Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang Masalah

Pelacuran merupakan salah satu fenomena sosial dalam masyarakat yang sangat kompleks,
baik dari segi sebab-sebabnya, prosesnya maupun implikasi soasial yang ditimbulkannya.
Pelacuran dengan berbagai versinya merupakan bisnis yang abadi sepanjang zaman. Karena
disamping disebut sebagai profesi yang tertua, jasa pelacuran pada hakekatnya tetap dicari
oleh anggota masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan seksualnya. Karena itu pelacuran
memerlukan penanganan komprehensif dari berbagai pihak.

Prostitusi atau pelacuran sebagai salah satu penyakit masyarakat mempunyai sejarah yang
panjang (sejak adanya kehidupan manusia telah diatur oleh norma-norma perkawinan, sudah
ada pelacuran sebagai salah satu penyimpangan dari pada norma-norma perkawinan tersebut)
dan tidak ada habis-habisnya yang terdapat di semua negara di dunia. Walaupun prostitusi
sudah ada sejak dulu, namun masalah prostitusi yang dulu dianggap tabu atau tidak biasa.
Namun masa jaman sekarang prostitusi oleh masyarakat Indonesia dianggap menjadi sesuatu
yang biasa.
Prostitusi atau pelacuran adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual
jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial
(PSK).
Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap
tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri. Pekerjaan melacur sudah dikenal di
masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar
mereka dari masa ke masa. Pelacur (PSK) selain meresahkan juga mematikan, karena
merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa
pengaman bernama kondom.

Permasalahan lebih menjadi rumit lagi tatkala pelacuran dianggap sebagai komoditas
ekonomi (walaupun dilarang UU) yang dapat mendatangkan keuntungan finansial yang
sangat menggiurkan bagi para pebisnis. Pelacuran telah diubah dan berubah menjadi bagian
dari bisnis yang dikembangkan terus-menerus sebagai komoditas ekonomi yang paling
menguntungkan, mengingat pelacuran merupakan komoditas yang tidak akan habis terpakai.
Saat pelacuran telah dianggap sebagai salah satu komoditas ekonomi (bisnis gelap) yang
sangat menguntungkan, maka yang akan terjadi adalah persaingan antara para pemain dalam
bisnis pelacuran tersebut untuk merebut pasar.
Apabila persaingan telah mewarnai bisnis pelacuran, yang terjadi adalah bagaimana setiap
pemain bisnis pelacuran dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari para pesaingnya.
Untuk bisnis pelacuran, baik tidaknya pelayanan ditentukan oleh umur yang relatif muda,
warna kulit, status, kecantikan dan kebangsaan dari setiap wanita yang ditawarkan dalam
bisnis pelacuran tersebut. Untuk mengatasi permasalahan ini para pebisnis yang bergelut
dalam bisnis pelacuran cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai cara untuk
mendapatkan apa yang diinginkannya itu.
Salah satu cara yang digunakan adalah dengan memaksa atau melakukan pemaksaan terhadap
seseorang untuk bekerja sebagai pelacur dalam bisnis pelacurannya. Pemaksaan ini dilakukan
dengan berbagai cara antara lain, penipuan, penjeratan utang, intimidasi, penculikan dan
berbagai cara lain yang menyebabkan seseorang mau tidak mau, setuju tidak setuju harus
bekerja dalam bisnis pelacuran.
Mengingat pelacuran ini merupakan bisnis gelap maka penyelesaian dan penanganan masalah
ini semakin rumit, apalagi pelacuran merupakan bisnis perdagangan tanpa adanya barang
yang diperdagangkan dan dilakukan di tempat tertutup sehingga untuk membuktikan telah
terjadinya hal tersebut sangat sulit. Tetapi sulit tidak sama dengan mustahil, untuk itu
walaupun penanganan masalah pelacuran ini sulit kita tetap harus berusaha untuk
menyelesaikan masalah tersebut.
Namun yang lebih parahnya lagi prostitusi kini sudah merebah dikalangan pelajar (remaja)
Apalagi remaja sedang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Mereka
biasanya ingin mencoba-coba sesuatu. Mereka juga ingin dihargai di group nya (teman
sebaya).

Gaya hidup dinilai menjadi salah satu faktor utama pendorong remaja terlibat prostitusi. Gaya
hidup remaja sekarang dipengaruhi salah satunya oleh tayangan sinetron di televisi. Remaja
digambarkan sebagai sosok modern dengan segala barang yang dimilikinya. Padahal dengan
terlibat prostitusi, para remaja itu sangat rentan terinfeksi penyakit menular seperti HIV dan
AIDS.
Bukan hanya factor gaya hidup yang mempengaruhi terjadinya prostitusi dikalangan pelajar
(remaja). Prostitusi juga terjadi karena sebagian remaja tidak memahami mengapa terjadi
kehamilan, menstruasi, dan hal lain yang terkait dengan seksualitas sehingga dengan mudah
mereka tergabung dalam dunia prostitusi ini. Minimnya pengetahuan mengenai seks telah
membuat para remaja tidak memiliki penangkal dalam soal seksualitas.

Untuk menangkal agar remaja tidak terlibat prostitusi, pendidikan seksual dan kesehatan
reproduksi di sekolah menengah sangat penting. Materi yang diajarkan bukan soal hubungan
seksualnya, pasalnya di Indonesia berbicara seks masih dinilai tabu. Pendidikan seks lebih
menekan pada kesehatan seksual atau reproduksi yang baik. Serta peran orang tua juga sangat
penting. Orang tua harus mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi. Apalagi
remaja yang mulai beranjak dewasa biasanya perlu pengetahuan seks yang memadai.
Komunikasi antara anak dan orang tua harus pula terjalin. Dengan hubungan yang hangat,
biasanya akan lebih terbuka dengan persoalan yang dihadapinya. Orang tua harus belajar
mengatasi konflik yang dihadapi remaja dan mampu memberi solusinya.

BAB II
PEMBAHASAN

Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan.
Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya. Di kalangan masyarakat
Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka yang menyewakan atau menjual
tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat, namun ada pula pihak yang
menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat, tapi dibutuhkan (evil
necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa kehadiran pelacuran bisa
menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya (biasanya kaum laki-laki); tanpa
penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru akan menyerang dan memperkosa
perempuan mana saja.
Hampir di setiap media massa baik koran, majalah, dan televisi memberikan gambaran yang
nyata tentang kehidupan masyarakat khususnya tentang pelacuran atau prostitusi dengan
segala permasalahannya. Berbagai tindakan dan langkah-langkah strategis telah diambil
pemerintah dalam menangani masalah ini, baik dengan melakukan tindakan persuatif melalui
lembaga-lembaga sosial sampai menggunakan tindakan represif berupa penindakan bagi
mereka yang bergelut dalam bidang pelacuran tersebut. Tetapi kenyataan yang dihadapi
adalah pelacuran tidak dapat dihilangkan melainkan memiliki kecenderungan untuk semakin
meningkat dari waktu ke waktu.
2.1.

Faktor-faktor penyebab terjadinya prostitusi/pelacuran

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab prostitusi yaitu :


(a) Faktor internal
Faktor internal adalah yang datang dari individu wanita itu sendiri, yaitu yang berkenaan
dengan hasrat, rasa frustasi, kualitas konsep diri, dan sebagainya. Tidak sedikit dari para
pelacur ini merupakan korban perkosaan, sehingga mereka berpikir bahwa mereka sudah

kotor dan profesi sebagai pelacur merupakan satu-satunya yang pantas bagi mereka. Karena
kehidupan kelam yang mereka alami dulu membuat hati dan moral mereka terpuruk.
(b) Faktor eksternal
Faktor eksternal adalah sebab yang datang bukan secara langsung dari individu wanita itu
sendiri, melainkan karena ada faktor luar yang mempengaruhinya untuk melakukan hal yang
demikian. Faktor eksternal ini bisa berbentuk desakan kondisi ekonomi, pengaruh lingkungan,
kegagalan

kehidupan

keluarga,

kegagalan

percintaan

dan

sebagainya

Selain faktor internal dan eksternal ada beberapa peristiwa sosial penyebab timbulnya
pelacuran, antara lain:

tidak adanya undang-undang yang melarang pelacuran. Juga tidak ada larangan
terhadap orang-orang yang melakukan relasi seks sebelum atau diluar pernikahan. Hal
ini semakin memperbanyak jumlah pelacur, karena tidak adanya sanksi yang tegas
yang perlu mereka takuti.

merosotnya norma-norma susila dan keagamaan . Masyarakat sekarang sudah bersifat


acuh tak acuh dan cenderung cuek sehingga mereka hanya mengurusi kehidupan
pribadi tanpa memperdulikan norma-norma susila dan keagamaan dalam masyarakat.

bertemunya macam-macam kebudayaan asing dan kebudayaan-kebudayaan setempat.


Hal ini tidak terlepas dari asimilasi kebudayaan, dimana kebudayaan Barat membuat
norma-norma susila dan keagamaan semakin merosot.

(c) Faktor Ekonomi.


Kebutuhan yang semakin lama semakin mendesak bisa saja seseorang me-lakukan suatu
perbuatan yang nekat, oleh sebab itu seseorang menjadi pelacur itu dikarenakan oleh adanya
tekanan ekonomi, yaitu kemiskinan yang dirasakan terus menerus dan adanya kesenjangan
penumpukan kekayaan pada golongan atas dan terjadinya kemelaratan pada golongan bawah
bagi pengusaha rumah pelacuran mencari-cari wanita-wanita pelacur dari kelas melarat
karena kebanyakan wanita tuna susila kebanyakan berasal dari keluarga miskin dengan
pendidikan rendah.

(d) Faktor Sosiologis


Dengan terjadinya perubahan dan perkembangan sosial-budaya yang cepat mengakibatkan
ketidakmampuan banyak individu untuk menyesuaikan diri. Misal, bertemunya bermacammacam kebudayaan asing dan kebudayaan setempat meng-akibatkan terjadi perubahanperubahan kehidupan yang cepat sehingga masyarakat menjadi labil, banyak konflik budaya,
kurang adanya kompromi mengenai norma-norma kesusilaan antar anggota masyarakat.
Dengan kelemahan norma, motivasi jahat, adanya kesempatan, dan lingkungan sosial yang
hiterogen dapat dijadikan alasan orang untuk menjadi pelacur. Mereka tidak peduli pada
reaksi sosial yang dapat berupa kekaguman, pujian, hormat pesona, simpati, sikap acuh tak
acuh, cemburu, iri hati, ketakutan penolakan, kemurkaan, hukuman, kebencian, kemarah-an,
dan tindakan-tindakan konkrit lainnya.
(e) Faktor Psikologis
Faktor psikkologis memainkan peranan penting yang menyebabkan seorang wanita
melacurkan diri. Kegagalan-kegagalan dalam hidup individu karena tidak terpuaskan dengan
kebutuhan baik biologis maupun sosial dapat menimbulan efek psikologis sehingga
mengakibatkan situasi krisis pada diri individu tersebut. Dalam keadaan krisis ini akan
memudahkan timbul konflik batin, yang sadar atau tidak sadar mereka akan mencari jalan
keluar dari kesulitan-kesulitan. Dalam keadaan demikian, orang akan mudah terpengaruh ke
jalan yang sesat apabila orang itu dalam keadaan jiwa yang labil. Berbagai faktor internal
psikologis yang dapat menjadi penyebab wanita menjadi pelacur, antara lain moralitas yang
rendah dan kurang berkembang (misalnya kurang dapat membedakan baik buruk, benar salah,
boleh tidak), kepribadian yang lemah dan mudah terpengaruh, dan kebanyakan para pelacur
memiliki tingkat kecerdasan yang rendah.
Sejalan dengan pendapat Kartini Kartono, bahwa pelacuran tidak hanya timbul disebabkan
dari pihak perempuan saja, tetapi juga oleh sebab-sebab dari pihak laki-laki, antara lain:
1. Nafsu birahi laki-laki untuk menyalurkan kebutuhan dan kepuasan seks tanpa ikatan
apapun.

2. Rasa iseng laki-laki yang ingin mendapat pengalaman reaksi seks di luar ikatan
perkawinan, ingin mencari varisi dalam reaksi seks.
3. Istri sedang haid, hamil tua, atau lama sekali mengidap penyakit, sehingga tidak
mampu melakukan reaksi seks dengan suaminya.
4. Istri menjadi gila atau cacat jasmaniah, sehingga merasa malu untuk kawin lalu
menyalurkan kebutuhan-kebutuhan seksnya dengan wanita-wanita pelacur, misalnya
karena bongkok, buruk rupa, pincang dan lain sebagainya.
5. Bertugas di tempat yang jauh, pindah kerja atau ditugaskan di tempat yang lain yang
belum sempat atau tidak dapat memboyong keluarga.
6. Karena berprofesi sebagai penjahat sehingga tidak memungkinkan berumah tangga.
7. Tidak mendapat kepuasan kebutuhan seks dengan patner atau istrinya.
8. Tidak bertanggungjawab atau akibat relasi seks dan dirasakan sebagai lebih ekonomis,
misalnya tidak perlu memelihara anak keturunan, tidak perlu membiayai rumah tangga
dan tidak perlu menjamin kebutuhan istri.
Faktor-faktor sebagaimana tersebut di atas akan menjadi penyebab yang kompleks. Hal ini
yang secara langsung ataupun tidak langsung akan memelihara dan mempengaruhi
keberadaan drama pelacuran yang tidak berkesudahan, dari masa ke masa, dan di mana saja
belahan muka bumi ini, sepanjang manusia itu masih ada maka pelacuran pasti ada.
2.2.

Akibat adanya pelacuran

Akibat yang timbul dari aktivitas pelacuran dapat bersifat negatif maupun positif. Akibat negatif
jauh lebih banyak daripada akibat positinya. Akibat negatif, yaitu akibat yang menimbulkan dan
menyebarluaskan bermacam-macam penyakit kotor dan menular yang sangat berbahaya, yakni
penyakit akibat hubungan kelamin atau penyakit hubungan seksual (PHS).

Dalam bidang moral, susila, hukum dan agama, pekerjaan pelacuran termasuk
demoralisasi (tidak bermoral), Yang bergaul imtim dengan mereka juga demoralisasi,
karena itu masyarakat memandang rendah martabat wanita pelacur.

Pelacuran juga dapat menimbulkan kriminalitas dan kecanduan bahan nar-kotika, karena
di tempat-tempat pelacuran biasanya adalah tempat berkumpulnya para penjahat
professional yang berbahaya dan orang-orang yang sedang ber-masalah dengan keluarga
atau masalah yang lain.

Selain di bidang kesehatan dan moral, pelacuran dapat juga mengakibatkan eksploitasi
manusia oleh manusia yang lain, karena umumnya wanita-wanita pelacur itu hanya
menerima upah sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya. Sebagian
besar pendapatannya harus diberikan kepada germo, para calo, centeng, dan sebagainya.
Apabila dilihat dari akibat berbahayanya, gejala pelacuran merupakan gejala sosial yang
harus ditanggulangi, sekalipun masyarakat menyadari bahwa sejarah membuktikan sangat
sulit memberntas dan menang-gulangi masalah pelacuran, karena ternyata makin banyak
tipe-tipe pelacuran yang ada dalam masyarakat.

Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga


Dengan adanya wanita tuna susila akan mengakibatkan sendi-sendi dalam keluarga
rusak. Semakin banyak pengguna akan semakin memperbanyak jumlah WTS ini, dan
akan menular ke masyarakat luas.

Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan agama


Dengan meluasnya prostitusi akan merusak sendi-sendi moral, susila, hukum dan
agama . Karena pada dasarnya prostitusi bertentangan dengan norma moral, susila,
hukum dan agama

Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan-bahan narkotika dan minuman


keras
Prostitusi sangat berkaitan erat dengan minuman keras dan narkotika. Minuman keras
dan narkotika akan digunakan sebagai doping dalam hubungan seksual

Menimbulkan dan menyebarluaskan penyakit kelamin dan kulit.


Adapun penyakit yang ditimbulkan dari perilaku prostitusi ini ialah HIV Aids, HIV
Aids sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Agar virus ini tidak merambat terlalu
jauh perlu adanya pencegahan yaitu dengan mempersempit jaringan prostitusi ini .
2.3. Cara menanggulangi pelacuran

Usaha-usaha dalam penanggulangan terhadap pelacuran harus segera di-lakukan sebab kalau
tidak segera dilakukan, maka gejala dan penyakit sosial ini lama kelamaan dipandang oleh
masyarakat sebagai hal yang wajar dan normal. Dengan adanya pandangan seperti itu berarti
bahwa masyarakat mulai jenuh dalam menghadapi segala permasalahan yang berhubungan
dengan pelacuran. Dengan demikian, apabila masyarakat mulai jenuh, maka usaha-usaha
penanggulangan ter-hadap pelacuran akan mengalami banyak hambatan, padahal akibat8

akibat adanya pelacuran sangat membahayakan dan meresahkan masyarakat dan generasi
anak-anak di masa mendatang.
Usaha-usaha dalam penanggulangan permasalahan wanita tuna susila atau pelacuran ialah
dengan berusaha membendung dan mengurangi merajalelanya tindakan pelacuran yang
membahayakan. Dalam hal ini, Dinas Sosial perlu bekerja sama dengan instansi lain yang
terkait dan tokon-tokoh masyarakat dan agama untuk mengatasi dan menanggulangi
pelacuran. Usaha-usaha untuk memberantas dan menanggulangi pelacuran dapat dilakukan
secara preventif dan represif. Usaha preventif adalah usaha untuk mencegah jangan sampai
terjadi pelacuran, sedang usaha represif adalah usaha untuk menyembuhkan para wanita tuna
susila dari ketunasusilaanya untuk kemudian dibawa ke jalan yang benar agar menyadari
perbuatan yang mereka lakukan itu adalah dilarang oleh norma agama.
Adapun usaha-usaha yang bersifat preventif untuk menanggulangi dan mengatasi pelacuran
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Intensifikasi pemberian pendidikan keagamaan dan kerohaniaan.
2. Menciptakan bermacam-macam kesibukan dan kesempatan rekreasi bagi anak-anak
usia puber untuk menyalurkan kelebihan energinya dalam aktivitas positif.
3. Memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita .
4. Penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan
rumah tangga.
5. Pembentukan badan atau tim koordinasi dari semua unsur lembaga terkait dalam
usaha penanggulangan pelacuran.
6. Memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial dengan tujuan memberikan pemahaman tentang bahaya dan akibat pelacuran.
Sementara itu, usaha-usaha yang bersifat represif untuk menanggulangi atau mengurangi
pelacuran dalam masyarakat dapat dilakukan berbagai hal, antara lain (Kartini Kartono,
1998):
1. Melalui lokasilisasi yang sering ditafsirkan sebagai legalisasi, orang melaku-kan
pengawasan atau kontrol yang ketat demi menjamin kesehatan dan ke-amanan para
pealacur dan para penikmatnya.
2. Melakukan aktivitas rehabilitasi dan resosialisasi para pelacur agar bisa di-kembalikan
sebagai warga masyarakat yang susila.

3. Penyempurnaan tempat penampungan bagi para wanita tuna susila yang ter-kena razia
disertai pembinaan sesuai minat dan bakat masing-masing.
4. Menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi
pelacuran dan mau mulai hidup baru.
5. Mengadakan pendekatan terhadap keluarga para pelacur dan masyarakat asal mereka
agar keluarga mau menerima kembali mantan wanita tuna susila itu guna mengawali
hidup baru.
6. Melaksanakan pengecekan (razia) ke tempat-tempat yang digunakan untuk perbuatan
mesum (bordil liar) dengan tindak lanjut untuk dilakukan penutupan.
2.4.

Peraturan terkait prostitusi

Adapun peraturan yang terkait dengan masalah prostitusi ini adalah Pasal 296 KUHP untuk
praktik germo dan Pasal 506 KUHP untuk muciwari : barang siapa yang sebagai mucikari
mengambil untung dari perbuatan cabul seorang perempuan, dihukum dengan hukuman
kurungan selama-lamanya satu tahun. Sedangkan untuk pelakunya sendiri belum ada
hukumannya .
Dalam menanggulangi masalah prostitusi ini sangatlah sukar dan harus melalui proses dan
waktu yang panjang, dan memerlukan pembiayaan yang besar. Usaha untuk mengatasi
masalah prostitusi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Usaha yang bersifat preventif
Usaha yang bersifat preventif diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan untuk mencegah
terjadinya pelacuran. Usaha ini antara lain berupa :

penyempurnaan

penyelenggaraan pelacuran.
pemberian pendidikan keagamaan dan kerohanian, untuk memperkuat keimanan

terhadap nilai-nilai religius dan norma kesusilaan


memperluas lapangan kerja bagi kaum wanita, diseseuaikan dengan kodrat dan

perundang-undangan

mengenai

larangan

atau

pengaturan

bakatnya, serta mendapatkan upah/gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup

setiap harinya.
penyelenggaraan pendidikan seks dan pemahaman nilai perkawinan dalam kehidupan

keluarga
penyitaan terhadap buku-buku dan majalah-majalah cabul, gambar-gambar porno,
film-film biru dan sarana-sarana lain yang merangsang nafsu seks.
10

meningkatkan kesejahteraan rakyat pada umumnya

2) Tindakan yang bersifat represif dan kuratif


Usaha yang represif dan kuratif dimaksudkan sebagai kegiatan untuk menekan dan usaha
menyembuhkan para wanita dari ketunasusilaannya untuk kemudian membawa mereka ke
jalan yang benar. Usaha tersebut antara lain berupa :

melalui lokalisasi, dengan lokalisasi masyarakat dapat melakukan pengawasan atau


kontrol yang ketat. Karena lokalisasi sendiri pada umumnya di daerah terpencil yang

jauh dari keramaian.


untuk mengurangi pelacuran, diusahakan melalui aktivitas rehabilitasi dan
resosialisasi, agar mereka bisa dikembalikan sebagai warga masyarakat yang susila.
Rehabilitasi dan resosialisasi ini dilakukan melalui: pendidikan moral dan agama,
latihanlatihan kerja dan pendidikan keterampilan agara mereka bersifat kreatif dan

produktif.
penyempunaan tempat-tempat penampungan bagi para wanita tunasusila yang terkena

razia; disertai pembinaan yang sesuai dengan bakat dan minat masing-masing.
menyediakan lapangan kerja baru bagi mereka yang bersedia meninggalkan profesi
pelacuran dan mau memulai hidup susila.

Kesimpulan
Pelacuran merupakan masalah sosial yang berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan
moral. Kondisi ini sangat mengkawatirkan terhadap masalah bagi keluarga dan generasi
muda, serta akan semakin menjalarnya penyakit kelamin. Penyakit kelamin ini terasa semakin
menjalar akhir-akhir ini karena semakin banyaknya korban penyakit HIV/AIDS yang belum
ditemukan obatnya. Pelacuran berkembang karena dorongan tekanan-tekanan sosial,
keputusasaan, kehilangan pekerjaan, pelarian bagi yang putus cinta, dan semakin banyaknya
11

orang yang menggandrunginya. Hal ini ditandai oleh adanya fasilitas lokasi secara khusus,
meski beralasan daripada berkeliaran di jalan-jalan, di stasiun kereta api, di sekitar kantor
polisi, atau di tempat-tempat umum yang terlihat sepi. Pada masa sekarang angin pelacuran
semakin bias dengan penyebutan nama dengan pekerja seks komersil (PSK) dibanding wanita
tuna susila (WTS). Dari adanya nama ini, pelacur atau WTS yang terkesan suatu
penyimpangan perilaku, berubah pada posisi yang lebih baik kalo tidak bisa dibilang lebih
terhormat dengan sebutan PSK. Sebutan PSK memposisikan mereka sebagai bagian dari salah
satu profesi dalam masyarakat. Bila nilai-nilai moral dan keterlanjuran itu semakin terpatri
dalam jiwa para pelaku ditambah adanya anggapan bahwa pekerjaan PSK mudah dilakukan,
tidak memerlukan keterampilan khusus, dan banyak mendatangkan uang dengan mudah,
maka perkembangan pelacuran semakin sulit diberantas. Meski mereka ditangkap dan
diberikan keterampilan suatu usaha, maka setelah menjalani hukuman, mereka akan kembali
kepada kegiatan pelacuran
Prostitusi merupakan penyakit masyarakat yang sangat meresahkan dan diperlukan
penanganan khusus. Prostitusi ini sangat sulit dihilangkan karena sudah ada sejak zaman
dahulu. Ada dua faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi pelacur yaitu faktor
internal dan eksternal. Belum adanya undang-undang yang mengatur tentang perbuatan
perzinaan semakin meningkatkan jumlah prostitusi ini. Terlebih kebijakan pemerintah yang
terlalu longgar terhadap pihak-pihak yang terkait dalam hal ini. Akibat dari prostitusi ini
sendiri dapat menyebarkan penyakit kelamin dan aids serta membuat semakin merosotnya
moral masyarakat. Lokalisasi merupakan jalan keluar yang dirasa mampu diterapkan di
Indonesia. Dengan adanya lokalisasi ini akan mempermudah pemantauan terhadap para
pelaku.

MAKALAH

SOSIOLOGI
(Drs. Izhar Matrian, M.M)

PELACURAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL

12

Di susun oleh :
Intan Ferdana

101400

Devid Frananda

10140021

Amelisa

101400

Emy Pusvita

101400

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) BANDAR LAMPUNG
2013

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmannirrohiim,

13

Segala puji dan syukur kepada ALLAH SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulisan dapat melaksanakan dan menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul
PELACURAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL. Penyusunan makalah ini adalah syarat
untuk menyelesaikan mata kuliah di semester tujuh ini.
Tugas makalah ini disusun untuk membantu sarana belajar supaya penulis lebih mengerti
untuk tugas makalah kedepannya.
Dalam menyelesaikan makalah ini penulis banyak mendapat bantuan baik berupa material
maupun spiritual dari berbagai pihak yang telah ikut membantu tersusun dan terselesaikannya
makalah ini dengan lancar dan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa
terima kasih yang sebesar-besarnya dihaturkan kepada semua pihak yang turut membantu
dalam penyelesaian makalah ini.
Kekurangan dalam penulisan makalah ini tidak penulis pungkiri, sehingga penulis
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun agar makalah ini menjadi lebih
sempurna dikemudian hari. Akhirnya Penulis mengharapkan makalah ini berguna bagi
pembaca dan khususnya Penulis sendiri.

Bandar Lampung,

Desember 2013

Penulis

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................................ ii

14

BAB I PENDAHULUAN
1.1...............................................................................................................................
Latar Belakang Masalah ...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Faktor-faktor penyebab terjadinya prostitusi/pelacuran .................................... 4
2.2. Akibat adanya pelacuran ................................................................................... 7
2.3. Cara menanggulangi pelacuran ......................................................................... 8
2.4. Peraturan terkait prostitusi ................................................................................ 10
KESIMPULAN

ii

15

Anda mungkin juga menyukai