Anda di halaman 1dari 10

2.

2 Studi Kasus 2
Kondisi Pasien Apotek KN Memprihatinkan
Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas / lembaga yang
berwenang.Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo mengatakan pasien di Apotek
KN,Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta Yogyakarta kondisinya
memprihatinkan.Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih
ketergantungan psikotropika.
Berdasarkan pemilahannya,mereka adalah korban psikotropika yang harus
disembuhkan,penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk mengonsumsi
dua jenis psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga karena efek kecelakaan
sehingga terkena sarafnya dan harus tergantung obat tersebut.
Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap diberikan dokter
sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih
giat.Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU
No 5 tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah
penyalahgunaan.Sementara,para pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat
berdasarkan resep dokter ( Tribunjogja.com,Agustus 2012 )

2.2.1 Permasalahan Kasus


1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga Teknis Kefarmasian di
sektor pelayanan,apa yang seharusnya dilakukan anda sebagai TTK pada saat bekerja di Apotek
KN tersebut dan ternyata dalam perjalannya Apotek tersebut kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas ?

2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di apotek tersebut langkah
kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan masalah di atas ?

2.2.2 Dasar Hukum Pelanggaran


Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan
pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini
diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24, Undang-undang
No. 51Tahun 2009, Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-
undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
1. UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan kode etik,
standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional.
(2) Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
oleh organisasi profesi.
(3) Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain dapat
pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan atau digunakan
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;

Pasal 1

(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan
Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama
dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala
fisik dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.

Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar farmasi, sarana
penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu
pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi
administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
berupa:
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.

Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

3. PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian


Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.

 Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis Kefarmasian
(menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002 adalah sebagai berikut:
1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
2. Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3. menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data kesehatan pasien.
4. Melakukan pengelolaan apotek.
5. Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.

Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Tknis Kefarmasian


adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Mnengah Farmasi/Asisten
Apoteker.
Pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bentuk tanggung jawab langsung
profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk menigkatkan kualitas hidup pasien (Menkes
RI,2004)

4. UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika


Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya
dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam
hal :
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh
darin apotek.
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika
untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta
dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik
obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan
fasilitas rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14
ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3),
Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Apabila yang menerima penyerahan
itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

2.2.3 Pembahasan Kasus 2


Obat-obat narkotika dan psikotropika tidak boleh diserahkan atau diberikan tanpa adanya
resep dari dokter, apapun keadaannya. Sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek
yang slah satunya adalah penyerahan obat, yaitu penyerahan obat bisa dilakukan oleh apoteker dan
asisten apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga
kesehatan. beserta sumpah dan kode etik yang mencakup bahwa kita tidak boleh merugikan,
memperburuk keadaan serta hal yang dapat menganggu kesehatan pasien dan masyarakat.
Sebagai TTK, tentu saja kita pasti sudah tau bahwa obat psikotropik dan narkotika tidak
bisa kita serahkan tanpa adanya resep dari dokter, dan jika terjadi kesalahan dalam apotik tersebut
yaitu memberikan obat psikotropik dengan cara bebas, otomatis kita sebagai TTK sudah tahu
kesalahan kita sendiri, maka yang perlu kita lakukan adalah bertanggung jawab dengan cara
melaporkan kepada Apoteker penanggung jawab apotik atas kejadian tsb. Kemudian apotekerlah
yang menindaklanjuti permasalahan itu dan melaporkan ke dinas kesehatan.
Setiap pelanggaran apotek terhadap ketentuan yang berlaku dapat dikenakan sanksi, baik
sanksi administratif maupun sanksi pidana. Sanksi administratif yang diberikan
menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/ MENKES/ SK/ X/ 2002 dan Permenkes No.
922/ MENKES/ PER/ X/ 1993 adalah:

a. Peringatan secara tertulis kepada APA secara tiga kali berturut-turut dengan tenggang waktu
masing – masing dua bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama – lamanya enam bulan sejak dikeluarkannya
penetapan pembekuan izin apotek. Keputusan pencabutan SIA disampaikan langsung oleh Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
dan Menteri Kesehatan RI di Jakarta.
c. Pembekuan izin apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek tersebut dapat
membuktikan bahwa seluruh persyaratan yang ditentukan dalam keputusan Menteri Kesehatan RI
dan Permenkes tersebut telah dipenuhi.
Sanksi pidana berupa denda maupun hukuman penjara diberikan bila terdapat pelanggaran
terhadap :
a. Undang- Undang Obat Keras (St. 1937 No. 541).
b. Undang-Undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
c. Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
d. Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
Dalam pertanyaan yang kedua, ada dua kemungkinan yang terjadi, yang pertama adalah
jika sebagai PSA maka yang harus dilakukan adalah mengambil tindakan sesuai dengan keputusan
bersama apoteker, karna sebagian besar PSA hanya sebagai pemilik usaha dengan modal yang
besar, maka PSA mungkin saja tidak mengetahui tentang prosedur farmasi yang ada di apotik
tersebut. Yang kedua jika PSA sekaligus sebagai TTK, jika PSA sekaligus menjadi TTK di apotik
tersebut, maka dia harus tahu hal yang bersangkutan dengan penyerahan obat, misalnya
penyerahan psikotropika yang tidak bisa diserahkan tanpa resep dokter, dan kesalahan yang terjadi
yaitu penyerahan obat psikotropik secara bebas, jika TTK sudah tahu akan undang undang tentang
penyerahan psikotropik ? maka hal itu tidak akan terjadi, sekarang yang menjadi pertanyaan juga
adalah apa alasan TTK memberikan obat psikotropik secara bebas? Sedangkan dia tahu bahwa itu
tidak boleh diberikan, apakah dengan sekaligus menjadi PSA alasannya adalah meningkatkan
penjualan apotik atau karna kesalahan yg disengaja. Dan jika kesalahan itu sudah terjadi maka hal
yang harus dilakukan adalah menunda penjualan atau mengstopkan menjual obat tersebut dan
melaporkannya kepada apoteker agar ditindaklanjuti oleh apoteker.

2.2.4 Tenaga Teknis Kefarmasian

Tenaga kefarmasian (apoteker,analisis farmasi, asisten apoteker)


Tenaga kesehatan bertugas menyelenggarakan /melakukan kegiatan kesehatan sesuai
dengan bidang keahlian/kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkutan. Tenaga kesehatan
dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati
pasien. Seseorang Asisten apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik didalam
lingkungan kerjanya, bersedia menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya. Asisten apoteker
harus aktif mengikuti perkembangan perundang-undangan, juga menjadi sumber informasi sesuai
dengan profesinya dan hendaknya menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan dirinya yang
bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan
profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin. Setiap orang berhak atas ganti rugi akibat kesalahan
atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Sedangkan asisten apoteker membentuk ikatan
profesi yang berwarna PRAFI ( Persatuan Ahli Farmasi Indonesia) yang telah ada sebelum ISFI (
ikatan sarjana farmasi Indonesia) didirikan.
Pekerjaan kefarmasian harus dilakukan dalam rangka menjaga mutu sediaan farmasi yang
beredar.Pengamanan terhadap sediaan farmasi yang berupa narkotika,psikotropika,obat keras dan
bahan berbahaya,dilaksanakan secara khusus sesuai UU yang berlaku. Pengamanan penggunaan
bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan
kesehatan perorangan,keluarga,masyarakat,dan lingkungannya.Bahan yang mengandung zat
adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau
masyarakat sekelilingnya.
Produksi,peredaran dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi
standard an atau persyaratan yang ditentukan.Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang
dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan untuk mencegah beredarnya obat palsu.Penetapan
persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan
mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain.

2.2.5 Kekeliruan Dalam Membaca Resep


Dahulu pedagang besar farmasi dilarang menyalurkan psikotropika tanpa izin khusus dari
Menteri Kesehatan , tetapi sejakdi sahkannya Undang-undang RI nomor 5 Tahun 1997 tentang
psikotropika maka pedagang besar farmasi yang menyalurkan psikotropika tidak memerlukan izin
khusus lagi. Dalam melayani resep seorang apoteker wajib :
Melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada
kepentingan masyarakat. Apoteker wajib memberikan informasi:
a. Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien.
b. Penggunaan obat secara tepat , aman resional atas permintaan masyarakat.
Bila terjadi kekeliruan resep , hal ini diatur sebagai berikut :
1. Apabila apoteker mengganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang
tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep.
2. Apabila dalam hal dimaksud karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap dalam
pendiriaannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan nya yang
lazim atas resep.

Anda mungkin juga menyukai