Anda di halaman 1dari 25

KEPERAWATAN GERONTIK

“Aspek Legal, Etika, Norma dan Budaya dalam Pengkajian Keperawatan


Kelompok Khusus (Lansia)”

Oleh :

NAMIRA SYABADILLA

183110264

3.C

Dosen Pembimbing :

Ns. Lola Felnanda Amri, M. Kep

DIII KEPERAWATAN PADANG

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia serta
nikmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Aspek
Legal, Etika, Norma dan Budaya dalam Pengkajian Keperawatan Kelompok Khusus
(Lansia) ” ini tepat pada waktunya, shalawat beriringan salam kita hadiahkan kepada
nabi besar kita yakni Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari zaman
kebodohan ke zaman yang terang benderang seperti yang kita rasakan pada saat
sekarang ini. Kami sebagai penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini
banyak terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik beserta saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini
Demikian pengantar dari penulis, harapan kami agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan diterima sebagai perwujudan dalam dunia
kesehatan. Dan juga dapat digunakan sebagaimana semestinya, semoga kita semua
mendapat faedah serta diterangi hatinya dalam setiap menuntun ilmu yang berguna
baik di dunia maupun di akhirat.

Padang,10 Agustus 2020

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…............….……............…………………………………….

DAFTAR ISI……………….......…………………………………..…………………

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang……….........…………………………………...............….....…4

Rumusan Masalah……………………………………………………….……..5

Tujuan………………………………………………………………….……….5

BAB II PEMBAHASAN

A. Aspek Legal dan Etik Keperawatan Gerontik………………………6


B. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia………………..….9
C. Aspek Hukum dan Etika………………………………….…………11
D. Landasan Hukum di Indonesia ………………………….…………11
E. Permasalahan-permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut….14
F. UsiaPengertian Sosial…………………………………………………15
G. Interaksi Sosial …………………………………………..…………..16
H. Peran pada Lansia……………………………………………………16
I. Permasalahan Sosial terkait Kesejahteraan Lansia…………………17
J. Pendekatan Perawatan Lansia………………………….……………19

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………………………………………………………………24

DaftarPustaka...........................……………………….…………………25

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga
diharapkan adanya pemberi pelayanan kesehatan dapat memberi
pelayanan yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan
ini tidak terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk
membelahak-haknya.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat
untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan
yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk
meninjau praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien
terancam. Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga
pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap
memberikan informasi kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab
terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan
didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi. Terjadinya
pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model
medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan
pengobatan ke paradgima sehat yang lebih holistic yang melihat penyakit
dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen,
2006), maka perawat berada pada posisi kunci dalam reformasi
kesehatan ini. Hal ini ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75%
pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Gillies,
2014), Swansburg dan Swansburg, 2009) dan hampir semua pelayanan
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun
di tatanan pelayanan kesehatan lain dilakukan oleh perawat. Hasil
penelitian Direktorat Keperawatan dan PPNI tentang kegiatan perawat di

4
Puskesmas, ternyata lebih dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan
adalah kegiatan pelayanan keperawatan (Depkes, 2015) dan 60% tenaga
kesehatan adalah perawat yang bekerja pada berbagai sarana/tatanan
pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu,
merupakan kontak pertama dengan sistem klien.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian legal etik ?
2. Apa saja prinsip legal etik keperawatan gerontik?
3. Bagaiman pemecahan masalah etik
4. Bagaimana aspek hukum / landasan hukum lansia di Indonesia?
5. Apa saja permasalahan yang terjadi pada keperawatan gerontik?

C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui pengertian legal etik.
2. Mahasiswa mengetahui prinsip legal etik keperawatan gerontik.
3. Mahasiswa mengetahui pemecahan masalah etik
4. Mahasiswa mengetahui aspek hukum / landasan hukum lansia di
Indonesia.
5. Mahasiswa mengetahui permasalahan yang terjadi pada keperawatan
gerontik.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Aspek Legal dan Etik Keperawatan Gerontik


1. Definisi Aspek Legal dan Etik Keperawatan Gerontik
Lansia adalah seseorang yang telah memasuki usia 60 tahun keatas. Lansia
merupakan kelompok umur pada manusia yang telah memasuki tahapan akhir
dari fase kehidupannya. (WHO, 2009 dalam Kurniati Azlinda, 2010).
Etika keperawatan (nursing ethic) merupakan bentuk ekspresi bagaimana
perawat seharusnya mengatur diri sendiri, dan etika keperawatan diatur dalam
kode etik keperawatan. Aspek legal etik keperawatan adalah aspek aturan
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang
dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk hak dan
kewajibannya yang diatur dalam undang-undang keperawatan. (Budi Sampurna,
2006 dalam dalam Kurniati Azlinda, 2010)
Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat disimpulan bahwa aspek legal
etik keperawatan gerontik adalah suatu aturan yang mendasari perawat dalam
melakukan asuhan keperawatan terhadap lansia sesuai lingkup wewenang dan
tanggung jawab perawat.
2. Prinsip etik
a. Respect (Hak untuk dihormati)
Perawat harus menghargai hak-hak pasien/klien.
b. Autonomy (hak pasien memilih)
Hak pasien untuk memilih treatment terbaik untuk dirinya.
c. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan orang lain/pasien)
Kewajiban untuk melakukan hal yang tidak membahayakan pasien/pasien
dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasien.
d. Non-Maleficence (utamakan tidak mencederai orang lain)
Kewajiban perawat untuk tidak menimbulkan kerugian/cidera.
Prinsip : jangan membunuh, menghilangkan orang lain, jangan membuat
nyeri atau penderitaan pada orang lain, dan jangan melukai perasaan orang
lain.
e. Confidentiality (hak kerahasiaan)
Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien

6
yang sudah dipercayakan kepada perawat.
f. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adilkepada semua orang/pasien/klien. Kata adil
disini yaitu berarti tidak memihak.
g. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan yang telah diambil.
2) Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak
hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
3) 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
4) Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan
yang disepakati.
h. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran
1) Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-
consent
2) Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu
mengutarakan kebenaran

3. Pemecahan masalah etik

a. Identifikasi masalah etik


b. Kumpulkan fakta-fakta
c. Evaluasi tindakan alternatif dari berbagai perspektif etik.
d. Buat keputusan dan uji cobakan
e. Bertindaklah, dan kemudian refleksikan pada keputusan tsb

4. Prioritas Penelitian Bidang Keperawatan Gerontik

Keperawatan gerontik secara holistik menggabungkan aspek pengetahuan


dan keterampilan dari berbagai macam disiplin ilmu dalam mempertahankan
kondisi kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual lansia. Hal ini diupayakan
untuk memfasilitasi lansia kearah perkembangan kesehatan yang lebih optimum,
dengan pendekatan pada pemulihan kesehatan, maksimalkan kualitas hidup lansia
baik dalam kondisi sehat, sakit, maupun kelemahan serta memberikan rasa aman,
nyaman, terutama dalam menghadapi kematian. Penelitian keperawatan gerontik

7
diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem-
bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas.
Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara
kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam
mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-
aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.
a. Area Prioritas
a) Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area
prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat,
stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit
vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal, 3
masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary,
masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah
dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan
dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri
dan higienitas, pengawasan menelan obat.
b) Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Sub
area prioritas: diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat
ukur geriatrik.
c) Faktor-faktor organisasi yang berdampak pada sistem pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di
rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),
model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan
jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.
1) Faktor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan
lansia. Sub area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi,
kelenturan kesehatan yang berbasis budaya dan kepercayaan,
sosial ekonomi, konsep-konsep gerontologi (aspek kesehatan,
aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek
psikologis, aspek fisiologis dan aspek sosial).
2) Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko
social. Sub area prioritas: penilaian status fungsional, psikologis,

8
senile demensia, olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap
risiko kecelakaan, interaksi sosial, spiritual, manajemen stress,
sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi seksual.
3) Promosi kesehatan. Sub area prioritas: pesan, teknologi.

B. Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan pada Lansia

Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada


penderita usia lanjut adalah (Darmojo, 2009) :

1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : “Simpati atas dasar


pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan
geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih
sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut.
2. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan,
sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena
itu semua petugas geriatrik harus memahami proses fisiologis dan patologik
dari penderita lansia.
3. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan sebagai
non- maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada
keharusan untuka mengerjakan yang baik untuk penderita dan harus
menghindari tindakan yang menambah penderitaan bagi penderita. Terdapat
adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang
menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat
untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik yang cukup, pengucapan
kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan
praktis untuk dikerjakan.
4. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang individu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu
saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal
tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan
secara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, seringkali hal ini dibantu
oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya
untuk melindungi penderita yang fungsional (sedangkan non-maleficence dan
beneficence lebih bersifat melindungi). Dalam berbagai hal aspek etik ini

9
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan.
5. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan
yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar
karakteristik yang tidak relevan.
6. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita. Mengenai keharusan untuk berbuat
baik dan otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut :
”..............although the medical community has ferquently been attacked for its
attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be
justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained
for the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if
the person is too ill to choose the same intervention…………………………”.

Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatrik
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :
a) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus
bersifat sukarela.
b) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
c) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap capabel. Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi
ini kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan
meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka
penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan
pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut
tidak berguna (useless) atau bahkan berbahaya (harmful). Kapasitas untuk
mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita
tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar

10
label diagnosis, antara lain terlihat dari :
1) Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
2) Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
3) Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?

C. Aspek Hukum dan Etika

Produk hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara


merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut
Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu
Undang-Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila
dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian
terhadap Lanjut Usia belum begitu besar.
Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954),
Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program
(1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care
(1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994),
dan Aged Care Reform Strategy (1996).
Di Amerika Serikat diundangkan Social Security Act yang meliputi older
American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965),
Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title
XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982),
Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-
term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990).
Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah
ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah
ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care. Di Singapura
dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders
(SAGE) dan The Elders’ Village.

D. Landasan Hukum di Indonesia

Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai


Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkai dengan kesejahteraan Lanjut Usia
telah diterbitkan sejak 1965. beberapa di antaranya adalah :

11
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan keluarga Sejahtera.
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang nomor
4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu dengan
tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya dan
penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat
bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud
dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan
pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan
hukum dan perawatan di rumah.

12
Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 2009)
1. Penyiksaan suami-istri
2. Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual
3. Penyiksaan terhadap lansia
4. Peniksaan terhadap orang tua
5. Penyiksaan terhadap sibling
1. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
2. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia
lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap
produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya.
3. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad
kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan
sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan,
penyembuhan, dan pengembangan lembaga.
4. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya
masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang
mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi,
yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek.
5. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah
lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui
pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan.
6. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Kesehatan.

E. Permasalahan-permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia

Bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan oleh faktor,

13
seperti berikut :
1. Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu
pula, belum diterbitkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan
permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang
Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga
perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.
2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,
sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula,
lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang
menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan
para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga
persoalannya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu
permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya
mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan
terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain :
a) Tenaga ahli gerontologi.
b) Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatrik, psikogeriatri,
neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis,
perawat terlatih.
c) Tenaga sosisal : sosiolog, petugas yang mengorganisasi kegiatan (case
managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
d) Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontologi, pengacara
terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih.

14
e) Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontologi, konselor.
f) Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga
ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT
terlatih.
4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Hardiwinoto (2010), berbagai isu hukum dan etika yang sering
terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
b) Tindak kejahatan (crime)
c) Pelayanan perlindungan (protective services)
d) Persetujuan tertulis (informed consent)
e) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issues)

F. Pengertian Sosial

Sosial dapat berarti kemasyarakatan. Sosial adalah keadaan dimana terdapat


kehadiran orang lain. Kehadiran itu bisa nyata anda lihat dan anda rasakan,
namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap anda bertemu orang
meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial.
Begitu juga ketika anda sedang menelpon, atau chatting (ngobrol) melalui
internet. Pun bahkan setiap kali anda membayangkan adanya orang lain, misalkan
melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman,
membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di
depan orang, semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba anda ingat-ingat
situasi dimana anda betul-betul sendirian. Pada saat itu anda tidak sedang dalam
pengaruh siapapun. Bisa dipastikan anda akan mengalami kesulitan menemukan
situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles, sang filsuf Yunani, tatkala
mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek
kehidupan manusia berada dalam situasi sosial.

G. Interaksi Sosial

15
Interaksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan
saling berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai
dari saling melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan,
mengobrol, sampai bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial
adalah chatting di internet dan bertelpon atau saling sms karena ada balas respon
antara minimal dua orang didalamnya.

Berdasarkan sifat interaksi antara pelakunya, interaksi sosial dibedakan


menjadi dua, yakni interaksi yang bersifat akrab atau pribadi dan interaksi yang
bersifat non-personal atau tidak akrab. Dalam interaksi sosial akrab terdapat
derajat keakraban yang tinggi dan adanya ikatan erat antar pelakunya. Hal itu
mencakup interaksi antara orangtua dan anaknya yang saling menyayangi,
interaksi antara sepasang kekasih, interaksi antara suami dengan istri, atau
interaksi antar teman dekat dan saudara.

Sebagian besar interaksi sosial manusia adalah interaksi sosial tidak akrab.
Umumnya Termasuk juga ketika anda mengobrol dengan orang yang baru saja
anda kenal, interaksi antar sesama penonton sepakbola di stadion, interaksi dalam
wawancara kerja, interaksi antara penjual dan pembeli, dan sebagainya.

H. Peran pada Lansia

Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini,dimana
efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai,
mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena
mereka tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai
bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap
mereka tidak menyenangkan.

Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya
dalam urusan masyarakat dan sosial.Demikian juga dengan dunia usaha dan
profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukan oleh lansia, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih
dilakukannya.

16
Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang
mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan
mereka. Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia
menumbuhkan perasaan rendah diri dan Sosial disini yang dimaksudkan adalah
segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia
dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat
abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap
lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan
oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan
demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada
satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak
dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan
lainnya. kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses
penyesuaian sosial seseorang.

I. Permasalahan Sosial terkait Kesejahteraan Lansia

Berbagai permasalahan sosial yang berkaitan dengan pencapaian


kesejahteraan Lanjut Usia, antara lain sebagai berikut :

a. Permasalahan

1. Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis kemiskinan.

2. Makin melemahnya nilai kekerabatan, sehingga anggota keluarga yang


berusia lanjut kurang diperhatikan, dihargai dan dan dihormati, berhubung terjadi
perkembangan pola kehidupan keluarga yang secara fisik lebih mengarah pada
bentuk keluarga kecil.

3. Lahirnya kelompok masyarakat industri, yang memiliki ciri kehidupan


yang lebih bertumpu kepada individu dan menjalankan kehidupan berdasarkan
perhitungan untung rugi, lugas dan efisien, yang secara tidak langsung merugikan
kesejahteraan lanjut usia.

4. Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga profesional pelayanan


lanjut usia dan masih terbatasnnya sarana pelayanan dan fasilitas khusus bagi

17
lanjut usia dengan berbagai bidang pelayanan pembinaan kesejahteraan lanjut
usia.

5. Belum membudaya dam melembaganya kegiatan pembinaan kesejateraan


lanjut usia

b. Permasalahan Khusus

Menurut Departemen Sosial Republik Indonesia (1998),berbagai


permasalahan khusus yang berkaitan dengan kesejahteraan lanjut usia adalah
sebagai berikut:

1. Berlangsungnya proses menjadi tua, yang berakibat timbulnya


masalah baik fisik, mental maupun sosial. Mundurnya keadaan fisik yang
menyebabkan penuaan peran sosialnya dan dapat menjadikan mereka lebih
tergantung kepada pihak lain.

2. Berkurangnya integrasi sosial Lanjut Usia,akibat produktivitas dan


kegiatan Lanjut Usia menurun.Hal ini berpengaruh negatif pada kondisi
sosial psikologis mereka yang merasa sudah tidak diperlukan lagi oleh
masyarakat lingkungan sekitarnya.

3. Rendahnya produktivitas kerja lanjut usia dibandingkan dengan


tenaga kerja muda dan tingkat pendidikan serta ketrampilan yang rendah,
menyebabkan mereka tidak dapat mengisi lowongan kerja yang ada, dan
terpaksa menganggur.

4. Banyaknya lanjut usia yang miskin, terlantar dan cacat, sehingga


diperlukan bantuan dari berbagai pihak agar mereka tetap mandiri serta
mempunyai penghasilan cukup.

5. Berubahnya nilai sosial masyarakat yang mengarah kepada tatanan


masyarakat individualistik, sehingga Lanjut Usia kurang dihargai dan
dihormati serta mereka tersisih dari kehidupan masyarakat dan bisa menjadi
terlantar.

18
6. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak
lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik
lanjut usia.

J. Pendekatan Perawatan Lansia

1. Pendekatan fisik

Perawatan yang memperhatikan obyektif, kebutuhan, kejadian-kejadian yang


dialami klien lanjut semasa hidupnya, perubahan fisik pada organ tubuh, tingkat
kesehatan yang masih bisa dicapai dan dikembangkan, dan penyakit yang dapat
dicegah atau ditekan progrevitasnya.

Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua
bagian, yakni:

1) Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari
masih mampu melakukan sendiri.

2) Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar
perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan
dengan keberhasilan perorangan untuk memepertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya
peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang
mendapat perhatian.

Di samping itu, kemunduran kondisi fisik akibat proses ketuaan, dapat


mempengaruhi ketahanan tubuh terhadap gangguan atau serangan infeksi dari
luar. Untuk klien lanjut usia yang masih aktif dapat diberikan bimbingan
mengenai kebersihan mulut dan gigi, kebersihan kulit dan badan, kebersihan
rambut dan kuku, kebersihan tempat tidur serta posisi tidurnya, hal makanan, cara
memakan obat, dan cara pindah dari tempat tidur ke kursi atau sebaliknya. Hal ini
penting karena meskipun tidak selalu, keluhan-keluhan yang dikemukakan atau
gejala-gejala yang ditemukan memerlukan perawatan, tidak jarang para klien

19
lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan
tindakan darurat dan intensif.

Adapun komponen pendekatan fisik yang lebih mendasar adalah


memperhatikan dan membantu para klien lanjut usia untuk bernafas dengan
lancar, makan termasuk memilih dan menentukan makanan, minum, melakuan
eliminasi, tidur, menjaga sikap tubuh waktu berjalan, duduk, merubah posisi
tiduran, beristirahat, kebersihan tubuh, memakai dan menukar pakaian,
mempertahankan suhu badan, melindungi kulit dan kecel akaan.

Toleransi terhadap kekurangan O2 sangat menurun pada klien lanjut usia,


untuk itu kekurangan O2 yang mendadak harus dicegah dengan posisi ber sandar
pada beberapa bantal, jangan makan terlalu banyak dan jangan melakukan gerak
badan yang berlebihan.

2. Pendekatan psikis

Di sini perawat mempunyai peranan penting mengadakan pendekatan


edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan sebagai supporter,
interpreter terhadap segala sesuatu yang asing, sebagai penampung rahasia yang
pribadi dan sebagai sahabat yang akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran
dan waktu yang cukup banyak untuk menerima berbagai bentuk keluhan agar
para lanjut usia merasa puas. Perawat harus selalu memegang prinsip “Tripple S”,
yaitu Sabar, Simpatik, dan Service.

Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari
lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat
harus selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka
melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.

Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia
dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa
keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang
dideritanya.

20
Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan
berlanjutnya usia.Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti
menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi , berkurangnya
kegairahan keinginan , peningkatan kewaspadaan,perubahan pola tidur dengan
suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido.

Perawat harus sabar mendengarkan cerita-cerita dari masa lampau yang


membosankan, jangan mentertawakan atau memarahi klien lanjut usia bila lupa
atau kesalahan. Harus diingat, kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk
tujuan-tujuan tertentu.

Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan,perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap,
perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi
sehingga seluruh pengalaman yangdilaluinya tidak menambah beban, bila perlu
diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia.

3. Pendekatan social

Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul
bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka.
Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang
yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia
dan lanjut usia dan perawat sendiri.

Perawat memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut


usia untuk mengadakan komunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi,
menonton film, atau hiburan-hiburan lain.

Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar dan majalah.
Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah
pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau
ketenangan para klien lanjut usia.

21
Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan
penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan
kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk
menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya
perlu diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar
merasa masih ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran
dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini
dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakanmkontak
dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban
bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik
sesama mereka maupun terhadap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama
mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda.

4. Pendekatan spiritual

Perawat harus bias memberikan ketentuan dan kepuasan batin dalam


hubungannya dengan tujuan atau agama yang dianutnya, terutama bila klien
lanjut usia dalam keadaan sakit atau mendekati kematian.sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menekati kematian, DR Toni
Setyobudhi mengemukakan bahwa maut sering kali menggugah rasa takut. Rasa
takut semacam ini di dasari oleh berbagai macam faktor seperti, ketidakpastian
pengalaman selanjutnya, adanya rasa sakit/penderitaan yang seringmenyertainya,
dan kegelisahan untuk tidak kumpul lagi dengan keluarga/lingkungan sekitarnya.

Dalam menghadapi kematian, setiap klien lanjut usia akan memberikan


reaksi-reaksi yang berbeda, tergantung dari kepribadian dan cara mereka
menghadapi hidup ini. Sebab itu, perawat harus meneliti dengan cermat di
manakah letak kelemahan dan di mana letak kekuatan klien, agar perawat
selanjutnya akan lebih terarah lagi. Bila kelemahan terletak pada segi spiritual,
sudah seelayaknya perawat dan tim berkewajiban mencari upaya agar klien lanjut
usia ini dapat diringankan penderitaannya. Perawat bisa memberikan kesempatan
pada klien lanjut usia untuk melaksanakan ibadahnya, atau secara langsung
memberikan bimbingan rohani dengan menganjurkan melaksanakan ibadahnya

22
seperti membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban
terhadap agama yang dianutnya.

Apabila kegelisahan yang timbul disebabkan oleh persoalan keluarga, maka


perawat harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa keluarga tadi ditinggalkan,
masih ada orang lain yang mengurus mereka. Sedangkan bila ada rasa bersalah
yang menghantui pikiran lanjut usia, segera perawat segera menghubungi seorang
rohaniawan untuk dapat mendampingi lanjut usia dan mendengarkan keluhan-
keluhannya maupun pengakuan-pengakuannya.

Umumnya pada waktu kematian akan datang, agama atau kepercayaan


seseorang merupakan faktor yang penting sekali. Pada waktu inilah kehadiran
seorang imam sangat perlu untuk melapangkan dada klien lanjut usia. Dengan
demikian pendekatan perawat lanjut usia bukan hanya terhadap fisik, yakni
membantu mereka dalam keterbatasan fisik saja, melainkan perawat lebih
dituntut menemukan pribadi klien lanjut usia melalui agama mereka.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Semakin meningkatnya populasi lansia berdampak pula pada peningkatan
permasalahan etik dan legal pada lansia.Penggunaan prinsip etika dan nilai -
nilai etik memberi pengaruh yang besar dalam keperawatan gerontik. Adanya
pengaruh etik dalam perawatan lansia yaitu tiga kategori diidentifikasi berupa
pertimbangan, hubungan, dan perawatan. Kategori-kategori ini membentuk

23
dasar kategori inti yaitu ''Penguatan'' sehingga hal tersebut dapat
meningkatkan etika asuhan keperawatan dan kenyamanan bagi pasien lansia.
Terlepas dari pengaruh etika tersebut, tentunya membutuhkan cara yang tepat
dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan etik dan legal
dalam perawatan lansia. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian beberapa
jurnal merekomendasikan cara untuk mengatasi permasalahan etik berupa
pasien lansia harus dianggap sebagai populasi yang rentang dan memerlukan
dukungan hukum terkait hak mereka. Pasien lansia merupakan fokus utama
dalam melakukan asuhan keperawatan gerontik. Penerapan nilai - nilai etik
dan prinsip etik dapat meningkatkan kepekaan terhadap lansia. Selain itu,
mengembangkan unsur keterbukaan dan musyawarah antara penyedia
pelayanan, tenaga kesehatan, keluarga dan masyarakat akan membentu dalam
mengatasi masalah etis terkait moral yang mucul sehari-hari. Sehingga dapat
diterapkan unsur keadilan pada pasien lansia.

B. Saran
Seorang perawat sudah seharusnya mempertimbangkan aspek legal etik
dalam praktik keperawatan pada lansia sehingga tidak akan ada kejadian
malpraktik yang dapat merugikan. Disamping itu perawat yang taat terhadap
hukum akan terhindar dari jeratan hukum yang dapat merugikan diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia Nindy. 2013. Prinsip Etika Keperawatan. Yogyakarta: D-Medika.


Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. (2009). Buku Ajar Geriatri (ilmu
Kesehatan Usia Lanjut) Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Gelles, R. J., & Straus, M.A. (2009). Intimate violence : The Causes and
Consequences of Abuse in The American Family. New York : Simon &
Schuster.
Hardiwinoto, Setiabudi, Toni. (2010). Panduan Gerontologi, Tinjauan dari
Berbagai Aspek. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

24
Kurniati Azlinda, 2010. Makalah Legal Etik Keperawatan. Diakses dari
https://www.academia.edu/35996199/MAKALAH_LEGAL_ETIK_KEPERAWATA
N_DAN_KASUS pada tanggal 8 Juli 2019
Mickey & Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC.
Jakarta:Buku Kedokteran.

25

Anda mungkin juga menyukai