Anda di halaman 1dari 27

ASUHAN KEPERAWATAN FRAKTUR BASIS CRANI

Disusun untuk memenuhi mata kuliah keperawatan kritis

Dosen Pembimbing : Ns. Luluk Nur Aini,S.kep.M.Kep

Disusun Oleh :
1. Ike Safira Afta Maulida (1801100486)
2. Kitera Telenggeng (1801100487)

Program Studi S1 Keperawatan


Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendedes Malang
Jl. Raden Panji Suroso No. 6 Blimbing – Kota Malang
Telp (0341) 488762 Fax (0341) 488763

1
Kata Pengantar

Puji syukur kehadiran Allah SWT. karena atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik,
dan Hidayah-Nya makalah ini dapat tersusun. Shalawat dan salam semoga senantiasa
terlimpahkan kepada sang uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Penyusunan makalah ini
dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan kritis yang dimbing oleh Ns. Luluk Nur
Aini S.Kep.M.kep. Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah wawasan, pengetahuan,
dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya dapat dijadikan sebagai acuan dan petunjuk bagi
kami para mahasiswa STIKes Kendedes Malang.

Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam
penyusunan makalah ini baik secara materi maupun non-materi. Makalah ini masih banyak
kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami
memerlukan masukan yang bersifat membangun dari para dosen, teman mahasiswa yang lain,
dan seluruh pembaca makalah ini guna penyempurnaan.

Malang, september 2021


Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Kata pengantar ........................................................................................................i

Daftar isi ...................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang.................................................................................... 3


1.2 Rumusan masalah............................................................................... 4
1.3 Tujuan................................................................................................. 4

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian cidera kepala.................................................................... 6


2.2 Klasifikasi ......................................................................................... 7-9
2.3 Etiologi............................................................................................... 9-10
2.4 Manifestasi klinis............................................................................... 10-13
2.5 Patofisiologi dan WOC...................................................................... 13-14
2.6 Pemeriksaan penunjang...................................................................... 15-16
2.7 Penatalaksanaan ................................................................................ 16
2.8 Komplikasi......................................................................................... 17

BAB III : ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian........................................................................................... 18-21


3.2 diagnosa dan intervensi....................................................................... 21

BAB IV : PENUTUP

4.1 kesimpulan.........................................................................................
4.2 saran...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak. Penyebab terjadinya cedera kepala salah satunya karena adanya
benturan atau kecelakaan. Cedera kepala mengakibatkan pasien dan keluarga mengalami
perubahan fisik maupun psikologis dan akibat paling fatal adalah kematian. Asuhan
keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam
pencegehan komplikasi (Muttaqin, 2008) Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi
dan perdarahan.
Hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma disebabkan oleh cedera
kepala. Cedera kepala merupakan keaadan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan
dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortalitas
penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan
penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007).
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab utama kematian pada pengguna
kendaraan bermotor karena tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran untuk
menjaga keselamatan di jalan raya (Baheram, 2007).
Lebih dari 50% kematian disebabkan oleh cedera kepala dan kecelakaan
kendaraan bermotor. Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,
75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanen (Widiyanto, 2007).
Ada 1,25 juta kematian lalu lintas diseluruh dunia setiap tahunnya, dengan jutaan
lainnya menderita luka serius dan hidup dengan konsekuensi kesehatan jangka panjang
yang merugikan secara global, kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
kematian di kalangan anak muda, dan penyebab utama kematian diantara mereka yang
berusia 15-29 tahun. Hampir setengah dari setengah kematian di jalan-jalan dunia
termasuk di antara mereka yang paling tidak memiliki pengaman pada pengendara sepeda
motor, pengendara sepeda dan pejalan kaki. Presentase jenis kelamin laki-laki lebih

iv
tinggi mengalami cedera kepala disbanding dengan perempuan (WHO, 2015)
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, jumlah data yang
dianilis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur.Adapun responden yang tidak
pernah mengalami cedera 942.984 orang dan yang pernah mengalami cedera 84.774
orang. Sebanyak 34.409 kasus cedera disebabkan karena transportasi sepeda motor, yang
menjadi penyebab cedera kedua tertinggi (40,6%) setelah jatuh (40,9%). Pravelensi
cedera secara nasional adalah 8,2% dan pravalensi angka cedera yang disebabkan oleh
sepeda motor di Sumatera Barat 49,5%. Pravalensi cedera tertinggi berdasarkan
karakterisitik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%) dan pada laki-
laki (10,1%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia,2018)
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud degan cedera kepala?
2. Bagaimana klasifikasi dari cedera kepala?
3. Bagaiamana Etiologi dari cidera kepala?
4. Apa saja Manifestasi klinis dari cidera kepala?
5. Bagaimana patofisiologi dan WOC dari cidera kepala?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang dari cidera kepala?
7. Bagaiamana penata laksanaan dari cidera kepala?
8. Apa saja komplikasi dari cidera kepala?
9. Bagaiamana konsep asuhan keperawatan dari cidera kepala?
1.3 TUJUAN
1. Utuk mengetahui apa yang dimaksud dengan cidera kepala
2. Untuk mengetahui klasifikasi dari cidera kepala
3. Memberi tahukan bagaimana etiologi dari cidera kepala
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari cidera kepala
5. Untuk mengetahui patofisiologi dan WOC dari cidera kepala
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang apa saja untuk cidera kepala
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari cidera kepala
8. Untuk mengetahui komplikasi dari cidera kepala
9. Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan dari cidera kepala menurut SDKI

v
BAB II

PEMBAHASAN

vi
2.1 PENGERTIAN
Cedera kepala merupakan cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak,
dan otak. Cedera kepala menjadi penyebab utama kematian disabilitas pada usia muda.
Penderita cedera kepala seringkali mengalami edema serebri yaitu akumulasi kelebihan
cairan di intraseluler atau ekstraseluler ruang otak atau perdarahan intrakranial yang
mengakibatkan meningkatnya tekanan intrakranial. (Morton,2012)
Berdasarkan tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga, yaitu
cedera kepala ringan, sedang, berat. Cedera kepala ringan dapat menyebabkan gangguan
sementara pada fungsi otak. Penderita dapat merasa mual, pusing, linglung, atau kesulitan
mengingat untuk beberapa saat. Penderita cedera kepala sedang juga dapat mengalami
kondisi yang sama, namun dalam waktu yang lebih lama. Bagi penderita cedera kepala
berat, potensi komplikasi jangka panjang hingga kematian dapat terjadi jika tidak
ditangani dengan tepat. Perubahan perilaku dan kelumpuhan adalah beberapa efek yang
dapat dialami penderita dikarenakan otak mengalami kerusakan, baik fungsi fisiologisnya
maupun struktur anatomisnya. Selain itu, cedera kepala juga dapat dibedakan menjadi
cedera kepala terbuka dan tertutup. Cedera kepala terbuka adalah apabila cedera
menyebabkan kerusakan pada tulang tengkorak sehingga mengenai jaringan
otak.Sedangkan cedera kepala tertutup adalah bil cedera yang terjadi tidak menyebabkan
kerusakan pada tulang tengkorak, dan tidak mengenai otak secara langsung.

2.2 KLASIFIKASI
a. Fraktur petrosa os temporal

vii
Fraktur petrous os temporal ini meluas dari
bagian skuamosa tulang temporal terhadap piramida petrosa dengan sering keterlibatan sendi
temporomandibular. Fraktur oblik ini sering mengakibatkan gangguan pendengaran konduktif
akibat dislokasi incudostapedia. Hematotimpanum dan otorea juga sering terjadi pada fraktur
oblik. Keterlibatan saraf fasialis kurang umum daripada fraktur
transversal.
b. Fraktur longitudinal os temporal

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporopariental dan melibatkan bagian


squamosa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan
tagmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media
dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longituginal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada
fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur-unsur dari kedua fraktur

viii
longitudinal dan transversal

c. Fraktur transversal os temporal

Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporopariental.
Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fossa posterior, melalui
pyramid petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fossa kranial tengah. Kapsul otik
dan kranalis auditorius internal sering terlibat juga.
d. Fraktur condylar os oksipital

Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala arah di
bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/ OCS) dan kerusakan kapsul otik

ix
(otic capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap skuel
klinis (Ho dan Makishmia,2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada
OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis (30-50%),
SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).
2.3 ETIOLOGI
Menurut Tarwoto (2007), penyebab cedera kepala adalah karena adanya
trauma yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu :
1) Trauma primer
Trauma primer terjadi karena benturan langsung atau tidak langsung
(akselerasi dn deselerasi)
2) Trauma sekunder
Terjadi akibat dari truma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi
intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
3) Kecelakaan lalu lintas
4) Pukulan dan trauma tumpul pada kepala
5) Terjatuh
6) Benturan langsung dari kepala
7) Kecelakaan pada saat olahraga
8) Kecelakaan industri.

Menurut Kowalak (2011), Etiologi fraktur basis cranii dapat meliputi:


1) Kecelakaan kendaraan atau transportasi
2) Kecelakaan terjatuh
3) Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga
4) Kejahatan dan tindak kekerasan

2.4 MANIFESTASI KLINIS


Menurut Mansjoer, 2000 :
a. Pingsan tidak lebih dari sepuluh menit
b. Setelah sadar timbul nyeri
c. Pusing
d. Muntah

x
e. GCS : 13-15
f. Tidak terdapat kelainan neurologis
g. Pernafasan secara progresif menjadi abnormal
h. Respon pupil lenyap atau progresif menurun
i. Nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap

Menurut Engram (2007), Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan

klasifikasi sebagai berikut:


1) Faktor petrous os temporal
a. Otorrhea

b. Battle sign (Memar pada mastoids)

xi
c. Rhinorrhea

d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)

e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi


patologis intracranial

xii
2) Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran
dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30dB yang berlangsung lebih dari 6-7
minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 6-7
minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di fossa tmpany.
Fasial palsy, nystagmus, facial numbness
adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranial V, VI, VII.
3) Fraktur tranversal os temporal
Fraktur transfersal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin, sehingga
menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran
permanen (permanent neural hearing loss)
4) Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat lagka dan serius. Sebagian
besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III

berbeda dalam keadaan koma dan terkait cidera tulang belakang serviklis. Pasien ini juga
memperlihat cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.
2.5 PATOFISIOLOGI DAN WOC
Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah- daerah
dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbital), transmisi energy yang berasal
dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek “remote” dai beraturan pada kepala
(“gelombang tekanan”) yang dipropagasi dari titik benturan
atau perubahan bentuk tengkorak) (Crowin, 2009).
Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karen area ini
mengelilingi foramen magnum, apertura didasarkan tengkorak dimana spinal cord lewat.
Ring fracture komplit fracture komplit biasanya segera berakibat cedera batang otak.
Ring batan otak disertai dengan avulasi dan laserasi dari
pembuluh darah besar pada dasar tengkorak (Crowin, 2009).
Fraktur basis crani telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari
arah mandibular atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala
(sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada
pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan

xiii
sebuah objek misalnya pagar. Kemudian secara tiba-tiba mengalami percepatan gerakan
namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban
inersia tersebut kemudian menyebabkan ring fracture.

xiv
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Arif Mutaqin 2008 Pemeriksaan Penujunang Pasien cedera
Kepala :
a. CT Scan
Mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak.
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi
edema, pendarahan, dan trauma.
d. Serial EEG
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang
f. BAER
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET
Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
h. CSS
Lumbal pungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit

xv
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intrakranial
j. Screen toxilogy
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thoraks 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thoraks menyatakan akumulasi udara/cairan pada area pleural
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. Analisa Gas Darah (AGD/Astrup)
Analisa gas darah adalah salah satu tes diagnostic untuk menentukan status repirasi.
Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemeriksaan AGD ini adalah status
oksigenasi dan status asam basa

2.7 PENATALAKSANAAN
1) Keperawatan
a. Observasi 24 jam
b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah, hanya
cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak
c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi
d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring
2) Medis
a. Terapi obat-obatan
1) Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis
sesuai dengan berat ringannya trauma
2) Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %
3) Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk
infeksi anaerob diberikan metronidasol
4) Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar, hematom sub dural,
cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)
5) Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT Scan dan MRI

xvi
(Satynagara, 2010)

2.8 KOMPIKLASI
Kemunduran pada kondisi pasien mungkin karena perluasan hematoma intracranial,
edema serebral progresif, dan herniasi otak.
a) Edema serebral dan herniasi
Edema serebral adalah penyebab paling umum peningkatan TIK pada pasien yang
mendapat cedera kepala, puncak pembengkakan yang terjadi kira-kira 72 jam setelah
cedera. TIK meningkat karena ketidakmampuan tengkorak untuk membesar meskipun
peningkatan volume oleh pembengkakan otak diakibatkan trauma.
b) Defisit neurologic dan psikologic
Pasien cedera kepala dapat mengalami paralysis saraf fokal seperti anosmia(tidak dapat
mencium bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic seperti
afasia, efek memori, dan kejang post traumatic atau epilepsy
c) Komplikasi lain secara traumatic
1. Infeksi iskemik (pneumonia, SK, sepsis)
2. Infeksi bedah neurologi (infeksi, luka, meningitis, ventikulitis)

xvii
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PENGKAJIAN

1) Identitas Pasien
Meliputi nama, jenis kelamin (laki-laki beresiko dua kali lipat lebih besar dari
pada resiko pada wanita), usia (bisa terjadi pada anak usia 2 bulan, usia 15 hingga 24
tahun, dan lanjut usia), alamat, agama, status perkawinan, pindidikan,
pekerjaan, golongan darah, no register, tanggal MRS, dan diagnose medis.

2) Riwayat kesehatan
1. Keluhan utama :
Keluhan utama biasanya terjadi penurunan kesadaran, nyeri kepala, adanya

lesi/ luka di kepala.


2. Riwayat penyakit sekarang :
Biasanya pasien datang dengan keadaan penurunan kesadaran, konvulsi,

adanya akumulasi secret, pada saluran pernafasan, lemah, paralisis, takipnea.


3. Riwayat kesehatan dahulu :
Biasanya klien memiliki riwayat jatuh.
4. Riwayat kesehatan keluarga :
Biasanya ada salah satu keluarga yang menderita penyakit yang sama

sebelumnya.

xviii
3) Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum : wajah terlihat menahan sakit, tidak ada gerakan, lemah.
b. Kesadaran : klien mengalami penurunan kesadaran GCS <15.

c. Tanda – Tanda Vital

1. TD :Hipotensi dapat terjadi akibat cidera otak dengan tekanan darah <90 mmHg
(normalnya 120/80 mmHg)
2. N :Biasanya cepat dan lemah pada keadaan kesakitan dan TIK meningkat
(normalnya 60-100 x/menit)
3. S :Biasanya meningkat saat terjadi benturan (normalnya 36,5 0C – 37,50C)
4. RR :Biasanya menurun saat TIK meningkat (normalnya 16-24 x/menit)

d. Head to toe
1. Kepala :
Tulang tengkorak :
a. Inspeksi : bentuk mesocepal, ukuran cranium, adanya deformitas, ada luka
b. Palpasi : adanya nyeri tekan, ada robekan.
Kulit kepala:
a. Inspeksi : kulit kepala tidak bersih, ada lesi, ada skuama, ada kemerahan)
Wajah:
a. Inspeksi : Ekspresi wajah cemas dan menyeringai nyeri, keadaan simetris,

tidak ada lesi


b. Palpasi : Tidak ada kelainan sinus
Rambut
a. Inspeksi : apakah rambut tidak bersih, mudah putus, ada ketombe, ada

uban
b. Palpasi : apakah rambut mudah rontok

xix
Mata
a. Inspeksi : Simetris, konjungtiva pucat, sclera putih, pupil anisokor, reflek
pupil tidak teratur, pupil tidak bereaksi terhadap rangsangan cahaya, gerakan
mata tidak normal, banyak secret
b. Palpasi : apakah tidak ada nyeri tekan
Hidung
a. Inspeksi : ada rhinorhoe ( cairan cerebrospinal keluar dari hidung), ada

pernafasan cuping hidung, tidak ada deviasi septum


b. Palpasi : Sinus (adanya nyeri tekan )

Telinga
a. Inspeksi : Simetris, kotor, fungsi pendengaran tidak baik, ada otorrhoe (cairan
serebrospinal keluar dari telinga), battle sign (warna biru atau ekhimosis
dibelakang telinga diatas os mastoid), dan memotipanum
(perdarahan di daerah membrane tympani telinga)
b. Palpasi : tidak ada lipatan, ada nyeri
Mulut
a. Inspeksi : keadaan tidak bersih, tidak ada stomatitis, membrane mukosa

kering pucat, bibir kering, lidah simetris, lidah bersihtonsil ukuran normal
b. Palpasi : lidah tidak ada lesi, lidah tidak ada massa
Leher dan tenggorokan
a. Inspeksi dan palpasi : tidak ada pembesaran JVP, tidak ada pembesaran

limfe leher tidak panas, tidak adanya kaku kuduk


2. Pemeriksaan Dada dan Thorak

Paru-paru

a. Inspeksi : pergerakan dinding dada simetris, tidak ada batuk, nafas

dada cepat dan dangkal, sesak nafas, frekuensi nafas <16x/menit


b. Palpasi : suara fremitus simetris, tidak ada nyeri tekan
xx
c. Perkusi : sonor pada kedua paru
d. Auskultasi : suara nafas tidak baik, adanya wheezing
Jantung
a. Inspeksi : bentuk simetris, iktus kordis tidak tampak
b. Palpasi : iktus kordis terabapada V±2cm , tidak ada nyeri tekan,

denyut nadi bradikardia


c. Perkusi : pekak, batas jantung kiri ics 2 sternal kiri dan ics 4

sternal kiri, batas kanan dan ics 5 axila anterior kanan


d. Auskultasi : BJ I-II tunggal, tidak ada gallop, ada murmur, irama

nafas tidak teratur, tekanan darah menurun


3. Pemeriksaan Abdomen
a. Inspeksi : permukaan simetris, permukaan datar
b. Auskultasi : bising usus normal
c. Palpasi : tidak ada nyeri, tidak ada benjolan, kulit normal, hepar tidak
teraba, ginjal tidak teraba , tidak ada ascites , tidak ada nyeri pada
titik Mc. Burney
d. Perkusi : suara thimpani
4. Genetalia
a. Inspeksi : terjadi penurunan jumlah urin dan peningkatan cairan
5. Ekstremitas
a. Inspeksi : adanya perubahan-perubahan warna kulit, kelemahan

otot, adanya sianosis


Palpasi : turgor buruk, kulit kering

xxi
3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN
1) Risiko perfusi serebral tidak efektif (D.0017)
Gejala tanda mayor :
- Subjektif : Tidak tersedia
- Objektif : Tidak tersedia

Gejala Tanda Minor :


- Subjektif : Tidak tersedia
- Objektif : Tidak tersedia
Intervensi :
1. Manajemen peningkatan tekanan intracranial
Observasi
• Identifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi,gangguan
metabolism,edema serebral)
• Monitor tanda atau gejala TIK (mis.tekanan darah
meningkat,tekanan nadi melebar,bradikardi)
• Monitor MAP (mean arterial ressure)
Terapeutik
• Minimalkan stimulus dengan menyediakan lingkungan yang
tenang
• Berikan posisi semi fowler
• Cegah terjadinya kejang
Kolaborasi
• Pemberian sedasi dan antikonfulsan jika perlu
• Kolaborasi pemberian deuretik osmosis,jika perlu
• Kolaborasi pemberian pelunak tinja,jika perlu

2. Pemantauan tekanan intracranial


Observasi

xxii
• Iddentifikasi penyebab peningkatan TIK (mis.lesi menempati
ruang,metabolism)
• Monitor peningkatan TD
• Monitor pelebaran tekanan nadi(selisih TDS dan TDD)
Terapeutik
• Ambil sempel drainase cairan cerebrospinal
• Kalibari transbuser
• Pertahankan sterilitas system pemantauan
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan,jika perlu

3. Pemantauan neurologis
Observasi
• Monitor ukuran,bentuk,kesimetrisan dan reaktifitas pupil
• Monitor tingkat kesadaran (mis.menggunakan GCS)
• Monitor tingkat orientasi
• Monitor TTV
Terapeutik
• Tingkatkan frekuensi neurologis,jika perlu
• Hindari aktifitas yang dapat meningkatkan tekanan intracranial
• Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• lInformasikan hasil pemantauan,jika perlu

2) Bersihan jalan nafas tidak efektf (D.0001)


Gejala tanda mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : - batuk tidak efektif
- tidak mampu batuk

xxiii
- sputum berlebih
- mengi,wheezing, dan atau ronki kering
Gejala tanda minor
Subjektif : - dispnea
- sulit bicara
- orthopnea
Objektif : - gelisah
- sianosis
- bunyi nafas menurun
- frekuensi napas berubah
- pola napas berubah
Intervensi :
1. Manajemen jalan napas
Observasi
• Monitor pola napas (frekuensi,kedalaman,usaha napas)
• Monitor bunyi napas tambahan
(mis.gurgling,mengi,wheezing,ronki kering)
• Monitor sputum (jumlah,warna,aroma)
Terapeutik
• Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head thin chin
lift (jaw thrust jika curiga trauma serfikal)
• Posisikan semifowler atau fowler
• Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
Edukasi
• Anjurkan asupan cairan 2000 ml perhari jika tidak
kontraindikasi
Kolaborasi
• Kolaborasi pemberian
bronkodilator,ekspektoran,mukolitikjika perlu

2. Pemantauan respirasi

xxiv
Observasi
• Monitor frekuensi,irama,kedalaman,dan upaya napas
• Monitor pola napas(seperti
bradipnea,takipnea,hiperventilasi)
• Monitor adanya produksi sputum
Terapeutik
• Atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien
• Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
• Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
• Informasikan hasil pemantauan,jika perlu
3. Pemberian obat nasal
Observasi
• Identifikasi kemungkinan alergi,interaksi,dan kontraindikasi
obat
• Verifikasi order obat sesuai dengan indikasi
• Monitor efek terapeutik obat
Terapeutik
• Lakukan prinsip 6 benar
(pasien,obat,dosis,waktu,rute,dokumentasi)
• Bersihkan lubang hidung dengan tisu atau kapas
• Teteskan obat dengan jarak 1cm dari atas lubang hidung
3) Deficit Nutrisi
Gejala tanda mayor
Subjektif : tidak tersedia
Objektif : - berat baddan menurun minimal 10% dibawah rentan ideal
Gejala tanda minor
Subjektif : - cepat kenyang
- kram/nyeri abdomen
- nafsu makan menurun
Objektif : - bising usus hiperaktif

xxv
- otot pengunyah lemah
- otot menelan melemah
- membrane mukosa pucat
- sariawan
- serum albumin menurun
- rambut rontok berlebihan
- diare
Intervensi
1) Manajemen nutrisi
Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi alergi dan toleransi makanan
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
Terapeutik
 Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis.piramida makanan)
 Berikan makanan tinggi serat untuk menegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
Edukasi
 Anjurkan posisi duduk jika mampu
 Ajarkan diet yang diprogamkan
Kolaborasi
 Pemberian medikasi sebelum makan (mis.pereda nyeri) jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
jenis nutrient yang diperlukan,jika perlu
2) Promosi berat badan
Observasi
 Identifikasi penyebab BB kurang
 Monitor jumlah kalori yang dikonsumsi sehari hari
 Monitor berat badan
Terapeutik

xxvi
 Sediakan makanan yang tepat sesuai kondisi pasien(mis.makanan
dengan tekstur halus,makanan cair yang diberikan melalui NGT)
 Berikan suplemen jika perlu
 Hidangkan makanan secara menarik
Edukasi
 Jelaskan jenis makanan yang bergizi tinggi,namun tetap terjangkau
 Jelaskan peningkatan asupan kalori yang dibutuhkan
3) Dukungan kepatuhan progam pengobatan
Observasi
 Identifikasi kepatuhan menjalani program pengobatan
Terapeutik
 Buat komitmen menjalani program pengobatan dengan baik
 Libatkan keluarga untuk mendukung program pengobatan yang dijalani
 Dokumentasikan aktifitas selama menjalani proses pengobatan
Edukasi
 Informasikan program pengobatan yang harus dijalani
 Informasikan manfaat yang diperoleh jika teratur menjalani program
pengobatan
 Anjurkan keluarga untuk mendampingi dan merawat pasien selama
menjalani pengobatan.

xxvii

Anda mungkin juga menyukai