Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

KONSEP DAN ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN


PADA KELOMPOK KHUSUS : WTS DALAM KONTEKS PELAYANAN
KEPERAWATAN KOMUNITAS
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata
Latin socius yang berarti (kawan).Istilah masyarakat berasal dari kata bahasa Arab
syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).Masyarakat adalah sekumpulan
manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.Suatu
kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warganya dapat saling
berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi
menurut suatu sistem adat istiadat tertentu bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa
identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat
ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4)
Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118).
Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai
persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok khusus dengan
batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah melembaga
(Sumijatun dkk, 2006). Keperawatan komunitas sebagai suatu bidang keperawatan yang
merupakan perpaduan antara keperawatan dan kesehatan masyarakat (public health)
dengan dukungan peran serta masyarakat secara aktif serta mengutamakan pelayanan
promotif dan preventif secara berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan kuratif
dan rehabilitatif secara menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada individu,
keluarga, kelompok serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui proses keperawatan
(nursing process) untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal,
sehingga mampu mandiri dalam upaya kesehatan (Mubarak, 2006).
Dalam penyelenggaraannya pelayanan keperawatan komunitas tidak lepas dari
pelayanan pada kelompok khusus seperti pelayanan terpusat dilakukan di sekolah,
lingkungan kesehatan kerja, lembaga perawatan kesehatan di rumah dan lingkungan
kesehatan kerja lainnya (Mubarak 2006). Mengurangi transmisi penyakit menular antar
pekerja, memberikan program peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, dan
pendidikan kesehatan.Khususnya pada daerah yang merupakan tempat beresiko terjadi
penularan penyakit.Salah satunya seperti tempat lokalisasi.
1.2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mendeskripsikan asuhan keperawatan mengenai kelompok khusus
dalam pelayanan keperawatan komunitas pada PSK.

2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan tentang konsep lokalisasi dalam konteks pelayanan keperawatan
komunitas.
b. Memberikan gambaran pelaksanaan asuhan keerawatan pada kelompok khusus
WTS

1.3. Metode Penulisan


Metode penulisan yang digunakan adalah eksplanasi atau penjelasan tentang
topik-topik yang terkait dengan lokalisasi.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1. Konsep Teori


2.1.1. Konsep Lokalisasi Dalam Konteks Pelayanan Keperawatan Komunitas.
1.1. Definisi
Kata prostitusi berasal dari perkataan latin prostituere yang berarti
menyerahkan diri dengan terang-terangan kepada perzinahan. Sedangkan secara
etimologi berasal dari kata prostare artinya menjual, menjajakan (Simandjuntak,
Patologi Sosial (Bandung: Tarsito, 1985), hal. 112.).
Jadi prostitusi adalah suatu transaksi antara si peerempuan pelacur dan si
pemakai jasa pelacur yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual.(Ratna
Saptari, BrigitteHolzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar
Studi Perempuan, 1997, hal. 391).Lokalisasi merupakan suatu bentuk dari legalisasi
aktifitas prostitusi secara eksklusif pada suatu wilaya tertentu. Jadi Lokalisasi erat
kaitannya dengan prostitusi atau dengan kata lain sebagai bentuk legalisasi praktek
atau aktifitas prostitusi.
Ada tiga Kategori PSK di Indonesia:
1. Kelompok perempuan cantik yang memilih profesi menjajakan diri dengan
bayaran sangat tinggi.
2. Grup PSK yang menjajakan diri mereka ditemani dengan mucikari dan biasanya
ditemukan di tempat lokalisasi
3. Kelompok pelacur yang sungguh-sungguh menjajakan diri karena terdesak
kebutuhan ekonomi
1.2.Jenis Prostitusi dan Lokalisasi
Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan
terorganisir, dan yang tidak terdaftar.
a. Prostitusi yang terdaftar
Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari kepolisian, yang dibantu
dan bekerja sama dengan jawatan sosial dan jawatan kesehatan. Pada umumnya
mereka dilokalisir dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodik harus
memeriksakan diri pada dokter atau petugas kesehatan, dan mendapatkan
suntikan serta pengobatan, sebagai tindakan dan keamanan umum.
b. Prostitusi yang tidak terdaftar
Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi
secara gelap-gelapan dan liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok.
Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya pun tidak tertentu. Bisa disembarang
tempat, baik mencari mangsa sendiri maupun melalui calo-calo dan panggilan.
Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib. Sehingga kesehatannya
sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan
kesehatannya kepada dokter. Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi dalam:
1. Prostitusi yang beroprasi secara individual, merupakan single operator. Atau
2. Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur
rapi. Jadi mereka itu tidak bekerja sendirian akan tetapi diatur melalui satu
sistem kerja suatu organisasi.
Noeleen Heyzer membedakan tiga macam tipe pelacur menurut
hubungannya dengan pihak pengelola bisnis pelacuran, yaitu:
a. Mereka bekerja sendiri tanpa calo atau majikan. Sering kali mereka
beroperasi di pinggir jalan atau keluar masuk satu bar ke bar lain.
b. Mereka memiliki calo atau beberapa calo yang saling terkait secara
hierarkis. Calo atau perantara bisa germo yang mengkhususkan diri
pada bisnis pelacuran, pemilik club malam, guide turis baik lokal maupun
asing, supir taksi atau pegawai hotel. Biasanya si pelacur sendiri hanya
memperoleh sebagian kecil dari uang yang dibayarkan oleh kliennya.
c. Mereka berada langsung di bawah naungan sebuah lembaga atau
organisasi mapan. Contohnya klub panti pijat, tempat lokalisasi dan
hotel-hotel (Ratna dan Brigitte, 199, hal. 391).
Sedang menurut tempat penggolongan atau lokasinya, prostitusi dapat
dibagi menjadi:
- Segregasi atau lokalisasi, yang terisolir atau terpisah dari kompleks
penduduk lainnya. Komplek ini dikenal sebagai daerah lampu
merah atau petak-petak daerah tertutup.
- Rumah-rumah panggilan (call houses tempat rendezvour, parlour).
- Dibalik front organisasi atau dibalik business-business terhormat.
(apotik, salon kecantikan, rumah makan, tempat mandi uap dan
pijat, anak wayang, sirkus dan lain-lain) (Kartini Kartono, Patologi Sosial
,1981, hal. 240242.).

2.3.Faktor Penyebab terjadi Prostitusi


Kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor
utama yaitu faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal adalah yang
datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa
frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya.Sedangkan faktor eksternal adalah
sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri
melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal
yang demikian.Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi,
pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya.
Selain itu factor penyebab terjadninya prostitusi menurut Kartini Kartono, 1981
hal adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecenderungan menghancurkan diri
2. Adanya nafsu seksual yang abnormal
3. Tekanan ekonomi
4. Aspirasi material (materialistis)
5. Kompensasi terhadap perasaan inferior
6. Rasa ingin tahu yang besar
7. Memberontak terhadap otoritas orang tua
8. Pengalaman seksual di masa anak
9. Tergiur bujukan laki-laki hidung belang atau calo
10. Banyaknya stimulasi seksual
11. Broken home
12. Pengaruh narkoba
2.4.Faktor Pendukung Prostitusi
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan tahun 2010 dengan
metode wawancara terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan
bahwa faktor penyebab mereka terjun ke dunia hitam tersebut adalah sebagai
berikut :
- Faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%,
- Faktor frustasi karena putus cinta, sebanyak 20%,
- Faktor lingkungan 15%,
- Faktor hasrat seks 10%, dan
- Faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas
dan gajinya besar, sebanyak 10%

2.5. Eradikasi (Penanggulangan Prostitusi)


Usaha untuk mengatasi masalah tuna susila ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Usaha yang bersifat preventif
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan
untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa:
1) Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau
pengaturan penyelenggaraan pelacuran.
2) Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian untuk
memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan
3) Menciptakan bermacam-macam ksibukan dan kesempatan bagi anak-
anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya.
4) Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan
kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
5) Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan
alam kehidupan keluarga.
6) Pembentukan badan atau team koordinasi dari semua usaha
penanggulangan pelacuran, yang dilakukan oleh beberapa instansi.
Sekaligus mengikut sertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu
melaksanakan kegiatan pencegahan dan penyebaran pelacuran.
7) Penyitaan terhadap buku-buku dan majala-majalah cabul, gambargambar
porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu
seks.
8) Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.
b. Tindakan bersifat represif dan kuratif
Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai;
kegiatan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha
menyembuhkan para wanita dari ketuna susilaannya, untuk kemudian
membawa mereka ke jalan benar. Usaha represif dan kuratif ini antara lain
berupa:
1) Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang
melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan
dan keamanan para prostitue serta lingkungannya.
2) Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi
dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga
masyarakat yang susila rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan
melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif.
3) Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tuna
susila yang terkena razia, disertai pembinaan mereka, sesuai akat dan
minat masing-masing.
4) Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk
menjamin kesehatan para prostitue dan lingkungannya.
5) Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia
meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.
6) Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan
masyarakat asal mereka, agar mereka mau menerima kembali bekas-
bekas wanita tuna susila itu mengawali hidup baru.
7) Mencarikan pasangan hidup yang permanen/ suami bagi para wanita
tuna susila, untuk membawa mereka ke jalan benar.
Pemerintah juga telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi
masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan sering
mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian memberi
pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak efektif menekan
perkembangan prostitusi. Upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah dalam
penanggulangan prostitusi antara lain dengan cara :
1. Melarang dengan undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan,
sesuai dengan Peraturan daerah yang berlaku (Mislanya wilayah jawa barat
Perda yang mengatur adalah Peraturan Daerah Kota Bandung No.11 Tahun
2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan,
selanjutnya disingkat PERDA K3 khususnya Pasal 39 huruf (g, h, i) yang
berbunyi :
Dalam rangka mewujudkan Daerah yang bersih dari tuna wisma , tuna
social dan tuna susila, setiap orang, Badan Hukum dan/atau perkumpulan,
dilarang:
a. Menyediakan, menghimpun wanita tuna susila untuk dipanggil,
member kesempatan kepada khayalak umum untuk berbuat asusila;
b. Menjajakan cinta atau tingkah lakunya yang patut di duga akan berbuat
asusila dengan berada di jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum
lainnya serta tempat-tempat yang dicurigai akan digunakan sebagai
tempat melakukan perbuatan asusila;
c. Menarik keuntungan dari perbuatan asusila sebagai mata pencaharian.
2. Dengan pencatatan dan pengawasan kesehatannya,
3. Ditampung di tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan
perawatan serta diberikan penerangan-penerangan agama atau pendidikan
juga diadakan larangan-larangan terhadap anak-anak muda yang mengunjungi
tempat tersebut,
4. Rehabilitasi dalam asrama-asrama dimana para pelacur yang tertangkap
diseleksi, yang dianggap masih dapat diperbaiki ditampung dalam asrama,
mereka dididik dalam keterampilan, agama dan lain-lain dipersiapkan untuk
dapat kembali ke masyarakat sebagai warga yang baik kembali.
Kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang
menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan malam itu
tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan persoalan pelacuran yang
tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan ditempuh ibaratnya seperti meremas
sebuah balon, di mana bagian yang ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak
tampak, akan tetapi bagian yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis
seperti apa yang terjadi dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu
lokalisasi dirazia dan ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.

2.6.Prevalensi Tempat Lokalisasi di Indonesia


Menurut beritagar.id.com dalam Indonesia Bebas Prostitusi 2019,
kemensos mencatat ada 168 daerah yang memiliki lokalisasi prostitusi, dengan
jumlah PSK (Pekerja Seks Komersial) 56.000 orang pada bulan februari 2016.
Selain itu Kalimantan Timur memiliki lokalisasi prostitusi terbanyak di
Indonesia. Setidaknya ada sekitar 4.000 PSK yang tersebar di 35 lokalisasi.
Penutupan dilakukan secara bertahap. Ketika Pemerintah Provinsi DKI Jakarta
menutup Kalijodo, beberapa waktu lalu, Jumlah lokalisasi di Indonesia kini
tinggal 99 tempat. Dari jumlah tersebut, sebanyak 35 lokalisasi berlokasi di
Kalimantan Timur, 12 di antaranya di Kukar.
Dilansir dari detik.com pada bulan juni 2016 kemensos Khofifah Indar
Parawansa dalam acara penutupuan 22 titik lokalisasi di Kalimantan timur
menyatakan: Penutupan seluruh titik lokasi dan lokalisasi di Kalimantan Timur,
berarti secara nasional tinggal 69 titik lagi. Yang terbesar sekarang 11 titik
lokalisasi di Jawa Barat. Selain itu Khofifah dalam sambutannya
menyampaikan di Indonesia, jumlah lokalisasi terbesar kini ada di Jawa Barat.

2.7.Dampak Prostitusi
Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang
berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain :
a. Secara sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang bertentangan
dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat,
b. Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi,
c. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan
martabat wanita,
d. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan
tenaga kerja,
e. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat
efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat
berbahaya,
f. Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-
kegiatan criminal,
g. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan estetika
lingkungan perkotaan.

2.8.Faktor Penyebab Penutupan Lokalisasi Prostitusi


Berbicara tentang faktor penyebab penutupan lokalisasi prostitusi, maka
tidak lepas dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari prostitusi sendiri, diantaranya
yaitu:
a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.
b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga
c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan,
khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.
d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja,
morfin, heroin, dan lain-lain).
e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.
f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.
2.2. Masalah Keperawatan
2.2.1. Lokalisasi

Diagnosis Keperawatan NOC NIC


Data
Kode Diagnosis Kode Hasil Kode Intervensi
Masalah kesehatan komunitas pada kelompok khusus Lokalisasi : Kesehatan reproduksi (Resiko Infeksi Menular Seksual)
- Akses 00215 Defisiensi Prevensi Primer Prevensi Primer
terhadap Kesehatan Komunitas 2700 Kompetensi Masyarakat 8700 Pengembangan Program
pelayanan (2010; LOE 2.1)
kesehatan Domain 1. Promosi 2701 Derajat Kesehatan Masyarakat 4350 Menejemen Perilaku
yang Kesehatan, Kelas 2.
minimal Menejemen Kesehatan 4360 Modifikasi Perilaku
- Tenaga
VCT Definisi: 4356 Menejemen Perilaku seksual
terlatih Adanya satu atau lebih
puskesmas masalah kesehatan atau 7970 Monitoring Kebijakan
yang factor yang meganggu kesehatan
masih kesejahteraan atau Prevensi Sekunder Prevensi Sekunder
terbatas meningkatkan resiko 2702 Tingkat Kekerasan Masyarakat 6520 Skrining Kesehatan
- Dukungan masalah kesehatan yang
dialami oleh suatu 2802 Kontrol terhadap kelompok 6652 Surveileins Komunitas
social kelompok. beresiko penularan
Kasus
Penularan Batasan Karakteristik: 2808 Efektifitas Program Masyarakat 7160 Menjaga Kesuburan
HIV yang - Masalah kesehatan
tidak yang dialami oleh sutu 7910 Konsultasi
adekuat kelompok atau populasi.
- Adanya - Resiko hospitalisasi 8190 Tindak Lanjut melalui Telepon
temuan yang dialami oleh Prevensi Tertier Prevensi Tertier
kasus IMS kelompok atau populasi. 2808 Program efektifitas komunitas 8180 Konsultasi melalui telepon
dan HIV - Resiko status fisiologis
- Stigma yang dialami kelompok 1634 Perilaku Pemeriksaan Kesehatan 8100 Rujukan
masyaraka atau populasi. Pribadi
t terhdap - Tidak tersedia program
WTS/PSK untuk mencegah satu (IPKKI PPNI 2017, Hal. 124) (IPKKI PPNI 2017, Hal. 124)
dan atau lebih masalah
penderita kesehatan bagi suatu
HIV kelompok atau populasi.
- Tidak Tersedia
program untuk
menghilangkan satu atau
lebih masalah kesehatan
bagi suatu kelompok
atau populasi.
- Tidak tersedia program
untuk mengurangi satu
atau lebih masalah
kesehatan bagi suatu
kelompok atau populasi.
- Tidak tersedia program
untuk meningkatkan
kesejahteraan bagi suatu
kelompok atau populasi.

Faktor yang
berhubungan:
-Ketidakcukupan ahli di
komunitas.
- Ketidakcukupan akses
pada pemberi pelayanan
kesehatan.
- Ketidakcukupan biaya
program
- Ketidakcukupan data
hasil program
- Ketidakcukupan
sumber daya (mis,
finansial, social
pengetahuan).
-Ketidakmampuan
konsumen terhadap
program.
- Ketidakketepatan
rencana evaluasi
program.
- Program tidak
seluruhnya mengatasi
masalah kesehatan.

(Nanda International,
Diagnosis Keperawatan
Definisi dan klasifikasi
2015-2017 Ed. 2010, Hal
159)
2.3. Kasus Simulasi

2.3.1. Lokalisasi
Jurnal :Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Kejadian PMS Di
Lokalisasi Gang Sadar Baturaden Kabupaten Banyumas Tahun 2011(Pipit Reviliana,
Artathi Eka Suryandari dan Warni Fridayanti. Bidan Prada : Jurnal Ilmiah Kebidanan,
Vol.3 No.1 Edisi Juni 2012, e-mail : Warnifridayanti@yahoo.co.id )
Data Fokus :
1. Host
Beberapa faktor yang terdapat pada host, berperan pada perbedaan insiden penyakit
menular adalah :
1) Umur
2) Jenis kelamin
3) Pilihan dalam hubungan seksual : Faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang
ada tiga yaitu faktor predisposisi, faktor-faktor pendukung dan faktor pendorong.
Faktor predisposisi adalah yang memudahkan terjadinya perilaku antara lain
pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai pandangan dan
persepsi, tradisi, norma sosial, pendapatan, pendidikan, umur dan status sosial.
Faktor pendukung adalah faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku,
antara lain adanya keterampilan dan sumber daya seperti fasilitas, personal dan
pelayanan kesehatan serta kemudahan untuk mencapainya. Faktor pendorong adalah
faktor-faktor yang mampu menguatkan seseorang untuk melakukan perilaku
tersebut, diantaranya sikap dan perilaku petugas kesehatan serta dorongan yang
berasal dari masyarakat (Notoatmodjo, 2003).
4) Lama bekerja sebagai pekerja seks komersial : Pekerjaan seseorang sering
merupakan ikatan erat dengan kemungkinan terjadinya PMS. Pada beberapa orang
yang bekerjadengan kondisi tertentu dan lingkungan yang memberikan peluang
terjadinya kontak seksual akan meningkatkan penderita PMS. Orang tersebut
termasuk dalam kelompok risiko tinggi terkena PMS.
5) Status perkawinan
Insiden PMS lebih tinggi pada orang yang belum kawin, bercerai atau orang yang
terpisah dari keluarganya bila dibandingkan dengan orang yang sudah kawin karena
pemenuhan kebutuhan seksualnya terpenuhi (Setyawulan, 2007).
6) Pemakaian kondom (Saifudin, 2006).
2. Agent
Penyakit menular seksual sangat bervariasi dapat berupa virus, parasit, bakteri,
protozoa (Widyastuti, 2009).
3. Enviroment
1) Faktor demografi
a) Bertambahnya jumlah penduduk dan pemukiman yang padat.
b) Perpindahan populasi yang menambah migrasi dan mobilisasi penduduk
misalnya : perdagangan, hiburan dan lain-lain.
c) Meningkatnya prostitusi dan homo seksual.
d) Remaja lebih cepat matang dibidang seksual yang ingin lebih cepat
mendapatkan kepuasan seksual.
2) Faktor sosial ekonomi
Alasan seorang wanita terjerumus menjadi pekerja seks adalah karena
desakan ekonomi, dimana untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, namun sulitnya
mencari pekerjaan, sehingga menjadi pekerja seks merupakan pekerjaan yang
termudah (Utami, 2010). Pelacuran erat hubungannya dengan masalah sosial.
Kemiskinan sering memaksa orang bisa berbuat apa saja demi memenuhi kebutuhan
hidup termasuk melacurkan diri ke lingkaran prostitusi. Hal ini biasanya dialami
oleh perempuan kalangan menengah kebawah (Utami, 2010). Penyebab lain
diantaranya tidak memiliki modal untuk kegiatan ekonomi, tidak memiliki
keterampilan maupun pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik
sehingga menjadi pekerja seks merupakan pilihan. Faktor pendorong lain untuk
bekerja sebagai PSK antara lain terkena PHK sehingga untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidup menjadi PSK merupakan pekerjaan yang paling mudah
mendapatkan uang (Utami, 2010).
3) Faktor kebudayaan
Kekosongan spiritual berhubungan dengan rendahnya pemahaman terhadap
nilai-nilai agama pada pekerja seks komersial yang terlihat.Berdasarkan hasil
penelitian bahwa konflik kebutuhan justru menjadi konflik utama dalam diri
mereka, dan bukan konflik yang disebabkan munculnya perasaan bersalah dan
berdosa pada Tuhan.Manajemen konflik yang dilakukan subjek juga terpusat pada
pengelolaan konflik kebutuhan, sehingga adanya kekosongan spiritual dalam diri
mereka yang menyebabkan mereka tetap bertahan dari pekerjaannya sebagai wanita
pekerja seks komersial (Utami, 2010).
4) Faktor medik
Standar Minimum berlaku untuk Klinik IMS yang telah dikembangkan guna
memperbaiki kualitas diagnosis dan pengobatan IMS secara keseluruhan di seluruh
klinik IMS di Indonesia. Untuk melaksanakan ini, setiap klinik IMS harus
melakukan hal-hal seperti promosi kondom dan seks yang aman, pelayanan
ditargetkan untuk kelompok berisiko tinggi, misalnya pekerja seks dan kelompok
penghubung pelanggan mereka, pelayanan yang efektif yaitu pengobatan
secepatnya bagi orang dengan gejala, program penapisan, dan pengobatan
secepatnya untuk IMS yang tanpa gejala pada kelompok risiko tinggi yang menjadi
sasaran (Arifianti, 2008).
BAB III
KESIMPULAN

Lokalisasi merupakan suatu bentuk dari legalisasi aktifitas prostitusi secara eksklusif
pada suatu wilaya tertentu. Jadi Lokalisasi erat kaitannya dengan prostitusi atau dengan kata lain
sebagai bentuk legalisasi praktek atau aktifitas prostitusi. Usaha yang bersifat preventif
diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain
berupa: Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan
penyelenggaraan pelacuran.Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai;
kegiatan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari
ketuna susilaannya, untuk kemudian membawa mereka ke jalan benar. Usaha represif dan kuratif
ini antara lain berupa: Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang
melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para
prostitue serta lingkungannya.
DAFTAR PUSTAKA

Anizar, 2009.Teknik Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Industri. Yogyakarta: Graha


Ilmu.

Dermawan, Deden.2012.Proses Keperawatan Penerapan Konsep dan Kerangka


Kerja.Gosyen Publising :Yogyakarta.

Dewi Sri Maryani, 2014, Ilmu Keperawatan Komunitas, Bandung ; CV Yrama Widya.

dr. Dainur, 1995, hal 74, Materi-Materi Pokok Ilmu Kesehatan Masyarakat. Di
terbitkan pertama kali oleh Penerbit Widya Medika

dr. Indan Entjang, 2000, al 119, Ilmu Kesehatan Masyarakat. Penerbit : PT. Citra

Ferry Efendi. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori Dan Praktek Dalam
Keperawatan. Jilid 1.Jakarta : Salemba Medika.

Kartini Kartono, 1981, Patologi Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Mubarok,Wahit Iqbal,dkk. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas. Jakarta : Salemba


Medika

Nanda International inc, Diagnosis Keperawatan ; Definisi dan klasifikasi 2015-2017,


Jakarta :EGC

Ni Made Riamini dkk,2017 Panduan Asuhan Keperawatan Individu, Keluarga,


Kelompok dank Komunitas dengan Modifikasi NANDA, ICNP, NOC, dan
NIC di Puskesmas dan Masyarakat.IPKKI PPNI, Jakarta ; UI-Press.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03 /MEN/1998 tentang Tata Cara


Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan

Perda Bandunh no 5 tahun 2005


Ratna Saptari dan Brigitte Holzner,1997, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial
Sebuah Pengantar Studi Perempuan, Jakarta: Kalyanamitra.

Simandjuntak, 1985,Patologi Sosial, Bandung: Tarsito.

Soekidjoe Notoadmojo, 2012, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta ; Rineka
Cipta.

Nies & Swansons, 2002; American Asscociation of Occupational Health Nursing


AAOHN

www.beritagar.id.com dalam Indonesia Bebas Prostitusi 2019,Parawansa diakses


tanggal 18 april 2016

www.detik.com pada bulan juni 2016 kemensos Khofifah IndarParawansa diakses


tanggal 18 april 2016

Anda mungkin juga menyukai