Anda di halaman 1dari 67

MAKALAH

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT


TRAUMA KEPALA

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 7

RAHMAH PUTRI KHRISDAYANTIE P07220420027


RIZKI NURBAITI P07220420028
SHINTYA RAHAYU P07220420029
SISKA ELFRIDA SIMORANGKIR P07220420030

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
POLTEKKES KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMANTAN TIMUR
2020
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunanmakalah Keperawatan kritis ini yang berjudul “Trauma kepala”.

Sholawat serta salam juga tak lupa penulis hanturkan kepada junjungan Nabi kita

Muhammad SAW. Karena berkat rahmat dan Hidayah-Nyalah yang

menghantarkan kitasemua dari jalan yang gelap gulita menuju kejalan yang terang

benderang seperti saat ini.

Penulis juga menyadari dalam makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh sebab itu dengan kerendahan hati penulis sangat mengharapkan masukan,

saran dan kritik yang membangun dari berbagai pihak terutama dari dosen

pembimbing dan teman sejawat keperawatan demi perbaikan makalah ini.

Penulis berharap semoga bahan ajar ini dapat memberikan manfaat positif. Akhir

kata penulis memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selalu mendapatkan

petunjuk dan ridho-Nya,serta selalu berada di jalan-Nya.

Tenggarong, 17 September2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover..............................................................................................................
Kata Pengantar............................................................................................... 2
Daftar Isi......................................................................................................... 3
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................... 4
B. Rumusan masalah...................................................................................... 5
C. Tujuan Keperawatan.................................................................................. 6
D. Sistematika penulisan................................................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Trauma Kepala............................................................................ 8
B. Etiologi Trauma Kepala............................................................................. 9
C. Klasifikasi Trauma Kepala........................................................................ 10
D. Manifestasi Klinis Trauma Kepala............................................................ 25
E. Patofisiologi ............................................................................................. 27
F. Web of Caution (WOC) Trauma Kepala.................................................... 31
G. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit) Trauma Kepala............................... 35
H. Komplikasi Trauma Kepala....................................................................... 36
I. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala..................................................... 38
J. Penatalaksanaan Trauma Kepala................................................................ 40
K. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Kepala................................... 44
L. Algoritma Penanganan Trauma Kepala..................................................... 66
BAB 3 PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................ 68
B. Saran.......................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecelakaan lalu lintas merupakan permasalahan kesehatan global

sebagai penyebab kematian, disabilitas, dan defisit mental. Menurut World

Health Organization (WHO) pada tahun 2015 kecelakaan lalu lintas

merupakan penyebab kematian urutan kesebelas di seluruh dunia dan

menelan korban jiwa sekitar 1,25 juta manusia setiap tahun.(Depkes RI,

2017). Trauma dapat diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas. Trauma yang

paling banyak terjadi pada saat kecelakaan lalu lintas adalah trauma kepala.

Trauma kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama

disabilitas dan mortalitas di negara berkembang. Keadaan ini umumnya

terjadi pada pengemudi motor tanpa helm atau memakai helm yang tidak

tepat dan yang tidak memenuhi standar. (Depkes RI, 2015).

WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa kematian pada

cedera kepala diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas. WHO mencatat 2500

kasus kematian yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas pada tahun

2013. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahun diperkirakan

mencapai 500.000 kasus dengan prevalensi kejadian 80% meninggal dunia

sebelum sampai rumah sakit, 80% cedera kepala ringan, 10% cedera kepala

sedang dan 10% cedera kepala berat dengan rentang kejadian berusia 15-44

tahun. Persentase dari kecelakaan lalu lintas tercatat sebesar 48-58%

4
diperoleh dari cedera kepala, 20-28% dari jatuh dan 3-9% disebabkan tindak

kekerasan dan kegiatan olahraga (WHO, 2013).

Angka kejadian pasti dari cedera kepala sulit ditentukan karena

berbagai faktor, misalnya sebagian kasus-kasus yang fatal tidak pernah

sampai ke rumah sakit, dilain pihak banyak kasus yang ringan tidak datang

pada dokter kecuali bila kemudian timbul komplikasi. Sebanyak 480.000

kasus per tahun diperkirakan sebagai insiden cedera kepala yang nyata yang

memerlukan perawatan di rumah sakit. Cedera kepala paling banyak terjadi

pada laki-laki berumur antara 15-24 tahun, dimana angka kejadian cedera

kepala pada lakilaki (55,4%) lebih banyak dibandingkan perempuan, ini

diakibatkan karena mobilitas yang tinggi dikalangan usia produktif

(Riskesdas, 2015).

Berkaitan dengan tingginya tingkat mobilitas dan kurangnya kesadaran

untuk menjaga keselamatan di jalan raya, cedera kepala merupakan salah satu

penyebab utama kematian pada pengguna kendaraan bermotor (Baheram,

2007). Cedera kepala karena kecelakaan kendaraan bermotor menyebabkan

lebih dari 50% kematian. Lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala,

75.000 diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang

selamat akan mengalami disabilitas permanen setiap tahunnya (Widiyanto,

2007).

Cedera kepala merupakan kedaruratan neurologik yang memiliki akibat

yang kompleks, karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di

dalam kepala terdapat otak yang mempengaruhi segala aktivitas manusia, bila

5
terjadi kerusakan akan mengganggu semua sistem tubuh. Penyebab trauma

kepala yang terbanyak adalah kecelakaan bermotor (47,7%), jatuh (40,9%)

dan terkena benda tajam atau tumpul (7,3%) (Riskesdas, 2015). Angka

kejadian trauma kepala yang dirawat di rumah sakit di Indonesia merupakan

penyebab kematian urutan kedua (4,37%) setelah stroke, dan merupakan

urutan kelima 3 (2,18%) pada 10 pola penyakit terbanyak yang dirawat di

rumah sakit di Indonesia. (Depkes RI, 2007)

Menurut penelitian nasional Amerika, di bagian kegawatdaruratan

menunjukkan bahwa penyebab primer cedera kepala karena trauma pada anak-

anak adalah karena jatuh, dan penyebab sekunder adalah terbentur oleh benda

keras. Penyebab cedera kepala pada remaja dan dewasa muda adalah

kecelakaan kendaraan bermotor dan terbentur, selain karena kekerasan.

Insidensi cedera kepala karena trauma kemudian menurun pada usia dewasa;

kecelakaan kendaraan bermotor dan kekerasan yang sebelumnya merupakan

etiologi cedera utama, digantikan oleh jatuh pada usia >45 tahun.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan pasien dengan

Trauma Kepala?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Mahasiswa/(i) mampu memahami konsep dan menerapkan

manajemen kegawatdaruratan pasien dengan Trauma Kepala.

6
2. Tujuan Khusus

Agar mahasiswa/(i) dapat mengetahui dan memahami tentang:

a. Definisi Trauma Kepala

b. Etiologi Trauma Kepala

c. Web of Caution (WOC) Trauma Kepala

d. Klasifikasi Trauma Kepala

e. Manifestasi Klinis Trauma Kepala

f. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit) Trauma Kepala

g. Pemeriksaan Penunjang Trauma Kepala

h. Komplikasi Trauma Kepala

i. Penatalaksanaan Medis Trauma Kepala

j. Penatalaksanaan Keperawatan Trauma Kepala

k. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma Kepala

l. Algoritma Penanganan Trauma Kepala

D. Sistematika Penulisan

Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu:

Bab I : Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II : Berisi tinjauan teori yang terdiri dari definisi, etiologi,

web of caution, klasifikasi, manifestasi klinis,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, komplikasi,

asuhan keperawatan, dan algoritma penanganan trauma

kepala

7
Bab III : Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

8
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi

Trauma kepala merupakan trauma yang mengenai otak yang dapat

menyebabkan perubahan fisik, intelektual, emosional dan sosial

(Judha&Rahil, 2011). Trauma kepala merupakan adanya pukulan atau

benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran

(Wijaya & Putri, 2013).

Cedera kepala atau trauma kapitisadalah suatu gangguan trauma dari

otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti

terputusnya kontinuitas dari otak.(Nugroho, 2015) Cedera kepala adalah

suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak

yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada

kepala (Suriadi dan Yuliani, 2013). Menurut Brain Injury Assosiation of

America (2012), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan

bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh

serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah

kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan

fungsi fisik.

B. Etiologi

Trauma kepala umunya disebabkan oleh:

9
a. Trauma oleh benda tajam. Menyebabkan cedera setempat dan

menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral,

hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan

masa lesi, pergeseran otak atau hernia.

b. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh

(difusi). Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk :

cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar,

hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar

pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya.

c. Etiologi lainnya

1) Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan

mobil.

2) Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan.

3) Cedera akibat kekerasan.

C. Klasifikasi

Berdasarkan Advanced Traumatic Life Support (ATLS, 2014) cedera


kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3
deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan
morfologi.
1. Berdasarkan berat ringannya berdasarkan GCS (Glosgow Coma Scale):

Terlepas dari mekanisme cedera kepala, pasien diklasifikasikan


secara klinis sesuai dengan tingkat kesadaran dan distribusi anatomi luka.
Kondisi klinis dan tingkat kesadaran setelah cedera kepala dinilai
menggunakan Glasgow Coma 9 Scale (GCS), merupakan skala universal
untuk mengelompokkan cedera kepala dan faktor patologis yang
menyebabkan penurunan kesadaran.

10
a. Cedera Kepala Ringan (kelompok risiko rendah)

1) GCS 13-15 (sadar penuh, atentif, orientatif)

2) Kehilangan kesadaran /amnesia tetapi kurang 30 mnt

3) Tak ada fraktur tengkorak

4) Tak ada contusio serebral (hematom)

5) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

b. Cedera Kepala Sedang

1) GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)

2) Kehilangan kesadaran lebih dari 30 mnt / kurang dari 24 jam

(konkusi)

3) Dapat mengalami fraktur tengkorak

4) Muntah

5) Kejang

c. Cedera Kepala Berat

1) GCS 3-8 (koma)

2) Kehilangan kasadaran lebih dari 24 jam (penurunan kesadaran

progresif)

3) Diikuti contusio serebri, laserasi, hematoma intracranial

4) Tanda neurologist fokal

5) Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur kranium

2. Berdasarkan Mekanisme

Berdasarkan mekanismenya, trauma kepala dibagi menjadi 2 yaitu :

Trauma Percepatan (akselerasi) dan Trauma Perlambat

11
(Deselerasi).Trauma percepatan adalah dimana benda yang mengalami

pergerakan lalu membentur kepala yang diam sedangkan trauma Perlambat

(Deselerasi)adalah dimana kepala yang mengalami pergerakan lalu

membentur benda yang diam.

Dengan mekanisme fisiologis pada cedera kepala akan dapat

memperkirakan dampak pada cedera kepala primer. Komponen utama

diantaranya kekuatan cedera (kontak atau gaya), jenis cedera (rotasional,

translational, atau angular), dan besar serta lamanya dampak tersebut

berlangsung.

Kekuatan kontak biasanya mengakibatkan cedera fokal seperti

memar dan patah tulang tengkorak. kekuatan inersia terutama translasi

mengakibatkan cedera fokal, seperti kontusio dan Subdural Hematoma

(SDH), sedangkan cedera rotasi akselerasi dan deselerasi lebih cenderung

mengakibatkan cedera difus mulai dari gegar otak hingga Diffuse Axonal

Injury (DAI). Cedera rotasi secara khusus 8 menyebabkan cedera pada

permukaan kortikal dan struktur otak bagian dalam (Youmans, 2011).

12
3. Berdasarkan Morfologi

Luka pada kulit dan tulang dapat menunjukkan lokasi atau area
terjadinya trauma (Sastrodiningrat, 2009). Cedera yang tampak pada kepala
bagian luar terdiri dari dua, yaitu secara garis besar adalah trauma kepala
tertutup dan terbuka. Trauma kepala tertutup merupakan fragmen-fragmen
tengkorak yang masih intak atau utuh pada kepala setelah luka. The Brain
and Spinal Cord Organization 2009, mengatakan trauma kepala tertutup
adalah apabila suatu pukulan yang kuat pada kepala secara tiba-tiba
sehingga menyebabkan jaringan otak menekan tengkorak. Trauma kepala
terbuka adalah yaitu luka tampak luka telah menembus sampai kepada dura
mater. (Anderson, Heitger, and Macleod, 2006). Secara morfologi cedera
kepala data dibagi atas: (Pascual et al, 2008):
a. Luka laserasi

Luka laserasi adalah luka robek yang disebabkan oleh benda


tumpul atau runcing. Dengan kata lain, pada luka yang disebabkan
oleh benda tajam lukanya akan tampak rata dan teratur. Luka robek
adalah apabila terjadi kerusakan seluruh tebal kulit dan jaringan
bawah kulit.

13
Laserasi kulit kepala sering di dapatkan pada pasien cedera
kepala. Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disingkat dengan
akronim SCALP yaitu skin, connective tissue, apponeurosis galea,
loose connective tissue dan percranium. Diantara galea aponeurosis
dan periosteum terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan
kulit bergerak terhadap tulang. Pada fraktur tulang kepala sering
terjadi robekan pada lapisan ini.
b. Fraktur Tengkorak

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi


menjadi:
1) Fraktur Linier Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk
garis tunggal atau stellata pada tulang tengkorak yang mengenai
seluruh ketebalan tulang kepala.
2) Fraktur Diastasis Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang
terjadi pada sutura tulang tengkorak yang menyebabkan
pelebaran sutura-sutura tulang kepala. Jenis fraktur ini terjadi
pada bayi dan balita karena sutura-sutura belum menyatu
dengan erat.
3) Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang
kepala yang memiliki lebih dari satu fragmen dalam satu area
fraktur.
4) Fraktur impresi Fraktur impresi tulang pepala terjadi akibat
benturan dengan tenaga besar yang langsung mengenai tulang
kepala. Fraktur impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan
penekanan atau 12 laserasi pada duramater dan jaringan otak,
fraktur impresi dianggap bermakna terjadi jika tabula eksterna
segmen tulang yang impresi masuk hingga berada di bawah
tabula interna segmen tulang yang sehat.
5) Fraktur basis cranii Fraktur basis cranii adalah suatu fraktur
linier yang terjadi pada dasar tulang tengkorak. Fraktur ini
seringkali disertai dengan robekan pada duramater yang

14
melekat erat pada dasar tengkorak. pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan adanya rhinorrhea dan racon eyes sign pada
fraktur basis cranii fossa anterior, atau ottorhea dan battle’s sign
pada fraktur basis cranii fossa media.
c. Cedera Otak

1) Commotio Cerebri (Gegar Otak)

Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak

ringan, tidak ada jaringan otak yg rusak tetapi hanya kehilangan

fungsi otak sesaat yang dapat pulih kembali dengan/tanpa

kehilangan kesadaran. Dapat terjadi gangguan yang timbul

berupa sakit kepala, mual, muntah, pingsan < 10 menit atau

amnesia pasca trauma, Disorientasi, bingung, Tak mampu

berkonsentrasidan pusing.

2) Contusio Cerebri (Memar Otak)

Luka memar pada kulit terjadi apabila kerusakan jaringan


subkutan dimana pembuluh darah (kapiler) pecah sehingga
darah meresap ke jaringan sekitarnya, kulit tidak rusak, menjadi
bengkak dan berwarna merah kebiruan. Luka memar pada otak
terjadi apabila otak menekan pembuluh darah kapiler pecah.
Biasanya terjadi pada tepi otak seperti pada frontal, temporal
dan oksipital. Kontusio yang besar dapat terlihat di CT-Scan
atau MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada kontusio dapat
terlihat suatu daerah yang mengalami pembengkakan yang
disebut edema. Jika pembengkakan cukup besar dapat
menimbulkan penekanan hingga dapat mengubah tingkat
kesadaran (Corrigan, 2004).

15
Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai

dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda

koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda

gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang

mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya

suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan

tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).

3) Abrasi

Luka abrasi yaitu luka yang tidak begitu dalam, hanya

superfisial. Luka ini bisa mengenai sebagian atau seluruh kulit.

Luka ini tidak sampai pada jaringan subkutis tetapi akan terasa

sangat nyeri karena banyak ujung-ujung saraf yang rusak.

4) Avulsi

Luka avulsi yaitu apabila kulit dan jaringan bawah kulit

terkelupas, tetapi sebagian masih berhubungan dengan tulang

kranial. Dengan kata lain intak kulit pada kranial terlepas

setelah cedera (Mansjoer, 2010).

3) Perdarahan Intrakranial

a) Epiduralis haematoma, adalah terjadinya perdarahan antara

tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen

media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat

16
juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal,

occipital dan fossa posterior.

b) Subduralis haematoma. Subduralis haematoma adalah

kejadian haematoma di antara durameter dan corteks,

dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi

perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan

jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat

tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan

corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda

meningginya tekanan dalam jaringan otak.

c) Subrachnoidalis Haematoma. Kejadiannya karena

perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan

pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan

17
berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada

permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir

aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering

menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.

d) Intracerebralis Haematoma. Terjadi karena pukulan benda

tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang

mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada

jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks.

Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada

durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah

subduralis haematoma.

4. Berdasarkan Patofisiologi

a. Cedera kepala primer

Cedera otak primer adalah akibat cedera langsung dari

kekuatan mekanik yang merusak jaringan otak saat trauma terjadi

(hancur, robek, memar, dan perdarahan). Cedera ini dapat berasal

dari berbagai bentuk kekuatan/tekanan seperti akselerasi rotasi,

kompresi, dan distensi akibat dari akselerasi atau deselerasi.

Tekanan itu mengenai tulang tengkorak, yang dapat memberi efek

pada neuron, glia, dan pembuluh darah, dan dapat mengakibatkan

kerusakan lokal, multifokal ataupun difus (Valadka, 1996).

Cedera otak dapat mengenai parenkim otak dan atau

pembuluh darah. Cedera parenkim berupa kontusio, laserasi atau

18
Diffuse Axonal Injury (DAI), sedangkan cedera pembuluh darah

berupa perdarahan epidural, subdural, subarachnoid dan

intraserebral (Graham, 1995), yang dapat dilihat pada CT scan.

Cedera difus meliputi kontusio serebri, perdarahan subarachnoid

traumatik dan DAI. Sebagai tambahan sering terdapat perfusi

iskemik baik fokal maupun global (Valadka, 1996).

Secara anatomis cedera kepala primer dapat dikelompokkan

menjadi cedera fokal dan difus (Teasdale, 1995):

1) Cidera fokal

a) Kontusio serebri. Pada kontusio serebri terjadi perdarahan

di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang

kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan

atau terputus.

b) Traumatik intrakranial hematom

Intrakranial hematom tampak sebagai suatu massa yang

merupakan target terapi yang potensial dari intervensi

bedah (sebagai lawan paling memar). Lebih sering terjadi

pada pasien dengan tengkorak fraktur. Tiga jenis utama

dari hematoma intrakranial dibedakan oleh lokasi relatif

terhadap meninges: epidural, subdural, dan intracerebral.

(1) Epidural hematoma (EDH). EDH adalah adanya darah

di ruang epidural yaitu ruang potensial antara tabula

interna tulang tengkorak dan duramater. EDH dapat

menimbulkan penurunan kesadaran, adanya lusid

19
interval selama beberapa jam dan kemudian terjadi

defisit neurologis berupa hemiparesis kontralateral dan

dilatasi pupil ipsilateral. Gejala lain yang ditimbulkan

antara lain sakit kepala, muntah, kejang dan

hemiparesis.

(2) Subdural hematoma (SDH). Perdarahan subdural

adalah perdarahan antara duramater dan arachnoid,

yang biasanya meliputi perdarahan vena. Terbagi atas

3 bagian yaitu:

 Perdarahan subdural akut, adalah terkumpulnya

darah di ruang subdural yang terjadi akut (0-2

hari). Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-

vena kecil dipermukaan korteks cerebri. Gejala

klinis berupa sakit kepala, perasaan mengantuk,

dan kebingungan, respon yang lambat, serta

gelisah. Perdarahan subdural akut sering

dihubungkan dengan cedera otak besar dan cedera

batang otak.

 Perdarahan subdural subakut. Perdarahan

subdural subakut, biasanya terjadi 2-14 hari.

setelah cedera dan dihubungkan dengan kontusio

serebri yang agak berat. Tekanan serebral yang

terus-menerus menyebabkan penurunan tingkat

kesadaran.

20
 Perdarahan subdural kronis. Terjadi karena

luka ringan. Mulanya perdarahan kecil memasuki

ruang subdural. Beberapa minggu kemudian

menumpuk di sekitar membran vaskuler dan

secara pelan-pelan ia meluas, bisanya terjadi lebih

dari 14 hari. Gejala mungkin tidak terjadi dalam

beberapa minggu atau beberapa bulan. Pada

proses yang lama akan terjadi penurunan reaksi

pupil dan motorik.

c) Intracerebral hematoma (ICH), adalah area perdarahan

yang homogen dan konfluen yang terdapat di dalam

parenkim otak. ICH bukan disebabkan oleh benturan antara

parenkim otak dengan tulang tengkorak, tetapi disebabkan

oleh gaya akselerasi dan deselerasi akibat trauma yang

menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang terletak

lebih dalam, yaitu di parenkim otak atau pembuluh darah

kortikal dan subkortikal.

d) Subarachnoid hematoma (SAH), Perdarahan subarahnoid

diakibatkan oleh pecahnya pembuluh darah kortikal baik

arteri maupun vena dalam jumlah tertentu akibat trauma

dapat memasuki ruang subarahnoid.

2) Cidera Difus

Cedera otak difus merupakan efek yang paling sering

dari cedera kepala dan merupakan kelanjutan klinis cedera

21
kepala, mulai dari gegar otak ringan sampai koma menetap

pasca cedera (Sadewa, 2011). Terjadinya cedera kepala difus

disebabkan karena gaya akselerasi dan deselerasi gaya rotasi

dan translasi yang menyebabkan bergesernya parenkim otak

dari permukaan terhadap parenkim yang sebelah dalam.

Vasospasme luas pembuluh darah dikarenakan adanya

perdarahan subarahnoid traumatika yang menyebabkan

terhentinya sirkulasi di parenkim otak dengan manifestasi

iskemia yang luas, edema otak disebabkan karena hipoksia

akibat renjatan sistemik, bermanifestasi sebagai cedera kepala

difus. Dari gambaran morfologi pencitraan atau radiologi,

cedera kepala difus dikelompokkan menjadi:

a) Benturan. Benturan adalah bentuk paling ringan dari

cedera difus dan dianggap karena gaya rotasional

akselerasi kepala dengan tidak adanya kontak mekanik

yang signifikan. Dalam bentuk klasik, penderita benturan

mengalami kehilangan kesadaran sementara dan cepat

kembali ke keadaan normal kewaspadaan. Meskipun, gegar

otak ini tidak berbahaya seperti yang diduga sebelumnya,

tetapi benturan berulang sering mengakibatkan gangguan

neurologis Permanen. . Cedera otak difus menggambarkan

keadaan odema sitotoksik meskipun gambaran CT scan

normal dan GCS 15.

22
b) Cedera Akson difus. Difus Axonal Injury (DAI) adalah

keadaan dimana serabut subkortikal yang menghubungkan

inti permukaan otak dengan inti profunda otak (serabut

proyeksi), maupun serabut yang menghubungkan inti-inti

dalam satu hemisfer (asosiasi) dan serabut yang

menghubungkan inti-inti permukaan kedua hemisfer

(komisura) mengalami kerusakan. Pada DAI ringan dan

sedang umumnya tidak terdapat kelainan pada pemeriksaan

radiologi baik CT-scan dan MRI. Namun pada

pemeriksaan mikroskopis akan dijumpai akson-akson yang

membengkak dan putus.

b. Cedera kepala sekunder

Cedera otak sekunder merupakan lanjutan dari cedera otak

primer yang dapat terjadi karena adanya reaksi inflamasi, biokimia,

pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-apoptosis

dan inokulasi bakteri. Melalui mekanisme Eksitotoksisitas, kadar

Ca++ intrasellular meningkat, terjadi generasi radikal bebas dan

peroxidasi lipid.

Cedera otak sekunder (COS) yaitu cedera otak yang terjadi

akibat proses metabolisme dan homeostatis ion sel otak,

hemodinamika intrakranial dan kompartement CSS yang dimulai

segera setelah trauma tetapi tidak tampak secara klinis segera

setelah trauma. Cedera otak sekunder ini disebabkan oleh banyak

faktor antara lain kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran

23
darah otak (ADO), gangguan metabolisme dan homeostatis ion sel

otak, gangguan hormonal, pengeluaran neurotransmitter dan

reactive oxygen species (ROS), infeksi dan asidosis. Kelainan utama

ini meliputi perdarahan intrakranial, edema otak, peningkatan

tekanan intrakranial dan kerusakan otak.

5. Berdasarkan jenis kerusakan

a. Kup : Benturan thd objek yg mengakibatkan kerusakan relatif dekat

dgn daerah yg terbentur

b. Kontra kup : kerusak terjadi berlawanan dengan daerah yang terbentur

D. Manifestasi Klinis

Menurut Wong (2009) orang yang mengalami cedera kepala akut

memiliki beberapa tanda dan gejala, antara lain:

24
1. Cedera ringan

Tanda dan gejalanya:

a. Dapat menimbulkan hilang kesadaran

b. Periode konfusi (kebingungan) transien

c. Somnolen

d. Gelisah

e. Iritabilitas

f. Pucat

g. Muntah (satu kali atau lebih)

2. Tanda-tanda progresitivitas

a. Perubahan status mental (misalnya anak sulit dibangunkan)

b. Agitasi memuncak

c. Timbul tanda-tanda neurologik lateral fokal dan perubahan tanda-

tanda vital yang tampak jelas

3. Cedera berat

Tanda dan gejalanya:

a. Tanda-tanda peningkatan TIK

b. Perdarahan retina

c. Paralisis ekstraokular (terutama saraf kranial VI)

d. Hemiparesis

e. Kuadriplegia

f. Peningkatan suhu tubuh

g. Cara berjalan yang goyah

25
h. Papiledema (anak yang lebih besar) dan perdarahan retina

4. Tanda-tanda yang menyertai

a. Cedera kulit (daerah cedera pada kepala)

b. Cedera lainnya (misalnya pada ekstremitas)

Tanda dan gejala pada trauma kepala secara umum dilihat dari ada atau

tidaknya fraktur tengkorak, riwayat kejadian trauma kepala, tingkat

kesadaran, dan kerusakan jaringan otak (Tarwoto, 2013).

1. Fraktur tengkorak

Fraktur tengkorak dapat melukai pembuluh darah dan saraf-saraf

otak, merobek duramater yang mengakibatkan perembesan cairan

serebrospinalis. Jika terjadi fraktur tengkorak kemungkina yang terjadi

adalah :

a. Keluarnya cairan serebrospinalis atau cairan lain dari hidung

(rhinorrhoe) dan telinga (otorrhoe).

b. Kerusakan saraf cranial

c. Perdarah dibelakang membrane timpani

d. Ekimosis pada periorbital.

Jika terjadi fraktur basiler, kemungkinan adanya gangguan pada

saraf cranial dan kerusakan bagian dalam telinga. Sehingga kemungkinan

tanda dan gejalanya adalah :

a. Perubahan tajam penglihatan karena kerusakan nervus optikus.

b. Kehilangan pendengaran karena kerusakan pada nervus auditorius.

26
c. Dilatasi pupil dan hilangnya kemampuan pergerakan beberapa otot

mata karena kerusakan nervus okulomotorius.

d. Paresis wajah karena kerusakan nervus fasialis

e. Vertigo karena kerusakan otolith dalam telinga bagian dalam.

f. Nistagmus karena kerusakan pada system vestibular

g. Warna kebiruan dibelakang telinga diatas mastoid (Battle Sign).

2. Kesadaran

Tingkat kesadaran pasien tergantung dari berat ringannya cedera

kepala, ada atau tidaknya amnesia retrograt, mual dan muntah.

3. Kerusakan jaringan otak

Manifestasi klinik kerusakan jaringan otak bervariasi tergantung

dariu cedera kepala. Untuk melihat adanya kerusakan cedera kepala perlu

dilakukan pemeriksaan CT scan atau MRI.

E. Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa

dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan di dalam sel-sel saraf hampir

seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan

oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan

menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen

sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %,

karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari

seluruh kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun

sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.

27
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi

kebutuhan oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat

menyebabkan dilatasi pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau

kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme

anaerob. Hal ini akan menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan

normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml/menit/100 gr. jaringan

otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output dan akibat adanya perdarahan

otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan

vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan berkontraksi

Menurut Long (1996) trauma kepala terjadi karena cidera kepala, kulit

kepala, tulang kepala, jaringan otak. Trauma langsung bila kepala langsung

terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi, deselerasi dan

pembentukan rongga. Trauma langsung juga menyebabkan rotasi tengkorak

dan isinya, kekuatan itu bisa seketika/menyusul rusaknya otak dan kompresi,

goresan/tekanan. Cidera akselerasi terjadi bila kepala kena benturan dari

obyek yang bergerak dan menimbulkan gerakan. Akibat dari akselerasi,

kikisan/konstusio pada lobus oksipital dan frontal batang otak dan cerebellum

dapat terjadi. Sedangkan cidera deselerasi terjadi bila kepala membentur

bahan padat yang tidak bergerak dengan deselerasi yang cepat dari tulang

tengkorak.

Pengaruh umum cidera kepala dari tengkorak ringan sampai tingkat

berat ialah edema otak, deficit sensorik dan motorik. Peningkatan TIK

28
terjadi dalam rongga tengkorak (TIK normal 4-15 mmHg). Kerusakan

selanjutnya timbul masa lesi, pergeseran otot.

Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena

memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau

hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan

autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera.

Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area

peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua

menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan

intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak

sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.

Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal”

dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk

menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari

kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral,

serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi,

pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan

kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu:

cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak

menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini

menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena

cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

29
Sedangkan patofisiologi menurut Markum (1999). trauma pada kepala

menyebabkan tengkorak beserta isinya bergetar, kerusakan yang terjadi

tergantung pada besarnya getaran makin besar getaran makin besar kerusakan

yang timbul, getaran dari benturan akan diteruskan menuju Galia

aponeurotika sehingga banyak energi yang diserap oleh perlindungan otak,

hal itu menyebabkan pembuluh darah robek sehingga akan menyebabkan

haematoma epidural, subdural, maupun intracranial, perdarahan tersebut juga

akan mempengaruhi pada sirkulasi darah ke otak menurun sehingga suplay

oksigen berkurang dan terjadi hipoksia jaringan akan menyebabkan odema

cerebral.

Akibat dari haematoma diatas akan menyebabkan distorsi pada otak,

karena isi otak terdorong ke arah yang berlawanan yang berakibat pada

kenaikan T.I.K (Tekanan Intra Kranial) merangsang kelenjar pituitari dan

steroid adrenal sehingga sekresi asam lambung meningkat akibatnya timbul

rasa mual dan muntah dan anaroksia sehingga masukan nutrisi kurang (Satya,

1998).

30
F. Web of Caution (WOC)

Trauma Tajam Cedera kepala Trauma Tumpul

Ekstra Cranial Cranium Intra Cranial

Fraktur
Terputusnya Laserasi/perdarahan
Rupur pembuluh
Terputusnya kontinuitas pada otak
darah vena
jariangan otot, kulit tulang
dan vaskulaer
Robekan arteri
menigia media

Rangsangan
Subdural
Nyeri Akut simpatis
Hematoma
Risiko Infeksi
Hematoma
epidural

Tekanan vaskuler,
Kolaborasi pemberian
Tekanan darang
antibiotic Nyeri Kepala
Bersihkan area lesi
Perubahan
denan Teknik aseptic Sirkulasi CSS
Jauhkan dari risiko
terpaparnya agen
infektan
Mual muntah 31
Tekanan pada
paru meningkat
Peningkatan TIK
Penekanan
Gangguan suplai batang otak
darah ke otak
Gangguan Peningkatan
perfusi jaringan tekanan
Pemberian
hidrostatik
manitol Kebocoran kapiler
0,25-1g/KgBB
Herniasi
Hipoksia jaringan
Kaji Status
otak
kesadaran
Pantau TTV
Control
perdarahan dan Udem pulmonal
eudemaIskemia

Cerebral
Hematoma

pH Arterial Cerebral Defisit Neurologi


Disfungsi Batang
Meningkat
Otak

Menstimulus Merangsang
Hipotalamus Hipofisis Gangguan Persepsi
Dilatasi Arteri Sensori
Penggunaan
antikonvulsan: Kerusakan saraf
Fenitoin
ataufosfenitoin pada Pelepasan ACTH motorik
fase akut (1gr dalam Aliran darah ke Streroid adrenalin
kecepatan otak meningkat
50mg/menit)
Deazepan atau Penghentian
lorazepam sekresi anto
Edema serebri Peningkatan asam Gangguan
Anastesi umum jika deuretik
kejang berlanjut lambung Mobilitas Fisik
lebih dari 60 menit
Kejang
32
Diabetes Insipidus
Mual Muntah Resiko defisit nutrisi
acceleration-deselaration

Angular force

impact Direct impact

Shock waves(gel.kejut)

Efek Tekanan

Trauma kepala

Kulit kepala Tulang kepala jaringan otak

Hematoma pd. Kulit fr. Linear, fr.comunited, komusio,hematoma,


fr.depresed, fr. basis

B1 B2 B3 B4 B5 B6

ICP meningkat ADH dilepas Meningkatnya Control motorik dan Tubuh perlu energy Rusaknya neuron
Rangsangan simpatis postural konfusi untuk perbaikan motorik pada
menurun medulla spinalis
Rangsang simpatis retensi Na& air
meningkat

33
Meningkatkan output urine meningkat Control spinkter nutrisi kurang dari Paralisi otot
tahanan vaskuler menurun sistemik&TD urinarius eksternal keb. tubuh ekstremitas
Sistemik & TD tah.vaskuler menurun atau hilang

konsentrasi elektrolit Penghancuran Perubahan kekuatan


Sistem pembuluh meningkat System pembuluh Inkontinensia urine protein otot sebagai otot, tonus dan
darah Pulmonal tek. darah pulmonal sumber nitrogen aktivitas reflek
rendah tekanan rendah utama menurun
(00028)resiko (00016)Gangguan
gangguan eliminasi urine
keseimbangan cairan Tekanan hidrostatik
Meningkatkan Nitrogen hilang (00085)Hambatan
& elektrolit meningkat
tek.hidrostatik mobilitas fisik
Kebocoran cairan
kapiler
(00093)kelelahan/
Edema paru kelemahan fisik
Edema cerebral
Peningkatan
hambatan Difusi O2-
CO2 Bertambahnya vol.
intra cranial krna
perdarahan otak

Hipoksemia,
hiperkapnea Resiko PTIK, CPP
meningkat, MAP
meningkat
(00032)Ketidak
Efektifna Pola napas
(00024)Ganggaun
perpusi jaringan
Cerebral 34

(00132)Nyeri Akut
G. Pemeriksaan Fisik (Fokus Penyakit)

1. Aspek Neurologis

Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15,

disorentasi orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif,

perubahan nilai tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau

dekortikasi dan kemungkinan didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski

positif. Adanya hemiparese.

Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berbagai

rangsangan/stimulus rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-

gerakan involunter, kejang dan ataksia, karena gangguan koordinasi.

Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian sebelum dan sesuadah

trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar, dapat terlihat

limbung atau tidak dapat mempertajhankana keseimbangan tubuh.

Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai

batang otak karena edema otak atau pendarahan otak.

2. Aspek Kardiovaskuler

Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi

peningkatan intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi

bradikardi, kemudian takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu

pengkajian lain yang perlu dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau

cairan yang keluar dari mulut, hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi

pada rongga mulut. Adanya perdarahan terbuka/hematoma pada bagian

tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari kepalal hingga kaki.

35
3. Aspek sistem pernapasan

Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun

frekuensi yaitu cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes,

ataxia brething), bunyi napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya

sekret pada tracheo brokhiolus. Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi

karena adanya infeksi atau rangsangan terhadap hipotalamus sebagai

pusat pengatur suhu tubuh.

4. Aspek sistem eliminasi

Akan didapatkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau

kecil. Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat

hiponatremia atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji

tanda-tanda penurunan fungsi saluran pencernaan seperti bising usus

yang tidak terdengar/lemah, aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi

dasar dalam pemberian makanan.

H. Komplikasi

Menurut Rosjidi (2007) kemunduran pada kondisi klien diakibatkan dari

perluasan hematoma intrakranial edema serebral progresif dan herniasi otak,

komplikasi dari cedera kepala adalah:

1. Edema pulmonal

Komplikasi yang serius adalah terjadinya edema paru, etiologi mungkin

berasal dari gangguan neurologis atau akibat sindrom distress pernafasan

dewasa. Edema paru terjadi akibat refleks cushing/perlindungan yang

berusaha mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat

36
tekanan intrakranial meningkat tekanan darah sistematik meningkat untuk

memcoba mempertahankan aliran darah keotak, bila keadaan semakin

kritis, denyut nadi menurun bradikardi dan bahkan frekuensi respirasi

berkurang, tekanan darah semakin meningkat. Hipotensi akan memburuk

keadan, harus dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg,

yang membutuhkan tekanan sistol 100-110 mmHg, pada penderita kepala.

Peningkatan vasokonstriksi tubuh secara umum menyebabkan lebih

banyak darah dialirkan ke paru, perubahan permiabilitas pembulu darah

paru berperan pada proses berpindahnya cairan ke alveolus. Kerusakan

difusi oksigen akan karbondioksida dari darah akan menimbulkan

peningkatan TIK lebih lanjut.

2. Peningkatan TIK

Tekanan intrakranial dinilai berbahaya jika peningkatan hingga 15 mmHg,

dan herniasi dapat terjadi pada tekanan diatas 25 mmHg. Tekanan darah

yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekan perfusi rerebral. yang

merupakan komplikasi serius dengan akibat herniasi dengan gagal

pernafasan dan gagal jantung serta kematian.

3. Kejang

Kejang terjadi kira-kira 10% dari klien cedera otak akut selama fase akut.

Perawat harus membuat persiapan terhadap kemungkinan kejang dengan

menyediakan spatel lidah yang diberi bantalan atau jalan nafas oral

disamping tempat tidur klien, juga peralatan penghisap. Selama kejang,

perawat harus memfokuskan pada upaya mempertahankan, jalan nafas

37
paten dan mencegah cedera lanjut. Salah satunya tindakan medis untuk

mengatasi kejang adalah pemberian obat, diazepam merupakan obat yang

paling banyak digunakan dan diberikan secara perlahan secara intavena.

Hati-hati terhadap efek pada system pernafasan, pantau selama pemberian

diazepam, frekuensi dan irama pernafasan.

4. Kebocoran cairan serebrospinalis

Adanya fraktur di daerah fossa anterior dekat sinus frontal atau dari

fraktur tengkorak basilar bagian petrosus dari tulangan temporal akan

merobek meninges, sehingga CSS akan keluar. Area drainase tidak boleh

dibersihkan, diirigasi atau dihisap, cukup diberi bantalan steril di bawah

hidung atau telinga.

5. Infeksi

I. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk pasien dengan

trauma kepala yaitu:

a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan

ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk

mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72

jam setelah injuri.

b. MRI

Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras

radioaktif.

38
c. Cerebral Angiography

Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan

jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

d. Serial EEG

Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.

e. X-Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan

struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.

f. BAER (Brain Auditory Evoked Respons)

Berfungsi untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak.

g. PET (Positron Emission Tomography)

Yaitu untuk menunjukkan perubahan aktivitas metabolisme

pada otak.

2. Pemeriksaan Laboratorium

1. AGD (PO2, pH, HCO3) untuk mengkaji keadekuatan ventilasi

(mempertahankan AGD dalam rentang normal untuk menjamin

aliran darah serebral adekuat) atau untuk melihat masalah oksigenasi

yang dapat meningkatkan TIK.

2. Elektrolit serum. Cedera kepala dapat dihubungkan dengan

gangguan regulasi natrium, retensi Na berakhir dapat beberapa hari,

diikuti dengan diuresis Na, peningkatan letargi, konfusi, dan kejang

akibat ketidakseimbangan elektrolit.

39
3. Hematologi untuk memeriksa leukosit, Hb, albumin, Globulin,

protein serum.

4. CSS untuk menentukan kemungkinan adanya perdarahan

subarakhnoid (warna, komposisi, tekanan).

5. Pemeriksaan toksikologi untuk mendeteksi obat yang mengakibatkan

penurunan kesadaran.

6. Kadar antikonvulsan darah untuk mengetahui tingkat terapi yang

cukup efektif mengatasi kejang

J. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan Keperawatan

a. Pertahankan fungsi ABC

b. Observasi status neurologis

c. Observasi 24 jam

d. Tinggikan posisi kepala

pasien 30° untuk menurunkan TIK

e. Jaga kebutuhan nutrisi pasien

agar tetap terpenuhi

f. Jika pasien muntah, puasakan

terlebih dahulu

g. Ajarkan teknik relaksasi

napas dalam untuk mengurangi nyeri

h. Awasi kemungkinan

munculnya kejang

40
2. Penatalaksanaan Medis

a. Cairan IV

Cairan intravena harus diberikan sesuai kebutuhan untuk

resusitasi dan mempertahanakan normovolemia. Keadaan

hipovolemia pada pasien sangatlah berbahaya. Namun, perlu juga

diperhatikan untuk tidak memberikan cairan berlebihan. Jangan

diberikan cairan hipotonik. Juga, penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang

berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang

dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan Ringer Laktat atau garam

fisiologis. Kadar natrium serum perlu dimonitor pada pasien dengan

cedera kepala. Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan

endema otak sehingga harus dicegah.

b. Antibiotik

Dapat diberikan terutama untuk cedera kepala terbuka,

pemasangan monitor TIK, atau infeksi pada sistem tubuh lainnya.

c. Obat antikejang

(misal : fenitoin, dan karbamazepin)

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% pasien yang dirawat di

RS dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat.

Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi: (1) Kejang

awal yang terjadi dalam minggu pertama, (2) Perdarahan

Intrakranial, atau (3) Fraktur depresi. Penelitian tersamar ganda /

41
double blind menunjukkan bahwa fenitoin sebagai profilaksis

bermanfaat untuk menurunkan angka insidensi kejang dalam minggu

pertama cedera namun tidak setelahnya. Fenitoin atau fosfenitoin

adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Untuk dewasa dosis

awalnya adalah 1 g yang diberikan secara intravena dengan

kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit. Dosis

pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai

kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang berkepanjangan,

diazepam atau lorazepam digunakan sebagai tambahan selain

fenitoin sampai kejang berhenti. Untuk mengatasi kejang yang terus

menerus kadang memerlukan anestesi umum. Sangat jelas bahwa

kejang harus dihentikan dengan segera karena kejang yang

berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat menyebabkan cedera

otak..

d. Antipiretik

Adalah golongan obat untuk demam. Saat terjadi infeksi, otak

kita akan menaikkan standar suhu tubuh diatas nilai normal sehingga

tubuh menjadi demam. Terdapat banyak jenis obat antipiretik

diantaranya adalah obat – obatan antiradang nonsteroid (ibuprofen,

ketoprofen, nimesulide), aspirin, paracetamol, metimazol.

e. Barbiturat

Barbiturat dosis tinggi (pentobarbital atau tiopental) akan

menginduksi koma, menurnkan TIK, dan mengurangi angka

42
kematian pada klien dengan TIK yang tidak terkendali yang tahan

terhadap semua tindakan medis dan bedah lainnya. Pada awalnya

diberikan 10 mg/kgBB dalam 30 menit, kemudian dilanjutkan

dengan bolus 5 mg/kgBB setiap jamserta drip 1mg/kg BB/jam untuk

mencapai kadar serum 3 – 4 mg%.

f. Glukokortikoid

(dexamethazone)

Berfungsi untuk mengurangi demam. Obat ini diberikan 10 mg

untuk dosis awal, pada hari ke 2 – 3 diberikan 5 mg/8 jam, hari ke 4

diberikan 5 mg/12 jam, dan pada hari ke 5 diberikan 5 mg/24 jam.

g. Diuretic osmotic

(manitol)

Manitol digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial

(TIK) yang meningkat. Sediaan yang tersedia cairan manitol dengan

konsentrasi 20% (20 gram setiap 100 ml larutan). Dosis yang

diberikan 0.25 – 1 g/kg BB diberikan secara bolus intravena. Manitol

jangan diberikan pada pasien yang hipotensi, karena manitol tidak

mengurangi tekanan intrakranial pada kondisi hipovolemik dan

manitol merupakan diuretic osmotic yang potensial. Adanya

perburukan neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil,

hemiparesis maupun kehilangan kesadaran saat pasien dalam

observasi merupakan indikasi kuat untuk diberikan manitol. Pada

keadaan tersebut pemberian bolus manitol (1 g/kgBB) harus

43
diberikan secara cepat (dalam waktu lebih dari 5 menit) dan pasien

segera di bawa ke CT scan ataupun langsung ke kamar operasi bila

lesi penyebabnya sudah diketahui.

h. Obat paralitik

(pancuronium)

Digunakan jika klien dengan ventilasi mekanik untuk

mengontrol kegelisahan atau agitasi yang dapat meningkatkan resiko

peningkatan TIK.

i. THAM (Tris –

Hidroksi – metil – aminometana)

Adalah suatu buffer yang dapat masuk kedalam susunan saraf

pusat dan secara teoritis lebih superior daripada natrium bikarbonat

dan dalam hal ini diharapkan dapat mengurangi TIK.

K. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut Dewanto et al. (2009) dalam pemeriksaan pada trauma

kepala dapat dilakukan primary dan secondary survei. Survei primer

mengkaji ABCDE (airway, breathing, circulation, disability, exposure),

dan survei sekunder terdiri dari observasi ketat penting pada jam-jam

pertama sejak kejadian cedera.

a. Survei Primer

1) Airway

44
Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi

netral menggunakan stiffneck collar, head block, dan diikat pada

alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal.

Pastikan penanganan jalan nafas dengan teknik kontrol

servikal sehingga dapat memudahkan oksigen masuk ke paru-

paru. Lakukan posisi head up <30 derajat untuk mempermudah

aliran masuk daln keluar darah ke otak. Pada pasien dengan

GCS < 8 maka harus segera dipasang ETT.

2) Breathing

Pastikan asupan oksigen adekuat dengan mempertahankan

saturasai 95 – 100 %. Lihat perkembangan data apakah simestris

atau tidak, deviasi trakea, suara nafas tambahan, distensi vena

jugularis. Berikan oksigen dengan konsentrasi tinggi melalui

SMRM ataupun SMNRM. Apabila pasien dilakukan

pemasangan ETT maka di anjurkan memakai ventilator

mekanik.

3) Circulation

Kaji tekanan darah pasien, frekuensi nadi, suhu, dan

adanya ciri-ciri perdarahan. Pasang IV line 2 jarum besar. Pada

kasus peningkatan tekanan intrakranial, frekuensi nadi dan

pernapasan menurun, sedangkan tekanan darah dan suhu

meningkat.

4) Disability

45
Ada tidaknya penurunan kesadaran, kehilangan sensasi

dan refleks, pupil anisokor dan nilai GCS. Menurut Arif

Mansjoer. Et all. 2000 penilaian GCS beerdasarkan pada tingkat

keparahan cidera :

a) Cidera kepala ringan/minor (kelompok resiko rendah)

i) Skor skala koma Glasglow 15 (sadar penuh,atentif,dan

orientatif)

ii) Tidak ada kehilangan kesadaran(misalnya konkusi)

iii) Tidak ada intoksikasi alkohaolatau obat terlarang

iv) Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing

v) Pasien dapat menderita abrasi,laserasi,atau hematoma

kulit kepala

vi) Tidak adanya kriteria cedera sedang-berat.

b) Cidera kepala sedang (kelompok resiko sedang)

i) Skor skala koma glasgow 9-14 (konfusi, letargi atau

stupor)

ii) Konkusi

iii) Amnesia pasca trauma

iv) Muntah

v) Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda battle, mata

rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan

serebrospinal).

c) Cidera kepala berat (kelompok resiko berat)

46
i) Skor skala koma glasglow 3-8 (koma)

ii) Penurunan derajat kesadaran secara progresif

iii) Tanda neurologis fokal

iv) Cidera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi

kranium.

5) Exposure

Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka

dapat terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan

hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas.

Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut

hangat, maupun pemberian cairan intravena  (yang telah

dihangatkans ampai 390C) (Dewanto et al.2009).

b. Survei Sekunder

1) Keluhan utama

Pada pasien trauma kepala biasanya terjadi penurunan

kesadaran setelah mengalami trauma, selain itu terjadi pula

konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah

simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret

pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan

kejang.

2) Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang

berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem

47
sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga

terutama yang mempunyai penyakit menular.

Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau

keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti

karena dapat mempengaruhi prognosa klien.

3) Pemeriksaan fisik (B1-B6)

Breathing (B1)

Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan

irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,

kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne

Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,

wheezing (kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi

peningkatan produksi sputum pada jalan napas.

Blood (B2)

Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan

darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan

meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung

yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,

merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan

frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan

bradikardia, disritmia).

Brain (B3)

48
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk

manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.

Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,

vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada

ekstrimitas. Pemeriksaan fokus pada B3 meliputi:

a) Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma

Scale (GCS)

NO KOMPONEN NILAI HASIL


1 VERBAL 1 Tidak berespon
2 Suara tidak dapat dimengerti,
rintihan
3 Bicara kacau/kata-kata tidak
tepat/tidak nyambung dengan
pertanyaan
4 Bicara membingungkan, jawaban
tidak tepat
5 Orientasi baik
2 MOTORIK 1 Tidak berespon
2 Ekstensi abnormal
3 Fleksi abnormal
4 Menarik area nyeri
5 Melokalisasi nyeri
6 Dengan perintah
3 Reaksi 1 Tidak berespon
membuka mata
2 Rangsang nyeri
(EYE)
3 Dengan perintah (rangsang
suara/sentuh)
4 Spontan

49
b) Fungsi motorik

Setiap  ekstremitas  diperiksa dan dinilai dengan skala

berikut yang digunakan  secara internasional :

RESPON SKALA
Kekuatan normal 5
Kelemahan sedang 4
Kelemahan berat (antigravity) 3
Kelemahan berat (not antigravity) 2
Gerakan trace 1
Tak ada gerakan 0

c) Pemeriksaan Nervus:

i. Nervus I (Olfaktorius) : memperlihatkan gejala

penurunan daya penciuman dan anosmia bilateral.

ii. Nervus II (Optikus), pada trauma frontalis :

memperlihatkan gejala berupa penurunan gejala

penglihatan.

iii. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis)

dan Nervus VI (Abducens) : kerusakannya akan

menyebabkan penurunan lapang pandang, refleks

cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata

tidak dapat mengikuti perintah, anisokor.

50
iv. Nervus V (Trigeminus) : gangguannya ditandai

dengan adanya anestesi daerah dahi.

v. Nervus VII (Fasialis) : pada trauma kapitis yang

mengenai neuron motorik atas unilateral dapat

menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan

nasolabial, melemahnya penutupan kelopak mata dan

hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah anterior lidah.

vi. Nervus VIII (Akustikus) : pada pasien sadar gejalanya

berupa menurunnya daya pendengaran dan

kesimbangan tubuh.

vii. Nervus IX (Glosofaringeus), Nervus X (Vagus), dan

Nervus XI (Assesorius) : gejala jarang ditemukan

karena penderita akan meninggal apabila trauma

mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping

(cekungan) karena kompresi pada nervus vagus, yang

menyebabkan kompresi spasmodik dan diafragma.

Hal ini terjadi karena kompresi batang otak.

Cekungan yang terjadi, biasanya yang berisiko

peningkatan tekanan intrakranial.

viii. Nervus XII (hipoglosus) : gejala yang biasa timbul,

adalah jatuhnya lidah kesalah satu sisi, disfagia dan

disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan

menelan.

51
Blader (B4)

Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,

inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.

Bowel (B5)

Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah,

mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami

perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan

terganggunya proses eliminasi alvi.

Bone (B6)

Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,

paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur

karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau

ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi

karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak

dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi

penurunan tonus otot.

6) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan CT-Scan, MRI,

EEG, X-Ray, pemeriksaan AGD, elektrolit serum, CSS dsb.

2. Diagnosa Keperawatan

52
a. Pola napas tidak efektif b.d kerusakan pusat

pernapasan di medula oblongata (D.0005)

b. Risiko perfusi jaringan serebral tidak

efekttif d.d cedera kepala (D.0017)

c. Nyeri akut b.d peningkatan TIK.(D.0077)

d. Ganguan mobilitas fisik b.d (D.0054)

e. Resti cedera d.d perubahan orientasi afektif

(D.0136)

f. Resti infeksi b.d kontinuitas yang rusak

(D.0142)

g. Resiko defisit nutrisi b.d (D.0032)

53
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
Keperawatan
SLKI SIKI
SDKI
1. (D.0005) Pola Napas Pola Napas (L.01004) Pemantauan Respirasi (I.01014)
Tidak Efektif
Observasi:
Tujuan: Setelah dilakukan  Monitor pola nafas, monitor
Pengertian : Inspirasi tindakan keperawatan 3x24 saturasi oksigen
dan/atau ekspirisasi jam inspirasi dan atau ekspirasi
yang tidak yang tidak memberikan  Monitor frekuensi, irama,
memberikan ventilasi ventilasi adekuat membaik. kedalaman dan upaya napas
adekuat  Monitor adanya sumbatan jalan
nafas
Kriteria Hasil : Terapeutik
1. Dispnea menurun  Atur Interval pemantauan
respirasi sesuai kondisi pasien
2. Penggunaan otot bantu
napas menurun Edukasi
3. Frekuensi napas membaik  Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
4. Kedalaman napas membaik
 Informasikan hasil pemantauan,
jika perlu
Terapi Oksigen
Observasi:
 Monitor kecepatan aliran oksigen
 Monitor posisi alat terapi oksigen
 Monitor tanda-tanda
hipoventilasi
 Monitor integritas mukosa
hidung akibat pemasangan
oksigen
Terapeutik:
 Bersihkan sekret pada mulut,
hidung dan trakea, jika perlu
 Pertahankan kepatenan jalan
napas
 Berikan oksigen jika perlu
Edukasi
 Ajarkan keluarga cara
menggunakan O2 di rumah
Kolaborasi
 Kolaborasi penentuan dosis
oksigen
3. (D.0017) Risiko Perfusi Serebral (L.02014) Manajemen Peningkatan TIK
Perfusi Serebral (I.06194)

54
Tidak Efektif Observasi
Tujuan : Setelah dilakukan  Identifikasi penyebab peningkatan
tindakan keperawatan 1x8 jam TIK
Pengertian : Berisiko diharapkan tidak terjadi risiko  Monitor tanda atau gejala
mengalami penurunan perfusi serebral tidak efektif. peningkatan TIK
sirkulasi darah ke otak  Monitor MAP
Terapeutik
Kriteria Hasil :
 Berikan posisi semi fowler
1. Tekanan Intrakranial  Hindari pemberian cairan IV
menurun hipotonik
2. Sakit kepala menurun  Cegah terjadinya kejang
3. Kecemasan menurun
4. Gelisah menurun Kolaborasi
 Kolaborasi dalam pemberian sedasi
dan anti konvulsan, jika perlu
 Kolaborasi pemberian diuretik
osmosis, jika perlu
5. (D.0077) Nyeri Akut Tingkat Nyeri (L.08066) : Manajemen Nyeri (I.08238)
Observasi:
Pengertian : Tujuan: Setelah dilakukan  Identifikasi lokasi, karakteristik,
Pengalaman sensorik tindakan keperawatan 3x24 durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
atau emosional yang jam diharapkan tingkat nyeri nyeri
berkaitan dengan menurun
kerusakan jaringan  Identifikasi skala nyeri
aktual atau fungsional,  Identifikasi respons nyeri non
dengan onset verbal
mendadak atau lambat Kriteria Hasil :
dan berintensitas  Identifikasi faktor yang
ringan hingga berat 1. Frekuensi nadi membaik memperberat dan memperingan
yang berlangsung 2. Pola napass membaik nyeri
kurang dari 3 bulan.
3. Keluhan nyerei menurun  Identifikasi pengetahuan dan
keyakinan tentang nyeri
4. Meringis menurun
 Identifikasi pengaruh nyeri pada
5. Gelisah menurun kualitas hidup
 Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapeutik:
 Berikan teknik nonfarmakologi
untuk mengurangi rasa nyeri
 Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
 Fasilitasi istirahat dan tidur
 Pertimbangkan jenis dan sumber
nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
 Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri

55
 Jelaskan strategi meredakan nyeri
 Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
6. (D.0054) Gangguan Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan mobilisasi (I.05173)
Mobilitas Fisik

Tujuan : Setelah dilakukan Observasi:


Pengertian : tindakan keperawatan 3x24
Keterbatasan dalam jam diharapkan mobilitas fisik  Identifikasi adanya nyeri atau
gerakan fisik dari suatu meningkat keluhan fisik lainnya
atau lebih ekstremitas
secara mandiri  Identifikasi toleransi fisik
melakukan pergerakan
Kriteria Hasil :
 Monitor frekuensi jantung dan
1. Pergerakan ekstremitas tekanan darah sebelum memulai
cukup meningkat mobilisasi
2. kekuatan otot meningkat  Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
3. Nyeri menurun
Terapeutik:
4. Gerakan terbatas menurun
 Fasilitasi aktivitas mobilisasi
5. Kelemhana fisik menurun dengan alat bantu
 Fasilitasi melakukan pergerakan,
jika perlu
 Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur
mobilisasi
 Anjurkan melakukan mobilisasi
dini
 Ajarkan mobilisasi sederhana yang
harus dilakukan (mis. Duduk di
tempat tidur)
7. (D.0136) Risiko Tingkat Cedera (L.14136) Manajemen Keselamatan Lingkungan
Cedera (I.14513)

Tujuan : Setelah dilakukan


Pengertian : Berisiko tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
mengalami bahaya jamkeparahan dan cedera yang
atau kerusakan fisik diamati atau dilaporkan  Identifikasi kebutuhan
yanng menyebabkan menurun. keselamatan
seseorang tidak lagi
sepenuhnya sehata  Monitor perubahan status
atau dalam kondisi keselamatan lingkungan
baik Kriteria Hasil :
Terapeutik:

56
1. Kejadian cedera menurun  Hilangkan bahaya keselamatan,
Jika memungkinkan
2. Luka/lecet menurun
 Modifikasi lingkungan untuk
3. Pendarahan menurun meminimalkan risiko
 Sediakan alat bantu kemanan
linkungan (mis. Pegangan tangan)
 Gunakan perangkat pelindung
(mis. Rel samping, pintu terkunci,
pagar)
Edukasi
 Ajarkan individu, keluarga dan
kelompok risiko tinggi bahaya
lingkungan
Pencegahan Cidera
Observasi:
 Identifikasi obat yang berpotensi
menyebabkan cidera
 Identifikasi kesesuaian alas kaki
atau stoking elastis pada ekstremitas
bawah
Terapeutik:
 Sediakan pencahayaan yang
memadai
 Sosialisasikan pasien dan
keluarga dengan lingkungan rawat
inap
 Sediakan alas kaki antislip
 Sediakan urinal atau urinal untk
eliminasi di dekat tempat tidur, Jika
perlu
 Pastikan barang-barang pribadi
mudah dijangkau
 Tingkatkan frekuensi observasi
dan pengawasan pasien, sesuai
kebutuhan
Edukasi
 Jelaskan alasan intervensi
pencegahan jatuh ke pasien dan
keluarga
Anjurkan berganti posisi secara perlahan
dan duduk beberapa menit sebelum
berdiri
8. (D.0142) Risiko Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan infeksi (I.14539)
Infeksi

Tujuan : Setelah dilakukan Observasi:

57
Pengertian : Berisiko tindakan keperawatan 3x24  Monitor tanda gejala infeksi
mengalami jam glukosa derajat infeksi lokal dan sistemik
peningkatan terserang menurun.
oganisme patogenik Terapeutik
 Batasi jumlah pengunjung
Kriteria Hasil :  Berikan perawatan kulit pada
1. Demam menurun daerah edema
2. Kemerahan menurun  Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien dan
3. Nyeri menurun lingkungan pasien
4. Bengkak menurun  Pertahankan teknik aseptik pada
pasien berisiko tinggi
5. Kadar sel darah putih
membaik Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara memeriksa luka
 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, Jika
perlu

58
4. Discharge Planning
a. Jelaskan tentang kondisi pasien yang

meemrlukan perawatan dan pengobatan

b. Ajarkan keluarga untuk mengenal

komplikasi termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya

berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara

c. Jelaskan tentang maksud dan tujuan

pengobatan efek samping dan reaksi dari pemberian obat

d. Ajarkan keluarga untuk menghindari

injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan

napas selama kejang

e. Jelaskan dan ajarkan bagaimana

memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah,

kebutuhan kebersihan personal, makan-minum dan latihan ROM bila

pasien mengalami gangguan fisik

f. Ajarkan bagaimana cara mencegah

injuri, seperti gangguan pengaman

g. Tekankan pentingnya kontrol ulang

sesuai dengan jadwal

h. Ajarkan pada keluarga bagaimana

mengurangi peningkatan tekanan intrakranial

59
L. Algoritma Penanganan

Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Ringan

Pasien

Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC)


IRD
Anamnesis, fisik diagnostik

Pemeriksaan radiologis, sesuai indikasi

Pemeriksaan labL DL dan GDA + Lab lain sesuai indikasi

Tx. Simtomatik + antibiotik sesuai indikasi


Infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam(anak <2 tahun: D5 0,25
Lapor jaga bedah saraf
NS

Puasa 6 jam
Operasi MRS di ruang
HCU - F Obat simptomatik IV atau supp

Observasi ketat sebagai pasien cedera otak


ICU - ROI
Catat keadaan vital dan neurologis bila akan dikirim ke
ruang perawatan

VS. Stabil Serah terima penderita serta informasi lengkap keadaan


Neurologis Stabil penderita

Cepat memburuk
R. Perawatan (LCU)

Resusitasi + Rediagnosis
KRS

ICU ROI - 1 Operasi

Indikasi CT Scan kepala pada Cedera Kepala Ringan :


1. Nilai GCS kurang dari 15 pada 2 jam setelah cedera.
2. Dicurigai adanya fraktur kalvaria.
3. Adanya tanda-tanda fraktur dasar tengkorak.
4. Muntah lebih dari 2 episode.
5. Usia lebih dari 65 tahun.
6. Amnesia lebih dari 30 menit.

60
7. Kejang.
8. Cedera tembus tengkorak.
9. Adanya defisit neurologis.
10. Mekanisme cedera yang berat.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur linear terbuka:


Diagnosa : Bila ada luka terbuka, eksplorasi luka sampai kalvaria sebelum luka
dijahit.
Penanganan :
1. Debridement lokal.
2. Tidak perlu fiksasi tulang.
3. Jahit luka primer.
4. Pasien di rawat inap. Observasi : Level kesadaran (GCS), bila GCS turun
berarti ada lucid interval, kemungkinan ada perdarahan Epidural, maka
pasien dirujuk ke rumah sakit rujukan dengan fasilitas bedah saraf.
5. Pasien dipulangkan bila kesadaran baik setelah beberapa hari rawatan
dengan penjelasan peringatan untuk pasien cedera kepala ringan yang
dipulangkan.

Penanganan cedera kepala ringan dengan fraktur basis kranii:


Diagnosa :
1. Rhinorhea, Brill hematoma, anosmia (Fraktur basis kranii anterior).
2. Otorhea, Battle sign (Retroaurikular hematoma), parese N VII/VIII.

Penanganan :
1. Fraktur basis bukan kasus mengancam jiwa (life threatening), bila GCS
memburuk, hal itu disebabkan faktor lain atau komplikasi.
2. Pasien di rawat inap, terapi non operatif.
a. Head up 30 derajat.
b. Diet : MB
c. Obat : antibiotik (kontroversi), analgetik.
d. Perawatan rhinorhea/otorhea : biarkan mengalir, jaga kebersihan.
Umumnya berhenti spontan dalam 3 – 5 hari.
3. Observasi :
a. Tanda vital.
b. GCS/pupil/motorik
c. Rhinorhea/Otorhea
d. Tanda-tanda infeksi
e. Defisit neurologis.

61
4. Rawat jalan, bila :
a. Tanda vital stabil.
b. GCS 15.
c. Rhinorhea/Otorhea berhenti.
d. Tanda-tanda infeksi (-).

Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Sedang


Stabilisasi airway, breathing dan circulation (ABC), pasang
collar brace
Pasien
Lapor jaga bedah saraf
IRD Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya

Pemeriksaan darah (DL, BGA, GDA)

Bila tensi stabil, infus 0,9 NS 1,5 ml/kgBB/jam

Anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Obat simptomatik IV atau supp

Bila telah stabil lakukan CT scan kepala, foto leher lat, thorax,
foto AP pemeriksaan radiologis lain atas indikasi

Pasang kateter, evaluasi produksi urin


Operatif ICU-ROI MRS di ruang HCU-F

Membaik Memburuk

Stabilisasi + Resusitasi
VS. Stabil
Neurologis Stabil
Rediagnosis cito

R. Perawatan (LCU)
ICU ROI - 1 Operasi

62
Resusitasi airway, breathing dan circulation

Bersihkan lendir, benda asing, jaw thrust bila perlu kepala tidak boleh
hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi, pasang orofaring atau nasofaring tube bila
Algoritma Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat
perlu. Bila ada sumbatan jalan napas akut dilakukan cricothyrotomi dan persiapan
intubasi atau tracheostomi
Pasien
Intubasi + kontrol ventilasi, pasang pipa lambung

IRD Pasang collar brace

Lihat gerakan napas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda


pneumothorax, hemothorax, flail chest atau fraktur costa

Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl atau koloid atau darah). Cari
penyebab, pertahankan tensi >90 mmHg

Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal ginjal dan atau
gagal jantung berikan manitol 20% 200 ml bolus dalam 20 menit atau 5 ml/kgBB,
dilanjutkan 2 ml/kgBB dalam 29 menit setiap 6 jam, jaga osmolalitas darah <320
mOsm
Lapor jaga bedah saraf Bila kejang: Diazepam 10 mg IV pelan, dapat ditambah hingga kejang berhenti.
Awasi depresi napas, dilanjutkan phenitoin bolus 10-18 mg/kgBB encerkan dengan
aqua steril 20 ml IV pelan, dilanjutkan 8 mg/kgBB

Bila telah stabil infus cairasn isotonis (NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam pertahankan
euvolume, pemasangan CVP atas indikasi

Pemeriksaan lab (DL, BGA, GDA, cross match)

Anamnesis pemakaian obat-obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi

Pemeriksaan fisik umum dan neurologis

Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi

Pasang kateter, catat keadaan dan produksi urin

Tanda vital stabil, lakukan CT scan kepala, foto leher lat, thorax fot AP

Pemeriksaan radiologis lain atas indikasi


Bila keadaan
Pemeriksaan fungsi
refleks vital telah
batang otak. stabil
Hati-hati pada pemeriksaan reflek oculocephalik
Operasi Catat ICP
keadaan terakhir sebelum dikirim ke <15
ruangan ICU atau <22 cm H2O pada
Pasang monitor, pertahankan tekanan mmHgg
pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada lesi intrakranial
Lakukan serah terima secara lengkap (keadaan penderita, obat-obatan yang
indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat operasi emergensi
diberikan dan rencana perawatan)

MRS di ICU-ROI R. HCU-F R. Perawatan (LCU)

63
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Trauma kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpangan

bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan

perlambatan (accelerasi–decelerasi) yang merupakan perubahan bentuk

dipengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan faktor dan

penurunan kecepatan, serata notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan

juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tingkat pencegahan

Dari pembahasan yang sudah dijelaskan, bisa disimpulkan bahwa

trauma kepala adalah trauma pada otak yang disebabkan adanya kekuatan

fisik dari luar yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesadaran.

Akibatnya dapat menyebabkan gangguan kognitif, gangguan tingkah laku,

atau fungsi emosional. Gangguan ini dapat bersifat sementara atau

permanen, menimbulkan kecacatan baik partial atau total dan juga

gangguan psikososial. Menurut etiologi cedera kepala adalah Kecelakaan,

jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil, kecelakaan

pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, cedera akibat kekerasan.

B. Saran

1. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan referensi tentang

64
trauma kepala, bagaimana penatalaksanaan dan terapi awal yang harus

diberikan.

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk

mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.

3. Bagi Mahasiswa

Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui manajemen

kegawatdaruratan trauma kepala sehingga dapat menerapkannya pada

praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

65
DAFTAR PUSTAKA

Ariani, T,A. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta: Salemba Medika.

Brunner and Suddarth. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Bulechek, M.G., Howard, K.B., Joanne, M.D. (eds). 2013. Nursing Interventions  

Classification (NIC). USA: Mosby Elsevier

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi ed.3. Jakarta : EGC.

David S, Stephen A M, Jennifer A F. Management of Elevated Intracranial

Pressure in Decision  Making in Neurocritical Care. Thieme. New York.

2009; 195-218.

Dewanto, George., Suwono, Wita. J., Riyanto, Budi., Turana, Yuda.

2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta:

ECG.

Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2014. NANDA International Nursing Diagnoses:

Definitions & Classification, 2015–2017. 10nded.  Oxford: Wiley Blackwell

Hernanta, Iyan. 2013. Ilmu Kedokteran Lengkap Tentang Neurosains.

Yogyakarta: D-Medika.

Hudak CM & Gallo BM, 2010, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi 6,

EGC, Jakarta.

Irwana, Olva. 2009. Cedera Kepala.Faculty Of Medicine.Article pdf.Universitas

Pekan Baru Riau

66
Moorhead, Sue. et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC).

5th ed. USA: Mosby.

Musliha.2010.Keperawatan Gawat Darurat.Yogyakarta:Nuha Medika

Muttaqin, Arif. 2012. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan

Sistem Persarafan. Jakarta:Salemba Medika, p.161.

New South Wales Health Government. 2012. Closed Head Injury in Adults-Initial

Management. 2nd Edition. NSW Health, p.8. Diakses pada

http://www0.health.nsw.gov.au/policies/pd/2012/pdf/PD2012_013.pdf

Satyanegara.2010. Ilmu Bedah Syaraf Edisi IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Andra dkk. 2013. KMB 2.Yogyakarta: Nuha Medika.

67

Anda mungkin juga menyukai