Anda di halaman 1dari 24

PRAKTEK BELAJAR LAPANGAN (PBL)

PADA PANTI PELAYANAN SOSIAL WANITA WANODYATAMA SURAKARTA

Oleh:

BADAN PENDIDIKAN PENELITIAN DAN PENYULUHAN SOSIAL


BALAI BESAR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
YOGYAKARTA
2017
FORMAT LAPORAN PRAKTEK ASSESSMENT

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN
Bab I Gambaran Umum Lokasi Praktek
1.1.Profil Lembaga
1.2.Sejarah Lembaga
1.3.Visi dan Misi Lembaga
1.4.Pelayanan Sosial yang Diberikan
Bab IV Tinjauan Konseptual
Bab III Proses Praktek
Bab IV Hasil Praktek
4.1.Profil Klien
4.2. Hasil Group Work
4.3. Hambatan
4.4. Harapan
Bab V Kesimpulan dan Saran
BAB I
GAMBARAN UMUM LOKASI PRAKTEK

1.1 Profil Lembaga


Panti Pelayanan Sosial Wanita (PPSW) Wanodyatama Surakarta adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas
Sosial Provinsi Jawa Tengah bertugas memberikan pelayanan dan rehabilitasi sosial yang meliputi
pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan ketrampilan dan
resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi eks. WTS.
Adapun Wanita tuna susila adalah : wanita yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki diluar
perkawinan yang sah dan berganti-ganti pasangan dengan mengharapkan imbalan baik berupa uang
atau barang.
1. Tujuan :
Pulihnya harga diri dan kepercayaan diri serta timbulnya kemandirian dan tanggungjawab
terhadap masa depan diri dan keluarganya.
Terbinanya tata kehidupan dan penghidupan kelayan yang memungkinkan untuk
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
2. Landasan Hukum
UndangUndang No. 11 tahun 2009, tentang ketentuanketentuan Pokok Kesejahteraan
Sosial.
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No.6 tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata
Kerja Dinas Daerah Provinsi Jawa Tengah.
Peraturan Gubernur Jawa Tengah No. 50 tahun 2008, tentang Organisasi dan Tata Kerja
UPT pada Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah
3. Sasaran Garapan
Sasaran Utama :
Wanita Tuna Susila dan Eks Wanita Tuna Susila
Dari berbagai usia
Sehat Jasmani ( tidak berpenyakit menular )
Sehat Rohani ( Tidak tuna laras )
Bersedia mengikuti bimbingan dan di asramakan
Sasaran Antara :
Mucikari/germo
Keluarga/lingkungan asal Penerima Manfaat
Masyarakat , Organisasi Sosial dan Pelaku Usaha

1.2 .Sejarah Lembaga


1. Pemerintah Kerajaan Surakarta (WANGKUNG)
2. Tahun 1951 Pemkot Praja Surakarta (Panti Pamardi Wanita )
3. Tahun 1971 (Kanwil Depsos Jateng = Sasana Rehabilitasi Wanita Wanita Utama )
4. Tahun 2002 ( Pemprov. Jateng = Panti Karya Wanita Wanita Utama Eselon IV a )
5. Pergub No. 50 Tahun 2008 = Panti Karya Wanita Wanita Utama Eselon III a )
6. Pergub No. 60/71/2008 PAKARNITA Wanita Utama Surakarta 1
7. Pergub No. 111 Tahun 2010, BAREHSOS Wanita Utama Surakarta 1
8. Pergub No. 53 Tahun 2013, BALAI RESOS Wanita Utama Surakarta
9. Pergub No. 109 Tahun 2016, PANTI PELAYANAN SOSIAL WANITA WANODYATAMA Surakarta

1.3 Visi dan Misi Lembaga


VISI :
Mewujudkan Kemandirian Kesejahteraan Sosial PMKS melalui Pemberdayaan PSKS yang
Profesional.
Misi :
1. Meningkatkan jangkauan, kualitas dan profesionalisme dalam penyelenggaraan pelayanan
Kesejahteraan Sosial terhadap wanita tuna susila.
2. Mengembangkan, memperkuat sistem kelembagaan yang mendukung penyelenggaraan
pelayanan Kesejahteraan Sosial terhadap wanita tuna susila
3. Meningkatkan kerja sama lintas sektoral dalam menyelenggarakan pelayanan Kesejahteraan
Sosial terhadap wanita tuna susila
4. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas hidup wanita tuna susila
5. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Usaha Kesejahteraan Sosial.

1.4 Pelayanan Sosial yang Diberikan


PM PPSW Wanodyatama Surakarta berasal dari Sosialisasi program ke Kabupaten Kota se Provinsi
Jawa Tengah dan Hasil Razia Satpol PP, Dinas Sosoal serta titipan dari keluarga bermasalah
(masyarakat umum).
1. Pendekatan Awal
a. Identifikasi
b. Seleksi
c. Registrasi
2. Pengungkapan dan Pemahaman Masalah
3. Program Pelayanan
a. Penempatan dalam Asrama
b. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari.
c. Bimbingan dan Rehabilitasi Sosial
- Bimbingan Mental
- Bimbingan Sosial
- Bimbingan Fisik
- Bimbingan Ketrampilan
d. Kegiatan Resosialisasi
4. Pasca Pelayanan
a. Penyaluran
b. Bimbingan Lanjut
c. Terminasi
BAB II
TINJAUAN KONSEPTUAL

A. Pekerja Seks Komersial

1. Definisi Pekerja Seks Komersial

Pelacuran atau prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang
harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan. Mudji
Sutrisno (2005: 341) mengatakan bahwa, pelacuran berasal dari bahasa latin pro-stituere atau pro-
stauree, yang membiarkan diri berbuat zina, melakukan persundalan, percabulan, dan
pergendakan. Sedang prostitue adalah pelacur atau sundal. Dikenal pula dengan istilah wanita
tuna susila (WTS) atau pekerja seks komersial (Kartini Kartono, 2011: 207). Pelacuran merupakan
profesi yang sangat tua usianya, setua usia kehidupan manusia itu sendiri (Kartini Kartono, 2011:
208). Di banyak negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman, juga dianggap sebagai
perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Pelacuran adalah salah satu bentuk dari zina,
maka agama pun melarang keras tentang itu. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat manusia
pertama sehingga dunia akan kiamat nanti, mata pencaharian pelacuran ini akan tetap ada, sukar,
bahkan hampir-hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi, selama masih ada nafsu-nafsu
seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati nurani. Maka timbulnya masalah pelacuran sebagai
gejala patologis yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan diberlakukannya norma-norma
perkawinan (Kartini Kartono, 2011: 208).
Di Indonesia pelacur (pekerja seks komersial) sebagai pelaku pelacuran sering disebut
sebagai sundal atau sundel. Ini menunjukkan bahwa perilaku perempuan sundal itu sangat begitu
buruk hina dan menjadi musuh masyarakat, mereka kerap digunduli bila tertangkap aparat
penegak ketertiban, mereka juga digusur karena dianggap melecehkan kesucian agama dan
mereka juga diseret ke pengadilan karena melanggar hukum. Pekerjaan melacur atau nyundal
sudah dikenal di masyarakat sejak beberapa abad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan
tercecer seputar mereka dari masa kemasa. (Susilo Budi: 2009)
Dalam bukunya Patologi Sosial, Kartini Kartono (2011: 216) menuliskan bahwa pekerja
seks komersial merupakan peristiwa penjualan diri baik perempuan maupun laki-laki dengan jalan
memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan
nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran. Definisi tersebut sejalan dengan Koentjoro (2004:
36), yang menjelaskan bahwa pekerja seks komersial merupakan bagian dari kegiatan seks di luar
nikah yang ditandai oleh kepuasan dari bermacam-macam orang yang melibatkan beberapa pria
dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber pendapatan.

Helen Buckingham dalam Sutrisno (2005: 343), mengatakan bahwa perempuan


menghargai dirinya sendiri dan menolong dirinya sendiri dengan bekerja untuk dirinya sendiri,
nampak pada profesinya sebagai pelacur. Sebagai pelacur merupakan tempat untuk pertama
kalinya seorang perempuan memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuhnya sendiri,
menjual dirinya sendiri dalam kedudukan ekonomi yang sulit. Lanjut dikatakan pula bahwa
perempuan memanfaatkan tubuhnya untuk meraup lembaran uang, sehingga
mendapatkan julukan penjaja seks oleh masyarakat. Predikat yang dimiliki perempuan sebagai
penjaja seks tidak semakin membatasi ruang gerak privat dari perempuan, bahkan semakin
mantap melangkah menekuni pekerjaan sebagai penjaja seks. Dari beberapa pengertian di atas
dapat diketahui bahwa pekerja seks komersial adalah orang yang melakukan kegiatan seks di luar
nikah, dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang
untuk memuaskan nafsu-nafsu seks, dilakukan demi uang dan dijadikan sebagai sumber
pendapatan.

2. Sejarah dan Konsep Pelacuran di Indonesia


Pelacuran telah terjadi sepanjang sejarah manusia. Namun menelusuri sejarah
pelacuran di Indonesia dapat di runut mulai dari masa kerajaan-kerajaan Jawa, di mana
perdagangan perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan
feodal. Prostitusi sudah terjadi di Indonesia sejak kerajaan Majapahit, diketahui dari penuturan
kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab Mahabrata dan pada zaman Mataram semakin meningkat.
Meningkatnya permintaan akan pelayanan seks, yaitu pekerja seks komersial pada abad ke-19
menurut Ingleson dalam Koentjoro (2004: 61-62). Dua kerajaan yang sangat lama berkuasa di
Jawa berdiri tahun 1755 ketika kerajaan Mataram terbagi dua menjadi Kesunanan Surakarta dan
Kesultanan Yogyakarta. Mataram merupakan kerajaan
Islam Jawa yang terletak di sebelah selatan Jawa Tengah. Pada masa penjajahan
Jepang, semakin banyak wanita Indonesia yang dijadikan sebagai seorang pelacur yang disebut
sebagai Jugun Ianfu. Jugun Ianfu merupakan wanita yang dipaksa untuk menjadi pemuas
kebutuhan seksual tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di negara-negara jajahan
Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945 (Emaus: 2013). Salah satu sosok yang
terkenal pada masa itu adalah ibu Mardiyem yang lahir tahun 1929 di Yogyakarta. Pemolesan
istilah berganti dari waktu ke waktu. Dahulu seorang wanita yang menjual dirinya disebut pelacur.
Seiring berkembangnya zaman pemerintah mengganti istilah pelacur dengan istilah wanita tuna
susila (WTS), hal itu mendapat protes dari banyak pihak. Karena tidak semua wanita yang
menjajakan dirinya itu tak punya norma susila. Dan untuk norma susila sendiri sangat banyak
cakupan, maka masyarakat menggunakan istilahnya sendiri yaitu pekerja seks komersial.
Walaupun istilah ini juga sebenarnya kurang tepat.

3. Jenis Pekerja Seks


PSK di Indonesia beraneka ragam, menurut Hendrina (2012: 19) PSK mempunyai
tingkatan-tingkatan operasional, diantaranya :
a. Segmen kelas rendah
Dimana PSK tidak terorganisir. Tarif pelayanan seks terendah yang ditawarkan, dan biaya
beroperasi di kawasan kumuh seperti halnya pasar, kuburan,taman-taman kota dan tempat
lain yang sulit dijangkau, bahkan kadang-kadang berbahaya untuk dapat berhubungan
dengan para PSK tersebut.
b. Segmen kelas menengah
Dimana dalam hal tarif sudah lebih tinggi dan beberapa wisma menetapkan tarif harga
pelayanan yang berlipat ganda jika dibawa keluar untuk di booking semalaman.
c. Segmen kelas atas
Pelanggan ini kebanyakan dari masyarakat dengan penghasilan yang relatif tinggi yang
menggunakan night club sebagai ajang pertama untuk mengencani wanita panggilan ayau
menggunakan kontak khusus hanya untuk menerima pelanggan tersebut.
d. Segmen kelas tertinggi
Kebanyakan mereka dari kalangan artis televisi dan film serta wanita model. Super germo yang
mengorganisasikan perdagangan wanita kelas atas ini.
B. Feminisme dan Prostitusi
Feminisme mempengaruhi pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan kegiatan perempuan, salah
satu yang disorot adalah prostitusi. Terdapat tiga pemikiran besar dalam feminisme mengenai
prostitusi. Tiga feminisme tersebut antara lain:
1. Feminisme Liberal, yaitu ketimpangan gender yang menyebabkan posisi perempuan dikebanyakan
situasi tak hanya berbeda, tetapi juga kurang beruntung atau tak setara dengan posisi lelaki.
2. Feminisme Radikal, yaitu penindasan gender yang menyebabkan perempuan ditindas, tak hanya
dibedakan atau tak setara, tetapi secara\ aktif dikekang, disubordinasikan, dibentuk dan
digunakan, dan disalahgunakan oleh lelaki.
3. Feminisme Sosialis, yaitu penindasan struktural yang menyebabkan pengalaman perempuan
tentang pembedaan, ketimpangan dan berbagai penindasan menurut posisi sosial mereka. (Ritzer,
2015)

C. Pengaruh Feminis terhadap Pekerjaan Sosial

Pengaruh teori feminis terhadap pekerjaan sosial (social work) bermetamorfosa menjadi
sebuah paradigma tersendiri yang dikenal dengan nama feminist social work (pekerjaan sosial
feminis). Secara akademis, ia lahir sekitar awal tahun 1970an, ketika wanita mulai ditambahkan ke
dalam kurikulum pekerjaan sosial (Dominelli, 2002). Pada pertengahan tahun 1990an, paradigma baru
ini kemudian memiliki kerangka teori dan prakteknya sendiri yang terutama dikembangkan dari
perpaduan antara teori-teori feminis dan pekerjaan sosial. Beranjak dari organisasi sukarela dan aksi
masyarakat (community action), perspektif feminis kini merangsek masuk ke bidang-bidang praktek
pekerjaan sosial yang lain, seperti konseling, terapi kelompok, terapi organisasi, analisis kebijakan
sosial, dan penelitian pekerjaan sosial.

Seperti halnya feminisme, pekerjaan sosial feminis juga bukan merupakan mazhab atau
aliran pemikiran (school of thought) yang monolitik, berpijak pada satu versi kebenaran tunggal.
Dalam garis besar, tiga mazhab yang paling dikenal adalah feminisme liberal, radikal dan sosialis.
Ketiga mazhab mainstream ini kemudian berkembang menjadi beberapa sub-mazhab seperti
feminisme lesbian (lesbian feminist theory), feminisme kultural, eco-feminisme, wanitaisme
(womanism atau African-American womens feminist theory), feminisme pascamodern (postmodern
feminist theory), dan feminisme global (Saulnier, 2000). Feminisme lesbian dan kultural, misalnya,
lahir sebagai reaksi terhadap feminisme liberal; keduanya merupakan perluasan dari mazhab
feminisme radikal.
Setiap mazhab feminis memiliki perspektif yang berbeda mengenai hakekat ketidakadilan
dan penindasan terhadap wanita. Masing-masing mazhab memiliki pendekatan dan strategi yang
beragam pula dalam mengeliminasi ketidakadilan jender ini. Variasi pemikiran ini selain merefleksikan
bagaimana feminisme berusaha merespon terhadap kritik yang dilontarkan oleh setiap mazhab satu
sama lain, juga menunjukkan bahwa feminisme merupakan sebuah paradigma yang cair, responsif
dan tidak dogmatis. Meskipun feminisme berwayuh wajah, teori-teori feminis memiliki beberapa
kesamaan dalam hal (Dominelli, 2002:97):

1. Menjunjung hak azasi wanita untuk terbebas dari penindasan;


2. Memberi kesempatan pada wanita berbicara atas nama dirinya dan berdasarkan suaranya sendiri;
3. Mendengarkan terhadap apa yang seharusnya dinyatakan oleh wanita
4. Menciptakan gaya hidup alternatif di sini dan saat ini;
5. Mengintegrasikan teori dengan praktek;
6. Mencari kesesuaian antara tujuan yang ingin dicapai dengan cara-cara pencapaian tujuan itu;
7. Memetakan solusi-solusi kolektif yang menghargai individualitas dan keunikan setiap wanita;
8. Menghargai kontribusi wanita; dan
9. Menggunakan pengalaman-pengalaman wanita secara individu guna memaknakan realitas sosial.
Bab III
PROSES PRAKTEK

Praktek pekerjaan sosial merupakan terapan dari berbagai unsur ilmu pengetahuan. Pada proses
praktek belajar lapangan di Panti Pelayanan Wanita Wanodyatama ini mengambil kajian feminism. Kajian
ini digunakan untuk mengakhiri dominasi dan opresi terhadap perempuan, khususnya mereka yang
terjaring operasi pekat dan harus mendapatkan pembinaan dalam lembaga (rehabilitasi sosial).
Proses praktek belajar lapangan ini telah dilakukan dalam beberapa tahapan, mulai dari tahap
intake, asesmen, dinamika kelompok, group work, focus group discussion dan pengakhiran. Rangkaian
proses tersebut sangat penting dilakukan agar dapat menentukan proses pertolongan yang tepat bagi
penerima manfaat yang berada dalam lembaga.

Berikut proses praktek yang telah dilakukan dalam praktek belajar lapangan.
I. Intake dan Asesmen
Memulai kegiatan praktek diawali pertemuan dengan pengurus lembaga dan perkenalan.
Proses intake difasilitasi oleh lembaga yang merekomendasikan sejumlah penerima manfaat
yang baru terjaring operasi razia dan belum melalui tahapan asesmen lanjut. Pekerja sosial
lembaga membagi para penerima manfaat kepada peserta Praktek Belajar Lapangan (PBL)
untuk melakukan asesmen lanjutan. Anggota kelompok yang berjumlah 6 (enam) orang
mendapatkan masing-masing 1 (satu) penerima manfaat.
II. Asesmen yang dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok bertujuan untuk mengetahui
berbagai hal yang berkenaan dengan kebutuhan penerima manfaat selanjutnya. Hasil yang
diperoleh setelah proses asesmen adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya para penerima manfaat dalam pandangan feminism melakukan
tindakan prostitusi bisa dikatakan beralasan. Tindakan menjadi prostitusi merupakan
simbol ketersingkiran perempuan yang diakibatkan ketimpangan ekonomi.
Perekonomian menjadi dominasi laki-laki dari tingkat keluarga hingga tingkat makro.
2. Sebagai penerima manfaat yang baru saja masuk ke dalam panti mereka belum
memahami tujuan, manfaat dan alasan mengapa mereka harus berada di sana dan
tidak boleh kembali ke keluarga dan harus menjalani proses rehabilitasi sosial selama 6
(enam) bulan.
3. Adanya penolakan dan kemarahan dalam diri penerima manfaat, karena meskipun
mereka mengetahui dan memahami bahwa apa yang dilakukan adalah tidak benar dan
menyalahi norma etika yang berlaku dalam masyarakat, namun karena keterbatasan
dalam berbagai hal seperti ekonomi, pendidikan yang rendah, sistem sosial, struktur
sosial hingga pergeseran budaya membuat mereka tidak berdaya untuk menghindar
dari kondisi tersebut.

III. Dinamika Kelompok dilakukan untuk menggali lebih dalam kekuatan-kekuatan yang terdapat
kelompok demi memperlancar ataupun menghambat proses kerja sama dalam kelompok.
Proses dinamika kelompok selanjutnya bisa memperlancar proses asesmen kebutuhan pada
kelompok penerima manfaat.

IV. Focus Group Discussion. Proses selanjutnya dari praktek belajar lapangan (PBL) adalah
melakukan focus group discussion (FGD). Focus diskusi dalam kelompok ini menemukan
beberapa poin penting yang perlu untuk disampaikan pada pihak lembaga ataupun sistem
sumber yang terkait. Poin tersebut adalah:
1. Hambatan-hambatan : beberapa hambatan yang terjadi adalah:
- Tidak memiliki modal usaha
- Tidak memiliki tempat usaha
- Ketakutan jika memiliki pesaing dalam usaha
- Kesulitan dalam mengatur keuangan keluarga dikarenakan keterbatasan pendapatan.
2. Cara untuk mengatasi hambatan yang terjadi
- Mengupayakan beberapa alternatif akan sistem sumber yang bisa dipergunakan;
misalnya ketika mereka telah berada dalam lembaga,diharapkan pihak lembaga bisa
memberikan bantuan stimulan bagi penerima manfaat pada saat mereka akan
disalurkan.
- Mengupayakan peningkatan kapasitas diri penerima manfaat melalui pembinaan dalam
lembaga selama 6 bulan, ataupun hingga mereka telah bisa menunjukkan perubahan
sikap kooperatif secara konsisten, misalnya mereka telah dapat dipercaya dan tidak
berubah-ubah, tidak pernah melakukan tindakan memanipulasi untuk mendapatkan
apa yang mereka inginkan.
- Memberikan motivasi diri agar bisa meningkatkan kapasitas diri dan tidak mengulangi
untuk terjebak dalam prostitusi.
3. Harapan penerima Manfaat
- Memiliki usaha sendiri, mulai dari ingin berdagang sembako, membuka salon, warung
nasi kucing, menjual kue-kue, dan membuka usaha menjahit.
- Bisa memperoleh pekerjaan yang layak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Bisa meningkatkan kapasitas diri sendiri, misalnya bisa mendapatkan pelatihan
marketing, ataupun manajemen.
Bab III
Proses Praktek

Praktek pekerjaan sosial merupakan terapan dari berbagai unsur ilmu pengetahuan. Pada proses
praktek belajar lapangan di Panti Pelayanan Wanita Wanodyatama ini mengambil kajian feminism. Kajian
ini digunakan untuk mengakhiri dominasi dan opresi terhadap perempuan, khususnya mereka yang
terjaring operasi pekat dan harus mendapatkan pembinaan dalam lembaga (rehabilitasi sosial).
Proses praktek belajar lapangan ini telah dilakukan dalam beberapa tahapan, mulai dari tahap
intake, asesmen, dinamika kelompok, group work, focus group discussion dan pengakhiran. Rangkaian
proses tersebut sangat penting dilakukan agar dapat menentukan proses pertolongan yang tepat bagi
penerima manfaat yang berada dalam lembaga.
Berikut proses praktek yang telah dilakukan dalam praktek belajar lapangan.
I. Intake dan Asesmen
Memulai kegiatan praktek diawali pertemuan dengan pengurus lembaga dan perkenalan. Proses
intake difasilitasi oleh lembaga yang merekomendasikan sejumlah penerima manfaat yang baru
terjaring operasi razia dan belum melalui tahapan asesmen lanjut. Pekerja sosial lembaga membagi
para penerima manfaat kepada peserta Praktek Belajar Lapangan (PBL) untuk melakukan asesmen
lanjutan. Anggota kelompok yang berjumlah 6 (enam) orang mendapatkan masing-masing 1 (satu)
penerima manfaat.
II. Asesmen yang dilakukan oleh masing-masing anggota kelompok bertujuan untuk
mengetahui berbagai hal yang berkenaan dengan kebutuhan penerima manfaat selanjutnya. Hasil
yang diperoleh setelah proses asesmen adalah sebagai berikut:
1. Pada dasarnya para penerima manfaat dalam pandangan feminism melakukan tindakan
prostitusi bisa dikatakan beralasan. Tindakan menjadi prostitusi merupakan simbol
ketersingkiran perempuan yang diakibatkan ketimpangan ekonomi. Perekonomian menjadi
dominasi laki-laki dari tingkat keluarga hingga tingkat makro.
2. Sebagai penerima manfaat yang baru saja masuk ke dalam panti mereka belum memahami
tujuan, manfaat dan alasan mengapa mereka harus berada di sana dan tidak boleh kembali ke
keluarga dan harus menjalani proses rehabilitasi sosial selama 6 (enam) bulan.
3. Adanya penolakan dan kemarahan dalam diri penerima manfaat, karena meskipun mereka
mengetahui dan memahami bahwa apa yang dilakukan adalah tidak benar dan menyalahi norma
etika yang berlaku dalam masyarakat, namun karena keterbatasan dalam berbagai hal seperti
ekonomi, pendidikan yang rendah, sistem sosial, struktur sosial hingga pergeseran budaya
membuat mereka tidak berdaya untuk menghindar dari kondisi tersebut.

III. Dinamika Kelompok dilakukan untuk menggali lebih dalam kekuatan-kekuatan yang terdapat
kelompok demi memperlancar ataupun menghambat proses kerja sama dalam kelompok. Proses
dinamika kelompok selanjutnya bisa memperlancar proses asesmen kebutuhan pada kelompok
penerima manfaat.
Tahapan dinamika kelompok adalah
1. Perkenalan diri dan pengungkapan emosi PM. Pada sesi ini PM diharap bisa memperkenalkan diri
kepada sesama PM kemudian mengajak mengungkapkan perasaan dan mengekspresikan emosi
yang terpendam. Tahap ini dilalui PM dengan baik.
2. Melalui beberapa sesi game bertujuan untuk membangun komunikasi dan interaksi diantara
anggota baru.
3. Sesi terakhir dalam dinamika kelompok adalah relaksasi, pada tahap ini PM diajak melakukan
relaksasi untuk menenangkan diri dan mencoba menggali emosi yang terpendam selama
menjalani kehidupan yang cukup sulit dan rumit. Pada tahap ini beberapa PM terlihat sulit
mengendalikan emosi yang mengalir, dikarenakan beban yang lama terpendam dan tidak mampu
diungkapkan.

IV. Focus Group Discussion. Proses selanjutnya dari praktek belajar lapangan (PBL) adalah
melakukan focus group discussion (FGD). Focus diskusi dalam kelompok ini menemukan beberapa
poin penting yang perlu untuk disampaikan pada pihak lembaga ataupun sistem sumber yang terkait.
Poin tersebut adalah:
1. Hambatan-hambatan : beberapa hambatan yang terjadi adalah:
- Tidak memiliki modal usaha
- Tidak memiliki tempat usaha
- Ketakutan jika memiliki pesaing dalam usaha
- Kesulitan dalam mengatur keuangan keluarga dikarenakan keterbatasan pendapatan.
2. Cara untuk mengatasi hambatan yang terjadi
- Mengupayakan beberapa alternatif akan sistem sumber yang bisa dipergunakan; misalnya
ketika mereka telah berada dalam lembaga,diharapkan pihak lembaga bisa memberikan
bantuan stimulan bagi penerima manfaat pada saat mereka akan disalurkan.
- Mengupayakan peningkatan kapasitas diri penerima manfaat melalui pembinaan dalam
lembaga selama 6 bulan, ataupun hingga mereka telah bisa menunjukkan perubahan sikap
kooperatif secara konsisten, misalnya mereka telah dapat dipercaya dan tidak berubah-ubah,
tidak pernah melakukan tindakan memanipulasi untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan.
- Memberikan motivasi diri agar bisa meningkatkan kapasitas diri dan tidak mengulangi untuk
terjebak dalam prostitusi.
3. Harapan penerima Manfaat
- Memiliki usaha sendiri, mulai dari ingin berdagang sembako, membuka salon, warung nasi
kucing, menjual kue-kue, dan membuka usaha menjahit.
- Bisa memperoleh pekerjaan yang layak dan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.
- Bisa meningkatkan kapasitas diri sendiri, misalnya bisa mendapatkan pelatihan marketing,
ataupun manajemen.
BAB IV

HASIL PRAKTEK

4.1. PROFIL PENERIMA MANFAAT

1. PM 1
a. Nama : TW
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 4 Juli 1980 (36 tahun)
d. Status : Menikah (Siri)
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SMA (lulus)
g. Alamat : Sadang, RT 06/01, Gunungpati, Semarang
h. Latar Belakang Masalah :
TW pernah menikah 2 (dua) kali. Dari suami pertama menikah selama 12 dan dikaruniai 1 orang
anak. Penyebab perceraian adalah suami sering ke tempat hiburan malam (karaoke) dan bermain
perempuan. Dari hal tersebut menyebabkan PW dendam dengan suami pertama dengan perkataan
kamu beraoke membuang uang dan saya berkaraoke menghasilkan uang. Setelah bercerai TW
memutuskan untuk bekerja sebagai Pemandu Karaoke dan melayani tamu (PSK). selang 2 tahun
kemudian TW berkenalan dengan AHK berprofesi sebagai Sopir Taxi yang dilanjutkan dengan
pernikahan. Dari AHK tersebut TW justru sering mendapatkan orderan untuk melayani tamu.
Selama ini TW mangkal di daerah poncol Semarang. TW kena razia 8 Maret 2017 dan dirujuk ke
Panti Pelayanan Sosial Wanita Wanodyatama Surakarta.

2. PM 2
a. Nama : AL
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 7 April 1996 (20 tahun)
d. Status : Janda
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SD
g. Alamat : Kalisari, Semarang
h. Latar Belakang Masalah :
Dalam usianya yang ke 20 AL telah mengalami berbagai permasalahan. Usia 8 tahun
ayahnya meninggal, sepeninggal ayahnya, sang ibu pergi ke luar kota untuk bekerja, dan sampai
sekarang tidak kembali lagi dan tidak pernah bertemu. Usia 10 tahun AL telah berpacaran dengan
seorang laki-laki yang usianya jauh di atasnya yaitu 19 tahun dan hamil, pada usia 11 tahun AL
melahirkan seorang anak perempuan. Karena pacarnya tersebut tidak mau menikahinya
(bertanggung jawab) maka berdasarkan kesepakatan warga (ketua RT) anaknya diserahkan ke
orang lain. Setelah itu AL bekerja sebagai cleaning service. Dalam kehidupan selanjutnya AL masih
tetap berhubungan dengan pacar pertamanya dahulu dan hamil lagi. Pada akhirnya AL menikah
dengan pacarnya tersebut dalam kondisi hamil 8 bulan. Namun setelah anaknya lahir AL pun
bercerai. AL melahirkan di bidan dengan kondisi ekonomi yang sangat kurang, AL pun tidak bisa
membayar biaya persalinan dan anak masih ditahan di bidan tersebut sampai sekarang. AL
berusaha mengumpulkan uang untuk menebus anaknya tersebut. Setelah masa nifas, AL
memutuskan untuk bekerja sebagai Pemandu Karaoke Plus-Plus. AL terkena razia tanggal 8 Maret
2017 pada saat pulang bekerja, dan dirujuk ke Panti Pelayanan Sosial Wanita Wanodyatama
Surakarta.

3. PM 3
a. Nama : NG
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : 44 tahun
d. Status : Janda (Cerai Mati)
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SD
g. Alamat : Kec. Semarang Utara Kota Semarang
h. Latar Belakang Masalah :
Klien berusia 44 tahun merupakan anak ke-9 dari 9 bersaudara. Empat orang saudara Ng telah
meninggal. Klien mengaku menikah siri dengan seorang pria bernama Jumadi dan memiliki 3
orang anak. Saat ini suami Ng telah meninggal lama, hingga kemudianNg bekerja sendiri untuk
mencari nafkah menghidupi anaknya. Sebelum terjaring razia, Ng pernah bekerja merawat
lansia, dan menjadi pembantu rumah tangga. Setelah lansia yang di rawat meninggal, Ng
berusaha mencari pekerjaan lain, tetapi karena kondisi fisik yang terbatas akhirnya dia bekerja di
panti pijat di salah satu daerah di Semarang.

4. PM 4
a. Nama : WA
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : Banyumas, 6 Mei 1978 (39 tahun)
d. Status : Janda (Cerai Hidup)
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SMP
g. Alamat : Pesanggrahan, Jaksel
h. Latar Belakang Masalah :
WA adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adiknya semuanya laki-laki, adik pertama
berusia 37 tahun, sudah menikah, mempunyai 2 anak dan adik kedua usia 34 tahun, sudah
menikah, belum mempunyai anak. Hubungan WA dengan kedua adiknya biasa-biasa saja. Kedua
orang tua wahyu bernama Sis dan Khas telah meninggal dunia. WA telah menikah dan dari
pernikahan tersebut WA dikaruniai 2 orang anak perempuan. Anak pertama sedang sekolah kelas I
SMK dan anak kedua SD kelas 5. Karena alasan ekonomi, akhirnya WA mengajukan gugatan cerai
kepada suami yang berakhir dengan perceraian. Dari perceraian tersebut hak asuh anak jatuh
pada pihak mantan suami, namun baru berjalan 2 bulan setelah anak diasuh oleh mantan suami,
anak-anak diambil oleh WA karena ternyata anaknya telah ditelantarkan oleh mantan suaminya
tersebut. Dengan demikian semua kebutuhan kedua anak ditanggung oleh WA sampai sekarang.

Wahyu merupakan klien hasil dari razia gabungan antara satpol PP, kepolisian dan pihak
terkait dari wilayah Semarang dan sekitarnya. Ia mencemaskan kondisi kedua anaknya yang saat
ini diasuh oleh pamannya di Pekalongan, bagaimana dengan biaya sekolah, makan dan kebutuhan
laiinnya. Karena meskipun kedua anaknya diasuh oleh sang paman, namun semua kebutuhan
hidup anak selama ini dipenuhi oeh Wahyu.

5. PM 5
a. Nama : MI
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 9 Februari 1981 (36 tahun)
d. Status : Janda (Cerai Hidup)
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SMP
g. Alamat : Perbalan Kuningan RT 10 RW 12 Semarang
h. Latar Belakang Masalah :
ME terlahir dari seorang Ibu yang bernama Tri Untari, pada umur 46 tahun beliau meninggal
karena penyakit jantung dan bapak bernama Sunardi (60 th). Orang tua beragama Islam, suku
Jawa. Asal orang tua dari Mangkang, Semarang. ME lahir sebagai anak ketiga dari 4 bersaudara.
Kakak pertamanya, laki-laki bernama Indri A (40 th), kakak kedua,laki-laki (38 tahun) Dwi N, dan
adiknya perempuan bernama Citra (20 th). ME dan kedua kakaknya berijazah SMP, sedangkan
adiknya lulus SMK. Pekerjaan ketiga saudaranya sebagai buruh.
ME menikah yang pertama dengan seorang pria sekitar 18 tahun yang lalu meninggal akibat
kecelakaan dan melahirkan seorang anak perempuan yang bernama Adila Fitri umur 18 tahun ,
bersekoah di salah satu SMK di Semarang dan sekarang menduduki kelas 3. ME menikah lagi di
tahun 2010 dengan pria bernama Widiyanto, seorang yang bekerja sebagai buruh, umur 35 tahun.
Dari pernikahan kedua ini, ME melahirkan dua anak perempuan, yang pertama bernama Suweni
(6 th) dan Cikal (2 th).
ME kos bersama anak-anaknya di daerah Kuningan. Anak-anak dititpkan budenya ketika ia
tinggal untuk bekerja.
Kehidupan keluarga ini masuk kategori menengah dengan penghasilan rendah, yaitu hanya
sebagai buruh. Penghasilan dengan menjadi PSK, dalam sebulannya bisa menghasilkan sekitar
Rp 3 juta. Penghasilan seniai sekitar 3 juta dirasakan belum cukup oleh ME, awalnya diajak teman,
kemudian ia menjalankan profesi ini selama 4 tahun di kompleks lokalisasi. Kebutuhan yang
semakin banyak antara lain untuk membeli sembako, susu anaknya, biaya sekolah juga angsuran
kredit sepeda motor yang dipakai anaknya untuk sekolah, mendorongnya berpindah ke jalanan.
Penghasilan di kompleks semakin sepi, dan menurut E sekitar satu hingga dua tahun kompleks
lokalisasi tersebut akan tutup. ME menggunakan kendaraan umum dalam menjalankan
profesinya,bertemu di jalan dengan pelanggan kemudian ia dibawa ke hotel. Ada kalanya ia
mengunakan sepeda motor, manakala anaknya libur sekolah. ME kos bersama ketiga anaknya.di
daerah Kuningan.(Sunan Kuning).

6. PM 6
a. Nama : SS/Tik
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Tempat, Tanggal Lahir : Semarang, 1-1-1966 (51 tahun)
d. Status : Janda (Cerai Hidup)
e. Agama : Islam
f. Pendidikan : SD
g. Alamat : Perumahan Pedurungan Baru RT 16, Semarang,
Jawa Tengah
h. Latar Belakang Masalah :
Tik adalah anak ke 6 dari 7 bersaudara. Tik berasal dari keluarga kelas menengah. Ayah Tik
adalah seorang Polisi dan ibunya seorang pegawai negeri. Keduanya sudah meninggal. Diantara
saudara-saudaranya, yang sulung dan yang nomor 5 sudah meninggal dunia. Tik selama ini hidup
bersama dengan kakak ke-4 yang menderita stroke. Selain kakak ke-4, seluruh saudara-saudara
Tik sukses dalam hidup dan kariernya.
Tik menggambarkan orang tuanya sebagai orang tua yang baik-baik dan sangat menjaga
martabat keluarganya. Dari karakter orang tua yang selama ini dicontoh oleh Tik adalah
penampilan yang digambarkan selalu bersih dan rapi.
Tik pernah menikah, dan kemudian bercerai 10 tahun yang lalu. Dari pernikahannya lahir
seorang anak perempuan yang sepanjang hidupnya tidak hidup bersama Tik tetapi hidup bersama
ibunya (nenek), sampai dengan ibunya meninggal dan berkeluaga. Pernikahan anak
perempuannya memberinya seorang cucu lelaki yang saat ini berusia 2 tahun.
Perceraian dengan suaminya membekas begitu dalam karena Tik merasa dikhianati, tidak
diberi penghidupan dan kemudian ditinggalkan begitu saja oleh suaminya yang berselingkuh
dengan teman sekantornya. Selepas bercerai, Tik mempunyai tanggungan kakaknya yang stroke
yang harus dirawatnya. Tik mengupayakan mencari uang dengan cara apapun mulai berjualan
peyek, berjualan nasi sayur hingga kemudian membuka lapak di daerah tempat wisata Lawang
sewu. Tetapi karena gerobak dan isinya digaruk oleh satpol PP, klien tidak memiliki modal usaha
lagi. Di tengah kekalutan itulah klien mengaku tidak sadar, sampai kemudian memilih menjadi PSK
motor di daerah Jl Imam Bonjol, Stasiun Poncol, Semarang. Enam bulan melakukan praktek PSK
bermotor, akhirnya Tik tertangkap Satpol PP dan dirujuk ke PPSW.
Bab V
Kesimpulan dan Saran

I. KESIMPULAN
Prostitusi dalam pandangan feminism adalah merupakan eksploitasi terhadap perempuan.
Perempuan dianggap sebagai komoditi yang bisa menghasilkan rupiah demi memenuhi kebutuhan
hidup yang seharusnya merupakan tanggungjawab kepala keluarga dalam hal ini adalah pria.
Beragam alasan muncul dibalik praktek prostitusi hingga pada akhirnya hanya perempuan yang
memperoleh rehabilitasi sosial dalam lembaga. Pandangan para penerima manfaat bahwa mereka
terpenjara dalam lembaga dan tidak bisa bebas seperti sebelumnya.
Praktek prostitusi dalam pandangan feminism tidak hanya melihat dari sisi perbedaan
gender saja tetapi juga dar dominasi dan subordinasi masalah perempuan tidak boleh terlepas dari
masalah politik dan ekonomi. Perempuan selalu menjadi objek, dan membebaskan diri dari
dominasi bahwa melacurkan diri karena ada terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi,
seperti ekonomi, harga diri, sistem sosial, struktur sosial hingga adanya pergeseran nilai budaya.
Tujuan rehabilitasi sosial dalam Panti Pelayanan Sosial Wanita Wanodyatama selain
melaksanakan tupoksi dan menjalankan visi misi lembaga adalah sarana pengubahan perilaku
bagi PM Tuna Susila diupayakan dapat lebih bermartabat, memiliki kapasitas diri yang memadai
hingga mengembalikan keberfungsian sosial perempuan hingga tercipta situasi kondusif dalam
kehidupan bermasyarakat.
Tantangan pengubahan perilaku PM Tuna Susila yang paling berat adalah mengubah
mindset yang sudah terkonstruk sedemikian yang menempatkan klien dalam posisi marjinal dan
terjebak pada aspek ekonomi sebagai inti dari persoalan hidupnya.

II. Saran-Saran
1. Merekomendasikan pada pihak lembaga untuk melakukan asesmen lanjutan hingga rencana
intervensi yang lebih mendalam dan menyeluruh.
2. Merekomendasikan pada pihak lembaga untuk bisa mendampingi para penerima manfaat
lebih intens karena krisis terjadi di awal mereka masuk panti, selalu ada tahap kemarahan,
pengingkaran dan mekanisme pertahanan diri sebelum mereka menerima kondisi yang
sesungguhnya.
DAFTAR PUSTAKA

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka


Pelajar, Yogyakarta, 1997
Margaret D Kamitsuka, Feminist Theologhy and The Challenge Of Difference, Oxford, Oxford
University Press, tth
Hatib Abdul Kadir. (2007). Tangan Kuasa dalam Kelamin Telaah Homoseks,
Pekerja Seks dan Seks Bebas di Indonesia. Yogyakarta: Insist Press.
Martha K. (2013). Skripsi perilaku sosial pekerja seks komersial (psk)
di pasar hewan prambanan, sleman, yogyakarta universitas negeri jogjakarta
Edi Suharto, PhD. Jurnal (2006) Feminisme dan Pekerjaan Sosial, Kementerian Sosial RI

Anda mungkin juga menyukai