Anda di halaman 1dari 34

PEMERIKSAAN SISTEM PERSYARAFAN

PENGKAJIAN FISIK

Oleh
Nuri Hatika 162310101131
Ubaidillah Ustman 162310101149
Nabila Cindy Anggraeni 162310101165
Maida Krismonica 162310101182

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena rahmat,


karunia, serta taufiq dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Pemeriksaan Fisik Persyarafan” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan
di dalamnya. Kami berterimakasih pada Ns.M.Zulfatul A.,SKp,.M.Kep Selaku
dosen pembimbing dan Ns.Siswoyo S.Kep.M.Kep selaku penanggung jawab mata
kuliah Pengkajian Fisik.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka


menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Pemeriksaan fisik
persyarafan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini
terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap
adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat
dimasa yang akan datang mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran
yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi pembaca. Sekiranya


makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun bagi
orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat
kesalahan kata – kata dan kita mohon kritik dan saran yang membangun dari anda
demi perbaikan makalah kami selanjutnya

Jember, 12 April 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i
KATA PENGANTAR ................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................ iii
BAB 1. PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 2
1.3 Tujuan ..................................................................................... 2
..........................................................................................................
BAB 2. KONSEP DASAR ........................................................................... 3
2.1 Pengertian Sistem Saraf......................................................... 3
2.2 Anatomi Fisiologis Sistem Saraf............................................ 3
BAB 3. STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR ................................. 9
3.1 Definisi ...................................................................................... 9
3.2 Tujuan ...................................................................................... 9
3.3 Indikasi ..................................................................................... 10
3.4 Kontraindikasi ......................................................................... 10
3.5 Persiapan Perawat................................................................... 10
3.6 Persiapan Pasien....................................................................... 10
3.7 Persiapan Alat dan Bahan ...................................................... 10
3.8 Tahap Kerja ............................................................................. 11
3.9 Evaluasi .................................................................................... 21
3.10 Hal-hal yang Perlu Diperhatikan ........................................ 22
3.11 Kerangka Standar Operasional Prosedur .......................... 22
BAB 4. PENUTUP ....................................................................................... 29
4.1 Kesimpulan .............................................................................. 29
4.2 Saran ......................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 30

iii
iv
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asuhan keperawatan yang berkualitas adalah suatu tuntutan yang harus


dipenuhi oleh seorang perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada
klien, sehingga masalah kesehatan yang sedang dialami oleh klien dapat teratasi
dengan baik dalam rangka meningkatkan status kesehatan klien.

Asuhan keperawatan diberikan oleh perawat melalui suatu metode ilmiah


yaitu proses keperawatan yang terdiri dari 5 langkah yaitu pengkajian, diagnosa
keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi. Langkah awal dalam
memberikan asuhan keperawatan yaitu pengkajian keperawatan. Dalam
melaksanakan pengkajian, seorang perawat dapat melakukan pengumpulan data
yang dapat menunjukkan masalah kesehatan klien melalui anamnesa, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.

Salah satu masalah kesehatan yang dialami klien yaitu masalah kesehatan
yang berkaitan dengan gangguan system persyarafan. Untuk itu perawat harus
dapat memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas pada klien dengan
memulai langkah awal yaitu melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan
system persyarafan.

Untuk itu setiap mahasiswa keperawatan harus mampu memahami konsep


dan teori tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system
persyarafan sehingga diharapkan nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan
yang berkualitas pada klien yang mengalami gangguan system persyarafan
tersebut.

Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian


yang berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien yang
berhubungan dengan sistem persarafan. Tahap selanjutnya adalah pemeriksaan
fisik meliputi pemeriksaan status mental, pemeriksaan saraf kranial, pemeriksaan
motorik, pemeriksaan sensorik, dan pemeriksaan refleks.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sistem saraf ?
2. Bagaimana anatomi fisiologis dari sistem saraf ?
3. Bagaimana Strandart Operasional Prosedur pemeriksaan fisik sistem
saraf ?
1.3 Tujuan
Agar mengetahui strandart operasional prosedur pemeriksaann fisik sistem
saraf dan mengetahui bagaimana cara pemeriksaan fisik sistem persarafan
tersebut .

2
BAB 2. KONSEP DASAR

2.1 Pengertian Sistem saraf


Sistem saraf merupakan serangkaian organ yang kompleks dan
bersambungan serta terdiri terutama dari jaringan saraf (Sloane, 2003). Sistem
saraf merupakan salah satu sistem yang berfungsi untuk memantau dan
merespon perubahan yg terjadi di dalam dan diluar tubuh atau lingkungan.
Sistem saraf juga bertanggung jawab sebagai sistem persepsi, perilaku dan daya
ingat, serta merangsang pergerakan tubuh (Farley et all, 2014). Kemampuan
untuk dapat memahami, mempelajari, dan merespon suatu rangsangan
merupakan hasil kerja terintegrasi sistem persarafan yang mencapai puncaknya
dalam bentuk kepribadian dan tingkah laku individu (Batticaca, 2008).

2.2 Anatomi Fisiologi Sistem Saraf


Susunan saraf terdiri dari susunan saraf sentral dan susunan saraf perifer.
Susunan saraf sentral terdiri dari otak (otak besar, otak kecil, dan batang otak) dan
medula spinalis. Susunan saraf perifer terdiri dari saraf somatik dan saraf otonom
(saraf simpatis dan saraf parasimpatis).
2.1.1 Susunan saraf sentral
a. Otak
Otak merupakan jaringan yang paling banyak memakai energi dalam
seluruh tubuh manusia dan terutama berasal dari proses metabolisme oksidasi
glukosa. Otak mengandung hampir 98% jaringan saraf tubuh (Batticaca, 2008).
Otak dibungkus oleh tiga selaput otak (meningen) dan dilindungi oleh tulang
tengkorak. Selaput otak terdiri dari tiga lapis yaitu durameter (lapisan paling luar
yang menutupi otak dan medula spinalis, serabut berwarna abu-abu yang bersifat
liat, tebal dan tidak elastis), araknoid (membran bagian tengah yang tipis dan
lembut yang menyerupai sarang laba-laba, berwarna putih karena tidak tidak
dialiri aliran darah), dan piameter (membran yang paling dalam berupa dinding
tipis dan transparan yang menutupi otak dan meluas ke setiap lapisan daerah otak)
(Batticaca,2008).
Otak terdiri dari 3 bagian :

3
1. Serebrum
Sereberum atau otak besar mempunyai dua belahan yaitu hemisfer kiri dan
hemisfer kanan yang dihubungkan oleh massa substansia alba ``yang disebut
korpus kollosum. Serebrum(telensefalon) terdiri dari korteks serebri, basal ganglia
dan rheniensefalon.
a. Korteks Serebri
Korteks serebri adalah lapisan permukaan hemisfer yang disusun
oleh substansia grisea. Beberapa daerah tertentu dari korteks serebri telah
diketahui memiliki fungsi spesifik. Brodmann (1909) membagi korteks
serebri menjadi 47 area berdasarkan struktur selular.
b. Basal Ganglia
Basal ganglia terdiri dari beberapa kumpulan substansia grisea
yang padat yang terbentuk dalam hubungan yang erat dengan dasar
ventrikulus lateralis. Ganglia basalis merupakan nuklei subkortikalis yang
berasal dari telensefalon. Pada gerakan lambat dan mantap basal ganglia
akan aktif, sedangkan pada gerakan cepat dan tiba-tiba basal ganglia tidak
aktif. Basal ganglia sudah mulai aktif sebelum gerakan dimulai, berperan
dalam penataan dan perencanaan gerakan yaitu dalam proses konversi
pikiran menjadi gerakan volunter. Kerusakan ganglia basalis pada manusia
menimbulkan gangguan fungsi motorik yaitu hiperkinetik (terjadinya
gerakan-gerakan abnormal yang berlebihan) dan hipokinetik
(berkurangnya gerakan, misalnya kekakuan) (Syaifuddin, 2011)
c. Rinensefalon
Sistem limbik (lobus limbic atau rinensefalon) merupakan bagian
otak yang terdiri atas jaringan alo-korteks yang melingkar sekeliling hilus
hemisferserebri serta berbagaai struktur lain yang lebih dalam
yaitu aminglada, hipokampus dan nuclei septal. Rinensefalon berperan
dalam fungsi penghidu, perilaku , makan dan bersama dengan hipotalamus
berfungsi dlam perilaku seksual, emosi takut, marah dan motivasi
(Syaifuddin, 2011)

Fungsi kortek serebri yaitu:

4
a) Korteks motorik primer (area 4, 6, 8) mengontrol gerakan volunter otot dan
tulang pada sisi tubuh kontralateral. Impulsnya berjalan melalui akson-akson
dalam traktus kortikobulber dan kortikospinal, menuju nuclei saraf-saraf
serebrospinal. Proyeksi motori dari berbagai bagian tubuh terutama daerah
kaki terletak diatas, sedangkan daerah wajah bilateral terletak dibawah. Lesi
area 4 akan mengakibatkan paralisis kontralateral dari kumpulan otot yang
disarafi. Lesi area 6 dan 8 pada perangsangan akan timbul gerakan mata dan
kepala.
b) Korteks sensorik primer (area 3, 4, 5) penerima sensasi umum (area
somestesia); menerima serabut saraf yaitu radiasi yang membawa impuls
sensoris dari kulit, otot sendi dan tendo di sisi kontralateral. Lesi didaerah ini
dapat menimbulkan gangguan sensasi pada sisi tubuh kontralateral; dan
terdapat homunculus sensorik yaitu menggambarkan luas daerah proyeksi
sensorik dari bagian-bagian tubuh di sisi tubuh kontraleteral.
c) Korteks visual (area 17) terletak dilobus oksipitalis pada fisura kalkarina; lesi
iritatif menimbulkan halusinasi visual; lesi destruktif menimbulkan gangguan
lapangan pandang; dan menerima impuls dari radio-optika.
d) Korteks auditorik primer (area 41) terletak pada tranvers temporal girus di
dasar visura lateralis serebri. Menerima impuls dari radiasioauditorik yang
berasal dari korpus genikulatum medialis. Lesi area ini hanya menimbulkan
ketulian ringan kecuali bila lesinya bilateral.
e) Area penghidu (area reseptif olfaktorius) terletak di daerah yang berdekatan
dengan girus parahipotalamus lobus temporalis. Kerusakan jalur olfaktorius
menimbulkan anosmia (tidak bisa menghidu). Lesi iritasi menimbulkan
halusinasi olfaktorius. Pada keadaan ini penderita dapat menghidu bau yang
aneh atau mengecap rasa yang aneh.
f) Area asosiasi, korteks yang mempunyai hubungan dengan area
sensorik maupun motorik, dihubungkan oleh serabut asosiasi. Pada manusia
terdapat tiga daerah asosiasi penting, yaitu daerah frontal (di depan korteks
motorik), daerah temporal (antara girus temporalis superior dan korteks limbik)
dan daerah parieto-oksifital (antara korteks somatetik dan korteks vosual.
Kerusakan daerah sosiasi akan menimbulkan gangguan dengan gejala yang

5
sesuai dengan tempat kerusakan. Misalnya, pada area 5 dan 7 akan
menimbulkan astereognosis (tidak mengenali bentuk benda, yang diletakkan di
tangan dengan mata tertutup) karena area ini merupakan pusat asosiasi sensasi
(indra) kulit.
1. Serebelum
Serebelum (otak kecil) terletak dalam fosa kranial posterior, dibawah
tentorium serebelum bagian posterior dari pons varoli dan medulla
oblongata. Serebelum berfungsi sebagai pusat koordinasi untuk
mempertahankan keseimbangan dan tonus otot. Serebelum diperlukan
untuk mempertahankan postur dan keseimbangan saat berjalan dan berlari
(Syaifuddin, 2011).
2. Batang otak
Batang otak terdiri dari: a) Diesenfalon yaitu bagian otak paling atas
terdapat diantara serebelum dengan mesenfalon, b) Mesensefalon yaitu
bagian otak yang terletak diantara pons varoli dan hemisfer serebri, c)
Pons varoli terletak didepan serebelum diantara otak tengah dan medula
oblongata, d) Medula oblongata merupakan bagian otak paling bawah
yang menghubungkan pons varoli dengan medula spinalis. Fungsi dari
batang otak yang utama adalah sebagai pengatur pusat pernafasan dan
pengatur gerakan refleks dari tubuh.

3. Medula Spinalis
Medula spinalis dan batang otak membentuk struktur kontinu yang keluar
dari hemisfer serebral dan bertugas sebagai penghubung otak dan saraf
perifer. Panjangnya rata-rata 45 cm dan menipis pada jari-jari. Fungsi
medula spinalis sebagai pusat saraf mengintegrasikan sinyal sensoris yang
datang mengaktifkan keluaran motorik secara langsung tanpa campur
tangan otak (fungsi ini terlihat pada kerja refleks spinal, untuk melindungi
tubuh dari bahaya dan menjaga pemeliharaan tubuh) dan sebagai pusat
perantara antara susunan saraf tepi dan otak (susunan saraf pusat), semua
komando motorik volunter dari otak ke otot-otot tubuh yang

6
dikomunikasikan terlebih dahulu pada pusat motorik spinal. Pusat motorik
spinal akan memproses sinyal sebagaimana mestinya sebelum
mengirimkannya ke otot. Sinyal sensoris dari reseptor perifer ke pusat otak
harus terlebih dahulu dikomunikasikan ke pusat sensorik di medula
spinalis. Medula spinalis berfungsi untuk mengadakan komunikasi antara
otak dan semua bagian tubuh serta berperan dalam gerak refleks, denyut
jantung, pengatur tekanan darah, pernafasan, menelan, muntah dan berisi
pusat pengontrolan yang penting (Setiadi, 2007) .

2.1.2 Susunan Saraf Perifer

Susunan saraf perifer atau susunan saraf tepi merupakan penghubung susunan
saraf pusat dengan reseptor sensorik dan efektor motorik (otot dan kelenjar).
Serabut saraf perifer berhubungan dengan otak dan korda spinalis. Serabut saraf
perifer terdiri dari 12 pasang saraf cranial dan 31 pasang saraf spinal. Setiap saraf
spinal adalah gabungan dari serabut motorik somatik, sensorik somatik dan
otonom. Sistem saraf tepi dibagi menjadi dua berdasarkan cara kerjanya, yaitu:

a. Susunan Saraf Somatik


Indra somatik merupakan saraf yang mengumpulkan informasi sensoris
dari tubuh. Indra somatik dapat digolongkan menjadi tiga jenis: indra somatik
mekanoreseptif, yang dirangsang oleh pemindahan mekanisme sejumlah jaringan
tubuh meliputi indra raba, tekanan, tekanan yang menentukan posisi relatif, dan
kecepatan gerakan berbagai bagian tubuh; indra termoreseptor, mendeteksi panas
dan dingin; dan indra nyeri digiatkan oleh faktor apa saja yang merusak jaringan,
perasaan kompleks karena menyertakan sensasi perasaan dan emosi (Syaifuddin,
2011).

b. Susunan Saraf Otonom


Saraf yang mempersarafi alat-alat dalam tubuh seperti kelenjar, pembuluh
darah, paru, lambung, usus dan ginjal. Ada dua jenis saraf otonom yang fungsinya
saling bertentangan, kedua susunan saraf ini disebut saraf simpatis dan saraf
parasimpatis.

7
1. Saraf Simpatis
Saraf simpatis terletak di dalam kornu lateralis medula spinalis servikal
VIII sampai lumbal I. Sistem saraf simpatis berfungsi membantu proses
kedaruratan. Stres fisik maupun emosional akan menyebabkan peningkatan
impuls simpatis. Tubuh siap untuk berespon fight or flight jika ada ancaman.
Pelepasan simpatis yang meningkat sama seperti ketika tubuh disuntikkan
adrenalin. Oleh karena itu, stadium sistem saraf adrenergik kadang-kadang
dipakai jika menunjukkan kondisi seperti pada sistem saraf simpatis (Batticaca,
2008).
2. Saraf Parasimpatis
Fungsi saraf parasimpatis adalah sebagai pengontrol dominan untuk
kebanyakan efektor visceral dalam waktu lama. Selama keadaan diam, kondisi
tanpa stres, impuls dari serabut-serabut parasimpatis (kolenergik) menonjol.
Serabut-serabut sistem parasimpatis terletak di dua area, yaitu batang otak dan
segmen spinal di bawah L2. Karena lokasi serabut-serabut tersebut, saraf
parasimpatis menghubungkan area kraniosakral, sedangkan saraf simpatis
menghubungkan area torakalumbal dari sistem saraf autonom. Parasimpatis
kranial muncul dari mesenfalon dan medula oblongata. Serabut dari sel-sel pada
mesenfalon berjalan dengan saraf okulomotorius ketiga menuju ganglia siliaris,
yang memiliki serabut postganglion yang berhubungan dengan sistem simpatis
lain yang mengontrol bagian posisi yang berlawanan dengan mempertahankan
kesimbangan antara keduanya pada satu waktu (Batticaca, 2008).

8
BAB 3 STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

3.1 Pengertian Pemeriksaan Fisik Persarafan


Tubuh manusia akan berada dalam kondisi yang sehat jika ia mampu
berespon terhadap perubahan-perubahan lingkungannya secara terkoordinasi.
Salah satu sistem komunikasi dalam tubuh adalah sistem saraf. Pengkajian sistem
persarafan merupakan salah satu aspek yang penting untuk dilakukan dalam
menentukan diagnosa keperawatan yang tepat dan melakukan tindakan perawatan
yang sesuai, sehingga perawat dapat mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatan klien.
Pemeriksaan persarafan terdiri dari dua tahapan penting yaitu pengkajian
yang berupa wawancara yang berhubungan dengan riwayat kesehatan klien yang
berhubungan dengan sistem persarafan seperti stroke, hipertensi, radang otak,
penggunaan obat-obatan dan alkohol, dan penggunaan obat yang diminum secara
teratur. Tahap berikutnya adalah pemeriksaan fisik meliputi pemeriksaan status
mental, pemeriksaan saraf kranial, pemeriksaan motorik, pemeriksaan sensorik,
dan pemeriksaan refleks. Dalam melakukan pemeriksaan fisik diperhatikan
prinsip-prinsip head to toe, chepalocaudal dan proximodistal. Dan bagian
terpenting yaitu harus memperhatikan keamanan dan privasi klien.
3.2 Tujuan Pemeriksaan Fisik Persarafan
Pada pemeriksaan fisik klien dengan gangguan sistem persarafan secara
umum biasanya menggunakan teknik pengkajian persistem, sama seperti
pemeriksaan medikal bedah lainnya. Pemeriksaan fisik ini dilakukan sebagaimana
pemeriksaan fisik lainnya dan bertujuan untuk mengevaluasi keadaan fisik klien
secara umum dan menilai apakah ada indikasi penyakit lainnya selain kelainan
neurologis.
Dalam melakukan pemeriksaan fisik sistem persarafan seorang perawat
memerlukan pengetahuan tentang anatomi, fisiologi, dan patofisiologi dari sistem
persarafan. Pengalaman dan keterampilan perawat sangat diperlukan dalam
pengkajian dasar kemampuan fungsional hingga manuver pemeriksaan diagnostik
canggih yang dapat menegakkan diagnosis kelainan pada sistem persarafan.

9
3.3 Indikasi
Pasien yang mengalami gangguan sistem persarafan.

3.5 Persiapan Perawat


Cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan, sesuaikan urutan pemeriksaan
dengan keadaan umum klien, mulailah pemeriksaan fisik sejak awal kontak
dengan klien dan gunakan general precaution, metode yang digunakan cepalo
kadral atau distal ke proksimal.
3.6 Persiapan Pasien
- Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang lumbal pungsi
meliputi tujuan, prosedur, posisi, lama tindakan, sensasi-sensasi yang
akan dialami dan hal-hal yang mungkin terjadi berikut upaya yang
diperlukan untuk mengurangi hal-hal tersebut
- Meminta izin dari pasien/keluarga dengan menadatangani formulir
kesediaan dilakukan tindakan lumbal pungsi.
- Meyakinkan klien tentang tindakan yang akan dilakukan

3.7 Persiapan Alat dan Bahan


a. Refleks hammer
b. Garputala
c. Kapas dan lidi
d. Penlight atau senter kecil
e. Opthalmoskop
f. Jarum steril
g. Spatel tongue
h. 2 tabung berisi air hangat dan air dingin
i. Objek yang dapat disentuh seperti peniti atau uang receh
j. Bahan-bahan beraroma tajam seperti kopi, vanilla atau parfum
k. Bahan-bahan yang berasa asin, manis atau asam seperti garam, gula, atau cuka
l. Baju periksa
m. Sarung tangan

10
3.8 Tahap Kerja
3.8.1 Tingkat kesadaran
Tiap pasien neurologis observasi tingkat kesdaran amatlah penting dengan
pemeriksaan ini dapat mengungkapkan penyebab terjadinya koma, perhatikan
suatu berbaring apakah tenang atau santai disertai dengan menguap ini
menandakan penurunan kesadaran yang dalam. Makin keras rangsangan yang
diberikan untuk mendapatkan jawaban kesadaran pasien semakin dalam.
Evaluasi tingkat kesadaran secara sederhana dapat dibagi atas :
a. Kualitatif
1. komposmentis : Kesadaran baik (penuh) sempurna baik waktu,
orang dan tempat.
2. Apatis : perhatian berkurang
3. Somnolen : kesadaran mengantuk, kesadaran dapat pulih
kembali fscorebila dirangsang pasien mudah
dibangunkan, mampu memberi jawaban,
menangkis rangsangan nyeri.
4. Sopor / Stupor : kantuk yang dalam pasien dapat dibangunkan
dengan rangsangan yang kuat, kemuadian pasien
tertidur atau kesadaran turun lagi.
5. Soparokomatus : keadaaan ini tidak ada respon verbal, haya reflek
pupil dan kornea masih baik.
6. Coma : Tidak ada respon sama sekali
b. Kuantitatif
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran pasien secara
akurat dapat digunakan berdasarkan skala dari Glasgow yaitu dikenal
dengan istilah GCS (Glasgow Skala). Skala ini meliputi respon 3 area
khusus yaitu membuka mata, respon verbal dan motorik.
Adapun aspek yang dinilai dalam GCS adalah :
1. membuka mata (E) dengan skor maksimal : 4
2. Respon verbal (V) dengan skor maksimal : 5
3. Respon motorik (M) dengan skor maksimal : 6
Jadi keseluruhan skor untuk ketiga aspek yang dinilai adalah 15.

11
Dari ketiga aspek yang dinilai kemudian diinterpretasikan sesuai dengan
skor yang didapat yaitu bila skor 15 pasien dengan kesadaran penuh (waktu,
tempat, orang )
1. Respon membuka mata
Spontan :4
Dipanggil atas perintah :3
Dengan rangsangan nyeri (Supra orbita) :2
Tidak ada reaksi :1
2. Respons verbal
Orientasi baik (waktu , orang dan tepat ) :5
Disorientasi :4
Bisa bicara, kata-kata jelas, tidak menyambung :3
Hanya suara mengerang :2
Tidak ada jawaban :1
3. Respons Motorik
Mengikuti perintah :6
Mengikuti lokasi nyeri :5
Reaksi menghindar :4
Reaksi fleksi :3
Reaksi ekstensi :2
Tidak ada respon terhdap nyeri :1

3.8.2 Respon Nyeri


Mengkaji respon nyeri pada pasien yang tidak sadar pada kasus
neurologis, merupakan suatu yang sangat penting dilakukan, apakah pasien itu
sadar ataukah tidak evaluasi respons motorik menunjukkan tingkatan nyeri yang
mengalami lesi pada hemesfir otak. Pada pasien yang tidak sadar mengetahui
respon nyeri menggunakan rentang A,B,C,D, dan E. Caranya adalah berikan
rangsangan nyeri dengan menekan supraorbita pasien menggunakan jari
pemeriksa maka intrepretasikan sebagai berikut :
A : Nyeri terlokasi (respon pasien mendekati stimulus)
B : Menarik (respon pasien menjauhi stimulus)

12
C : Dekortikasi (respon pasien adalah lengan fleksi dan aduksi kearah dada
sedangkan tungkai keadaan ekstensi, menndakan adanya lesi diatas
mesenfalon).
D : Deserebrasi ( respon pasien adalah lengan kedaan ekstensi, aduksi dan
endorotasi, sedangkan tungkai keadaan ekstensi hal ini menandakan
lesi batang otak atas )
E : Lembek tidak ada respon nyeri sama sekali .

3.8.3 Pemeriksaan Fungsi Sensorik


Adanya gngguan pada otak , medulla spinalis dan saraf tepi dapat
menimbulkan gangguan sensori, gangguan ini tidak tampak seperti gangguan
motorik ataupun atropi otot, karena gangguan sensorikdapat menyebabkan
perasaan baal/kesemutan/parastesia,mati rasa adapula pasien sangat sensitife
( Hiperestesia) .
Perawat harus memahami hal-hal berikut yang terkait dengan pemeriksaan
fungsi sensorik :
1. Kesadaran pasien harus penuh
2. Pasien saat pemeriksaan tidak boleh dalam keadaan lelah .
3. Prosedur pemeriksaan harus dipahami oleh pasien
4. Tujuan pemeriksaan harus dijelaskan oleh pemeriksa dengan bahasa
yang sederhana
5. Penilaian tidak hanya ada atau tidak ada gangguan sensasi, juga
perbedaan dari sensasi
6. Pemeriksaan ulang penting untuk dilakukan karena sering perbedaan
interprestasi
7. Pemeriksaan harus simetris atau bilateral .
8. Pemeriksaan dilakukan dengan sabara serta alat yang dipakai sesuai
dengan kebutuhan.

Adapun jenis pemeriksaan sensori diantaranya:

1. Pemeriksaan Fungsi Taktil


a. Alat yang dipakai :
 Kuas halus, bulu, tissue.
 Jika terpaksa dapat memakai jari

13
b. Posisi Pasien
 Posisi dalam keadaan berbaring, bisa duduk dengan mata terpejam
bisa menutup dengan jari tangan tanpa menekan bola mata.
 Pasien dalam keadaan santai, tidak boleh tegang, bagian tubuh yang
diperiksa harus bebas dari pakaian
c. Caranya adalah:
Menstimuli atau memberikan rangsangan pada pasien harus sesering
mugkin, jangan memberi tekanan pada jaringan subcutan, pasien hanya
diminta untuk menyataknan YA atau TIDAK, bila merasakan atau tdak
merasakan adanya rangsangan dan juga minta pasien untuk menyatakan
tempat serta bagian tubuh mana yang dirangsang

2. Pemeriksaan Sensasi Superfisial


Pada pemeriksaan sensasi superfisial focus perhatian perawat adalah
mengetahui fungsi perasa dari pasien., alat yang dipakai dapat berupa jarum biasa,
peniti atau jarum pentul karena ujung dan kepala jarum pentul dapat dipakai
secara bergantian.

Caranya adalah:

1. Pasien diminta untuk menutup matanya.


2. Pemeriksa terlebih dulu mencoba jatum terhadap dirinya
3. Tekanan kulit pasien seminimal mungkin, jangan sampai menimbulkan
perlukaan
4. Pasien jangan ditanya apakah ini runcing, pemeriksa hanay menanyakan
apa ynag pasien rasakan
5. Rangsangan pada kulit dikerjakan dengan ujung dan kepala jarum
bergantian, pasien hanya mengatakan sensasinya, apakah asa perbedaan
intensitas dari sensasinya.
6. Jika ada sensasinya yang menurun rangsangan dimulai dari daerah tadi
kearah normal.
Adapun istilah dari gangguan nyeri superfisial:
a. Alganestesia dan analgesia: menunjukkan daerah yang tidak sensitive
terhadap rangsang nyeri
b. Hipelgesia: menunjukkan sensitivitas yang menurun
c. Hiperalgelsia: menunjukkan sensitivitas meningkat
b. Pemeriksaan reflex Akciless

1. Pasien dapat duduk dengan tungkai menjutai atas berbaring, dan dapat
pula lutut dan sebagian tungkai bagian bawah pasien bertumpu pada kursi
dan jari kakinya menjulur keluar.
2. Pada dasarnya pemeriksaan sedikit menegangkan tendo Achiles dengan
cara menahan ujung kaki kea rah dorsofleksi.

14
3. Tendo achiles dipukul dengan cepat tapi ringan dengan hammer gerakan
bertumpu pada pergelangan tangan pemeriksa.
4. Reaksinya akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak, pusat ada S1
dan S2.

3. Pemeriksaan Sensasi Suhu

Pada pemeriksaan sensasi suhu alat yang dipakai adalah tabung


yang berisi air dingin atau air panas, tabung yang dipakai lebih baik
terbuat dari metal dari pada tabung dari gelas atau kaca, karena bahan dari
gelas merupakan konduktor yang buruk. Sensasi dingin biasanya dengan
suhu 5-10 derajat, dan air panas dengan suhu 40-45 derajat.

Caranya adalah :

a. Pasien lebih baik dalam posisi berbaring, mata pasien ditutup.


b. Tabung yang berisi air panas maupun dingin terlebih dahulu dicoba oleh
pemeriksa.
c. Kemudian tabung tadi ditempelkan secara bergantian, pasien hanya
diminta menyatakan sensasi sesuai dengan persepsinya.

Istilah dalam sensasi suhu adalah :

a. Termanestesia : tidak sensitif terhadap suhu


b. Termhipestesia : sensitivitas terhadap suhu menurun
c. Termhiperestesia : sensitivitas terhadap suhu meningkat

4. Pemeriksaan Sensasi Getar


Sensasi Getar atau vibrasi (palastesia) adalah suatu kemampuan untuk
merasaka(palastesia) adalah suatu kemampuan untuk merasakan adanya
rasa getar, ketika garputala yang telah digetarkan di letakkan pada tulang
tertenttu yang menonjol.

Alat yang dipakai :


a. Garputala dengan frekuensi 128 Hz, 256 Hz
b. Bagian tubuh yang ditempeli dengan garputala antara lain : ibu jari
kaki, meleolus lateralis/medialis, tibia, scarum, sternum, prosesus
spinosus, dan sendi yang menonjol lainnya.

Caranya :

15
1. Getarkan garputala terlebih dahulu dengan memukulkan ujungnya
pada benda yang padat atau keras.
2. Kemudian pangkal garputala segera ditempelkan pada bagian tubuh
yang akan diuji.

Hasilnya :

Dikatakan normal bila pasien merasakan adanya vibrasi maksimal,


kemampuan pasien merasakan getaran garputala, ketika garputala hampir
berhenti bergetar, apabila hilang rasa getar disebut : Palanestesia.

5. Pemeriksaan Sensasi Tekan


Pemeriksaan sensasi tekan sering disebut Piesestesia. Sensasi tekan
erat kaitannnya dengan sensasi taktil, tetapi melibatkan persepsi tekanan
dari struktur kulit subcutaneus.

Alat yang dipakai :


a. Benda tumpul atau kalau terpaksa bisa juga menggunakan ujung jari
tangan.

Caranya :

1. Posisi pasien berbaring dengan mata tertutup.


2. Ujung jari atau benda tumpul disentuhkan pada kulit, bisa juga
menekan struktur kulit subcutan.
3. Pasien diminta untuk menyatakan apakah ada tekanan serta meminta
untuk mengatakan daerah mana yang ditekan

6. Pemeriksaan Sensasi Nyeri


Pemeriksaan sensasi nyeri alat yang dipakai tidak ada yang khusus,
cukup dengan menggunakan jari tangan, posisi pasien bias duduk atau
berbaring, dengan mata tertutup.
7. Pemeriksaan Refleks
Pemeriksaan reflex daalam kasus neurologis pada dasarnya merupakan
pemeriksaan yang tidak terpisahkan dari pemeriksaan fisik secara cermat dan hati-
hati. Pasien yang dilakukan pemeriksaan reflex biasanya diindikasikan dengan
keluhan-keluhan seperti mudah lelah, ada kesulitan berjalan, kelemahan atau
kelumpuhan, gangguan gerak, nyeri punggung, atau gangguan fungsi otonum.
Gerak reflek: Urutan perambatan impuls pada gerak reflex yaitu: stimulus
pada organ reseptor kemudian diterima oleh sel saarf sensorik (afferent) diterima
sel penghubung (asosiasi) pada sumsum tulang belakang diteruskan menuju sel

16
saarf motoric (efferen) untuk dipersepsikan diotak kemudian timbul respon gerak
spontan yang disebut dengan efektor.
Pemeriksaan reefleks pada kasus neurologis, meliputi reflex fisiologis
maupun reflex pathologis. Adapun dasar pemeriksaan reflex:
1. Alat yang digunakan disebut reflex hammer.
2. Pasien pada waktu diperiksa harus dalam posisi yang nyaman dan santai,
bagian tubuh yang akan diperiksa harus selemas-lemasnya, sehingga gerakan
otot dpat muncul secara optimal.
3. Rangsangan gharus diberikan secara cepat dan langsung, kerasnya pukulan
harus dalaam batas ambang
4. Otot yang diperiksa harus dalam kondisi sedikit kontraksi

a. Penilaian hasil reflex


Refleks dapat dinilai secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara
kuantitatif berdasarkan nilai atau score, dan kulaitas berdasarkan
intepretasi pemeriksa sebagi negative, menurun, meninggi maupun
normal.

b. Jenis-jenis pemeriksaan reflex


1) Pemeriksaan reflex lengan
Meliputi:
a) Refleks Biceps
 Pasien duduk dengan santai, lengan bawah lemas sedikit antara
fleksio dan ekstensi dan pronasi
 Siku pasien diletakkan pada lengan pemeriksa
 Pemeriksa meletakkan ibu jarinya diatas tendo biceps, kemudian
pukullah ibu jari tadi dengan reflex hammer yang telah disediakan
 Reaksi utama adalah kontraksi otot biceps dan fleksi lengan
bawah
 Apabila reflex meninggi maka zona fleksogen akan meluas
disertai fleksi pergelangan tangan serta jari tangan dan aduksi ibu
jari
 Muskulus biceps brakhii dipelihara oleh nervus muskulokutaneus

b) Pemeriksaan reflex triceps


 Pasien duduk dengan tenang dan santai
 Lengan pasien diletakkan diatas lengan pemeriksa
 Lengan bawah pasien dalm keadaan lemas, sedikit fleksi dan
pronasi
 Bila lengan pasien sudah relaksasi sempurna (otot triceps tidak
teraba tegang) pukullah tendo di fossa olecranon

17
 Otot triceps akan kontraksi dan sedikit menyentak, gerakan ini
dapat dilihat sekaligus dirasakan oleh lengan pemeriksa yang
menopang lengan pasien
 Muskulus triceps dipelihara oleh nervus radialis

c) Pemeriksaan reflex brakhioradialis


 Posisi pasien dan pemeriksa sama dengan pemeriksaan reflex
biceps
 Pukullah tendo brakhioradialis pada radius bagian distal
dengan hammer
 Akan muncul gerakan menyentak pada lengan
 Muskulus brakhioradialis dipelihara oleh nervus radialis

d) Pemeriksaan reflex fleksor jari tangan


 Pemeriksaanini disebut juga : wartenberg sign
 Pasien duduk dengan santai tidak boleh tegang
 Tangan pasiendaalm posisi setengah supinasi, diletakkan
diatas meja atau atas benda lain yang padat jari-jari posisi
fleksi ringan
 Pemeriksa meletakkan telunjuk dan jari tengahnya pada
permukaan tangan pasien
 Punggung jari pemeriksa tadi dipukul dengan cepat tapi ringan
dengan reflex hammer yang telah disiapkan
 Reaksinya adalah fleksi ke empat jari tangan pasien serta fleksi
ibu jari pasien bagian distal

2) Pemeriksaan reflex tungkai


a) Reflex quadriceps /patella
 Pasien dalam posisi duduk dengan tungkai menjuntai
 Daerah kanan kiri tendo platella terlebih dahulu diraba,
untuk menetapkan daerah yang tepat
 Tangan pemeriksa yang satu memegang paha pasien
bagian distal, tangan yang lain memukul tendo dengan
reflex hammer secara cepat dan ayunan reflek hammer
bertumpu pada pergelangan tangan
 Tangan yang memegang paha tadi merasakan kontraksi
otot patella dan tungkai bawah pasien menyentak untuk
berayun
 Bila ada kesulitan dengan cara ini pakailah cara berikut:
kedua tangan pasiensaling berpegangan horizontal didepan
dada, pasien diminta untuk menarik kedua tangannya,
bersamaan dengan itu lalu pukullah tendo platellanya,

18
menggunakan reflex hammer, sambil menggunakan
hentakan reflex quadriceps.
 Bila pasien tidak mampu duduk, dapat dalam posisi
berbaring.
b. Pemeriksaan reflex Akciless

5. Pasien dapat duduk dengan tungkai menjutai atas berbaring, dan dapat
pula lutut dan sebagian tungkai bagian bawah pasien bertumpu pada kursi
dan jari kakinya menjulur keluar.
6. Pada dasarnya pemeriksaan sedikit menegangkan tendo Achiles dengan
cara menahan ujung kaki kea rah dorsofleksi.
7. Tendo achiles dipukul dengan cepat tapi ringan dengan hammer gerakan
bertumpu pada pergelangan tangan pemeriksa.
8. Reaksinya akan muncul gerakan fleksi kaki yang menyentak, pusat ada S1
dan S2.

3. Pemeriksaan Refleks glabella

1. Pukulan singkat pada glabela atau sekitar daerah supraorbita


mengakibatkan kontraksi singkat kedua otot orbitkularis okuli. Pada lesi
perifer nervus fasial refleks iniberkurang atau negatif. Sedangkan pada
parkison refleks ini akan meninggi (ousat refleks di spons).

4. Pemeriksaan refleks rahang (Jaw Refleks)

Pasiendiminta untuk membuka mulutnya sedikit dan telunjuk pemeriksa di


tempatkan melintang di dagu, setelah itu telunjuk diketok dengan hammer
akan mengkibatkan kontraksinya otot masseter sehingga mulut merapat.
Pusat refleks ini terletak di spons.

5. Refleks Dinding Perut Superfisial

Lengkung refleks ini merupakan rangkaian terlibatnya neuron


suprasegmenta,sehingga apabila terdapat kerusakan suprasegmental
refleks ini negative. Mengakibatkan refleks ini dengan jalan menggores
dinding perut dengan benda agak runcing tetapi tidak tajam seperti kunci,
pulpen,dikatakan positif apabila ada kontraksi muskulus rectus abdominis.
Goresan ini dilakukan seluruh lapang dinding perut, refleks diinding perut
bisa negatif pada wanita banyak anak, orang gemuk, usia lanjut, bayi baru
lahir sampai usia satu tahun.pada usia dewasa jika hasilnnya negatif
menandakan adanya kelahiran yaitu lesi tractus piramidalis diatas thorax
ke 6.

6. Pemeriksaan refleks Cremaster

19
Refleks ini dibangkitkan dengan jalan menggores atau menyentu bagian
medial paha pasien, maka akan terlihat scrotum montraksi, jika hasil tidak ada
kontraksi berrti negatif menandakan adanya lesi tractus piramidalis, refleks ini
negatif pada usia tua atau lanjut, dan menderita hydrokel, epidedimitis, lengkung
refleks melalui L1 dan L2.

7. Pemeriksaan refleks Patologis

Membangkitkan refleks patologis ada bermacam-macam cara diantaranya :

a. Refleks babinzki
Caranya adalah pasien berbaring lurus kedua kaki ekstensi, pegang
pergelangan kaki pasien yang satu, kaki satunya lakukan goresan memakai
benda yang agak lancip tidak tajam, seperti pulpen, pada telapak kaki
bagian lateral muli dari tumit menuju pangkal jari kaki pasien, jika
didapatkan dorsofleksi ibu jari dan mekar jari kaki yang lain disebut
refleks babinzki positif, berarti ada lesi di tractus piramidalis.

Selain refleks babinzki ada lagi cara membangkitkan refleks patologis


yaitu ;
a. OPPENHEIM : Dengan cara mengurut kuat otot tibialis anterior
kearah distal
b. GORDON : Dengan memencet otot betis
c. SCHAEFER : Memencet otot atau tendon achilles .
d. GONDA : Memencet satu jari kaki dan melepaskannya secara tiba-
tiba.
e. CHADDOCK : Menggores bagian lateral malelous dengan alat agak
lancip tetapi tidak tajam .
f. REFLEKS ROSSOLIMO : Mengetuk dengan hammer telapak kaki .
g. REFLEKD BECHTEREV’S MANDEL : Mengetuk dengan hammer
punggung kaki ( dorsalis pedis )
h. HOFFMAN TROMMER : Caranya tangan pasien bagian pergelangan
dipegang dari jari tangan keadaan fleksi kemudian jari tengah pasien
dijepit diantara jari tengah dan telunjuk pemeriksaan, dengan ibu jari
kita gores dengan kuat ujung jari tengah pasien, jika fleksi jari telunjuk
dan aduksi ibu jari pasien disebut HOFFMAN positif, menandakan
adanya lesi ekstra piramidal .

8. Tanda Tanda Rangsangan Meningeal

a. Neck Regidity (Kuku kuduk )

20
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan
rangsangan ; Selaput otak baik menengitis maupun encephalitis.Caranya adalah
Tangan pemeriksa ditempatkan didaerah bawah dagu dan kepala pasien yang
sedang posisi tidur berbaring, tangan yang lain diletakkan didada pasien untuk
menahan kemudian kepala pasien dipleksikan kedepan sampai dagu menyentuh
dada.

b. Tanda Lasque

Caranya Pasien bebrbaring supinasi posisi lurus kedua kali ekstensi


kemudian satu tungkai diangkat lurus keatas, kemudian bengkokkan pada
persendian panggul sampai mencapai sudut 70 derajat, bila sebelum sudut 70
derajat tersebut timbul nyeri tanda laseque positif

c. Tanda Kernig :

Caranya adalah : posisi klien berbaring lurus salah satu kakinya di


fleksikan keatas sampai mencapai sudut 90 derajat, kemudian sendi lutut
di fleksikan bila terdapat tahanan dan nyeri sebelum mencapai sudut
tersebut disebut : Kernig positif.

d. Brudzinski Neck Sign :

Caranya adalah : berbaring lurus, kemudian tangan pemeriksa yang non dominan
di letakkan dibawah kepala pasien dan tangan satunya yang dominan diletakkan di
dada pasien, kemudia kepala pasien ditekuk kedepan sampai dagu menyentuh
dada, bila terdapat fleksi kedua kaki pasien maka tanda brudzinski positif

e. Brudzinski Contra Lateral Leg Sign

Caranya adalah : pasien berbaring lurus salah satu kaki difleksikan pada
persendian panggul dan tungkai yang satunya tetap ekstensi, bila tungkai
yang satu ikut terfleksi maka tanda brudzunski II positif atau brudzunski
kontra lateral leg sign positif.

3.9 Evaluasi
Setelah melakukan pemeriksaan fisik, klien dikembalikan pada posisi yang
nyaman, jelaskan kesimpulan dari pemeriksaan fisik, jika ditemukan kelainan
didiskusikan dengan tim medis . Tahap akhir adalah pendokumentasian . Catat
dengan teliti dan sistematis, dapat dimengerti oleh setiap anggota tim kesehatan .

21
3.10 Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Pemeriksaan Fisik :
a. Selalu minta kesediaan/ ijin pada pasien untuk setiap pemeriksaan
b. Jagalah privasi klien.
c. Pemeriksaan harus seksama dan sistematis.
d. Jelaskan apa yang akan dilakukan sebelum pemeriksaan (tujuan,
kegunaan, cara dan bagian yang akan diperiksa).
e. Beri instruksi spesifik yang jelas.
f. Berbicaralah yang komunikatif.
g. Ajaklah pasien untuk bekerja sama dalam pemeriksaan.
h. Perhatikan ekspresi/bahasa non verbal dari pasien.

3.11 Kerangka Standart Operasional Prosedur


Uji Fungsi Sensori

No Komponen
I. Persiapan Alat :
1. Reflek Hamer yang berisi jarum tajam dan tumpul
2. Tabung berisi air hangat dan dingin
3. Kapas halus

II. Tahap Pra Interaksi :


1. Verifikasi order
2. Persiapan Diri Perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan :
*Pastikan privacy klien terjaga

III. Tahap Orientasi :


1. Berikan salam terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu.
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya.
5. Persiapan alat didekatkan klien.

IV. Tahap Kerja :


1. Mengatur posisi klien senyaman mungkin.
2. Meminta klien untuk memejamkan matanya.
3. Mengambil kapas halus atau kuas yang ada pada pangkal hamer,
usapkan pada tubuh klien.
4. Meminta pasien untuk mempersepsikan apa yang dirasakan.
5. Menanyakan perbedaan kepada klien setiap bagian tubuh yang diberi

22
sensasi.
6. Demikian juga untuk sensasi suhu ambil tabung berisi air dingin
maupun panas, sentuhkan bagian tubuh klien, meminta klien untuk
mempersesikan apa yang dirasakan apakah ada perbedaan sensasi.
7. Mencatat hasil pemeriksaan.
8. Mengatur posisi klien senyaman mungkin.
9. Perawat mencuci tangan

V. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi respons klien.
2. Simpulkan hasil kegiatan.
3. Pemberian pesan-pesan b/p.
4. Kontrak selanjutnya b/p.

VI. Sikap
1. Sabar.
2. Sopan.
3. Hati-hati.

23
Fungsi Reflek Quadricef

No. Komponen
I. Persiapan Alat :
1. Reflek Hamer
2. Alat pelindung diri : yas, masker (bila perlu)

II. Tahap Pra Interaksi :


1. Verifikasi order
2. Persiapan Diri Perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan :
*Pastikan privacy klien terjaga

III. Tahap Orientasi :


1. Berikan salam terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu.
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya.
5. Persiapan alat didekatkan klien.

IV. Tahap Kerja :


1. Mengatur posisi klien duduk kaki menjuntai ke lantai.
2. Singsingkan pakaian daerah kaki keatas sebatas lutut.
3. Dengan tangan non dominan memegang bagian proksimal lutut
klien.
4. Memukulkan hamer dengan tangan dominan petugas hanya
menggunakan pergelangan tangan, diatas otot quadricep hindari
hamer mengenai tulang lutut.
5. Mengamati respons reflek quadricep dengan hentakan tungkai klien
menyentak ke arah depan.
6. Mencatat hasil pemeriksaan.
7. Mencuci tangan.

V. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi respons klien.
2. Simpulkan hasil kegiatan.
3. Pemberian pesan-pesan b/p.
4. Kontrak selanjutnya b/p.

VI. Sikap
1. Sabar.
2. Sopan.
3. Hati-hati.

24
Pemeriksaan Laseque

No. Komponen
I. Persiapan Alat :
1. Alat tulis : pensil/bulpen, buku catatan.
2. Alat pelindung diri : yas, masker (bila perlu)

II. Tahap Pra Interaksi :


1. Verifikasi order
2. Persiapan Diri Perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan :
*Pastikan privacy klien terjaga

III. Tahap Orientasi :


1. Berikan salam terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu.
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya.
5. Persiapan alat didekatkan klien.

IV. Tahap Kerja :


1. Mengatur posisi klien tidur terlentang tungkai ekstensi.
2. Memegang pinggang pasien bagian sias dengan tangan non
dominan.
3. Mengangkat salah satu tungkai pasien dengan tangan dominan
tegak lurus keatas, kemudian bengkokkan sendi panggul kearah
belakang sampai sudut 70 derajat.
4. Menilai tanda laseque, positif bila pasien mengeluh nyeri sebelum
sudut 70 derajat.
5. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin.
6. Mencuci tangan.

V. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi respons klien.
2. Simpulkan hasil kegiatan.
3. Pemberian pesan-pesan b/p.
4. Kontrak selanjutnya b/p.

VI. Sikap
1. Sabar.
2. Sopan.
3. Hati-hati.

VII. Dokumentasi

25
Pemeriksaan Tanda Kernig

No. Komponen
I. Persiapan Alat :
1. Alat tulis : pensil/bulpen, buku catatan.
2. Alat pelindung diri : yas, masker (bila perlu)

II. Tahap Pra Interaksi :


1. Verifikasi order
2. Persiapan Diri Perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan :
*Pastikan privacy klien terjaga

III. Tahap Orientasi :


1. Berikan salam terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu.
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya.
5. Persiapan alat didekatkan klien.

IV. Tahap Kerja :


1. Mengatur posisi klien tidur terlentang tungkai ekstensi.
2. Memegang pinggang pasien bagian sias dengan tangan non
dominan.
3. Mengangkat salah satu tungkai pasien dengan tangan dominan
tegak lurus keatas 90 derajat, kemudian bengkokkan atau fleksikan
sendi lutut.
4. Menilai tanda kernig, positif bila pasien mengeluh nyeri saat lutut
difleksikan.
5. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin.
6. Mencuci tangan.

V. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi respons klien.
2. Simpulkan hasil kegiatan.
3. Pemberian pesan-pesan b/p.
4. Kontrak selanjutnya b/p.

VI. Sikap
1. Sabar.
2. Sopan.
3. Hati-hati.

VII. Dokumentasi

26
Pemeriksaan Brudzinski Neck Sign

No. Komponen
I. Persiapan Alat :
1. Alat tulis : pensil/bulpen, buku catatan.
2. Alat pelindung diri : yas, masker (bila perlu)

II. Tahap Pra Interaksi :


1. Verifikasi order
2. Persiapan Diri Perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan :
*Pastikan privacy klien terjaga

III. Tahap Orientasi :


1. Berikan salam terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu.
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan.
4. Beri kesempatan klien untuk bertanya.
5. Persiapan alat didekatkan klien.

IV. Tahap Kerja :


1. Mengatur posisi klien tidur terlentang tungkai lurus.
2. Meletakan satu tangan non dominan pemeriksa dibawah kepala
passien, tangan yang dominan diletakkan diatas dada pasien.
3. Menekuk kepala pasien kearah depan sampai dagu pasien
menyentuh dada.
4. Menilai Brudzinski neck sign, positif bila terdapat Fleksi kedua
kaki pasien.
5. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin.
6. Mencuci tangan.

V. Tahap Terminasi :
1. Evaluasi respons klien.
2. Simpulkan hasil kegiatan.
3. Pemberian pesan-pesan b/p.
4. Kontrak selanjutnya b/p.

VI. Sikap
1. Sabar.
2. Sopan.
3. Hati-hati.

VII. Dokumentasi

27
Pemeriksaan Babinzki
No Komponen
I. Persiapan Alat:
1. Reflex Hamer atau pencil / pulpen
2. Alat Pelindung diri : yas, Masker (bila perlu)

II. Tahap Pra Interaksi:


1. Verifikasi order
2. Persiapan diri perawat
3. Siapkan Alat
4. Siapkan Lingkungan:
* Pastikan privasi klien terjaga

III. Tahap Orientasi


1. Berikan Salam Terapeutik.
2. Klarifikasi kontrak waktu
3. Jelaskan tujuan tindakan yang akan dilakukan
4. Berikan kesempatan klien untuk bertanya
5. Persiapan alat didekatkan klien

IV. Tahap Kerja


1. Mengatur posisi klien tidur terlentang tungkai ekstensi
2. Memegang pergelangan kaki pasien dengan tangan non dominan
3. Memegang bagian pergelangan kaki memberi rasa amanproximal lutut
klien
4. Menggoreskan ujung hamer atau pulpen pada telapak kaki dari tepi luar
bagian tumit lateral, naik keatas menyusuri tepi kaki sampai pada ibu jari
kaki, dengan tekanan tidak terlalu kuat
5. Mengamati respon reflex babinsky, dikatakan positif. Jika ibu jari kaki
dorsofleksi jari kaki yang lain mekar
6. Mencatat hasil pemeriksaan
7. Mencuci tangan

V. Tahap Terminasi:
1. Evaluasi respon klien
2. Simpulkan hasil kegiatan
3. Pemberian pesan-pesan b/p
4. Kontrak selanjutnya b/p

VI. Sikap:
1. Sabar
2. Sopan
3. Hati-hati

VII. Dokumentasi

28
BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sistem saraf merupakan jaringan yang sangat penting dan berpengaruh
terhadap organ lainnya. Pemeriksaan neurologik merupakan suatu proses yang
dibutuhkan bagi tenaga kesehatan untuk mendiagnosa kondisi kesehatan
neurologis pasien. Tujuan pemeriksaan fisik yaitu mengetahui sistem persyarafan,
mengetahui status kesehatan neurologis pasien, sebagai alat untuk menegakkan
diagnosa.

4.2 Saran
Sistem saraf sangat berpengaruh terhadao segala sistem yang ada dalam
tubuh manusia. Hampir semua penyakit berhubungandengan sistem saraf, oleh
karena itu disarankan bagi para pembaca untuk mendeteksi secara dini kondisi
kesehatannya dan dilakukan pemeriksaan fisik khususnya neurologic.

29
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca,F.B.,2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persarafan.Jakarta: Salemba Medika.

Syaifuddin. (2012). Anatomi Tubuh Manusia. Jakarta: Salemba Medika.

Setiadi. (2007). Anatomi Dan Fisiologi Tubuh Manusia, Jakarta: Graha Ilmu.

Sudarta , I. W. 2016. Pengkajian Fisik Keperawatan. Yogyakarta : Gosyen


Publishing.

30

Anda mungkin juga menyukai