru-paru
xxi
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
Gejala tanda mayor :
- Subjektif : Tidak tersedia
- Objektif : Tidak tersedia
xxii
• Iddentifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi menempati
ruang,metabolism)
• Monitor peningkatan TD
• Monitor pelebaran tekanan nadi(selisih TDS dan TDD)
Terapeutik
• Ambil sempel drainase cairan cerebrospinal
• Kalibari transbuser
• Pertahankan sterilitas system pemantauan
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan,jika perlu
3. Pemantauan neurologis
Observasi
• Monitor ukuran,bentuk,kesimetrisan dan reaktifitas pupil
• Monitor tingkat kesadaran (mis.menggunakan GCS)
• Monitor tingkat orientasi
• Monitor TTV
Terapeutik
• Tingkatkan frekuensi neurologis,jika perlu
• Hindari aktifitas yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
• Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• lInformasikan hasil pemantauan,jika perlu
xxiii
- sputum berlebih
- mengi,wheezing, dan atau ronki kering
Gejala tanda minor
Subjektif : - dispnea
- sulit bicara
- orthopnea
Objektif : - gelisah
- sianosis
- bunyi nafas menurun
- frekuensi napas berubah
- pola napas berubah
Intervensi :
1. Manajemen jalan napas
Observasi
• Monitor pola napas (frekuensi,kedalaman,usaha napas)
• Monitor bunyi napas tambahan
(mis.gurgling,mengi,wheezing,ronki kering)
• Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
Terapeutik
• Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head thin chin
lift (jaw thrust jika curiga trauma serfikal)
• Posisikan semifowler atau fowler
• Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Edukasi
• Anjurkan asupan cairan 2000 ml perhari jika tidak
kontraindikasi
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukolitikjika perlu
2. Pemantauan respirasi
xxiv
Observasi
• Monitor frekuensi,irama,kedalaman,dan upaya napas
• Monitor pola napas(seperti
bradipnea,takipnea,hiperventilasi)
• Monitor adanya produksi sputum
Terapeutik
• Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan,jika perlu
3. Pemberian obat nasal
Observasi
• Identifikasi kemungkinan alergi,interaksi,dan kontraindikasi
obat
• Verifikasi order obat sesuai dengan indikasi
• Monitor efek terapeutik obat
Terapeutik
• Lakukan prinsip 6 benar
(pasien,obat,dosis,waktu,rute,dokumentasi)
• Bersihkan lubang hidung dengan tisu atau kapas
• Teteskan obat dengan jarak 1cm dari atas lubang hidung
3) Deficit Nutrisi
Gejala tanda mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : - berat baddan menurun minimal 10% dibawah rentan ideal
Gejala tanda minor
Subjektif : - cepat kenyang
- kram/nyeri abdomen
- nafsu makan menurun
Objektif : - bising usus hiperaktif
xxv
- otot pengunyah lemah
- otot menelan melemah
- membrane mukosa pucat
- sariawan
- serum albumin menurun
- rambut rontok berlebihan
- diare
Intervensi
1) Manajemen nutrisi
Observasi
Identifikasi status nutrisi
Identifikasi alergi dan toleransi makanan
Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
Terapeutik
Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.piramida makanan)
Berikan makanan tinggi serat untuk menegah konstipasi
Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Edukasi
Anjurkan posisi duduk jika mampu
Ajarkan diet yang diprogamkan
Kolaborasi
Pemberian medikasi sebelum makan (mis.pereda nyeri) jika perlu
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang diperlukan,jika perlu
2) Promosi berat badan
Observasi
Identifikasi penyebab BB kurang
Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari hari
Monitor berat badan
Terapeutik
xxvi
Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien(mis.makanan
dengan tekstur halus,makanan cair yang diberikan melalui NGT)
Berikan suplemen jika perlu
Hidangkan makanan secara menarik
Edukasi
Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi,namun tetap terjangkau
Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
3) Dukungan kepatuhan progam pengobatan
Observasi
Identifikasi kepatuhan menjalani program pengobatan
Terapeutik
Buat komitmen menjalani program pengobatan dengan baik
Libatkan keluarga untuk mendukung program pengobatan yang dijalani
Dokumentasikan aktifitas selama menjalani proses pengobatan
Edukasi
Informasikan program pengobatan yang harus dijalani
Informasikan manfaat yang diperoleh jika teratur menjalani program
pengobatan
Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien selama
menjalani pengobatan.
xxvii