Anda di halaman 1dari 20

BAB I

LANDASAN TEORI

A. DEFINISI

Kekerasan terhadap anak, menurut Soeroso (2010) adalah setiap perbuatan


yang ditujukan pada anak yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan baik fisik
maupun psikis baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.
Tindak kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik melainkan juga perbuatan non
fisik (psikis). Tindakan fisik secara langsung bisa dirasakan akibatnya langsung
bisa dirasakan akibatnya oleh korban serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan
tindakan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena
tindakan tersebut langsung berkaitan menyinggung hati nurani atau perasaan
seseorang.

Banyaknya tindak kekerasan terhadap anak seperti tidak ada habis-habisnya


pada saat ini, anak yang biasanya mendapatkan perlindungan dari anaggota
keluarganya sekarang tidak luput mengalami kekerasan yang dilakukan dari pihak
keluarga sendiri tapi walaupun begitu hal yang menimpa mereka ini jarang sekali
terekspos masyarakat dan juga kekerasan yang dialaminya dalam berbagai
bentuknya, sementara itu Suharto dalam Huraerah (2012) mengelompokkan child
abuse menjadi phsycal abuse (kekerasan secara fisik), psychological abuse
(kekerasan psikologis), kekerasan seksual, dan social abuse (kekerasan secara
sosial). Anak adalah tunas, potensi dan generasi penerus cita-cita bangsa,
memiliki peran strategis dalam menjamin eksitensi bangsa dan negara dimasa
mendatang. Agar mereka kelak dapat memikul tanggung jawab itu, maka mereka
perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara fisik, mental, sosial maupun spiritual, mereka perlu mendapatkan.

1
Sebagian besar orang tua memilih sistem reward dan punishment, bila
anak berbuat nakal maka orang tua akan menghukumnya. Akan tetapi hukuman
yang sering kali dipilih adalah berupa hukuman fisik apabila anak melakukan
kesalahan. Pengaruh media massa pada saat ini sangatlah berperan pada terjadinya
tindak kekerasan, yaitu mulai dari audio visual dan cetak, menyusupkan berbagai
macam tindak kekerasan dalam sajian mereka. Dulu, masyarakat hanya dapat
menyaksikan kekerasan hanya jika mereka dapat menyaksikan tindak kekerasan
dalam tayangan telivisi. Namun saat ini, siapapun dapat menyaksikan tindak
kekerasan dalam tayangan seperti dramatisasi kriminalitas, sinetron yang
menayangkan adegan-adegan kekerasan dari orang tua yang menyiksa anaknya
sendiri sering dijumpai dalam tayangan sinetron-sinetron dalam mendidik
anaknya maupun istrinya.Tayangan sinetron ini membuat masyarakat
berkecenderungan untuk meniru apa yang mereka tonton untuk mendisiplinkan
seorang anak melalui cara kekerasan.

Anak-anak yang tinggal dalam lingkup keluarga yang mengalami


kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) memiliki resiko yang tinggi mengalami
trauma atas pengalaman menyaksikan kekerasan, bahkan juga akhirnya turut
menjadi korban penganiayaan. Pengalaman menyaksikan, mendengar, mengalami
kekerasan dalam lingkup keluarga dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh negatif
pada keamanan, stabilitas hidup dan kesejahteraan anak . Dalam hal ini posisi
anak menjadi korban secara tidak langsung atau dapat disebut sebagai korban
laten.

2
B. ETIOLOGI

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,


yaitu:

1. Faktor Internal
a. Berasal dalam diri anak

Terjadinya kekerasan terhadap anak dapat disebabkan oleh kondisi dan


tingkah laku anak. Kondisi anak tersebut misalnya : Anak menderita gangguan
perkembangan, ketergantungan anak pada lingkungannya, anak mengalami cacat
tubuh, retardasi mental, gangguan tingkah laku, anak yang memiliki perilaku
menyimpang dan tipe kepribadian dari anak itu sendiri.

b. Keluarga / Orang tua

Faktor orang tua atau keluarga memegang peranan penting terhadap terjadinya
kekerasan pada anak. Beberapa contoh seperti orang tua yang memiliki pola asuh
membesarkan anaknya dengan kekerasan atau penganiayaan, keluarga yang sering
bertengkar mempunyai tingkat tindakan kekerasan terhadap anak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan keluarga yang tanpa masalah, orangtua tunggal lebih
memungkinkan melakukan tindakan kekerasan terhadap anak karena faktor stres
yang dialami orang tua tersebut, orang tua atau keluarga belum memiliki
kematangan psikologis sehingga melakukan kekerasan terhadap anak, riwayat
orang tua dengan kekerasan pada masa kecil juga memungkinkan melakukan
kekerasan pada anaknya.

2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan luar
Kondisi lingkungan juga dapat menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap
anak, diantaranya seperti kondisi lingkungan yang buruk, terdapat sejarah
penelantaran anak, dan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam lingkungannya.

3
b. Media massa

Media massa merupakan salah satu alat informasi. Media massa telah menjadi
bagian dari kehidupan manusia sehari – hari dan media ini tentu mempengaruhi
penerimaan konsep, sikap, nilai dan pokok moral. Seperti halnya dalam media
cetak menyediakan berita – berita tentang kejahatan, kekerasan, pembunuhan.
Kemudian media elektronik seperti radio, televisi, video, kaset dan film sangat
mempengaruhi perkembangan kejahatan yang menampilkan adegan kekerasan,
menayangkan film action dengan perkelahian, acara berita kriminal,
penganiayaan, kekerasan bahkan pembunuhan dalam lingkup keluarga. Pada
hakekatnya media massa memiliki fungsi yang positif, namun kadang dapat
menjadi negatif.

c. Budaya

Budaya yang masih menganut praktek – praktek dengan pemikiran bahwa


status anak yang dipandang rendah sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi
harapan orangtua maka anak harus dihukum. Bagi anak laki – laki, adanya nilai
dalam masyarakat bahwa anak laki – laki tidak boleh cengeng atau anak laki –
laki harus tahan uji. Pemahaman itu mempengaruhi dan membuat orangtua ketika
memukul, menendang, atau menindas anak adalah suatu hal yang wajar untuk
menjadikan anak sebagai pribadi yang kuat dan tidak boleh lemah.

C. KLASIFIKASI KDRT PADA ANAK


1. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan fisik yang dari hasil penelitian yang dilakukan penulis
dalam penelitian ini memperoleh temuan bahwasanya kekerasan yang dilakukan
oleh orang tuanya dimana, disaat orang tua tidak bisa menahan emosinya maka
kesalahan sekecil apapun yang dilakukan anak itu akan membuat orang tua tidak
segan-segan untuk melakukan kekerasan fisik pada anak. Kekerasan yang
dilakukan orang tua beragam dari kekerasan tidak menggunakan alat, dan

4
kekerasan dengan menggunakan alat seperti dilempar asbak, dipukul
menggunakan sapu lidi (Huraerah, 2012).

Walaupun yang dilakukan pada dasarnya ringan tanpa ia sengaja membuat


anak mengalami luka yang sangat fatal dan kekerasan yang terjadi berlangsung
tidak hanya dilakukan didepan anggota keluarganya tetapi juga dilakukan di
depan temannya

2. Kekerasan Psikis

Bentuk kekerasan psikis dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dalam
penelitian ini, Pengakuan dari ketiga informan kekerasan psikis yang banyak
terjadi adalah kata-kata kasar, dituduh, dan penghinaaan (Huraerah, 2012). Tak
jarang kata-kata verbal yang dilakukan orang tua itu menggunakan nada yang
tinggi (bentak-bentak) sehingga membuat anak tambah ketakutan. Walaupun
identifikasi akibat yang ditimbulkan pada kekerasan psikis sulit di ukur Karena
sensitivitas emosi seseorang bervariasi namun apabila terjadi berulang-ulang akan
mengakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan emosi seseorang anak berupa kasih
sayang dari orang tua.

3. Kekerasan Sosial

Bentuk kekerasan sosial (Huraerah, 2012), dari hasil penelitian yang dilakukan
penulis dalam penelitian ini, korban mengalami bentuk-bentuk kekerasan dimana
kurangnya perhatian dari keluarga, ayah sibuk bekerja, dan penelataran yang
dilakukan ayah karena meninggalkan ibunya sehingga anak juga mengalami
penelantaran dari berupa tidak diberikan biaya hidup dan pendidikan.

5
D. DAMPAK KEKERASAN ANAK dalam RUMAH TANGGA

Ada beberapa dampak yang muncul sebagai reaksi dari kasus trauma kekerasan
yang dialami anak, meskipun fenomena ini akan berbeda bentuknya pada setiap
anak. Adapun bentuk perilaku anak yang telah mengalami trauma adalah sebagai
berikut:

1. Agresif. Sikap ini biasanya ditujukan anak kepada pelaku tindak


kekerasan. Umumnya ditunjukkan saat anak merasa ada orang yang bisa
melindungi dirinya. Saat orang yang dianggap bisa melindunginya itu ada
di rumah, anak langsung memukul atau melakukan tindakan agresif
terhadap si pengasuh.

2. Murung atau depresi. Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis,


seperti menjadi anak yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan
bisa disertai dengan penurunan berat badan. Anak juga bisa menarik diri
dari lingkungan yang menjadi sumber trauma. Ia menjadi anak pemurung,
pendiam dan terlihat kurang ekspresif.

3. Mudah menangis. Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidak aman
dengan lingkungannya. Karena ia kehilangan figur yang bisa
melindunginya. Kemungkinan besar, anak menjadi sulit percaya dengan
orang lain.

4. Melakukan tindak kekerasan pada orang lain. Semua ini anak dapat karena
ia melihat bagaimana orang dewasa memperlakukannya dulu. Ia belajar
dari pengalamannya kemudian bereaksi sesuai yang ia pelajari.

5. Secara kognitif anak bisa mengalami penurunan. Akibat dari penekanan


kekerasan psikologisnya atau bila anak mengalami kekerasan fisik yang
mengenai bagian kepala, hal ini malah bisa mengganggu fungsi otaknya,
dan lebih lanjut mempengaruhi proses dan hasil belajarnya.

6
Adapun beberapa dampak yang muncul sebagai reaksi dari kasus trauma
kekerasan yang dialami anak,

1. Dampak Kekerasan Fisik

Dampak kekerasan fisik dalam rumah tangga terhadap anak (Suyanto


dan Hariadi, 2002), dari hasil penelitian yang dilakukan penulis dalam
penelitian ini memperoleh temuan bahwasanya, Dari kekerasan yang
dialami seorang anak, dimana dampak yang dirasakan oleh seorang anak
bisa berupa rasa sakit secara fisik yaitu luka-luka, benjolan ditubuhnya,
memar, dan ada juga dampak yang dirasakan anak yaitu malu bertemu
dengan orang lain.

2. Dampak Kekerasan Psikis

Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dalam segi


kekerasan psikis, saat anak berada dirumah, pelontaran kata-kata kasar
yang dilakukan di lingkup keluarganya itu juga sering dialami oleh anak,
kekerasan ini biasanya yang diterima anak dalam bentuk verbal, baik
katakata kasar, kata-kata menuduh anak, kata-kata menghina anak.
Dampak yang dirasakan anak dalam kekerasan ini, anak yang menarik diri
dari lingkup rumah tangganya, kata-kata kasar yang selalu diterimanya itu
menjadi kebiasaan sendiri untuk berbicara seperti itu. Walaupun demikian
hal seperti ini tidak baik untuk perkembangan anak itu sendiri apalagi
keluarga juga berfungsi sebagai fungsi pendidikan (Suhendi dan Wahyu, ),
keluarga adalah guru pertama dalam mendidik anak, hal ini dapat dilihat
dari pertumbuhan anak dari bayi hingga mampu berjalan sendiri. Contoh
dari fungsi keluarga adalah mengajari anak untuk berbicara sopan pada
orang yang lebih tua.

7
3. Dampak Kekerasan Sosial

Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak dalam segi


kekerasan sosial, orang tua dan anak tersebut mengalami berbagai macam
masalah baik secara internal maupun eksternal, sehingga anak dalam
keluarganya terlantar, dampak yang dirasakan anak akibat penelantaran
yang dilakukan orang tua, baik penelantaran dengan tidak memberikan
biaya untuk anak, kurangnya perhatian dari orang tua. Dampak lain atas
penelantaran sosial anak yaitu anak harus megerjakan tugas yang biasanya
dikerjakan ayahnya, pendidikan yang bermasalah.

E. MANIFESTASI KLINIS

Tanda anak yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah


a. Merasa rendah diri dan cemas,
b. Penuh rasa takut, Sedih, Putus asa
c. Terlihat lebih tua dari usianya
d. Sering merasa sakit kepala, Mengalami kesulitan tidur
e. Mengeluh nyeri yang tidak jelas penyebabnya
f. Kesemutan, Nyeri perut, dan Bersikap agresif tanpa penyebab yang
jelas.
g. Akibat kekerasan yang paling fatal adalah merusak kondisi psikologis
yang waktu penyembuhannya tidak pernah dapat dipastikan.

F. JENIS-JENIS PSIKOTERAPI TERHADAP TRAUMA KDRT pada


ANAK

1. Asosiasi Bebas
Asosiasi Bebas merupakan teknik utama dalam psikoanalisis. Terapis
meminta klien agar membersihkan pikirannya dari pikiran-pikiran dan renungan-
renungan sehari-hari, serta sedapat mungkin mengatakan apa saja yang muncul
dan melintas dalam pikiran. Cara yang khas adalah dengan mempersilakan klien
berbaring di atas balai-balai sementara terapis duduk dibelakangnya,
sehinggatidak mengalihkan perhatian klien pada saat-saat asosiasinya mengalir

8
dengan bebas. Asosiasi bebas merupakan suatu metode pemanggilan kembali
pengalaman-pengalaman masa lampau dan pelepasan emosi-emosi yang berkaitan
dengan situasi traumatis masa lalu, yang kemudian dikenal dengan katarsis.

2. Penafsiran (Interpretasi)

Penafsiran merupakan prosedur dasar di dalam menganalisis asosiasi bebas,


mimpi-mimpi, resistensi, dan transferensi. Caranya adalah dengan tindakan-
tindakan terapis untuk menyatakan, menerangkan, dan mengajarkan klien makna-
makna tingkah laku apa yang dimanifestasikan dalam mimpi, asosiasi bebas,
resistensi, dan hubungan terapeutik itu sendiri. Fungsi dari penafsiran ini adalah
mendorong ego untuk mengasimilasi bahan baru dan mempercepatproses
pengungkapan alam bawah sadar secara lebih lanjut. Penafsiran yang diberikan
oleh terapis menyebabkan adanya pemahaman dan tidak terhalanginya alam
bawah sadar pada diri klien.

3. Analisis Mimpi

Studi Freud yang mendalam tentang mimpi melahirkan pandangan-pandangan


kritisnya tentang hal ini. Bukunya yang berjudul “The Interpretation of Dreams”
(1899) adalah telaah intensif atas mimpi yang dilakukannya. Mimpi bagi Freud
sejajar dengan gejala-gejala penderita neurosis dan interpretasi atasnya selalu
mendukung hipotesisnya. Baginya mimpi adalah merupakan pemenuhan yang
tersamar dan bersifat halusinasi atas keinginan-keinginan yang terpaksa ditekan.
Bagian teori tentang mimpi yang paling hakiki dan vital bagi Freud adalah adanya
kaitan antara distorsi mimpi dengan suatu konflik batiniah atau semacam
ketidakjujuran batiniah (jurnal “Mengkaji Lucia Hartini Dan Lukisannya Dari
Perspektif Psikoanalisis) Analisis mimpi adalah prosedur atau cara yang penting
untuk mengungkap alam bawah sadar dan memberikan kepada klien pemahaman
atas beberapa area masalah yang tidak terselesaikan. Selama tidur, pertahanan-
pertahanan melemah, sehingga perasaan yang direpres akan muncul ke
permukaan, meski dalam bentuk lain. Freud memandang bahwa mimpi

9
merupakan “jalan istimewa menuju ketidaksadaran”, karena melalui mimpi
tersebut hasrat-hasrat, kebutuhan-kebutuhan, dan ketakutan tak sadar dapat
diungkapkan. Beberapa motivasi diantaranya sangat tidak dapat diterima oleh
seseorang, sehingga pada akhimya diungkapkan dalam bentuk yang disamarkan
atau disimbolkan dalam bentuk yang berbeda.Mimpi memiliki dua taraf, yaitu isi
laten dan isi manifes. Isi laten terdiri atas motif-motif yang disamarkan,
tersembunyi, simbolik,dan tidak disadari. Karena begitu menyakitkan dan
mengancam, maka dorongan-dorongan seksual dan perilaku agresif tak
sadar(yang merupakan isi laten) ditransformasikan ke dalam isi manifes yang
lebih dapat diterima, yaitu impian yang tampil pada si pemimpi sebagaimana
adanya. Sementara tugas terapis adalah mengungkapmakna-makna yang
disamarkan dengan mempelajari simbol-simbol yang terdapat dalam isi manifes.
Di dalam proses terapi, terapis juga dapat meminta klien untuk mengasosiasikan
secara bebas sejumlah aspek isi manifes impian untuk mengungkap makna-makna
yang terselubung.

4. Analisis Resistensi

Resistensi adalah sesuatu yang melawan kelangsungan terapi dan mencegah


klien mengemukakan bahan yang tidak disadari. Selama asosiasi bebas dan
analisis mimpi, klien dapat menunjukkan ketidaksediaan untuk menghubungkan
pikiran, perasaan, dan pengalaman tertentu. Freud memandang bahwa resistensi
dianggap sebagai dinamika tak sadar yang digunakan oleh klien sebagai
pertahanan terhadap kecemasan yang tidak bisa dibiarkan, yang akan meningkat
jika klien menjadi sadar atas dorongan atau perasaan yang direpres tersebut.

5. Analisis Transferensi

Resistensi dan transferensi merupakan dua hal inti dalam terapi psikonalisis.
Transferensi dalam keadaan normal adalah pemindahan emosi dari satu objek ke
objek lainnya, atau secara lebih khusus pemindahan emosidari orangtua kepada
terapis. Dalam keadaan neurosis, merupakan pemuasan libido klien yang

10
diperoleh melalui mekanisme pengganti atau lewat kasih sayang yang melekat dan
kasih sayang pengganti. Seperti ketika seorang klien menjadi lekat dan jatuh cinta
pada terapis sebagai pemindahan dari orang tuanya. Dengan cara ini, maka
diharapkan klien dapat menghidupkan kembali masa lampaunya dalam terapi dan
memungkinkan klien mampu memperoleh pemahaman atas sifat-sifat dari fiksasi-
fiksasi, konflik-konflik, serta mengatakan kepada klien suatu pemahaman
mengenai pengaruh masa lalu terhadap kehidupannya saat ini.

BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN KDRT PADA ANAK

A. Pengkajian

Perawat seringkali menjadi orang yang pertama kali menemukan tanda adanya
kekerasan pada anak dilihat indikator fisik dan kebiasaan . Saat kekerasan dalam
rumah tangga yang melibatkan anak penting bagi perawat untuk mendapatkan
seluruh gambaran dan bicaralah dahulu dengan orang tua tanpa disertai anak,
kemudian menginterview anak.

a. Identifikasi orang tua yang memiliki anak yang ditempatkan di rumah


orang lain atau saudaranya untuk beberapa waktu.
b. Identifikasi adanya riwayat kekerasaan pada orang tua di masa lalu,
depresi, atau masalah psikiatrik.
c. Identifikasi situasi krisis yang dapat menimbulkan kekerasan
d. Identifikasi bayi atau anak yang memerlukan perawatan dengan
ketergantungan tinggi (seperti prematur, bayi berat lahir rendah,
intoleransi makanan, ketidakmampuan perkembangan, hiperaktif, dan
gangguan kurang perhatian)
e. Monitor reaksi orang tua observasi apakah ada rasa jijik, takut atau kecewa
dengan jenis kelamin anak yang dilahirkan.
f. Kaji pengetahuan orang tua tentang kebutuhan dasar anak dan perawatan
anak.
g. Kaji respon psikologis pada trauma

11
h. Kaji keadekuatan dan adanya support system

Fokus pengkajian secara keseluruhan untuk menegakkan diagnosa


keperawatan berkaitan dengan KDRT pada anak , antara lain:

1. Psikososial
- Melalaikan diri seperti baju dan rambut si anak kotor, Bau badan
- Gagal tumbuh dengan baik pada masa pertumbuhannya
- Keterlambatan perkembangan tingkat kognitif, psikomotor, dan
psikososial
- Memisahkan diri dari orang-orang dewasa

2. Muskuloskeletal
- Fraktur
- Dislokasi ( Cedera Sendi )
- Sprain ( Keseleo )

3. Genitourinaria
- Infeksi saluran kemih
- Perdarahan per vagina
- Luka pada vagina / penis
- Nyeri waktu buang air kecil
- Laserasi pada organ genetalia eksternal, vagina, dan anus.

4. Integumen
- Lesi sirkulasi (biasanya pada kasus luka bakar oleh karena rokok)
- Luka bakar pada kulit, memar dan abrasi
- Adanya tanda-tanda bekas gigitan manusia yang tidak dapat dijelaskan
- Bengkak.

5. Pengumpulan data
a) Aspek biologis

12
Respon fisiologis timbul karena kegiatan sistem syaraf
otonom bereaksi terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah
meningkat,takikardi,muka merah,pupil melebar,pengeluaran urin
meningkat. Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti
meningkatnya kewaspadaan,ketegangan otot seperti rahang
terkatup,tangan dikepal,tubuh kaku,dan refleks cepat. Hal ini
disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saatv marah bertambah.

b) Aspek emosional
Salah satu anggota yang marah tidak nyaman,merasa tidak
berdaya,jengkel,frustasi,dendam,ingin memukul aggota yang
lain,mengamuk,bermusuhan dan sakit,menyalahkan dan menuntut.

c) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan
melalui proses intelektual,peran panca indra sangat penting untuk
beradaptasi dengan lingkungan yang selanjutnya diolah dalam
proses intelektual sebagai suatu pengalaman. Perawat perlu
mengkaji cara klien marah,mengidentifikasi penyebab
kemarahan,bagaimana informasi diproses,diklarifikasi dan
diintegrasikan.

d) Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial,budaya,konsep rasa percaya dan
ketergantuangan. Emosi marah sering merangsang kemarahan
anggota keluarga yang lain. Individu sering kali menyalurkan
kemarahan dengan mengkritik tingkah laku yang lain sehingga
anggota keluarga yang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan
kata-kata kasar yang berlebihan disrtai suara keras. Proes tersebut
dapat mengasingkan individu sendiri,menjauhkan diri dari orang
lain,menolak mengikuti aturan.

13
e) Aspek spiritual
Kepercayaan nilai dan moral memepengaruhi hubungan
individu dengan lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma
yang dimiliki dapat menimbulkan kemarahan yang
dimanifestasikan dengan amoral dan rasa tidak berdosa. Dari
uraian diatas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji individu
secara komprehensif meliputi aspek fisik,emosi,intelektual,sosial
dan spiritual yang secara singkat dapt dilukiskan sebagai berikut :
Aspek fisik terdiri dari muka merah,pandagan tajam,napas pendek
dan cepat,berkeringat,sakit fisik,penyalahgunaan zat,tekanan darah
meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat,tidak aman,dendam dan
jengkel. Aspek intelektual : mendominasi , bawel, sarkasme,
berdebat, meremehkan. Aspek sosial : menarik diri, penolakan,
kekerasan, ejekan, humor.

f) Aspek fisik
Aspek fisik terdiri dari muka merah,pandangan tajam,napas
pendek dan cepat,bekeringat,sakit fisik,penyalahgunaan
zat,tekanan darah meningkat. Aspek emosi : tidak adekuat,tidak
aman,dendam,jengkel. Aspek intelektual : mendominasi, bawel,
sarkasme, berdebat, meremehkan. Aspek sosial : menarik
diri,penolakan,kekerasan,ejekan, dan humor.

6. Klasifikasi data
Data yang didapat pada pengumpulan data dikelompokkan menjadi
2 macam yaitu data subyektif dan data obyektif. Data subyektif adalah
data yang disampaikan secara lisan oleh klien dan keluarga. Data ini
didapatkan melalui wawancara prawat dengan klien dan keluarga.
Sedangkan data obyektif adalah data yang ditemukan secara nyata.
Data ini didapatkan melalui observasi atau pmeiksaan langsung oleh
perawat.

14
7. Analisa data
Dengan melihat data subyektif dan data obyektif dapat menentukan
permasalahan yang dihadapi oleh keluarga dan dengan memperhatikan
pohon masalah dapat diketahui penyebab sampai pada efek masalah
tersebut. Dari hasil analisa data inilah dapat ditentukan diagnosa
keperawatan.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain b.d Riwayat


penganiayaan pada masa kanak-kanak
2. Isolasi sosial b.d Perubahan status mental
3. Ketidakefektifan koping keluarga b.d Keluarga tidak harmonis

C. INTERVENSI
NO Diagnosa Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)

1 Resiko perilaku Perlindungan terhadap Peningkatan keamanan


kekerasan kekerasan
1.1 Berada disisi pasien dan
terhadap orang
Kriteria hasil : sediakan jaminan
lain b.d Riwayat
keamanan selama periode
penganiayaan 1. Keamanan
kecemasan
pada masa kanak- tempat tinggal
1.2 Sediakan lingkungan
kanak (1 2 3 4 5)
yang tidak mengancam
2. Rencana untuk
1.3 Peluk bayi atau anak
menghindari
kecil Dukung keluarga
kekerasan (
untuk menyediakan
yang dialami)
barang pribadi yang
(1 2 3 4 5)
digunakan anak untuk
3. Keamanan
kesenangan
anak-anak (1 2
3 4 5)

15
4. Pembatasan
kontak dengan
pelaku
kekerasan (1 2
3 4 5)

2 Isolasi sosial b.d Tingkat rasa takut : Terapi rekreasi


Perubahan status Anak
2.1 Monitor kapasitas fisik
mental
Kriteria hasil : dan mental anak untuk
berpartisipasi dalam
1. Berkeringat (1
aktivitas rekreasi
2 3 4 5)
2.2 Monitor respon
2. Menangis (1 2
emosi,fisik,dan sosial
3 4 5)
anak terhadap
3. Perilaku
dilakukannya terapi
menghindar (1
aktivitas
2 3 4 5)
2.3 Berikan aktivitas rekreasi
4. Menarik diri (1
yang mempunyai tujuan
2 3 4 5)
untuk menurunkan cemas
5. Perilaku
anak
kekerasan (1 2
3 4 5)
6. Ketakutan (1 2
3 4 5)
3 Ketidakefektifan Penghentian terhadap Terapi trauma anak
koping keluarga kekerasan
3.1.Gunakan bahasa yang
b.d Keluarga tidak Kriteria hasil :
sesuai dengan tahapan
harmonis
perkembangan untuk
1. Bukti bahwa
bertanya mengenai
kekerasan fisik
trauma
telah
3.2.Ajarkan tehnik
dihentikan (1 2

16
3 4 5) manajemen stres tertentu
2. Bukti bahwa sebelum eksplorasi
kekerasan trauma untuk
emosi telah mengembalikan kontrol
dihentikan (1 2 atas pikiran dan perasaan
3 4 5) 3.3.Bangun kepercayaan ,
3. Bukti bahwa keamanan, dan hak untuk
kekerasan mendapatkan akses
seksual telah di materi trauma dengan
hentikan (1 2 3 hati-hati dengan
4 5) memantau reaksi
4. Bukti bahwa terhadap pengungkapan
eksploitasi kejadian
finansial telah 3.4.Edukasi orang tua dalam
di hentikan (1 rangka proses terapi dan
2 3 4 5) . respon anak terhadap
trauma
3.5.Bantu orang tua untuk
mengatasi gangguan
emosi sendiri akibat
trauma

D. IMPLEMENTASI
NO DIAGNOSA IMPLEMENTASI

1 Resiko perilaku kekerasan terhadap Peningkatan keamanan


orang lain b.d Riwayat
1.1 Berada disisi pasien dan sediakan
penganiayaan pada masa kanak-
jaminan keamanan selama periode
kanak
kecemasan

17
1.2 Menyediakan lingkungan yang
tidak mengancam
1.3 Memeluk bayi atau anak kecil
1.4 Mendukung keluarga untuk
menyediakan barang pribadi yang
digunakan anak untuk kesenangan

2 Isolasi sosial b.d Perubahan status Terapi rekreasi


mental
2.1 Memonitor kapasitas fisik dan
mental anak untuk berpartisipasi
dalam aktivitas rekreasi
2.2 Memonitor respon
emosi,fisik,dan sosial anak
terhadap dilakukannya terapi
aktivitas
2.3 Memberikan aktivitas rekreasi
yang mempunyai tujuan untuk
menurunkan cemas anak
2.4 Membantu anak untuk memilih
aktivitas rekreasi yang sesuai
dengan kemampuan
fisik,psikologi, dan sosial

3 Ketidakefektifan koping keluarga Terapi trauma anak


b.d Keluarga tidak harmonis 3.1.Menggunakan bahasa yang sesuai
dengan tahapan perkembangan
untuk bertanya mengenai trauma
3.2. Mengajarkan tehnik manajemen
stres tertentu sebelum eksplorasi

18
trauma untuk mengembalikan
kontrol atas pikiran dan perasaan
3.3. Membangun kepercayaan ,
keamanan, dan hak untuk
mendapatkan akses materi trauma
dengan hati-hati dengan
memantau reaksi terhadap
pengungkapan kejadian
3.4. Medukasi orang tua dalam
rangka proses terapi dan respon
anak terhadap trauma
3.5. Membantu orang tua untuk
mengatasi gangguan emosi sendiri
akibat trauma

E. EVALUASI KEPERAWATAN

1. Resiko perilaku kekerasan terhadap orang lain b.d Riwayat penganiayaan pada
masa kanak-kanak : Diharapkan anak mendapat perlindungan terhadap
kekerasan dan tidak memiliki dendam untuk melakukan kekerasan terhadap
orang lain

2. Isolasi sosial b.d Perubahan status mental : Anak tidak lagi merasa takut
akibat perilaku kekerasan yang dialaminya sehingga tidak menarik diri dari
lingkungan

3. Ketidakefektifan koping keluarga b.d Keluarga tidak harmonis : Keluarga


dapat membangun koping tiap anggota keluarganya. Kekerasan pada anak
tertatasi baik secara fisik,emosi,maupun ment

19
20

Anda mungkin juga menyukai