FARMASI KLINIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN
MEDIKA PERSADA BALI
DENPASAR
2018
Pasal 1
1. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan
atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada
Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
2. Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan
untuk menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang
meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila
penggunaannyadikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan
gejala fisik dan psikis yang khas.
3. Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak
atau melawan hukum.
Pasal 14
1. Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar
farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga
ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
2. Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan
farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat,
balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat,menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala
mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam
penguasaannya.
3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan
tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Menteri.
4. Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh
Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan berupa:
A. teguran;
B. peringatan;
C. denda administratif;
D. penghentian sementara kegiatan; atau
E. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen
yang sah.
Pasal 43
1. Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya
dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
2. Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
A. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
B. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan
Narkotika melalui suntikan; atau
C. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
D. (5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan
olehdokter sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di
apotek.
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
2. Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3. menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data
kesehatan pasien
4. Melakukan pengelolaan apotek.
5. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban
untuk ikut serta dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif
terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
A. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5;
atau
B. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
7; atau
C. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila
yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan.
a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA
disampaikan langsung oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan
tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan RI di
Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut
dapat membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan
Menteri Kesehatan RI dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat
pelanggaran terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang
pertama adalah jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil
tindakan sesuai dengan keputusan bersama apoteker, karna sebagian besar PSA hanya
sebagai pemilik usaha dengan modal yang besar, maka PSA mungkin saja tidak
mengetahui tentang prosedur farmasi yang ada di apotik tersebut. Yang kedua jika PSA
sekaligus sebagai TTK, jika PSA sekaligus menjadi TTK di apotik tersebut, maka dia
harus tahu hal yang bersangkutan dengan penyerahan obat, misalnya penyerahan
psikotropika yang tidak bisa diserahkan tanpa resep dokter, dan kesalahan yang terjadi
yaitu penyerahan obat psikotropik secara bebas, jika TTK sudah tahu akan undang
undang tentang penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan terjadi, sekarang yang
menjadi pertanyaan juga adalah apa alasan TTK memberikan obat psikotropik secara
bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu tidak boleh diberikan, apakah dengan sekaligus
menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan penjualan apotik atau karna kesalahan
yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal yang harus dilakukan
adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual obat tersebut dan
melaporkannya kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh apoteker.