Oleh :
NAMIRA SYABADILLA
183110264
3.C
Dosen Pembimbing :
2020/2021
1
KATA PENGANTAR
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…............….……............…………………………………….
DAFTAR ISI……………….......…………………………………..…………………
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang……….........…………………………………...............….....…4
Rumusan Masalah……………………………………………………….……..5
Tujuan………………………………………………………………….……….5
BAB II PEMBAHASAN
Kesimpulan………………………………………………………………24
DaftarPustaka...........................……………………….…………………25
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesadaran masyarakat terhadap hak-hak mereka dalam pelayanan
kesehatan dan tindakan yang manusiawi semakin meningkat, sehingga
diharapkan adanya pemberi pelayanan kesehatan dapat memberi
pelayanan yang aman, efektif dan ramah terhadap mereka. Jika harapan
ini tidak terpenuhi, maka masyarakat akan menempuh jalur hukum untuk
membelahak-haknya.
Kebijakan yang ada dalam institusi menetapkan prosedur yang tepat
untuk mendapatkan persetujuan klien terhadap tindakan pengobatan
yang dilaksanakan. Institusi telah membentuk berbagai komite etik untuk
meninjau praktik profesional dan memberi pedoman bila hak-hak klien
terancam. Perhatian lebih juga diberikan pada advokasi klien sehingga
pemberi pelayanan kesehatan semakin bersungguh-sungguh untuk tetap
memberikan informasi kepada klien dan keluarganya bertanggung jawab
terhadap tindakan yang dilakukan.
Selain dari pada itu penyelenggaraan praktik keperawatan
didasarkan pada kewenangan yang diberikan karena keahlian yang
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kesehatan masyarakat,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tuntutan globalisasi. Terjadinya
pergeseran paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan dari model
medikal yang menitikberatkan pelayanan pada diagnosis penyakit dan
pengobatan ke paradgima sehat yang lebih holistic yang melihat penyakit
dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai focus pelayanan (Cohen,
2006), maka perawat berada pada posisi kunci dalam reformasi
kesehatan ini. Hal ini ditopang oleh kenyataan bahwa 40%-75%
pelayanan di rumah sakit merupakan pelayanan keperawatan (Gillies,
2014), Swansburg dan Swansburg, 2009) dan hampir semua pelayanan
promosi kesehatan dan pencegahan penyakit baik di rumah sakit maupun
di tatanan pelayanan kesehatan lain dilakukan oleh perawat. Hasil
penelitian Direktorat Keperawatan dan PPNI tentang kegiatan perawat di
4
Puskesmas, ternyata lebih dari 75% dari seluruh kegiatan pelayanan
adalah kegiatan pelayanan keperawatan (Depkes, 2015) dan 60% tenaga
kesehatan adalah perawat yang bekerja pada berbagai sarana/tatanan
pelayanan kesehatan dengan pelayanan 24 jam sehari, 7 hari seminggu,
merupakan kontak pertama dengan sistem klien.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian legal etik ?
2. Apa saja prinsip legal etik keperawatan gerontik?
3. Bagaiman pemecahan masalah etik
4. Bagaimana aspek hukum / landasan hukum lansia di Indonesia?
5. Apa saja permasalahan yang terjadi pada keperawatan gerontik?
C. Tujuan
1. Mahasiswa mengetahui pengertian legal etik.
2. Mahasiswa mengetahui prinsip legal etik keperawatan gerontik.
3. Mahasiswa mengetahui pemecahan masalah etik
4. Mahasiswa mengetahui aspek hukum / landasan hukum lansia di
Indonesia.
5. Mahasiswa mengetahui permasalahan yang terjadi pada keperawatan
gerontik.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
yang sudah dipercayakan kepada perawat.
f. Justice (keadilan)
Kewajiban untuk berlaku adilkepada semua orang/pasien/klien. Kata adil
disini yaitu berarti tidak memihak.
g. Fidelity (loyalty/ketaatan)
1) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan yang telah diambil.
2) Era modern, pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak
hanya pada satu profesi). 80% kebutuhan dipenuhi perawat.
3) 1.1.7.3. Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
4) Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan
yang disepakati.
h. Veracity (Truthfullness & honesty)
Kewajiban untuk mengatakan kebenaran
1) Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-
consent
2) Prinsip veracity mengikat pasien dan perawat untuk selalu
mengutarakan kebenaran
7
diharapkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengem-
bangan teknik maupun mutu pelayanan dengan berbagai pendekatan di atas.
Namun, dalam menyusun prioritas penelitian, perlu diseimbangkan antara
kebutuhan untuk menambah ilmu dan wawasan baru dengan kebutuhan untuk
meningkatkan kualitas, efektivitas, efisiensi, dan kepatuhan pelayanan. Dalam
mengembangkan penelitian tersebut, kita terlebih dahulu perlu mengetahui aspek-
aspek kritis yang ada dalam keperawatan gerontik.
a. Area Prioritas
a) Pelayanan, evaluasi dan efektivitas intervensi terhadap individu atau
kelompok atau metode baru dalam pelayanan keperawatan. sub area
prioritas: ventilasi dan sirkulasi, nutrisi, ekskresi, aktivitas dan istirahat,
stimulasi mental, tidur, masalah kardiovaskuler, masalah penyakit
vaskularisasi periver, masalah respiratori, masalah gastrointestinal, 3
masalah diabetes, masalah muskulusskeletal, masalah genitourinary,
masalah neurology, masalah menurunnya fungsi sensorik, masalah
dermatologi, masalah kesehatan mental, tindakan operatif dan
dampaknya, palliative care, manajemen nyeri, rehabilitasi, perawatan diri
dan higienitas, pengawasan menelan obat.
b) Parameter dan hasil (out come) intervensi klinik yang spesifik. Sub
area prioritas: diagnosis keperawatan yang spesifik, pengembangan alat
ukur geriatrik.
c) Faktor-faktor organisasi yang berdampak pada sistem pelayanan dan
kinerja, sub area prioritas : peran kolaborasi, model keperawatan di
rumah (home care), model perawatan di rumah sakit (hospital care),
model perawatan di panti jompo (institutional care), model perawatan
jangka panjang (long-term care), nursing agency, team work.
1) Faktor-faktor sosial yang berdampak pada tingkat kesehatan
lansia. Sub area prioritas : aspek legal:kebijakan dan regulasi,
kelenturan kesehatan yang berbasis budaya dan kepercayaan,
sosial ekonomi, konsep-konsep gerontologi (aspek kesehatan,
aspek spiritual, aspek etika dan moral, aspek nutrisi, aspek
psikologis, aspek fisiologis dan aspek sosial).
2) Kualitas hidup (quality of life) dan intervensi kesehatan psiko
social. Sub area prioritas: penilaian status fungsional, psikologis,
8
senile demensia, olah raga, rekreasi, upaya preventif terhadap
risiko kecelakaan, interaksi sosial, spiritual, manajemen stress,
sakaratul maut, support keluarga, aktivitas dan disfungsi seksual.
3) Promosi kesehatan. Sub area prioritas: pesan, teknologi.
9
seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan.
5. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan
yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang
penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar
karakteristik yang tidak relevan.
6. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji
yang diberikan pada seorang penderita. Mengenai keharusan untuk berbuat
baik dan otonomi, Meier dan Cassel menulis sebagai berikut :
”..............although the medical community has ferquently been attacked for its
attitude toward patients, it is usually conceded that paternalism can be
justified if certain criteria are met; if the dangers averted or benefits gained
for the person outweigh the loss of autonomy resulting from intervention; if
the person is too ill to choose the same intervention…………………………”.
Dengan melihat prinsip diatas tersebut, aspek etika pada pelayanan geriatrik
berdasarkan prinsip otonomi kemudian di titik beratkan pada berbagai hal sebagai
berikut :
a) Penderita harus ikut berpartisipasi dalam prosea pengambilan keutusan dan
pembuatan keputusan. Pada akhirnya pengambilan keputusan harus
bersifat sukarela.
b) Keputusan harus telah mendapat penjelasan cukup tentang tindakan atau
keputusan yang akan diambil secara lengkap dan jelas.
c) Keputuan yang diambil hanya dianggap sah bial penderita secara mental
dianggap capabel. Atas dasar hal diatas maka aspek etika tentang otonomi
ini kemudian ituangkan dalam bentuk hukum sebagai persetujuan tindakan
meik (pertindik) atau informed consent. Dalam hal seperti diatas, maka
penderita berha menolak tindakan medik yang disarankan oleh dokter,
tetapi tidak berarti boleh memilih tindakan, apabila berdasarkan
pertimbangan dokter yang bersangkutan tindakan yang dipilih tersebut
tidak berguna (useless) atau bahkan berbahaya (harmful). Kapasitas untuk
mengambil keputusan, merupakan aspek etik dan hukum yang sangat
rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan keputusan penderita
tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan bukan atas dasar
10
label diagnosis, antara lain terlihat dari :
1) Apakah penderita bisa buat/tunjukan keinginan secara benar?
2) Dapatkah penderita memberi alasan tentang pilihan yang dibuat?
3) Apakah alasan penderita tersebut rasional (artinya setelah penderita
mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar)?
11
1. Undang-undang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang Jompo
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1965 nomor 32 dan tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia nomor 2747).
2. Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga
Kerja.
3. Undang-undang Nomor 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kesejahteraan Sosial.
4. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional.
6. Undang-undang Nomor 2 tahun 1982 tentang Usaha Perasuransian.
7. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
8. Undang-undang Nomor 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman.
9. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan
Pembangunan keluarga Sejahtera.
10. Undang-undang Nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun.
11. Undang-undang Nomor 23 tentang Kesehatan.
12. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1994 tentang Penyelenggaraan
Pembangunan Keluarga Sejahtera.
13. Peraturan Pemerintah Nomor 27 ahun 1994 tentang Pengelolaan Perkembangan
Kependudukan.
14. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
(Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undang- Undang nomor
4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo.
15. Pasal 27 UUD 45 Segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjungnya hukum dan pemerinahannya itu dengan
tidak ada kecualinya. Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaannya dan
penghidupannya yang layak bagi kemanusiaan.
16. Pasal 34 UUD 45 Fakir miskin dan anak–anak yang terlantar dipelihara oleh
negara. Berpedoman pada hukum tersebut, sebagai perawat kesehatan masyarakat
bertanggung jawab dalam mencegah penganiayaan. Penganiayaan yang dimaksud
dapat berupa : penyianyiaan, penganiayaan yang disengaja dan eksploitasi. Sedangkan
pencegahan yang dapat dilakukan adalah berupa perlindungan di rumah, perlindungan
hukum dan perawatan di rumah.
12
Jenis-jenis penyiksaan (Gelles & Straus, 2009)
1. Penyiksaan suami-istri
2. Penyiksaan terhadap anak fisik dan seksual
3. Penyiksaan terhadap lansia
4. Peniksaan terhadap orang tua
5. Penyiksaan terhadap sibling
1. Undang-undang No.6 Tahun 1974 tentang Ketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
2. UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan pasal 19: Kesehatan manusia usia
lanjut diarahkan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan agar tetap
produktif dengan bantuan pemerintah dalam upaya penyelenggaraannya.
3. UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan usia lanjut pasal 14 : Pelayanan
kesehatan dimaksudkan untuk memelihara dan meningkatkan derajad
kesehatan dan kemampuan usia lanjut agar kondisi fisik, mental, dan
sosialnya dapat berfungsi secara wajar melalui upaya penyuluhan,
penyembuhan, dan pengembangan lembaga.
4. Undang-undang No.13 tahun 1998 mengamanatkan bahwa pemerintah dan
masyarakat berkewajiban memberikan pelayanan sosial kepada lanjut usia.
Pemberikan pelayanan berlandaskan pada filosofi dan nilai budaya
masyarakat Indonesia yang berasas Three Generation in One Roof yang
mengandung arti yaitu adanya pertautan yang bernuansa antar 3 generasi,
yaitu: anak, orang tua dan kakek/nenek.
5. UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Seseorang yang telah
lulus dan mendapatkan ijasah dari pendidikan kesehatan yang diakui
pemerintah. Tenaga keperawatan adalah perawat dan bidan.
6. UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah Kewenangan daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. 4.23. UU No. 23 Tahun 1999 tentang
Kesehatan.
Bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan oleh faktor,
13
seperti berikut :
1. Produk Hukum
Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum dan perundang-undangan mempunyai Peraturan Pelakisanaan. Begitu
pula, belum diterbitkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Ptunjuk
Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan
permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang
Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur kesejahteraan sosial Lanjut Usia, sehingga
perlu dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat
mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik.
2. Keterbatasan prasarana
Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat
masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujuikan tingkat I dan tingkat II,
sering menimbulkanpermasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula,
lembaga sosial masyarakat dan ortganisasi sosial dan kemsyarakatan lainnya yang
menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan
para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga
persoalannya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan.
3. Keterbatasan sumber daya manusia
Terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan
serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan
mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tanda-tanda dini adanya suatu
permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya
mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan
terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari
berbagai disiplin ilmu, antara lain :
a) Tenaga ahli gerontologi.
b) Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatrik, psikogeriatri,
neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis,
perawat terlatih.
c) Tenaga sosisal : sosiolog, petugas yang mengorganisasi kegiatan (case
managers), petugas sosial masyarakat, konselor.
d) Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontologi, pengacara
terlatih, jaksa penunutut umum, hakim terlatih.
14
e) Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontologi, konselor.
f) Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana,
mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga
ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT
terlatih.
4. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga
Menurut Hardiwinoto (2010), berbagai isu hukum dan etika yang sering
terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah :
a) Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect)
b) Tindak kejahatan (crime)
c) Pelayanan perlindungan (protective services)
d) Persetujuan tertulis (informed consent)
e) Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical
issues)
F. Pengertian Sosial
G. Interaksi Sosial
15
Interaksi sosial adalah keadaan dimana seseorang melakukan hubungan
saling berbalas respon dengan orang lain. Aktivitas interaksinya beragam, mulai
dari saling melempar senyum, saling melambaikan tangan dan berjabat tangan,
mengobrol, sampai bersaing dalam olahraga. Termasuk dalam interaksi sosial
adalah chatting di internet dan bertelpon atau saling sms karena ada balas respon
antara minimal dua orang didalamnya.
Sebagian besar interaksi sosial manusia adalah interaksi sosial tidak akrab.
Umumnya Termasuk juga ketika anda mengobrol dengan orang yang baru saja
anda kenal, interaksi antar sesama penonton sepakbola di stadion, interaksi dalam
wawancara kerja, interaksi antara penjual dan pembeli, dan sebagainya.
Sama seperti orang berusia madya harus belajar untuk memainkan peranan
baru demikian juga dengan kaum lansia. Dalam kebudayaan dewasa ini,dimana
efisiensi, kekuatan, kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik sangat dihargai,
mengakibatkan orang lansia sering dianggap tidak ada gunanya lagi. Karena
mereka tidak dapat bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai
bidang tertentu dimana kriteria nilai sangat diperlukan, dan sikap sosial terhadap
mereka tidak menyenangkan.
Lebih jauh lagi, orang lansia diharapkan untuk mengurangi peran aktifnya
dalam urusan masyarakat dan sosial.Demikian juga dengan dunia usaha dan
profesionalisme. Hal ini mengakibatkan pengurangan jumlah kegiatan yang dapat
dilakukan oleh lansia, dan karenanya perlu mengubah beberapa peran yang masih
dilakukannya.
16
Karena sikap sosial yang tidak menyenangkan bagi kaum lansia, pujian yang
mereka hasilkan dihubungkan dengan peran usia tua bukan dengan keberhasilan
mereka. Perasaan tidak berguna dan tidak diperlukan lagi bagi lansia
menumbuhkan perasaan rendah diri dan Sosial disini yang dimaksudkan adalah
segala sesuatu yang dipakai sebagai acuan dalam berinteraksi antar manusia
dalam konteks masyarakat atau komuniti, sebagai acuan berarti sosial bersifat
abstrak yang berisi simbol-simbol berkaitan dengan pemahaman terhadap
lingkungan, dan berfungsi untuk mengatur tindakan-tindakan yang dimunculkan
oleh individu-individu sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga dengan
demikian, sosial haruslah mencakup lebih dari seorang individu yang terikat pada
satu kesatuan interaksi, karena lebih dari seorang individu berarti terdapat hak
dan kewajiban dari masing-masing individu yang saling berfungsi satu dengan
lainnya. kemarahan, yaitu suatu perasaan yang tidak menunjang proses
penyesuaian sosial seseorang.
a. Permasalahan
1. Masih besarnya jumlah Lajut Usia yang berada dibawah garis kemiskinan.
17
lanjut usia dengan berbagai bidang pelayanan pembinaan kesejahteraan lanjut
usia.
b. Permasalahan Khusus
18
6. Adanya dampak negatif dari proses pembangunan seperti dampak
lingkungan, polusi dan urbanisasiyang dapat mengganggu kesehatan fisik
lanjut usia.
1. Pendekatan fisik
Perawatan fisik secara umum bagi klien lanjut usia dapat dibagi atas dua
bagian, yakni:
1) Klien lanjut usia yang masih aktif, yang keadaan fisiknya masih mampu
bergerak tanpa bantuan orang lain sehingga untuk kebutuhannya sehari-hari
masih mampu melakukan sendiri.
2) Klien lanjut usia yang pasif atau tidak dapat bangun, yang keadaan fisiknya
mengalami kelumpuhan atau sakit, perawat harus mengetahui dasar
perawatan klien lanjut usia ini terutama tentang hal-hal yang berhubungan
dengan keberhasilan perorangan untuk memepertahankan kesehatannya.
Kebersihan perorangan sangat penting dalam usaha menceggah timbulnya
peradangan, mengingat sumber infeksi dapat timbul bila kebersihan kurang
mendapat perhatian.
19
lanjut usia dihadapkan pada dokter dalam keadaan gawat yang memerlukan
tindakan darurat dan intensif.
2. Pendekatan psikis
Pada dasarnya klien lanjut usia membutuhkan rasa aman dan cinta kasih dari
lingkungan, termasuk perawat yang memberikan perawatan. Untuk itu perawat
harus selalu menciptakan suasana aman, tidak gaduh, membiarkan mereka
melakukan kegiatan dalam batas kemampuan dan hobi yang dimilikinya.
Perawat harus dapat membangkitkan semangat dan kreasi klien lanjut usia
dalam memecahkan dan mengurangi rasa putus asa, rasa rendah diri, rasa
keterbatasan sebagai akibat dari ketidakmampuan fisik, dan kelainan yang
dideritanya.
20
Hal ini perlu dilakukan karena perubahan psikologi terjadi bersama dengan
berlanjutnya usia.Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti
menurunnya daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi , berkurangnya
kegairahan keinginan , peningkatan kewaspadaan,perubahan pola tidur dengan
suatu kecenderungan untuk tiduran di waktu siang, dan pergeseran libido.
Bila perawat ingin mengubah tingkah laku dan pandangan mereka terhadap
kesehatan,perawat bisa melakukannya secara perlahan-lahan dan bertahap,
perawat harus dapat mendukung mental mereka kearah pemuasan pribadi
sehingga seluruh pengalaman yangdilaluinya tidak menambah beban, bila perlu
diusahakan agar di masa lanjut usia ini mereka dapat merasa puas dan bahagia.
3. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah satu upaya
perawat dalam pendekatan sosial. Memberikan kesempatan untuk berkumpul
bersama dengan sesama klien lanjut usia berarti menciptakan sosialisasi mereka.
Jadi, pendekatan sosial ini merupakan suatu pegangan bagi perawat bahwa orang
yang dihadapinya adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Dalam
pelaksanaannya perawat dapat menciptakan hubungan social antara lanjut usia
dan lanjut usia dan perawat sendiri.
Para lanjut usia perlu dirangsang untuk mengetahui dunia luar, seperti
menonton televisi, mendengarkan radio, atau membaca surat kabar dan majalah.
Dapat disadari bahwa pendekatan komunikasi dalam perawatan tidak kalah
pentingnya dengan upaya pengobatan medis dalam proses penyembuhan atau
ketenangan para klien lanjut usia.
21
Tidak sedikit klien tidak dapat tidur karena stress, stress memikirkan
penyakit, biaya hidup, keluarga yang di rumah sehingga menimbulkan
kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran, dan rasa kecemasan. Untuk
menghilangkan rasa jemu dan menimbulkan perhatian terhadap sekelilingnya
perlu diberi kesempatan kepada lanjut usia untuk menikmati keadaan di luar, agar
merasa masih ada hubungan dengan dunia luar. Tidak jarang terjadi pertengkaran
dan perkelahian di antara lanjut usia (terutama yang tinggal dipanti werda), hal ini
dapat diatasi dengan berbagai usaha, antara lain selalu mengadakanmkontak
dengan mereka, senasib dan sepenanggungan, dan punya hak dan kewajiban
bersama. Dengan demikian perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik
sesama mereka maupun terhadap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama
mereka maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia dipanti werda.
4. Pendekatan spiritual
22
seperti membaca kitab atau membantu lanjut usia dalam menunaikan kewajiban
terhadap agama yang dianutnya.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Semakin meningkatnya populasi lansia berdampak pula pada peningkatan
permasalahan etik dan legal pada lansia.Penggunaan prinsip etika dan nilai -
nilai etik memberi pengaruh yang besar dalam keperawatan gerontik. Adanya
pengaruh etik dalam perawatan lansia yaitu tiga kategori diidentifikasi berupa
pertimbangan, hubungan, dan perawatan. Kategori-kategori ini membentuk
23
dasar kategori inti yaitu ''Penguatan'' sehingga hal tersebut dapat
meningkatkan etika asuhan keperawatan dan kenyamanan bagi pasien lansia.
Terlepas dari pengaruh etika tersebut, tentunya membutuhkan cara yang tepat
dalam mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan etik dan legal
dalam perawatan lansia. Oleh karena itu, berdasarkan hasil penelitian beberapa
jurnal merekomendasikan cara untuk mengatasi permasalahan etik berupa
pasien lansia harus dianggap sebagai populasi yang rentang dan memerlukan
dukungan hukum terkait hak mereka. Pasien lansia merupakan fokus utama
dalam melakukan asuhan keperawatan gerontik. Penerapan nilai - nilai etik
dan prinsip etik dapat meningkatkan kepekaan terhadap lansia. Selain itu,
mengembangkan unsur keterbukaan dan musyawarah antara penyedia
pelayanan, tenaga kesehatan, keluarga dan masyarakat akan membentu dalam
mengatasi masalah etis terkait moral yang mucul sehari-hari. Sehingga dapat
diterapkan unsur keadilan pada pasien lansia.
B. Saran
Seorang perawat sudah seharusnya mempertimbangkan aspek legal etik
dalam praktik keperawatan pada lansia sehingga tidak akan ada kejadian
malpraktik yang dapat merugikan. Disamping itu perawat yang taat terhadap
hukum akan terhindar dari jeratan hukum yang dapat merugikan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
24
Kurniati Azlinda, 2010. Makalah Legal Etik Keperawatan. Diakses dari
https://www.academia.edu/35996199/MAKALAH_LEGAL_ETIK_KEPERAWATA
N_DAN_KASUS pada tanggal 8 Juli 2019
Mickey & Patricia. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Edisi 2. EGC.
Jakarta:Buku Kedokteran.
25