Anda di halaman 1dari 51

Undang – undang :

a. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang


Kesehatan, pada :
- Pasal 106 ayat 1 yaitu “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar.”
- Pasal 197 yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
b. UU no. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Pasal 4 tentang Hak Konsumen : poin 2 yaitu hak untuk memilih barang dan atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Apoteker tidak
memberikan pilihan seperti obat generic/merek dan langsung menawarkan obat branded,
padahal dengan generik saja sudah cukup.
c. UU no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 5, setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau. Dalam kasus ini, pasien tidak diberi hak dalam memperoleh
pelayanan kesehatan yang terjangkau.
d. UU No. 36 Tahun 2009 :
Pasal 98 ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang
mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan
yang berkhasiat obat.
Yang berhak untuk melakukan pengadaan, penyimpanan dan pengedaran obat dilakukan oleh
tenaga kefarmasian sesuai dengan :
Pasal 108 : Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e. UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
Pasal 35

(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang
melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki,
yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien
b. memeriksa fisik dan mental pasien
c. menentukan pemeriksaan penunjang
d. menegakan diagnosis
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
g. menulis resep obat dan alat kesehatan
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan, dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien bagi yang praktik didaerah
terpencil yang tidak ada apotek.

f. UU no 4 tahun 2019 tentang kebidanan


Pasal 46

(1) Dalam menyelenggarakan praktik kebidanan, bidan bertugas memberikan pelayanan yang
meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu
b. pelayanan kesehatan anak
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
d. pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau
e. pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

PP
a. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 1962
tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker pasal 1 ayat 2 poin 3 yaitu Sekalipun
diancam,saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan dan pasal 1 ayat 2 poin
4 yaitu Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
b. Berdasarkan PP no 51 tahun 2009, pasal 24 point c, Dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat: “Menyerahkan
obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
c. PP 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 10 berbunyi, “ Fasilitas Distribusi atau Penyaluran
Sediaan Farmasi adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau
menyalurkan Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan
Farmasi.”
d. Menurut PP no 51 tahun 2009 pasal 24, apoteker dapat menyerahkan obat keras,
narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan
peraturan perundang undangan
e. Menurut PP 51 tahun 2009 Penyaluran obat keras hanya dapat dilakukan oleh PBF
atau PBF cabang yang telah memiliki izin PBF
f. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 1962 tentang
Lafal Sumpah Janji Apoteker pasal 1 ayat 2 poin 3 yaitu Sekalipun diancam,saya
tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan hukum perikemanusiaan dan pasal 1 ayat 2 poin 4 yaitu Saya
akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
g. Berdasarkan PP no 51 Tahun 2009 pada pasal 24 huruf c, Dalam melakukan
Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep
dari dokter sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga sebagai
Apoteker memberikan informasi kepada pasien bahwa misoprostol termasuk obat
keras dan bukan termasuk obat wajib apotek sehingga diperlukannya resep dokter
untuk mendapatkan obat tersebut.
h. Berdasarkan PP no 51 2009 pasal 23 ayat (1) “Dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan
Standar Prosedur Operasional.” ayat (2) “Standar Prosedur Operasional harus dibuat
secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan, perundang-
undangan.”
i. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Bab 1
Ketentuan Umum
Pasal 1 Ayat 1
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan Farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran Obat,
pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat, serta
pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional.
Pasal 22
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat
kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permenkes
a. Berdasarkan PERMENKES no 1148 tahun 2011, pasal 20 berbunyi “ PBF dan PBF
Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung
jawab.”
b. PMK no 98 tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat
Pasal 8 ayat 2: selain memberikan informasi HET obat sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) Apoteker harus menginformasikan obat lain terutama obat generik yang memiliki
komponen aktif dengan kekuatan yang sama dengan obat yang diresepkan yang tersedia pada
apotek atau instalasi farmasi rumah sakit/klinik kepada pasien atau keluarga pasien
Pasal 9: pasien atau keluarga pasien berhak menentukan pilihan obat berdasarkan informasi
yang disampaikan oleh Apoteker sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.
c. Berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik indonesia Kepmenkes no 347
tahun 1990 tentang daftar obat wajib apotek, Kepmenkes no 924 tahun 1993 tentang
daftar obat wajib apotek no 2, Kepmenkes no 925 tahun 1993 tentang daftar
perubahan golongan obat no 1, dan Kepmenkes no 1176 tahun 1999 tentang daftar
obat wajib apotek no 3 tidak terdapat pernyataan bahwa obat misoprostol termasuk
golongan obat wajib apotek, sehingga dalam penyerahan obat tersebut tidak dapat
dilakukan kecuali dengan resep dokter.
d. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 pada pasal 2 ayat 2 berbunyi:
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus
dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/Sl(77 tanggal 15 Maret 1977.
e. PerMenKes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Bab III Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

f. Berdasarkan Permenkes No 284 tahun 2007 tentang apotek rakyat pada,


- Pasal 1, Apotek Rakyat yaitu sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak
melakukan peracikan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus
mengutamakan obat generik, serta apotek rakyat dilarang menyediakan narkotika dan
psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.
g. Berdasarkan PMK no 9 tahun 2007 tentang Apotek pada,
- Pasal 3 ayat 1 dan 2, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau
modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker
yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
- Pasal 4, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan,
sarana, prasarana dan peralatan serta ketenagaan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat mengatur
persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
- Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
h. Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul No 49 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan
bupati Bantul no 25 tahun 2012 tentang penyelenggaraan apotek di kabupaten Bantul pada
pasal 7 ayat 1 menerangkan bahwa pendirian dan penyelenggaraan apotek baru berjarak pada
radius paling sedikit 500 m dari apotek yang sudah ada.
i. Berdasarkan PMK no 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berupa Persyaratan
umum meliputi
- Pelaku usaha non perseorangan berupa Perseroan Terbatas, Yayasan dan/atau Koperasi,
Pelaku usaha nonperseorangan melampirkan dokumen Surat perjanjian kerjasama
dengan Apoteker yang disahkan oleh notaris
- data penanggung jawab teknis meliputi KTP, STRA dan SIPA
- Bukti pembayaran pendapatan daerah (PAD)
- Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 hari sejak pelaku usaha mengajukan
permohonan
- Durasi pemberian izin apotek paling lama 9 hari sejak dokumen dinyatakan lengkap

j. Berdasarkan Permenkes No 284 tahun 2007 tentang apotek rakyat pada,


k. Pasal 1, Apotek Rakyat yaitu sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak
melakukan peracikan.
l. Pasal 5 menerangkan bahwa apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus
mengutamakan obat generik, serta apotek rakyat dilarang menyediakan narkotika dan
psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.
k. Berdasarkan PMK no 9 tahun 2007 tentang Apotek pada,
- Pasal 3 ayat 1 dan 2, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau
modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker
yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
- Pasal 4, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan,
sarana, prasarana dan peralatan serta ketenagaan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat mengatur
persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
- Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
l. Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul No 49 tahun 2012 tentang perubahan atas
peraturan bupati Bantul no 25 tahun 2012 tentang penyelenggaraan apotek di
kabupaten Bantul pada pasal 7 ayat 1 menerangkan bahwa pendirian dan
penyelenggaraan apotek baru berjarak pada radius paling sedikit 500 m dari apotek
yang sudah ada.
m. Berdasarkan PMK no 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk
pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berupa
Persyaratan umum meliputi
- Pelaku usaha non perseorangan berupa Perseroan Terbatas, Yayasan dan/atau Koperasi,
Pelaku usaha nonperseorangan melampirkan dokumen Surat perjanjian kerjasama
dengan Apoteker yang disahkan oleh notaris
- data penanggung jawab teknis meliputi KTP, STRA dan SIPA
- Bukti pembayaran pendapatan daerah (PAD)
- Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 hari sejak pelaku usaha mengajukan
permohonan
- Durasi pemberian izin apotek paling lama 9 hari sejak dokumen dinyatakan lengkap
n. Berdasarkan Permenkes No 284 tahun 2007 tentang apotek rakyat pada,
Pasal 1, Apotek Rakyat yaitu sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak
melakukan peracikan.
Pasal 5 menerangkan bahwa apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus
mengutamakan obat generik, serta apotek rakyat dilarang menyediakan narkotika dan
psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.
o. Berdasarkan PMK no 9 tahun 2007 tentang Apotek pada,
- Pasal 3 ayat 1 dan 2, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau
modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker
yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
- Pasal 4, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan,
sarana, prasarana dan peralatan serta ketenagaan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat mengatur
persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
- Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
p. Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul No 49 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan
bupati Bantul no 25 tahun 2012 tentang penyelenggaraan apotek di kabupaten Bantul pada
pasal 7 ayat 1 menerangkan bahwa pendirian dan penyelenggaraan apotek baru berjarak pada
radius paling sedikit 500 m dari apotek yang sudah ada.
q. Berdasarkan PMK no 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berupa Persyaratan
umum meliputi
- Pelaku usaha non perseorangan berupa Perseroan Terbatas, Yayasan dan/atau Koperasi,
Pelaku usaha nonperseorangan melampirkan dokumen Surat perjanjian kerjasama
dengan Apoteker yang disahkan oleh notaris
- data penanggung jawab teknis meliputi KTP, STRA dan SIPA
- Bukti pembayaran pendapatan daerah (PAD)
- Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 hari sejak pelaku usaha mengajukan
permohonan
- Durasi pemberian izin apotek paling lama 9 hari sejak dokumen dinyatakan lengkap
r. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia pada
- Pasal 7, Seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan kepentingan tertentu
lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
- Pasal 15, Seorang Apoteker harus menjaga hubungan baik dengan teman sejawatnya
serta memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan bersama
s. Berdasarkan Permenkes No 284 tahun 2007 tentang apotek rakyat pada,
t. Pasal 1, Apotek Rakyat yaitu sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan tidak
melakukan peracikan.
u. Pasal 5 menerangkan bahwa apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus
mengutamakan obat generik, serta apotek rakyat dilarang menyediakan narkotika dan
psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.
v. Berdasarkan PMK no 9 tahun 2007 tentang Apotek pada,
- Pasal 3 ayat 1 dan 2, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri dan/atau
modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam hal Apoteker
yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan.
- Pasal 4, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi, bangunan,
sarana, prasarana dan peralatan serta ketenagaan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat mengatur
persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam
mendapatkan pelayanan kefarmasian.
- Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
w. Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul No 49 tahun 2012 tentang perubahan atas peraturan
bupati Bantul no 25 tahun 2012 tentang penyelenggaraan apotek di kabupaten Bantul pada
pasal 7 ayat 1 menerangkan bahwa pendirian dan penyelenggaraan apotek baru berjarak pada
radius paling sedikit 500 m dari apotek yang sudah ada.
x. Berdasarkan PMK no 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada
Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berupa Persyaratan
umum meliputi
- Pelaku usaha non perseorangan berupa Perseroan Terbatas, Yayasan dan/atau Koperasi,
Pelaku usaha nonperseorangan melampirkan dokumen Surat perjanjian kerjasama
dengan Apoteker yang disahkan oleh notaris
- data penanggung jawab teknis meliputi KTP, STRA dan SIPA
- Bukti pembayaran pendapatan daerah (PAD)
- Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 hari sejak pelaku usaha mengajukan
permohonan
- Durasi pemberian izin apotek paling lama 9 hari sejak dokumen dinyatakan lengkap

BPOM
i. Lampiran Keputusan BPOM RI no HK.02.02.1.2.07.21.288 tahun 2021 tentang
petunjuk teknis prinsip penggunaan obat melalui skema perluasan penggunaan khusus
(expanded access program) pada kondisi darurat BAB I menyatakan bahwa
“Pada kondisi darurat yang disebabkan oleh penyakit yang mengancam jiwa dan
belum ada atau terbatasnya obat yang digunakan untuk terapi, maka dimungkinkan
penggunaan suatu obat yang memiliki potensi dalam mengobati penyakit tersebut dan
sedang dilakukan penelitian untuk membuktikan khasiat keamanannya dalam skema
perluasan penggunaan khusus. Skema perluasan penggunaan khusus atau Expanded
Access Program diperlukan dalam rangka mendukung pengobatan penyakit pada
kondisi darurat, dan memberikan percepatan akses penggunaan obat yang belum
mendapatkan izin edar dan/atau obat dengan indikasi baru yang diduga memiliki
potensi dalam pengobatan penyakit tersebut dan sedang dalam penelitian. Dengan
mempertimbangkan manfaat yang lebih besar dibanding risiko jika kondisi darurat
penyakit tidak diobati, maka obat yang belum mendapatkan izin edar dan/atau obat
dengan indikasi baru yang sedang dalam penelitian dapat digunakan melalui skema
perluasan penggunaan khusus (Expanded Access Program/EAP).”
ii. PerBPOM no 8 tahun 2020
Pasal 6 ayat (1) “Penyerahan Obat secara daring yang dilakukan oleh Apotek dapat
menggunakan Sistem Elektronik yang dimiliki oleh Apotek dan/atau yang disediakan
oleh PSEF”
Pasal 7 ayat (1) “Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk
Obat yang termasuk dalam golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat
keras.”
Pasal 8 ayat (1) “ Obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib
berdasarkan Resep yang ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Pasal 8 ayat (2) “ Selain ditulis secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk penyerahan golongan Obat keras juga dapa t dilaksanakan dengan
mengunggah Resep ke dalam Sistem Elektronik.”
Pasal 8 ayat (3) “Pengunggahan Resep ke dalam Sistem Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dengan syarat Resep harus asli dan
dapat dipertanggungjawabkan”
Pasal 10
- ayat (1) Apotek wajib memastikan pasien menyerahkan Resep asli Obat
keras kepada Apotek.
- ayat (2) Penyerahan Resep asli Obat keras oleh pasien kepada Apotek dapat
melalui Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
- ayat (3) Penyerahan Resep asli Obat keras sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan Obat
keras oleh Apotek dan/atau Pihak Ketiga kepada Pasien.

c. PerBPOM no 8 tahun 2020 pasal 27 yaitu Apotek dan/atau PSEF Dilarang


mengedarkan secara daring untuk Obat yang termasuk dalam:
(a) Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
(b) Obat yang mengandung prekursor farmasi;
(c) Obat untuk dis fungsi ereksi;
(d) Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri;
(e) Sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan;
dan
(f) Obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika.

d.peraturan BPOM No. 8 Tahun 2020 yaitu pada :


a. pasal 9 ayat (1) Penyerahan Obat yang diedarkan secara daring dapat
dilaksanakan secara langsung kepada pasien atau dikirim kepada pasien sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. pasal 9 ayat (2) Pengiriman Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada pasien dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Apotek atau bekerja
sama dengan Pihak Ketiga yang berbentuk badan hukum.

e. Berdasarkan Peraturan BPOM nomor 24 tahun 2021 :Penyerahan obat golongan obat
keras kepada pasien hanya dapat dilakukan berdasarkan resep dokter sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kode etik
b. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia tahun 2022 Pasal 20 yaitu “Seorang
Apoteker yang berpraktik di bidang pembuatan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya sesuai dengan tugasnya harus melaksanakan pekerjaannya
sesuai ketentuan yang berlaku agar sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya yang dibuat terjamin khasiatnya, aman dan bermutu”.
c. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia pada Bab II
Pasal 6 poin ke 5 yaitu Seorang Apoteker harus memahami peraturan perundangan
yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu seorang Apoteker harus selalu aktif
mengikuti perkembangan peraturan, sehingga seorang Apoteker dapat menjalankan
profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d. Kode Etik Apoteker Indonesia pada Bab II Pasal 6 poin ke 5 yaitu Seorang Apoteker
harus memahami peraturan perundangan yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu
seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan, sehingga
seorang Apoteker dapat menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Kode Etik Profesi
● bab 1 Kewajiban Umum pasal 3 yaitu Seorang Apoteker harus berintegritas tinggi,
senantiasa menjalankan profesinya secara profesional dan bertanggung jawab, sesuai
Standar Kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh
pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya. Apoteker di apotek X tidak
mengutamakan kepentingan kemanusiaan melainkan mengutamakan kepentingan pribadi
dalam mencari keuntungan semata tanpa melihat kondisi pasien terlebih dahulu.
● Bab 2 pasal 7 yaitu Seorang Apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan
kepentingan tertentu lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian. Hal ini ditunjukkan dengan apoteker di apotek X menawarkan obat-obat
branded terlebih dahulu, seharusnya memberikan pilihan antara generik atau branded
disertai dengan penjelasan yang mudah dimengerti oleh pasien.
● bab 3 pasal 11 yaitu Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan dan menghormati hak asasi penerima pelayanan dan/atau
pelanggan, serta melindungi mahluk hidup insani dengan berlandaskan norma-norma yang
berlaku. Hal ini mencakup kepeduliaan kepada penerima pelayanan dan/atau pelanggan
adalah merupakan hal yang paling utama dari seorang apoteker serta setiap tindakan dan
keputusan profesional apoteker harus berpihak kepada kepentingan penerima pelayanan
dan/atau pelanggan dan masyarakat. Dalam kasus ini keputusan apoteker di apotek X tidak
berpihak kepada penerima pelayanan yaitu pasien, karena apoteker menawarkan obat-obat
branded terlebih dahulu tanpa melihat kondisi pasien
bab 3 pasal 14 yaitu Seorang Apoteker harus mampu mendorong pasien untuk terlibat
dalam keputusan pengobatan mereka. Dimana seorang apoteker harus berkolaborasi
dengan pasien, penjaga atau keluarga dalam rangka pengobatan. Sehingga
Pasal 7, Seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan kepentingan tertentu
lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
- Pasal 15, Seorang Apoteker harus menjaga hubungan baik dengan teman sejawatnya
serta memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan
dengan mempertimbangkan kepentingan bersama
Skenario 1
sebuah industri X dibawah pengawasan apoteker Y memproduksi sediaan Ivermectin tablet
dan sudah beredar di pasaran. Berdasarkan investigasi Badan POM RI ditemukan bahwa
invermectin tablet tersebut belum terdaftar secara resmi.

Jawab:
1. Peraturan perundang undangan saja yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah UU RI
no 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Keputusan BPOM RI no HK.02.02.1.2.07.21.288
tahun 2021 tentang petunjuk teknis prinsip penggunaan obat melalui skema perluasan
penggunaan khusus (expanded access program) pada kondisi darurat, PP RI no 20 Tahun
1962 tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker.
a. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan, pada :
- Pasal 106 ayat 1 yaitu “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan
setelah mendapat izin edar.”
- Pasal 197 yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Lampiran Keputusan BPOM RI no HK.02.02.1.2.07.21.288 tahun 2021 tentang petunjuk


teknis prinsip penggunaan obat melalui skema perluasan penggunaan khusus (expanded
access program) pada kondisi darurat BAB I menyatakan bahwa

“Pada kondisi darurat yang disebabkan oleh penyakit yang mengancam jiwa dan
belum ada atau terbatasnya obat yang digunakan untuk terapi, maka dimungkinkan
penggunaan suatu obat yang memiliki potensi dalam mengobati penyakit tersebut
dan sedang dilakukan penelitian untuk membuktikan khasiat keamanannya dalam
skema perluasan penggunaan khusus. Skema perluasan penggunaan khusus atau
Expanded Access Program diperlukan dalam rangka mendukung pengobatan
penyakit pada kondisi darurat, dan memberikan percepatan akses penggunaan obat
yang belum mendapatkan izin edar dan/atau obat dengan indikasi baru yang diduga
memiliki potensi dalam pengobatan penyakit tersebut dan sedang dalam penelitian.
Dengan mempertimbangkan manfaat yang lebih besar dibanding risiko jika kondisi
darurat penyakit tidak diobati, maka obat yang belum mendapatkan izin edar
dan/atau obat dengan indikasi baru yang sedang dalam penelitian dapat digunakan
melalui skema perluasan penggunaan khusus (Expanded Access Program/EAP).”

Berdasarkan undang-undang tersebut, obat yang merupakan sediaan farmasi hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar. Sehingga apoteker pada industri yang
mengedarkan obat yang belum terdaftar secara resmi atau belum memiliki izin edar telah
melanggar UU no 36 tahun 2009 pasal 106 ayat 1 sehingga dapat dikenakan sanksi
pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda 1,5 milyar rupiah.

Akan tetapi, karena ivermectin adalah obat antiparasit yang dapat digunakan sebagai obat
covid-19 (obat off label), BPOM memberikan pengecualian karena covid-19 termasuk ke
dalam penyakit yang mengancam jiwa dan kondisi darurat karena terdapat peningkatan
kasus covid-19 dan belum ada obat yang secara definitif diindikasikan untuk penyakit
tersebut. Berdasarkan keputusan BPOM yang telah disebutkan di atas, dengan
mempertimbangkan manfaat yang lebih besar daripada risiko jika covid-19 tidak
diobati, maka ivermectin selaku obat covid-19 yang belum mendapat izin edar
dapat digunakan melalui skema perluasan penggunaan khusus. Skema perluasan
khusus dilakukan sesuai yang tertera pada keputusan BPOM RI no
HK.02.02.1.2.07.21.288 tahun 2021.

2. Etika profesi kefarmasian dan sumpah/janji apoteker yang berkaitan antara lain :
a. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia tahun 2022 Pasal 20 yaitu “Seorang
Apoteker yang berpraktik di bidang pembuatan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya sesuai dengan tugasnya harus melaksanakan pekerjaannya sesuai
ketentuan yang berlaku agar sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang
dibuat terjamin khasiatnya, aman dan bermutu”.

b. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia pada Bab II


Pasal 6 poin ke 5 yaitu Seorang Apoteker harus memahami peraturan perundangan
yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu seorang Apoteker harus selalu aktif
mengikuti perkembangan peraturan, sehingga seorang Apoteker dapat menjalankan
profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

c. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 1962


tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker pasal 1 ayat 2 poin 3 yaitu Sekalipun
diancam,saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan dan pasal 1 ayat 2 poin 4
yaitu Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

Berdasarkan kode etik dan lafal sumpah tersebut, secara normal Apoteker yang
mengedarkan obat yang belum memiliki izin edar telah melanggar kode etik dan sumpah
karena dalam melaksanakan pekerjaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku,
tidak berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
mempergunakan pengetahuian kefarmasian untuk sesuatu yang bertentangan dengan
hukum perikemanusiaan.
Akan tetapi, karena terdapat pengecualian untuk obat-obat yang digunakan pada
kondisi darurat sesuai keputusan BPOM RI no HK.02.02.1.2.07.21.288 tahun 2021,
apoteker Y pada industri X yang mengedarkan ivermectin tersebut telah
menjalankan tugas dengan benar dan tidak ada kode etik maupun lafal sumpah
yang dilanggar.

Skenario 2
Seorang Apoteker ESHA melakukan penyaluran pehacain injeksi yang termasuk golongan
obat keras tanpa memiliki surat izin yang resmi sebagai distributor

jawab:
1. pencermatan terhadap peraturan perundang undangan :
a. Berdasarkan PP no 51 tahun 2009, pasal 24 point c, Dalam melakukan
Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat: “Menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada
masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
b. Penyaluran obat keras hanya dapat dilakukan oleh PBF atau PBF cabang yang
telah memiliki izin PBF. Hal tersebut sesuai dengan PP 51 tahun 2009 pasal
1 ayat 10 berbunyi, “ Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi
adalah sarana yang digunakan untuk mendistribusikan atau menyalurkan
Sediaan Farmasi, yaitu Pedagang Besar Farmasi dan Instalasi Sediaan
Farmasi.”
c. Berdasarkan PERMENKES no 1148 tahun 2011, pasal 20 berbunyi “ PBF
dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras
berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau
apoteker penanggung jawab.”
2. Pelanggaran yang dilakukan adalah Apoteker mendistribusikan obat tanpa izin yang
resmi sebagai distributor
a. Menurut PP no 51 tahun 2009 pasal 24, apoteker dapat menyerahkan obat
keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter
sesuai dengan peraturan perundang undangan
b. Apoteker tidak boleh menyalurkan obat keras apabila tidak terdapat surat
resmi sebagai distributor. Menurut PP 51 tahun 2009 Penyaluran obat keras
hanya dapat dilakukan oleh PBF atau PBF cabang yang telah memiliki izin
PBF
c. Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Apoteker Indonesia pada
Bab II Pasal 6 poin ke 5 yaitu Seorang Apoteker harus memahami peraturan
perundangan yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu seorang Apoteker
harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan, sehingga seorang
Apoteker dapat menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 1962
tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker pasal 1 ayat 2 poin 3 yaitu Sekalipun
diancam,saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya
untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan dan pasal 1
ayat 2 poin 4 yaitu Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Skenario 5 :
Apotek Hijau Kuning dalam rangka meningkatkan omzetnya, melakukan inovasi dengan
melakukan penjualan obat-obat keras secara online kepada konsumen dan mengantarkan
obatnya sendiri ke rumah-rumah konsumen yang melakukan transaksi tersebut.

jawab:
1. setuju
2. Akan tetapi penjualan obat keras secara online tersebut harus dilaksanakan sesuai
PerBPOM no 8 tahun 2020
Pasal 6 ayat (1) “Penyerahan Obat secara daring yang dilakukan oleh Apotek dapat
menggunakan Sistem Elektronik yang dimiliki oleh Apotek dan/atau yang disediakan
oleh PSEF”
Pasal 7 ayat (1) “Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat
yang termasuk dalam golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.”
Pasal 8 ayat (1) “ Obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib
berdasarkan Resep yang ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Pasal 8 ayat (2) “ Selain ditulis secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) untuk penyerahan golongan Obat keras juga dapa t dilaksanakan dengan
mengunggah Resep ke dalam Sistem Elektronik.”
Pasal 8 ayat (3) “Pengunggahan Resep ke dalam Sistem Elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan dengan syarat Resep harus asli dan dapat
dipertanggungjawabkan”
Pasal 10
- ayat (1) Apotek wajib memastikan pasien menyerahkan Resep asli Obat keras
kepada Apotek.
- ayat (2) Penyerahan Resep asli Obat keras oleh pasien kepada Apotek dapat
melalui Pihak Ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
- ayat (3) Penyerahan Resep asli Obat keras sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan bersamaan dengan penyerahan Obat keras oleh
Apotek dan/atau Pihak Ketiga kepada Pasien.

Serta penjualan obat keras secara online tersebut juga harus dilaksanakan
sesuai PerBPOM no 8 tahun 2020 pasal 27 yaitu Apotek dan/atau PSEF Dilarang
mengedarkan secara daring untuk Obat yang termasuk dalam:
(a) Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
(b) Obat yang mengandung prekursor farmasi;
(c) Obat untuk dis fungsi ereksi;
(d) Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri;
(e) Sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan; dan
(f) Obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika.
3. Selanjutnya, apotek boleh mengantarkan obatnya sendiri ke rumah-rumah konsumen
yang melakukan transaksi tersebut, sesuai dengan peraturan BPOM No. 8 Tahun
2020 yaitu pada :
a. pasal 9 ayat (1) Penyerahan Obat yang diedarkan secara daring dapat
dilaksanakan secara langsung kepada pasien atau dikirim kepada pasien sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. pasal 9 ayat (2) Pengiriman Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
kepada pasien dapat dilaksanakan secara mandiri oleh Apotek atau bekerja
sama dengan Pihak Ketiga yang berbentuk badan hukum.

Skenario 6 :
seorang pasien mengalami nyeri perut ketika menunggu obat di depan Apotek rawat jalan,
kemudian pasien menyela dan meminta obat pereda nyeri yang biasa diminum yaitu
misoprostol.

Jawab:
a. Misoprostol :
- kegunaan : untuk mengobati dan mencegah tukak lambung atau ulkus
duodenum, terutama akibat penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS). Obat ini akan membantu mengurangi risiko terjadinya komplikasi
akibat tukak lambung, seperti perdarahan saluran pencernaan.
- golongan : obat keras (bukan termasuk OWA).
- Efek samping kategori serius misoprostol :
- Gangguan menstruasi, seperti keluarnya darah haid lebih banyak
daripada biasanya atau siklus menstruasi menjadi tidak teratur
- Perdarahan yang berat dan robeknya rahim jika digunakan oleh ibu
hamil
- BAB hitam atau muntah darah
- kategori keamanan pada ibu hamil: Studi pada hewan percobaan dan
manusia telah memperlihatkan adanya abnormalitas terhadap janin atau
adanya risiko terhadap janin. Obat dalam kategori ini tidak boleh
digunakan oleh wanita yang sedang atau memiliki kemungkinan untuk
hamil.Misoprostol dapat terserap ke dalam ASI. Bila Anda sedang
menyusui, jangan menggunakan obat ini tanpa berkonsultasi dulu
dengan dokter.

b. Berdasarkan PP no 51 Tahun 2009 pada pasal 24 huruf c, Dalam melakukan


Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep
dari dokter sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga sebagai Apoteker
memberikan informasi kepada pasien bahwa misoprostol termasuk obat keras dan
bukan termasuk obat wajib apotek sehingga diperlukannya resep dokter untuk
mendapatkan obat tersebut.

c. Berdasarkan PP no 51 2009 pasal 23 ayat (1) “Dalam melakukan Pekerjaan


Kefarmasian, Apoteker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 harus menetapkan
Standar Prosedur Operasional.” ayat (2) “Standar Prosedur Operasional harus dibuat
secara tertulis dan diperbaharui secara terus menerus sesuai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang farmasi dan ketentuan peraturan, perundang-
undangan.”

d. Berdasarkan keputusan menteri kesehatan republik indonesia Kepmenkes no 347


tahun 1990 tentang daftar obat wajib apotek, Kepmenkes no 924 tahun 1993
tentang daftar obat wajib apotek no 2, Kepmenkes no 925 tahun 1993 tentang daftar
perubahan golongan obat no 1, dan Kepmenkes no 1176 tahun 1999 tentang daftar
obat wajib apotek no 3 tidak terdapat pernyataan bahwa obat misoprostol termasuk
golongan obat wajib apotek, sehingga dalam penyerahan obat tersebut tidak dapat
dilakukan kecuali dengan resep dokter.

e. Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


02396/A/SK/VIII/1986 Tahun 1986 pada pasal 2 ayat 2 berbunyi:
(1) Pada etiket dan bungkus luar obat jadi yang tergolong obat keras harus
dicantumkan secara jelas tanda khusus untuk obat keras.
(2) Ketentuan dimaksud dalam ayat (1) merupakan pelengkap dari keharusan
mencantumkan kalimat "Harus dengan resep dokter" yang ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/Sl/77 tanggal 15 Maret 1977.
Berdasarkan Peraturan BPOM nomor 24 tahun 2021 :
4.2 Penyerahan obat golongan obat keras kepada pasien hanya dapat dilakukan
berdasarkan resep dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kasus 9
Apotek X menerapkan kebijakan setiap pasien yang datang untuk mencari obat selalu
diberikan obat-obatan branded tanpa melihat kondisi pasien

jawab:
1. melanggar peraturan yaitu:
• UU no. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
Pasal 4 tentang Hak Konsumen : poin 2 yaitu hak untuk memilih barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Apoteker
tidak memberikan pilihan seperti obat generic/merek dan langsung menawarkan obat
branded, padahal dengan generik saja sudah cukup.
• UU no. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 5, setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau. Dalam kasus ini, pasien tidak diberi hak dalam
memperoleh pelayanan kesehatan yang terjangkau.
● PMK no 98 tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat
Pasal 8 ayat 2: selain memberikan informasi HET obat sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) Apoteker harus menginformasikan obat lain terutama obat generik yang
memiliki komponen aktif dengan kekuatan yang sama dengan obat yang diresepkan
yang tersedia pada apotek atau instalasi farmasi rumah sakit/klinik kepada pasien atau
keluarga pasien
Pasal 9: pasien atau keluarga pasien berhak menentukan pilihan obat berdasarkan
informasi yang disampaikan oleh Apoteker sebagaimana dimaksud dalam pasal 8.

2. a) melanggar Kode Etik Profesi


● bab 1 Kewajiban Umum pasal 3 yaitu Seorang Apoteker harus berintegritas
tinggi, senantiasa menjalankan profesinya secara profesional dan bertanggung
jawab, sesuai Standar Kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan
dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.
● Bab 2 pasal 7 yaitu Seorang Apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu
menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan
kepentingan tertentu lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian.
● bab 3 pasal 11 yaitu Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian
harus mengutamakan kepentingan dan menghormati hak asasi penerima pelayanan
dan/atau pelanggan, serta melindungi mahluk hidup insani dengan berlandaskan
norma-norma yang berlaku.
● bab 3 pasal 14 yaitu Seorang Apoteker harus mampu mendorong pasien untuk
terlibat dalam keputusan pengobatan mereka. Dimana seorang apoteker harus
berkolaborasi dengan pasien, penjaga atau keluarga dalam rangka pengobatan.

Kasus 10
PSA apotek “Sehat Murah” memecat apoteker Y karena apoteker Y tidak mau melayani
permintaan pembelian obat untuk dispensing dokter, bidan dan mantri. Kemudian ada
Apoteker baru yang akan menggantikan Apoteker Y. Berikan komentar kamu apoteker baru
yang akan menggantikan apoteker Y kasus ini sesuai UU dan etika profesi.

jawab:
Berdasarkan Kasus tersebut, Apoteker Y tidak melanggar peraturan yang berlaku, dalam
hal ini PSA telah melanggar :
a. UU No. 36 Tahun 2009 :

Pasal 98 ayat (2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan
dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan
obat dan bahan yang berkhasiat obat.
Yang berhak untuk melakukan pengadaan, penyimpanan dan pengedaran obat
dilakukan oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan :

Pasal 108 : Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian


mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan
obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


Bab 1 Ketentuan Umum
Pasal 1 Ayat 1
Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu Sediaan
Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran
Obat, pengelolaan Obat, pelayanan Obat atas Resep dokter, pelayanan informasi Obat,
serta pengembangan Obat, bahan Obat dan Obat tradisional.

Pasal 22
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang
telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan
menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

c. PerMenKes No 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek
Bab III Pelayanan Farmasi Klinik
Pelayanan farmasi klinik di Apotek merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik
meliputi:
1. pengkajian dan pelayanan Resep;
2. dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

Berdasarkan Kasus tersebut dokter, bidan atau mantri juga telah melanggar :
Tugas dan kewenangan dokter dari UU no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran.
Pasal 35
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai
wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi
yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien
b. memeriksa fisik dan mental pasien
c. menentukan pemeriksaan penunjang
d. menegakan diagnosis
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi
g. menulis resep obat dan alat kesehatan
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan, dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien bagi yang praktik didaerah
terpencil yang tidak ada apotek.

Tugas dan kewenangan bidan dari UU no 4 tahun 2019 tentang kebidanan


Pasal 46

(1) Dalam menyelenggarakan praktik kebidanan, bidan bertugas memberikan pelayanan


yang meliputi:
a. pelayanan kesehatan ibu
b. pelayanan kesehatan anak
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
d. pelaksanaan tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau
e. pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Kasus 11
Johan Apt, Apoteker baru lulus mau mendirikan apotek baru yang jaraknya 20 m dari apotek
Rakyat. bekerjasama dengan pemodal, sementara APA dan sekaligus PSA apotek rakyat
adalah apoteker.

jawab:
Permasalahan kasus tersebut dan kaitannya dengan etika profesi kefarmasian :
a. Berdasarkan Permenkes No 284 tahun 2007 tentang apotek rakyat pada,
- Pasal 1, Apotek Rakyat yaitu sarana kesehatan tempat dilaksanakannya pelayanan
kefarmasian dimana dilakukan penyerahan obat dan perbekalan kesehatan, dan
tidak melakukan peracikan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa apotek rakyat dalam pelayanan kefarmasian harus
mengutamakan obat generik, serta apotek rakyat dilarang menyediakan narkotika
dan psikotropika, meracik obat dan menyerahkan obat dalam jumlah besar.
b. Berdasarkan PMK no 9 tahun 2007 tentang Apotek pada,
- Pasal 3 ayat 1 dan 2, Apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri
dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Dalam
hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka
pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang
bersangkutan.
- Pasal 4, Pendirian Apotek harus memenuhi persyaratan yang meliputi lokasi,
bangunan, sarana, prasarana dan peralatan serta ketenagaan.
- Pasal 5 menerangkan bahwa pemerintah daerah kabupaten atau kota dapat
mengatur persebaran apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses
masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
- Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
c. Berdasarkan Peraturan Bupati Bantul No 49 tahun 2012 tentang perubahan atas
peraturan bupati Bantul no 25 tahun 2012 tentang penyelenggaraan apotek di
kabupaten Bantul pada pasal 7 ayat 1 menerangkan bahwa pendirian dan
penyelenggaraan apotek baru berjarak pada radius paling sedikit 500 m dari apotek
yang sudah ada.
d. Berdasarkan PMK no 14 Tahun 2021 Tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk
pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kesehatan berupa
Persyaratan umum meliputi
- Pelaku usaha non perseorangan berupa Perseroan Terbatas, Yayasan dan/atau
Koperasi, Pelaku usaha nonperseorangan melampirkan dokumen Surat perjanjian
kerjasama dengan Apoteker yang disahkan oleh notaris
- data penanggung jawab teknis meliputi KTP, STRA dan SIPA
- Bukti pembayaran pendapatan daerah (PAD)
- Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 hari sejak pelaku usaha
mengajukan permohonan
- Durasi pemberian izin apotek paling lama 9 hari sejak dokumen dinyatakan
lengkap
e. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia pada
- Pasal 7, Seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjauhkan
diri dari usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan
kepentingan tertentu lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur
jabatan kefarmasian.
- Pasal 15, Seorang Apoteker harus menjaga hubungan baik dengan teman
sejawatnya serta memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan dengan mempertimbangkan kepentingan bersama

Skenario kasus 15
Sebuah industri memproduksi sediaan ivermectin tablet dan sudah ditemukan di pasaran.
Badan POM RI menemukan ivermectin tablet tersebut belum terdaftar.

Jawab:
Peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan kasus tersebut adalah
a. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan, pada :
- Pasal 106 ayat 1 yaitu “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar.”
- Pasal 197 yaitu “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin
edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”
b. Berdasarkan keputusan BPOM RI no HK.02.02.1.2.07.21.288 tahun 2021
tentang petunjuk teknis prinsip penggunaan obat melalui skema perluasan
penggunaan khusus (expanded access program) pada kondisi darurat BAB I
menyatakan bahwa

“Pada kondisi darurat yang disebabkan oleh penyakit yang mengancam jiwa dan
belum ada atau terbatasnya obat yang digunakan untuk terapi, maka dimungkinkan
penggunaan suatu obat yang memiliki potensi dalam mengobati penyakit tersebut dan
sedang dilakukan penelitian untuk membuktikan khasiat keamanannya dalam skema
perluasan penggunaan khusus. Skema perluasan penggunaan khusus atau Expanded
Access Program diperlukan dalam rangka mendukung pengobatan penyakit pada
kondisi darurat, dan memberikan percepatan akses penggunaan obat yang belum
mendapatkan izin edar dan/atau obat dengan indikasi baru yang diduga memiliki
potensi dalam pengobatan penyakit tersebut dan sedang dalam penelitian. Dengan
mempertimbangkan manfaat yang lebih besar dibanding risiko jika kondisi
darurat penyakit tidak diobati, maka obat yang belum mendapatkan izin edar
dan/atau obat dengan indikasi baru yang sedang dalam penelitian dapat
digunakan melalui skema perluasan penggunaan khusus (Expanded Access
Program/EAP).”

C. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia dan sumpah/janji apoteker yang


berkaitan antara lain :

1. Berdasarkan kode etik apoteker indonesia tahun 2022 Pasal 20 yaitu “Seorang
Apoteker yang berpraktik di bidang pembuatan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya sesuai dengan tugasnya harus melaksanakan pekerjaannya
sesuai ketentuan yang berlaku agar sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan
lainnya yang dibuat terjamin khasiatnya, aman dan bermutu”.

Pada Bab II Pasal 6 poin ke 5 yaitu Seorang Apoteker harus memahami


peraturan perundangan yang terkait dengan kefarmasian. Untuk itu seorang
Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan peraturan, sehingga seorang
Apoteker dapat menjalankan profesinya dengan tetap berada dalam koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 20 Tahun 1962
tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker pasal 1 ayat 2 poin 3 yaitu Sekalipun
diancam,saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan dan pasal 1 ayat 2 poin 4
yaitu Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan
martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

C. Dari Aspek kemuhammadiyahan

1. Menurut al Dardiri, "Darurat ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan
yang teramat sangat.
2. Pada kasus darurat, misalnya seperti kejadian covid, penggunaan ivermectin
diperbolehkan meski belum terdaftar. Hal ini selaras dengan al-Quran, QS al-
Maidah [5] ayat 32,
َ َّ‫ض فَ َكَأنَّ َما قَت ََل الن‬
‫اس َج ِميع‬ ِ ْ‫س َأوْ فَ َسا ٍد فِي اَأْلر‬
ٍ ‫َم ْن قَتَ َل نَ ْفسًا بِ َغي ِْر نَ ْف‬ .3

Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh)
orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan
dia telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
semuanya.

4. Berdasarkan Etika Bisnis Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah

Tidak boleh ada yang ad-darar (yg merugikan/ membahayakan)


Dari ’Ubadah Ibn as-Samit Diriwayatkan bahwa) Rasulullah saw menetapkan tidak boleh
membuat kemadaratan dan tidak boleh pula membalas kemadaratan (HR. Ibn Majah dan
Ahmad)

Tidak boleh ada kecurangan dan penipuan


Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila
menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau
menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (QS. Al-Mutaffifin (83) : 1 – 3)

Skenario kasus 16
Apoteker M bekerja sebagai salah satu staf di salah satu PT Farmasi di provinsi Y. Saat ini
apoteker M juga tercatat masih sebagai APA (Apoteker Penanggung jawab Apotek) di salah
satu apotek di provinsi yang berbeda. Alasan yang diungkapkan oleh apoteker M belum
melepas apotek tersebut karena ingin membantu PSA (Pemilik Sarana Apotek) yang belum
sanggup membayar penuh 2 apoteker jika stand by semua karena kondisi apotek yang
omsetnya masih rendah. Selama ini pekerjaan kefarmasian di apotek tersebut dilakukan oleh
Aping (Apoteker Pendamping) dan AA (Asisten Apoteker)
Jawab:
1. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 1 ayat 13
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
Apoteker
Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian”
Pasal 21 ayat 2
Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker”.
Pasal 51 ayat 1
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat
dilakukan oleh Apoteker”

2. Menurut PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 31 TAHUN 2016,
Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker; atau
b. SIPTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 18 ayat 1:
(1) SIPA bagi Apoteker di fasilitas kefarmasian hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat
fasilitas kefarmasian.

Pasal 19
SIPA atau SIPTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota
tempat Tenaga Kefarmasian menjalankan praktiknya.

3. Menurut PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 889 TAHUN 2011,
SIPA, SIKA, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang:
a. STRA atau STRTTK masih berlaku; dan
b. tempat praktik/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA, SIKA, atau
SIKTTK.

4. PMK No. 922/MENKES/PER/X/1993 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian


Izin Apotek
Pasal 5 huruf e
Untuk menjadi Apoteker Pengelola Apotek harus tidak bekerja disuatu Perusahaan Farmasi
dan tidak menjadi Apoteker Pengelola Apotek di Apotek lain
5. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
Pasal 19.
(1) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka
Apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker pendamping.”
(2) “Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker
Pengganti”
(5) “Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus-
menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.”

5. Kode etik apoteker


BAB I KEWAJIBAN UMUM
Pasal 3
Seorang Apoteker harus berintegritas tinggi, senantiasa menjalankan profesinya secara
profesional dan bertanggung jawab, sesuai Standar Kompetensi Apoteker Indonesia serta
selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan
kewajibannya.

Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya setiap Apoteker/Farmasis harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian “

6. Dari aspek kemuhammadiyahan


1. ”Setiap muslim harus memenuhi setiap aturan yang mereka sepakati. Kecuali
kesepakatan dalam rangka menghalal yang haram atau mengharamkan yang halal.”
(HR. Abu Daud 3594, Turmudzi 1352, dan dishahihkan al-Albani)

2. Berdasarkan surah al-anfal ayat 27 :


َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ُخوْ نُوا هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل َوتَ ُخوْ نُ ْٓوا اَمٰ ٰنتِ ُك ْم َواَ ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُموْ ن‬
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.
3. Berdasarkan Etika Bisnis Menurut Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah

At-Ta’awun (Tolong menolong)

Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya (QS: al-Ma’idah (5) :
2).
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan bahwa) Ia berkata: Rasulullah saw bersabda:…dan
Allah selalu menolong hamba-hamba-Nya selama hamba-Nya suka menolong
saudaranya (HR. Muslim).

Penyelesaian dalam hal ini :


1. Berdasarkan PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 889 TAHUN 2011
Pasal 23 Ayat 1:
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA atau
SIKTTK karena:
a. atas permintaan yang bersangkutan;
b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi;
c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam surat izin;
d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk
menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan pembinaan dan pengawasan dan
ditetapkan dengan surat keterangan dokter;
e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan rekomendasi
KFN; atau
f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan
putusan pengadilan.

2. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.


1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian
Izin Apotek
Pasal 19. Ayat (5)
“Apabila APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun secara terus-
menerus, SIA atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.”

Berdasarkan peraturan yang disebutkan di atas, SIPA dari apoteker dapat dicabut
karena telah melanggar peraturan, dan SIA atas nama Apoteker bersangkutan juga
dapat dicabut (jika APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua) tahun
secara terus-menerus).
Skenario Kasus 3 :Apoteker Pendamping Apotek Y ketika memberikan informasi obat
kepada pasien tidak sesuai dengan ketentuan yang seharusnya. Hal ini menyebabkan
konsumen tidak terima dengan informasi yang disampaikan baik mengenai obat dan harga
obat. Ternyata setelah dilakukan klarifikasi kepada Apoteker Pendamping dia mengakui
bahwa dia melakukan kesalahan tersebut.
1. Berikan pendapat Anda sebagai sejawat Apoteker pada kasus tersebut! (setuju atau tidak
setuju)? Tidak Setuju,pada kasus diatas apoteker melakukan medication error.
2. Berikan argumen Anda terhadap pendapat yang Anda pilih!
Dari kasus tersebut apoteker pendamping mengakui kesalahannya dan yang seharusnya
dilakukan apoteker setelah penyiapan obat dan menyerahkan obat kepada pasien menurut
“ Permenkes 73 tahun 2016, Hal. 16 “ yaitu:
 Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep);
 Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
 Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
 Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat;
 Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat antara
lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek
samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain;
 Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat
pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
 Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya;
 Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker (apabila
diperlukan);
 Menyimpan resep pada tempatnya;
 Apoteker membuat catatan pengobatan pasien.
Informasi yang harus disampaikan kepada pasien menurut Permenkes no.  73 tahun
2016
 Dosis
 Bentuk sediaan
 Formulasi khusus
 Rute dan metoda pemberian
 Farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, 
 Efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,
 Efek samping, 
 Interaksi, 
 Stabilitas
 Ketersediaan
 Harga
 Sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain

3. Berikan penjelasan mengenai apa yang akan Anda lakukan terhadap kasus tersebut jika
Anda sebagai Apoteker Pengelola Apotek (APA)!
Pada kasus ini dapat dilakukan tindakan sesuai pedoman pada kode etik Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI) tahun 2022 BAB IV tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Teman
Sejawat pada pasal 16 disebutkan bahwa:
“Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan Kode Etik.”
Di samping itu, praktik profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker Indonesia
dan apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya, ia dapat dikenakan
sanksi. Hal tersebut dijelaskan pada Kode Etik Apoteker Indonesia Bab III Pasal 11 yang
berbunyi:

“Seorang Apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus mengutamakan


kepentingan masyarakat dan menghormati hak asazi penderita dan melindungi makhluk
hidup insani.”

Pedoman pelaksanaan, dari pasal ini yaitu mencakup :

1. Bilamana seorang apoteker mengetahui teman sejawatnya melanggar kode etik, dengan
cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan sejawatnya tersebut untuk
memberitahukan adanya kekeliruan.
2. Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat menyampaikan
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, atau pengurus Majelis Etik secara
berjenjang

Karena kesalahan tersebut sudah dilakukan oleh apoteker dan diakui sebagai kesalahannya
dalam memberikan informasi dan harga obat kepada pasien maka apoteker tersebut akan
dikenai sanksi yang tertera pada kode etik Apoteker BAB VII pasal 23 No 4 dijelaskan
bahwa :

“Apabila seorang Apoteker telah terbukti melakukan pelanggaran dan mendapat sanksi dari
Organisasi Profesi dan/atau pemerintah maka, Apoteker tersebut harus mengakui dan
menerimanya.”

Skenario kasus 4: Medical representative Industri farmasi H mengajak Apoteker yang


bekerja di Apotek untuk membuat apoteknya menjadi apotek panel yang dapat digunakan
untuk melayani dokter yang melakukan dispensing. Keuntungan yang akan diterima Apotek
akan menjadi lebih banyak termasuk akan mendapatkan bagi hasil dari total omzet penjualan
oleh dokter dispensing tersebut.

Tugas:
1. Berikan pendapat Anda sebagai sejawat Apoteker pada kasus tersebut! (setuju atau tidak setuju)
2. Berikan argumen Anda terhadap pendapat yang Anda pilih!.
Jawaban:
1. Tidak setuju
2. Apotek panel adalah apotek yang bekerjasama dengan PBF dalam mendistribusikan obat keras
kepada pihak-pihak yang diinginkan oleh PBF yaitu : Dokter, Rumah sakit tanpa apoteker, poliklinik
tanpa apoteker, paramedik, toko obat, dan perorangan/freelancer.Sebagai sejawat apoteker kami
tidak setuju dengan perbuatan tersebut karena melanggar ketentuan perundang-undangan dan kode
etik farmasi
a. Larangan untuk mengutamakan kepentingan materi/keuntungan
Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia Tahun 2022 pasal 1 menyatakan bahwa:
“Seorang apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah/janji
apoteker disarankan niat luhur untuk kepentingan makhluk hidup sesuai dengan tuntutan
Tuhan Yang Maha Esa.”
Selain itu, pasal 7 menyatakan bahwa:
“Seorang apoteker dalam menjalankan tugasnya harus menjauhkan diri dari usaha cari
keuntungan pribadi semata atau kelompok dan kepentingan tertentu lainnya yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.”
Hal di atas didukung dengan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 25 yang
menjelaskan bahwa:
“Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna
pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.”
Pada pasal 23 ayat 4 juga disebutkan bahwa
“Selama memberikan pelayanan kesehatan dilarang mengutamakan kepentingan yang
bernilai materi.”
b. Larangan terkait apotek panel
Terhitung mulai tanggal 19 Juni 2011, berdasarkan Surat Edaran No 215/PP-IAI/VI/2011 Ikatan
Apoteker Indonesia menyatakan praktek apotek panel dilarang dan bagi apoteker yang masih
melakukan praktik tersebut terancam sanksi pencabutan rekomendasi izin praktek apotekernya.
Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia mengambil sikap sebagai berikut:
1. Melarang praktik PANEL dalam segala bentuknya baik oleh apoteker dan atau Rumah
Sakit bersama dengan distributor (PBF).
2. Agar pengurus daerah dan atau pengurus cabang dapat merumuskan dan mengambil
langkah sistemik atau strategik dalam rangka mencegah praktek PANEL.
3. Mengambil tindakan tegas kepada sejawat apoteker yang terbukti melakukan praktek
PANEL dengan sanksi maksimal pencabutan rekomendasi baik bagi apoteker atau Rumah
Sakit maupun apoteker PBF. 
c. Ketentuan penyaluran obat oleh PBF
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1148/MENKES/PER/VI/2011 tentang Pedagang Besar Farmasi Pasal 20 dan 21
Pasal 20 
“PBF dan PBF Cabang hanya melaksanakan penyaluran obat berupa obat keras berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. “
Pasal 21 
(1) PBF dan PBF Cabang hanya dapat menyalurkan bahan obat kepada industri farmasi, PBF dan
PBF Cabang lain, apotek, instalasi farmasi rumah sakit dan lembaga ilmu pengetahuan. 
(2) Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan surat pesanan yang ditandatangani
apoteker pengelola apotek atau apoteker penanggung jawab. 
Menurut Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 6 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 9 Tahun 2019
tentang Pedoman Teknis Cara Distribusi Obat yang Baik tentang Penerimaan Pesanan
pada poin 4.40 yaitu:
4.40 Pada saat penerimaan surat pesanan baik secara manual maupun secara elektronik,
penanggung jawab harus memastikan :
a. Pemesan terdaftar sebagai pelanggan atau anggota yang terverifikasi dalam sistem
aplikasi
b. Kebenaran dan keabsahan surat pesanan, meliputi :
1. nama dan alamat penanggung jawab sarana pemesan
2. nama, bentuk dan kekuatan sediaan, jumlah (dalam bentuk angka dan huruf) dan isi
kemasan dari Obat/Bahan Obat yang dipesan
3. nomor surat pesanan
4. nama, alamat, dan izin sarana pemesanan
5. nama, Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA)/Surat Izin Praktik Tenaga Teknis
Kefarmasian (SIPTTK) Penanggung Jawab sarana pemesan.
d. Larangan dokter dispensing obat
Peraturan Pemerintah No 51 tahun 2009 pada pasal 21 ayat 2 menyebutkan bahwa
“Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker. “
Lalu pada pasal 22 dijelaskan bahwa:
“Apabila dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau dokter gigi yang telah
memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Hal tersebut juga diatur dalam kode etik kedokteran, yang menyebutkan bahwa :
(1) Setiap dokter wajib menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dan atau janji
dokter.
Seorang dokter wajib menghormati hak-hak pasien, teman sejawatnya, dan tenaga kesehatan
lainnya, serta wajib menjaga kepercayaan pasien.Penghormatan terhadap teman sejawat dalam
konteks pasal 10 dikaitkan dengan upaya bersama sesama sejawat untuk melakukan pengabdian
profesi.
Kesimpulan
1. Apoteker harus menyampaikan informasi mengenai obat kepada pasien
2. Apotek panel terjadi karena apoteker melupakan tanggung jawab profesinya demi
mendapatkan keuntungan dari adanya Apotek panel
3. Apotek panel sangat merugikan apotek lain terutama apotek kecil
4. Apotek panel dilarang dan bagi apoteker yang masih melakukan praktik tersebut
terancam sanksi pencabutan rekomendasi izin praktek apotekernya
Saran
1. Praktik apotek dan bisnis farmasi harus ditertibkan
2. pemberlakuan sanksi yang tegas terhadap oknum-oknum yang melakukan apotek panel
3. Apoteker lebih menjujung tinggi kode etik profesi sehingga dapat menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi
luhur jabatan kefarmasian serta memperlakukan teman sejawat seperti dia ingin
diperlakukan
Skenario Kasus 7 :Karena stock habis, TTK di rumah sakit melakukan penggantian amoxan
menjadi kalmoxillin. Penggantian obat tanpa konfirmasi dokter penulis resep karena
mempertimbangkan stock obat kalmoxillin yang masih sangat banyak.
Tugas:
1. Berikan pendapat Anda pada kasus tersebut! (setuju atau tidak setuju)
2. Berikan argumen Anda terhadap pendapat yang Anda pilih!
3. Berikan penjelasan mengenai apa yang akan Anda lakukan terhadap kasus tersebut jika
Anda sebagai Apoteker yang bertanggungjawab pada shift tersebut!
Jawaban:
1. Kami tidak setuju dengan TTK di rumah sakit yang melakukan penggantian amoxan
menjadi kalmoxillin tanpa konfirmasi dokter penulis resep.
2. Pada PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian bagian kelima Pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, pasal 24 poin b dijelaskan
bahwa: Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
(PMK No. 72 Tahun 2016, Bab III (Pelayanan Farmasi Klinik) point A.1 Pengkajian
dan pelayanan resep “ Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah
terkait Obat, bila ditemukan masalah terkait Obat harus dikonsultasikan kepada
dokter penulis Resep. Apoteker harus melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan
administrasi, persyaratan farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap
maupun rawat jalan”. “Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan
ketersediaan, penyiapan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi. Pada
setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan terjadinya kesalahan
pemberian Obat (medication error)”.
Dalam PMK No. 9 tahun 2017 tentang Apotek pasal 21 menyatakan bahwa:
(1)Apoteker wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya
yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
(2)Dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek dagang, maka Apoteker dapat
mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau
obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
(3)Dalam hal obat yang diresepkan tidak tersedia di Apotek atau pasien tidak mampu
menebus obat yang tertulis di dalam Resep, Apoteker dapat mengganti obat setelah
berkonsultasi dengan dokter penulis Resep untuk pemilihan obat lain.
(4)Apabila Apoteker menganggap penulisan Resep terdapat kekeliruan atau tidak tepat,
Apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis Resep.
(5)Apabila dokter penulis Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap pada
pendiriannya, maka Apoteker tetap memberikan pelayanan sesuai dengan Resep
dengan memberikan catatan dalam Resep bahwa dokter sesuai dengan pendiriannya.
3. Jika saya sebagai Apoteker yang bertanggungjawab pada shift tersebut maka:
● Apabila belum dilakukan penyerahan obat kepada pasien, maka kita sebagai Apoteker
melakukan konfirmasi penggantian obat amoxan menjadi kalmoxilin kepada Dokter
bersamaan dengan pemberian informasi terkait stok obat dengan merek amoxan habis
dan stok yang tersedia dalam jumlah yang banyak adalah merek dagang kalmoxilin,
diharapkan untuk peresepan mendatang bisa menggunakan obat dengan merek dagang
kalmoxilin. Jika Dokter setuju dengan penggantian obat tersebut langkah selanjutnya
adalah konfirmasi kepada pasien serta memberikan penjelasan terkait kegunaan obat
yang sama, hanya saja berbeda merek dagang. Setelah itu baru dapat dilakukan
penyerahan obat kepada pasien.
● Apabila telah dilakukan penyerahan obat kepada pasien, maka kita sebagai Apoteker
memberikan edukasi kepada TTK bahwa penggantian obat harus dikonfirmasi kepada
dokter penulis resep dan/atau pasien. Hal ini diatur dalam PP No. 51 tahun 2009 pasal
24 b, PMK No. 72 Tahun 2016, Bab III (Pelayanan Farmasi Klinik) poin A.1, dan PMK
No. 9 tahun 2017 tentang Apotek pasal 21.
Berdasarkan Kode Etik Apoteker Indonesia tahun 2022 pada BAB IV KEWAJIBAN
APOTEKER TERHADAP TEMAN SEJAWAT Pasal 16, dijelaskan bahwa:
“Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk
mematuhi dan mengamalkan ketentuan-ketentuan Kode Etik Apoteker Indonesia.”
● Apoteker yang bertanggungjawab perlu memastikan telah adanya SOP terkait
penerimaan resep dan telah diinformasikan kepada seluruh tenaga farmasis yang
bertugas di instalasi farmasi RS tersebut. Hal ini seperti yang disebutkan pada Kode
Etik Apoteker Pasal 6 yang berbunyi “Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti
perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, peraturan perundang-
undangan, dan isu terkini tentang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada
khususnya.” Salah satu pedoman pelaksanaan dari pasal tersebut adalah “Seorang
Apoteker harus membuat/mempunyai SPO (Standar Prosedur Operasional) sebagai
Pedoman kerja bagi seluruh personil di sarana pelayanan kefarmasian sesuai
kewenangan atas dasar peraturan perundang-undangan yang ada.”
Kesimpulan: Tindakan TTK pada kasus diatas tidak dibenarkan, penggantian obat harus
dikonfirmasi kepada dokter dan/atau pasien, yang mengacu pada (PP No.51 Tahun 2009;
PMK No.72 Tahun 2016; PMK No.9 Tahun 2017).
Saran
1. Apabila belum dilakukan penyerahan obat kepada pasien maka perlu dilakukan edukasi
kepada TTK, dan konfirmasi ke Dokter yang menulis resep.
2. Apabila penyerahan obat telah dilakukan maka hal pertama adalah konfirmasi ke Dokter,
dan mengedukasi TTK, serta melakukan konfirmasi ke pasien terkait penggantian obat.
3. Apoteker yang bertanggungjawab perlu memastikan telah adanya SOP terkait penerimaan
resep dan telah diinformasikan kepada seluruh tenaga farmasis yang bertugas di instalasi
farmasi RS tersebut.
KASUS 8 :Diketahui order kalmoxillin 4x lipat dari kebutuhan, karena bagian pembelian
mendapatkan hadiah dari salesman perusahaan tersebut.
Tugas :
1. Peraturan perundang undangan apa saja yang berkaitan dengan kasus tersebut ?
2. Jelaskan etika profesi kefarmasian dan sumpah/ janji apoteker yang berkaitan dengan
kasus tersebut.
Jawaban :
1. Dalam Permenkes no 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit BAB II ( Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan
Medis Habis Pakai ) disebutkan bahwa :
“Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai di Rumah Sakit yang menjamin seluruh rangkaian kegiatan
perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
ketentuan yang berlaku serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya.”
Pada Permenkes no. 72 tahun 2016 hal 17, juga disebutkan bahwa perencanaan kebutuhan
harus mempertimbangkan :
Pedoman perencanaan kebutuhan harus mempertimbangkan:
● anggaran yang tersedia
● penetapan prioritas;
● sisa persediaan;
● data pemakaian periode yang lalu;
● waktu tunggu pemesanan; dan
● rencana pengembangan.
Disebutkan juga mengenai Tujuan Pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai pada Permenkes no. 72 tahun 2016 hal 23 adalah
untuk:
a. penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b. penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan
c. memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian
pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
2.Berdasarkan dengan kasus diatas, apoteker bagian pembelian melakukan kesalahan karena
order kalmoxillin 4x lipat dari kebutuhan karena akan mendapatkan imbalan. Hal ini dilarang
dalam UU no 36 tahun 2006 tentang kesehatan, pasal 23 ayat (4) yang dijelaskan bahwa “
Selama memberikan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi. Adapun dijelaskan pada ayat (1) “
Tenaga Kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan”.
Karena apoteker bagian pembelian mendapatkan imbalan dan/atau hadiah dari order
kalmoxillin, maka hal tersebut termasuk dalam kegiatan suap. Pengertian suap, Pemerasan,
dan Gratifikasi tertera pada penjelasan dibawah ini :
Perbedaan antara Suap, Pemerasan, dan gratifikasi :
a. Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas
layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai, walau melanggar
prosedur.
b. Pemerasan terjadi apabila petugas layanan secara aktif menawarkan jasa atau
meminta imbalan kepada pengguna layanan dengan maksud agar dapat membantu
mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa, walau melanggar prosedur.
c. Gratifikasi terjadi apabila pihak pengguna layanan memberikan sesuatu kepada
pemberi layanan tanpa adanya penawaran, transaksi atau deal untuk mencapai tujuan
tertentu yang diinginkan. Biasanya hanya memberikan tanpa ada maksud apapun.
*Dalam kasus suap dan pemerasan, terdapat kata kunci, yaitu adanya transaksi atau
deal di antara kedua belah pihak sebelum kasus terjadi, sedangkan dalam kasus gratifikasi
tidak ada. Gratifikasi lebih sering dimaksudkan agar pihak petugas layanan dapat
tersentuh hatinya, agar di kemudian hari dapat mempermudah tujuan pihak pengguna
jasa, namun hal tersebut tidak diungkapkan pada saat pemberian terjadi. Istilah ini dapat
disebut dengan "tanam budi" si pengguna jasa kepada pemberi layanan.
3. Berdasarkan dengan kasus diatas, apoteker bagian pembelian melakukan kesalahan
karena order kalmoxillin 4x lipat dari kebutuhan karena akan mendapatkan imbalan.
Hal ini melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 12B. Yang berbunyi:
- Pasal 3 : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah).
- Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
4. Berdasarkan dengan kasus diatas. maka sebagai seorang apoteker menjalankan
tugasnya sesuai dengan etika profesi apoteker yang berlaku. Hal tersebut tertera pada
penjelasan dibawah ini :
a. Pada kode etik apoteker tahun 2022 BAB II tentang Kewajiban Apoteker
Terhadap Diri Sendiri :
● Pasal 7 :“Seorang Apoteker dalam menjalankan tugasnya harus selalu menjauhkan diri
dari usaha mencari keuntungan pribadi semata atau kelompok dan kepentingan tertentu
lainnya yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian”.
● Pasal 8 : “Seorang Apoteker harus berbudi luhur, sanggup menjaga dan
mempertahankan nama baiknya, kepercayaan terhadap profesinya dan kompetensi
profesinya serta menjadi contoh yang baik bagi orang lain”.
● Pasal 17 : “Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerja sama yang baik dengan sesama Apoteker dalam memelihara
keluhuran martabat jabatan kefarmasian serta mempertebal rasa saling mempercayai
dalam menjalankan pengabdian profesinya”.
Pada Pedoman Pelaksanaan Dari Kode Etik Apoteker Indonesia juga disebutkan bahwa :
● Integritas adalah bertindak sesuai ucapan (satu kata dan perbuatan), memegang prinsip
profesinya, dan tidak terpengaruh ancaman, bujukrayu, jujur, tranparan, dan objektif.
Kesimpulan : Kejadian pada kasus diatas tidak dibenarkan karena telah melanggar UU no
36 tahun 2006 tentang Kesehatan dan juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 12B.

Skenario Kasus 12: Maya Apt, melakukan Panel dispensing ke bidan, mantri dan dokter.
Menurut Anda boleh tidak?

Tugas:

1. Bagaimana jika kamu sebagai teman sejawat dari Maya Apt tersebut, apa yang mesti
harus kamu lakukan?
2. Apotek z menjual obat keras secara online. Berikan pendapat kamu apakah boleh
apotek online merugikan atau membahayakan profesi apoteker!

Jawaban:

1. Panel dispensing ke bidan, mantri dan dokter


A. Jika kasus terjadi di perkotaaan yang sudah terdapat Apotek
Jika kasus di atas terjadi pada kondisi normal (tidak terjadi kelangkaan atau kekosongan stok)
dan bukan di daerah terpencil, maka tindakan apoteker Maya tersebut tidak diperbolehkan.
Karena yang berwenang untuk melakukan dispensing adalah apoteker, hal ini seperti yang
telah diatur dalam PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 21:
Pasal 21
1. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
2. Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
3. Dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan
Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan
kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada
pasien.

Apotek juga dilarang untuk melakukan apotek panel, sesuai dengan Surat Edaran No
215/PP-IAI/VI/2011 Ikatan Apoteker Indonesia menyatakan praktek apotek panel dilarang
dan bagi apoteker yang masih melakukan praktik tersebut terancam sanksi pencabutan
rekomendasi izin praktek apotekernya. Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia mengambil
sikap sebagai berikut:
1. Melarang praktik PANEL dalam segala bentuknya baik oleh apoteker dan atau Rumah
Sakit bersama dengan distributor (PBF).
2. Agar pengurus daerah dan atau pengurus cabang dapat merumuskan dan mengambil
langkah sistemik atau strategik dalam rangka mencegah praktek.
3. Mengambil tindakan tegas kepada sejawat apoteker yang terbukti melakukan praktek
PANEL dengan sanksi maksimal pencabutan rekomendasi baik bagi apoteker atau Rumah
Sakit maupun apoteker PBF.

Sikap yang perlu diambil selaku teman sejawat apoteker Maya adalah mengingatkan terkait
aturan yang melarang tentang kegiatan tersebut. Hal ini didasarkan pada Kode Etik Apoteker
Indonesia tahun 2022 pada BAB IV KEWAJIBAN APOTEKER TERHADAP TEMAN
SEJAWAT Pasal 16, dijelaskan bahwa:
“Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi
dan mengamalkan ketentuan-ketentuan Kode Etik Apoteker Indonesia.” 
Pedoman pelaksanaan dari pasal ini yaitu mencakup :
1. Bilamana seorang apoteker mengetahui teman sejawatnya melanggar kode etik, dengan
cara yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan sejawatnya tersebut untuk
memberitahukan adanya kekeliruan.
2. Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat menyampaikan
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, atau pengurus Majelis Etik secara berjenjang

B. Jika terjadi di daerah terpencil dan tidak ada apotek:


Apabila kasus diatas terjadi pada daerah terpencil dan tidak ada apotek atau dalam kondisi ter
tentu seperti kelangkaan dan kekosongan obat, maka tindakan apoteker Maya yang melakuka
n panel dispensing ke bidan dan dokter diperbolehkan dengan memenuhi beberapa ketentuan.
Hal ini seperti diatur dalam:
PP 51 tahun 2009 pada Pasal 22 “Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, d
okter atau dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi mempunyai wewenang m
eracik dan menyerahkan obat kepada pasien yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan p
eraturan perundang-undangan”.
Berdasarkan PMK No. 9 tahun 2019 tentang Apotek Pasal 17:
(1) Apotek hanya dapat menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai kepada:
a. Apotek lainnya;
b. Puskesmas;
c. Instalasi Farmasi Rumah Sakit;
d. Instalasi Farmasi Klinik;
e. dokter;
f. bidan praktik mandiri;
g. pasien; dan
h. masyarakat.
(2) Penyerahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d hanya dapat
dilakukan untuk memenuhi kekurangan jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dalam hal:
a. terjadi kelangkaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai di
fasilitas distribusi; dan
b. terjadi kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
di fasilitas pelayanan kesehatan.
(3) Penyerahan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e sampai dengan huruf h hanya dapat dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan Peraturan BPOM No.24 tahun 2021 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat,
Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi di Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian bagian Pemasaran menyebutkan bahwa Apoteker juga dapat menyerahkan
obat kepada bidan praktik mandiri yang dilakukan sesuai perundang-undangan. Pada poin
4.15 dan 4.16 menyebutkan bahwa:
“Penyerahan Obat kepada Bidan Praktik Mandiri sebagaimana dimaksud pada angka 4.9
huruf f hanya yang diperlukan untuk pelayanan antenatal, persalinan normal,
penatalaksanaan bayi baru lahir, nifas, keluarga berencana, dan penanganan awal
kasus kedaruratan kebidanan dan bayi baru lahir. “
“Penyerahan Obat sebagaimana dimaksud pada angka 4.15 harus berdasarkan surat pesanan
kebutuhan obat dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 yang
ditandatangani oleh Bidan yang bersangkutan dan dalam jumlah yang terbatas sesuai
peruntukan.”
2. Berdasarkan PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
NOMOR 8 TAHUN 2020 TENTANG PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN
YANG DIEDARKAN SECARA DARING BAB II Peredaran Obat Secara
Daring
Pasal 7:
(1) Peredaran Obat secara daring hanya dapat dilaksanakan untuk Obat yang termasuk dalam
golongan Obat bebas, Obat bebas terbatas dan Obat keras.
Pasal 8
(1) Obat keras yang diserahkan kepada pasien secara daring wajib berdasarkan Resep yang
ditulis secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain ditulis secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk penyerahan
golongan Obat keras juga dapat dilaksanakan dengan mengunggah Resep ke dalam
Sistem Elektronik.
Sementara itu, berdasarkan BAB VIII Larangan pada Pasal 27, dijelaskan bahwa:
Apotek dan/atau PSEF dilarang mengedarkan secara daring untuk Obat yang termasuk
dalam:
a) Obat keras yang termasuk dalam obat-obat tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
b) Obat yang mengandung prekursor farmasi;
c) Obat untuk disfungsi ereksi;
d) Sediaan injeksi selain insulin untuk penggunaan sendiri;
e) Sediaan implan yang penggunaannya memerlukan bantuan tenaga kesehatan; dan
f) Obat yang termasuk dalam golongan Narkotika dan Psikotropika.
Apotek online dapat merugikan atau membahayakan profesi apoteker karena :
● Adanya apotek online membuat peran apoteker sebagai caregiver menjadi berkurang
karena tidak dapat berinteraksi secara langsung kepada pasien dan memberikan layanan
konseling dan edukasi terkait terapi yang diterimanya. Hal ini secara tidak langsung juga
mempengaruhi peran apoteker sebagai communicator, dikarenakan apoteker tidak
berinteraksi secara langsung dengan pasien dan hanya menerima pesanan melalui aplikasi
online.
Skenario 13: Seorang apoteker di puskesmas kecamatan Y ketika melayani pasien tidak
sama sekali memberikan informasi obat kepada pasien sesuai dengan indikasi yang
seharusnya karena apoteker saat itu sedang mengerjakan hal lain disaat jam pelayanan. Hal
ini menyebabkan konsumen minum obat DM > 5 kali sehari sehingga ia mengalami efek
samping hipoglikemia. Hal ini menyebabkan keluarga pasien tidak terima mengenai efek
samping obat pasien. Ternyata setelah dilakukan klarifikasi kepada apoteker dia mengakui
bahwa dia melakukan kesalahan tersebut.
Tugas : Apakah permasalahan pada kasus tersebut berkaitan dengan kode etik apoteker ?
Permasalahan pada kasus diatas : Medication Error
1. Berdasarkan Permenkes no. 74 Tahun 2016 pada pasal 3 (3) Pelayanan farmasi klinik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:
a. pengkajian resep, penyerahan Obat, dan pemberian informasi Obat;
b. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
c. konseling;
d. ronde/visite pasien (khusus Puskesmas rawat inap);
e. pemantauan dan pelaporan efek samping Obat;
f. pemantauan terapi Obat; dan
g. evaluasi penggunaan Obat
2. Berdasarkan Permenkes no. 74 tahun 2016 disebutkan bahwa apoteker wajib melakukan
konseling kepada pasien. Hal ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang benar
mengenai Obat kepada pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal
pengobatan, cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan dan penggunaan Obat.
Dimana kegiatan konseling di Puskesmas dilakukan dengan cara :
● Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
● Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter kepada pasien
dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question), misalnya apa yang dikatakan
dokter mengenai Obat, bagaimana cara pemakaian, apa efek yang diharapkan dari Obat
tersebut, dan lain-lain.
● Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
● Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat untuk mengoptimalkan tujuan
terapi.
3. Berdasar dengan UU No. 36 tahun 2009 pada Pasal 4-8 Hak warga negara dalam
bidang kesehatan pada pasal 4-8 secara berurutan sebagai berikut:
a. Pasal 4 : Setiap orang berhak atas kesehatan.
b. Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di
bidang kesehatan
(2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman,
bermutu, dan terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri
pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
c. Pasal 6
Setiap orang berhak mendapatkan lingkungan yang sehat bagi pencapaian derajat kesehatan.
d. Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
e. Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Selain itu masyarakat atau pasien akan mendapatkan Perlindungan Pasien UU No.36
tahun 2009 pasal 56-58 sebagai berikut :

Pasal 56

1. Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan
yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi mengenai
tindakan tersebut secara lengkap.
2. Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
3. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
4. Tuntutan ganti rugi tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan
penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.

Pasal 57

1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan
kepada penyelenggara pelayanan kesehatan.
2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. perintah undang-undang;
b. perintah pengadilan;
c. izin yang bersangkutan;
d. kepentingan masyarakat; atau
e. kepentingan orang tersebut.
Pasal 58
1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Kewajiban dan tanggung jawab apoteker Sebagai tenaga Kesehatan dalam UU No.36 tahun
2014 pasal 58- 60 secara berurutan:

Pasal 58: Tenaga kesehatan dalam menjalankan pratik wajib:

a. Memberikan kesehatan sesuai Standar Profesi, pelayanan dengan Standar Pelayanan


Profesi, Standar Prosedur Operasional, dan etika profesi serta kebutuhan kesehatan
penerima pelayanan kesehatan
b. Memperoleh persetujuan dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya atas
tindakan yang akan diberikan
c. Menjaga kerahasiaan kesehatan penerima pelayanan kesehatan
d. Membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan
tindakan yang dilakukan
e. Merujuk penerima pelayanan kesehatan ke tenaga kesehatan lain yang mempunyai
kompetensi dan kewenangan yang sesuai.

f. Tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan wajib
memberikan pertolongan pertama kepada penerima pelayanan kesehatan dalam keadaan
gawat darurat dan/atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan
kecacatan.
g. Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak penerima
pelayanan kesehatan dan/atau dilarang meminta uang muka terlebih dahulu.

Pasal 60: Tenaga kesehatan bertanggung jawab untuk:

a. Mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki


b. Meningkatkan Kompetensi
c. Bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi
d. mendahulukan masyarakat kepentingan kepentingan daripada pribadi atau kelompok
e. Melakukan kendali mutu pelayanan dan kendali biaya dalam menyelenggarakan upaya
kesehatan.
4. Berdasarkan UU no. 36 Tahun 2014 pasal 77-79 pada penyelesaian perselisihan.
Pasal 77
“Setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau kelalaian
Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Pasal 78
“Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya
yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang
timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian
sengketa diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Pasal 79
“Penyelesaian perselisihan antara tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Terkait dengan permasalahan diatas, terdapat beberapa masalah yang melanggar atau
tidak sesuai dengan Penetapan Kode Etik Apoteker Indonesia Tahun 2022

1. BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Diri Sendiri pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa
:
“Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi, peraturan perundang-undangan, dan isu terkini tentang
kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.”

Pedoman Pelaksanaan, dari pasal ini yaitu mencakup: Seorang Apoteker harus
membuat/mempunyai SPO (Standar Prosedur Operasional) sebagai Pedoman kerja bagi
seluruh personil di sarana pelayanan kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar peraturan
perundang-undangan yang ada.

2. BAB II Kewajiban Apoteker Terhadap Diri Sendiri pada Pasal 9 yang menyatakan bahwa
:
“Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi dan edukasi yang telah terbukti
kebenarannya dengan profesional sesuai dengan bidang kompetensi yang dimilikinya
demi meningkatkan kepercayaan pada Apoteker dan derajat kesehatan masyarakat.”

Pedoman Pelaksanaan, dari pasal ini yaitu mencakup: Seorang Apoteker memberikan
informasi kepada pasien, masyarakat, profesi kesehatan lain, sejawat apoteker lain, harus
lengkap, benar, jelas, tegas, relevan dan up to date, mudah dimengerti, dengan penuh
kepedulian dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan.
Seorang Apoteker harus senantiasa meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap sediaan
farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dalam bentuk pendampingan pasien individual dan
kegiatan penyuluhan, pemberian informasi secara jelas, pelaksanaan monitoring dan evaluasi,
serta tindak lanjut penggunaan obat.

3. BAB VI Kewajiban Apoteker Terhadap Sediaan Farmasi Dan Perbekalan Kesehatan


Lainnya pada Pasal 21 yang menyatakan bahwa:
“Seorang Apoteker yang berpraktik di bidang pembuatan sediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya sesuai dengan tugasnya harus memberikan informasi
yang wajar dan akurat tentang sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya
yang dibuat di bawah kewenangannya.”
Pedoman Pelaksanaan, dari pasal ini yaitu mencakup: Seorang Apoteker dalam memberi
informasi kepada masyarakat tentang sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya yang
dibawah tanggung jawabnya baik lisan atau tulisan, harus wajar, jujur, tidak berlebihan dan
dapat dipertanggung jawabkan.

SKENARIO KASUS 14: Sebuah industri X memproduksi sediaan jamu Y dan sudah
diedarkan di pasaran. Badan POM RI menemukan ternyata belum terdaftar dan
mencantumkan nomor izin edar palsu.
Tugas 1.Coba jelaskan aturan kode penomoran obat tradisional?
2. Apa pelanggaran yang dilakukan oleh Industri Obat Tradisional dari kasus
tersebut?
3. Apa peraturan perundang-undangan yang dilanggar?
4. Sanksi apa yang diberikan kepada sarana jamu tersebut?
1. Pencantuman Nomor Izin Edar (NIE) pada penandaan obat tradisional, harus diawali
dengan tulisan “POM” yang diikuti 11 digit yang terdiri dari 2 digit pertama berupa huruf
dan 9 digit kedua berupa angka. Berikut penjelasannya:
● Digit ke-1 Digit ke-1 menunjukkan obat tradisional, yaitu dilambangkan dengan huruf T
● Digit ke-2 Digit ke-2 menunjukkan lokasi obat tradisional tersebut diproduksi, misalnya:
Kode huruf:
TR : Obat Tradisional Lokal
TI : Obat Tradisional Impor
TL : Obat Tradisional Lisensi
QD : Obat Quasi Lokal
QI : Obat Quasi Impor
QL : Obat Quasi Lisensi
SD : Suplemen Lokal
SI : Suplemen Impor
SL : Suplemen Lisensi
● Digit ke-3 dan 4 Digit ke-3 dan 4 merupakan tahun didaftarkannya obat tradisional
tersebut ke Kemenkes RI.
● Digit ke-5 Digit ke-5 merupakan bentuk usaha pembuat obat tradisional tersebut, yaitu:
- 1 menunjukkan pabrik farmasi
- 2 menunjukkan pabrik jamu
- 3 menunjukkan perusahaan
Digit ke-6 Digit ke-6 menunjukkan bentuk sediaan obat tradisional, di antaranya:
- 1=bentuk rajangan
- 2=bentuk serbuk
- 3=bentuk kapsul
- 4=bentuk pil, granul, boli, pastiles, jenang, tablet/kaplet
- 5=bentuk dodol, majun
- 6=bentuk cairan
- 7=bentuk salep, krim
- 8=bentuk plester/koyo
- 9=bentuk lain seperti dupa, ratus, mangir, permen
● Digit ke-7, 8, 9, dan 10
Digit ke-7, 8, 9, dan 10 menunjukkan nomor urut jenis produk yang terdaftar.
● Digit ke-11 Digit ke-11 menunjukkan jenis atau macam kemasan (volume), yaitu:
- 1=15ml
- 2=30ml
- 3=45ml
2. Pelanggaran yang dilakukan oleh Industri Obat Tradisional dari kasus tersebut adalah
telah mengedarkan produk yang belum memiliki izin edar secara resmi dan membuat izin
edar palsu untuk produk tersebut.
3. Menurut Permenkes No 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional BAB II
Tentang Izin Edar terdapat pada Pasal 2
(1) Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar.
(2) Izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Kepala Badan.
(3) Pemberian izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui
mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang ditetapkan.
Menurut PerKa BPOM RI No : HK.00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata Laksana
Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, BAB II tentang
Persyaratan dan Kriteria pasal 2
(1) Obat tradisional, obat herbal terstandar dan fitofarmaka yang dibuat dan atau diedarkan di
wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar dari Kepala Badan.
4. Menurut Permenkes No. 007 Tahun 2012 Tentang Registrasi Obat Tradisional BAB VII
Tentang Sanksi pada Pasal 23, menyatakan bahwa:
1) Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif berupa pembatalan izin edar
apabila:
a. obat tradisional tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
berdasarkan data terkini;
b. obat tradisional mengandung bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
c. obat tradisional dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan yang dilarang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
d. penandaan dan informasi obat tradisional menyimpang dari persetujuan izin edar;
e. pemegang nomor Izin edar tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22;
f. izin IOT, UKOT, UMOT, dan importir OT yang mendaftarkan, memproduksi atau
mengedarkan dicabut;
g. pemegang nomor izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau peredaran
obat tradisional;
h. pemegang nomor izin edar memberikan dokumen registrasi palsu atau yang dipalsukan;
atau
i. terjadi sengketa dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
2) Selain dapat memberikan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Kepala Badan dapat memberikan sanksi administratif lain berupa perintah penarikan dari
peredaran dan/atau pemusnahan obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan.
Tercantum pula pada Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor : Hk.00.05.3.1950 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat pada
Pasal 42 dan 43 yang menyebutkan bahwa :

BAB IX SANKSI
Pasal 42 : Terhadap pendaftar yang memproduksi dan/atau mengedarkan obat palsu, dikenai
sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 43
(1) Barangsiapa mengedarkan obat jadi tidak sesuai dengan ketentuan dalam keputusan ini
dapat dikenai sanksi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku.
(2) Selain dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula
dikenai sanksi administratif berupa :
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara kegiatan;
c. Pembekuan dan/atau pencabutan izin edar obat yang bersangkutan;
d. Sanksi administratif lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut UU Nomor 36 tahun 2009 pasal 197 menyatakan bahwa :
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi
dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah)”
Skenario Kasus 17: Apoteker pendamping (APING) apotek Y mempunyai masalah dengan
konsumen terkait ketidakjujuran dan kesalahan dalam memberikan informasi obat sehingga
menyebabkan konsumen marah dan mengancam akan mempublikasikan di koran lokal Jogja.
Mendengar ada konsumen marah-marah, APA apotek Y turun tangan menyelesaikan masalah
tersebut. APA kemudian melakukan pemecatan kepada APING dan meminta APING untuk
menulis permintaan maaf kepada konsumen di koran lokal Jogja.
Tugas:
1. Apakah permasalahan pada kasus tersebut berkaitan perundang-undangan, etika dan
kemuhammadiyahan
2. Bagaimana penyelesaian dari permasalahan menurut perundang-undangan, etika dan
kemuhammadiyahan.
Jawab:
1. Permasalahan :
Aping tidak jujur dan melakukan kesalahan dalam pemberian informasi obat
Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Bab III menyebutkan bahwa:a
Pasal 7 : Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang
kesehatan yang seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8 : Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan.
Berdasarkan PMK No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
BAB III Pelayanan Farmasi Klinik menyebutkan bahwa: Pelayanan farmasi klinik di Apotek
merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian yang langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien berkaitan dengan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.
Pelayanan farmasi klinik meliputi:
1. Pengkajian Resep;
2. Dispensing;
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
4. Konseling;
5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care);
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO); dan
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 73 tahun 2016, halaman 16, dijelaskan


bahwa:

● Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan kembali mengenai
penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat
(kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep);
● Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;
● Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;
● Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat;
● Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait dengan obat antara
lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek
samping, cara penyimpanan obat dan lain-lain;
● Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang baik, mengingat
pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;
● Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya;
● Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker (apabila
diperlukan);
● Menyimpan resep pada tempatnya;
● Apoteker membuat catatan pengobatan pasien. Informasi yang harus disampaikan kepada
pasien menurut Permenkes No. 73 tahun 2016:
❖ Dosis
❖ Bentuk sediaan
❖ Formulasi khusus
❖ Rute dan metoda pemberian
❖ Farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,
❖ Efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui,
❖ Efek samping,
❖ Interaksi,
❖ Stabilitas
❖ Ketersediaan
❖ Harga
❖ Sifat fisika atau kimia dari Obat dan lain-lain
Kasus tersebut juga melanggar hak konsumen yang telah tertuang pada UU No. 8 tahun 1999
BAB III Hak dan Kewajiban Pasal 4 yaitu:
Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kode etik yang dilanggar oleh APING:

● Kode Etik Apoteker BAB II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Diri Sendiri
pasal 8 dijelaskan bahwa :“Seorang Apoteker harus berbudi luhur, sanggup menjaga
dan mempertahankan nama baiknya, kepercayaan terhadap profesinya dan kompetensi
profesinya serta menjadi contoh yang baik bagi orang lain.”

● Kode Etik Apoteker BAB III tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Penerima
Pelayanan dan/atau Pelanggan pada pasal 11 dijelaskan bahwa :“Seorang Apoteker
dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan dan
menghormati hak asasi penerima pelayanan dan/atau pelanggan, serta melindungi
makhluk hidup insani dengan berlandaskan norma-norma yang berlaku.”

Dalil Al-Qur’an tentang berbuat baik kepada sesama:


Al Qur’an surat Al-Baqarah : 195 (Allah menyukai orang yang berbuat baik)
َ‫َوَأ ْنفِقُوا فِي َسبِي ِل هَّللا ِ َواَل تُ ْلقُوا بَِأ ْي ِدي ُك ْم ِإلَى التَّ ْهلُ َك ِة ۛ َوَأحْ ِسنُوا ۛ ِإ َّن هَّللا َ يُ ِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِين‬
Artinya: “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu
menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al Baqarah : 195).
Dalil Al-Qur’an tentang perilaku bertanggung jawab:
"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungjawabannya." (QS. al-Isra: 36)
Dalil Al-Qur’an tentang perilaku jujur:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan
yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu
dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah
mendapat kemenangan yang besar. (QS. Al Ahzab: 70-71).
Hadits tentang perilaku jujur (As-Sidiq) dalam HPT terkait asas kegiatan berbisnis :
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda,
“Hendaklah kamu berlaku jujur karena kejujuran menuntunmu pada kebenaran, dan
kebenaran menuntunmu ke surga. Dan senantiasa seseorang berlaku jujur dan selalu jujur
sehingga dia tercatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Dan hindarilah olehmu
berlaku dusta karena kedustaan menuntunmu pada kejahatan, dan kejahatan menuntunmu ke
neraka. Dan seseorang senantiasa berlaku dusta dan selalu dusta sehingga dia tercatat di sisi
Allah SWT sebagai pendusta.” (HR. Muslim)
Diriwayatkan dari Abu Sa’id dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: Pedagang
yang jujur dan terpercaya bersama para Nabi, orang-orang yang jujur, dan syuhada (HR. a-
Tarmizi)
Salah ayat Al-Quran yang memerintahkan muslim agar menahan amarah dan bersabar adalah
surat Ali ‘Imran [3] ayat 134 yang berbunyi:

١٣٤ َ‫اس َوهّٰللا ُ ي ُِحب ُّْال ُمحْ ِسنِ ْي ۚن‬ ۤ َّ ‫الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ فِى ال َّس ۤ َّرا ِء وال‬
ِ ۗ َّ‫ض َّرا ِء َو ْال ٰك ِظ ِم ْينَ ْال َغ ْيظَ َو ْال َعافِ ْينَ َع ِن الن‬ َ

“(yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang
menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang
yang berbuat kebaikan.”

Hadits tentang menahan amarah:


‫ ع َْن َأبِي ِه؛‬،‫س‬
ٍ َ‫ ع َْن َسهْل ْب ِن ُم َعاذ ْب ِن َأن‬،‫ َح َّدثَنِي َأبُو َمرْ حُوم‬،‫ َح َّدثَنَا َس ِعي ٌد‬،‫ َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ بْنُ يَزيد‬:ُ‫ال اِإْل َما ُم َأحْ َمد‬
َ َ‫ق‬
ْ
ِ ‫رُُؤوس الخَ الِئ‬
،‫ق‬ ِ ‫َأ‬ ً َّ ‫هَّللا‬
‫ َدعَاهُ هللاُ َعلَى‬،‫ " َم ْن َكظَ َم َغ ْيظا َوهُ َوقَا ِد ٌر َعلَى ْن يُ ْنفِ َذه‬:‫صلى ُ َعلَ ْي ِه َو َسل َم قَا َل‬ َّ َ ِ ‫َأ َّن َرسُو َل‬
‫هَّللا‬
‫ُور َشا َء‬ ِ ‫َحتَّى يُخي َرهُ ِم ْن أيِّ ْالح‬
Artinya: "Barang siapa menahan amarah, sedangkan dia mampu untuk melaksanakannya,
maka Allah kelak akan memanggilnya di mata semua makhluk, hingga Allah menyuruhnya
memilih bidadari manakah yang disukainya," (Hadis diriwayatkan Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Ibnu Majah).

2. Penyelesaian Permasalahan
A. Berdasarkan Kode Etik Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) tahun 2022
Pada BAB IV tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Teman Sejawat pada Pasal 16,
disebutkan bahwa: “Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling
menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan Kode Etik.”
Pedoman pelaksanaannya :
(1) Bilamana Seorang Apoteker mengetahui sejawatnya melanggar Kode Etik, dengan cara
yang santun dia harus melakukan komunikasi dengan sejawatnya tersebut untuk
memberitahukan adanya kekeliruan.
(2) Bilamana ternyata yang bersangkutan sulit menerima maka dia dapat menyampaikan
kepada Pengurus Cabang, Pengurus Daerah, atau pengurus Majelis Etik secara
berjenjang.

Sehingga penyelesaian permasalahan tersebut salah satunya adalah APA selaku teman
sejawat APING memberikan edukasi dengan cara yang santun. Apabila APING sulit
menerima maka permasalahan dapat disampaikan kepada PC IAI.

Apoteker yang bertanggungjawab (APA) perlu memastikan telah adanya SPO terkait
pelayanan informasi obat dan telah diinformasikan kepada seluruh tenaga farmasis yang
bertugas di apotek Y tersebut. Hal ini seperti yang disebutkan pada Kode Etik Apoteker
Pasal 6 yang berbunyi :

“Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi, peraturan perundang-undangan, dan isu terkini tentang kesehatan pada
umumnya dan di bidang farmasi pada khususnya.”

Salah satu pedoman pelaksanaan dari pasal tersebut adalah “Seorang Apoteker harus
membuat/mempunyai SPO (Standar Prosedur Operasional) sebagai pedoman kerja
bagi seluruh personil di sarana pelayanan kefarmasian sesuai kewenangan atas dasar
peraturan perundang-undangan yang ada.”

B. Berdasarkan dari sisi konsumen:


Penyelesaian permasalahan berdasarkan Kemuhammadiyahan
Konsumen sebaiknya menyelesaikan masalah dengan melakukan mediasi dan komunikasi
dengan APING dan APA apotek Y, sehingga ditemukan penyelesaian secara baik-baik di luar
jalur hukum. Konsumen dan APING dapat saling memaafkan, karena perilaku tersebut
memiliki banyak keutamaan berdasarkan Qur’an dan Hadits.
Dalil Al-Qur’an tentang memaafkan dalam Q.S Al-A’raf ayat 199:
ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
َ‫ف َوَأ ْع ِرضْ َع ِن ْال َجا ِهلِين‬
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raf: 199).
Hadis Meminta Maaf dan Memaafkan

ُ‫ َم ْن َأتَاهُ َأ ُخوْ ه‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ‫ قَا َل َرسُوْ ُل هللا‬:‫ي ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ رضي هللا عنه قَا َل‬ َ ‫ر ُِو‬
‫ض‬َ ْ‫ي ال َحو‬ ْ ْ ً ‫َأ‬ ً ّ ْ
َّ َ‫ فَِإ ْن لَ ْم يَف َعلْ لَ ْم يَ ِر ْد َعل‬،‫ك ِمنهُ ُم ِحقا َكانَ وْ ُمب ِْطال‬ ْ ْ ً
َ ِ‫ُمتَنَصِّ ال فَليَقبَل َذل‬
Artinya:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: Barangsiapa yang didatangi saudaranya (sesama Muslim) untuk mengakui
dan meminta maaf (atas kesalahannya) maka hendaklah dia menerimanya, baik dia yang
bersalah atau benar, karena jika dia tidak melakukan itu (memaafkan saudaranya) maka dia
tidak akan mendatangi telagaku (di akhirat kelak).”
Hadis Meminta Maaf Terlebih Dahulu

َ ‫ َو َما تَ َو‬،‫ ِإاَّل ِع ًّزا‬،‫ َو َما َزا َد هللاُ َع ْبدًا بِ َع ْف ٍو‬،‫ص َدقَةٌ ِم ْن َما ٍل‬
ُ‫اض َع َأ َح ٌد هَّلِل ِ ِإاَّل َرفَ َعهُ هللا‬ ْ ‫ص‬
َ ‫ت‬ َ َ‫َما نَق‬
Artinya:
“Sedekah itu tidak mengurangi harta dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba
dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan (di dunia dan akhirat),
serta tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah kecuali Dia akan meninggikan
(derajat)nya (di dunia dan akhirat).”
Penyelesaian permasalahan apabila ingin dilaksanakan menurut peraturan undang-undang
dapat dilakukan dengan mengacu kepada UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
BAB XI Penyelesaian Perselisihan pasal 77-79.

Pasal 77 : “Setiap penerima pelayanan kesehatan yang dirugikan akibat kesalahan atau
kelalaian Tenaga Kesehatan dapat meminta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.”
Pasal 78 : “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya yang menyebabkan kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan
yang timbul akibat kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
penyelesaian sengketa diluar pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
Pasal 79 : “Penyelesaian perselisihan antara tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan
kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”
Apabila konsumen merasa dirugikan atas ketidakjujuran dan kesalahan dalam memberikan
informasi obat yang dilakukan oleh APING apotek Y, maka konsumen memiliki hak untuk
menuntut ganti rugi seperti yang diatur pada UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
58.
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Anda mungkin juga menyukai