Anda di halaman 1dari 70

BAB I

WTS

1.1 PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari
kata Latin socius yang berarti (kawan).Istilah masyarakat berasal dari kata
bahasa Arab syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi).Masyarakat
adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah
saling berinteraksi.Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui
warga-warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah
kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
tertentu bersifat kontinyu, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1)
Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa
identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118).
Komunitas (community) adalah sekelompok masyarakat yang mempunyai
persamaan nilai (values), perhatian (interest) yang merupakan kelompok khusus
dengan batas-batas geografi yang jelas, dengan norma dan nilai yang telah
melembaga (Sumijatun dkk, 2006). Keperawatan komunitas sebagai suatu
bidang keperawatan yang merupakan perpaduan antara keperawatan dan
kesehatan masyarakat (public health) dengan dukungan peran serta masyarakat
secara aktif serta mengutamakan pelayanan promotif dan preventif secara
berkesinambungan tanpa mengabaikan perawatan kuratif dan rehabilitatif secara
menyeluruh dan terpadu yang ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok
serta masyarakat sebagai kesatuan utuh melalui proses keperawatan (nursing
process) untuk meningkatkan fungsi kehidupan manusia secara optimal,
sehingga mampu mandiri dalam upaya kesehatan (Mubarak, 2009).
Dalam penyelenggaraannya pelayanan keperawatan komunitas tidak lepas
dari pelayanan pada kelompok khusus seperti pelayanan terpusat dilakukan di
sekolah, lingkungan kesehatan kerja, lembaga perawatan kesehatan di rumah
dan lingkungan kesehatan kerja lainnya (Mubarak 2009). Mengurangi transmisi
penyakit menular antar pekerja, memberikan program peningkatan kesehatan,
pencegahan penyakit, dan pendidikan kesehatan.Khususnya pada daerah yang
merupakan tempat beresiko terjadi penularan penyakit.Salah satunya seperti
tempat lokalisasi..
B.RUMUSAN MASALAH

1. Apa Definisi dari WTS?

2. Apa saja factor penyebab adanya WTS?

3. Apa saja factor pendukung adanya WTS?

4. Bagaimana penanggulangan prostitusi terhadap WTS?

5. Apa saja dampak adanya prostitusi terhadap WTS?

C.TUJUAN PENULISAN

6. Untuk mengetahui definisi WTS.

7. Untuk mengetahui factor penyebab adanya WTS.

8. Untuk mengetahui factor pendukung adanya WTS

9. Untuk mengetahui penanggulangan prostitusi terhadap WTS

10. Untuk mengetahui dampak adanya prostitusi terhadap WTS.

D.MANFAAT

11. Tugas ini berguna bagi pembaca untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman tentang asuhan keperawatan WTS (Wanita Tuna Susila) di
komunitas.
12. Penyusun dapat mengetahui dan memahami secara spesifik tentang
asuhan keperawatan WTS (Wanita Tuna Susila) di komunitas.
1.2.TINJAUAN PUSTAKA
A.DEFINISI

Menurut Kartono (2009 : 185) bahwa Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan
seorang wanita yang menjual diri dengan jalan memperjualbelikan badan,
kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-
nafsu seks dengan imbalan sebagai pembayarannya.
Kata prostitusi berasal dari perkataan latin prostituere yang berarti
menyerahkan diri dengan terang-terangan kepada perzinahan. Sedangkan
secara etimologi berasal dari kata prostare artinya menjual, menjajakan
(Simandjuntak, Patologi Sosial (Bandung: Tarsito, 2009), hal. 112.).
Jadi prostitusi adalah suatu transaksi antara si peerempuan pelacur dan si
pemakai jasa pelacur yang memberi sejumlah uang untuk interaksi seksual.
(Ratna Saptari, BrigitteHolzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah
Pengantar Studi Perempuan, 2009, hal. 391).Lokalisasi merupakan suatu bentuk
dari legalisasi aktifitas prostitusi secara eksklusif pada suatu wilaya tertentu. Jadi
Lokalisasi erat kaitannya dengan prostitusi atau dengan kata lain sebagai bentuk
legalisasi praktek atau aktifitas prostitusi.

B.FAKTOR PENYEBAB ADANYA WTS

Kehidupan wanita dalam dunia seks (prostitusi), bisa terjadi karena dua faktor
utama yaitu “faktor internal” dan “faktor eksternal”.Faktor internal adalah yang
datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan dengan hasrat, rasa
frustrasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya.Sedangkan faktor eksternal adalah
sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu sendiri
melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal
yang demikian.Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi,
pengaruh lingkungan, kegagalan kehidupan keluarga, dan sebagainya.
Selain itu factor penyebab terjadinya prostitusi menurut Kartini Kartono, 2009
hal adalah sebagai berikut :
1. Adanya kecenderungan menghancurkan diri

2. Adanya nafsu seksual yang abnormal

3. Tekanan ekonomi
4. Aspirasi material (materialistis)

5. Kompensasi terhadap perasaan inferior

6. Rasa ingin tahu yang besar

7. Memberontak terhadap otoritas orang tua

8. Pengalaman seksual di masa anak

9. Tergiur bujukan laki-laki hidung belang atau calo

10. Banyaknya stimulasi seksual

11. Broken home

12. Pengaruh narkoba

C. FAKTOR PENDUKUNG ADANYA WTS

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan tahun 2010 dengan metode
wawancara terhadap 20 wanita yang terlibat prostitusi dapat disimpulkan bahwa
faktor penyebab mereka terjun ke dunia ‘hitam’ tersebut adalah sebagai berikut :
13. Faktor ekonomi, yaitu sebanyak 45%,

14. Faktor frustasi karena putus cinta, sebanyak 20%,

15. Faktor lingkungan 15%,

16. Faktor hasrat seks 10%, dan

17. Faktor tipuan mucikari yang katanya hendak mencarikan kerja yang pantas
dan gajinya besar, sebanyak 10%

D.PENANGGULANGAN WTS

Usaha untuk mengatasi masalah tuna susila ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Usaha yang bersifat preventif

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan


untuk mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa:
1. Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau
pengaturan penyelenggaraan pelacuran.
2. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian
untuk memperkuat keimanan terhadap nilai-nilai religius dan norma
kesusilaan
3. Menciptakan bermacam-macam ksibukan dan kesempatan bagi anak-
anak puber dan adolesens untuk menyalurkan kelebihan energinya.
4. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan
kodrat dan bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap harinya.
5. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan
alam kehidupan keluarga.
6. Pembentukan badan atau team koordinasi dari semua usaha
penanggulangan pelacuran, yang dilakukan oleh beberapa instansi.
Sekaligus mengikut sertakan potensi masyarakat lokal untuk membantu
melaksanakan kegiatan pencegahan dan penyebaran pelacuran.
7. Penyitaan terhadap buku-buku dan majala-majalah cabul,
gambargambar porno, film-film biru dan sarana-sarana lain yang
merangsang nafsu seks.
8. Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

b. Tindakan bersifat represif dan kuratif

Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai;


kegiatan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha
menyembuhkan para wanita dari ketuna susilaannya, untuk kemudian
membawa mereka ke jalan benar. Usaha represif dan kuratif ini antara lain
berupa:
1. Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang
melakukan pengawasan/kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan
dan keamanan para prostitue serta lingkungannya.
2. Untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi
dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga
masyarakat yang susila rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan
melalui pendidikan moral dan agama, latihan-latihan kerja dan
pendidikan keterampilan agar mereka bersifat kreatif dan produktif.
3. Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tuna
susila yang terkena razia, disertai pembinaan mereka, sesuai akat dan
minat masing-masing.
4. Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap untuk
menjamin kesehatan para prostitue dan lingkungannya.
5. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia
meninggalkan profesi pelacuran dan mau memulai hidup susila.
6. Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan
masyarakat asal mereka, agar mereka mau menerima kembali bekas-
bekas wanita tuna susila itu mengawali hidup baru.
7. Mencarikan pasangan hidup yang permanen/ suami bagi para wanita
tuna susila, untuk membawa mereka ke jalan benar.
Pemerintah juga telah menempuh berbagai upaya untuk mengatasi
masalah pelacuran dan akibat yang ditimbulkannya, diantaranya dengan
sering mengadakan rasia oleh trantib untuk menangkap dan kemudian
memberi pengarahan kepada para pelacur jalanan, namun cara itu tidak
efektif menekan perkembangan prostitusi. Upaya-upaya yang dilakukan
Pemerintah dalam penanggulangan prostitusi antara lain dengan cara :
1. Melarang dengan undang-undang, diikuti oleh razia-razia/penangkapan,
sesuai dengan Peraturan daerah yang berlaku (Mislanya wilayah jawa
barat Perda yang mengatur adalah Peraturan Daerah Kota Bandung
No.11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan
dan Keindahan, selanjutnya disingkat PERDA K3 khususnya Pasal 39
huruf (g, h, i) yang berbunyi :
“Dalam rangka mewujudkan Daerah yang bersih dari tuna wisma , tuna
social dan tuna susila, setiap orang, Badan Hukum dan/atau
perkumpulan, dilarang:
a. Menyediakan, menghimpun wanita tuna susila untuk dipanggil,
member kesempatan kepada khayalak umum untuk berbuat
asusila;
b. Menjajakan cinta atau tingkah lakunya yang patut di duga akan
berbuat asusila dengan berada di jalan, jalur hijau, taman dan
tempat umum lainnya serta tempat-tempat yang dicurigai akan
digunakan sebagai tempat melakukan perbuatan asusila;
c. Menarik keuntungan dari perbuatan asusila sebagai mata pencaharian.”

2. Dengan pencatatan dan pengawasan kesehatannya,

3. Ditampung di tempat-tempat jauh di luar kota dengan pengawasan dan


perawatan serta diberikan penerangan-penerangan agama atau
pendidikan juga diadakan larangan-larangan terhadap anak-anak
muda yang mengunjungi tempat tersebut,
4. Rehabilitasi dalam asrama-asrama dimana para pelacur yang
tertangkap diseleksi, yang dianggap masih dapat diperbaiki ditampung
dalam asrama, mereka dididik dalam keterampilan, agama dan lain-
lain dipersiapkan untuk dapat kembali ke masyarakat sebagai warga
yang baik kembali.
Kurangnya sanksi atau hukuman bagi laki-laki hidung belang yang
menikmati jasa para pelacur mengakibatkan para penikmat perempuan
malam itu tidak merasa jera. Selama tidak ada solusi pemecahan
persoalan pelacuran yang tepat, maka upaya-upaya yang telah dan akan
ditempuh ibaratnya seperti meremas sebuah balon, di mana bagian yang
ditekan akan cenderung tenggelam dan tidak tampak, akan tetapi bagian
yang lain akan menonjol lebih besar. Hal ini persis seperti apa yang terjadi
dengan persoalan prostitusi di Jakarta; begitu satu lokalisasi dirazia dan
ditutup, maka akan muncul lokalisasi-lokalisasi lainnya.

E. DAMPAK PROSTITUSI PADA WTS

Prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu kegiatan yang


berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara lain :
a. Secara sosiologis, prostitusi merupakan perbuatan amoral yang
bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat,
b. Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang demoralisasi,

c. Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan merendahkan


martabat wanita,
d. Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi pemerasan
tenaga kerja,
e. Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang sangat
efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan yang sangat
berbahaya,
f. Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan kegiatan-
kegiatan criminal,
g. Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan
estetika lingkungan perkotaan.
Akibat yang dapat ditimbulkan karena prostitui pada WTS adalah sebagai berikut:

a. Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.

b. Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga

c. Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada


lingkungan, khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber dan
adolesensi.
d. Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika
(ganja, morfin, heroin, dan lain-lain).
e. Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama.

f. Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain.


1.3.ASUHAN KEPERAWATAN KELOMPOK RENTAN TERSERANG PENYAKIT

(WANITA TUNA SUSILA)

Seorang perawat melakukan kunjungan pada suatu kompleks rumah yang


hampir seluruh wanita bekerja sebagai PSK. Perawat berwawancara secara pribadi
oleh seseorang wanita yang ada dikompleks tersebut. Pada hasil wawancara,
dikompleks terdapat 8 orang PSK yang masih bekerja aktif. Setelah dilakukan
wawancara dan obervasi kebanyakan wanita yang bekerja sebagai PSK mempunyai
alasan bahwa diantaranya tidak berkecukupan ekonomi, dan juga paksaan dari
orang tua sendiri, pada awalnya mereka tidak nyaman tapi lama-lama sudah
terbiasa menjalani pekerjaan ini. Sekelompok wanita ini tidak mengerti akan bahaya
penyakit yang menular karena melakukan seks dengan berganti-ganti pasangan.
Sekelompok wanita itu tampak tidak terbebani menjalani pekerjaan ini.

A. PENGKAJIAN
B. ANALISA DATA

NO. DATA ETIOLOGI MASALAH


1. Ds: Perilaku
kesehatan
- Melakukan seks setiap hari dengan
cenderung
berganti- ganti pasangan
berisiko
Do:

- Sekelompok wanita itu tampak


tidak terbebani atau sudah terbiasa
menjalani pekerjaan tersebut

Ds:

- Sekelompok wanita tersebut tidak


2. mengetahui bahaya tentang penyakit
yang menular Defisiensi
Do: kesehatan
komunitas
- Sekelompok wanita tersebut tampak
kebingungan atau tampak tidak
mengerti ketika perawat
menjelaskan tentang penyakit yang
menular
C.DIAGNOSA KEPERAWATAN

i. Perilaku kesehatan enderung berisiko berhubungan dengan kebiasaan


melakukan seks berganti-ganti pasangan
ii. Defisiensi kesehatan komunitas berhubungan
dengan ketidaktauan atau ketidakpahaman
penyakit menular
D. INTERVENSI

NO. DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN (SMART)
1. Perilaku cenderung SMART: Label NIC :
berisiko Setelah dilakukan kunjungan Peningkatan Efikasi Diri
berhubungan rumah selama 2x1 jam
dengan kebiasaan diharapkan ada perubahan Aktifitas Keperawatan :
melakukan seks perilaku, dengan kriteria: 1. Eksplorasi persepsi
berganti-ganti individu mengenai resiko
pasangan tidak melaksanakan
Label NOC : perilaku- perilaku yang
Keseimbangan Gaya Hidup diinginkan.

Indikator : 2. Identifikasi hambatan

No. Indikator Indeks untuk merubah perilaku


3. Berikan informasi
mengenai perilaku yang
diinginkan
4. Bantu individu untuk
berkomitmen terhadap
rencana tindakan untuk
merubah perilaku
5. Berikan penguatan
kepercayaan diri dalam
membuat perubahan
perilaku dan mengambil
tindakan
6. Berikan penguatan positif
dan dukungan emosi
selama proses
pembelajaran dan saat
mengimplementasikan
perilaku
7. Beikan kesempatan
untuk menguasai
pengalaman (belajar)
(misalnya, berhasil
mengimplementasikan
perilaku)
8. Gunakan pernyataan
persuasive yang
positifterkait dengan
kemampuan individu
untuk melaksanakan
perilaku
9. Dukung interaksi dengan
individu-individu lain yang
telah berhasil merubah
perilaku (misalnya,
dukungan kelompok atau
berpartisipasi
1 2 3 45
1. Mempertimba √
ngkan
kebutuhan
dan nilai
personal
ketika
memilih
aktivitas
hidup
2. Mengorgan √
isir waktu
dan energi
untuk
memenuhi
tujuan
personal
3. Memodifikasi √
tanggung
jawab peran
dalam
keluarga
4. Menggunaka √
n stategi
untuk
beradaptasi
terhadap
tanggung
jawab peran
ganda
5. Ikut dalam √
aktivitas
yang dapat
memenuhi
kebutuhan
psikologis
pada pendidikan kelompok)
10. Siapkan individu
mengenai kondisi fisik dan
emosi yang mungkin akan
dialami selama berusaha
untuk melakukan perilaku
baru

NO. DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN (SMART)
2. Deisiensi SMART: Label NIC :
kesehatan Setelah dilakukan kunjungan Pengajaran: Seks Aman
komunitas rumah selama 2x1 jam
berhubungan diharapkan , dengan kriteria: Aktifitas Keperawatan :
dengan 1. Dapatkan riwayat
ketidaktahuan seksual, termasuk jumlah
atau pasangan seksual
ketidakpahaman terakhir, frekuensi
tentang penyakit hubungan, dan kejadian
menular serta pengobatan masa
Label NOC : lalu terkait dengan infeksi
Kontrol Risiko: Penyakit menular seksual (IMS)
Menular Seksual (PMS) 2. Ajarkan pasien
Indikator : mengenai anatomi dan
fisiologi reproduksi
manusia
3. Ajarkan pasien mengenai
IMS dan konsepsi, sesuai
keperluan
4. Instruksikan pasien
mengenai factor-faktor
yang meningkatkan risiko
IMS
5. Diskusikan pengetahuan
pasien pemahaman
motivasi
No. Indikator Indeks
1 2 3 45
1. Mencari √
informasi
terkait
penyakit
menular
seksual
2. Mengidentif √
ikasi factor
resiko
penyakit
menular
seksual
3. Mengenali √
kemampuan
untuk
merubah dan tingkat komitemen
perilaku berbagai tingkat
4. √ perlindungan seksual
Mengemban 6. Diskusikan agama,
gkan budaya perkembangan
strategi sosio ekonomi dan
efektif untuk pertimbangan individu
5. mengurangi √ berkenaan dengan pilihan
risiko perlindungan seksual
paparan 7. Berikan informasi akurat
penyakit berkenaan dengan
menular implikasi ingin memiliki
mitra seksual
Mengenali 8. Anjurkan pasien
tanda dan mengenai pentingnya
gejala kebersihan yang baik,
penyakit menggunakan pelumas
menular yang larut dalam air, dan
seksual buang airb setelah
berhubungan untuk
menurunkan kerentanan
terhadap infeksi
9. Berikan pasien produk yang
dapat digunakan terkait
dengan perlindungan
seksual
10. Diskusikan dengan
pasien pentingnya
pemberitahuan pada
pasangan seks ketika
pasien didiagnosa IMS
E. IMPLEMENTASI

NO. HARI/ JAM TINDAKAN KEPERAWATAN PARAF


DX TGL
1. Senin/ 10.00 1. Membangun building trust kepada kelompok wanita
30-04- tuna susila
19 2. Mengidentifikasi kepada kelompok kenapa
melakukan pekerjaan ini
3. Membuat strategi untuk mengubah perilaku

1. Memberikan pendidikan kesehatan tentang penyakit


2. 10.00 IMS
Selasa/
19-03- 2. Memberikan informasi tentang resiko penyakit IMS
19
F.EVALUASI

NO. NO. DX HARI/ JAM EVALUASI PARAF


TGL (SOAP)
1. Senin 11.00 S:
/ 18-
- kelompok wanita tuna susila mengerti
03-
perilaku yang berisiko
19
- berkeinginan untuk merubah perilaku

O:
- kelompok wanita ini tampak antusias
ketika diberikan arahan yang lebih
positif
- mencoba menerapkan perilaku
sehat A: Masalah Teratasi Sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

S:
2. Selas 11.00
a/ 19- - kelompok wanita tuna susila mengerti
03- tentang risiko atau bahaya penyakit
19 menular atau IMS
- mnerapkan kebersihan diri

O:

- berkeinginan untuk memeriksakan secara


rutin kesehatannya
A: masalah teratasi
sebagian P: intervensi
dilanjutkan
BAB II
NAPZA
2.1 PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG

Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya


melaksanakan pembangunan di segala bidang, baik pembangunan
fisik maupun pembangunan mental spiritual manusia seutuhnya lahir
maupun batin. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, dewasa ini berkembang pengaruh pemakaian obat-obatan
dikalangan masyarakat.Hal ini sebagai dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang semakin lama semakin berkembang
dengan pesat, dan salah satu yang paling marak saat ini adalah
“Masalah Narkotika dan Psikotropika.”

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif


lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai
NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan
masalah yang sangat kompleks, yang memerlukan upaya
penanggulangan secara komprehensif dengan melibatkan kerja sama
multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif
yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan
Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih
bermanfaat bagi pengobatan,pelayanankesehatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan, namun di sisi lain dapat pula menimbulkan
addication (ketagihan dan ketergantungan) tanpa adanya pembatasan,
pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama dari pihak
yang berwenang, dan juga jika disalahgunakan atau digunakan tidak
menurut indikasi medis atau standar pengobatan akan berakibat
sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya
generasi muda.

BNN mencatat pengguna narkoba di Indonesia sekitar 3,2 juta


orang, atau sekitar 1,5% dari jumlah penduduk di Negeri ini. Dari
jumlah tersebut sebanyak 8.000 orang menggunakan narkotika
dengan alat bantu berupa jarum suntik, dan 60%nya terjangkit HIV
AIDS, serta sekitar 15.000 orang meninggal setiap tahun karena
menggunakan NAPZA.

B.RUMUSAN MASALAH

Bagaimana asuhan keperawatan komunitas pada NAPZA?

C.TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan  pada klien
dengan ganguan tetanus
2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA
2. Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA
3. Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA
4. Mengetahui dampak penggunaan NAPZA
5. Mengetahui proses keperawatan pada gangguan
penyalahgunaan NAPZA meliputipengkajian, analisa data
dan diagnosa, intervensi dan evaluasi

2.2 KAJIAN PUSTAKA


A. DEFINISI

NAPZA adalah kependekan dari Narkotika,Psikotropika Dan Zat


Adiktif Lainnya.
Narkotika adalah suatu zat atau obat yg berasal dari tanaman atau
bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yg dpt
menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan ( Undang-undang RI No.22 thn 1997 ttg
Narkotika)

Psikotropika adalah suatu zat atau obat, baik alamiah maupun


sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh
selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Zat adiktif lain adalah bahan/zat yg berpengaruh psikoaktif diluar


yang disebut Narkotika dan Psikotropika.

Menurut undang –undang No.22 Tahun 1997 yang dimaksud


dengan narkotika yaitu:
1. Golongan opioid : heroin, morfin, madat dan lain-lain.
2. Golongan kanabis : ganja, hashish
3. Golongan koka : kokain, crack.
 Alkohol adalah minuman yang mengandung etanol (etil
alkohol)
 Psikotropika menurut undang-undang nomor 5 tahun 1997
meliputi : ecxtasy, shabu-shabu, isd. Obat penenang/ obat
tidur, obat anti depresi dan anti psikokis.
 Zat adiktif lainnya termasuk inhalansi (aseton, thinner cat,
lem, atau glue) nikotin (tembakau), kafein (kopi).

NAPZA tergolong zat psikoaktif. Yang dimaksud dengan zat


psikoaktif adalah zat yang terutama berpengaruh pada otak
sehingga menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan,
pikiran,persepsi, dan kesadaran.

B. EPIDEMIOLOGI, DEMOGRAFI DAN KORMOBIDITAS


a. Epidemiologi

Di Amerika, prevalensi :
 16,7 % > usia 18 tahun
 Alkohol 13,8%
 Non – alcohol 6,2%
 Marijuana 12- 33% per tahun, 5% pengguna baru
 Zat psikotherapetic dan kokain : 12,5% zat psikotherapetic,
11,5% kokin
 Zat – zat lain inhalan – halusinogen : 9%

Di Indonesia, prevalensi 0,065% pada tahun 1971 Bakilah dan hasil


penelitian 10x lebih besar. Jumlah pecandu sampai sekarang ±
3.800.000 orang

b. Demografi
 Usia : 18- 25 tahun
 Jenis kelamin : laki-laki > wanita
 Ras dan etnik : kulit hitam > kulit putih
 Daerah padat pendudukmetropolitan lebih tinggi
 Daerah barat > timur
c. Kormobiditas
 Ditemukan 76% laki-laki dan 65% wanita
 Paling sering penggunaan alcohol dan zat lain
 Gangguan kepribadian atau autisosial
 Depresi dan bunuh diri

C. JENIS-JENIS NAPZA
NAPZA dapat dibagi ke dalam tiga golongan yaitu:
A. Golongan Narkotika
1) Narkotika Golongan I :

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu


pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai
potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan. Contoh
narkotika golongan 1 heroin/putauw, kokain, ganja .

2) Narkotika Golongan II :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai


pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh kodein

3) Narkotika Golongan III :

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan


dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan
(Contoh :kodein).

Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya


adalah:
1) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat
dipakai sebagai narkotik tanpa perlu adanya proses
fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih dahulu karena
bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana.
Bahan alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk
terapi pengobatan secara langsung karena terlaluberisiko.
Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan daun koka.
2) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan
proses yang bersifat sintesis untuk keperluan medis dan
penelitian sebagai penghilang rasa sakit/analgesik.
Contohnya yaitu seperti amfetamin, metadon,
dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya.
Narkotika sintetis dapat menimbulkan dampak sebagai
berikut:
a. Depresan : membuat pemakai tertidur atau tidak
sadarkan diri.
b. Stimulan : membuat pemakai bersemangat dalam
beraktivitas kerja dan merasa badan lebih segar.
c. Halusinogen : dapat membuat si pemakai jadi
berhalusinasi yang mengubah perasaan serta pikiran.
Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan
cara isolasi, ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin,
morfin, kodein, dan lain-lain.
D. GOLONGAN PSIKOTROPIKA

Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002,


psikotropika adalah zat atau obat, baik sintesis maupun
semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif
pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam
psikotropika (Hawari, 2006) adalah: stimulansia yang membuat
pusat syaraf menjadi sangat aktif karena merangsang syaraf
simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah amphetamine,
ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering
disebut dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan
stimulan lainnya adalah halusinogen yang dapat mengubah
perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat terganggu.Sedative
dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan
golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat
dan kesadaran, ketergantungan secara fisik dan psikologis bila
digunakan dalam waktu lama.
1) Psikotropika Golongan I :
Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta
mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD).

2) Psikotropika Golongan II :

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan


dalam terapi, dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta
menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma
ketergantungan .( Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin).

3) Psikotropika Golongan III :

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak


digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan
sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital,
Flunitrazepam).

4) Psikotropika Golongan IV :

Psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas


digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam,
Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti
pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).

E. ZAT ADIKTIF LAINNYA

Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi


dalam bentuk tunggal maupun campuran yang dapat
membahayakan kesehatan lingkungan hidup secara langsung
dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik,
teratogenik, mutagenik, korosif, dan iritasi.Bahanbahan
berbahaya ini adalah zat adiktif yang bukan termasuk ke dalam
narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan
efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro
dkk. 1999).
Adapun yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman
keras (minuman beralkohol) yang meliputi
1) Minuman keras

Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan


susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari
kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan
tertentu.Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika
atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam
tubuh manusia. Ada 3 golongan minuman beralkohol :

 Golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir,


green sand;
 Golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%)
seperti anggur malaga;
 Golongan C (kadar ethanol lebih dari 20% sampai 55%)
seperti brandy, wine, whisky.
Zat dalam alkohol dapat mengganggu aktivitas sehari-
hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir
semua akan mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya
dalam darah 0,10% (Marviana dkk. 2000).
2) Inhalasi

Yaitu gas yang dihirup dan solven (zat pelarut) mudah menguap
berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai
barang keperluan rumah tangga, kantor, dan sebagai
pelumas mesin. Yang sering disalahgunakan adalah : Lem,
Tiner, Penghapus Cat Kuku, Bensin.

3) Tembakau

Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di


masyarakat. Dalam upaya penanggulangan NAPZA di
masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada
remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan,
karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk
penyalahgunaan NAPZA lain yang berbahaya.

 Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan,


NAPZA dapat digolongkan menjadi 3 golongan :

1. Golongan Depresan (Downer)

Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas


fungsional tubuh.Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa
tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak
sadarkan diri.Golongan ini termasuk Opioida (morfin,
heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur),
dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan (Upper)

Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan


meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya
menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk
golongan ini adalah :Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.

3. Golongan Halusinogen

Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi


yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali
menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh
perasaan dapat terganggu.Golongan ini tidak digunakan dalam
terapi medis. Golongan ini termasuk :Kanabis (ganja), LSD,
Mescalin.

F. FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab penyalahgunaan NAPZA menurut Hawari (2000) adalah
interaksi antara faktor predisposisi, faktor kontribusi dan faktor
pencetus.Faktor kontribusi yaitu kondisi keluarga yang tidak baik
(disfungsi keluarga) seperti keluarga yang tidak utuh, kesibukan orang
tua dan hubungan interpersonal dalam keluarga yang tidak
harmonis.Faktor pencetus yaitu pengaruh teman sebaya serta
tersedia dan mudahnya memperoleh barang yang dimaksud (easy
availability).
Faktor predisposisi terbagi dalam tiga kelompok yaitu :
1. Faktor biologik, Meliputi: kecenderungan keluarga, terutama
penyalahgunaan alkohol dan perubahan metabolisme alkohol
yang mengakibatkan respon fisiologik yang tidak nyaman.
2. Faktor psikologik, meliputi: kepribadian ketergantungan oral,
harga diri rendah, sering berhubungan dengan penganiayaan
pada masa kanak-kanak, perilaku maladaptif yang dipelajari
secara berlebihan, mencari kesenangan dan menghindari rasa
sakit, sifat keluarga termasuk tidak stabil, tidak ada contoh yang
positif, rasa kurang percaya tidak mampu memperlakukan anak
sebagai individu serta orang tua yang adiksi.
3. Faktor sosiokultural, meliputi: ketersedian dan penerimaan
sosial terhadap pengguna obat, ambivalen sosial tentang
penggunaan dan penyalahgunaan zat, seperti tembakau, alkohol
dan maryuana, sikap, nilai, norma dan sosial kultural kebangsaan,
etnis dan agama, kemiskinan dengan keluarga yang tidak stabil
dan keterbatasan kesempatan

G. FAKTOR PRESIPITASI
Harboenangin (dikutip dari Yatim, 1986) mengemukakan ada
beberapa faktor presipitasi yang menyebabkan seseorang menjadi
pecandu narkoba yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Internal
a. Faktor Kepribadian
Kepribadian seseorang turut berperan dalam perilaku ini. Hal ini
lebih cenderung terjadi pada usia remaja. Remaja yang menjadi
pecandu biasanya memiliki konsep diri yang negatif dan harga
diri yang rendah.Perkembangan emosi yang terhambat, dengan
ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya
secara wajar, mudah cemas, pasif, agresif, dan cenderung
depresi, juga turut mempengaruhi.

b. Inteligensia
Hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensia pecandu yang
datang untuk melakukan konseling di klinik rehabilitasi pada
umumnya berada pada taraf di bawah rata-rata dari kelompok
usianya.
c. Usia
Mayoritas pecandu narkoba adalah remaja. Alasan remaja
menggunakan narkoba karena kondisi sosial, psikologis yang
membutuhkan pengakuan, dan identitas dan kelabilan emosi;
sementara pada usia yang lebih tua, narkoba digunakan sebagai
obat penenang.
d. Dorongan Kenikmatan dan Perasaan Ingin Tahu
Narkoba dapat memberikan kenikmatan yang unik dan
tersendiri.Mulanya merasa enak yang diperoleh dari coba-coba
dan ingin tahu atau ingin merasakan seperti yang diceritakan
oleh teman-teman sebayanya. Lama kelamaan akan menjadi
satu kebutuhan yang utama.
e. Pemecahan Masalah
Pada umumnya para pecandu narkoba menggunakan narkoba
untuk menyelesaikan persoalan.Hal ini disebabkan karena
pengaruh narkoba dapat menurunkan tingkat kesadaran dan
membuatnya lupa pada permasalahan yang ada.

2. Faktor Eksternal
a. Keluarga
Keluarga merupakan faktor yang paling sering menjadi
penyebab seseorang menjadi pengguna narkoba. Berdasarkan
hasil penelitian tim UKM Atma Jaya dan Perguruan Tinggi
Kepolisian Jakarta pada tahun 1995, terdapat beberapa tipe
keluarga yang berisiko tinggi anggota keluarganya terlibat
penyalahgunaan narkoba, yaitu:
1) Keluarga yang memiliki riwayat (termasuk orang tua)
mengalami ketergantungan narkoba.
2) Keluarga dengan manajemen yang kacau, yang terlihat dari
pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh
ayah dan ibu (misalnya ayah bilang ya, ibu bilang tidak).
3) Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada
upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang
berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah
dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.
4) Keluarga dengan orang tua yang otoriter.
5) Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut
anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar
tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.
6) Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi
kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah
cemas dan curiga, sering berlebihan dalam menanggapi
sesuatu.
b. Faktor Kelompok Teman Sebaya (Peer Group)
Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan
kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur
untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti
kelompok itu. Peer group terlibat lebih banyak dalam delinquent
dan penggunaan obat-obatan. Dapat dikatakan bahwa faktor-
faktor sosial tersebut memiliki dampak yang berarti kepada
keasyikan seseorang dalam menggunakan obat-obatan, yang
kemudian mengakibatkan timbulnya ketergantungan fisik dan
psikologis.
c. Faktor Kesempatan
Ketersediaan narkoba dan kemudahan memperolehnya juga
dapat disebut sebagai pemicu seseorang menjadi pecandu.
Pengalaman feel good saat mencoba drugs akan semakin
memperkuat keinginan untuk memanfaatkan kesempatan dan
akhirnya menjadi pecandu. Seseorang dapat menjadi pecandu
karena disebabkan oleh beberapa faktor sekaligus atau secara
bersamaan.Karena ada juga faktor yang muncul secara
beruntun akibat dari satu faktor tertentu.
H. TANDA DAN GEJALA

Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain


intoksikasi, ada juga sindroma putus zat yaitu sekumpulan gejala
yang timbul akibat penggunaan zat yang dikurangi atau dihentikan.
Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada jenis zat
yang berbeda.
Tanda dan Gejala Intoksikasi
Opiate Ganja Sedative-hipnotik Alcohol Anfetamine
1. Eforia 1. eforia 1. pengendalian 1. mata merah 1. selalu
2. mengantu 2. mata merah diri berkurang 2. bicara cadel terdorong
k 3. mulut kering 2. jalan 3. jalan untuk
3. bicara 4. banyak sempoyongan sempoyongan bergerak
cadel bicara 3. mengantuk 4. perubahan 2. berkeringat
4. konstipasi dan tertawa 4. memperpanja persepsi 3. gemetar
5. penurunan nafsu ng 5. penurunan 4. cemas
kesadaran makan tidur kemampuan 5. depresi
meningkat 5. hilang menilai 6. paranoid
5. gangguan kesadaran
persepsi

Tanda dan Gejala Putus Zat

Opiate Ganja Sedative-hipnotik Alcohol Anfetamin


1. nyeri jarang 1. cemas 1. cemas 1. cemas
2. mata dan ditemu 2. tangan 2. depresi 2. depresi
hidung berair kan gemetar 3. muka merah 3. kelelahan
3. perasaan 3. perubahan 4. mudah 4. energi
panas dingin persepsi marah berkurang
4. diare 4. gangguan 5. tangan 5. kebutuhan
5. gelisah daya ingat gemetar tidur
6. tidak bisa 5. tidak bisa tidur 6. mual muntah meningkat
tidur 7. tidak bisa
tidur

I. PENATALAKSANAAN MASALAH NAPZA

Penatalaksanaan masalah NAPZA terdiri dari pengobatan dan


pemulihan (rehabilitasi).
1. Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan
detoksifikasi. Detoksifikasi adalah upaya untuk mengurangi atau
menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti
menggunakan zat yang mengalami gajala putus zat tidak diberi
obat untuk menghilangkan gejala putus zat tersebut. Klien
hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut berhenti
sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis
opiat misalnya kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi
bagi pengguna sedatif-hipnotik dan alkohol dapat dari jenis anti
ansietas, misalnya diazepam. Pemberian substitusi adalah
dengan cara penurunan dosis secara bertahap sampai berhenti
sama sekali.
2. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh
dan terpadu melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan
religi agar pengguna NAPZA yang menderita sindroma
ketergantungan dapat mencapai kemampuan fungsional seoptimal
mungkin.Tujuannya pemulihan dan pengembangan pasien baik
fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang
disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan
kebutuhan (Depkes, 2001).
Alur Perawatan Klien di Rumah Sakit

Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani


detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan
menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap
NAPZA yang selalu terjadi (DepKes, 2001). Dengan rehabilitasi
diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1. Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA
lagi
2. Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA
3. Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
4. Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan
baik
5. Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
6. Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam
pergaulan
dengan lingkungannya.
Bagan tipe rehabilitasi
Psikososial Kejiwaan Komunitas Keagamaan
Program Dengan Berupa program Pendalaman,
rehabilitasi menjalani terstruktur yang penghayatan, dan
psikososial rehabilitasi diikuti oleh pengamalan
merupakan diharapkan mereka yang keagamaan atau
persiapan agar klien tinggal dalam keimanan ini
untuk kembali rehabilitasi satu tempat. dapat
ke yang Dipimpin oleh menumbuhkan
masyarakat semua mantan kerohanian
(reentry berperilaku pemakai yang (spiritual power)
program). Oleh maladaptif dinyatakan pada diri
karena itu, berubah memenuhi seseorang
klien perlu menjadi syarat sebagai sehingga mampu
dilengkapi adaptif atau koselor, setelah menekan risiko
dengan dengan kata mengikuti seminimal
pengetahuan lain sikap dan pendidikan dan mungkin terlibat
dan tindakan pelatihan. kembali
keterampilan antisosial Tenaga dalam
misalnya dapat profesional penyalahgunaan
dengan dihilangkan, hanya sebagai NAPZA apabila
berbagai sehingga konsultan saja. taat dan rajin
kursus mereka Di sini klien menjalankan
atau balai dapat dilatih ibadah, risiko
latihan kerja di bersosialisasi keterampilan kekambuhan
pusat-pusat dengan mengelola hanya 6,83%; bila
rehabilitasi. sesama waktu dan kadang-kadang
Dengan rekannya perilakunya beribadah
demikian maupun secara efektif risiko
diharapkan bila personil yang dalam kekambuhan
klien selesai membimbing kehidupannya 21,50%, dan
menjalani dan sehari-hari, apabila tidak
program mengasuhnya sehingga dapat sama sekali
rehabilitasi mengatasi menjalankan
dapat keinginan ibadah agama
melanjutkan mengunakan risiko
kembali narkoba lagi kekambuhan
sekolah/kuliah atau nagih mencapai 71,6%.
atau bekerja (craving) dan
mencegah
relaps.

Rehabilitasi dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas


terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan
perubahan perilaku. Therapeutic Community direkomendasikan bagi
pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan NAPZA dalam
waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam
kondisi abstinen atau bebas dari NAPZA. TC dapat digambarkan
sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang
membutuhkan lingkungan yang mendukung dan dukungan lain yang
bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau
abstinen.

J. PENCEGAHAN KEKAMBUHAN
Kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam proses
pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa faktor yang dapat diprediksi dalam kekambuhan
adalah sistem keyakinan yang salah dan menetap (....'Saya seorang
pecandu dan saya tidak bisa berhenti menggunakan NAPZA...'). Di
bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pencegahan
kekambuhan :
1. Tingkatkan komitmen untuk berubah (misal menggunakan
wawancara memotivasi)
2. Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan kekambuhan
(Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana penggunaan
Napza bisa terjadi)
3. Mengajarkan kamampuan masing hadapi masalah (coping skill),
misalnya: ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri,
monitoring diri dari penggunaan NAPZA,
4. Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat
menyebabkan terjadinya kekambuhan :
a. apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian yang
dapat menimbulkan kambuh?
b. Dimana pasien mendapatkan dukungan?
c. Apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga?
d. Seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk
kembali ketempat praktek?
 Program 12 Langkah
Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkah-
langkah itu dalam kehidupan sehari-hari.Disinilah penggunaan
istilah falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini
menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang
pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina
perjalanan spiritualnya.Jadi, lebih dari sekedar peraturan 12
Langkah menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu untuk
diamalkan ketika menjalani kehidupan kesehariannya.Dan
berdasarkan paradigma Disease Model of Addiction, penyakit
kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu
apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang
berkesinambungan. Dengan pengamalan atau praktek dari
langkah-langkah inilah para pecandu akan dapat meredam
penyakitnya agar tidak kambuh sepanjang hayatnya. Pada
penjelasan ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat
maknanya dan karena setiap langkah di targetkan untuk mengatasi
setiap aspek spesifik dalam penyakit kecanduan, uraian ini akan
mencakup fungsi klinikal yang dapat diterapkan baik dalam kondisi
di dalam atau diluar institusi/panti rehabilitasi. Berikut ini adalah
contoh 12 langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic
Anonymous (NA).

K. 12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS


1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita
sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali.
2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari
kita sendiri yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan.
3. Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah
kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita
mamahamiNya.
4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh,
menyeluruh dan tanpa rasa gentar.
5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan
kepada seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari
kesalahan-kesalahan kita.
6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua
kecacatan karakte kita.
7. Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk
menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita.
8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan
menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua.
9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-
orang tersebut bila mana memungkinkan, kecuali bila
melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain.
10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita
dan bila mana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.
11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk
memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana
kita memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui
kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk
melaksanakannya.
12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari
langkah-langkah ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini
kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini
dalam segala hal yang kita lakukan.
L.Bentuk Peran Orang Terdekat

Hubungan Tugas Keluarga dalam Pemulihan Pasien


Ketergantungan Narkoba Menurut Friedman (2003: 9) menyatakan
bahwa keluarga memiliki peran pendukung yang penting selama
periode pemulihan dan rehabilitasi klien.Jika dukungan ini tidak
tersedia, keberhasilan pemulihan/rehabilitasi menurun secara
signifikan. Demikian pula sebaliknya jika dukungan tersedia maka
keberhasilan pemulihan akan berjalan dengan baik.
Peran keluarga dalam mengenal masalah kesehatan yaitu mampu
mengambil keputusan dalam kesehatan, Ikut merawat anggota
keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan, dan memanfaatkan
fasilitas kesehatan yang ada sangatlah penting dalam mengatasi
kecemasan klien.(Friedman, 2003 : 146).
Menurut Willis (2010: 177) Keluarga merupakan salah satu
kekuatan pendukung yang dapat mempercepat penyembuhan
pasien,sehingga dukungan keluarga sangat dibutuhkan bagi pasien
dalam menghadapi masa masa pemulihannya. Menurut Mann dalam
Willis (2010: 174) pemulihan pasien yang mengalami ketergantungan
narkoba tidak bisa hanya dengan detoksifikasi tetapi juga harus
dengan pendekatan rehabilitasi psikologis, sosial, intelektual spiritual
dan fisik.Hal ini secara tidak langsung mengindikasikan bahwa peran
sosial termasuk dalam hal ini keluarga dalam upaya penyembuhan
pasien memang tidak bisa dikesampingkan.
Selanjutnya Menurut Ali (2010: 38) tugas keluarga ketika pasien
menjalani perawatan dirumah sakit adalah mentaati semua anjuran
tim profesional, serta memberikan dukungan dalam bentuk perhatian.
Berdasarkan pemaparan diatas maka peneliti menyimpulkan bahwa
tugas keluarga tentang pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan
periode perawatan remaja ketergantungan narkoba.
Menyadari bahwa masalah penyalahgunaan NAPZA sangat
kompleks dan bersifat multidimensi, maka partisipasi berbagai pihak
dalam berbagai tingkatan merupakan sesuatu yang harus
diwujudkan.Keluarga mempunyai peran yang sangat berarti dalam
pemulihan pecandu.Permasalahannya, banyak keluarga tidak
memahami masalah penyalahgunaan NAPZA dan upaya-upaya
penaggulangannya. Pada dasarnya, penyalahgunaan NAPZA akan
menjadi “penyakit keluarga” dimana masalah kecanduan yang dialami
oleh seorang anggota keluarga pada akhirnya akan mempengaruhi
keluarga secara keseluruhan.
Pemulihan yang dijalani oleh pecandu selain memperbaiki kualitas
hidup dirinya sendiri juga merupakan kesempatan untuk membangun
dan memperbaiki peran serta fungsi keluarga. Namun ini hanya akan
berhasil apabila setiap anggota keluarga berupaya keras untuk turut
serta dalam proses pemulihan tersebut. Untuk dapat berpartisipasi
dalam upaya ini, keluarga perlu memahami fase pemulihan yang
dijalani oleh korban penyalahguna NAPZA. Motivasi keluarga
merupakan tenaga kejiwaan yang dapat membangkitkan seseorang
dalam perjuangan hidupnya dan oleh karenanya menjadi tenaga
penggerak yang sangat vital bagi korban penyalahguna NAPZA untuk
keluar dari penderitaannya dan untuk mengatasi problem-problem
yang dihadapi.Motivasi mempunyai pengaruh besar dalam setiap
perbuatan dan merupakan latar belakang perbuatan itu dilakukan,
sehingga motivasi mampu menggerakkan rasa dan pikiran korban
penyalahguna NAPZA untuk kembali menjalani hidup sehat tanpa
menggunakan NAPZA lagi. Melihat bahwa keinginana sembuh
seorang korban penyalahguna NAPZA tidak selalu datang dari dalam
diri sendiri dan dalam pengobatan medis tidak selalu berhasil oleh
karena itu dukungan keluarga diperlukan korban penyalahguna
NAPZA dalam pemulihan.
Menurut Syamsu Yusuf dan A. Juntika Nurihsan, motif dibedakan
kedalam dua bagian yaitu:
1. Motif intrinsik, yaitu motif yang tidak usah dirangsang dari luar,
karena memang dalam diri individu sendiri telah ada dorongan itu.
Misalnya, seorang korban penyalahguna NAPZA yang datang
sendiri ke panti rehabilitasi bukan karena paksaan dari orang tua
atau merasa malu kepada temannya tetapi ada keinginaan dalam
diri sendiri untuk kembali sehat tanpa menggunakan NAPZA lagi.
2. Motif ekstrinsik, yaitu motif yang disebabkan oleh pengaruh
rangsangan dari luar. Misalnya, seorang penyalahguna NAPZA
dibawa untuk mengikuti program rehabilitasi oleh keluarga. Peran
keluarga dan tempat penyelenggara program rehabilitasi menjadi
kekuatan utama penderita (korban) keluar dari problem yang
dihadapi.
Disini keluarga menjadi bagian dari kekuatan motif
ekstrinsik.Keluarga memberikan rangsangan, dorongan, dan
dukungan serta mempunyai pengaruh terhadap perubahan-perubahan
perikaku yang positif pada diri korban penyalahgunaan NAPZA.
Sentuhan hangat keluarga seperti: perhatian, kasih sayang dan
empati merupakan bentuk rangsangan atau motivasi yang membuat
korban penyalahgunaan NAPZA dapat berubah menjadi lebih baik
dengan mulai rasa kesadaran untuk tidak mengkonsumsi NAPZA lagi
dan dapat kembali menjalani hidup sehat.
M.Peran Perawat Komunitas ( CMHN) Dalam Penanggulangan NAPZA

Peran perawat didefinisikan sebagai tingkah laku yang


diharapkan oleh seseorang terhadap oraang lain, dalam hal ini
perawat untuk memberikan asuhan keperawatan, melakukan
pembelaan pada klien , sebagai peendidik tenaga perawat dan
masyarakat, koordinator dalam pelayanan klien, kolaborasi dalam
membina kerja sama dengan profesi lain dan sejawat, konsultasi
pada tenga kerja dan klien, agent of change dari sistem, metodologi,
serta sikap (CHS,1989).
Masalah penanggulangan NAPZA merupakan masallah global
dan memerlukan partisipasi aktif seluruh komponen bangsa dalam
penanganannya, perawat sebagai bagian ddari tenaga kesehatan
mutlak wajib melaksanakan fungsi dan perannya untuk
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat termasuk penanganan
penyalahgunaan NAPZA.
1. Fungsi Perawat
a. Independent

Fungsi independent perawat adalah “ those activies that are


considered to be within nursing’s scope of diagnosis and
treatment “. Dalam fungsi ini tindakan perawat dalam
penanganan klien pengguna NAPZA tidak memerlukan
dokter.Tindakan perawat bersifat mandiri, berdasarkan pada
ilmu dan kiat keperawatan. Dalam kaitan dengan
penggunaan NAPZA tindakan perawat antara lain :
1) Pengkkajian klien pengguna NAPZA
2) Membantu klien pengguna NAPZA memenuhi kebutuhan
sehari-hari
3) Mendororoong klien berprilaku secara wajar.
b. Interdependent

Fungsi perawat adalah “ carrier out in conjunction with other


health team members “. Tindakan perawat berdasarkan pada
kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan lain.
Fungsi ini dilaksanakan dengan pembentukan tim yang
dipimpin oleh seorang dokter. Dan anggota tim lain bekerja
sesuai kopetensinya masing-masing. Contoh tidakannya
adalah kolaborasi rehabilitas klien pengguna NAPZA,
dimana perawat bekerja dengan psikiater, sosial worker, ahli
gizi juga rahaniawan.
c. Dependent

Fungsi perawat adalah “the activities performen based on


the physician’s order “. Dalam fungsi ini perawat bertindak
membantu dokter dalm memberikan pelayanan
medik.Perawat membantu dokter memberikan pelayanan
pengobatab atau pemberian psikofarmaka dan tindakan
khusus yang menjadi wewenang dokter dan seharusnya
dilakukan oleh dokter.Contohnya pada tindakan detoksifikasi
NAPZA.
2. Peran Perawat

Peran perawat ini diterjemahkan dalam perannya sebagai :


a. Provider/ pelaksana

Peran ini menekankan kemampuan perawat sebagai media


penyedia layanan keperawatan (praknisi). Perawat baik
secara langsung maupun tidak langung membeerikan
asuhan keperawatan kepada klien dengan ketergantungan
obbat-obat terlarang baik secaara individu, keluarga,
ataupun masyarakat.peran ini biasanya dilaksanakann oleh
perawat di tatanan pelayana seperti rumah sakit khusus
ketergantungan obat terlarang, unit pelayanan psikiatri,
puskesmas dam masyarakat. Untuk memcapai peran ini
seorang perawat harus mempunyai kemampuan secaara
mandiri dan kolaborasi , memiliki kemampuan dan ilmu
pengetahuan tentang NAPZA. Dalam menjalankan perannya
perawat memakai metode pemecahan masalah dalam
bentuk asuhan proses keperawat.
b. Edukator/pendidik

Peran ini menekankan kepada tindakan promotif. Perawat


mmelakukan pendidikan keesehatan tentang NAPZA dan
dampaknya bagi kesehatan kepada klien baik
individu,kelompok, maupun masyarakat. Dlam pelakukan
peran ini perawat arus mempunyai kemampuan dalam
hubungan interpersonal yang efektif, mengetahui prinsip,
yaang dianut oleh klien,mempunyai kemampuan proses
belajar dan mengajar daan mempunyai pengetahuan yan
cukup tentang NAPZA.
c. Advokat

Di indonesiaa saat ini sudah ada peraturan yyang


menyebutkan bahwa pengguna NAPZA dapat dikirim ke
panti rehabilitasi untuk menjalani perawatan sebagai ganti
hukuman kurungan. Namun sayangnya, seemenjak
peraturan tersebut berlaku tahhun 1997 (UU no.22 tahun
1997 tentang narkotika & UU no.5 tahun 1997 tentang
psikotropika). Beelum banyaak yaang dikirim ke panti
rehabilitasi ataas perintah hhaki di pengadilan. Hal ini terjadi
terutama karna masih kurangnya batasabn aantar pengguna
dan pengedar di dalam UU narkotika yang berlaku. Disinilah
peran perawat dillakksannakan yait sebgai protektor dann
avokat. Peran ini dilaksanakan denagn upaya melindungi
klien, selalu “ berbicara untuk pasien” dan menjadi penengah
antara pasien dan orang llain, membantu dan mendukung
klien dalam membuat keputusan serta berpartisipasi dalam
penyusunan kebijakan kesehatan.
2.3.ASUHAN KEPERAWATAN

Kasus:
Desa X Rt:05/Rw:02 di Kelurahan Sukorame, Kecamatan Mojoroto,
Kabupaten Kediri dengan jumlah penduduk ± 500 orang dan jumlah
remaja di desa itu berjumlah ± 250 orang. Mayoritas remajanya pernah
menyalahgunakan narkoba. Berdasarkan data yang kami dapat dari BNN
(Badan Narkotika Nasional) di desa sukorame tersebut kami mendapatkan
hasil bahwa sejumlah 60% pengguna narkotika dengn jenis sabu-sabu,
heroin, ganja, cimeng dll pada tahun 2010- 2015, dan kemungkinan
meningkat dilihat dari kebiasaan remaja dengan aksesyang mudah untuk
mendapatkan narkotikatersebut.
Warga mengatakan bahwa mereka sering melihat remaja keluar dari
sebuah rumah dengan keadaan kacau diantaranya jalan sempoyongan,
wajah berkeringat dan pucat, mata cekung dan merah, bicara cedal.Saat
dilakukan bersih desa, warga menemukan banyak botol-botol miras, pil-pil
ekstasi, jarum suntik di beberapa titik yang ada di desa tersebut. Data dari
polsek setempat, ditemukan ladang ganja disalah satu perkebunan milik
warga di desa X.Pihak warga maupun polisi setempat menemukan korban
kecelakaan di area tikungan,Data dari polsek juga menunjukkan bahwa
tindak kejahatan terutamanya pemalakan atau pemerasan dilakukan oleh
remaja. Warga juga mengatakan bahwa remaja sering memaksa-maksa
minta uang pada sembarang orang dan mereka akan marah jika tidak
diberikan. Mereka juga tak segan memukul jika keinginan mereka tak
segera dituruti.Banyak orang tua yang mengatakan,uang yang diberikan
pada anakmya seharusnya digunakan untuk membayar sekolah
disalahgunakan untuk membeli narkoba.
DATA DAN HASIL PENGKAJIAN
Asuhan keperawatan komunitas pada kelompok pengguna NAPZA
dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan yang
meliputi pengkajian status kesehatan komunitas, pengkajian peka
budaya, perumusan diagnose keperawatan perencanaan,
implementasi dan evaluasi.
A. PENGKAJIAN
 Data Inti:

Demografi : Desa X Rt:05/Rw:02 di Kelurahan Sukorame,


Kecamatan Mojoroto, Kabupaten Kediri dengan jumlah
penduduk ± 500 orang dan jumlah remaja di desa itu berjumlah ±
250 orang.
Status perkawinan :warga desa x Rt 05 Rw 02 kelurahan
sukorame, kecamatan mojoroto menikah dan belum menikah.
Nilai, kepercayaan, dan agama:
Agama yang dianut oleh warga x Rt:05/Rw:02 di Kelurahan
Sukorame, Kecamatan Mojoroto, Kabupaten Kediri 70% Islam,
10% Kristen Protestan, 10% Kristen Katolik, 10% Hindu

 8 Data Sub Sistem


1. Lingkungan Fisik

Rumah warga sudah berpagar besi sehingga berkesan


tertutup.Dan di salah satu area perkebunan warga terdapat
kebun ganja.Rumah satu dengan rumah yang lain berdekatan.
Banyak terdapat warung yang menjual rokok dan minuman
keras. Data remaja yang ketergantungan obat sekitar 60%
dari total jumlah remaja..Kebanyakan kedua orang tua tidak
memperhatikan anaknya.Dikarenakan orang tua sibuk dengan
pekerjaannya.
2. Kesehatan dan pelayanan social.
 Jarak desa X dengan Puskesmas cukup jauh, jarak
tempuhnya sekitar 5 Km. Remaja jarang mendapatkan
sosialisasi tentang bahaya penggunaan NAPZA.
 Waktu pelayanan praktik dokterpagi : pukul 05.30 sampai
07.30 dan sore : 17.00 sampai 20.00. Tetapi waktu pelayan
menjadi fleksibel jika pasien banyak atau ada kasus darurat
yang membutuhkan pertolongan segera.
 Data dari BNN (Badan Narkotika Nasional) di desa X
tersebut didapatkan hasil bahwa sejumlah 60% remaja
merupakan pengguna narkotika dengn jenis sabu-sabu,
heroin, ganja, cimeng dll pada tahun 2010- 2015, dan
kemungkinan meningkat dilihat dari kebiasaan remaja
dengan akses yang mudah untuk mendapatkan narkotika
tersebut
3. Ekonomi
 Pekerjaan penduduk 50% pengrajin pasir dan semen,
sisanya peternak, buruh, dan pekerja swasta.
 Pendapatan keluarga rata-rata Rp 2.000.000.
 Pengeluaran penduduk relative, masing-masing keluarga
mempunyai pengeluaran yang berbeda-beda
 Masyarakat di desa X rata-rata mampu menyediakan
makanan yang bergizi tapi ada juga yang kesulitan
memenuhi kebutuhan sehari-hari
 Ada sebagian masyarakat yang mempunyai tabungan
kesehatan berupa asuransi kesehatan, dan BPJS
 Data dari pamong praja sekitar 40% remaja putus sekolah
 Remaja yang putus sekolah tidak memiliki pekerjaan dan
hanya menganggur
4. Keamanan dan Transportasi

Di desa X sudah ada Poskampling.Remaja menggunakan


sepeda motor untuk beraktivitas. Para warga bersama dengan
polisi sering melakukan razia. Dalam razia tersebut ditemukan
remaja yang minum – minuman keras, menggunakan
narkoba, dan jarum suntik.
5. Politik dan Pemerintahan

Remaja tidak ada yang ikut serta dalam ormas. Remaja sulit
untuk dikumpulkan atau tidak pernah mengikuti kegiatan
Karang Taruna
6. Komunikasi
 Tidak adanya tempat berkumpul untuk remaja dalam
bertukar informasi.
 Alat komunikasi yang dimiliki keluarga seperti televisi,
koran, telepon dan ponsel.
 Tidak ada alat komunikasi umum yang tersedia di desa X
 Media komunikasi di masyarakat dengan arisan, PKK dan
pengajian.
 Tidak ada konsultasi oleh tenaga medis dengan
masyarakat desa X
7. Pendidikan

Remaja banyak yang putus sekolah.


8. Rekreasi

Remaja memiliki kebiasaan untuk nongkrong bersama-sama dan


sering pergi ke warnet. Terbukti dengan banyaknya warnet-
warnet yang tersedia di desa X ini
B. ANALISA DATA

No. Analisa data Masalah


1 Ds : warga mengatakan
Resiko peningkatan
mereka sering melihat penyalahgunaan NAPZA
remaja keluar dari pada komunitas remaja di
sebuah rumah dengan desa X rt. 05 rw.02
keadaanyang kacau berhubungan dengan kurang
sepertiremaja jalannya kondusifnya lingkungan
sempoyongan, wajah remaja
berkeringat, mata
cekung dan merah,
bicara cedal
Do :
 Data dari BNN
bahwa sebanyak
60% remaja
menggunakan
narkotika jenis sabu
– sabu, heroin,
ganja, cimeng pada
tahun 2010- 2011.
 Data dari Polsek
setempat ladang
ganja disalah satu
perkebunan milik
warga.
 Saat bersih desa
sering ditemukan
botol-botol miras, pil
ekstasi dan jarum
suntik di beberapa
titik desa
2. DO: Resiko peningkatan kenakalan
 Ditemukan botolmiras remaja pada remaja di desa
 Ditemukan putung rokok X rt. 05 rw.02 berhubungan

 Ditemukan alat hisap dengan perilaku

 Ditemukan jarum suntik penyalahgunaan NAPZA

DS:
 Tokoh masyarakat/warga
mengatakan sering
terjadi tawuran antar
pemuda Desa X dengan
Desa Y
 Warga mengatakan di
desanya banyak remaja
yang hamil di luarnikah
 Laporan dari kepala desa
setempatdan data yang
ada bahwa organisasi
masyarakat atau karang
taruna tidak aktif
 Laporan dari polisi
banyak terjadi pemalakan
3. DS: Resiko tinggi cedera pada
Warga mengatakan bahwa remaja di desa X rt. 05 rw.02
mereka sering melihat berhubungan dengan
remaja keluar dari sebuah perilaku dan dampak
rumah dengan keadaan penyalahgunaan NAPZA
kacau diantaranya jalan
sempoyongan.
DO:
Pihak warga maupun polisi
setempat menemukan
korban kecelakaan di area
tikungan, setelah di
periksa ternyata ada
pengaruh obat NAPZA

SKORING KEPERAWATAN KOMUNITAS


1.Paper And Pencil Tool (Ervin,2002)
Pentingnya masalah
Kemungkinan Peningkatan
untuk dipecahkan: perubahan terhadap
1: Rendah positif jika kualitas
2 :sedang diatasi : hidup bila
No Masalah 3 :Tinggi 0 : tidak ada diatasi: Total
1 : rendah 0 : tidak ada
2 : sedang 1 : rendah
3 : tinggi 2 : sedang
3 : Tinggi
Resiko
peningkatan
1 3 3 3 9
penyalahguna
an NAPZA
Resiko
peningkatan
2 kenakalan 3 2 3 8
remaja pada
remaja
Resiko tinggi
3 cedera pada
3 2 2 7
remaja

Diagnosa keperawatan prioritas berdasarkan skoring :


1. Resiko peningkatan penyalahgunaan NAPZA pada komunitas
remaja di desa X rt. 05 rw.02 berhubungan dengan kurang
kondusifnya lingkungan remaja
2. Kenakalan remaja pada remaja di desa X rt. 05 rw.02
berhubungan dengan peningkatan penyalahgunaan NAPZA
3. Resiko cedera pada remaja di desa X rt 05 rw 02 berhubungan
dengan perilaku dan dampak penyalahgunaan NAPZA
C. RENCANAASUHANKEPERAWATANKOMUNITAS
Dx.Kep. RencanaKegiatan Evaluasi
No Tujuan
Komunitas Strategi Intervensi KriteriaHasil Evaluator
1. Resiko peningkatan Setelah dilakukan - Partnership Pencegahan primer  80% remaja Mahasiswa
penyalahgunaan tindakan - Proses 1. Berikan penyuluhan tentang mendapat FIK-UNIK
NAPZA pada keperawatan Kelompok dampak dari undangan
komunitas selama 5 minggu - Pendidikan penyalahgunaan narkoba  Poster Kader
remaja di desa diharapkan : Kesehatan 2. Berikan bimbingan atau terpasang di
X rt. 05 rw.02 - Empowerme penyuluhan untuk taat depan Pokjakes
berhubungan nt beragama dan patuh posyandu dan
dengan kurang terhadap hukum kepada di masing-
kondusifnya semua lapisan masyarakat masing RT
lingkungan 3. Salurkan kegiatan  70% remaja
remaja masyarakat terutama dan 50% kader
generasi muda yang ada di pokjakes an
kepada kegiatan positif tokoh
seperti olahraga, kesenian masyarakat
dan lain-lain hadir pada
4. Lakukan kerja sama acara
dengan keluarga, sekolah, penyuluhan
masyarakat ataupun  80% remaja
komunitas tertentu untuk yang diberi
mengembangkan program pertanyaan
pencegahan yang dapat
menekankan pada aspek menjawab
pendidikan ( edukasi denganbenar
5. Anjurkan pada keluarga
untuk meningkatkan
support system dan
memberi dukungan
terhadap anak-anak serta
remaja selama dalam fase
perkembangan

Pencegahan Sekunder
1. Bentuklah hubungan
dengan pemakai dan coba
tingkatkan kesadaran akan
akibat pemakaian zat
2. Munculkan alasan untuk
berubah
3. Perkuat efikasi/kemampuan
diri untuk berubah
4. Lakukan pemeriksaan
penuh (full assessment)
terhadap pemakai
5. Anjurkan untuk
mengembangkan gaya
hidup sehat
6. Bantu pasien untuk
memutuskan langkah
terbaik untuk berubah

Perubahan tersier
1. Ajarkan beberapa
keterampilan pada pemakai
dan cara mengembangkan
starategi untuk hidup bebas
tanpa narkoba
2. Anjurkan untuk selalu
menerapkan strategi hidup
sehat tanpa narkoba untuk
mencegah kekambuhan
3. Persiapkan pemakai
terlebih dulu untuk
memahai tahapan kambuh
4. Gambarkan apa penyebab
kambuh dan bantu perbarui
kontemplasi lalu terapkan
rencana aksi lebih efektif
5. Persiapkan lingkungan
dimana pemakai tinggal
agar bisa menerima
kembali
2. Kenakalan remaja Setelah dilakukan - Partnership 1. Karang taruna yang lama  80% remaja Mahasiswa
pada remaja di tindakan - Proses dan pokjakes membentuk mendapat FIK-UNIK
desa X rt. 05 keperawatan Kelompok pengurus karang taruna yang undangan
rw.02 selama 5 minggu - Pendidikan baru  Poster Kader
berhubungan diharapkan : Kesehatan 2. Pasang poster dan terpasang di
dengan - Empowerme pengumuman melalui masjid depan Pokjakes
peningkatan nt dan kader untuk kegiatan posyandu dan
penyalahgunaan penyuluhan remaja. di masing-
NAPZA 3. Berikan materi penyuluhan masing RT
tentang :Tumbuh kembang  70% remaja
remaja Masalah yang dan 50% kader
berkaitan dengan di pokjakes an
kenakalanremaja seperti tokoh
miras, AIDS masyarakat
4. Cara hadir pada
menanggulangikenakalan acara
remaja. penyuluhan
 80% remaja
yang diberi
pertanyaan
dapat
menjawab
denganbenar
3 Resiko cedera pada Setelah dilakukan - Partnership 1. Identifikasi tingkat gejala  80% remaja Mahasiswa
remaja di desa tindakan - Proses putus alkohol, misalnya mendapat FIK-UNIK
X rt 05 rw 02 keperawatan Kelompok tahap I diasosiasikan undangan
berhubungan selama 5 minggu - Pendidikan dengan tanda/gejala  Poster Kader
dengan perilaku diharapkan : Kesehatan hiperaktivitas (misalnya terpasang di
dan dampak 1. Remaja tidak Empowerment tremor, tidak dapat depan Pokjakes
penyalahgunaan menggunakan beristirahat, posyandu dan
NAPZA NAPZA mual/muntah, diaforesis, di masing-
takhikardi, hipertensi); masing RT
tahap II dimanifestasikan  70% remaja
dengan peningkatan dan 50% kader
hiperaktivitas ditambah di pokjakes an
dengan halusinogen; tokoh
tingkat III gejala meliputi masyarakat
DTs dan hiperaktifitas hadir pada
autonomik yang acara
berlebihan dengan penyuluhan
kekacauan mental berat,  80% remaja
ansietas, insomnia, yang diberi
demam. pertanyaan
2. Membentukorganisasikar dapat
angtaruna, menjawab
dengankaderremaja yang denganbenar
sudahdilatihuntukmenyal
urkanhobiataumengisiwa
ktuluang.
BAB III
PEKERJA KHUSUS

3.1.PENGORGANISASIAN PELAKSANA ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS PADA


KELOMPOK KHUSUS PEKERJA

Tenaga kerja merupakan salah satu kelompok sasaran dalam pelayanan keperawatan
komunitas, dimana perawat komunitas mampu mempunyai tanggung jawab terhadap
kesehatanpara pekerja yang merupakan bagian dari komunitas. Dibeberapa negara maju
kesehatan kerja sudah ditangani khusus oleh perawat kesehatan kerja (accupational health
nursing ), di Indonesia perawat kesehatan kerja saat ini sudah mulai dikembangkan, namun
pemerintah sebenrnya sudah mulai mempromosikan tentanpentingnya keberadaan perawat
kerja dalam suatu perusahaan/ industry.
A. PENGERTIAN

Perawat kerja (occupational health nursing ) adalah paktik spesialis yang ditunjukkan dan
diberikan kepada para pekerja dan masyarakat pekerja yang difokuskan pada upaya
promosi , prevensi, dan restorasi kesehatan pekerja dalam konteks keselamatan dan
kesehatan lingkungan kerja.
Merujuk dari pengartian diatas diketahui bahwa, asuhan keperawatan pad pekerja adalah
praktik spesialis yang dilakukan oleh perawat yang kompeten dan mempunyai berbagai
ketrampilan terkait pekrja khusus. Di Indonesia hal ini memenga masih berkembang, belum
banyak perusahaan mempunyai perawat kesehatan kerja yang bekerja seperti kualifikasi
deifinisi diatas. Perawat yangbada saat ini bekerja di perusahaan yang sifatnya hanya
pasien diruang periksa dan melakukan hal-hal yang bersifat kegawatan saja dan kurang
mengoptimalisasikan upaya promotifnya.
B. TUJUAN KEPERAWATANKESEHATAN KERJA :
1. Meningkatkan derajat kesehatan pekerja melalui tiga level pencegahan baik primer,
sekunder maupun tertier.
2. Melakukan upaya pencegahan terjadinya bahaya akibat kerja dengan mejauhkan
pekrja dari stressordan potential hazard
3. Memberikan pelayanan kesehatan
4. Memebantu dalam penenpatan pekerja yang sesuai dengan kemampuan kapasitas
fisik, mempertimbangkan bahaya dan peralatan yang digunakan pekerja.
C. PERAN PERAWAT PADA KELOMPOK KHUSUS KERJA
1. Provider : memberikan perawatan langsung baik individu, kelompok dan keluarga
pekerja
2. Case manager : mengkoordinir pelayanan perawatan kesehatan kerja
3. Advokat : mengembangkan atau membuat usulan kebijakan dalam pelaksanaan
perawatan kesehatan kerja
4. Konsultan
5. Penddidik kesehatan
6. Peneliti : analisis kesehatan pekerja untuk membantu meningkatkan derajat ke
menguntungkan sehatan pekerja yang berhubungan dengan kinerja yang dapat
perusahaan

D. FUNGSI PERAWAT PEKERJA KHUSUS


1. Mengkaji masalah yangtimbul pada pekerja khusus dengan mengumpulkan data dan
menganalisa masalah kesehatan dan keperawatan pekerja.
2. Mengidentifikasi kemungkinan adanya penyakit menular dan gangguan jiwa
3. Bersama tim kesehatan lain (dokter, gizi, psikolog,dan lain lain ) dalam menyusun
rencan kerja pekerja khusus diperusahaan
4. Mempertinggi mutu pelayanan kesehatan
5. Memberikan pelayanan kesehatan
6. Melakukan upaya pendidikan kesehatan pada pekerja
7. Membantu melakukan upaya pencegahan terjadinya penyakit atau bahwa akibat
kerja
8. Memfasilitasi perbaikan kesehatan lingkungan kerja
9. Menilai keadaan kesehatan tenaga kerja dengan menghubungkan factor lingkungan
dan pekerjaan
10. Melakukan evaluasi dan membuat laporan statistic dari tindakan keperawatan yang
telah dilakukan

E. MASALAH KESEHATAN PADA KELOMPOK PEKERJA KHUSUS

Bila kita berbicar terkait masalah pekerja khusus, maka yang perlu kita bahas adalah teori
epidemiologic triad yang terdiri dari :
a. Host (pejamu) : pada populasi pekerja yang dikaju umur, jenis kelami, suku, jenis
pekejaan, riwayta penyakit, kebiasaan pola hidup,.
b. Lingkungan : kondisi kesternal yang mempengaruhi interaksi atar host dengan agent
seperati managemen, hubungan interpersonal, lingkungan fisik,dan social sekitar tempat
kerja
c. Agent : fisik (kebisingan, suhu, radiasi, tekanan darah, vibrasi ) Biologi (huh s virus,
bakter,mikrooorganisme, lain ) Kimiawi (jumlah dan jenis zart yang sring digunakan)
Ergonomi : sikap tubuh saat berkerja; Psikososial : (hungan anatara pekerja dan
manajmen )

Bila tidak ada keseimbangan interaksi antara host, lingkungan dan agent maka akan dapat
menyebabkan masalah kesehatan, berikut masalah kesehatan kerja pekerja yang dapat
menyebabkan menurunnya produktivitas kerja yaitu :
a. Penyakit umum yang biasa dialami pekerja : TBC, asma , flu/influenza , diabetes mellitus
dan lain lain
b. Penyakit yang timbul akibat kerja misalnya : pneumocosisis, dermatosis, bronchitis,
aspkisia, keruskan indra pendengaran,konjungtivis,keracuan.
c. Nutrisi :gastritis , gangguan pencernaan , kekurangan / kelebihan nutrisi dan lain lain
d. Lingkungan kerja yang kurang menunjang peningkatan produktvitas, misalnya suhu yang
terlalu panas (heat rash/bitnik bitnik pada kulit akibat panas yang tinggi, kelembaban,
ventilasi, penerangan(gangguan penglihatan/kerusakan ) ,lingkungan yang bisisng (>85)
menyebabkan gangguan pendengaran /ketulian, kanker.
e. Keselamatan : cidera jatuh,fraktur,luka bakar
f. Psikologis : stress, kecemasan,kesejahteraan tenaga kerja yang kurang memadai,
sosialisai antar pekerja yang kurang baik.

3.2 .PROSES KEPERAWATAN KOMUNITAS KELOMPOK KHUSUS PEKERJA

Berikut 5 tahapan proses keperawatan yang dapat dilaksanakan oleh perawat komunitas :
A. PENGKAJIAN
a) Core : jumlah pekerja , umur, riwayat atau perkembangan pekerja, kebiasaan, perilaku
yang ditampilkan, nilai ,keyakinan, dan agama
b) Lingkungan fisik : bagaiman kondisi lingkungan kerja tingkat kebisingan ? suhu ruangan
kerja? Radiasi ? Penerangan ? Apakah sudah sesuai dengan ketentuan kesehatan ?
c) Pelayanan kesehatan dan social : bagaimana yankes dan social khusus pekerja, seperti
ada klinik konsultasi untuk pekerja atau adanya kelompok social pekerja ? jarak ? atau
system rujukan yang digunakan oleh perusahaan. Adakah jaminan kesehatan yang
dimilki pekerja ?
d) Ekonomi : bagaimana kesejahteraan pekerja sudsh sesuai dengan aturan/diats upah
minimum daerah ?
e) Transportasi dan keamanan : apakah tempat kerja pekerja mudah dijangkau ? berapa
rata rata jarak yang ditempuh pekerja ? transportasi yang digunakan ? apakah sudah
menggunakn alat pelindung diri dengan baik unuk menghindari kecelakaan saat bekerja
f) Politik dan pemerintahan : bagaimana dukungan pemerintah setempat terhadap
kesejahteraan dan hak pekerja ? jenis dukungan nya? Apakah ada instruksi yang
mengatur / melindungi hak pekerja ?
g) Komunikasi : bagaiman cara perkerja berkomunikasi dengan pekerja lain ?media yang
digunakan ?
h) Pendidikan : adakah kesempatan bekerja untuk mengembangkan diri melalui pendidikan
fomal maupun informal ?
i) Rekreasi : adakah program reakreasi di perusahaan ? tempat rekresi yang sering
digunakan pekerja ? frekuensi ? apakah tersedia tempatn yang cukup bagi pekerja ?
apakah tersedia kantin yang sehat ?

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Berikut ini contoh diagnosa keperawatan pada kelompok khusus pekerja, saudara dapat
mengembangkan dari masalah keperawatan yang ada dan merujuk pada panduan
penulisan diagnosa keperawatan menurut NANDA.
1) Risiko terjadinya gangguan integritas kulit pada pekerja di bagian pencucian di
perusahaan kulit berhubungan dengan kurangnya kemampuan pekerja dalam
melakukan upaya pencegahan pemaparan terhadap bahan kimia
2) Risiko terjadinya penurunan kemampuan dalam mengatasi masalah pada pekerja di
perusahaan konveksi indah berhubungan dengan tidak bagian pengepakan perusahaan
buku jaya berhubungan dengan kurangnya pengetahuan pekerja tentang bahaya
pengulangan kerja, dan kurangnya fasilitas efektifnya koping pekerja dalam mengatasi
masalah atau stres yang dialaminya
3) Risiko gangguan muskuloskletal pada pekerja di perusahaan dalam menjamin
keselamatan dan kesehatan kerja

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1) Upaya Pencegahan Primer
a) pendidikan kesehatan pada pekerja
b) peningkatan dan perbaikan gizi pekerja
c) pemantauan kejiwaan pekerja yang sehat
d) Mendorong perusahaan untuk membuat program rekreasi
e) memantau penyediaan tempat dan lingkungan kerja yang sehat
f) Memantau pengendalian bahay akibat kerja
g) mendorong pekerja untuk menggunakan alat pelindungdiri dengan baik saat bekerja
j) memberikan dukungan pekerja : bentuk kelompok swabantu pekerja
k) melayani pemberian immunisai
2) Upaya pencegahan sekunder : deteksi dini adanyaaa masalah kesehatan akibat kerja;
memfasilitas pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala; tindakan perawatan
segera yang dilanjutkan dengan pembinaan atau layanan konsultasi pekerja.
3). Upaya pencegahan tertier : melakukan rehabilitas (latihan dan pendidikan untuk melatih
kemampuan yang ada ), memotivasi masyarakat dan perusahaan untuk
memberdayakan pekerja yang cacat/sakit akibat kerja; penempatan tempat kerja yang
sesuai dengan kondisi pekerja saat ini; dan melalukan pembinaan lanjutan atau rujukan.

D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Implementasi dilakukan berdasarkan intervensi yang tlah disusun dengan menggunakan
empat pendektan yaitu :
1) Proses Kelompok:

Kegiatan dilakukan dengan melibatkan kelompok pekerja contoh : membentuk kelompok


peduli pekerja dengan melibatkan serikat pekerja yang ada di perusahaan tersebut
2) Pendidikan Kesehatan:
Peningkatan pendidikan kesehatan pada managemen, pekerja, dan keluarga pekerja
yaitu melalui penyebarluasan informasi kesehatan melalui berbagai saluran media
3) Kemitraan
Hubungan kerja sama antara dua pihak atau lebih, berdasarkan kesetaraan,
keterbukaan, dan saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama berdasarkan
kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing (Departemen kesehatan RI, 2003)
misalnya bermitra dengan masyarakat sekitar perusahaan, pemegang saham,
kementrian tenaga kerja. Pemerintah daerah yang ikut berwewenang mengatur
kesejahteraan pekerja
4) Pembeedayaan masyarakat, melibatkan seluruh pekerja untuk berperan aktif dalam
mengatasi masalah pekerja. Contoh: pertemuan rutin pekerja dengan managemen
dapat dijadikan media untuk membahas dan mengatasi masalah pekerja.

E.EVALUASI

Perawat komunitas bersama komunitas dapat mengevaluasi semua implementasi yang


telah dilakukan dengan merujuk pada tujuan yang telah ditetapkan yaitu mencapai
kesehatan pekerja yang optimal.
BAB IV
PENUTU

4.1 KESIMPULAN

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk


mencegah terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa: Penyempurnaan
perundang-undangan mengenai larangan atau pengaturan penyelenggaraan
pelacuran. Sedang usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai;
kegiatan untuk menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan
para wanita dari ketuna susilaannya, untuk kemudian membawa mereka ke jalan
benar. Usaha represif dan kuratif ini antara lain berupa: Melalui lokalisasi yang
sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan pengawasan/kontrol yang
ketat demi menjamin kesehatan dan keamanan para prostitue serta
lingkungannya.
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus menerus
bahkan sampai setelah terjadi masalah.Ketergantungan zat menunjukkan kondisi
yang parah dan sering dianggap sebagai penyakit.Peran perawat mempengaruhi
pada keberhasilan dalam mencapai tujuan dan hasil akhir yang diharapkan dalam
perawatan.Dimana asuhan keperawatan pada pasien penyalahgunaan NAPZA
ditekankan pada aspek psikososial, kejiwaan, komunitas dan keagamaan. Peran
keluarga dan lingkungan juga sangat diperlukan untuk mempercepat proses
pemulihan pasien penyalahgunaan NAPZA. Kebanyakan dari pengguna
menjadikan NAPZA sebagai pelarian atau pemecahan suatu masalah.

4.2 SARAN

Sebagai seorang calon tenaga kesehatan, khususnya perawat. Alangkah


baiknya kita dapat mendalami dan memahami secara menyeluruh apa saja
bentuk dari asuhan keperawatan pada wts (wanita tuna susila) di komunitas.

Upaya mencegah kekambuhan klien dengan penyalahgunaan NAPZA


sangat tergantung dari motivasi internal dari klien itu sendiri untuk terlepas dari
kecanduan. Tidak kalah penting dari hal itu juga peran serta orang terdekat untuk
senantiasa memberi dukungan dan memberikan pengawasan kepada penderita.
DAFTAR PUSTAKA

Https://id.scribd.com/document/363390474/ASKEP-WTS, diakses pada tanggal 30


April 2019

https://www.academia.edu/7346451/MAKALAH_PSK, diakses pada tanggal 30 April


2019

(2001). Buku pedoman praktis bagi petugas kesehatan (puskesmas) mengenai


penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta:
Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI Direktorat Jenderal Kesehatan
Masyarakat.

(2001). Buku pedoman tentang masalah medis yang dapat terjadi di tempat rehabilitasi
pada pasien ketergantungan NAPZA. Jakarta: Direktorat Kesehatan Jiwa Masyarakat
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan Sosial RI.

Carpenito, L.J. (1995). Buku saku diagnosa keperawatan.Edisi 6. (terjemahan). Jakarta:


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Cokingting, P.S., Darst,E, dan Dancy, B. 1992. Mental Health and Psichiatric
Nursing.Chapter 8.Philadelpia : J.B.,Lippincott Company

Depkes.(2002). Keputusan Menteri kesehatan RI tentang pedoman penyelenggaraan


sarana pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA). Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Gunawan, Weka.2006.Keren Tanpa Narkoba.Jakarta:Grasindo

Hawari, D. (2000). Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (narkotik, alkohol dan


zat adiktif). Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Joewana, S. (2004).Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif.


Jakarta: EGC.
Marviana, dkk.(2000). Narkoba dan Remaja.Jakarta: Gramedia.

Partodihardjo,Subagyo.2010.Kenali Narkoba dan Musuhi


Penyalahgunaannya.Jakarta:Esensi

Purba, Jenny Marlindawani. Et al. 2008.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan


Masalah Psikososial dan Gangguan Jiwa.Medan : USU Press

Stuart, Gail W. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3rd ed. Jakarta : EGC

Winarno, Heri. Et al. 2008.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan Jarum


Suntik Bergantian Diantara Pengguna Napza Suntik di Semarang Jurnal Promosi
Kesehatan Indonesia.vol 3 no.2

Wresniwiro. (1999). Narkoba dan Pengaruhnya. Jakarta: Widya Medika.


http://usupress.usu.ac.id/files/Asuhan%20Keperawatan%20pada%20Klien%20dengan
%20Masalah%20Psikososial%20dan%20Gangguan%20Jiwa_Normal_bab%201.pdf.

diakses pada tanggal 9 Oktober 2013 pukul 14:00 WIB

Anda mungkin juga menyukai