Anda di halaman 1dari 4

1. Apakah perawat dapat melakukan dispensing obat?

Jelaskan berdasarkan teori hukum


dan dasar hukumnya!

Pada dasarnya dalam kondisi normal perawat tidak dapat melakukan dispencing obat
dikarenakan yang berhak memberikan obat adalah tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan sesuai peraturan perundang-undangan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
dinyatakan bahwa: “Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 108 ayat (1) dinyatakan
bahwa: “Yang dimaksud dengan “tenaga kesehatan” dalam ketentuan ini adalah
tenaga kefarmasian sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
Praktik kefarmasian yang dimaksud Pasal 108 dalam ayat (1) Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang meliputi pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan,
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan menurut Peraturan Pemerintah
Nomor 51 tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 33 ayat (1) Tenaga
Kefarmasian terdiri atas: a. Apoteker dan b. Tenaga Teknis Kefarmasian.
Dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan tertentu dapat
melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, misalnya antara lain dokter dan/atau
dokter gigi, bidan dan perawat yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan”. Hal ini sesuai dengan Putusan MK No. 12/PUU-VIII/2010
yang menyatakana bahwa Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063) sepanjang kalimat,
“... harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan” adalah tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa tenaga kesehatan tersebut adalah
tenaga kefarmasian dan dalam hal tidak ada tenaga kefarmasian, tenaga kesehatan
tertentu dapat melakukan praktik kefarmasian secara terbatas, antara lain, dokter
dan/atau dokter gigi, bidan, dan perawat yang melakukan tugasnya dalam keadaan
darurat yang mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera
untuk menyelamatkan pasien.
Berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perawat
dapat melaksanakan dispensing obat terhadap pasien secara terbatas, dengan artian
hanya dapat melakukan pekerjaan tersebut selama dalam keadaan darurat yang
mengancam keselamatan jiwa dan diperlukan tindakan medis segera untuk
menyelamatkan pasien.
Teori hukum yang diunakan adalah Teori Atribusi yaitu pemberian
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
Dalam hal ini pemberian kewenangan dari putusan mahkamah konstitusi yang
merupakan hasil uji materu undang-undang nomor 36 tahun 2009 kepada perawat
yang merupakan bagian dari tenaga kesehatan.

2. Apabila apotek terbukti menjual obat keras tanpa resep dokter, siapa yang
bertanggung jawab secara hukum? Jelaskan berdasarkan teori hukum dan dasar
hukumnya!

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


mengatur tentang Pekerjaan Kefarmasian dalam pengadaan, produksi, distribusi atau
penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Pengertian dari sediaan Farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Peraturan Pemerintah Nomor 51
Tahun 2009 ini lebih mengatur kepada pekerjaan dan tenaga kefarmasian yang akan
melakukan pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan sediaan farmasi, termasuk
obat. Sedangkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
919/Menkes/Per/X/1993 Tahun 1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan
Tanpa Resep (“Permenkes 919/1993”) mengatur secara khusus tentang obat yang
tidak perlu menggunakan resep dokter.
Mengenai apa yang dimaksud dengan obat keras, berdasarkan Pedoman
Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas yang disusun oleh Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kementerian Kesehatan, obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek
dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam
lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Terkait obat keras, Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 menjelaskan bahwa dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat menyerahkan
obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyerahan dan pelayanan
obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. Hal ini berarti bahwa obat
keras tidak bisa dibeli tanpa adanya resep dokter.
Selain dengan yang telah dijelaskan di atas, mengenai obat keras juga dapat
dilihat dari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
02396/A/SK/VIII/1986 tentang Tanda Khusus Obat Keras Daftar G (“Kepmenkes
2396/1986”). Dalam peraturan ini dapat dilihat bahwa obat keras hanya dapat
diberikan dengan resep dokter, yaitu dalam Pasal 2 Kepmenkes 2396/1986:
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus
dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.
(3) Tanda khusus dapat tidak dicantumkan pada blister, strip, aluminium/
selofan, vial, ampul, tube atau bentuk wadah lain, apabila wadah tersebut
dikemas dalam bungkus luar.
Pada dasarnya seorang apoteker dapat memberikan obat keras harus ada resep dari
dokter sehingga seorang apoteker apabila memberikan obat tanpa resep dokter dianggap
sebagai pharmacists malpractice. Apabila apotek terbukti menjual obat keras tanpa resep
dokter merupakan perbuatan tercela dan melanggar hukum sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum, baik secara hukum pidana, perdata mupun administrasi,
serta yang dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum adalah apoteker, pemilik
apotik dan apoteknya.
Teori hukum yang digunakan sebagai dasar adalah teori perlindungan korban
kejahatan, adalah sebagai berikut:
a. Teori utilitas, yaitu teori ini menitikberatkan pada kemanfaatan yang terbesar
bagi jumlah yang terbesar. Konsep pemberian perlindungan pada korban kejahatan
dapat diterapkan sepanjang memberikan kemanfaatan yang lebih besar dibandingkan
dengan tidak diterapkannya konsep tersebut, tidak saja bagi korban kejahatan, tetapi
juga bagi sistem penegakkan hukum pidana secara keseluruhan.
b. Teori tanggung jawab (untuk apoteker dan pemilik apotiknya), yang
menjelaskan bahwa pada hakikatnya subjek hukum (orang maupun kelompok)
bertanggungjawab terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya sehingga
apabila seseorang melakukan suatu tindak pidana yang mengakibatkan orang lain
menderita kerugian (dalam arti luas), orang tersebut harus bertanggungjawab atas
kerugian yang ditimbulkannya, kecuali ada alasan yang membebaskannya.
c. Teori ganti rugi (untuk apoteker dan pemilik apotik), yaitu sebagai
perwujudan tanggung jawab karena kesalahannya terhadap orang lain, pelaku tindak
pidana dibebani kewajiban untuk memberikan ganti kerugian pada korban atau ahli
warisnya.

3. Jelaskan persamaan dan perbedaan jalur distribusi obat yang melalui Apotek dan
Toko Obat, mulai dari industri farmasi sampai konsumen/pasien!

4. Jelaskan tanggungjawab hukum dokteryang terbukti menyimpan dan memberikan


obat keras tanpa izin edar kepada pasien!

Anda mungkin juga menyukai