Anda di halaman 1dari 44

KEPERAWATAN KRITS

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA


KEPALA BERAT (TKB)

Dosen Pengampuh:

Ns. Hj. Zainar Kasim S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :

Julia Esterlin Manumpil NIM: 1801067/2018


Radina Buamona NIM: 1901091/2018
Aprilia Latif NIM: 1801092/2018
Selly Rosita Ansik NIM: 1801064/2018
Raudina Hudani Amali NIM: 1801028/2018

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) MUHAMMADIYAH


MANADO

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh


Segala puji saya haturkan kepada Allah SWT dan semoga hidayah dan inayah
selalu tercurahkan kepada saya sehinggah bisa menyelesaikan makalah ini.
Shalawat beserta salam kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa
umatnya dari alam yang tidak tahuan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Saya berterimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini. Semoga makalah yang saya susun ini dapat berguna bagi saya khususnya
dan pembaca pada umumnya.
Adapun dalam penyususnan makalah ini terdapat berbagai kesalahan baik
dalam penulisan atau penempatan kata serta dalam mendefinisikan isi makalah. Oleh
karana itu kritik dan saran dari para pembaca sangat penulis harapkan.
Wassalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Manado, 15 november 2021

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................1
B. Rumsan masalah...............................................................................................3
C. Tujuan...............................................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep dasar cedera kepala.............................................................................4
1. Pengertian cedera...............................................................................................6
2. Klasifikasi cedera kepala……………………………………………………....7
3. etiologi..............................................................................................................10
4. patifisiologi.......................................................................................................12
5. manifestasi klinik..............................................................................................14
6. penatalaksanaan................................................................................................15
7. komplikasi…………………………………………………………………….18
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS
A. pengkajian.......................................................................................................19
B. Diagnosa..........................................................................................................20
C. intervensi..........................................................................................................22
D. implementasi....................................................................................................23
E. evaluasi....................................................................................................…….24
BAB IV LAPORAN KASUS
A. pengkajian.......................................................................................................25
B. analisa data / daftar rumusan masalah..............................................................32
C. diagnosa............................................................................................................34
D. intervensi.........................................................................................................35
E. implementasi dan catatan perkembangan.........................................................40
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.......................................................................................................41
B. Saran.................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................43

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas merupakan masalah yang
harus mendapat perhatian serius di Indonesia, sebab angka kematian akibat
kecelakaan tiap tahun meningkat dan kebanyakan disebabkan karena adanya
cidera pada kepala. World Health Organization, (2015) menjelaskan bahwa
prevalensi kematian akibat kecelakaan lalu lintas di seluruh dunia sebesar 1,25
juta pada tahun 2013 di mana angka tersebut menetap sejak tahun 2007.
Prevalensi cedera hasil Riskesdas 2013 meningkat dibandingkan Riskesdas
2007, penyebab akibat kecelakaan sepeda motor 40,6 persen, terbanyak pada
laki-laki dan berusia 15-24 tahun. Proporsi cedera karena kecelakaan
transportasi darat (sepeda motor dan kendaraan lain) meningkat dari 25,9
persen (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008) menjadi 47,7
persen (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).
Ristanto, (2016) menambahkan bahwa cedera kepala merupakan salah
satu penyebab utama kematian dan kecacatan akibat trauma di banyak negara
berkembang. Kejadian cedera kepala di seluruh dunia pada tahun 2010 sekitar
2,5 juta orang, dan sudah mengakibatkan beban biaya ekonomi diperkirakan
hampir 76,5 miliar dollar Amerika, angka kejadian cedera kepala di Indonesia
sebesar 27% dari total cedera yang dialami akibat kecelakaan lalu
lintas,kejadian cedera otak berat di Indonesia antara 6 hingga 12% dari semua
kasus cedera otak dengan angka kematian berkisar antara 25% hingga 37%.
Dampak Trauma craniocerebral tersebut dapat mempengaruhi
gangguan autoregulasi volume intrakranial yang terdiri dari otak, cairan
serebrospinal dan darah dalam pembuluh darah. Hal ini menyebabkan
kerusakan otak baik irreversible maupun reversible, gangguan kesadaran,
bahkan bisa menyebabkan kematian. Martono, Sudiro, & Satino (2016)
menjelaskan bahwa untuk memperbaiki mikrosirkulasi, autometabolisme otak
dan mencegah penurunan kesadaran adalah dengan meningkatkan nilai kritis
Mean Arterial Pressure lebih dari 65 mmHg.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
menurunkan angka kematian cidera kepala akibat kecelakaan lalu lintas adalah

3
salah satunya melakukan asuhan keperawatan secara profesional. Perawat
sebagai ujung tombak pelayan kesehatan harus mampu memberikan pelayanan
keperawatan yaitu pelayanan professional yang didasarkan pada ilmu dan
metodologi keperawatan yang ditunjukkan pada pasien cedera kepala. Maka
dari itu seorang perawat harus mampu memberikan tindakan keperawatan
sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) dengan cara cepat dan
tepat yang ditunjukkan pada pasien sehingga tidak mengalami komplikasi
lebih lanjut.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dijelaskan bahwa cedera kepala
merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami gangguan pada
craniocerebral akibat kecelakaan lalu lintas dan sebagai perawat harus
memberikan asuhan keperawatan yang profesional sesuai dengan kebutuhan
klien dan standar keperawatan. Sehubungan dengan tingginya angka kematian
yang disebabkan karena cedera kepala khususnya CKB, maka penulis tertarik
mengambil kasus cedera kepala tersebut dan menjadikannya sebuah karya
tulis ilmiah.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk menjabarkan gambaran asuhan keperawatan pada klien cedera
kepala berat.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui konsep dasar cedera kepala.
b. Untuk mengetahui asuhan keperawatan teoritis pada klien cedera
kepala berat yang meliputi : pengkajian, diagnosa dan intervensi.

4
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Konsep Dasar Cedera Kepala


1. Pengertian Cedera Kepala
Doenges, Moorhouse, & Geissler (2000) menjelaskan bahwa cidera
kepala (terbuka dan tertutp) terdiri dari : fraktur tengkorak, komusio
(gegar) serebri, kontusio (memar)/laserasi, dan pendarahan serebral
(subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak). Trauma
primer terjadi karena benturan langsung atau tak langsung
(akselerasi/deselerasi ota). Traum otak sekunder merupakan akibat dari
trauma saraf (melalui akson) yang meluas, hipertensi intrakranial,
hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sitemik gangguan neurologis yang
diakibatkan direntang dari tidak jelas sampai status vegetatif sampai
menetap atau kematian. Karena itu setiap cidera kepala harus ditangani
dengan serius.
2. Klasifikasi Cedera Kepala
Nurarif (2015) menjelaskan bahwa berdasarkan petologi membagi cedera
kepala menjadi :
a. Cedera Kepala Primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan
gangguan integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut,
yang menyebabkan kematian sel.
b. Cedera Kepala Sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak
lebih lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan
tekanan intra kranial yang tidak terkendali, meliputi respon fisiologis
cedera otak, termasuk edema serebral, perubahan biokimia, dan
perubahan hemodinamik serebral, iskemia serebral, hipotensi sistemik,
dan infeksi lokal atau sistemik.
Menurut jenis cederanya dapat dibedakan menjadi :
a. Cedera Kepala Terbuka
Dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duameter. Trauma yang menembus tengkorak dan jaringan otak.
5
b. Cedera Kepala Tertutup
Dapat disamakan pada pasien gegar otak ringan dengan cedera
serebral yang luas.
Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glosglown Coma Scale)
dibedakan menjadi :
a. Cedera Kepala Ringan/ Minor
1) GCS 14-15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari 30
menit
3) Tidak ada fraktur tengkorak
4) Tidak ada kontusia serebral, hemotoma
b. Cedera Kepala Sedang
1) GCS 9-13
2) Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak
4) Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intrakranial
c. Cedera kepala berat
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
3) Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematoma
intrakranial
3. Etiologi
Nurarif (2015) menjelaskan ekanisme cedera kepala meliputi cedera
akselerasi, deselerasi, akselerasi-deselerasi, coup-countre coup, dan cedera
rotasional.
a. Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala yang
tidak bergerak (mis., alat pemukul menghantam kepala atau peluru
yang ditembakkan kekepala).
b. Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur obyek
diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika kepala
membentur kaca depan mobil.
c. Cedera Akselerasi-Deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
6
d. CederaCoup-Countre Coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang kranial dan dengan kuat
mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area kepala
yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien dipukul dibagian
belakang kepala.
e. Cedera Rotasional terjadi jika pukulan/ benturan menyebakkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan peregangan
atau robeknya neuron dalam substansia alba serta robeknya pembuluh
darah yang memfiksasi otak dengan bagian dalam rongga tengkorak.
4. Patofisiologi
Nursiswati (2006) menjelaskan bahwa secara patologi, cedera kepala dapat
dibagi menjadi dua tahapan yaitu cedera primer dan cedera sekunder.
a. Cedera Primer
Cedera primer terjadi pada saat terjadi cedera atau tumbukan,
karena tenaga kinetik ini meliputi akselerasi, deselerasi, akselerasi-
deselerasi, dan coup-countercoup. Akselerasi terjadi ketika objek
bergerak membentur kepala yang sedang dalam kondisi diam (statis).
Deselerasi terjadi saat kepala yang sedang bergerak membentur objek
statis (mis., tembok). Akselerasi-deselerasi terjadi dalam peristiwa
tabrakan kendaraan bermotor dalam kecepatan tinggi atau kendaraan
yang menabrak pejalan kaki.
Sedangkan coup-countercoup merupakan akibat dari pergerakan isi
intrakranial terhadap kranium. Cedera coup mengakibatkan kerusakan
pada daerah yang dekat dengan dengan area yang terbentur. Sedangkan
cidera coup-countercoupmenyebabkan kerusaka pada area yang
berlawanan dengan benturan. Kebanyakan kerusakan yang relatif
dekat daerah yang terbentur, sedangkan kerusakan cidera “kontra cup”
berlawanan pada sisi desakan benturan.
Cidera primer dapat dibagi menjadi kedalam cidera vokal dan
difus. Cidera vokal menyebabkan luka makroskopik seperti fraktur
tengkorak, laserasi, dan kontusio otak, perdarahanepidural, perdarahan
subdural, dan perdarahan intraserebral. Sedangka cidera difus
menyebabkan cidera mikroskopis seperti concussion dan diffuse
axsonal injury.
7
1) Fraktur tengkorak. Ini biasanya diukuti dengan laserasi scalp, yaitu
lapisan terluar pelindung otak yang sangat kaya dengan dengan
pembuluh darah, sehingga dapat menimbulkan perdarahan dalam
jumlah banyak. Keparahan fraktur tengkorak ini tergantung pada
lokasi dan kerysakan jaringan yang ada. Fraktur basilar di fosa
anterior dapat menimbulkan periorbital ekimosis (raccoon atau
panda eyes) dan rhinorrea (keluarnya darah atau cairan otak dari
hidung). Sedangkan fraktur basilar di fosa middle atau posterior
dapat menimbulkan memar diatas mastoid (battlesign) dan drainase
darah atau cairan otak melalui telinga (othurea).
2) Laserasi dan kontusio otak, biasanya ditemykan pada lobus frontal
dan temporal. Laserasi merupakan kondisi robeknyajaringan otak
yang dapat juga terjadi pada fraktur tengkorak depresi. Sedangkan
kontusio merupakan memarnya permukaan korteks otak. Pasien
dengan kondisi ini akan tampak gelisah, kehilangan ingatan
sementara, disfungsi motorik, gamgguan bicara, atau koma.
Pembedahan debridemen diperlukan jika tekanan intra kranial sulit
duikontrol dengan obat-obatan
3) Hematoma. Hematoma pada otak dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa, antaralain :
a) Hematoma epidural. Terejadi saat fraktur linear menembus
tulang temporal danmelukai arteri meningeal. Pasien
biasanya mengalmai perburukan secara cepat dan akhirnya
meninggal. Mortalitas dan morbiditasnya meningkat seiring
dengan kecepatan expansi hematyoma dari perdarahan arteri,
menimbulkan herniasi uncal dan tidak secara langsung
menciderai otak. Herniasi uncal adalah kondisi ketika uncus
(ujung anterior parahippocampal gyrus ) berbentuk kait dan
berada diatas permukaan basomedial lobus temporal
mengalami displasi akibat peninghkatan tekanan intrakranial
sehingga terjadi kerusakn otak dan batang otak secara
progresif. Herniasi uncal ini menekan saraf kranial III, otak
tengah, dan arteri serebral poterior, sehingga menimbulkan
koma dan gagal nafas.
8
Hematoma yang berada diantara dura dan kranium dapat
menekan dan menggeser otak. Penderita biasanya mengalami
perubahan piupil ipsilateral yang berkembang dari pupil
sluggish dan elliptical hingga terjadi dilatasi dan terfiksasi
pada salah satunya. Terdapat pula perubahan simultan
motorik kontralateral yang berkemb ang dari hemiparese
ringan, menjadi dekortikasi, deserebrasi, atau flaccid
paralysis. Penanganan yang cepat dapat membuat prognosis
nya menjadi baik.
b) Hematoma subdural. Ini merupakan penyebab mortalitas dan
morbiditas tertinggi kedua dalam cidera kepala hematoma ini
aslinya berasal dari perdarahan vena korteks atau vena
diantara permukaan otak dengan dura sehingga memiliki
progrisivitas yang lebih lambat dibandingkan dengan
hematoma epidural. Terdapat tiga jenis hematoma yaitu :
(1) Akut
Gejala tampak dalam 24-72 jam setelah cidera dan
biasanya membutuhkan pembedahan segera
(2) Sub-akut
Gejala muncul dalam 72 jam sampai 2 minggu pasca
cidera dan membutuhkan pemantauan ketat terhadap
tanda-tanda peningkatan intrakranial dan herniasi.
Pembedahan evakuasi bergantung dari konsistensi dan
ukuran bekuan yang ada.
(3) Kronis
Gejala muncul setelah lebih dari 2 minggu pasca cidera
perdarahan berjalan lambat dan lebih banyak ruangan
dalam otak yang terisi bekuan sebelum korban
mengalami gangguan neurologis. Angka mortalitas
berkisar dari 30-63%
c) Hematoma intraserebral. Area perdarahan pada hematoma
intraserebral emiliki batas yang tegas yaitu 2 cm atau lebih
kedalam perinkim otak. Hematoma ini menimbulkan defisit
neurologis fokal sesuai dengan lokasi otak yang terkena.
9
Operasi pengambilan bekuan darah dilakukan jika memiliki
batas tegas dan mudah dicapai. Angka mortalitasnya berkisar
antara 25-60%.
d) Diffuse axonal. Biasanya diakibatkan oleh tambrakan
kebndaraan bermotor dalam kecepatan tinggi sehingga terjadi
gesekan antara pernukaan subtansia grisea dan subtansia alba.
Hal ini menyebabkan robekan dan perlukaan axson bermielin
dalam substansia grisea hasil CT-scan sering menunjukan
gambaran normal atau terdapat tanda-tanda perdarahan pada
korpus kallosum, area periventrikular, atau batang otak.
Angka mobiditas dan mortalitasnya tinggi sesuai dengan
tingkat keparahan ringan sedang atau berat.
Cidera diffuse axson ringan mengalami hilang kesadaran
antara 6-24 jam. Sedangkan pada derajat sedang kondisi
koma memanjang dan angka mortalitas mencapai 20%
kondisi koma yang lebih panjang terjadi pada cidera berat
yang ditandai dengan disfungsi batang otak yang memicu
ketidak stabilan hemodinamik dan jantuk. Angka
mortalitasnya meningkat mencapai 60-70. Disfungsi
autonomik yang sering terjadi pasca cidera ini ditandai
dengan peninhktan tekanan intrakranial, dilatasi pupil,
diforesis, takikardia dan postur tubuh fleksi ekstensi
abnormal.
e) Perdarahan subarakhnoid. Perdarah pada ruang subarakhnoid
dan memicu vasospasme ini terjadi pada sekitas 25-40%
pasien dengan cidera otak akut. Pasien dengan perdarahan
subarakhnoid ini membutuhkan waktu perawatan diruang
intensif yang lebih lama. Vasospasme meningkat pada hari
ketiga hingga ketuju setelah perdarahan dan menyusut pada
hari ke sepuluh.
f) Konkusi serebral. Merupakan kondisi hilangnya kesadaran
sesaat, dan amnesia biasa berlangsung kurang dari 6 jam
dengan sedikit atau tanpa gejala neurologis sisa. Hasil CT-
scan menunjukan kondisi normal tanpa adanya lesi
10
makroskopik jaringan otak. Konkusi serbral sendiri
merupakan bentuk umum dari cidera kepala. Berdasarkan
berat ringannya gejala yang ditimbulkan, konkusi serebral
dapat dibedakan menjadi ringan dan klasik. Konkusi ringan
merupakan disfungsi neurologis sementara tanpa disertai
hilangnya kesadaran maupun ingatan. Sedangkan konkusi
klasik meliputi disfungsi neurologis sementara dan hilangnya
kesadaran serta daya ingat (amnesia).
Sebagian besar pasien akan sadar penuh dalam waktu 48
jam , tetapi biasanya masih menyisakan gejala sisa. Pada
beberapa kasus, cidera sekunder dapat terjadi akibat hipoksia
dan iskemia serebral. Hal ini akan memicu edema serebral
dan peningktan intrakranial.
Sebagian pasien mungkin akan mengalami sindrom
pascakonkusi yaitu gejala sisa pasca cidera kepla ringan.
Gejala yang dialami dapat berlangsung dengan beberapa
minggu hingga satu tahun. Sedangkan komplikasi yang dapat
terjadi adalah perdarahan intrakranial (subdural, parenkimal,
maupun epidural)

b. Cidera Sekunder
Kondisi yang terjadi pasca cidera otak akut ini merupakan
perubahan biofisik maupun biokimia yang mengganggu perfusi
sehingga dapat menimbulkan disfungsi neuronal sampai dengan
kematian. Jika penanganan sebelumnya berfokus pada peningkatan
tekanan intrakranial, pada kondisi saat ini berfokus pada peningkatan
perfusi yang adekuat.
Aliran darah serebral nornalnya dipertahankan pada kisaran 50-150
mmhg. Saat tekanan darah sistemik menurun, pembuluh darah serebral
berdilatasi. Sebaliknya saat tekanan darah sistemik meingkat,
pembuluh darah serebral mengalami faso konstriksi. Aliran darah ke
otak dikonrol oleh mekanisme auotoregulasi serebral. Kerusakan pada
sistem autoregulasi akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan yang
dilakukan.
11
Beberapa jam pasca cedera, aliran darah serebral menurun hingga
setengah dari jumlah normal yaitu 50 mL/100 gr otak/ menit/. Iskemia
terjadi saat aliran darah serebral turun dibawah 20 mL./100 mg otak/
menit, dan menimbulkan kematian sel jika telah mencapai 10-15
mL/100 mg otak/ menit.
Iskemia adalah konsekuensi sekunder dari perdarahan baik yang
spontan maupun traumatik. Mekanisme adanya iskemia karena adanya
tekanan pada pembuluh darah akibat ekstravasasi darah ke dalam
tengkorak yang volumenya tetap dan fasopasme reaktif pembuluh-
pembuluh darah yang terpendam di dalam ruang antara lapisan
araknoid dan piamater meningen. Biasanya perdarahan intraserebral
secara cepat menyebabkan kerusakan fungsi otak dan kehilangan
kesadaran.
Hipoksia dan iskemik juga memicu rantai respons kimiawi dan
proses neurotoksik. Kondisi ini meliputi regulasi chanel ion kalsium,
natrium, dan kalium. Pengeluaran exitotoxic asam amino, produksi
superoxide dan radikal bebas, perioksidasi lemak dan pengeluaran
mediator inflamasi. Hal itu semua menimbulkan kerusakan sel serebral
dan jika tidak tertangani, dapat menyebabkan kematian sel. Secara
umum, apabila aliran darah ke jaringan otak terputus selama 15-20
menit akan terjadi infark atau kematian jaringan.
5. Manifestasi Klinis
Nursiswati (2006) menjelaskan bahwa pada pemeriksaan klinis biasa
yang dipakai untuk menentukan cedera kepala menggunakan pemeriksaan
GCS yang dikelompokkan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat
seperti diatas.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya
fraktur. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur.
a. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CGS keluar dari telinga dan
hidung.
b. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah.
Kondisi cedera yang dapat terjadi antara lain :
a. Komosio serebri

12
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi
otak (pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
b. Kontisio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan >10 menit)
atau terdapat lesi neurologik yang jelas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dalam waktu beberapa jam atau hari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi. (Brain
Injury Association of Michigan)
c. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada kranium. (Brain Injury Association of Michigan)
d. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai
dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi
kiri dan kanan (hemiparese/ plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu
sisi). Gambaran CT Scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau
lentikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau >1 cm
middline shift > 5 mm dilakukan operasi untuk menghentikan
perdarahan.
e. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh
drah vena, perdarahan lambatv dan sedikit. Periode akut dapat terjadi
dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya
adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan
udem pupil dan secara klinis ditandai dengan penurunan kesadaran,
disertai adanya lateralisasi yang paling sering berupa hemiparese atau
plegi. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan gambaran hiperdens

13
yang berupa bulan sabit ( Cresent ). Idikasi operasi jika perdarahan
tebalnya > 1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah > 5mm.
f. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal didaerah subarachnoid. Gejala klinis nya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan
lesi hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri didaerah yang
berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif. (Misulis KE,HeadTC)
g. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan Intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada di dalam
jaringan otak. Pada pemeriksaan CT-Scan didapatkan lesi perdarahan
diantara neuron otak yang relatif normal. Indikasi dilakukan operasi
adanya daerah hiperdens, diameter > 3cm, perifer, adanya pergeseran
garis tengah.
h. Fraktur basis kranii (Misuliss KE,HeadTC)
Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid
dan sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatkan tulang
temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang spenoid. Tanda terdapat
fraktur basisi kranii antara lain :
1) Ekimosis Periorbital (Racoon’s eyes)
2) Ekomosis mastoid (battle’s sign)
3) Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(Rinore atau Otore)
4) Kelumpuhan nervus cranial
Pemeriksaan penunjang :
1) Foto polos tengkorak ( skull X-ray)
2) Angiografi Serebral
3) Pemeriksaan MRI
4) CT-Scan : indikasi CT-Scan nyeri kepala atau muntah-muntah,
penurunan GCS lebih satu point, adanya lateralisasi, bradikardi
( nadi kurang dari 60x/menit ), fraktur impresi dengan lateralisasi
14
yang tidak sesuai, tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan
luka tembus akibat bemda tajam atau peluru.

6. Penatalaksanaan
Nursiswati (2006) menjelaskan bahwa penatalaksanaan pada cidera kepala
yaitu :
a. Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-prinsip ABC (Airway-
Breating-Circulation). Keadaan hipoksemia, hipotensi, anemia, akan
cenderung memperhebat meninggian tekanan intra kranial dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk
b. Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama.
c. Pemeriksanaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan dibagian tubuh lainya.
d. Pemeriksaan neurologis mencakup respon mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, rwfleks, okulosefalik dan refleks okulofes tubuker.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah penderita
rendah.
e. Penanganan cedera-cedera dibagian lainya
f. Pemberian obat seperti : antiedemaserebri, anti kejang, dan natrium
bikarbonat
g. Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti : scan tomografi komputer
otak, angiografi serebral, lainya.
Indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera kepala ringan adalah :
a. Amnesia antegrade atau pascatrumatik
b. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampe
berat
c. Adanya riwayat penurunan kesadaran atau pingsan
d. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
e. Adanya fraktur tulang tengkorak
f. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis ( Ottore/rinorre )
g. Cedera berat bagian tubuh lain
h. Inidkasi social ( Tidak ada keluarga/pendamping dirumah )

15
Dari cedera kepala ringan dapat berlanjut menjadi sedang atau berat
denganncatatan bila adanya gejala-gejala seperti :
a. Mengantuk dan sukar dubangunkan
b. Mual, muntah dan pusing hebat
c. Salah satu pupil melebar atau ada tampilan gerakan mata yang tidak
biasa
d. Kelumpuhan anggota gerak salah satu sisi dan kejang
e. Nyeri kepala yang hebat atau bertambah hebat
f. Kacau/bingung ( Confuse ) tidak mampu berkonsentrasi, terjadi
perubahan personalitas
g. Gaduh, gelisah
h. Perubahan denyut nadi atau pola pernapasan
Kriteria sederhana sebagai patokan indikasi tindakan operasi adalah :
a. Lesi mata intra atau ekstra aksial yang menyebabkan pergeseran garis
tnegah ( pembuluh darah serebral antarial ) yang melebihi 5mm
b. Lesi mata ekstra aksial yang tebalnya melebihi 5mm dari tabula interna
tenggkorak dan berkaitan dengan pergeseran arteri serebri anterior atau
media
c. Lesi mata ekstra aksial bilateral dengan tebal 5mm dari tabula eksternal (
kecuali bila ada atrofi otak )
d. Lesi mata intra aksial lobus temporalis yang menyebabkan elefasi hebat
dari arteri serebri media atau menyebabkan pergeseran garis tengah.
7. Komplikasi
Doenges et al. (2000) menjelaskan bahwa komplikasi pada cedera kepala
antaralain :
a. Stroke/ Cedera serebrovaskular
Penyakit serebrovaskular menunjukan adanya beberapa
kelainan otak baik secara fungsional maupun struktural yang
bdisebabkan oleh keadaan patologis dari pembuluh darah serebral atau
dari seluruh sistem pembuluh darah otak. Patologis ini meyebabkan
perdarahan dari sebuah robekan yang terjadi pada dinding pembuluh
darah atau kerusakan sirkulasi serebral oleh oklusi parsial atau seluruh
lumen pembuluh darah dengan pengaruh yang bersifat sementara atau
permanen.
16
b. Sakit kepala
Sakit kepala merupakan pengalaman yang paling umum dari
semua rasa nyeri yang dialami oleh banyak orang. Baisanya
merupakan suatu gejala dari penyakit dan dapat terjadi dengan atau
tanpa adanya gangguan organik.
c. Aspek-aspek psikososial perawatan akut
Respon emosional dari pasien yang menjalani perawatan akut
adalah sesuatu yang sangat penting. Sehubungan antara pikiran –
tibuh- roh telah tersusun dengan baik ; sebagi contoh, bila terjadi
respon fisiologis secara bersamaan akan ada respon psikologis. Dan
juga terdapat kondisi-kondisi psikologis yang memiliki komponen
psikologis, misalnya ketidakseimbangan emosional dari sindrom
Cushing, terapi steroid atau iritabilitas dari hipoglikemnia.
Pertumbungan yang cepat dari bidang psikoneuroimunologi umumnya
secara reguler menyediakan informasi terbaru mengenai jaringan-
jaringan ini.
Meskipun stress dari penyakit dikenali dengan baik, efek-efeknya bagi
individu tidak dapat diperkirakan. Nilai pemberi perawatan dan pasien
atau orang terdekat, sensitivitas pada kultur yang berbeda, rintangan
bahasa (termasuk kesulitan mengenai apa yang dibicarakan orang
mengenai tubuhnya) mempengaruhi perawatan yang diharapkan dan
diterima pasien. Ini bukanlah suatu peristiwa, namun lebih sebagai
persepsi pasien terhadap kejadian tersebut yang menciptakan masalah,
dan kebutuhan yang tidak terpenuhi mengalihkaan sumber energi yang
diperlukan untuk penyembuhan.
d. Epilepsi
Kejang ( konvulsi) merupakan akibat dari pembebasan listrik
yang tidak terkontrol dari sel saraf korteks serebral yang ditandai
dengan serangan tiba-tiba, terjadi gangguan kesadaran ringan, aktivitas
motorik, dan / atau ganggaun fenomena sensori
Fase dari aktivitas kejang adalah fase prodromal, fase aura, iktal, dan
posiktal. Penyebab utama dari kejang ini dapat dibagi menjadi 6
kelompok besar yaitu : obat-obatan, ketidakseimbangan kimiawi,
demam, patologis otak, eklampsia, idiopatik.
17
e. Perdarahan esofagus/ Gastrointestinal Atas
Perdarahan luka duodenal adalah penyebab palin sering pada
perdarahan hebat gastrointestinal (GI) bagian atas, tetapi perdarahan
juga dapat terjadi karena luka gaster, gastritis dan varises esofagus.
Muntah berat dapat mencetuskan perdarahan gaster sehubungan
dengan robeknya mukosa pada pertemuan pada gastroesofageal
(sindrom Mallory-Weiss). Stres ulkus dapat terjadi pada penderita luka
bakar, trauma bedah mayor, atau penyakit sistemik. Esofagitis,
karsinoma esofagus atau gaster, hernia, hiatal, hemofilia, leukemia dan
KID umum sebagai penyebab pergarahan GI atas.

18
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
 Airway dan cervical control

Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi


pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda
asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur
larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin lift” atau
“jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus
diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau rotasi
dari leher.
 Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran
gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen
dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik
meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma.
 Circulation dan hemorrhage control
a. Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik
yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b. Kontrol Perdarahan
 Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil.
 Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
2. Pengkajian sekunder

1. Identitas : nama, usia, jenis kelamin, kebangsaan/suku, berat badan,


tinggi badan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, anggota

19
keluarga, agama.
2. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan
segera setelah kejadian.
3. Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia,
ataksia, cara berjalan tidak tegang.
4. Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi)
bradikardi, takikardi.
5. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan
impulsif.
6. Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
7. Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami
gangguan fungsi.

8. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,
sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.
Tanda dan gejala : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan
status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.
9. Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
10. Pernafasan

20
Tanda: Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh
hiperventilasi nafas berbunyi)
11. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang
gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis,
demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
12. Interaksi sosial
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara
berulang-ulang, disartria.

B. Diagnosa
Diagnosa keperwatan yang lazim muncul pada pasien dengan TKB adalah:
a. Resiko perfusi jaringan serebral b.d cedera kepala
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d adanya jalan nafas buatan d.d gelisah.
c. Defisit nutrisi b.d peningkatan kebutuhan metabolisme d.d parkinson
C. Intervensi

n Diagnose SLKI SIKI


o
1. Resiko perfusi Setelah dilakukan Observasi :
jaringan intervensi keperawatan • Identifikasi
serebral b.d selama 1x24 jam maka penyebab peningkatan
cedera kepala resiko perfusi jaringan TIK
serebral membaik dengan • Monitor
kriteria hasil : tanda/gejala
1. Tingkat kesadaran peningkatan TIK
meningkat • Monitor status
2. Sakit kepala pernapasan
menurun Gelisah • Monitor intake
menurun dan output cairan
Teraupetik :
• Minimalkan

21
stimulus dengan
menyediakan
lingkungan yang tenang
• Berikan posisi
semi fowler
• Pertahankan
suhu tubuh normal
Kolaborasi :
• Kolaborasi
pemberian sedasi dan
anti konvulsan jika
perlu
• Kolaborasi
pemberian diuretic
osmosis jika perlu
2. Bersihan jalan Setelah dilakukan Observasi :
nafas tidak intervensi keperawatan • Identifikasi
efektif b.d selama 1x24 jam maka kemampuan batuk
adanya jalan bersihan jalan nafas • Monitor adanya
nafas buatan membaik dengan kriteria retensi sputum
d.d gelisah. hasil : • Monitor input
1.Batuk efektif meningkat dan output cairan
2. Sulit bicara menurun Teraupetik :
3. Gelisah menurun • Atur posisi semi
fowler
• Pasang perlak
dan bengkok di
pangkuan pasien
Edukasi :
• Jelaskan tujuan
dan prosedur batuk
efektif
• Anjurkan tarik
nafas dalam melalui

22
hidung selama 4 detik
• Anjurkan
mengulangi Tarik napas
dalam hingga 3 kali
Kolaborasi :
• Kolaborasi
pemberian mukolitik
atau ekspetoran, jika
perlu

3 Defisit nutrisi Setelah dilakukan Observasi :


b.d peningkatan intervensi keperawatan
kebutuhan selama 1x24 jam maka
metabolisme defisit nutrisi membaik • Identifikasi
d.d parkinson dengan kriteria hasil : status nutrisi
1. Porsi makanan yang • Identifikasi
dihabiskan meningkat makanan yang disukai
Berat badan indeks massa • Monitor asupan
tubuh meningkat makanan

• Monitor berat
badan

Teraupetik :

• Lakukan oral
hygiene sebelum
makan, jika perlu

• Berikan
suplemen makanan, jika
perlu

Edukasi :

• Anjukan posisi
duduk

• Ajarkan diet
yang diprogramkan

Kolaborasi :

23
Kolaborasi pemberian
Medikasi sebelum
makan

D. Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan keperawatan
mandiri merupakan tindakan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan
bukan atas petunjuk tenaga kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi
adalah tindakan keperawatan berdasarkan hasil keputusan bersama dengan dokter
atau tenaga kesehatan lainnya (Mitayani,2010). Implementasi keperawatan pada
studi kasus ini.

E. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah hasil perkembangan berdasarkan tujuan
keperawatan yang hendak dicapai sebelumnya (Mitayani, 2010). Evaluasi yang
digunakan mencakup dua bagian yaitu evalusi formatif yang disebut juga
evaluasi proses dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan
terus menerus terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi
keperawatan pada studi kasus ini disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil
yang telah disusun berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas.

24
BAB IV
LAPORAN KASUS

A. Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas pasien
Nama : Tn.J
Tanggal masuk rumah sakit : 19-6-2018 Tanggal pengkajian :
22-6-2018
No Register pasien :511248
Ruangan perawatan : Intensif Care Unit RSUD Bahteramas
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 16 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Siswa
Status pernikahan : Belum menikah
Diagnose medis : Trauma capitis berat
Alamat : Bombana
b. Identitas penanggung jawab
Nama : Tn. B
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki

Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan pasien : Ayah pasien
Alamat : Bombana

2. Riwayat kesehatan sekarang


1. Keluhan utama : pasien datang dengan penurunan kesadaran
2. Riwayat keluhan utama: pasien dengan riwayat kecelakaan lalulintas
pada tanggal 19-6-2018 jam 10.30 Wita
3. Upaya yang telah dilakukan : pasien dirujuk ke IGD RSUD

25
Bahteramas pada hari yang sama jam 13.30 Wita
4. Terapi/ operasi yang sudah dilakukan : telah dilakukan pemasangan
IVFD 2 jalur, pembidaian pada area fraktur, CT-Scan kepala dan
pemeriksaan darah rutin di IGD RSUD Bahteramas.

3. Riwayat kesehatan masa lalu


1. Penyakit berat yang pernah diderita : tidak ada
2. Pernah dirawat di RS : tidak pernah
3. Pernah operasi : tidak pernah
4. Obat – obatan yang pernah dikonsumsi : tidak ada
5. Alergi : tidak ada
6. Kebiasaan merokok/ alkohol/ lainnya : tidak ada
7. BB sebelum sakit : 38 kg

4. Riwayat kesehatan keluarga


Keluarga pasien mengatakan di keluarga ada riwayat penyakit
hipertensi yaitu kakek pasien. Keluarga juga mengatakan ada riwayat
diabetes mellitus dikeluarga. Tidak ada riwayat penyakit menular seperti
TBC.
Genogram :

38

16

26
Keterangan :

: laki- laki : pasien

: perempuan : menikah

: meninggal : tinggal serumah

1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien lemah dan terdapat penurunan kesadaran
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien semi koma GCS E1V1M3 nilai 5
c. Tanda – tanda vital
TD : 100/ 70 mmHg
HR : 91/ menit
RR : 17 x/ menit
S : 37,5 oC
SpO2 : 90 %
d. Kepala dan leher
1. Kepala
Bentuk menshocephal, terdapat luka terbuka di os temporal sinistra
sepanjang 10 cm, tanda hitam belakang telinga (bathel sign) di bagian
sinistra.
2. Penglihatan
Mata simetris,sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, raccoon eyes
di mata sinistra, pupil anisokor 2/4, reaksi cahaya ++/--.
3. Pendengaran
Bentuk simetris, terdapat cairan darah dari telinga sinistra

27
4. Hidung
Bentuk simetris, tidak ada secret, tidak ada sinusitis, tidak ada darah,
pernafasan cuping hidung positif
5. Tenggorokan dan mulut

Terpasang ventilator dan endo tracheal tube, bibir lembab, gigi ada yang
tanggal, tidak ada stomatitis, tidak ada tonsillitis.
6. Leher
Tidak ada pembengkakan kelenjar, tidak ada peningkatan JVP.

e. Pernapasan
1. Inspeksi
Terpasang ventilator, Bentuk dada simetris, tidak ada lesi maupun jejas
Frekuensi nafas 17 x/menit, Tidak nampak retraksi dinding dada
Pernafasan cuping hidung positif Payudara dan putting normal
2. Palpasi
Vokal fremitus teraba di ICS 4 Tidak teraba massa Tidak ada
pengembangan dada abnormal
3. Perkusi
Cairan : tidak ada dullnes

Udara : sonor
4. Auskultasi
Suara nafas vesikuler, terdapat suara tambahan stridor Tidak ada krepitasi,
tidak ada wheezing

f. Kardiovaskuler
1. Inspeksi
Tidak ada edema ekstremitas, tidak ada edema palpebra, tidak ada asites
2. Palpasi
Ictus cordis teraba di ICS 4
3. Perkusi
Pekak, tidak ada perbesaran jantung
4. Auskultasi
BJ 1 dan BJ 2 : normal

28
Lainnya: akral dingin, CRT < 3 detik
g. Pencernaan
1. Inspeksi
Turgor kulit elastis, bibir lembab,Rongga mulut normal, tidak ada
stomatitis, Abdomen tidak nampak jejas maupun massa, tidak nampak
pembuluh kapiler.
2. Auskultasi
Bising usus 12 x/ menit Bunyi vaskuler tidak ada Bunyi peristaltic usus
normal
3. Perkusi
Tympani
4. Palpasi

Tidak teraba massa


h. Eksremitas
1. Eksremitas atas
Tidak ada deformitas
2. Eksremitas bawah
Tidak terdapat deformitas di bagian sinistra, terdapat fraktur di os femur
sinistra
3. Kulit
Bersih, warna kulit sawo matang, akral dingin, turgor kulit baik.
i. Genetalia
Normal, bersih, terpasang kateter urine

2. Activity daily living


a. Nutrisi
1. Sebelum dirawat
Pasien makan 3x sehari dengan lauk pauk habis satu porsi
2. Setelah dirawat
Pasien terpasang NGT dan masih dialirkan
b. Eliminasi
1. Bab
 Sebelum di rawat

29
Pasien BAB 1x sehari, konsistensi lembek, tidak ada darah
 Setelah dirawat
Pasien belum BAB
2. Bak
 Sebelum dirawat
Pasien biasa BAK 5-6 kali sehari, warna kekuningan, tidak
bercampur darah.
 Setelah dirawat
Pasien terpasang katetern urine, warna urin kekuningan, tidak
bercampur darah. Urin output 200-300 ml/ 7 jam
c. Olahraga dan aktivitas
Pasien tidak pernah berolahraga Pasien hanya beraktivitas di rumah dan di
sekolah.
d. Istirahat dan tidur
1. Sebelum sakit
Pasien biasa tidur 8 jam sehari, tidak sering terbangun
2. Setelah sakit
Pasien mengalami penurunan kesadaran
e. Personal higyene
Pasien biasa mandi 2 x sehari menggunakan sabun, gosok gigi menggunakan
pasta gigi. Setelah dirawat pasien belum mandi.

3. Pola interaksi sosial


Orang terdekat pasien adalah keluarga. Bila ada masalah pasien
mendiskusikan dengan keluarga.
4. Kegiatan keamanan
Pasien biasa sholat 5 waktu dan mengaji di masjid. Setelah sakit pasien
mengalami penurunan kesadaran
5. Keadaan psikososial selama sakit
Keluarga pasien menganggap sakit sebagai ujian Harapan keluarga pasien lekas
sembuh dan pulang kerumah Keluarga pasien berinteraksi dengan baik dengan
petugas kesehatan.
6. Pemeriksaan diagnostic

30
Foto thorax : tidak ada
CT Scan :
 Tampak lesi hiperdens luas pada lobus frontalis kanan
disertai perifocal edema disekitarnya
 Tampak pula lesi hiperdens mengisi ventrikel lateralis terutama kiri
sampi ventrikel empat
 Sulci dan gyri obliterasi
 Pons dan cerebellum normal
 Tak tampak klasifikasi abnormal
 Tampak deviasi midline sejauh 7,4 mm
 Orbita dan mastoid baik
 Penebalan mukosa sinus maxilaris bilateral
 Tampak diskontinuitas os zygomaticum kanan, dinding sinus
maxilarikanan,nasofrontalis dan nasomaxilaris
 Pasien tidak pernah berolahraga, Pasien hanya beraktivitas di rumah
dan di sekolah.

7. Pemeriksaan laboratorium

21 -6- 2018 jam 19.36 WITA

Darah rutin

Hb 8,0 g/dL

Leukosit 20,10 sel/mm3.

Na 140,7 mEql/L

K 4,21 mEql/L

CL 106,0 mEql/L
Darah rutin normal

Hb 13,5-18,0 g/dL (pria dewasa)


Leukosit 4500-10,000 sel/mm3
(dewasa)
Na 135-145 mEql/L (dewasa)

31
K 3,5-5,0 mEql/L (dewasa)

CL 95-105 mEql/L (dewasa)

8. Obat
Nama obat Dosis Waktu pemberian
Pantoprazole 2 x 1 vial 06.00 18.00
Furosemide 2 x 2 ampul 06.00 18.00
Ceftriaxon 2 x 1 vial 06.00 18.00
Domperidone 3 x 10 mg 06.00 14.00 22.00
Ketorolac 3 x 1 amp 06.00 14.00 22.00
Antrain 3 x 1 amp 06.00 14.00 22.00
Asam tranexamat 3x 1 amp 06.00 14.00 22.00
Paracetamol infuse 3x 500 mg 06.00 14.00 22.00
Morfina 2 amp dalam 20 cc 1 cc/ jam/ siring pump
IVFD Kaen 3B : Asering (2:2) / hari

B. Analisa data / daftar rumusan masalah

Tanggal /
No Data fokus Problem Etiologi
Jam
1 22-6-2018 Ds : Resiko Edema
09.00 Do : keadaan umum ketidakefektif cerebral
lemah, kesadaran an perfusi
semi
koma, GCS 5, CT Scan Jaringan
hasil: Intracerebral dan Cerebral
Intraventrikular
hematoma, terdapat luka
terbuka di os temporal
sinistra sepanjang 10 cm,
bathel sign di bagian
sinistra, raccoon eyes
dimata sinistra, pupil
anisokor 2/4 RC ++/--,
terdapat cairan darah di
telinga sinistra, terpasang
infuse RL 20 tpm di
lengan kanan, terdapat
fraktur di os femur

32
sinistra, terpasang kateter urine,
terpasang nasal gastric tube,
terpasang endo tracheal tube
dan ventilator.
TD : 100/70 mmHg HR
: 91 x/ menit RR
: 17x/ menit
S : 37,5 O C
SpO2 : 90 %
Urine output 200 cc-300 cc /7
jam
2 22-6-2018 Ds : - Pola nafas Kegagalan
09.00 Do : keadaan umum lemah, tidak efektif otot
kesadaran semi koma, pernafasan
pernafasan cuping hidung
positif, , terdapat suara
tambahan stridor, terpasang
endo tracheal tube, terpasang
ventilator TD : 100/70 mmHg
HR : 91 x/ menit
RR : 17x/ menit
S : 37,5 O C
SpO2 : 90 %
Urine output 200 cc-300 cc /7
Jam

C. Diagnose

a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan


edema cerebral
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan

D. Intervensi

N Diagnose noc nic

33
o
NOC : - Monitor adanya
1 Resiko
- Circulation status keluhan sakit
ketidakefektifa
- Tissue kepala, mual,
n perfusi
Prefusion muntah, gelisah
jaringan
Cerebral - Monitor status
cerebral
neurologi
berhubungan
Kriteria Hasil : - Monitor intake dan
dengan edema
1. Perfusi jaringan output
cerebral
cerebral 9. Manajemen edema
- Tekanan intra cerebral
cranial normal - Monitor adanya
- Tidak ada kebingungan,
nyeri keluhan pusing
kepala - Monitor status
- Tidak pernafasan,
ada frekuensi dan
kegelis kedalaman
ahan pernafasan
- Tidak ada - Kurangi stimulus
gangguan dalam lingkungan
refleks saraf pasien
2. Status neurologi - Berikan sedasi
- Kesadaran normal sesuai kebutuhan
- Tekanan intra 10. Monitor
cranial normal neurologi
- Pola bernafas - Monitor tingkat
normal kesadaran (GCS)
- Ukuran dan - Monitor refleks
reaksi pupil batuk dan menelan
normal - Pantau ukuran
- Laju pupil,bentuk
pernafasan kesimetrisan

34
normal 11.Monitor TTV
12. Posisikan head up
(30- 40 derajat)
13. Beri terapi O2
sesuai anjuran medis

Kolaborasi pemberian
terapi medis
1. Airway Management
2 Pola nafas Noc :
tidak efektif  Pertahankan
- Respiratory
berhubungan bukaan jalan nafas
status :
dengan  Beri posisi head up
Ventilation
kegagalan otot 30-40 derajat
- Respiratory
pernafasan untuk
status :
 Memaksimalkan
Airway
ventilasi.
patency
 Keluarkan secret
Vital sign Status dengan suction.

Kriteria hasil :  Monitor alat


ventilator
5. Irama pernafasan
2. Oxygen Therapy
normal
 Pertahankan jalan
6. Frekuensi
nafas yang paten
pernafasan
 Monitor aliran
normal
Oksigen
7. TTV dalam batas
 Monitor adanya
normal
tanda-tanda
8. Tidak ada tanda sesak
hypoventilasi
Pasien tidak mengeluh 3. Vital Sign Monitoring
sesak
 Monitor TD, Suhu,
RR
 Identifikasi
penyebab dari
perubahan vital

35
sign

Kolaborasi pemberian
therapi medis

E. Implementasi dan catatan perkembangan

n Tangg Implementasi keperawatan Jam Catatan perkembangan Paraf


o al Perawat
/ Jam
1 22-6- 1. Memonitor tekanan 14.00 S :-
2018 intra kranial O:
09.00 - Memonitor status - Keadaan umum
neurologi lemah,
- Memonitor intake - Tingkat
dan output kesadaran Semi Koma ,
Memanajemen edema GCS 5
Refleks saraf (Reflex Bra
Cerebral
instem 7)
- Memonitor status
pernafasan, frekuensi - Vital sign
dan TD : 100/ 70
kedalaman mmHg HR : 91 x/
pernafasan menit RR : 17x/
- Mengurangi stimulus menit
dalam lingkungan S : 37,5 o C
pasien - Reaksi Pupil,
- Memberikan sedasi Pupil 2/4, RC+
sesuai kebutuhan +/--
3. Memonitor neurologi A:Resiko
- Memonitor tingkat ketidakefektifan
kesadaran (GCS) perfusi
- Memonitor refleks
jaringan
batuk dan menelan
cerebral

36
- Memantau ukuran
pupil,bentuk,kesime belum teratasi.
trisan P : lanjutkan intervensi
4. Memonitor TTV
5. Memposisikan head up
(30- 40 derajat)
6. Memberi terapi O2
sesuai anjuran medis (O2
Ventilator dengan mode
SIMV)
Memberikan terapi kolaborasi
medis
2 22-6-18 1. Airway Management 14.00 S:
 Mempertahankan -
bukaan jalan nafas O
 Memberi posisi head :
up 30-40 derajat - Keadaan
untuk umum lemah,

 Memaksimalkan - Ventilasi: RR 17x/

ventilasi. menit, irama nafas

 Mengeluarkan secret teratur, suara nafas

dengan suction. stridor.

 Memonitor alat - Airway patency:

ventilator pernapasan cuping

2. Oxygen Therapy hidung, (+)


ventilator (+),
 Mempertahankan
penggunaan otot
jalan nafas yang
bantu pernafasan (-)
paten
- SpO2 : 90 %
Memonitor aliran Oksigen
Vital Sign: TD: 100/70
 Memonitor adanya mmHg, HR : 91 x/ menit,
tanda-tanda RR: 17x/ menit, S: 37,5oC
hypoventilasi
A: pola nafas
3. Vital Sign Monitoring

37
 Monitor TD, suhu, tidak efektif belum
RR teratasi.
 Identifikasi penyebab P: lanjutkan intervensi
dari perubahan vital
sign
Kolaborasi pemberian
therapi medis
3 23-6- 1. Memonitor Tekanan 14.00 S:
2018 intra kranial -
08.00 - Memonitor status O
neurologi :
- Memonitor intake - Keadaan umum lemah
dan output - Tingkat kesadaran
2. Memanajemen edema Semi koma GCS 5
cerebral - Refleks saraf
- Memonitor status (Reflex Bra
pernafasan, Instem 7)
frekuensi dan -Vital
kedalaman sign
pernafasan TD : 115/ 90
- Mengurangi mmHg HR : 92 x/
stimulus dalam menit RR : 17x/
lingkungan pasien menit
- Memberikan sedasi S : 37,8O C
sesuai kebutuhan - ReaksiPupil ,
3. Memonitor neurologi Pupil2/3, RC++/--
- Memonitor tingkat A:Resiko
kesadaran (GCS) Ketidakefektifan
- Memonitor refleks perfusi jaringan
batuk dan menelan cerebral belum
- Memantau ukuran teratasi.
pupil,bentuk, P :lanjutkan intervensi
kesimetrisan

38
4. Memonitor TTV
5. Memposisikan head up
(30- 40 derajat)
6. Memberi terapi O2
sesuai anjuran medis
(O2 Ventilator dengan
mode SIMV)
Memberikan terapi hasil
kolaborasi medis
4 24-6-18 1. Airway Management 14.00 S:
08.00  Mempertahankan -
bukaan jalan nafas O
 Memberi posisi head :
up 30-40 derajat - Keadaan umum
untuk lemah,

 Memaksimalkan - Ventilasi: RR

ventilasi. 17x/menit, irama

 Mengeluarkan secret nafas teratur, suara

dengan suction. nafas stridor.

 Memonitor alat - Airway patency:

ventilator pernapasan cuping

2. Oxygen Therapy hidung (+)


ventilator (+),
 Mempertahankan
penggunaan otot
jalan nafas yang
bantu pernafasan
paten
(-)
 Memonitor aliran
- SpO2 : 100 %
Oksigen
- Vital Sign: TD: 130/
 Memonitor adanya
75 mmHg, HR: 85 x/
tanda-tanda
menit, RR: 17x/
hypoventilasi
menit, S: 37 oC
3. Vital Sign Monitoring
A:pola nafas tidak
Monitor TD, Suhu, RR
efektif belum
 Identifikasi penyebab
teratasi.

39
dari perubahan vital P: lanjutkan intervensi
sign
4. Kolaborasi pemberian
therapi medis

40
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis melaksanakan asuhan keperawatan kegawat


daruratanpada Tn ”A” dengan kasus: Cedera Kepala Berat di Instalasi
Gawat Darurat, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa proses
keperawatan telah dilaksanakan dengan baik mulai dari pengkajian
sampai evaluasi maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan
verifikasi, komunikasi dan dari data tentang pasien. Pengkajian ini
didapat dari dua tipe yaitu data subyektif dan dari persepsi tentang
masalah kesehatan mereka dan data obyektif yaitu pengamatan /
pengukuran yang dibuat oleh pengumpul data (Potter, 2005).
Penulis mengumpulkan data dengan metode wawancara, observasi
dan periksaan fisik, mempelajari data penujang pasien seperti
pemeriksaan laboratorium dan rekam medic (Cristensen, 2009)
b. Diagnosa keperawatan

c. Perencanaan
intervensi keperawatan kami laksanakan telah disusun berdasarkan
NIC NOC . Setiap telah melaksanakan tindakan keperawatan
(implementasi) pada Tn “A” dengan gangguan sistem Neurologi :
Cedera Kepala Berat.
d. Implementasi keperawatan
Pada proes implementasi keperawatan / tindakan keperawatan
mengacu pada intervensi keperawatan yang telah dibuat yaitu
berdasarkan NOC dan NIC.
e. Evaluasi
Evaluasi keperawatan menggunakan SOAP yaitu Subjektif,
Objektif, Analisa dan Planning.
B. Saran
a. Pelayanan Kesehatan

41
Bagi pelayanan kesehatan diharapkan dapat menjadi acuan dalam
melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan trauma kepala
berat.
b. Profesi keperawatan
Perawat diharapkan mampu mengaplikasikan asuhan keperawatan
pada pasien dengan trauma kepala berat mulai dari perumusan
diagnose keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan, hingga melakukan evaluasi keperawatan.
c. Masyarakat
Penelitian ini sebagai informasi tatacara memberikan pertolongan
pertama pada pasien dengan trauma kepala berat sebelum dibawa
kepelayanan Kesehatan.

42
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC. Badan Penelitian


Dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset
Kesehatan Dasar 2013.
Bayu, Irmawan. 2017. Pengaruh Tindakan Suction Terhadap Perubahan Saturasi
Oksigen Perifer Pada Pasien Yang Di Rawat Di Ruang ICU RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda. Jurnal Ilimiah Sehat Bebaya Vol. 1No. 2
Mei 2017. STIKES muhammadiyah

Samarinda.Berman, A. Snyder, S. Kozier, B. & Erb, G. 2009. Buku Ajar Praktik


Keperawatan Klinis, Edisi 5. Terjemahan Eny meiliya, Esty

Donges, M. E. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih

Aghakhani, N., Azami, M., Jasemi, M. et al.(2013). Epidemiology of Traumatic


Brain Injur in Urmia, Iran. Iranian Red Crescent Medical Journal,
vol.15(no.2), pp.173-4.

Batticaca, F. B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Irawan H, Setiawan F, Dewi, DewantoG . (2010). Perbandingan Glasgow Coma


Scale dan Revised Trauma Score dalam Memprediksi Disabilitas Pasien
Trauma Kepala di Rumah Sakit Atma Jaya. Majalah Kedokteran
Indonesia.http://indonesia.digitaljournals.org/diakses 20 Juni 2018

43

Anda mungkin juga menyukai