Anda di halaman 1dari 57

KEBERAGAMAN DALAM DINAMIKA SOSIAL DAN BUDAYA

MATA KULIAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

DOSEN PENGAMPU :

ERFAN ROEBIAKTO S. KM, MS

OLEH :

SYIFA AZKIYA

P07134222062

TINGKAT I

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLI INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANJARMASIN

JURUSAN ANALIS KESEHATAN

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN TEKNOLOGI


LABORATORIUM MEDIS

2022/2023
MAKALAH PROSTITUSI TUGAS PATOLOGI SOAIAL DAN BUDAYA

BAB I PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang

Pelacuran atau Prostitusi merupakan salah satu bentuk penyakit masyarakat yang

harus dihentikan penyebarannya, tanpa mengabaikan usaha pencegahan dan perbaikan.

Prositusi mungkin terasa menyebalkan ketika akan dibahas karena dimasukkan

sebagai penyakit masyarakat yang enggan orang membahasnya, terutama di negara kita,

mayoritas penduduknya adalah Islam yang ajarannya menentang segala bentuk kemaksiatan

termasuk prostitusi. Pada kenyataannya prostitusi menjadi ajang bisnis yang terus berkembang,

baik yang praktiknya memang dipusatkan atau dengan sengaja dibuat lokalisasi, maupun

prostitusi rumahan dikelola sendiri, yang tersebar di rumah penduduk dalam suatu desa. Terlebih

di kota-kota tertentu di Kalimantan Selatan sendiri masih banyak inspeksi mendadak dari pihak

kepolisian maupun dinas-dinas terkait karena ditemukan banyak “warung baduduk” yang

lumrah dikunjungi supir-supir truck dipinggiran kota. Hal ini bukanlah suatu social buadaya

yang di budayakan, melainkan inilah salah satu cikal mula prostitusi yang menjadi tugas patologi

sosial budaya yang harus diberantas habis di Kalimatan Selatan.


Prostitusi biasanya ditawarkan kepada para wanita belia di desa-desa, mereka

diiming-imingi untuk mendapatan pekerjaan di kota, biasanya dijanjikan menjadi pembantu

rumah tangga, buruh pabrik, pelayan restoran, atau lainnya. Akan tetapi, banyak yang sengaja

dijerumuskan oleh calo ke dalam praktik prostitusi, hal ini salah satu penyebabnya adalah

pendidikan di desa yang masih rendah, masyarakat desa masih beranggapan bahwa pendidikan

bagi wanita bukanlah hal yang penting, karena apabila wanita telah menikah ia akan ikut suami

dan kemudian menjadi ibu rumah tangga.

Remaja di desa masih belum banyak yang dapat menentukan pilihannya sendiri.

Apabila nantinya terjebak dalam jerat prostitusi ini akan menyudutkan mereka dalam posisi

dilematis , terjadi pertarungan antara nalurinya yang pasti tidak mau bercita-cita menjadi PSK, di

sisi lain ia mesti mengabdikan dirinya sebagai salah satu penopang keluarga.

Permasalan PSK tidak hanya dilatarbelakangi oleh masyarakat pedesaan yang masih

polos sehingga mudah terbujuk rayu calo prostitusi. Zaman yang semakin canggih ini dan bekal

ilmu agama yang rendah serta keluarga yang rapuh ikut mendorong berkembangnya praktik

prostitusi ini.

Remaja secara disadari maupun tidak, dapat terkena imbas dari globalisasi yang

negatif, terutama bila tumbuh kembangnya tidak diimbangi dengan perhatian dan bimbingan

orang tua. Zaman yang semakin modern seperti tersedianya koneksi internet yang mudah, murah

dan gampang diakses, handphone yang berkamera yang banyak disalahgunakan untuk

menyimpan dan menyebarkan foto maupun video panas membuat remaja lebih cepat matang

secara seksual dan kemudian berusaha mencari penyaluran dengan jalan yang salah.

Dorongan seks yang tinggi dan belum waktunya terutama akibat ransangan dari luar

seperti yang telah dijelaskan di atas, kemudian majalah dan situs porno, film biru, terlibat
pergaulan bebas, gaya pacaran yang melampaui batas, akan mendukung terhadap terburuknya

jalan prostitusi apabila tidak ditangani dengan benar.

Remaja dengan rasa ingin tahunya yang tinggi mulai mencoba mencari tahu,

selanjutnya perlahan ia merasa butuh akan penyaluran seks. Apabila kecanduan dan lepas

kontrol, ia akan mulai masuk ke dalam dunia prostitusi seperti di Bandung ada istilah Gongli

atau bagong lieur artinya babi mabuk, merupakan potret buram dari remaja yang marak

melakukan seks bebas berdasarkan kepuasan semata.

Di banyak negara pelacuran itu dilarang bahkan dikenakan hukuman. Juga dianggap

sebagai perbuatan hina oleh segenap anggota masyarakat. Akan tetapi, sejak adanya masyarakat

manusia pertama sehingga dunia ini akan kiamat nanti, “mata pencaharian” pelacuran ini akan

tetap ada, sukar, bahkan hampir-hampir tidak mungkin diberantas dari muka bumi, selama masih

ada nafsu-nafsu seks yang lepas dari kendali kemauan dan hati-nurani. Maka timbulnya masalah

pelacuran sebagai gejala patologis yaitu sejak adanya penataan relasi seks dan dIberlakukannya

norma-norma perkawinan.

1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah :

1.             Peristiwa apa yang menyebabkan pelacuran terjadi?

2.             Apakah motif yang melatarbelakangi penyebab timbulnya pelacuran?

3.             Apa saja penyakit yang ditimbulkan dari praktik prostitusi?

4.             Apakah akibat dari pelacuran itu?

5.             Bagaimana fungsi dan partisipasi pelacur?

6.             Bagaimana penanggulangan prostitusi?


1.2.       Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.             Untuk mengetahui peristiwa penyebab pelacuran.

2.             Untuk mengetahui motif yang melatarbelakangi timbulnya pelacuran.

3.             Untuk mengetahui penyakit yang timbul akibat praktik prostitusi.

4.             Untuk mengetahui akibat pelacuran.

5.             Untuk mengetahui fungsi dan partisipasi pelacur.

6.             Untuk mengetahui cara penanggulangan prostitusi.

1.4. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1.             Memberikan pemahaman kepada pembaca tentang prostitusi.

2.             Agar pembaca dapat menjaga diri dan keluarganya sehingga dapat terhindar dari praktik

prostitusi.

3.             Agar pembaca dapat memberikan tindakan yang tepat kepada para pelaku prostitusi.

4.             Memberikan sumbangan atau saran penanggulangan prostitusi.

BAB II PEMBAHASAN

2.1.       Definisi Prostitusi dan Promiskuitas


Profesor W.A Bonger dalam tulisannya Maatschappelijke Oorzaken der

Prostitutie menulis defenisi sbb;

Prostitusi ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita menjual diri melakukan

perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.

Jelas dinyatakan adanya peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata

pencaharian sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual.

Peraturan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 mengenai

penanggulangan masalah pelacuran, menyatakan sebagai berikut.

Wanita tunasusila adalah wanita yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan

kelamin di luar perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak.

Sedang pasal 296 KUHP mengenai prostitusi tersebut meyatakan sbb.

Barang siapa yang pekerjaanya atau kebiasaanya, dengan sengaja mengadakan atau

memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain, dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya seribu rupiah.

Jelasnya, pelacuran itu bisa dilakukan baik oleh kaum wanita maupun pria. Jadi,

ada persamaan predikat lacur antara laki-laki dan wanita yang bersama-sama melakukan

perbuatan hubungan kelamin di luar perkawinan. Dalam hal ini, perbuatan cabul tidak hanya

berupa hubungan kelamin di luar nikah saja, akan tetapi termasuk pula peristiwa homoseksual

dan permainan seksualnya.

Selanjutnya, defenisi pelacuran dapat disimpulkan sebagai berikut :

a.              Prostitusi adalah bentuk penyimpangan seksual, dengan pola-pola organisasi

impuls/dorongan seks yang tidak wajar dan tidak terintegrasi dalam bentuk pelampiasan nafsu-
nafsu seks tanpa kendali dengan banyak orang (promiskuitas), disertai eksploitas dan

komersialisasi seks yang impersonal tanpa afeksi sifatnya.

b.             Pelacuran merupakan peristiwa penjualan diri (persundalan) dengan jalan menjualbelikan

badan, kehormatan, dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks

dengan imbalan pembayaran.

c.              Pelacuran ialah perbuatan perempuan atau laki-laki yang menyerahkan badannya untuk

bberbuat cabul secara seksual dengan mendapatkan upah.

Dengan adanya komersialisasi dan barter seks -- perdagangan tukar-menukar seks

dengan benda bernilai – maka pelacuran merupakan profesi yang paling tua sepanjang sejarah

kehidupan manusia.

Dimasukkan dalam kategori pelacuran ini antara lain :

a)             Pergundikan : pemeliharaan bini tidak resmi, bini gelap atau perempuan piaraan. Mereka

hidup sebagai suami istri, namun tanpa ikatan perkawinan. Pada zaman belanda disebut nyai.

b)             Tante girang atau loose married woman : wanita yang sudah kawin, namun tetap melakukan

hubungan erotik dan seks dengan laki-laki lain baik secara iseng untuk mengisi waktu kosong,

bersenang-senang just for fun dan mendapatkan pengalaman-pangalaman seks lain, maupun

secara intensional untuk mendapatkan penghasilan.

c)             Gadis-gadis panggilan : gadis-gadis dan wanita-wanita biasa yang menyediakan diri untuk

dipanggil dan dipekerjakan sebagai prostitue, melalui saluran-saluran tertentu.

d)             Gadis-gadis bar atau B-girls : gadis-gadis yang bekerja sebagai pelayan-pelayan bar

sekaligus bersedia memberikan pelayanan seks kepada para pengunjung.

e)             Gadis-gadis juvenile delinguent : gadis-gadis muda dan jahat, yang didorong oleh

ketidakmatangan emosinya dan retardasi/keterbelakangan inteleknya, menjadi sangat pasif dan


sugestibel sekali. Karakternya sangat lemah. Sebagai akibatnya, mereka mudah sekali jadi

pecandu obat-obat bius(ganja, heroin, morfin, dan lain-lain), sehingga mudah tergiur melakukan

perbuatan-perbuatan immoril seksual dan pelacuran.

f)               Gadis-gadis binal atau free girls : di Bandung mereka disebut sebagai “bagong lieur” (babi

hutan yang mabuk). Mereka itu adalah gadis-gadis sekolah atau putus sekolah, putus studi di

akademi atau fakultas dengan pendirian yang “brengsek” dan menyebarluaskan kebebasan seks

secara ekstrem, untuk mendapatkan kepuasan seksual. Mereka menganjurkan seks bebas dan

cinta bebas.

g)             Gadis-gadis taxi ( di Indonesia ada juga gadis-gadis becak) : wanita-wanita atau gadis-gadis

panggilan yang ditawarkan dibawa ke tempat “plesiran” dengan taxi atan becak.

h)             Penggali emas atau gold-diggers : gadis-gadis dan wanita-wanita cantik –ratu kecantikan,

pramugarimannequin, penyanyi, pemain panggung, bintang film, pemain sandiwara teater atau

opera, anak wayang, dan lain-lain – yang pandai merayu dan bermain cinta, untuk mengeduk

kekayaan orang-orang yang berduit.

i)               Hostes atau pramuria yang menyemarakkan kehidupan malam dalam nighclub-nighclub.

Pada intinya, profesi hostes merupakan benttuk pelacuran halus. Sedang pada hakikatnya, hostes

itu adalah predikat baru dari pelacuran. Sebab, di lantai-lantai dansa mereka membiarkan diri

dipeluki, diciumi, dan diraba-raba seluruh badannya. Juga di meja-meja minum badannya

diraba0raba dan diremas0remas oleh langganannya. Para hostes ini harus melayani makan,

minum, dansa, dan memuaskan naluri-naluri seks para langganan dengan jalan menikmati tubuh

para hostes/pramuria tersebut. Dengan demikian, langganan bisa menikmati keriaan atau

kesenangan suasana tempat-tempat hiburan.


j)               Promiskuitas/promiscuity : hibungan seks secara bebas dan awut-awutan dengan pria mana

pun juga; dilakukan dengan banyak lelaki.

2.2         Pelacuran Versi Norma Adat dan Norma Agama

Pada zaman kerajaan Mesir Kuno, Phunisia, Assiria, Chalddea, Ganaan, dan di

Persia, penghormatan terhadap dewa-dewa Isis, Moloch, Baal, Astrate, Mylitta, Bacchus, dan

dewa lain-lain, disertai orgie-orgie. Orgie (orgia) adalah pesta kurban pada para dewa, khusunya

kepada dewa Bacchus yang terdiri atas upacara kebaktian penuh rahasia dan misterius sekali

sigatnya, disertai pesta-pesta makan rakus-rakusan dan mabuk-mabukan secara berlebihan.

Di babilonia, praktik-praktik pelacuran dipaksakan kepada banyak wanita untuk

menghormati Dewi Mylitta. Di India, upacara-upacara keagamaan yang dikaitkan dengan

praktik-praktik pelacuran sampai sekarang pun masih ada.

Kekuasaan kaum pria yang luar biasa pada banyak suku bangsa primitif itu

menjadikan pelacuran sebagai sumber penghasilan bagi para ayah, suami, dan para dewa. Sebab,

ayah dan para suami, yang dianggap sebagai pemilih dari wanita, bisa memperdagangkan dan

menyewakan pelayanan, hiburan, dan seks (wanita) kepada banyak laki-laki demi keuntungan

para ayah dan suami itu. Tindak asusila demikian banyak juga terdapat di zaman modern

sekarang, dalam bentuk ribuan pelacur dijadikan “tawanan para germo”.

Gadis-gadis itu mulanya dijebak secara licik dengan janji-janji dan bujukan manis,

untuk diperkerjakan di kota-kota dengan gaji besar atau akan dijadikan korban para germo.

Namun kenyataannya, gadis-gadis itu dijadikan korban para calo dan anggota-anggota organisasi

gelap.
Sejak zaman dahulu para pelacur selalu dikecam atau dikutuk oleh masyarakat,

karena tingkah lakunya yang tidak susila dan dianggap mengotori sakralitas hubungan seks.

Mereka disebut sebagai orang-orang yang melanggar norma moral, adat, dan agama, bahkan

kadnag-kadang juga melanggar norma negara, apabila negara tersebut melarangnya dengan

undang-undang atau peraturan.

Norma adat pada galibnya melarang pelacuran. Akan tetapi, setiap daerah itu tidak

sama peraturannya dan kebanyakan norma tersebut tidak tertulis. Namun, ada masyarakat-

masyarakat tertentu yang memperkenankan hubungan seks di luar perkawinan. Pada masyarakat

Eskimo, kelahiran bayi di luar nikah, ditoleransi oleh masyarakat. Bahkan untuk menghormati

tamu-tamu yang terpandang, istri sendiri disuruhnya tidur bersama dengan tamunya dan

memberikan pelayanan seks seperlunya. Juga pada kelompok suku di Pulau kei, Flores,

mentawai, sistem perkawinannya mengizinkan anak-anak gadis mengadakan hubungan kelamin

dengan laki-laki memberikan pelayanan seks, akan laku terlebih dahulu.

Di Yunani kuno, pelacuran dikontrol oleh pemerintah dan polisi. Mereka

dikumpulkan dalam rumah-rumah pelacuran yang disebut dicteria. Kontrol tersebut dimaksudkan

agar :

1.             Ada pertanggungjawaban penyelenggaraan;

2.             Tidak merusak moral anak-anak dan pemuda-pemuda remaja;

3.             Tidak melanggar aturan-aturan agama;

4.             Tidak menjadi pengkhianat negara.

Di Roma, pelacuran diawasi dan dikontrol dengan ketat oleh polisi. Ringkasnya

pelacur dianggap sebagai penyakit, dan mendemoralisasi rakyat. Juga Kaisar Justinian mencoba

memberantas pelacuran. Karena dia sendiri kaain dengan pelacur. Selanjutnya Raja Louis II dari
Perancis, banyak memberantas pelacuran dengan hukuman berat. Namun sebagai akibatnya,

pelacuran menjadi lebih subur berkembang secara gelap.

Jika dipandang dari sisi agama, baik agama islammaupun agama lainnya jelas

melarang prostitusi tersebut. Dalam agama Islam, prostitusi merupakan salah satu perbuatan zina

dan zina hukumnya haram dan termasuk kategori dosa besar. Ada beberapa ayat yang

menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang berzina yaitu para pezina yang masih bujang di

hukum cambuk delapan puluh kali (An-Nur : 4) dan “yang sudah menikah dilempari batu 100

kali, alias mati. Nabi Muhammad SAW bersabda “Tidak halal darah bagi seorang muslim yang

bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasulnya, kecuali disebabkan oleh salah

satu dari tiga hal : orang yang sudah menikah berzina, membunuh orang, meninggalkan

agamanya serta memisahkan dari jamaah.

(http://sobatbaru.blogspot.com/2009/02/prostitusi.html)

Sementara menurut agama Kristen dan Yahudi juga mengahramkan prostitusi seperti

yang tercamtum dalam perjanjian baru. Di katakana bahwa “Karena itu orang baik-baik biasanya

tidak mau bergaul dengan mereka bahkan menjauhkan diri dari orang-orang seperti itu. Namun

demikian Yesus digambarkan dekat dengan orang-orang yang disingkirkan oleh masyarakat

seperti para pelacur, pemungut cukai, dll. Injil Matius melukiskan demikian: "Kata Yesus kepada

mereka: 'Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-

perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah'." (Matius 21:31)

Dalam usaha penanggulangan masalah pelacuran, agaknya Soviet Rusia berhasil

menekan dan memberantas pelacuran, berkat adanya kebebasan seks yang sangat besar dan

ditoleransi oleh hampir semua warga masyarakat.


Maka Tuhan menganjurkan menikah dan melalui pernikahan itu dapat dibangun

rumah tangga yang sah dan bahagia, kalis dari kesulitan dan terpeliharalah anak keturunan.

Sedang perzinaan dipandang sebagai perbuatan yang keji dan jalan yang keliru dlam kehidupan

manusia.

2.3. Seks dan Pelacuran

Seks merupakan energi psikis yang ikut mendorong manusia untuk aktif bertingkah

laku. Tidak hanya berbuat di bidang seks saja, yaitu melakukan relasi seksual atau bersenggama,

akan tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan nonseksual. Misalnya ikut mendorong untuk

berprestasi di bidang ilmu pengetahuan seni, agama, sosial, budaya, tugas-tugas moril, dan lain

sebagainya. Sebagai energi psikis, seks menjadi motivasi atau tenaga dorong untuk berbuat atau

bertingkah laku. Freud menyebut seks sebagai libido sexualis (libido = gasang, dukana, dorongan

hidup nafsu erotik). Seks juga merupakan mekanisme bagi manusia untuk mengadakan

keturunan. Karena itu seks dianggap sebagai mekanisme yang sangat vital, di mana manusia bisa

mengabadikan jenisnya.

Libido adalah Istilah nafsu birahi, hasrat seks atau libido pada dasarnya punya makna

sama, yaitu perasaan seksual hebat dari seseorang pada orang lainnya (normalnya terhadap

pasangan lawan jenisnya). Banyak faktor pendukung gairah seksual, termasuk rangsangan fisik

dan kondisi biologis, seperti jenis kelamin dan hormon.

Tingkat libido bisa sangat bervariasi pada masing-masing orang, dan di antara pria

maupun wanita. Bahkan ditegaskan oleh berbagai penelitian bahwa tak ada tingkat gairah

seksual yang normal. Ilmu psikologi meyakini, libido adalah kombinasi kepuasan hormonal dan

fisikal (seperti merangsang saraf tubuh tertentu) yang dibentuk oleh pengaruh sosial dari luar,
seperti norma budaya. Nafsu birahi bukan sesuatu yang dipelajari namun sudah ada di dalam

hekekat manusia. Itu sebabnya tidak ada orang tua yang mengajari anaknya untuk birahi. Yang

ada adalah orang tua yang mengajari anaknya untuk mengendalikan nafsu birahinya. Birahi

muncul begitu saja karena birahi adalah salah satu naluri manusia, naluri beranakcucu.

Di samping relasi sosial biasa, di antara wanita dan pria itu bisa berlangsung

hubungan khusus yang sifatnya erotis, yang disebut sebagai relasi seksual. Dengan relasi seksual

ini kedua belah pihak yang berada situasi khusus bisa menghayati bentuk kenikmatan dan

puncak kepuasan seksual atau orgasme, jika hal itu dilakukan dalam hubungan yang intim dan

normal sifatnya.

Hubungan seksual antara dua jenis kelamin yang berlainan sifat dan jenisnya yaitu

antara pria dan wanita, disebut sebagai relasi heteroseksual. Jika dilakukan antara dua orang dari

jenis kelamin yang sama, disebut sebagai homoseksual. Maka, tujuan dari setiap macam

pendidkan itu pada intinya ialah tidak hanya membimbing anak muda yang belum dewasa

menjadi dewasa saja, akan tetapi membimbing pemuda menjadi pria dewassa, dan membimbing

anak gadis menjadi wanita dewasa. Laki-laki dan wanita dewasa adalah mereka yang nantinya

mampu melakukan relasi seksual yang adekuat, tepat, dan imbang. Dengan kata lain, wanita itu

disebut normal dan dewasa, bila dia mampu mengadakan relasi seksual dengan seorang pria

dalam bentuknya yang normal dan bertanggung jawab. Sebaliknya, pria disebut normal dan

dewasa, apabila dia mampu mengadakan relasi seksual dengan wainta yang sehat sifatnya dan

bertanggung jawab.

Hubungan seksual yang normal itu mengandung pengertian sebagai berikut :

(a) Hubungan tersebut tidak menimbulkan efek-efek merugikan, baik bagi diri sendiri

maupun partnernya.
(b) Tidak menimbulkan konflik-konflik psikis dan tidak bersifat paksaan atau perkosaan.

Sedang relasi seksual yang bertanggung jawab itu mengandung pengertian, kedua

belah pihak menyadari akan konsekuensinya, dan berani memikul tanggung jawab serta

risikonya.

Baik pria maupun wanita harus menyadari, batas relasi seksual itu sebaiknya

dilakukan dalam batas-batas norma etis/susila, sesuai dengan norma-norma masyarakat dan

agama, demi menjamin kebahagiaan pribadi dan ketentraman masyarakat. Control dan regulasi

perlu dilakukan terhadap doronga-dorongan seks dan impuls-impuls seks, agar tidak terlampau

eksesif dan meledak-ledak, sehingga bisa melemahkan jasmani dan rohani. Juga, agar tidak

terjadi pelanggararan-pelanggaran dan bentrokan, karena melanda atau mengobrak-abrik

privilege serta hak-hak asasi pribadi lain. Sebab, dorongan seks itu ibarat kuda liar yang buas

dan tidak terkendali tapi juga bisa tenang, jinak, menyenangkan, jika bisa dikekang dan

dipimpin. Oleh adanya kedua persyaratan yaitu normal dan bertanggung jawab, maka relasi seks

itu sebaiknya dilakukan dalam satu ikatan yang teratur, yaitu dalam ikatan perkawinan yang sah.

Maka, bentuk relasi seks abnormal dan perverse (buruk, jahat) adalah: (1) tidak

bertanggung jawab, (2) didorong oleh kompulsi-kompulsi (tekanan paksaan), dan (3) didorong

oleh impuls-impuls yang abnormal. Abnormalitas dalam pemuasan dorongan seksual itu dibagi

dalam 3 golongan, sebagai berikut.

1.             Abnormalitas seks disebabkan oleh dorongan seksual abnormal. Termasuk didalamnya ialah

(1) pelacuran (prostitusi), (2) promiskuitas, (3) perzinaan (adultery), (4) seduksi bujukan dan

perkosaan; (5) kebekuan seks (frigiditas); (6) impotensi; (7) ejakulasi prematur; (8) coupulatory

impotency dan psychogenic aspermia, atau pembuangan sperma yang terlalu cepat (9)
nymphomania atau hyperseksualitas; (10) satyriasis atau satyromania, yaitu hyperseksualitaspada

pria; (11) vaginismus atau kontraksi pada vagina; (12) dispareuni yaitu sulit dan merasa sakit

sewaktu bersanggama; (13) anorgasme yaitu ejakulasi atau pengeluaran air mani namun tanpa

mengalami puncak kepuasan seksual vorgasme, dan (14) kesukaran coitus pertama.5

2.             Abnormalitas sesk disebabkan oleh partner seks yang abnormal. Termasuk di dalamnya

ialah(1) homoseksualitas, oralerotisme, anal erotisme, dan interfemoral coitus,(2) lesbianisme;

(3) bestiality atau persetubuhan dengan binatang; (4) zoofilia, bentuk citra-mesra seperti

binatang; (5) nekrofilia yaitu hubungan seks dengan orang mati/mayat,(6) pornografi dan

obscenity/dukana; (7) pedofilia atau persetubuhan dengan anak-anak kecil, (8) fetishisme; (9)

frottage, yaitu kepuasan seks dengan meraba-raba orang lain, (10) geronto seksualitasyaitu

persetubuhan dengan wanita tua atau berumur lanjut; (11) incest atau relasi seks dalam kaitan

kekerabatan keturunan yang sangat dekat; (12) saliromania, yaitu mendapatkan kepuasan seks

dengan mengotori badan wanita; (13) tukar istri (wifeswapping), disebut pula sebagai “tukar

kunci”, (14) misofilia, koprofilia dan urofilia, yaitu melakukancoitus yang dibarengi dengan

kesenangan pada kotoran, hal-hal yang najis, tahi dan air kemih.6

3.             Abnormalitas seks dengan cara yang abnormal dalam pemuasan dorongan seksualnya.

Termasuk dalam kelompok kini ialah: (1) Onani atau masturbasi, (2) sadisme, (3) masokhisme

dan sadomasokhisme, (4) voyeurism, yaitu mendapatkan kepuasan seks dengan diam-diam

melihat orang bersanggama dan telanjang, melalui lubang kunci, (5) ekshibisionisme, kepuasan

seks dengan memperlihatkan alat kelaminnya, (6) skoptofilia mendapat kepuasan seks dengan

melihatorang-orang lain bersetubuh, atau melihat alat kelamin orang lain, (7) transvestitisme,

yaitu nafsu patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis kelamin, (8) transseksualisme,

merasa memiliki seksualitas yang berlawanan dengan stuktur fisiknya/banci (9) triolisme atau
troilisme atau melakukan sanggama, dengan mengikut-sertakan orang lain untuk menonton

dirinya.7

2.4. Gadis-gadis Remaja, Tindak Immoril dan Pelacuran

Definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia

adalah mereka yang berusia 10 sampai dengan 19 tahun dan belum menikah. Menurut Kaplan,

1997 usia remaja adalah dimulai pada usia 11 – 12 tahun dan berakhir pada usia 18 – 21 tahun.

Dimana usia yang paling rentan dengan masalah seksual adalah pada massa usia 17 tahun.

Perkembangan fisik yang terjadi pada remaja adalah perubahan yang sangat dramatis

dalam bentuk dan ciri – ciri fisik berhubungan erat dengan mulainya pubertas. Aktivitas kelenjar

pituitari pada saat ini berakibat dalam sekresi hormon yang meningkat, dengan efek fisiologis

yang tersebar luas. Hormon pertumbuhan memproduksi dorongan pertumbuhan yang cepat, yang

membawa tubuh mendekati tinggi dan dewasanya dalam sekitar dua tahun.

Dorongan pertumbuhan terjadi lebih awal pada pria dari pada pada wanita juga

menandakan bahwa wanita lebih dahulu matang secara seksual dari pada pria. Pencapaian

seksual pada gadis remaja ditandai dengan kehadiran menstruasi dan pada pria di tandai dengan

produksi semen. Hormon – hormon utama yang mengatur perubahan ini adalah androgen pada

pria dan estrogen pada wanita, yang juga membentuk ciri-ciri seksual sekunder. Hormon

tertentu mulai berfungsi sejalan dengan perkembangan alat kelaminnya sehingga dapat

menyebabkan rangsangan di dalam tubuh remaja yang seringkali menimbulkan masalah dalam

perkembangan emosinya.

Perkembangan emosional juga terjadi pada masa remaja dan masa remaja adalah

masa stress emosional, yang timbul dari perubahan fisik yang cepat dan luas yang terjadi pada
masa pubertas. Hormon testosteron akan menyebabkan pria mengalami ereksi jika dia berfantasi

atau terangsang, dan mempengaruhi otak untuk mengaktifkan pikiran atau dorongan seksual.

Demikian juga pada wanita jika mengalami keterbangkitan seksual di tunjukkan vaginanya

mengeluarkan cairan pelicin atau menjadi basah. Kondisi hormonal inilah yang menyebabkan

remaja menjadi semakin peka terhadap stimulasi seksual sehingga munculnya perilaku seksual.

Dorongan seksual ini menimbulkan permasalah antara lain : a). Perasaan aneh karena

muncul reaksi yang tidak begitu tampak pada masa sebelumnya, b). Belum dapat menyalurkan

karena belum menikah sementara remaja cepat terangsang secar seksual, c). menimbulkan

keinginan tahuan lebih lanjut tentang apakah alat kelamin yang dimilikinya dapat berfungsi

dengan baik, kondisi ini dapat mendorong remaja untuk bereksplorasi banyak dalam hal seksual.

Perkembangan seksual yang terjadi pada remaja menunjukkan perubahan yang

signifikan mereka mulai melihat adanya kejanggalan dan ketidakseimbangan antara yang mereka

percayai dahulu dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Mereka lalu merasa perlu

mempertanyakan dan merekonstruksi pola pikir dengan “kenyataan” yang baru. Perubahan inilah

yang seringkali mendasari sikap "pemberontakan" remaja terhadap peraturan atau otoritas yang

selama ini diterima bulat-bulat. Perubahan seksual yang terjadi pada masa pubertas inilah yang

bertanggung jawab atas adanya dorongan-dorongan seksual. Dorongan masalah seksual masih

dipersulit dengan banyaknya tabu sosial sekaligus kekurangan pengetahuan yang benar tentang

seksualitas.

Remaja cenderung lebih terbuka dalam menyelesaikan masalah dengan

kelompoknya, hal ini karena adanya konflik atau perbedaan nilai yang dianut remaja dengan

keluarga. Remaja adalah upaya remaja untuk diterima dan diakui sebagai orang dewasa, yang

dikenal sebagai mencari identitas diri. Remaja selalu bertanya tentang siapa dan bagaimana
dirinya dan cenderung melakukan berbagai tindakan untuk mengukuhnya identitas dirinya.

Remaja masih labil sehingga upaya untuk mencari identitas diri , seringkali diungkapkan dalam

bentuk pemaksaan kemauan, sehingga sering bertentangan dengan tokoh otoritere seperti orang

tua atau guru. Pertentangan remaja dengan orang dewasa dipertajam lagi karena disatu pihak

remaja menginginkan kebebasan melakukan aktivitas atau memilih teman dipihak lain orang tua

dan guru justru ingin melakukan pembatasan. Hal ini tentu saja akan menimbulkan konflik nilai

bagi sang remaja. Konflik nilai dalam diri remaja ini lambat laun akan menjadi sebuah masalah

besar, jika remaja tidak menemukan jalan keluarnya.

Peran orang tua dalam mendidik anak sangat menentukan pembentukan karakter dan

perkembangan kepribadian anak. Komunikasi adalah inti suksesnya suatu hubungan antara orang

tua dan remaja. Hubungan komunikasi secara lancar dan terbuka harus selalu dijaga

agar dapat diketahui hal – hal yang diinginkan oleh remaja sehubungan dengan pertumbuhan dan

perkembangan remaja. Pengetahuan remaja tentang Kesehatan Reproduksi yang dapat diperoleh

dari hasil komunikasi antar keluaraga sangat penting terhadap perilaku yang berkaitan dengan

hubungan seksual (intercourse) pranikah sehingga menghindari remaja untuk lebih memilih

mendapat informasi dari media massa dan teman sebaya yang sering menimbulkan pemahaman

yang salah oleh remaja atau informasi yang didapatkan menyesatkannya dan apada akhirnya

menjerumuskan remaja dalam jurang kehancuran dengan melakukan tindak-tindak immoral

seksual.

Statistik menunjukkan, bahwa kurang lebih 75% dari jumlah pelacur adalah wanita-

wanita muda dibawah umur 30 tahun. Mereka itu pada umumnya memasuki dunia pelacuran

pada usia yang muda, yaitu 13 – 14 tahun dan yang paling banyak ialah usia 17 – 21 tahun.

Apakah sebabnya banyak gadis muda remaja tergelincir dalam lembah pelacuran demikian?
Tindak-tindak immoral seksual, berupa relasi seksual terang-terangan tanpa malu,

sangat kasar, dan sangat provokatif dalamcoitus/bersanggama, dan dilakukan dengan banyak pria

(promiskuitas) pada umumnya dilakukan oleh anak- anak gadis remaja penganut seks bebas.

Adakalanya relasi seksual itu tidak dibayar, karena dilandasi motif-motif keisengan atau

hyperseksualitas ataupun didorong oleh nafsu-nafsu seks yang tidak terintegrasi dan tidak wajar,

tidak ubahnya dengan ciri-ciri praktik prostitusi yang kasar. Tindak immoral yang dilakukan oleh

gadis-gadis muda itu khususnya disebabkan oleh:

-                 Kurang terkendalinya rem-rem psikis,

-                 Melemahnya sistem pengontrol diri,

-                 Belum atau kurangnya pembentukan karakter pada usia prapuber, usia puber adolesens,

-                 Melemahnya sistem pengontrol diri,

-                 Belum atau tidak adanya pembentukan karakter pada usia prapuber, usia puber, dan

adolesens.

Pertama kali, immoralitas dilakukan dirumah oleh orang tua atau salah seorang

anggota keluarga itu mempromosikan tingkah laku seksual abnormal kepada anak-anak puber

dan adolesens. Sebab penghayatan langsung dari perbuatan seksual yang kasar, jika dibarengi

dengan cumbu rayu dari laki-laki dewasa, akan mudah meruntuhkan pertahanan moral anak-anak

gadis pada usia sangat mudah (12-19 tahun). Peristiwa ini kemudian mengakibatkan timbulnya

seksualitas yang terlalu dini yaitu seksualitas yang terlampau cepat matang sebelum usia

kemasakan psikis sebenarnya. Sebagai akibatnya ialah dengan kemunculan nafsu-nafsu seks

yang luar biasa, namun anak gadis itu sendiri belum memiliki kematangan dan keseimbangan

psikis, maka tindak-tindak immorilnya berlangsung secara liar dan tidak terkendali lagi.
Immoril seksual pada ank-anak gadis ini pada umumnya bukanlah didorong oleh

motif-motif pemuasan nafsu nafsu seks seperti pada anak laki- laki umumnya. Akan tetapi,

biasanya didorong oleh pemanjaan diri dan kompensasi terhadap labilitas kejiwaan, karena anak-

anak gadis itu merasa tidak senang dan tidak puas atas kondisi diri sendiri dan situasi

lingkungan. Rasa tidak puas anak-anak gadis itu antara lain disebabkan oleh:

(1)          Menentang kewibawaan pendidik dan berkonflik dengan orang tua atau salah seorang

anggota keluarga;

(2)          Tidak mampu berprestasi di sekolah; konflik dengan kawan-kawan sekolah atau dengan guru;

(3)          Merasa tidak puas atas nasib sendiri, karena lingkunga rumah tangga yang buruk. Misalnya

broken home, banyak konflik dan ketegangan, lingkunan yang tidak memberikan kehangatan dan

kasih saying, selalu meraskan kekejaman dan tindak sewenang-wenang;

(4)          Kekacauan kepribadian, mengalami disharmoni dan banyak konflik batin yang tidak bias

diselesaikan;

(5)          Memberontak terhadap semua bentuk otoritas dan mengikuti kemauan sendiri atau semau

gue.

Kerap kali anak-anak puber dan adolesens itu secara tidak sadar dan tidak sengaja

melakukan tindak immoral dan salah langkah, lalu menjadi pelacur melalui pengalaman sebagai

berikut: Mula-mula, anak gadis tersebut menyalurkan dorongan-doronganseksual dengan jalan

berfantas, mengkhayalkan gambaran-gambaran diri sendiri melakukan relasi seksual yang

“menyala-nyala.” Lambat laun dorongan-dorongan seks itu jadi semakin memuncak, Karen

macam-macam rancangan dari luar, misalnya membaca buku-buku cabul, melihat film porno dan

orang lain bersetubuh, bujuk rayu pemuda-pemuda, dan lain-lain. Kemudian, secara coba-coba

sambil bermain-main ia melakukan relasi seks dengan abang sendiri atau saudara yang lebih tua.
Kemudian dicobanya dengan laki-laki lain hanya karena didorong oleh rasa ingin tahu

(curiousity) dan coba-coba, just playing untuk main-main saja. Lama-kelamaan kanalisasi

dengan jalan main-main ini menjadi sungguhan. Kemudian berlangsunglah pembentukan

kebiasaan atau habit forming, lalu gadis tadi butuh melakukan relasi seks secara terus-menerus.

Selanjutnya, karena jiwa anak gadis itu belum stabil dan belum mencapai

kematangan, relasi seksnya bebas lepas tidak bisa dikendalikan lagi. Dan tidak lama kemudian

dia jatuh dalam lembah pelacuran, atau melakukan promiskuitas, menjalin relasi seks secara

awut-awutan dengan siapapun juga. Di kota Bandung, gerombolan anak-anak gadis yang

melakukan hubungan seks bebas, tanpa mengingat bayaran dan menanamkan kepuasan seks itu

menamakan diri sebagai GONGLI atau bagong lieur (bagi atau celeng mabuk/pusing). Jadi,

relasi seksual yang terlalu dini (cepat, pada usia terlalu muda) itu merupakan imitasi primitif,

secara bermain-main menirukan tingkah laku orang dewasa, yang kemudian menjadi peristiwa

kecanduan.

Adakalanya tindak immoral anak gadis melakukan praktik pelacuran itu distimulasi

oleh Geltungstrieb atau dorongan untuk menuntut hak dan kompensasi, karena dia tidak pernah

merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang orang tua atau familinya. Dicari kompensasi

bagi kekosongan hatinya, dengan jalan melakukan intervensi aktif dalam bentuk relasi seksual

yang ekstrem tidak terkendali, alias pelacuran.

Ada pula anak-anak gadis yang melakukan tindak kompensatoris disebabkan oleh

rasa-rasa takut dan kebimbangan. Biasanya mereka itu baru berumur 11 atau 12 tahun, namun

mengaku sudah berusia 17 atau 18 tahun. Maka oleh nafsu petualangan dan ingin

membanggakan diri, anak-anak itu sesumbar dan membual mampu memberikan layanan seksual
yang hebat luar biasa, sebagai kompensasi dari kekerdilan dan rasa rendah diri. Lalu mereka

melakukan praktik pelacuran.

Ringkasannya, sifat-sifat kurang baik anak-anak gadis, misalnya: pemanjaan diri,

nafsu bersenang-senang tanpa kendali, “ijdelheid” atau kesombongan diri, lapar petualangan

seks, gila hormat dan gila pujian,lemah mental terhadap cumbu rayu kaum pria, semua itu

merangsang pergaulan yang bersifat netral menjadi hubungan seksual sungguhan. Tidak lama

kemudian, anak-anak gadis itu terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan immoral dengan banyak

laki, tidak ubahnya dengan perilaku pelacur biasa.

Jelas, bahwa perbuatan seksual pada anak-anak puber itu pada umumnya disebabkan

oleh disharmoni dalam kehidupan psikisnya, yang ditandai dengan:

-                     Bertumpuknya konflik-konflik batin,

-                     Kurangnya rem-rem terhadap nafsu-nafsu hewani,

-                     Kurang berfungsinya kemauan dan hati nurani,

-                     Kurang tajamnya intelek untuk mengendalikan nafsu seksual yang bergelora.

Karena itu, coitus atau sanggama bagi anak-anak puber dan adolesens itu merupakan

perilaku menggugah nafsu-nafsu seksual yang terlalu dini, terlalu cepat, atau terlalu pagi.

Kematangan seks yang terlalu cepat atau sebelum waktunya mengakibatkan terganggunya

pembentukan karakterdan kepribadian sehingga kepribadiannya tetap berada pada tingkat

primitive.Danlangkah untuk melakukan perbuatan-perbuatan immoral atau pelacuran semakin

pendek.

Tingkah laku immoral dan eksperimen-eksperimen seksual yang tidak susila itu

sangat infeksius sifatnya, mudah menjangkitkan infeksi psikis kepada anak-anak puber dan

adolesens yang masih sangat labil struktur kepribadiannya. Pada akhirnya mudah mendorong
mereka melakukan praktik pelacuran. Kesulitan-kesulitan emosional dan konflik-konflik batin

serius yangmemuncak pada masa pubertas dan adolesens itu banyak dimuati oleh motif-motif

sosial dan seksual. Bila gangguan ini kronisdan ekstrem atau memuncak, maka hal itu

menstimulasi tingkah laku immoral dan promiscuous yang dekat sekali dengan pelacuran.

2.5. Seks Bebas, Cinta Bebas, dan Pelacuran

Hampir semua masyarakat beradap berpendapat bahwa perlu adanya regulasi atau

pengaturan terhadap penyelenggaraan hubungan seks dengan peraturan-peraturan tertentu.

Sebab, dorongan seks itu begitu dahsyat dan besar pengaruhnya terhadap manusia, bagaikan

nyala api yang berkobar. Demikian pula seks, bisa membangun kepribadian, akan tetapi juga bisa

menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan. Hal ini dibuktikan oleh sejarah peradaban manusia

sepanjang zaman.

Variasi dari regulasi penyelenggaraan seks bisa kita lihat tradisi-tradisi seksual pada

bangsa-bangsa primitif di bagian-bagian dunia kita yang berbeda-beda. Dengan semakin

pesatnya perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan serta komunikasi, terjadilah banyak

perubahan sosial yang serba cepat pada hampir semua kebudayaan manusia. Perubahan sosial

tersebut mempengaruhi kebiasaan hidup manusia sekaligus juga mempengaruhi pola-pola seks

yang konvensional. Maka, pelaksanaan seks itu banyak dipengaruhi oleh penyebab dari

perubahan sosial, antara lain oleh urbanisasi, mekanisasi, alat kontrasepsi, lamanya pendidikan,

demokratisasi fungsi wanita dalam masyarakat, dan modernisasi. Sebagai efek sampingnya

terjadi proses ontrailing (keluar dari rel) dari pola-pola seks, yaitu keluar dari jalur-jalur

konvesional kebudayaan. Pola seks itu lalu dibuat menjadi hypermodern dan radikal sehingga

bertentangan dengan sistem regulasi seks yang konvensional, menjadi seks bebas dan cinta bebas
yang tidak adanya bedanya dengan pelacuran. Pada hakikatnya, dalam eksesivitas (sangat

banyak) seks bebas itu sama dengan promiskuitas atau campur aduk seksual tanpa aturan alias

pelacuran.

Oleh seks bebas, hal tersebut bukannya akan diperoleh kepuasan seks. Oleh

eksesivitas itu jutru orang tidak mampu menghayati kepuasan seks sejati. Sebab, orang menjadi

budak dari dorongan seksual, menjadi pecandu seks tanpa bisa menghayati arti dan keindahan

kehidupan erotik sejati.

Beberapa argumen dari para penganjur seks bebas beserta peyanggahannya kami

kemukakan di bawah ini :

1)             Dorongan seks itu alami, persis seperti lapar dan dahaga. Pemuasannya bersifat alami atau

natural. Maka, tabu-tabu dan regulasi seks itu sifatnya artifisial, dibuat-buat, dan berlebihan, atau

tidak perlu.

Para opponen/ penyanggah pendapat ini justru berikiran sebagai berikut : memang benar

pada mulanya berifat fisiologis dan alami, sebagai produk dari kegiatan ganduler. Namun

kemudian, segi-segi psikis dari seks ikut muncul, berupa imaginasi seks yang mempengaruhi

kegiatan-kegiatan glanduler. Artinya, dorongan-dorongan seks itu lalu bersifat artifisial, bukan

alami lagi, sebab semakin banyak terdapat stimuli/ perangsang seks dalam masyarakat modern

sekarang. Misalnya berupa film-film biru, gambar-gambar dan majalah porno, pertunjukan seks

dan lain-lain. Sehingga muncul perbuatan seks yang sangat ditolak masyarakat, misalnya dalam

bentuk perkosaan, ekshibisionisme seksual, promiskuitas terbuka, dan lain-lain. Karena itu, perlu

diadakan sanksi dan kontrol sosial terhadap kehidupan seks, demi menjamin ketentraman dan

ketertiban hidup.
Baik suku-suku bangsa primitif maupun yang modern pasti mempunyai sistem regulasi

untuk menata kelancaran masyarakat, dan mengatur kehidupan-kehidupan seks. Penataan itu ada

masyarakat dan mengatur kehidupan seks. Penataan itu ada ditulis dalam wujud hukum dan

undang-undang, yang lainnya tidak tertulis berupa tradisi dan kebiasaan sosial. Maka mutlak

perlulah dorongan-dorongan seks itu dikendalikan dan diatur, agar tidak terlalu kelewat eksesif,

sehingga melemahkan jasmani dan rohani.

2)             Argumen kedua menyatakan seks itu merembesi setiap fase kehidupan. Karena itu,

kebebasan seks harus dapat diekspresikan dengan bebas penuh, untuk memperkaya kepribadian.

Maka, setiap restriksi atau pembatasan terhadap kegiatan seks itu pasti akan menghambat

pembentukan kepribadian.

Opponen pendapat ini menyatakan sebagai berikut : memang benar, seks itu merembesi

setiap fase kehidupan. Akan tetapi, seperti juga makan dan minum harus diatur. Agar orang bisa

menjadi sehat lahir dan batin, makan aktivitas seks itu juga harus dikendalikan dan diatur demi

kesejahteraan sendiri. Dorongan seks itu semisal kuda liar yang bisa buas binal tidak terkuasai,

tapi bisa juga menjadi jinak terkendali. Dalam hal dorongan seks ini, sais utama mengendalikan

kuda liar itu ialah kemauan dan akal budi. Sedang hukum dan tradisi berfungsi sebagai

pengontrolan umum.

3)             Alasan ketiga untuk menganjurkan seks bebas ialah sebagai berikut : tabu-tabu seks itu

merupakan produk dari dogmatisme religius, yang menganggap seks sebagai sumber dosa dan

noda yang menimbulkan rasa malu dan bukan sebagai sumber kenikmatan. Lalu orang membuat

macam-macam restriksi terhadapa aktivitas seks. Dengan sendirinya hal ini bertentangan dengan

prinsip-prinsip kebebasan ilmiah di bidang fisiologi, psikologi, dan sosiologi.


Pihak oposisi dari teori ini menyatakan sebagai berikut : memang benar standar-standar

seks itu banyak mendasarkan diri pada doktrin teologis kuno. Bahkan, beberapa aliran agama

menyebutkan, wanita sebagai sumber pertama dari dosa dan noda. Konsep seks demikian ditolak

oleh kebanyakan wanita dan orang modern. Akan tetapi, ilmu pengethuan sudah sejak lama

berpendirian bahwa seks itu bisa dijadikan sumber kebahagiaan manusia. Jika kebutuhan-

kebutuhan seks itu tidak terpenuhi secara wajar akan muncul banyak frustasi dan gangguan

mental.

Sehubungan dengan itu, perlu diciptakan restriksi dan regulasi agar seks bisa

diintegrasikan secara harmonis dalam totalitas kehidupan yang sehat. Tidak boleh awut-awutan/

acak-acakan seperti praktik pelacuran. Muncullah kemudian program keluarga berencana agar

kaum ibu tidak dibebani terlalu berat oleh banyak anak.

4)             Alasan keempat orang menganjurkan seks bebas ialah sebagai berikut : kegiatan seks itu

masalah private, menyangkut diri pribadi dengan partnernya. Maka masyarakat sama sekali tidak

berhak mencampuri urusan ini. Parapenganjur seks bebas menolak dengan sangat prinsip kontrol

sosial terhadap aktivitas seks. Tidak perlulah segala restriksi dan regulasi terhadap impuls-impuls

seks. Karena impuls seks itu bobot dan nilainya sama dengan impuls-impuls vital lain. Misalkan,

sama dengan impuls lapar sehingga orang diizinkan makan apapun jika dia sudah kelaparan.

Lebih-lebih pemerintah tidak berhak mengurusi dan ikut campur dalam masalah seks ini,

terkecuali jika wanita yang bersangkutan sampai menjadi hamil atau melahirkan bayi.

Pihak opponen menyangkalnya sebagai berikut : tingkah laku seks yang wajar itu tidak

mungkin bersifat murni prive atau individual. Sebab, tingkah laku seks itu merupakan produk

dari sikap hidup/ attitude kelompok masyarakat tertentu. Maka, kegiatan seks yang bersifat

indvidual merpakan fase atau bagian dar proses sosial. Selanjutnya, perkembangan pribadi
banyak ditentkan oleh sehat tidaknya relasi seks yang dilakukan seseorang daam kehidupan

sehari-hari dengan partnernya.

5)             Akhirnya, para propagandis seks bebas bersitegang bahwa perkawinan dan semua undang-

undang perkawinan dan perceraian itu cuma mengakibatkan kompulsi-kompulsi/ paksaan

psikologis yang mengakibatkan kegagalan dan kegoncangan dalam kontak pribadi dengan

partnernya. Maka, jika ada kebebasan seks yang komplit, dimana kedua partner bisa berpindah

jika sudah tidak saling membutuhkan lalu bebas mencari partner lain yang lebih cocok maka

peristiwa demikian bisa lebih menjamin kokohnya monogami (mono = satu, gameoo = partner).

Karena itu kontak yang sempurna tidak mungkin bisa berlangsung tanpa adanya kebebasan yang

sempurna, tanpa kebebasan sebebas-bebasnya. Sebab, cinta itu tidak bisa dipaksakan dengan

undang-undang dan restriksi-restriksi. Karenanya, union tanpa perkawinan pasti akan lebih

berhasil dan lebih efisien dari persatuan/ union dengan perkawinan.

Kaum opponen menyanggah dengan argumentasi/ alasan sebagai berikut : memang benar

ada teralu banyak kompulsi dalam perkawinan. Hal ini tidak disebabkan oleh perkawinan itu

sendiri, akan tetapi oleh banyaknya perceraian dan udang-undang perceraian. Nyatanya, ikatan

perkawinan itu akan menjamin kestabilan bila dilindungi oleh udang-undang perkawinan-

perceraian yang lebih mantap atau yang lebih baik. Ketentraman, sukses, dan harmoni

perkawinan akan lebih terjamin bila disertai sanksi dengan regulasi.

Tanpa perkawinan, union akan sangat rapuh, kedua partner akan mudah berpisah misalnya

pada saat-saat marah da gelo. Ikatan temporer tanpa perkawinan pasti menipiskan tnggung jawab

dan mengakibatkan sangat goyahnya solidaritas dan kesetiaan, juga mengakibatkan

pengingkaran pada kewajiban-kewajiban tertentu. Union yang temporer akan mengantisipasi


pola kawin-cerai atau pola hidup-bersama-bercerai yang berkali-kali. Lalu mengakibatkan anarki

seks dan disorganisasi.

Kenyataan membuktikan bahwa seks bebas dan cinta bebas mengakibatkan banyak

kerusaan/ destruksi di kalangan orang-orang muda, baik pria maupun wanita. Seandainya

pemuasan seks itu bisa dimisalkan dengan segelas air, dimana orang bisa memuaskan rasa

dahaganya (akibat kebutuhan seks) maka dapatkah dibenarkan orang tersebut minum segelas air

comberan yang kotor untuk memuaskan kehausannya? Atau minum segelas air dengan jalan

merampas milik orang lain?

Dalam kehidupan ini segala sesuatu sudah diatur oleh irama dan regulasi alam. Maka

seyogyanya cinta dan seks itupun harus diatur oleh kontrol diri dan disiplin diri. Hanya dengan

cara demikian manusia bisa mencapai kebahagiaan dan menikmati vitalitasnya, lalu mencapai

keseimbangan hidup dan kepuasan yang merupakan dua atribut esensiil bagi kehidupan.

Dengan adanya regulasi terhadap seks, bisa ditegakkan sendi-sendi moral. Dan melalui

perkawinan bisa dicapai kestabilan serta kebahagiaan hidup berkeluarga. Seks bebas,

promiskuitas, pelacuran, dan kekacauan seksual pasti menjadi penyebab bagi anarki hidup dan

bertentangan dengan etiki ataa/kesusilaan serta ketertiban masyarakat. Seks bebas, union

temporer, dan pelacuran merupakan fenomena atau gejala-gejala hidup yang jorok atau slording,

acak-acakan, yang anarhtis atau mengacau.

Memang banyak pelacur, pria, dan wanita yang berpendirian sebagai berikut : “Saya mau

jatuh cinta jika saya mendekatinya dan mengakhirinya kapan saja jika saya menghendakinya.

Cinta harus bebas, tanpa ikatan, bebas sebebasnya, dan akan saya jalin dengan siapapun juga.”

Pendirian semacam ini adalah pendirian promiskuous, tak berdaya dengan pendirian prostitusi

yang menumbuhkan sikap sangat labil bahkan tanpa pendirian, tanpa tanggung jawab.
Menyebabkan munculnya sikap semau-gue dan liar, yang bertentangan dengan prinsip-prinsip

kedewasaan. Lebih-lebih, sikap demikian tidak bisa ditoleransi sama sekali pada diri wanita

sebagai penerus generasi muda dan pendidik. Karena itu, prosmikuitas dan pelacuran tidak

mungkin bisa membahagiakan manusia, sebaliknya banyak menimbulkan malapetaka, kedukaan,

penyakit kotor, dan kesengsaraan.

2.6. Ciri-ciri dan Fungsi Pelacuran

Di desa-desa, hampir tidak terdapat pelacur. Jika ada, maka mereka itu adalah

pendatang-pendatang dari kota yang singgah untuk beberapa hari atau pulang ke desanya. Juga

desa perbatasan yang dekat dengan kota-kota dan tempat-tempat sepanjang jalan yang besar yang

dilalui truk-truk dan kendaraan umum sering dijadikan sebagai lokasi oleh wanita-wanita

tunasusila. Sedangkan di kota-kota besar, jumlah pelacur diperkirakan 1-2% dari jumlah

penduduknya. Dalam bilangan ini sudah termasuk para prostitue yang tersamar atau gelap, dari

kelas menengah dan kelas tinggi yang sifatnya noprofesinalisme (amateurisme). Mereka itu

beroperasi secara sembunyi-sembunyi, baik secara individual maupun tergabung dalam satu

sindikat-sindikat amourette yang berdagang seks cinta asmara.

Banyaknya langganan yang dilayani wanita tunasusila adalah 5-50 orang dalam

jangka wratu 12-24 jam. Bahkan, di waktu-waktu perang dan masa-masa kisruh, mereka itu

mampu melayani 6-120 orang langganan dalam waktu yang sama. Pelacur-pelacur ini bisa

digolongkan menjadi dua kategori, yaitu :

a)             Mereka yang melakukan profesinya dengan sadar dan suka rela berdasarkan motivasi-

motivasi tertentu.
b)             Mereka yang melakukan tugas melacur karena ditawarkan/ dijebak dan dipaksa oleh germo-

germo yang terdiri atas penjahat-penjahat, calo-calo, anggota-anggot organisasi gelap penjual

wanita, dan pengusaha bordil. Dengan bujukan dan rayu-rayu manis, ratusan bahkan ribuan

gadis-gadis cantik dipikat dengan janji akan mendapatkan pekerjaan terhormat dengan gaji besar.

Namun, pada akhirnya mereka dijebloskan ke dalam rumah-rumah pelacuran yang dijaga dengan

ketat, secara paksa, kejam, sadistis, dengan pukulan dan hantaman mereka harus melayani

buaya-buaya seks yang tidak berperikemanusiaan. Jika para gadis itu tampak ragu-ragu atau

enggan melakukan relasi seks, maka mereka itu dihajar dengan pukulan-pukulan dan diberi obat-

obat perangsang nafsu seks sehingga mereka menjadi tidak sadar dan tidak berdaya. Dan di

bawah pengaruh obat-obatan itu, mereka dipaksa melakukan adegan-adegan porno/ cabul yang

seram (namun menghancurkan hati anak-anak gadis tersebut) dengan bandit-bandit seks.

Ciri-ciri khas dari pelacur adalah sebagai berikut :

1)             Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki)

2)             Cantik, ayu, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa

merangsang selera seks kaum pria.

3)             Masih muda, 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di bawah 30 tahun. Yang terbanyak

adalah 17-25 tahun. Pelacur kelas rendahan dan menengah acap kali memperkerjakan gadis-

gadis pra-puber beruisa 11-15 tahun, yang ditawarkan sebagai barang baru.

4)             Pakaiaanya sangat menyolok, beraneka wara, sering aneh-aneh/eksentrik untuk menarik

perhatian kaum pria. Mereka itu sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya, yaitu : wajah,

rambut, pakaian, alat-alat kosmetik, dan parfum yang merangsang.


5)             Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tidak hadir secara psikis, tanpa

emosi atau afeksi, tidak pernah bisa mencapai orgasme sangat provokatif dalam ber-coitus, dan

biasanya dilakukannya secara kasar.

6)             Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari tempat/ kota yang satu ke tempat/kota lainnya.

Biasanya, mereka itu memakai nama samaran dan sering berganti nama, juga berasal dari tempat

atau kota lain, bukan kotanya sendiri agar tidak dikenal oleh banyak orang. Khususnya banyak

terdapat migran-migran dari daerah pedesaan yang gersang dan miskin yang pindah ke kota-kota,

mengikuti arus urbanisasi.

7)             Pelacur-pelacur profesional dari kelas rendah dan menengah kebanyakan berasal dari strata

ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka pada umumnya tidak mempunyai keterampilan/ skill

khusus, dan kurang pendidikannya. Modalnya adalah kecantikan dan kemudaannya. Pelacur

amateur, di samping bekerja sebagai buruh di pabrik, restoran, bar, toko-toko sebagai pelayan

dan di perusahaan-perusahaan sebagai sekretaris, mereka menyempatkan diri beroperasi sebagai

pelacur tunggal atau sebagai wanita panggilan.

Sedangkan pelacur dar kelas tinggi (high class prostitue) pada umumnya berpendidikan

sekolah lanjutan pertama dan atas, atau lepasan akademi dan perguruan tinggi, yang beroperasi

secara amatir atau secara profesional. Mereka itu bertingkah laku immoril karena didorong oleh

motivasi-motivasi sosial dan/ atau ekonomis.

8)             60-80% dari jumlah pelacur ini memiliki intelek yang normal. Kurang dari 5% adalah

mereka yang lemah ingatan (feeble minded). Selebihnya adalah mereka yang ada pada garis

batas, yang tidak menent atau tidak jelas derajat inteligensinya.

Pada umumnya, para langganan dari pelacur itu tidak dianggap berdosa atau

bersalah, tidak immoril, atau tidak menyimpang. Sebab perbuatan mereka itu didorong untuk
memuaskan kebutuhan seks yang vital. Yang dianggap immoril hanya pelacurnya. Namun,

bagaimanapun rendahnya kedudukan sosial pelacur karena tugasnya memberikan pelayanan seks

kepada kaum laki-laki, ada pula fungsi pelacuran yang positif sifatnya di tengah masyarakat,

yaitu sebagai berikut :

a)             Menjadi sumber pelancar dalam dunia bisnis.

b)             Menjadi sumber kesenangan bagi kaum politisi yang harus hidup berpisah dengan istri dan

keluarganya. Juga dijadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan politik tertentu.

c)             Menjadi sumber hiburan bagi kelompok dan individu mempunyai jabatan/ pekerjaan mobil,

misalnya : pedagang, sopir-sopir pengemudi, anggota tentara, pelaut, polisi, buaya-buaya seks,

playboy, pria-pria yang single tidak kawin atau yang baru bercerai, laki-laki iseng dan kesepian,

mahasiswa, anak-anak remaja dan adolesens yang ingin tahu, suami-suami yang tidak puas

dirumah, para olahragawan yang tengah di tatar di pusat latihan, pegawai negeri yang belum

sempat memboyong keluarganya di tempat kerja, pengikut-pengikut kongres, seminar, rapat

kerja, musyawarah nasional, dan seterusnya.

d)             Menjadi sumber pelayanan dan hiburan bagi orang-orang cacat, misalnya, pria yang buruk

wajah, pincang, buntung, abnormal secara seksual, para penjahat (orang kriminal) yang selalu

dikejar-kejar polisi, dan lain-lain.

2.7. Beberapa Peristiwa Penyebab Timbulnya Pelacuran

Berlangsungnya perubahan-perubahan sosial yang serba cepat dan perkembangan

yang tidak sama dalam kebudayaan, mengakibatkan ketidakmampuan banyak individu untuk

menyesuaikan diri, mengakibatkan timbulnya disharmoni, konflik-konflik eksternal dan internal,

juga disorganisasi dalam masyarakat dan dalam diri pribadi. Peristiwa-peristiwa tersebut
memudahkan individu menggunakan pola-pola respon/reaksi yang inkonvensional atau

menyimpang dari pola-pola umum yang berlaku. Dalam hal ini ada pola pelacuran, untuk

mempertahankan hidup ditengah-tengah hiruk-pikuk alam pembangunan, khususnya di

Indonesia.

Beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya pelacuran antara lain sebagai berikut.

(A)           Tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan terhadap

orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum pernikahan atau di luar pernikahan. Yang

dilarang dan diancam dengan hukuman ialah: praktik germo (Pasal 296 KUHP) dan mucikari

(Pasal 506 KUHP). KUHP 506: Barang siapa yang sebagai mucikari mengambil untung dari

perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya satu

tahun. Namun, dalam praktik sehari-hari, pekerjaan sebagai mucikari ini selalu ditoleransi,

secara konvensional dianggap sah ataupun dijadikan sumber pendapatan dan pemerasan yang

tidak resmi.

(B)          Adanya keinginan dan dorongan manusia untukk menyalurkan kebutuhan seks, khususnya

diluar ikatan perkawinan.

(C)           Komersialisasi dari seks, baik di pihak wanita maupun germo-germo dan oknum-oknum

tertentu yang memanfaatkan pelayanan seks. Jadi, seks dijadikan alat yang jamak guna

(multipurpose) untuk tujuan-tujuan komersialisasi di luar perkawinan.

(D)          Dekadensi moral, merosotnya norma-norma susila dan keagamaan pada saat-saat orang

mengenyam kesejahteraan hidup; dan ada pemutarbalikan nilai-nilai pernikahan sejati.

(E)           Semakin besarnya penghinaan orang terhadap martabat kaum wanita dan harkat manusia.

(F)            Kebudayaan eksploitasi pada zaman modern ini, khususnya mengeksploitasi kaum

lemah/wanita untuk tujuan-tujuan komersil.


(G)           Ekonomi laissez-faire menyebabkan timbulnya sistem harga berdasarkan hukum “jual dan

permintaan”, yang diterapkan pula dalam relasi seks.

(H)           Peperangan dan masa-masa kacau (dikacaukan oleh gerombolan-gerombolan pemberontak)

di dalam negeri meningkatkan jumlah pelacuran.

(I)             Adanya proyek-proyek pembangunan dan pembukaan daerah-daerah pertambangan dengan

konsentrasi kaum pria, sehingga mengakibatkan adnya ketidakseimbangan rasio dan wanita di

daerah-daerah tersebut.

(J)            Perkembangan kota-kota, daerah-daerah pelabuhan dan industri yang sangat cepat dan

menyerap banyak tenaga buruh serta pegawai pria. Juga peristiwa urbanisasi tanpa adanya jalan

keluar untuk mendapatkan kesempatan kerja terkecuali menjadi wanita P bagi anak-anak gadis.

(K)          Bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan kebudayaan setempat. Di

daerah-daerah perkotaan dan ibukota, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial yang cepat

dan radikal, sehingga masyarakatnya menjadi sangat instabil. Terjadi banyak konflik dan kurang

adanya konsensus/persetujuan mengenai norma-norma kesusilaan diantara para anggota

masyarakat. Kondisi sosial jadi terpecah-pecah sedemikian rupa, sehingga timbul satu

masyarakat yang tidak bisa diintegrasikan. Terjadilah disorganisasi sosial, sehingga

mengakibatkan breakdown/kepatahan pada kontrol sosia: Tradisi dan norma-norma susila

banyak dilanggar. Maka tidak sedikit wanita-wanita muda yang mengalami disorganisasi pribadi,

dan secara elementer bertingkah laku semau sendiri memenuhi kebutuhan seks dan kebutuhan

hidupnya dengan jalan melacurkan diri.


2.8. Motif-motif yang Melatarbelakangi Pelacuran

Isi pelacuran atau motif-motif yang melatarbelakangi tumbuhnya pelacuran pada

wanita itu beraneka ragam. Dibawah ini disebutkan beberapa motif, antara lain sebagai berikut.

1)          Adanya kecenderungan melacurkan diri pada banyak wanita untuk menghindarkan diri dari

kesulitan hidup, dan mendapatkan kesenangan melalui jalan pendek. Kurang pengertian, kurang

pendidikan, dan buta huruf, sehingga menghalalkan pelacuran.

2)          Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak terintegrasi dalam kepribadian, dan keroyalan

seks. Histeris dan hyperseks, sehingga tidak merasa puas mengadkan relasi seks dengan satu

pria/suami.

3)          Tekanan ekonomi, faktor kemiskinan, ada pertimbangan-pertimbangan ekonomis untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya, khususnya dalam usaha mendapatkan status sosial

yang lebih baik.

4)          Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan ketamakan terhadap pakaian-

pakaian indah dan perhiasan mewah. Ingin hidup bermewah-mewahan, namun malas bekerja.

5)         Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior. Jadi ada adjustment yang negatif, terutama

sekali terjadi pada masa puber dan adolesens. Ada keinginan untuk melebihi kakak, ibu sendiri,

teman putri, tante-tante atau wanita-wanita mondain lainnya.

6)           Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber pada masalah seks, yang

kemudian tercebur dalam dunia pelacuran oleh bujukan-bujukan bandit-bandit seks.

7)           Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang menekan banyak tabu dan

peraturan seks. Juga memberontak terhadap masyarakat dan norma-norma susila yang dianggap

terlalu mengekang diri anak-anak remaja mereka lebih menyukai pola seks bebas.
8)           Pada masa kanak-kanak pernah melakukan relasi seks atau suka melakukan hubungan seks

sebelum perkawinan (ada premarital sexrelation) untuk sekadar iseng atau untuk menikmati

“masa indah” di kala muda. Atau sebagai simbol keberanian dan kegagahan telah menjelajahi

dunia seks secara nyata. Selanjutnya, gadis-gadis tadi terbiasa melakukan banyak relasi seks

secara bebas dengan pemuda-pemuda sebaya, lalu terperosoklah mereka ke dalam dunia

pelacuran.

9)           Gadis-gadis dari daerah slums (perkampungan-perkampungan melarat dan kotor dengan

lingkungan yang immoril yang sejak kecilnya selalu melihat persenggamaan oramg-orang

dewasa secara kasar dan terbuka, sehingga terkondisikan mentalnya dengan tindak-tindak

asusila). Lalu menggunakan mekanisme promiskuitas/pelacuran untuk mempertahankan

hidupnya.

10)       Oleh bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo, terutama yang menjanjikan pekerjaan-pekerjaan

terhormat dengan gaji tinggi. Misalnya sebagai pelayan toko, bintang film, peragawati, dan lain-

lain. Namun pada akhirnya, gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke dalam bordil-

bordil dan rumah-rumah pelacuran.

11)       Banyaknya stimulasi seksual dalam bentuk: film-film biru, gambar-gambar porno, bacaan

cabul, gang-gang anak muda yang mempraktikkan relasi seks, dan lain-lain.

12)      Gadis-gadis pelayan toko dan pembantu rumah tangga tundukdan patuh melayani kebutuhan-

kebutuhan seks dari majikannya untuk tetap mempertahankan pekerjaannya.

13)       Penundaan perkawinan, jauh sesudah kematangan biologis, disebabkan oleh pertimbangan-

pertimbangan ekonomis dan standar hidup yang tinggi. Lebih suka melacurkan diri daripada

kawin.
14)      Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga, broken home, ayah atau ibu lari, kawin

lagi atau hidup berrsama dengan partner lain. Sehingga anak gadis merasa sangat sengsara

batinnya, tidak bahagia, memberontak, lalu menghibur diri terjun dalam diri dunia pelacuran.

15)       Mobilitas dari jabatan atau pekerjaan kaum laki-laki dan tidak sempat membawa keluarganya.

Misalnya, pekerjaan pengemudi, tentara, pelaut, pedagang, dan kaum politisi, yang

membutuhkan pelepasan bagi ketegangan otot-otot dan syarafnya dengan bermain perempuan.

16)       Adanya ambisi-ambisi besar pada diri wanita untuk mendapatkan status sosial yang tinggi,

dengan jalan yang mudah tanpa kerja berat, tanpa suatu skill atau keterampilan khusus.

17)       Adanya anggapan bahwa wanita memang dibutuhkan dalam macam-macam permainan cinta,

baik sebagai iseng belaka maupun sebagai tujuan-tujuan dagang.

18)       Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan/skill, tidak memerlukan inteligensi

tinggi, mudah dikerjakan asal orang yang bersangkutan memiliki kecantikan, kemudaan, dan

keberanian. Tidak hanya orang-orang normal, wanita-wanita yang agak lemah ingatan pun bisa

melakukan pekerjaan ini.

19)       Anak-anak gadis dan wanita-wanita muda yang kecanduan obat bius (hash-hish, ganja, morfin,

heroin, candu, likeur/minuman dengan kadar alkohol tinggi, dan lain-lain) banyak menjadi

pelacur untuk mendapatkan uang pembeli obat-obatan tersebut.

20)       Oleh pengalaman-pengalaman traumatis (luka jiwa) dan shock mental misalnya gagal dalam

bercinta atau perkawinan dimadu, ditipu, sehingga muncul kematangan seks yang terlalu dini dan

abnormalitas seks. Contoh: seorang gadis cilik yang pernah diperkosa kesuciannya oleh laki-laki,

menjadi terlalu cepat matang secara seksual ataupun menjadi patah hati dan penuh dendam

kesumat, lalu menerjunkan diri dalam dunia pelacuran.


21)       Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun terlebih dahulu dalam dunia

pelacuran.

22)       Ada kebutuhan seks yang normal, akan tetapi tidak dipuaskan oleh pihak suami. Misalnya

karena suami impoten, lama menderita sakit, banyak istri-istri lain sehingga sang suami jarang

mendatangi istri yang bersangkutan, lama bertugas dii tempat yang jauh, dan lain-lain.

Sedang sebab-sebab timbulnya prostitusi di pihak pria antara lain ialah sebagai berikut.

A. Nafsu kelamin laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan seks tanpa satu ikatan.

B. Rasa iseng dan ingin mendapatkan pengalaman relasi seks diluar ikatan perkawinan. Ingin

mencari variasi dalam relasi seks.

C. Istri sedang berhalangan haid, mengandung tua atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga

tidak mampumelakukan relasi seks dengan suaminya.

D. Istri menjadi gila.

E. Ditugaskan di tempat jauh, pindah kerja atau didetasir di tempat lain, dan belum sempat atau

tidak dapat memboyong keluarga.

F.Cacat jasmani, sehingga merasa malu untuk kawin; lalu menyalurkan kebutuhan-kebutuhan

seksnya dengan wanita-wanita pelacur. Misalnya, karena bongkok, buruk muka, pincang

buntung lengan, dan lain-lain.

G. Karena profesinya sebagai penjahat, sehingga tidak termungkinkan membina keluarga.

H. Tidak mendapatkan kepuasan dalam penyaluran kebutuhan seks, dengan partner atau istrinya.

I. Tidak perlu bertanggung jawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis.

Misalnya, tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membina rumah tangga dan
menjamin kehidupan istri. Namun bisa bersenang-senang dalam lautan asmara dengan macam-

macam wanita.

Ada beragam alasan mengapa orang bisa terlibat dalam tindakan prostitusi ini. Santi

misalnya (bukan nama asli). Dia adalah seorang mahasiswi di salah satu Universitas Swasta di

Medan. Saat ini ia berusia 21 tahun. Dia terlahir sebagai anak pertama dari tiga bersaudara.

Ayahnya bekerja sebagai tukang becak mesin sedangkan ibunya sebagai pembantu rumah

tangga.

Alasan Santi melakukan pekerjaan ini adalah kesulitan keuangan yang di alami

keluarganya dan beberapa faktor lain sebagai penyebabnya yaitu ayahnya yang jarang sekali

memberi uang belanja kepada ibunya dan juga kelakuan ayahnya yang suka mabuk-mabukaan

serta sering bermain dengan perempuan lain. Ketika Santi duduk di bangku kelas 3 SMA, uang

sekolahnya sudah nunggak selama 3 bulan karena gaji ibunya tidak mencukupi untuk memenuhi

kebutuhan mereka sementara ayahnya jarang pulang ke rumah dan jarang pula memberi uang.

Sewaktu jam istirahat di sekolahnya, Santi bercerita kepada temannya tentang masalah

yang sedang ia alami itu. Kemudian, temannya yang ternyata sudah sering melakukan hubungan

seks mengajak Santi untuk bekerja dengan dia. Hingga suatu hari Santi diperkenalkan dengan

seorang Lelaki yang kira-kira usianya 30 tahunan, itulah pertama kalinya Santi memberikan

kesuciannya atau kehilangan keperawanannya. Pada saat itu santi di bayar sekitar 5 juta rupiah

oleh lelaki itu, tetapi Santi hanya menerima 3 juta rupiah, 2 jutanya lagi diambil sama temannya

yang memberi dia pekerjaan itu karena dianggap sebagai bayar jasa. Semenjak itu lah Santi

sering ditawarkan kepada “om-om” oleh temannya itu. Dari hasil pekerjaan itu pula dia mampu
membayar uang sekolahnya bahkan membiayai sekolah adiknya. Tapi hal ini tidak diketahui

oleh orang tua Santi karena orang tuanya mengetahui kalau dia bekerja di sebuah mall.

Hingga sampai saat ini, Santi mampu kuliah karena uang yang di hasilkannya dari

pekerjaannya itu. Dikampus pun teman-teman Santi yang mengetahui pekerjaannya hanya

beberapa orang saja. Santi jarang nongkrong-nongkrong untuk mencari pelanggan, biasanya

temannya yang memberi tahu dia kalau ada pelanggan. Namun sekali-sekali ia juga mau berdiri

di pinggir jalan sambil menunggu pelanggannya. Santi juga sering melayani orang-orang yang

baru dikenalnya lewat akun facebook samarannya, dari situ dia juga sering mendapat pelanggan.

Tarif yang diterimanya pun tidak menentu, kadang ada yang mau memberi banyak namun ada

pula yang memberi sedikit yaitu sekitar 200 ribu hingga 1 juta rupiah. Jadi, kira-kira dalam

sebulan Santi memperoleh pedapatan 2 juta rupiah. Biasanya dalam sehari Santi melayani 2

orang laki-laki paling sedikit, ia juga pernah melayani 4 laki-laki dalam sehari dan itu biasanya

hari sabtu dan minggu karena Santi tidak ke kampus pada hari itu.

Pada saat ditanya apakah ada keinginan untuk berhenti dari pekerjaan ini, Santi

menjawab kalau dari lubuk hatinya paling dalam dia ingin berhenti menggeluti pekerjaan ini

ketika dia telah menyelesaikan kuliahnya.

Berbeda dengan Santi yang sedang menempuh pendidikan di bangku kuliah, Risma

(bukan nama asli) adalah wanita yang benar-benar berprofesi sebagai pekerja seks komersial

(PSK). Saat ini ia berusia 27 tahun. Alasan dia menggeluti pekerjaan ini adalah karena faktor

ekonomi. Dia memulai pekerjaan ini sejak menikah dengan seorang lelaki dan itupun tidak sah

menurut hukum karena mereka hanya menikah siri dan mereka tinggal bersama di sebuah kos-

kosan tanpa sepengetahuan orang tuanya.


Risma melayani siapa saja pelanggan yang ingin dilayani olehnya. Dia juga

mempunyai komunitas sesama PSK yang biasanya nongkrong di Jalan Bunga Terompet di

Medan. Proses transaksinya dibuat seperti daftar nama-nama PSK dengan harga pada setiap

orderan. Tarifnya sekitar 100rb rupiah hingga 1 juta rupiah selama pelanggan sanggup dalam

satu babak. Mereka tidak memakai alat kontrasepsi karena mereka risih atau tidak nyaman

dengan memakai alat itu.

Bagi Risma virginitas itu tidak berarti lagi karena ia juga telah menikah bahkan

suaminya sendiri yang menyuruh dia melakukan pekerjaan itu. “Sebenarnya saya berkeinginan

untuk berhenti dari pekerjaan ini dan berharap suami saya juga mau bekerja untuk memenuhi

kebutuhan keluarga kami sehingga saya bisa keluar dari pekerjaan yang maksiat ini,” tungkas

Risma.

Sejauh ini Risma tidak mengalami adanya gejala sakit yang berat karena profesinya

ini berhubung ia juga terbilang baru menggelutinya. Gejalanya hanya terkadang lelah dan nyeri

di daerah vaginanya. Sampai saat ini, orang tua Risma tidak mengetahui tentang profesi dan

status yang telah menikah siri. Orang tuanya hanya mengetahui bahwa ia berada di Medan ini

untuk merantau dan masih lajang.

Tabloid Mahasiswa Suara USU edisi 49 Desember 2005 silam juga pernah

membahas masalah “Prostitusi ala Mahasiswa USU”. Rin (inisial) masuk di USU tahun 2003.

Rin adalah seorang mahasiswi yang terjun ke profesi ini melalui temannya. Ia memulainya pada

tahun 2004, tepatnya bulan Febuari.

Yang melatarbelakangi Rin melakukan pekerjaan ini memang karena ingin

mencari kesenangan saja. Apalagi Rin sudah tidak perawan saat ia masih di bangku SMA

karena pergaulan bebas. Uang bulanan yang dikirim oleh orang tua Rin diakuinya sebenarnya
masih cukup untuk memenuhi kebutuhan sebulan ditambah belanja kebutuhan lainnya tetapi buat

ganti handphone setiap bulannya tidak cukup. Hal ini karena pengaruh dari pergaulan dan rasa

gengsi terhadap kawan yang ingin selalu memiliki barang-barang mewah. Pertamanya Rin hanya

coba-coba saja namun karena dia melihat teman-temannya enjoy aja melakukan itu semua

sehingga dia pikir tidak ada yang salah dengan apa yang dia lakukan.

Rin bekerja sendiri tanpa bergabung dalam sebuah komunitas, karena di dalam

komunitas itu sendiri, menurut dia malah akan saling ejek-mengejek. Biasanya Rin melayani

laki-laki yang berduit dengan umur 27 tahun ke atas. Ada yang masih lajang atau bahkan om-om.

Rin menolak bermain dengan mahasisiwa karena tidak mempunyai duit yang banyak, kalaupun

main dengan mahasiswa kebanyakan yang sudah tau dan dekat dengannya biasanya dari

Pertanian dan Teknik.

Rin biasanya nongkrong di Warkop Harapan Ujung, di sekitar kampus biasanya

tempat-tempat makan di Jalan Dr Mansyur. Tapi kalau sama yang kaya biasanya nongkrong di

kafe atau restoran kelas atas. Proses transaksi bisa lewat Handphone atau ketemu langsung

ditempat nongkrong. Kalau sudah kenal tinggal pasang tarif, tetapi jika belum kenalan biasanya

ngobrol-ngobrol dulu sambil sedikit sentuhan kemesraan buat menggoda calon pelanggannya itu.

Masalah tarif biasanya Rin sesuai dengan pelanggan. Kalau ketemu ditempat yang mahal dengan

begitu tarif juga mahal, biasanya diatas lima ratus ribu rupiah. Rin memasang tarif yang berbeda

antara pelanggan baru dan pelanggan lama.

2.9. AKIBAT-AKIBAT PELACURAN

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran adalah sebagai berikut:


1)             Menimbulkan dan menyebarluaska penyakit kelamin dan kulit. Penyakit yang paling banyak

terdapat adalah syphilis dan gonorrhoe (kencig nanah), terutama akibat syphilis, apabila tidak

mendapatkan pengobatan yang sempurna , bisa menimbulkan cacat jasmani dan rohani pada diri

sendiri dan anak keturunan. Antara lain ialah:

              Congenital syphilis (sipilis herediter/keturunan), yang menyerang bayi yang masih dalam

kandungan, sehingga terjadi abortus/keguguran atau bayi lahir mati. Jika bayi bisa lahir biasanya

kurang bobot, kurang darah, tuli, buta, kurang intelegensinya, defekt (rusak cacat) mental dan

defekt jasmani lainnya.

             Syphilitic amentia, yang mengakibatkan rusak ringan, retardasi atau lemah ingatan dan

imbisilitas. Sedangkan yang berat bisa mengakibatkan serangan epilepsi atau ayan, kelumpuhan

sebagian dan kelumpuhan total, bisa jadi idiot psikotik, atau menurunkan anak-anak idiocy.

             Gonorrhea (kencing nanah) disebabkan oleh bakteri Neisseria gonorrhoeae yang

menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata

(konjungtiva). Penis akan mengeluarkan nanah berwarna putih kuning atau putih kehijauan.

Gonorrhea bisa menyebar melalui aliran darah kebagian tubuh lainnya, terutama kulit dan

persendian.

             Herpes, lebih dikenal dengan sebutan herpes genitalis (herpes kelaim). Penyebab herpes ini

adalah Virus Herpes Simplex (HSV) dan di tularkan melalui hubungan seks, baik vaginal, anal

atau oral yang menimbulkan luka atau lecet pada kelamin dan mengenai langsung bagian

luka/bintil/kutil.

             Klamidia, mempunyai gejala mirip gonore, penyakit ini dapat menyebabkan artritis parah

dan kemandulan pada pria. Disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis. Infeksi ini biasanya
kronis, karena sebanyak 70% perempuan pada awalnya tidak merasakan gejala apapun sehingga

tidak memeriksakan diri.

             Kutil kelamin, disebabkan oleh Human Papiloma Virus.Gejala yang ditimbulkan : tonjolan

kulit seperti kutil besar disekitar alat kelamin (seperti jengger ayam). Komplikasi yang mungkin

terjadi : kutil dapat membesar seperti tumor; bisa berubah menjadi kanker mulut rahim;

meningkatkan resiko tertular HIV-AIDS. 

             Hepatitis B, disebabkan oleh hubungan seks yang tidak aman. Hepatitis B dapat berlanjut ke

sirosis hati atau kanker hati.

2)           HIV-AIDS, sejenis virus yang menyebabkan AIDS. Virus ini menyerang sel darah putih

manusia yang merupakan bagian paling penting dalam system kekebalan tubuh. AIDS atau

Acquired Immuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan gejala-gejala akibat menurunnya

sistem kekebalan tubuh. Hampir tidak ada gejala yang muncul pada awal terinfeksi HIV. Tetapi

ketika berkembang menjadi AIDS, maka orang tersebut perlahan-lahan akan kehilangan

kekebalan tubuhnya sehingga mudah terserang penyakit dan tubuh akan melemah.

Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga. Suami-suami yang tergoda oleh pelacur biasanya

melupakan fungsinya sebagai kepala keluarga, sehingga keluarga menjadi berantakan.

3)           Mendemoralisasi atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada lingkungan khususnya

anak-anak muda remaja pada masa puber dan adolesensi.

4)           Berkolerasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika (ganja, heroin, morfin,

dan lain-lain)

5)          Merusak sendi-sendi moral, susila hukum,dan agama. Terutama sekali menggoyahkan norma

perkawinan, sehingga menyimpang dari adat kebiasaan, norma hukum, dan agama, karena

digantikan dengan pola pelacuran dan promiskuitas, yaitu digantikan dengan pola pemuasan
kebutuhan seks dan kenikmatan seks yang awut-awutan, murah serta tidak bertanggung jawab.

Bila pola pelacuran ini telah membudaya, maka rusaklah sendi-sendi kehidupan yang sehat.

6)          Adanya peneksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada umumnya wanita-wanita pelacur itu

cuma menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena

sebagian besar harus diberikan kepada germo, calo-calo, centeng-centeng, pelindung, dan lain-

lain. Dengan kata lain, ada sekelompok benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur

ini.

7)           Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya: impotensi, anorgasme,

nymphomania, satyriasis, ejakulasi premature yaitu pembuangan sperma sebelum zakar

melakukan penetrasi dalam vagina atau liang sanggama, dan lain-lain.

2.10.        Jenis Prostitusi dan Lokalisasi

Jenis prostitusi dapat dibagi menurut aktivitasnya yaitu terdaftar dan terorganisasi,

dan yang tidak terdaftar :

a)             Prostitusi yang terdaftar

Pelakunya diawasi oleh bagian Vice Control dari Kepolisian, yang dibantu dan bekerja sama

dengan Jawatan Sosial dan Jawatan Kesehatan. Pada umumnya mereka dilokalisasi dalam satu

daerah tertentu.

b)             Prostitusi yang tidak terdaftar

Termasuk dalam kelompok ini ialah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap-gelapan dan

liar, baik secara perorangan maupun dalam kelompok. Perbuatannya tidak terorganisasi,

tempatnya pun tidak tertentu. Mereka tidak mencatatkan diri kepada yang berwajib.
Kompleks pelacuran yang terdaftar dan teratur dengan rapi di Indonesia ialah Silir,

yang terletak di pinggiran kota Solo sebelah Timur. Bagi pengunjungnya disediakan karcis

masuk, dan semua kendaraan harus diparkirkan di sebelah luar.

Daerah Wonogiri yang secara geofisik sangat miskin gersang dan kering pada musim

pecekik menjadi supplayer/penghasil wanita tunasusila dan penghuni Silir paling banyak. Maka

prostitusi dianggap sebagai “obat mujarab” untuk memerangi kemiskinan dan perut yang lapar.

Menurut jumlahnya, prostitusi dapat dibagi menjadi :

1)             Prostitusi yang beroperasi secara individual merupakan single operator

2)             Prostitusi yang bekerja dengan bantuan organisasi dan sindikat yang teratur rapi akan diatur

melalui satu system kerja suatu organisasi

Sedangkan menurut tempat penggolongannya atau lokasinya, prostitusi dapat dibagi

menjadi :

1)             Segregasi atau lokalisasi, yang terisolasi atau terpisah dari kompleks penduduk lainnya.

Kompleks ini dikenal sebagai daerah lampu merah, atau petak-petak daerah tertutup

2)             Rumah-rumah panggilan (call houses, tempat rendezvous, parlour)

3)             Di balik front organisasi atau di balik bisnis-bisnis terhormat.

Lokalisasi itu pada umumnya terdiri atas rumah-rumah kecil yang berlampu merah,

yang dikelola oleh mucikari atau germo. Di luar negri, germo mendapt sebutan “madam”, sedang

di Indonesia mereka biasa dipanggil dengan sebutan “mama” atau “mamy”. Di tempat tersebut

disediakan segala perlengkapan, tempat tidur, kursi tamu, pakaian, dan alat berhias. Disiplin di

tempat-tempat lokalisasi tersebut diterapkan dengan ketat. Wanita-wanita pelacur itu harus

membayar pajak rumah dan pajak obat-obatan, sekaligus juga uang keamanan agar mereka

terlindungi dan terjamin identitasnya.


Tujuan dari lokalisasi ialah :

1)             Untuk menjauhkan masyarakat umum dari pengaruh-pengaruh immoral dari praktik

pelacuran

2)             Memudahkan pengawasan para wanita tunasusila, terutama mengenai kesehatan dan

keamanannya. Memudahkan tindakan preventif dan kuratif terhadap penyakit kelamin

3)             Mencegah pemerasan yang keterlaluan terhadap para pelacur

4)             Memudahkan bimbingan mental bagi para pelacur, dalam usaha rehabilitasi dan

resosialisasi. Khususnya diberikan pelajaran agama guna memperkuat iman, agar bias tabah

dalam penderitaan

5)             Kalau mungkin diusahakan pasangan hidup bagi para wanita tunasusila yang bener-bener

bertanggung jawab, dan mampu membawanya ke jalan benar. Usaha ini bisa mendukung

program pemerataan penduduk dan memperluas kesempatan kerja di daerah baru

Suasana dalam kompleks lokalisasi wanita pelacur itu sangat kompetitif, khususnya

dalam bentuk persaingan memperebutkan langganan. Apa yang disebut sebagai rumah pangilan

atau call houses ialah rumah biasa di tengah kampong atau lingkungan penduduk baik-baik,

dengan organisasi yang teratur rapi dalam bentuk sidikat yang secara gelap menyediakan

macam-macam tipe wanita pelacur. Keadaan rumahnya tidak menyolok, agak tersembunyi atau

anonim. Gadis-gadis yang diperlukan dipanggil melalui telepon atau dijemput dengan kendaraan

khusus milik organisasi, disebut pula sebagai call-girls. Mereka itu pada umumnya melakukan

relasi seks klandestin/gelap sebagai part time job atau pekerjaan sambilan.

Ringkasnya, pelacuran itu tumbuh dengan pesatnya di kota-kota yang tengah

berkembang. Semakin besar kebutuhan kaum pria akan pemuasan dorongan-dorongan seksnya
sebagai kompensasi dari kegiatan kerjanya setiap hari untuk melepaskan segenap ketegangan,

semakin pesat pula bertumbuhan pusat-pusat pelacuran di kota-kota dan ibu kota.

2.11.        Reaksi Sosial

Kenyataan membuktikan, bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas

menyebar prostitusi tersebut. Sikap reaktif dari masyarakat luas attau reaksi sosialnya bergantung

pada empat faktor, yaitu :

a.              Derajat penampakan /visibilitas tingkah laku

b.             Besarnya pengaruh yang mendemoralisasi lingkungan sekitarnya

c.              Kronis tidaknya kompleks tersebut menjadi sumber penyakit kotor syphilis dan gonorrhe,

dan penyebab terjadinya abortus serta kematian bayi-bayi

d.             Pola kultural: adat-istiadat, norma-norma susila dan agama yang menentang pelacuran, yang

sifatnya represif dan memaksakan

Reaksi sosial itu bisa bersifat menolak sama sekali dan mengutuk keras serta

memberikan hukuman berat sampai pada sikap netral, masa bodoh dan acuh tak acuh serta

menerima dengan baik.

Apabila deviasi atau penyimpangan tingkah laku berlangsung terus-menerus dan

jumlah pelacuran menjadi semakin banyak menjadi kelompok-kelompok deviant dengan tingkah

lakunya yang menyolok, maka terjadilah perubahan pada sikap dan organisasi masyarakat

terhadap prostitusi. Tingkah laku seksual immoral yang semula dianggap noda bagi kehidupan

normal dan mengganggu system yang sudah ada, mulai diterima sebagai gejala yang wajar. Yang

semula ditolak umum, kemudian diintegrasikan menjadi bagian dari kebudayaan masyarakat,

demikian pula halnya dengan gejala pelacuran ini.


2.12.   Fungsi dan Partisipasi Para Pelacur

Prostitusi juga mempunyai fungsinya, yaitu menjadi sumber eksploitasi bagi

kelompok-kelompok tertentu. Khususnya, mereka itu juga memberikan partisipasi sosial dan

ekonomi.

Partisipasi Sosial

Kuarang lebih 30% dari para pelacur – terutama dari kelas menengah dan kelas tinggi –

mempunyai pekerjaan sebagai kedok penutup. Pada umumnya, mereka itu membenci pekerjaan

atau malas bekerja. Mereka memberikanjasanya dalam bentuk pelayanan seks dan hiburan

pengisi waktu kosong kepada kaum laki-laki iseng. Banyak pula pelacur yang cantik-cantik dan

inteligen dipakai sebagai alat pelancar dalam dunia bisnis, politik, dan spionase.

Pelacur-pelacur kelas menengah dan kelas tinggi banyak yang kawin. Mereka itu kurang

promiscuous, karena selalu memilih langganan-langganan yang berduit banyak, biasanya

pelayanannya merupakan all night date (berkencan semalam suntuk). Ada pula yang dijadikan

gundik atau istri piaraan oleh satu atau dua orang pejabat penting, pedagang kaya atau politikus

terkenal. Biasanya mereka disimpan di daerah-daerah suburban atau di daerah peristirahatan

dengan mendapatkan rumah mewah, lengkap dengan perabot dan mobil, serta uang bulanan yang

tinggi.

Partisipasi ekonomi

Tidak sedikit sumbangan keuangan yang diberikan para pelacur itu kepada

macam-macam pihak. Khususnya, para mucikari atau madam-madam/mami-mami mendapatkan


kira-kira 1/3-1/2 dari hasil bersih para pelacur. Pihak-pihak lain yang ikut mendapatkan

keuntungan ekonomis dari para pelacur antara lain ialah pengemudi-pengemudi taksi dan

tukang-tukang becak, dokter, dan mantra-mantri kesehatan, para penegak hukum, polisi,

aborsionis,pedagang-pedagang pakaian,pemilik-pemilik hotel, pengusaha pusat-pusat hiburan,

penjual alat-alat kontraseptif, dukun-dukun bayi, dan lain-lainnya.

Juga, tidak kecil artinya dana sumbangan yang diberikan oleh para wanita

tunasusila itu kepada : gereja, usaha-usaha social, panti werda, panti asuhan yatim piatu, yayasan

rehabilitasi orang cacat jasmani dan dana-dana pembangunan dalam bentuk iuran memasuki

daerah lampu merah.

2.13.   Penyesuian Diri/Adjusment dan Maladjusment

Pelacuran itu merupakan bentuk penyimpangan sosio-psikologis; yaitu

penyimpangan disebabkan faktor-faktor sosial dan faktor-faktor psikologis. Tingkah laku

immoral dari pelacuran itu terutama sekali ditampilkan oleh simptom-simptom instabilitas

jiwanya. Keengganannya bekerja itu identik dengan kemalasan yang abnormal, ketidak acuhan

dan “ndableg” tanpa perasaan susila pada dirinya, bisa disamakan dengan gejala schizophrenia

atau oligofrenia.

Sikap umum para pelacur yang muda-muda biasanya sadar dan merasa malu

terhadap pekerjaan yang immoral itu. Khusunya perasaan demikian ada pada gadis-gadis uang

masih baru, belum lama melakukan pekerjaan pelacuran, yaitu dengan pengalaman-pengalaman

inisiasi prostitusi. Akan tetapi, sekali mereka sudah terjun dalam profesi prostitusi, maka

segeralah berlangsung proses disosialisasi dan rasionalisasi yang mengalahkan semua

pertimbangan rasional dan larangan hati nurani dan menundukkan segenap pertentangan/konflik
batin. Pekerjaan melacurkan diri itu pada akhirnya menjadi pola kebiasaan, tanpa perasaan, tanpa

afeksi, bahkan hamper-hampir tidak disadari lagi wanita yang bersangkutan secara total bisa

menyesuiakan diri pada pekerjaan yang baru.

Marginal pada prostitusi.

Sekitar usia 30 tahun itulah banyak timbul konflik pada diri para pelacur. Bila pekerjaan

memperdagangkan seks itu dilanjutkan, maka badan pasti sudah tidak kuat lagi, dan kecantikan

sudah mulai memudar, sehingga penghasilan pun menjadi sangat berkurang, sehingga mutlak

perlu mereka itu berhenti bekerja dan melalui hidup yang bersih. Sebaliknya, apabila pekerjaan

itu dihentikan, maka dirinya dihantui oleh bayangan kemiskinan, kelaparan dan penderitaan.

Terjadilah konflik-konflik batin yang serius, sehingga tidak jarang menjelma menjadi gangguan

mental. Mereka itulah yang dimasukkan dalam kelompok prostitusi marginal.

Selanjutnya, jenis wanita-wanita yang pandai bercumbu rayu dan menggaet laki-laki

berduit untuk menguras saku dan kekayaannya, nemun tidak bersedia melakukan hubungan seks,

sangat dibenci oleh para pelacur dan anggota-anggota masyarakat pada umumnya. Wanita-

wanita demikianlah sebagai “lintah-lintah penyadap darah” yang tidak pernah kenyang,

melengket terus-menerus pada tubuh korbannya.

Gejala khas yang sangat menyolok pada pelacur-pelacur umumnya ialah : mereka itu

cepat tua dan layu. Adapun sebab-sebabnya ialah sebagai berikut :

1)             Mempunyai kebiasaan-kebiasaan buruk

2)             Badan menjadi lemah dan lemas, Karena bekerja lewat batas

3)             Bergaul dengan banyak laki-laki kasar sehingga badannya dimanipulasi serta diremas-remas

dengan kasr, dan dieksploisasi dengan hebat


4)             Sering , mendapat penyakit kotor dan terkena infeksi parah, serta beberapa kali mengalami

keguguran

5)             Banyak minum obat-obatan untuk menjaga kesehatan dan minum-minuman keras sehingga

tidak sedikit dari mereka itu menjadi amndul tidak bisa punya anak

6)             Setelah energinya banyak terkuras dan kecantikannya mulai melayu, kemampuan seksualnya

juga berkurang. Maka penghasilannya juga menjadi semakin menyusut

7)             Pada usia-usia yang kritis yaitu kurang lebih 30 tahun, terjadi banyak konflik jiwa yang

sangat melelahkan lahir-batinnya. Yaitu konflik antara konsepsi diri sebagai prostitusi dan

meneruskan profesi pelacuran, melawan kebutuhan untuk berhenti dan memperbaiki cara

hidupnya

Banyak wanita tunasusila yang inteligen pada usia kritis ini lalu beralih pekerjaannya

dengan jalan memilih pekerjaan yang lebih ringan. Maka sangat malanglah nasib wanita- wanita

bekas pelacur itu apabila mereka tidak memiliki tabungan atau modal di hari-hari menjelang tua.

2.14.        Penanggulangan Prostitusi

Pada garis besarnya, usaha untuk mengatasi masalah tunasusila ini dapat dibagi

menjadi dua, Yaitu :

  Usaha yang bersifat preventif

  Tindakan yang bersifat represif dan kuratif

Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah

terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :

1)             Penyempurnaan perundang-undangan mengenai larangan atau penyelenggaraan pelacuran


2)             Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian

3)             Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi

4)             Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, disesuaikan dengan kodrat dan bakatnya

5)             Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan

keluarga

6)             Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua usaha penanggulangan pelacuran yang

dilakukan oleh beberapa instansi sekaligus mengikutsertakan potensi masyarakat lokal

7)             Penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno, film-film

biru serta sarana-sarana lainnya yang merangsang nafsu seks

8)             Meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya

Sedangkan, usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk

menekan (menghapuskan, menindas) dan usaha menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaan

untuk kemudian membawa mereka ke jalan yang benar. Usaha represif dan kuratif ini antara lain

berupa :

1)             Melalui lokalisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melakukan

pengawasan/kontrol yang ketat

2)             Diusahakan melalui aktivitas rehabilitas dan resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan

sebagai warga masyarakat yang susila

3)             Penyempurnaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena razia

4)             Pemberian suntikan dan pengobatan pada interval waktu tetap

5)             Menyediakan lapangan kerja baru

6)             Mengadakan pendekatan terhadap pihak keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka

mau menerima kembali bekas-bekas wanita tunasusila itu


7)             Mencari pasangan hidup yang permanen/suami bagi para wanita tunasusila

8)             Mengikutsertakan ex-WTS (bekas wanita tuna susila) dalam usaha transmigrasi dalam

rangka pemerataan penduduk di tanah air, dan perluasan kesempatan kerja bagi kaum wanita.

BAB III PENUTUP

3.1.       Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut :

1.             Pelacuran yang merajalela sampai saat ini berkaitan dengan prostitusi, dimana prostitusi

ialah gejala kemasyarakatan di mana wanita atau pria menjual diri melakukan perbuatan-

perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.

2.             Ada banyak motif yang melatarbelakangi kegiatan pelacuran,misalnya dilakukan secara

sadar karena tekanan ekonomi, dijebak teman atau germo,ataupun akibat kelainan seks pada diri

sang pelacur dan disorganisasi kehidupan keluarga/broken home.

3.             Akibat – akibat dari pelacuran tersebut adalah maraknya penyakit menular seksual,penyakit

seks seperti HIV/AIDS yang merupakan fenomena gunung es, merusak sendi-sendi moral, susila

hukum,dan agama,berkorelasi dengan dunia narkotika dan kriminalitas, dan merusak kehidupan

generasi bangsa,karena pelacuran juga banyak dilakukan kalangan muda/generasi penerus

bangsa.
4.             Kenyataan membuktikan bahwa semakin ditekan pelacuran, maka semakin luas menyebar

prostitusi tersebut akibat jumlah pelacur semakin banyak dengan tingkah laku yang menyolok

sehingga terjadi perubahan sikap dan kebudayaan dari masyarakat terhadap prostitusi.

stigma atau noda sosial dan eksploitasi-komersialisasi seks yang semula dikutuk menjadi

diterima sebagai gejala sosial yang umum.

3.2.       Saran

Adapun saran dari makalah ini adalah bila pemerintah tidak mampu sepenuhnya

menghapuskan kegiatan pelacuran, ada beberapa saran yang dapat dilakukan untuk mengurangi

kegiatan pelacuran dan usaha menyehatkan kembali moral bangsa terutama generasi muda yang

produktif, saran tersebut antara lain penyempurnaan perundang-undangan mengenai pelacuran,

perlindungan kaum wanita tunasusila,memberikan penyuluhan seks secara benar, penyediaan

lapangan kerja, penyitaan sarana – sarana berbau porno,mengadakan kegiatan rehabilitasi dan

resosialisasi pada pelacur. Dan diatas semua saran tersebut,yang terpenting adalah

mensejahterakan kehidupan rakyat.


DAFTAR PUSTAKA

August Burns, dkk. 2000. Pemberdayaan Wanita dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta :

Yayasan Essentia Medica.

Kartono, Kartini. 2007. Patologi Sosial. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Soedjono, D. 1974. Patologi Sosial. Bandung : Alumni Bandung.

Anda mungkin juga menyukai