Anda di halaman 1dari 15

TREND & ISSUE

“KEPERAWATAN KELUARGA”
Dosen Pengampuh : Ns. Rizkan Djafar, S.Kep, M.Kep

DISUSUN OLEH

Iis Mahmud 1901034


7C Keperawatan

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MANADO
T.A 2022
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rumah Tangga merupakan wadah dimana dua orang anak manusia yang berbeda
dipersatukan dalam sebuah ikatan perkawinan. Terkadang perkawinan tersebut
dibumbui dengan kebahagiaan dan tidak sedikit pula yang selalu dibumbui dengan
pertengkaran bahkan menimbulkan kekerasan terhadap salah satu pihak. Penyebab
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suami terhadap isteri antara
lain adalah dimana laki-laki dianggap paling dominan daripada perempuan dalam
rumah tangga, sehingga mempunyai kewenangan penuh terhadap istri dan berhak
melakukan apa saja sesuka hatinya, karena himpitan ekonomi keluarga, himpitan
masalah kota besar yang mendorong stress, kondisi lingkungan dan pekerjaan yang
berat mendorong tingginya temperamental seseorang maupun karena kondisi kejiwaan
seseorang.(Gusliana, 2010).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah suatu bentuk tindakan perilaku
menyimpang yang dilakukan didalam rumah tangga baik oleh suami, isteri maupun
anak dan mengakibatkan timbulnya dominasi dan diskriminasi terhadap salah satu
anggota keluarga yang berdampak buruk terhadap keutuhan psikis, keharmonisan dan
hubungan fisik (Soeroso, 2010). Berbagai bentuk kekerasan fisik kepada isteri tidak
hanya bersifat fisik seperti melempar sesuatu, memukul, menampar, sampai
membunuh. Namun juga bersifat non fisik seperti menghina, berbicara kasar, ancaman.
kekerasan seperti ini adalah dalam bentuk psikologis (Arfa, 2014).
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan munculnya tindak kekerasan menurut
para ahli dalam Prastowo (2007) anatara lain Dendam yang umumnya bersumber dari
adanya perlakuan kekerasan yang pernah diterima oleh pelaku, Stabilitas emosi yang
rendah yaitu adanya tekanan emosi (stres) yang tidak mampu ditoleransi lagi oleh
pelaku sehingga menyebabkan hilangnya kendali diri, Cara mendidik anak yang
otoriter dan menggunakan cara kekerasan sehingga menjadi model bagi anak dalam
berperilaku, orang tua yang otoriter cenderung menggunakan aturan-aturan yang kaku
dalam mendidik anak, Tradisi yang dirasakan sebagai keharusan untuk dilaksanakan.
BAB II
PEMBAHASAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT)

1. Definisi KDRT
Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia no. 23 tahun 2004
tentang penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga) , KDRT adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dana tau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hokum dalam lingkup rumah tangga.
2. Tanda Dan Gejala Orang Yang Mengalami KDRT
1) Tanda awal: pasangan posesif, pasangan mengancam, pasangan sadis, menikmati
kekerasan yang dilakukan, pasangan meminimalisasi istri bertemu dengan care
provider.
2) Indikator
a. Terdapat luka dibeberapa lokasi
b. Menyatakan nyeri saat di periksa daerah vagina(indikasi kekerasan seksual)
c. Perilaku yang menunjukkan kecemasan; menangis, mengeluh, sedikit berkata2,
menghindari kontak mata, menertawakan sesuatu yang tidak semestinya
d. Memberikan komentar terhadap kekerasan
e. Komentar terhadap kekerasan yang dialami orang lain
f. Perilaku perempuan terhadap pasangan : takut melihat, menunduk, menghindar
3. Faktor Penyebab Terjadinya KDRT
a) Perselingkuhan
b) Masalah ekonomi
c) Budaya partrirkhi, Menurut Bhasin, secara harfiah patriarkhi berarti sistem yang
menempatkan ayah sebagai penguasa keluarga. Istilah ini kemudian digunakan
untuk menjelaskan suatu masyarakat, tempat kaum laki-laki berkuasa atas kaum
perempuan dan anak-anak.
d) Campur tangan pihak ketiga
e) Bermain judi
f) Perbedaan prinsip
g) Menurut Debi Korpriyanti dan Hikmah Sobri dalam “Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga pada istri di RW 06
Minomartani Sleman Yogyakarta”
1. Tingkat pendidikan istri dan suami dalam kategori sedang yaitu 59,5% dan
51,9%
2. Tingkat pendapatan suami dalam kategori sedang (88,6%)
3. Hal yang paling sering diperdebatkan adalah masalah merokok dan
mengkonsumsi minuman beralkohol (31,6%)
4. Mayoritas responden tidak menganut budaya patriarki (74,7%)
5. Mayoritas responden tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga (70,9%)

Berbagai akibat yang mungkin dapat ditimbulkan oleh kehamilan yang tidak
diinginkan, antara lain :
1) Bagi remaja :
a. Kehamilan yang tidak diinginkan dapat mengakibatkan lahirnya seorang anak
yang tidak diinginkan (unwanted child). Masa depan anak yang tidak diinginkan
ini sering tidak mendapat kasih sayang dan pengasuhan yang semestinya dari
orang tuanya membuat anak lebih rewel dari biasanya.
b. Terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dapat memicu terjadinya
pengguguran kandungan (aborsi) karena sebagian besar perempuan mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan mengambil keputusan atau jalan keluar
dengan mengalami aborsi, terlebih lagi aborsi yang tidak aman.
c. Terganggunya kesehatan reproduksi
d. Kurangnya perawatan kehamilan baik dalam segi kesehatan ibu maupun janin.
e. Tidak diakui oleh keluarga
f. Dilecehkan/dikucilkan oleh teman
g. Dikeluarkan dari sekolah
h. Menerima hukuman sosial dari masyarakat
i. Adanya risiko bunuh diri
2) Bagi Keluarga :
a. Menerima hukuman sosial dari masyarakat
b. Terganggunya kesehatan psikologis akibat menerima kenyataan yang buruk
3) Bagi Lingkungan :
a. Menerima hukuman sosial bagi masyarakat
4. Dampak KDRT Terhadap Korban, Keluarga, Serta Lingkungan Sekitarnya
1) Bagi Korban :
a. Hubungan Seksual Tidak Seimbang dan Tidak Sehat
b. Pergaulan dalam Keluarga Tidak Harmonis
c. Terganggunya Kesehatan Reproduksi Perempuan
d. Saling Tidak Percaya dan Berujung pada Perceraian
2) Bagi Keluarga dan lingkungan :
Dampak KDRT terhadap Anak Marianne James, Senior Research pada
Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki
dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan
kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi
masalah dan emosi. Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan
tahapan perkembangannya sebagai berikut :
A. Dampak terhadap Anak berusia bayi
Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan
kemampuan kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa anak
bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu
sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan
tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga
anakanak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi
logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika
mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan
bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering
kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan
persoalan kelancaran dalam berkomunikasi.
B. Dampak terhadap anak kecil
Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya
dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya.
Penelitian Cummings dkk (1981) menilai terhadap expresi marah dan kasih
sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan
bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak 9
kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal
dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak
peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam
rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahun
ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam interaksinya dengan
kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya sikap agresif terhadap
teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif
daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan
cenderung lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat
dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil)
sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki
rasa malu yang serius, memiliki self-esteem yang rendah, dan memiliki masalah
selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul,
menggigit, dan suka mendebat.
C. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah
Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak
yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa
Anak anak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat
diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi
negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan
rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua,
17%-nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga,
lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik
positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia,
tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif
secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan
terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang
menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi
daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-
anak yang usia TK dan non-TK, baik dari kelompok yang tidak menyaksikan
KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang
menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan
kelompok anak-anak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi
daripada anak-anak non-TK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa
KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak
usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang
dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan
untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka
mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang
dewasa.
D. Dampak terhadap Anak usia SD
Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu
model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang
menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara
yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan.
Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya
berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa
anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya,
yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke
sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986,
Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari
keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem
prilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga
yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara studi yang
dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak
dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara
historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami
problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki
kecakapan adaptif di bawah rata-rata, 11 memiliki kemampuan membaca di
bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah
sampai dengan tingkat tinggi.
E. Dampak terhadap Anak remaja
Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah
mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan
jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh
sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang
berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.
Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam
keluarga yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan
menjadikan isteri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983)
mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi
dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimulkan korban
kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum dan
O’Leary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam
hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi pengalaman itu. Artinya
bahwa seberat apapun kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak
sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung
ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak
penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan
oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang sangat
berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak
remaja wanita cenderung lebih dipresif.
5. Upaya pencegahan KDRT
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga, diperlukan cara-cara
penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga, antara lain:
a. Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang teguh pada
agamanya sehingga Kekerasan dalam rumah tangga tidak terjadi dan jika ada
masalah dapat diatasi dengan baik dan penuh kesabaran.
b. Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga, karena didalam
agama itu mengajarkan tentang kasih sayang terhadap ibu, bapak, saudara, dan
orang lain. Sehingga antara anggota keluarga dapat saling menghargai setiap
pendapat yang ada.
c. Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta sebuah
rumah tangga yang rukun dan harmonis. Jika di dalam sebuah rumah tangga tidak
ada keharmonisan dan kerukunan diantara kedua belah pihak, itu juga bisa menjadi
pemicu timbulnya kekerasan dalam rumah tangga.
d. Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan sebagainya antar
anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi dengan rasa saling percaya.
Jika sudah ada rasa saling percaya, maka mudah bagi kita untuk melakukan
aktivitas. Jika tidak ada rasa kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu
yang kadang berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
6. Upaya Penanggulangan KDRT
Lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilandasi berbagai pertimbangan antara lain bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk
kekerasan. Dengan demikian segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah
tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu terobosan hukum yang dilakukan melalui Undang-undang Nomor 23
tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam rumah Tangga adalah mengenai
peran-peran Aparat Penegak Hukum khususnya kepolisian, advokat, dan pengadilan
dalam memberikan perlindungan dan pelayanan bagi korban kekerasan dalam rumah
tangga terutama sekali dengan diaturnya mengenai mekanisme perlindungan dari
pengadilan demi keamanan korban.
7. Trend dan isue KDRT di Indonesia
Penelitian tentang KDRT yang dilakukan secara lintas budaya oleh David
menyatakan berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap 90 komunitas petani dari
120 komunitas yang sama yang ada di 60 wilayah di seluruh dunia (termasuk suku
Toradja di Sulawesi) yang diambil secara acak adalah sebagai berikut:
1. Bentuk-bentuk KDRT yang bersifat universal adalah pemukulan terhadap istri,
penghukuman fisik terhadap anak, dan perkelahian antar anak-anak; sedangkan
pernbunuhan anak, orang tua, orang yang sudah sangat tua, dan female genital
mutilation hanya terjadi dalam beberapa wilayah geografis dengan budaya tertentu;
2. Perempuan dewasa menduduki posisi teratas sebagai korban KDRT, lelaki dewasa
sebagai pelaku paling dominan dan paling kecil kemungkinannya untuk rnenjadi
korban;
3. Hampir semua orang di dunia pernah mengalami KDRT, baik sebagai korban,
pelaku rnaupun sekedar rnenyaksikannya;
4. Pemukulan terhadap istri dan penghukuman fisik terhadap anak rnerupakan dua
bentuk KDRT yang terjadi di seluruh dunia;
5. Pemukulan terhadap istri lebih sering terjadi dalam komunitas yang sang suami
meniiliki kuasa mengambil keputusan dan menguasai ekonomi rumah tangga, dan
yang memiliki kebiasaan menyelesaikan sengketa antar orang dewasa melalui
perkelahian;
6. Penghukuman fisik terhadap anak seringkali merupakan bagian dari child rearing
dalam masyarakat yang memilki kompleksitas tertinggi; dan
7. kekerasan sama sekaii bukanlah suatu konsekuensi yang tidak dapat dihindari
dalarn kehidupan berumah tangga.
Di Indonesia sendiri, pada tahun 2003, LBH APIK Jakarta telah menerima 627
pengaduan dan 280 diantaranya merupakan kasus KDRT14 yang dapat dirinci
sebagai berikut: 70 korban kekerasan fisik; 124 korban kekerasan psikis; 85 korban
kekerasan ,ekonomi; dan satu orang korban kekerasan seksual.
Menurut Kemenpppa status saat ini, KDRTtelah menjadi isu kebijakan di Indonesia
sejak tahun 2004. Diantaranya adalah :
a) Pelaksanaan undang – undang dan kebijakan dipengaruhi oleh adanya pendapat
bahwa KDRT adalah urusan pribadi hal ini didukung oleh norma budaya dan
agama. Selain itu, belum ada kesepakatan tentang apa yang termasuk kekerasan
terhadap perempuan.
b) Keseluruhan biaya ekonomi dan sosial dari tindak KDRT perlu dihitung.
Konsekuensi KDRT bagi korban dan saksi mengakibatkan hilangnya
produktivitas dan meningkatnya permintaan untuk mendapatkan pelayanan
sosial termasuk kesehatan, polisi, hokum, pendidikan dan kesejahteraan.
Sampai sekarang keseluruhan biaya akibat KDRT tingkat individu, keluarga
dan masyarakat belum dihitung. Angka ini dapat membantu pemerintah dan
masyarakat luas untuk lebih memahami manfaat yang diperoleh dengan
menurunnya insiden KDRT.
c) KDRT masih kurang terdokumentasi dan data insiden belum lengkap. Angka
KDRT nasional tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya, karena
pelaporan yang belum lengkap. Komnas perempuan mecatat peningkatan
laporan kasus tahun 2008 sebesar dua kali lipat tahun 2007. 143.586 kasus
kekerasan dilaporkan pada tahun 2009 dibanding 54.425 kasus pada tahun 2008.
Peningkatan tersebut terjadi karena pengumpulan data bisa lebih baik dan lebih
banyak perempuan yang melaporkan kasusnya, tetapi masih belum dapat
diketahui frekuensi KDRT (Komnas perempuan, 2008).
d) Meski lembaga yang membantu korban kekerasan bertambah banyak dalam
beberapa tahun terakhir, pelayanan tetap tidak memadai dibanding jumlah
perempuan yang menderita akibat kekerasan di Indonesia.
e) Hokum adat setempat menggantikan hokum nasional KDRT, sehingga
memperlemah perlindungan yang dijanjikan bagi semua perempuan di
Indonesia.
f) Banyaknya perempuan yang kembali ke rumah di mana mereka disiksa,
menggambarkan betapa perlunya strategi yang lebih terkoordinasi untuk
memberikan pelayanan bagi laki – laki.
8. Peran Perawat dalam menanggulangi masalah KDRT
a. Keterbukaan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa cara perawat berkomunikasi
dengan korban KDRT agar korban mau terbuka yaitu anak korban KDRT diberi
perlakuan khusus dengan memberikan perhatian khusus untuk mengatasi
traumanya, meliputi pendekatan awal yaitu perawat memperkenalkan diri,
menyampaikan tugas dan tanggung jawab, serta menjelaskan maksud dan
tujuan dalam memberikan perlindungan kepada anak korban KDRT. Setelah
anak merasa nyaman baru diberikan intervensi antara lain pemenuhan
kebutuhan fisik, psikis, sosial, life skill dan perlindungan khusus, sampai pada
tahap terminasi. Perawat dalam berkomunikasi secara jujur memberikan
informasi yang memang mereka butuhkan, dengan tetap memberikan atau
mencurahkan segenap perasaan dan hati nurani untuk membantu anak korban
KDRT melalui pendekatan kasih sayang, sehingga anak akan berangsur hilang
traumanya.
Perawat sebagai komponen penting dalam proses keperawatan dan orang
yang paling terdekat dengan pasien harus mampu berkomunikasi secara verbal
maupun nonverbal dalam membantu kesembuhan pasien. Seorang perawat yang
profesional akan selalu berusaha untuk berperilaku terapeutikyang berarti
bahwa setiap interaksi yang dilakukan, memberikan dampak kesembuhan yang
memungkinkan pasien untuk memberi kepuasan pelayanan yang diberikan oleh
seorang perawat. Perawat harus mampu meningkatkan kemampuan dan
pengetahuannya dari pengalaman yang diperoleh dari dinamika komunikasi,
penghayatan terhadap kelebihan kekurangan diri, serta kepekaan terhadap
kebutuhan orang lain. Perubahan konsep perawatan dari perawatan orang sakit
secara individual kepada perawatan paripurna untuk mencapai kepuasan pasien
menyebabkan peran komunikasi menjadi lebih penting dalam memberikan
asuhan keperawatan.
Keterbukaan perawat terhadap korban KDRT diperlukan untuk
meningkatkan kesembuhan anak dari trauma yang dialami. Masyarakat yang
terbuka akan mudah menerima perubahan dan memungkinkan kemajuan.
Mereka dapat belajar dari masyarakat lain, dan menerima hal-hal baru yang
berguna bagi masyarakat. Sebaliknya suatu masyarakat yang tertutup akan sulit
berkembang dan menyesuaikan diri dengan kemajuan. Sikap keterbukaan
paling tidak menunjuk pada dua aspek dalam komunikasi antarpersonal.
Pertama, perawat terbuka pada orang lain yang berinteraksi, yang penting
adalah adanya kemauan untuk membuka diri pada masalah-masalah yang
umum, agar korban KDRT mampu mengetahui pendapat, gagasan, atau pikiran
kita sehingga komunikasi akan mudah dilakukan. Dari keterbukaan perawat
menunjuk pada kemauan korban KDRT untuk memberikan tanggapan terhadap
orang lain secara jujur dan terus terang terhadap segala sesuatu yang
dikatakannya.
Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan
komunikasi antarpersonal yang efektif. Keterbukaan adalah pengungkapan
reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi yang sedang dihadapi serta
memberikan informasi tentang masa lalu yang relevan untuk memberikan
tanggapan kita di masa kini tersebut. Keterbukaan diri yaitu membagikan
kepada orang lain perasaan kita terhadap sesuatu yang telah dikatakan atau
dilakukan, atau perasaan kita terhadap kejadiankejadian yang baru saja kita
saksikan.
Secara psikologis, apabila individu mau membuka diri kepada orang lain,
maka orang lain yang diajak bicara akan merasa aman dalam melakukan
komunikasi antarpribadi yang akhirnya orang lain tersebut akan turut membuka
diri. Karakteristik orang yang terbuka adalah menilai pesan secara objektif,
dengan menggunakan data dan keajegan logika, membedakan dengan mudah,
melihat nuansa, mencari informasi dari berbagai sumber, mencari pengertian
pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaannya.
Dengan kata lain keterbukaan perawat dengan korban KDRT menimbulkan
interaksionisme simbolik, yang mana perawat akan terus berupaya memberikan
informasi maka korban KDRT pun akan berubah melalui interaksi itu. Struktur
itu tercipta dan berubah karena interaksi antara perawat dengan korban KDRT.
b. Empati
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perawat berempati kepada
anak korban KDRT yaitu dengan turut merasakan apa yang anak korban KDRT
rasakan serta perawat merasakan bagaimana jika hal tersebut terjadi pada diri
sendiri atau keluarga. Cara perawat dalam mendengarkan dengan penuh
perhatian keluhan anak korban KDRT yaitu dengan penuh seksama menyimak
cerita mereka, memberikan tanggapan dan berusaha memecahkan permasalahan
melalui diskusi. Perawat juga menjadi orang tua pengganti mereka pada saat
berada di panti, yang mana perawat mengasuh mereka mulai dari bangun tidur
sampai tidur kembali.
Komunikasi terapeutik meningkatkan pemahaman dan membantu
terbentuknya hubungan yang konstruktif diantara perawat-klien. Oleh
karenanya sangat penting bagi perawat untuk memahami prinsip dasar
komunikasi terapeutik berupa hubungan perawat dan klien adalah hubungan
terapeutik yang saling menguntungkan, didasarkan pada prinsip ‘humanity of
nurses and clients’. Hubungan ini tidak hanya sekedar hubungan seorang
penolong (helper/perawat) dengan kliennya, tetapi hubungan antara manusia
yang bermartabat.
Dengan terjalinnya empati antara perawat dengan korban KDRT maka
terciptanya esensi interaksi simbolik yakni komunikasi yang diberi makna
dengan terjalinnya hubungan yang baik. Perspektif interaksi simbolik berusaha
memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini
menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang
memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan
mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka.
c. Dukungan
Hubungan antarpersonal antara perawat dengan korban KDRT yang efektif
adalah hubungan dimana terdapat sikap mendukung. Artinya masing-masing
pihak yang berkomunikasi memiliki komitmen untuk mendukung
terselenggaranya interaksi secara terbuka. Oleh karena itu respon yang relevan
adalah respon yang bersifat spontasn dan lugas, bukan respon bertahan dan
berkelit. Pemaparan gagasan bersikap deskriptif naratif, bukan bersifat
evaluatif. Sedangkan pola pengambilan keputusan bersifat akomodatif, bukan
intervensi yang disebabkan rasa percaya diri yang berlebihan.
Komunikasi antarpersonal akan efektif bila dalam diri seseorang ada
perilaku suportif. Maksudnya antara perawat dengan korban KDRT
memberikan dukungan terhadap pesan yang disampaikan. Dalam komunikasi
antarpersonal diperlukan sikap memberi dukungan dari pihak komunikator agar
komunikan mau berpartisipasi dalam komunikasi. Dalam komunikasi
antarpersonal perlu adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih-
lebih dari komunikator. Adapun bentuk dukungan yang dilakukan perawat yaitu
dukungan fisik, spiritual, dan sosial.
d. Rasa positif
Memiliki perilaku positif yakni berpikir positif terhadap diri sendiri dan
orang lain. Rasa positif merupakan kecenderungan bidan untuk mampu
bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang
berlebihan, menerima diri sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang
lain, memiliki keyakinan atas kemampuannya untuk mengatasi persoalan, peka
terhadap kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima. Dapat
memberi dan menerima pujian tanpa pura-pura memberi dan menerima
penghargaan tanpa merasa bersalah.
e. Kesetaraan
Kesamaan adalah pengakuan bahwa perawat dengan korban KDRT
memiliki kepentingan, kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan
saling memerlukan. Memang secara alamiah ketika dua orang berkomunikasi
secara antarpersonal, tidak pernah tercapai suatu situasi yang menunjukkan
kesetaraan atau kesamaan secara utuh diantara keduanya. Pastilah yang satu
lebih kaya, lebih pinter, lebih muda, lebih berpengalaman, dan sebagainya.
Namun kesetaraan yang dimaksud disini adalah berupa pengakuan atau
kesadaran, serta kerelaan untuk menempatkan diri setara (tidak ada yang
superior ataupun inferior) dengan partner komunikasi. Dengan demikian dapat
dikemukakan kesamaan dengan cara menempatkan diri setara dengan orang
lain, menyadari akan adanya kepentingan yang berbeda, mengakui pentinganya
kehadiran orang lain, tidak memaksakan kehendak, komunikasi dua arah, saling
memerlukan dan suasana komunikasi yang akrab dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA

Bawole, G. Y. (2011). Upaya Penanganan Kasus KDRT Berdasarkan KUHP dan Pasca
Berlakunya UU.23 Tahun 2004. Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi.

Harkristutui Harkrisnowo (2004). Domesic Violence (Kekerasan Dalam Rumah Tangga)


Dalam Perspektif Kriminologi dan Yuridis, Jurnal Hukum Internasional Vol 1:4

Huda, M. (2018). Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan di


kabupaten Ponorogo. Lentera, 1(2), 93-106.

Muhammad, H. (2016). Peran Pemerintah Dalam Penyelesaian KDRT. Gema.

Nawati, N., & Nurhayati, F. (2018). Dampak Kehamilan Tidak Diinginkan terhadap
Perawatan Kehamilan dan Bayi (Studi Fenomenologi) di Kota Bogor. Jurnal
Kesehatan, 9(1), 21-25.

Rais, N.S.R. (2013). Tindak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Upaya
Pencegahan dan Perlindungan Hukum Korban. Jurnal Ilmiah STIKes Bhakti Pertiwi
Indonesia (ISSN 2088-429X). 3(1).

Rosnawati E. Peran Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak


(P2TP2A) Dalam Mengatasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga. J Kosmik Huk.
2018;18. doi:10.30595/kosmikhukum.v18i1.2341

Wahab, R. (2010). Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan


Edukatif. Unisia, 61, 247-256 Wahab, R. (2010). Kekerasan dalam Rumah Tangga:
Perspektif Psikologis dan Edukatif. Unisia, 61, 247-256..

Wardhani, A. R., Anak, K., & Rumah, D. (2017). Komunikasi Antarpersonal Perawat
Dalam, 5(4), 134–148.

Anda mungkin juga menyukai