Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peraturan Menteri Kesehatan No. 35 tahun 2014, Bab 1, Pasal 1(4) menyebutkan bahwa
“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi kepada apoteker, baik dalam
bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan yang berlaku”.
Sandy 2010 menyatakan bahwa resep yang baik harus memuat cukup informasi yang
memungkinkan ahli farmasi yang bersangkutan mengerti obat apa yang akan diberikan kepada
pasien. Namun pada kenyataanya, masih banyak permasalahan yang ditemui dalam peresepan.
Beberapa contoh permasalahan dalam peresepan adalah kurang lengkapnya informasi pada
pasien, penulisan resep yang tidak jelas atau sulit untuk dibaca, kesalahan penulisan dosis, tidak
dicantumkannya aturan pemakaian obat yang jelas, tidaka menuliskan rute pemberian obat, dan
tidak mencantumkan tanda tangan atau paraf dokter (Cahyono, 2008). Banyak faktor yang
mempengaruhi permasalahan dalam peresepan, sehingga diperlukan kepatuhan dokter dalam
melaksanakan aturan-aturan dalam penulisan resep sesuai undang-undang yang berlaku (Gibson
et al, 1996).
Permasalahan dalam peresepan merupakan salah satu kejadian medication error. Menurut
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 menyebutkan
bahwa medication error adalah kejadian yang merugikan pasien akibat pemakaian obat selama
dalam penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya dapat dicegah. Bentuk medication error
yang terjadi adalah pada fase prescribing (error terjadi pada penulisan resep) yaitu kesalahan
yang terjadi selama proses peresepan obat atau penulisan resep. Dampak dari kesalahan tersebut
sangat beragam, mulai yang tidak memberi resiko sama sekali hingga terjadinya kecacatan atau
bahkan kematian (Dwiprahasti dan Kristin, 2008). Selain itu, Hartayu dan Aris, 2005
menyebutkan bahwa medication error yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan
dapat timbul efek obat yang tidak diharapkan seperti terjadinya interaksi obat.
Interaksi obat didefinisikan sebagai reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia
(obat lain, makanan) didalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi
kerja obat sehingga dapat terjadi peningkatan/pengurangan kerja obat atau bahkan obat sama
sekali tidak menimbulkan efek. Defenisi yang lebih relevan adalah ketika obat bersaing satu
dengan yang lainnya aau yang terjadi ketika suatu obat hadir bersama dengan obat yang lainnya
(Stockley, 2008). Mekanisme interaksi obat dapat dapat dibagi menjadi interaksi yang
melibatkan aspek farmakokinetik obat dan interaksi yang mempengaruhi respon farmakodinamik
obat. Interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada beberapa tahap, meliputi absorbsi, distribusi,
metabolisme dan eksresi. Interaksi farmakodinamik adalah interaksi dimana efek suatu obat
diubah oleh obat lain pada tempat aksi (Fradgley, 2003).
Hasil penelitian prawitosari 2009 menemukan bahwa dalam peresepan ditemukan
ketidakjelasan penulisan signa sebanyak 50,8%, kesalahan penulisan dosis obat sebanyak 50,8%
dan paraf dokter sebanyak 6,8%. Selain itu, penelitian oleh Octavia (2011) mendapatkan
kesalahan penulisan bentuk sediaan sebanyak 60,2%, rute pemberian 84,2% dan frekuensi
penggunaan obat 75,5%. Studi lain yang dilakukan oleh Mayasari (2015) yang melibatkan 240
lembar resep, 107 lembar resep mengalami interaksi obat dengan mekanisme interaksi
farmakokinetik sebanyak 3,74%, farmakodinamik 59,81%, dan tidak diketahui 36,45%.

1.2. Rumusan Masalah


Dari uraian diatas menunjukkan bahwa masih terdapat banyak masalah dalam penulisan
resep. Resep yang rasional harus memenuhi beberapa persyaratan kelengkapan dalam penulisan
resep diantaranya kelengkapan administratif dan kelengkapan farmasetik. Kegiatan untuk
menilai kelengkapan persyaratan ini disebut skiring resep. Skrining resep merupakan suatu hal
yang penting untuk menjamin obat yang digunakan oleh pasien sesuai kebutuhan dan permintaan
oleh dokter yang merawatnya. Oleh karena itu makalah ini untuk mengetahui hal-hal yang
menyebabkan Ketidak lengkapan tersebut, meliputi bagian administrasi, farmasetik, dan
klinis.
1.3. Tujuan Makalah
 Mengetahui pengertian skrining resep.

 Mengetahui kelengkapan contoh resep ditinjau dari persyaratan administrasi, farmasetik


dan klinis.
 Dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang kefarmasian pada penulisan resep yang
baik dan benar sesuai dengan peraturan yang berlaku.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Skrining Resep

Tahap pertama yang dilakukan oleh seorang apoteker dalam proses pelayanan resep
adalah melakukan skrining, yaitu memeriksa persyaratan administratif, kesesuaian farmasetis,
dan pertimbangan klinis pada resep. Saat apoteker menemukan suatu permasalahan dari resep,
maka apoteker harus mampu memberikan pengatasan masalah, dan pada kasus tertentu harus
berkonsultasi dengan dokter dengan memberikan pertimbangan dan alternatif solusinya.

2.2. Persyaratan Skrining Resep

Menurut Keputusan Mentri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standard


pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker dalam melakukan skrining resep meliputi :

a. Persyaratan Administratif
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker,
untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Resep
mempunyai dua makna penting yaitu sebagai dokumen legal dan sebagai alat komunikasi
antara penulis resep (prescriber) dan penerima resep (dispenser). Oleh karena itu, resep
harus memenuhi persyaratan administratif dan ditulis dengan jelas agar tidak menimbulkan
salah interpretasi bagi dispenser.
Resep memiliki:
1. Nama, SIP, dan alamat dokter
2. Tanggal penulisan resep
3. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
5. Nama obat, potensi, dosis, jumlah yang diminta
6. Cara pemakaian yang jelas
7. Informasi lainnya

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan dalam resep antara lain:


1) Jika informasi yang diperlukan tidak ada maka apoteker harus menanyakan kepada
pasien dan/atau dokter.
2) Jika dokter menginginkan resep diulang, maka diberi tanda “iter”. Jika “iter” ditulis di
sebelah kiri R/ maka yang diulang hanya R/ di sebelah kanannya, jika ditulis di atas R/
maka semua resep diulang sesuai jumlah yang ditulis. Iter 3x artinya pasien akan
mendapatkan obat 4 kali.
3) Resep yang mengandung narkotika tidak boleh ada iterasi.
4) Untuk penderita yang segera memerlukan obatnya, dokter menulis pada bagian kanan
resep sebagai berikut: cito, statim, urgent, atau PIM (periculum in mora, berbahaya bila
ditunda)
5) Bila dokter tidak ingin resepnya yang mengandung obat keras diulang tanpa
sepengetahuan dokter, dokter akan menulis n.i. (ne iteratur, tidak boleh diulang)
6) Resep dapat ditulis kembali dalam bentuk salinan resep (apograph, copy resep). Selain
memuat keterangan resep asli, copy resep juga memuat nama apotek dan alamatnya,
nama apoteker dan nomor SIPA-nya, tanda tangan apoteker pengelola apotek, dan tanda
“det” (jika obat sudah diserahkan) atau “nedet” (jika obat belum diserahkan).
7) Jika copy resep ternyata mengandung narkotika (misalnya karena jumlah obat yang
diminta sebelumnya baru diberikan sebagian), maka copy resep hanya dapat ditebus di
apotek yang memiliki resep aslinya.
8) Resep yang mengandung narkotika tidak dapat ditebus di luar kota tempat obat
diresepkan.

b. Inkompatibilitas (tak tercampurkannya obat)

 Fisika

Inkompatibiltas fisika adalah terjadinya perubahan-perubahan yang tidak diinginkan pada


pencampuran 2 obat atau lebih tanpa ada perubahan susunan kimianya.

 Kimia

Inkompatibilitas kimia adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena timbulnya


reaksi-reaksi kimia pada waktu mencammpurkan bahan-bahan obat.
c. Pertimbangan Klinis

1. Adanya alergi Apoteker harus mendapatkan informasi seluas-luasnya tentang kondisi


pasien, termasuk jika belum ada keterangan tentang alergi.
2. Efek samping
3. Interaksi Obat
Menurut mekanismenya, interaksi obat dapat terjadi baik secara farmasetis,
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmasetis adalah interaksi yang
terjadi saat obat belum sampai ke tubuh, yaitu pada inkompatibilitas fisika dan kimia.
Secara farmakokinetik, interaksi dapat terjadi selama proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Secara farmakodinamik, interaksi terjadi antara 2 atau lebih
obat yang mengakibatkan adanya kompetisi dalam pendudukan reseptor sehingga
meniadakan salah satu efek dari obat yang digunakan. Contoh interaksi pada proses
absorbsi misalnya obat yang satu merubah kecepatan atau jumlah obat lain yang
diabsorbsi. Pada proses distribusi, mekanisme dapat terjadi karena terbatasnya protein
plasma darah yang dibutuhkan oleh obat untuk berikatan. Pada proses metabolisme,
mekanisme Vitamin C bersama aminophyllin akan menjadi L-askorbat (berwarna coklat),
sehingga tidak berkhasiat. 8 interaksi bisa berupa inhibisi atau induksi enzim
pemetabolisme obat. Pada proses ekskresi, misalnya suatu obat menyebabkan perubahan
pH urin sehingga merubah klirens obat lainnya.

Efek dari interaksi obat:

a. Efek sinergis: 1+1 = 10 (Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga


menghasilkan efek yang jauh lebih besar)
b. Efek antagonis: 1+1 = 1 (Obat A dan obat B diminum bersamaan sehingga efeknya
meniadakan salah satu obat)
c. Efek additif: 1+1 = 2 (Obat A dan obat B digunakan bersamaan sehingga memberikan
efek ganda).
4. Kesesuaian dosis, durasi, dan jumlah obat yang diminta Dalam pengobatan perlu
dipastikan bahwa kadar obat selalu berada di atas KEM (konsentrasi efektif minimum)
dan di bawah KTM (konsentrasi toksis minimum), sehingga perlu aturan dosis yang
mengatur dosis dan jarak waktu pemberian agar obat mencapai konsentrasi terapi sesuai
dengan yang dikehendaki. Aturan dosis dapat diberikan dalam tiga dasar kategori:
 Dosis pemeliharaan, yaitu pada konsentrasi efektif. Efek obat harus selalu
terpelihara pada jendela terapi.
 Dosis terapi pada periode waktu tertentu. Dosis yang diberikan hanya dalam
waktu tertentu tingkat terapi yang diinginkan, seperti pada pemberian antibiotika
terhadap pengobatan infeksi dan obat-obat dengan t1/2 pendek.
 Dosis tunggal atau terapi jangka pendek. Dosis ini diberikan pada keadaan efek
obat yang diinginkan hanya untuk sesaat, seperti pada pengobatan simptomatik.

Beberapa faktor yang memengaruhi dosis:

a) Usia

Bayi dan anak-anak sangat peka terhadap obat karena fungsi hati, ginjal, dan
sistem enzimnya belum sempurna. Begitu juga pada orang tua karena fungsi hati dan
ginjal yang telah menurun.

Dosis untuk orang tua:

 65-74 tahun: dosis biasa – 10%


 75 – 84 tahun: dosis biasa – 20%
 > 85 tahun: dosis biasa – 30%
b) Bobot badan
c) Luas permukaan badan
d) Jenis Kelamin
e) Beratnya penyakit

Karena banyak faktor yang perlu diperhatikan dalam memberikan dosis, perlu dicek
kembali apakah dosis yang diminta di resep sesuai dengan dosis lazim anak atau dewasa, dan
tidak melebihi dosis maksimal sesuai usia pasien. Dosis lazim adalah jumlah obat yang sering
digunakan dan merupakan dosis terapi. Dosis maksimal adalah jumlah maksimal obat yang dapat
diberikan tanpa menimbulkan efek toksis.

2.3. Contoh Skrining Resep

Resep :
Skrining Resep

1) Administratif (Kelengkapan Resep)


PADA RESEP
No. URAIAN
ADA TIDAK
Inscription
Identitas dokter:
1 Nama dokter 
2 SIP dokter 

3 Alamat dokter
4 Nomor telepon 
5 Tempat dan tanggal penulisan 

resep
Invocatio
6 Tanda resep diawal penulisan resep 

(R/)
Prescriptio/Ordonatio
7 Nama Obat 
8 Kekuatan obat 
9 Jumlah obat 
Signatura
10 Nama pasien 
11 Jenis kelamin ü 
12 Umur pasien 
13 Berat badan 
14 Alamat pasien  ü
15 Aturan pakai obat ü 
16 Iter/tanda lain 
Subscriptio
17 Tanda tangan/paraf dokter ü 
Kesimpulan:
Resep tersebut lengkap / tidak lengkap.
Resep tidak lengkap karena tidak mencantumkan informasi mengenai berat badan
pasien dan paraf dokter.
Cara pengatasan Berat badan pasien dapat ditanyakan langsung kepada
pasien/keluarga pasien dan paraf dokter perlu diingatkan kembali.

2) Kesesuaian Farmasetis

No Kriteria Permasalahan Pengatasan


1 Bentuk sediaan - Sesuai
2 Stabilitas obat - Sesuai
3 Inkompatibiltas - Sesuai
4 Cara pemberian - Sesuai
5 Jumlah dan aturan pakai - Sesuai
3) Dosis

No Nama Dosis Kesimpula Rekomenda


Dosis Literatur
. Obat Resep n si
1 Vomerin 3 x 0,2–0,4 mg/KgBB Sesuai -
sehari sehari
1/2
sendok
teh 15
menit
sebelu
m
makan
2 Biothic 3x Dewasa, anak-anak Sesuai -
ol sehari dan bayi > 2
¾ minggu: 50 mg/kg
sendok berat badan per
teh hari, terbagi dalam
3 – 4 dosis.

3 Ranivel 2 x Dosis oral yang Sesuai -


sehari disarankan untuk
½ pengobatan borok
sendok usus pada anak-
teh anak adalah 2-4
mg/kg dua kali
sehari
dan dosis maksimu
m yang dapat
diberikan adalah
300 mg Ranitidin/
hari (20 ml)

4) Pertimbangan Klinis

No Kriteria Permasalahan Pengatasan


.
1 Indikasi - -
2 Kontraindikasi - -
3 Interaksi - -
4 Dupikasi/polifarmasi - -
5 Alergi - -
6 Efek samping - -
7. Reaksi obat yang - -
merugikan
(ADR/Adverse Drug
Reaction)
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Kepmenkes No.1027/MENKES/SK/IX/2004. Tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian Di Apotik. Depkes RI. Jakarta.

Anonim. 2009. PP No. 51 tahun 2009. Tentang Pekerjaan Kefarmasian. Depkes

RI. Jakarta.

Boh, L.E. 1992. Clinical Clerkship Manual, Applied Therapeutics Inc.

Vancouver. Washington

Cohen, M.R. 1999. Medication Error, American Pharmaceutical Association.

Washington

M. Aslam, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno. 2003. Farmasi Klinis. Elex Media

Komputindo. Jakarta

Melanie, J.R. 1997. Talking with Patient, A guide to Patient Counseling.


William&Wilkins

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting: Khasiat,

Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Elex Media Komputindo.

Jakarta.

Winter, M.E. 1994. Basic Clinical Pharmacokinetics. 3rd edition. Applied

Therapeutics Inc. Vancouver. Washington

Anda mungkin juga menyukai