Anda di halaman 1dari 6

Nomor : 99/MFI-L/V/2022 Jakarta, 10 Mei 2022

Lampiran : 1 bendel
Hal : Protes Keras dan Permintaan Klarifikasi

Kepada Yth.
DEWAN PENGURUS PUSAT
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN REPUBLIK INDONESIA (LPK-RI)
d/a PERKANTORAN YOS SUDARSO MEGAH
Jl. Yos Sudarso Blok B. No.26, Tanjung Priuk, Jakarta Utara

Salam sejahtera,
Menyikapi surat somasi LPK-RI ke Apotek Beji di Kabupaten Tulungagung bernomor
045/DPP/LPK-RI/V/2022, dengan somasi (diluar Daftar Obat
Wajib Apotek) . LPK-RI mengaku mendapati Apotek Beji telah
menjual obat keras (diluar Daftar Obat Wajib Apotek) Tanpa Resep dari Dokter dan secara
sepihak menuduh Apotek Beji telah melanggar pasal 24 huruf C, PP No.51 tahun 2009.
Atas dasar hal tersebut diatas, saya Brigjend Pol (P) Drs. Apt. Mufti Djusnir, MSi, selaku Ketua
dan mewakili Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI), Ketua Bidang Advokasi dan Pembelaan
Anggota Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) dan Kelompok Ahli Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI) bidang Farmasi, mengajukan protes keras
dan meminta klarifikasi kepada Dewan Pengurus Pusat LPK-RI dan Pengurus Cabang
Tulungagung LPK-RI terkait tindakan saudara diatas.
Pertama, MFI memandang LPK-RI prematur dalam menyimpulkan dan menetapkan Apotek
Beji telah melanggar pasal 24 huruf C , PP No.51 tahun 2009, yang berbunyi
Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat : c.
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari
dokter sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan

MFI berpendapat bahwa pasal pasal 24 huruf C PP No.51 tahun 2009, hanya dapat
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan-perundang-undangan , yaitu:
1. Untuk penyerahan obat keras / daftar G (gevaarlijk) oleh Apoteker dijamin oleh
Ordonansi Obat Keras / UU Obat Keras ( St. NO. 419 / tgl 22 Desember 1949 ) pasal 3
ayat 1 ; Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari
bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa
sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahan-bahan ini hanya
diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk
pedagang-pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan
Dokter Hewan .
2. 43 Hari setelah PP 51 Tahun 2009 diterbitkan, UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
juga disahkan, Pada pasal 102 ayat 1 menegaskan bahwa ; Penggunaan sediaan farmasi
yang berupa narkotika dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan resep
dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk disalahgunakan

3. UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 43 ayat 3 menegaskan :


apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan
Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

4. UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 14 ayat 4 menegaskan Penyerahan


psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas dan balai pengobatan, puskesmas
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter

5. Untuk golongan psikotropika menggunakan penandaan untuk obat keras, hal ini karena
sebelum diundangkannya UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika, maka obat-obat
Psikotropika termasuk obat keras yang pengaturannya ada di bawah Ordonansi Obat
Keras / UU Obat Keras (St. NO. 419 / tgl 22 Desember 1949), hanya saja karena efeknya
dapat mengakibatkan sindroma ketergantungan sehingga disebut Obat Keras Tertentu.

6. Bahwa Penandaan Obat Keras Daftar G yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.02396/A/SK/ lll/86 dan Keharusan mencantumkan Kalimat "Harus dengan resep
dokter" yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal
15 Maret 1977, tidak serta merta menghilangkan kewenangan profesional Apoteker
dalam memberikan pelayanan obat keras kepada masyarakat baik atas resep dokter
maupun tanpa resep dokter.

7. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 108 ayat (1) jo Keputusan MK
No.12/PUU-VIII/2010, menegaskan bahwa Praktik kefarmasiaan yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal ini menunjukkan praktik
kefarmasian dalam hal kewenangan memberikan pelayanan obat keras kepada
masyarakat baik atas resep dokter maupun tanpa resep dokter musti dilakukan melalui
Pelayanan Informasi Obat (KIE) dan dibawah supervisi apoteker.
8. Peraturan Menteri Kesehatan No.919/MENKES/PER/X/1993 Tentang Kriteria Obat yang
dapat diserahkan tanpa resep, telah memberikan rambu tambahan bagi apoteker untuk
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi
masalah kesehatan (swamedikasi), yaitu peningkatan pengobatan sendiri secara tepat,
aman dan rasional. dengan mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebutuhan masyarakat.

9. PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 4 ayat 1 menegaskan
bahwa Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri
atas: (e). apotek; dimana definisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat yang
digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif,
preventif, kuratif maupun rehabilitative.

10. Obat yang wajib diperoleh dengan resep dokter melalui pelayanan kefarmasian di
fasilitas pelayanan kesehatan adalah Golongan Narkotika dan Obat Keras tertentu
golongan Psikotropika

11. Pelayanan obat keras kepada masyarakat baik atas resep dokter maupun tanpa resep
dokter musti dilakukan di fasilitas pelayanan kefarmasian yang legal di fasilitas
pelayanan kesehatan melalui Pelayanan Informasi Obat (KIE) dan dibawah supervisi
apoteker.

Kedua, Apabila LPK-RI memang benar merupakan Lembaga perlindungan konsumen


swadaya masyarakat resmi sesuai pasal 30 UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, memang berhak melakukan pengawasan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar, termasuk obat dan makanan. Namun dalam menyelengarakan pengawasan,
musti memahami dengan detail objeck yang di awasi. Caranya dengan berkoordinasi dengan
Lembaga pengawas pemerintah dan/atau organisasi profesi. Landasan hukumnya adalah ;

1. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 182,
pembinaan dilakukan terhadap upaya kesehatan, termasuk pada pendayagunaan tenaga
kesehatan dan masyarakat.

2. Dalam Peraturan Presiden No.80 tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat Makanan
(BPOM), Pasal 1 menegaskan bahwa Badan Pengawas Obat dan Makanan, yang
selanjutnya disingkat BPOM adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahaa di bidang pengawasan Obat dan Makanan.

3. Dalam PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 26, ayat 1
menetapkan Menteri, gubernur, dan bupati/walikota melakukan pembinaan terhadap
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
4. Dalam PP No.47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pasal 26, ayat 5
menegaskan bahwa Menteri, gubernur, dan bupati/walikota dalam melaksanakan
pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (l) dapat mengikutsertakan asosiasi Fasilitas
Pelayanan Kesehatan dan organisasi profesi Tenaga Kesehatan.

5. Dalam UU No.36 Tahun 2009 pasal 188 , menegaskan bahwa Menteri melalui Pemerintah
daerah atau dinas kesehatan termasuk yang berhak memberikan sanksi administrasi.
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

6. Dalam Peraturan Presiden No.80 Tahun 2017 tentangBadan Pengawas Obat Makanan
(BPOM) , pada pasal 4 ayat 3 menegaskan bahwa BPOM berhak memberikan sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

7. Dalam berpraktik, seorang apoteker diwajibkan memenuhi kode etik dan standar profesi
apoteker yang telah ditetapkan organisasi profesi agar seorang apoteker memiliki
seluruh kompetensi yang relevan untuk mejalankan perannya dan mampu memberikan
pelayanan kefarmasian sesuai ketentuan tentang praktik kefarmasian.

8. Apabila terdapat apoteker yang melaksanakan praktik tidak sesuai dengan kode etik dan
Standar profesi Apoteker Indonesia, maka Organisasi Profesi Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI) setempat yang berhak menyelidiki dan mengeluarkan sanksi administratif melalui
sidang MEDAI, bila terbukti.

9. Sesuai UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hasil pengawasan LPK-RI
dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri
dan menteri teknis terkait, bila terbukti membahayakan konsumen dan melanggar
peraturan perundangan. Namun tidak dengan main hakim sendiri tanpa
koordinasi.

10. Kesimpulannya, Tindakan LPK-RI memberikan somasi kepada Apotek Beji dianggap telah
melanggar Tupoksi Menteri Kesehatan, BPOM dan Organisasi Profesi Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI).
Ketiga, Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI) bersikap :
1. Memprotes keras surat somasi LPK-RI ke Apotek Beji
2. Menuntut klarifikasi detail, termasuk motivasi LPK-RI melakukan somasi
3. Meminta LPK-RI meminta maaf kepada apotek dan apoteker yang bersangkutan secara
langsung.
4. Meminta LPK-RI meminta maaf kepada seluruh Apoteker Indonesia, Organisasi Profesi
Ikatan Apoteker Indonesia dan Masyarakat Farmasi Indonesia melalui 2 media cetak dan 3
media online.
5. Mencabut Kembali surat somasi melalui surat pencabutan somasi.
6. MFI menunggu itikad baik LPK-RI untuk melaksanakan poin 3 s/d 5 dalam 3x24 jam.

Kami terbuka menunggu informasi klarifikasi melalui email Gmail :


inapharmacistsociety@gmail.com atau melalui No.HP Sekretariat MFI 0811-1342-634.
Selanjutnya kami bersedia memberikan Advokasi terkait wewenang dan tugas apoteker, agar
kedepan tidak menjadi salah didalam pemahaman.

Demikian surat ini kami sampaikan, bisa dipergunakan sebagaimana mestinya.

Ketua
Masyarakat Farmasi Indonesia (MFI)

Brigjen Pol (P) Drs. H, Mufti Djusnir, Apt. M.Si.

Tembusan :
1. Menteri Kesehatan RI
2. Kepala BPOM RI
3. Kapolri
4. KaBNN RI
5. Pengurus Pusat IAI
6. Pengurus Daerah IAI Jawa Timur
7. Pengurus Cabang IAI Kabupaten Tulungagung
8. Bupati Kabupaten Tulungagung
9. Kepala Dinas Kesehatan Tulung Agung
10. LPK-RI Cabang Kabupaten Tulungagung
11. Apoteker Apotek Beji Tulungagung
12. MFI Daerah diseluruh Indonesia
13. Arsip
Lampiran Surat Somasi

Anda mungkin juga menyukai