JURNAL
OLEH
Oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
ABSTRAK
1
Muhlis Daud Mali, Jurusan PLS Universitas Negeri Gorontalo, Drs. Yakob
Napu, M.Pd, dan Dr. Mohamad Zubaidi, M.Pd, selaku Dosen Jurusan PLS
Universitas Negeri Gorontalo
PENDAHULUAN
Pembangunan sosial merupakan suatu proses perubahan sosial yang
dirancang dan direncanakan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Salah
satu dinamika perubahan sosial yang terjadi akhir-akhir ini sebagai konsekuensi
pembangunan adalah semakin menurunnya fertilitas dan mortalitas penduduk.
Akibatnya, usia harapan hidup semakin meningkat. Salah satu tolak ukur
kemajuan suatu bangsa seringkali dilihat dari umur harapan hidup penduduknya.
Demikian juga Indonesia sebagai suatu negara berkembang, dengan
perkembangannya yang cukup baik, diproyeksikan angka harapan hidupnya dapat
mencapai lebih dari 70 tahun pada tahun 2020 yang akan datang.
Proses menua (aging) atau biasa disebut proses lanjut usia adalah proses
alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial
yang saling berinteraksi satu sama lain akibat pertambahan umur. Penurunan
kondisi seseorang yang telah memasuki masa lanjut usia secara lambat laun
mengarah pada kemunduran kondisi kesehatan fisik dan psikis yang selanjutnya
akan berpengaruh pada aktivitas ekonomi dan sosial mereka. Menjadi tua
seharusnya bukan untuk ditakuti tapi untuk dinikmatim, hal itu merupakan
fenomena yang tidak dapat dihindari. Semakin baik dalam menikmati masa-masa
tua, maka akan semakin berkualitas usia yang dilaluinya. Kualitas usia tua akan
sengat berpengaruh pula terhadap perkembangan suatu masyarakat, karena suatu
bangsa makin tinggi harapan hidup masyarakatnya pada gilirannya makin tinggi
pula jumlah penduduknya yang berusia lanjut. Bila masa usia lanjut kurang
berkualitas, maka kelompok masyarakat ini akan menjadi beban bagi masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bahwa “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang
lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” (Pasal 34, ayat 2).
Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia, disebutkan bahwa “lansia mempunyai hak yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (Pasal 5). Kebijakan Pelaksanaan
peningkatan kehidupan sosial lansia ditetapkan secara terkoordinasi antara
instansi terkait baik pemerintah maupun masyarakat (Pasal 25, ayat 1).
Selama ini pemerintah menempatkan panti-panti sosial mitra kerja,
khususnya dalam pelayanan sosial dan pembangunan kesejahteraan sosial.
Pemerintah memberikan bantuan sosial kepada panti-panti Sosial sebagai bentuk
tanggung jawab Negara terhadap warga negara yang tidak beruntung,sekaligus
apresiasi terhadap panti-panti sosial. Meskipun demikian, terdapat ketidak
seimbangan antara anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk membantu
panti dan anggaran yang dimiliki oleh panti sendiri dengan kebutuhan operasional
panti-panti sosial. Kondisi ini menyebabkan panti-panti Sosial kesulitan
mengembangkan diri, terutam amemenuhi standar pelayanan sosial yang
mencakup aspek sumberdaya manusia, sarana,dan program.
Gorontalo sebagai provinsi baru tidak lepas dari berbagai persoalan akibat
dari perubahan sosial, peningkatan angka harapan hidup dari 50 tahun menjadi 60
tahun setelah berdiri menjadi provinsi Gorontalo.dapat dilihat pada table 1.3.
Tabel 1. 3 : Angka Harapan Hidup Provinsi Gorontalo
KAJIAN TEORETIS
Konsep pemberdayaan dalam wacana membangun masyarakat selalu
dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan.
Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan
sosial.
Dalam kamus Oxford English dijumpai kata “empower” yang
mengandung dua arti yaitu: (1) adalah memberi kekuasaan, mengalihkan
kekuasaan atau mendelegasikan otoritas kepada pihak lain agar berdaya, dan (2)
adalah upaya untuk memberikan kemampuan atau keberdayaan (Sukesi dalam
Sugiarti 2003:187). Empower pada arti pertama merupakan kecenderungan primer
dan makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan yang sekunder yang
menekankan pada proses stimulus, mendorong atau memotivasi individu agar
memiliki, melatih dan meningkatkan kemampuan dan keberdayaan untuk
menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog, berupaya
dan bekerja.
Suharto (dalam Muljono, 2010: 10) mengungkapkan bahwa pemberdayaan
menunjuk pada kemampuan orang/kelompok masyarakat yang rentan dan
lemah,sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: (a) memenuhi
kebutuhan dasarnya, (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang
memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh
barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam
proses pembangunan dan kcputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Sementara itu Prijono dan Pranarka (1996: 32),manusia adalah subyek dari
dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan
kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk
menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus
ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan
menurut Sumodiningrat (2002:22) memiliki dua kecenderungan, antara lain : (1)
kecenderungan primer, yaitu kecenderungan proses yang memberikan atau
mengalihkan sebagian kekuasaan,kekuatan, atau kemampuan (power) kepada
masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya, dan (2) kecenderungan sekunder,
yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau
keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses
dialog.
Undang-undang Nomor 13 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (dalam
Hartono, 2008: 89) menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah setiap upaya
meningkatkan kemampuan fisik, mental spiritual, sosial, pengetahuan, dan
keterampilan agar para lanjut usia siap didayagunakan sesuai dengan kemampuan
masing-masing. Dari pengertian ini arah pemberdayaan sepertinya hanya
memberdayakan para lanjut usia agar mempunyai kemampuan, mental
spiritual,sosial, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, bagaimana
pemberdayaan tidak saja terhadap para lanjut usia, dan keluarganya namun juga
kepada seluruh komponen bangsa ini agar diberdayakan sehingga upaya-upaya
peningkatan kesejahteraan lanjut usia dapat terwujud. Pemberdayaan harus
diselenggarakan menjadi suatu gerakan. Pemberdayaan mempunyai tahapan-
tahapan yaitu mulai penyadaran, pengembangan potensi,dan pendayagunaan.
Menurut Ife (1995;61-94), pemberdayaan memuat dua pengertian yakni
kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan ini diartikan bukan hanya
menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit, melainkan kekuasaan atau
penguasaan klien atas : (1) Pilihan-pilihan personal dan kesempatan-kesempatan
hidup: kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai gaya hidup,
tempat tinggal, pekerjaan, (2) Pendefinisian kebutuhan: kemampuan menentukan
kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginannya, (3) Ide atau gagasan :
kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan dalam suatu forum
atau diskusi secara bebas dan tanpa tekanan, (4) Lembaga-lembaga: kemampuan
menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi pranata-pranata masyarakat,
sepert lembaga kesejahteraan sosial, pendidikan, kesehatan, (5) Sumber-sumber :
kemampuan mobilisasi sumber, formal, informal dan kemasyarakatan, (6) Aktifis
ekonomi: kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi,
distribusi, dan penukaran barang serta jasa, dan (7) Reproduksi: kemampuan
dalam kaitannya dengan proses kelahiran, perawatan anak, pendidikan dan
sosialisasi.
Dengan demikian, pemberdayaan adalah sebuah proses dan tujuan.
Sebagai proses, pemberdayaan adalah seragkaian kegiatan untuk memperkuat
kekuasaan atau keberdayaan kelompok lemah dalam masyarakat, termasuk
individu-individu yang mengalami masalah kemiskinan. Sebagai tujuan, maka
pemberdayaan menunjuk pada keadaan atau hasil yang ingin dicapai oleh sebuah
perubahan sosial; yaitu masyarakat yang berdaya, memliki kekuasaan atau
mempunyai pengatahuan dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
baik yang bersifat fisik, ekonomi, maupun sosial seperti memiliki kepercayaan
diri, mampu menyampaikan aspirasi, mempunyai mata pencaharian, berpartisipasi
dalam kegiatan sosial, dan mandiri dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupannya. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan sering kali digunakan
sebagai indikator keberhasilan sebuah proses.
Menurut Kieffer (1981:21), pemberdayaan mencakup tiga dimensi yang
meliputi kompetensi kerakyatan, kemampuan sosiopolitik, dan kompetensi
partisipatif (Suharto,1997:215). Parsons (1994:106) juga mengajukan tiga dimensi
pemberdayaan yang merujuk pada: (1) Sebuah proses pembangunan yang bermula
dan pertumbuhan individual yang kemudian berkembang menjadi sebuah
perubahan social yang lebih besar, (2) Sebuah keadaan psikologis yang ditandai
oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengendalikan diri orang lain, dan (3)
Pembebasan yang dihasilkan dan sebuah gerakan sosial, yang dimulai dan
pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-
upaya kolektif dan orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan
mengubah struktur-struktur yang masih menekan (Parsons , 1994:106).
Pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga aras atau matra pemberdayaan
(empowerment setting): mikno, mezzo, dan makro: (1) Aras Mikro. Pemberdayaan
dilakukan terhadap klien secara individu melalui bimbingan, konseling, stress
management, crisis intervention. Tujuan utamanya adalah membimbing atau
melatih klien dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya. Model ini sering
disebut sebagai Pendekatan yang Berpusat pada Tugas (task centered approach),
(2) Azas Mezzo. Pemberdayaan dilakukan terhadap sekelompok klien.
Pemberdayaan dilakukan dengan menggunakan kelompok sebagai media
intervensi. Pendidikan dan pelatihan, dinamika kelompok, biasanya digunakan
sebagai strategi dalam meningkatkan kesadaran, pengetahuan, keterampilan dan
sikap-sikap klien agar memiliki kemampuan memecahkan permasalahan yang
dihadapinya, dan (3) Azas Makro. Pendekatan ini disebut juga sebagai Strategi
Sistem Besar (large-system strategy), karena sasaran perubahan diarahkan pada
sistem lingkungan yang lebih luas. Perumusan kebijakan, perencanaan sosial,
kampanye, aksi sosial, lobbying, pengorganisasian masyarakat, manajemen
konflik, adalah beberapa strategi dalam pendekatan mi. Strategi Sistem Besar
memandang klien sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami
situasi-situasi mereka sendiri, dan untuk memilih serta menentukan strategi yang
tepat untuk bertindak.
Dubois dan Miley (1992:211) memberi beberapa cara atau teknik yang
Iebih spesifik yang dapat dilakukan daam pemberdayaan masyarakat: (1)
Membangun relasi pertolongan yang: (a) merefleksikan respon empati, (b)
mengharga pihhan dan hak klien menentukan nasibnya sendiri (self-
determination), (c) menghargai perbedaan dan keunikan individu, (d) menekankan
kerjasama klien (client partnerships; (2) Membangun komunikasi yang: (a)
menghormati martabat dan harga diri klien, (b) mempertimbangkan keragaman
individu, (c) berfokus pada klien, (d) menjaga kerahasiaan klien; (3) Terlibat
dalam pemecahan masalah yang: (a) memperkuat partisipasi klien dalam semua
aspek proses pemecahan masalah, (b) menghargai hak-hak klien, (c) merangkai
tantangan-tantangan sebagai kesempatan belajar, (d) melibatkan klien dalam
pembuatan keputusan dan evaluasi; dan (3) Mereflekskan sikap dan nilai profesi
pekerjaan sosial melaIui: (a) ketaatan terhadap kode etik profesi, (b) keterlibatan
dalam pengembangan profesional, riset, dan perumusan kebijakan, (c)
penerjemahan kesulitan-kesulitan pribadi ke dalam isu-isu public, (d)
penghapusan segala bentuk diskriminasi dan ketidaksetaraan kesempatan.
Lansia merupakan masa manusia menapaki kehidupan menjelang akhir
hayat. Keadaan ini identik dengan perubahan-perubahan yang mencolok pada
fisik maupun psikis manusia tersebut. Secara kronologis lansia merupakan orang
yang telah berumur 60 tahun ke atas (Wahyuni, 2003:1). Dengan demikian menua
merupakan suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki/mengganti diri dan mempertahankan struktur dan
fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi)
dan memperbaiki kerusakan yang diderita.
Menurut Hurlock (1996:380) berpendapat bahwa tahap akhir dalam
rentang kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut. Di sini yang berkisar antara
60-70 tahun dan usia lanjut mulai pada usia 70 tahun sampai akhir kehidupan
seseorang. Menurutnya usia lanjut adalah sebagai periode penutup rentang
kehidupan seseorang dimana akan terlihat tanda-tanda kekuatan mental dan fisik.
Dalam Rencana aksi Nasional 2009-2014 (Depsos: 2008: 6) Konsep lanjut
usia dari aspek kesehatan, sesorang disebut sebagai lanjut usia (older age)
Person) jika berusia 60 tahun keatas, penduduk yang berusia antara 49-59 tahun
disebut sebagai pra lanjut usia, dan umur 70 tahun keatas disebut sebagai lanjut
usia beresiko. Sedangkan kosep lanjut dari aspek ekonomi, lanjut usia (60 tahun
keatas) dikelompokkan menjadi: (a) lanjut usia yang produktif yaitu lanjut usia
yang sehat baik dari aspek fisik, mental, maupun sosial, dan (b) lanjut usia yang
tidak produktif yaitu lanjut usia yang sehat secara fisik tetapi tidak sehat dari
aspek mental dan sosial atau sehat secara mental tetapi tidak sehat dari aspek fisik
dan sosial, atau .lanjut usia yang tidak sehat baik dari aspek fisik, mental, maupun
sosial.
Lanjut usia merupakan kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat
dibagi menjadi empat bagian, pertama, fase iuventus antara 25-40 tahun, kedua
fase verilitas antara 40 hingga 50 tahun, ketiga fase prasenium antara 55 hingga
65 tahun dan keempat fase senium antara 65 tahun hingga penutup.(Masdani
dalam Nugroho 1995:13).
Dari prespektif fungsional, secara sosiologis, para lanjut usia akan
meinggalkan posisi tenggung jawab mereka ketika mereka meninggal atau
menjadi tidak kompoten. Untuk mencegah hal ini, dalam teori penarikan diri (),
pilihan pensiun diajukan untuk membujuk usia lanjut agar menyerahkan posisi
mereka kepada orang yang lebih muda. (Henslin : 2006 : 71-72).
Dalam prespektif individu, Cummiry (1576) menunjukkan bahwa
penarikan diri di mulai pada usia paruh baya, jauh sebelum pensiun, saat
seseorang merasa bahwa kehidupan semakin mendekat. Individu tidak menarik
diri dengan segera, namun karena waktunya terbatas, ia mulai memberikan
prioritas pada tujuan dan tugas. Penarikan diri akan sepenuhnya dimulai ketika
sudah meninggalkan rumah, kemudian meninggal dengan datangnya pensiun, dan
akhirnya, seseorang telah menjanda atau menduda.
Secara psikologis, ciri-ciri yang dijumpai pada usia lanjut antara lain :
Mereka kurang percaya diri, sering merasa kesepian, merasa sudah tidak
dibutuhkan lagi dan tidak berguna. (Fitrah, 2010: 3). Oleh karena itu, persolan dan
keluhan para lanjut usia dapat meliputi psiko-edukatif. Seperti kesepian,
kehilangan, ditolak dan tidak disenangi, hubungan yang tegang dengan keluarga.
Dilihat dari segi kejiwaan, individu yang menginjak lanjut usia biasanya
labil apabila mendapat perolehan penghinaan atau rasa kasihan yang tidak sesuai
dengan keadaannya. Oleh karena itu biasanya para lansia menginginkan untuk
tidak tergantung dengan orang lain dengan usaha mereka sendiri walaupun biaya
hidup tidak menjadi jaminan untuk mampu memenuhi kebutuhannya. Hal tersebut
dilakukan karena ia ingin di hargai, diiginkan kehadirannya dan ingin hidup lebih
bermakna dan bermanfaat bagi orang lain di masa tuanya.
Seseorang yang telah menginjak lansia biasanya muncul sikap yang tidak
disadari oleh dirinya sendiri seperti cerewet, pelupa, sering mengeluh, berikap
egois, berkurangnya kelenturan dalam menghadapi perubahan dll. Biasanya lansia
tersebut akan merasa diterima bila anak cucu (keluarganya) menerima segala
kekurangannya, lebih diperhatikan dan dimengerti walaupun itu sulit diterima
bagi semua keluarga akan tetapi dengan pemahaman bahwa setiap orang nanti
kelak ketika dia mengajak lanjut usia akan menunjukkan sifat yang sama.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan peran panti werdha
dalam memberdayakan masyarakat usia lanjut di Kota Gorontalo.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Panti Sosial Tresna Werdha Ilomata Kota
Gorontalo beralamat Jalan Ahmad Arbi, Kelurahan Tapa, Kecamatan Kota Utara,
Kota Gorontalo. Secara geografis Panti Sosial Tresna Werdha Ilomata terletak
dekat dengan terminal 42 Gorontalo.
Dalam penelitian deskriptif ini peneliti menggunakan pola studi kasus.
Pola ini digunakan untuk memperoleh gambaran yang mendalam tentang situasi
tertentu. Adapun kasus yang diangkat dalam penelitian ini adalah, peran panti
werdha dalam memberdayakan masyarakat usia lanjut di Kota Gorontalo.
DAFTAR RUJUKAN
Depsos, 2008. Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia Tahun 2009-20014. Jakarta
Fitrah, Vina Dwi W. 2010. Memahami Kesehatan Pada Lansia. Trans Info Media,
Jakarta.