Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Apotek

II.1.1. Pengertian Apotek

Apotek adalah salah satu sarana pelayanan kesehatan khususnya

dibidang kefarmasian yang membantu mewujudkan tercapainya derajat

kesehatan optimal bagi masyarakat.(9) Sarana pelayanan yang dimaksud yaitu

menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang

bermutu baik.(10) Apotek merupakan sebagai salah satu tempat pengabdian

dan praktik profesi apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian.(9)

Agar terwujudnya tujuan pengaturan tentang apotek tersebut maka dalam

menyelenggarakan standar pelayanan kefarmasian di apotek harus

mengikuti standar pelayanan kefarmasian sebagaimana diatur dalam

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016.(11)

II.1.2. Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek adalah sebagai berikut:(12)

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan apoteker.

2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,

pencampuran, dan penyerahan obat/bahan obat.

3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang

diperlukan masyarkat secara meluas dan merata.

5
6

II.1.3 Sistem Pengelolaan Obat di Apotek

Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika.
(12)
Obat adalah bahan atau paduan bahan dalam produk biologi yang

digunakan untuk mempengaruhi sistem fisiologi dan keadaan patologi dalam

rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.(13) Ketentuan

mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran

sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan

farmasi yang telah ditetapkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah. (14)

Pengelolaan obat bertujuan untuk menjamin tersedianya obat bermutu

dengan jenis dan jumlah yang tepat, tersebar secara merata dan teratur di

berbagai apotek.(15)

Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat,

bermutu, dan terjangkau.(16) Penjaminan mutu obat merupakan tujuan dalam

mewujudkan keberhasilan terapi supaya obat yang diperoleh pasien aman

(safe), efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable).(17) Oleh karena itu,

obat harus memenuhi standar mutu (quality), keamanan (safety), dan khasiat

(efficacy).(18)

II.2 Apoteker

II.2.1 Pengertian Apoteker

Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.(19) Ikhtisar isi jabatan apoter

adalah memimpin dan melakukan pengawasan atas seluruh aktivitas apotek


7

sesuai dengan peraturan perundang-undangan pemerintah di bidang farmasi.


(20)
Apoteker merupakan tenaga profesi yang memiliki dasar pendidikan serta

keterampilan di bidang farmasi dan diberi wewenang serta tanggung jawab

untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian.(10)

Pekerjaan kefarmasian yang di maksud adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan

dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat

atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,

bahan obat dan obat tradisional.(21) Pekerjaan kefarmasian juga meliputi

pengadaan sediian farmasi, dan produksi sediaan farmasi, distribusi atau

penyaluran sediaan farmasi, dan pelayanan dalam sediaan farmasi.(10)

Pekerjaan kefarmasian seorang apoteker di apotek adalah bentuk hakiki

dari profesi apoteker. Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan dan perilaku dalam berinteraksi dengan pasien dengan

pemberian informasi yang lengkap mengenai cara pemakaian dan

penggunaan, efek samping hingga monitoring penggunaan obat untuk

meningkatkan kualitas hidup pasien. Oleh karena itu apoteker dalam

menjalankan profesinya harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian

di apotek untuk menjamin mutu pelayanan kefarmasian kepada masyarakat.


(22)

II.2.2 Peranan Apoteker

Peranan seorang farmasis dalam pelayanan kesehatan di kenal dengan 7

bintang (the nine star pharmacist), yaitu sebagai berikut:(23)(24)


8

1. Care-giver

Farmasis sebagai pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis,

analitis, teknis, sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan

pelayanan, farmasis harus berinteraksi dengan pasien secara individu

maupun kelompok. Farmasis harus mengintegrasikan pelayanannya pada

sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan

farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi

2. Decision-maker

Farmasis mendasarkan pekerjaannya pada kecukupan, keefikasian dan

biaya yang efektif dan efisien terhadap seluruh penggunaan sumber daya

misalnya sumber daya manusia, obat dan bahan kimia, peralatan, prosedur,

pelayanan dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan tersebut kemampuan dan

ketrampilan farmasis perlu diukur untuk kemudian hasilnya dijadikan dasar

dalam penentuan pendidikan dan pelatihan yang diperlukan.

3. Communicator

Farmasis mempunyai kedudukan penting dalam berhubungan dengan

pasien maupun profesi kesehatan yang lain, oleh karena itu harus

mempunyai kemampuan berkomunikasi verbal, nonverbal, mendengar dan

kemampuan menulis, dengan menggunakan bahasa sesuai dengan

kebutuhan.

4. Leader

Farmasis diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan


9

yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan

mengelola hasil keputusan.

5. Manager

Farmasis harus efektif dalam mengelola sumber daya (manusia, fisik,

anggaran) dan informasi, juga harus dapat dipimpin dan memimpin orang

lain dalam tim kesehatan. Lebih jauh lagi farmasis mendatang harus

tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi

informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat.

6. Life-long learner

Farmasis harus senang belajar sejak dari kuliah dan semangat belajar harus

selalu dijaga walaupun sudah bekerja untuk menjamin bahwa keahlian dan

ketrampilannya selalu baru (up-date) dalam melakukan praktek profesi.

Farmasis juga harus mempelajari cara balajar yang efektif.

7. Teacher

Farmasis mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih farmasis

generasi mendatang. Partisipasinya tidak hanya dalam berbagi ilmu

pengetahuan baru satu sama lain, tetapi juga kesempatan memperoleh

pengalaman dan peningkatan ketrampilan.

8. Researcher

Penelitian ini tidak hanya untuk akademisi. Temuan penelitian dapat

berdampak pada semua sektor profesi farmasi. Diperlukan sebuah

perubahan budaya dimana farmasis melakukan penelitian sebagai bagian

inti dari praktek sehari-harinya. Seorang farmasis harus dapat menggunakan


10

dasar bukti (evidence base) secara efektif untuk memberikan saran tentang

penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan.

Sebagai peneliti, farmasis akan memainkan peran penting dalam berbagai

proses penelitian klinis yang meliputi penemuan, perencanaan, pemantauan

serta pelaporan uji klinis. Tujuan utama dalam melakukan penelitian klinis

adalah untuk menghasilkan pengetahuan baru untuk meningkatkan

pelayanan kesehatan.

9. Entrepreneur

Secara sederhana arti wirausahawan (entrepreneur) adalah orang

yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka usaha dalam

berbagai kesempatan. Berjiwa berani mengambil resiko artinya bermental

mandiri dan berani memulai usaha, tanpa diliputi rasa takut atau cemas

sekalipun dalam kondisi tidak pasti. Seorang farmasis diharapkan dapat

terjun menjadi wirausaha dalam mengembangkan kemandirian serta

membantu mensejahterakan masyarakat, misalnya dengan mendirikan

perusahaan obat, kosmetik, makanan, minuman, alat kesehatan, baik skala

kecil maupun skala besar, mendirikan Apotek, serta bisnis tanaman obat

dan lain-lain. Bisnis dalam bidang farmasi menyediakan kesempatan tak

terbatas, terlebih lagi kepada pharmacy graduates. Kenyataannya pada saat

ini banyak wirausahawan dengan hanya sedikit atau tidak memiliki

pengetahuan tentang farmasi sekalipun mengatur pharmacy shop untuk

pengadaan obat-obatan dibawah pengawasan farmasis


11

II.2.3 Tugas dan kewajiban Apoteker

Tugas dan kewajiban apoeker di apotek adalah sebagai berikut :(10)

1. Memimpin seluruh kegiatan apotek, baik kegiatan teknis maupun non

teknis kefarmasian sesuai dengan ketentuan maupun perundangan yang

berlaku.

2. Mengatur, melaksanakan dan mengawasi administrasi.

3. Mengusahakan agar apotek yang di pimpinya dapat memberikan hasil

yang optimal sesuai dengan rencana kerja dengan cara meningkatkan

omzet, mengadakan pembelian yang sah dan penekanan biaya serendah

mungkin.

4. Melakukan pengembangan usaha apotek.

II.2.4 Hak Seorang Apoteker

Hak dari seorang apoteker adalah sebagai barikut :

1. Berhak melakukan pekerjaan kefarmasian.(25)

2. Berhak menjadi penanggung jawab pedagang besar farmasi penyalur

obat dan atau bahan baku obat.(26)

3. Berhak menjalankan peracikan obat (perbuatan atau penyerahan obat-

obatan untuk maksud-maksud kesehatan).(27)

4. Berwenang menyelenggarakan apotek disuatu tempat setelah mendapat

SIA dari menteri.(19)

5. Berwenang menjadi penanggung jawab usaha industri obat tradisional.


(28)
12

6. Berwenang menjadi penanggung jawab pengawas mutu di industri

farmasi jadi dan bahan baku obat.(29)

7. Berwenang menerima dan menyalurkan obat keras melalui pedagang

besar farmasi atau apotek.(30)

8. Melakukan masa bakti apoteker disarana kesehatan pemerintah atau

sarana kesehatan lain, seperti sarana kesehatan milik BUMN/BUML,

industri farmasi, industri obat tradisional, industri kosmetik, industri

makanan dan minuman, apotek diluar ibu kota negara, pedagang besar

farmasi, rumah sakit, pendidikan tinggi dan menengah bidang farmasi

milik swasta (sebagai pelajar), atau dilembaga penelitian dan

pengembangan (sebagai peneliti).(31)

II.3 Pelayanan Kefarmasian

Praktik kefarmasian dilakukan berdasarkan standar pelayanan

kefarmasian di Apotek, yang ditetapkan sebagai acuan pelaksanaan

pelayanan kefarmasian di apotek.(32) Standar pelayanan farmasi di apotek

disusun atas kerjasama ISFI dengan Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan

Klinik Direktorat Jenderal Pelayanan Farmasi Departemen Kesehatan pada

tahun 2003.(33) Peraturan dan ketentuan tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian di Apotek telah ditetapkan sejak tahun 2004 dan telah

ditindaklanjuti dengan disusunnya Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek pada tahun 2008.(34),(35) Pelayanan

Kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab

kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud


13

mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien. (36)

Adapun pelayanan kefarmasian tersebut meliputi pelayanan swamedikasi

terhadap pasien, melakukan pelayanan obat, melaksanakan pelayanan resep,

maupun pelayanan terhadap perbekalan farmasi dan kesehatan, serta

dilengkapi dengan pelayanan konsultasi, informasi dan edukasi (KIE)

terhadap pasien serta melakukan monitoring terkait terapi pengobatan pasien

sehingga diharapkan tercapainya tujuan pengobatan dan memiliki

dokumentasi yang baik.(37)

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat

ke pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care.(38) Pharmaceutical

care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

dilakukan oleh apoteker terhadap pasien dalam melakukan terapi

pengobatan sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan pasien.(37)

Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada

pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif

yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien. (38)

Konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker tentunya dituntut untuk

meningkatkan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku untuk dapat

melaksanakan interaksi langsung dengan pasien.(39) Bentuk interaksi tersebut

antara lain adalah melaksanakan pemberitahuan informasi, monitoring

penggunaan obat dan mengetahui tujuajn akhir sesuai harapan dan

terdokumentasi dengan baik.(40)


14

Standar pelayanan kefarmasian merupakan suatu tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian

telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

73 Tahun 2016 dengan tujuan untuk meningkatkan mutu Pelayanan

Kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan

melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional

dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).(11)

Pelayanan Kefarmasian di Apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu

kegiatan yang bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan pelayanan farmasi klinik.

Kegiatan tersebut harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana dan

prasarana.

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai sebagaimana dimaksud pada Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan

Kefarmasian Di Apotek yang meliputi perencanaan, pengadaan,

penerimaan, penyimpanan, pemusnahan dan penarikan, pengendalian,

pencatatan dan pelaporan.(11)

2. Pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep, dispensing,

Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, pelayanan kefarmasian di

rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan

Monitoring Efek Samping Obat (MESO).(11)


15

II.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, Dan Bahan Medis Habis

Pakai

Sistem pengelolaan apotek merupakan seluruh upaya dan kegiatan

apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek.

Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai

yang terdapat di apotek harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yaitu meliputi perencanaan, pengadaan,

penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan

pelaporan.(13)

1. Perencanaan

Pembuatan recana dalam hal pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan,

dan bahan medis habis pakai perlu diperhatikan pola penyakit, pola

konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.(13)

2. Pengadaan

Pelayanan kefarmasian harus memberikan jaminan yang berkualitas.

Dengan demikian pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.(13)

3. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan, dan harga yang tertera dalam

surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.(13)


16

4. Penyimpanan

a. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Kecuali dalam keadaan darurat, dimana isi dipindahkan pada wadah lain,

maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi

yang jelas pada wadah baru. Wadah sekurang-kurangnya memuat nama

obat, nomor batch dan tanggal kadaluwarsa.(13)

b. Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai

sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya.(13)

c. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan

barang lainnya yang menyebabkan kontaminasi.(13)

d. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk sediaan

dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis.(13)

e. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out) dan

FIFO (First In First Out).(13)

5. Pemusnahan dan Penarikan

a. Obat kadaluwarsa atau obat yang rusak harus dimusnahkan sesuai

dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau

rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh

apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh

apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki

surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan

berita acara pemusnahan.(13)


17

b. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun dapat

dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh apoteker disaksikan

oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar

atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan berita acara

pemusnahan resep dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan

Kabupaten/Kota.(13)

c. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis Habis

Pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan dengan cara yang

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.(13)

d. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan

peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar

berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau

berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)

dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.(13)

e. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan

terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.(13)

6. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

persediaan sesuai dengan kebutuhan pelayanan yang sudah diatur dalam

sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Tujuannya

dilakukan pengendalian yaitu untuk menghindari terjadinya kelebihan,

kekurangan, kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta

pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan


18

kartu stok, baik dengan cara manual atau elektronik. Kartu stok minimal

memuat nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah

pengeluaran dan sisa persediaan.(13)

7. Pencatatan dan Pelaporan

Sistem pencatatan yang dilakukan pada setiap proses pengelolaan

sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi

pengadaan (surat pesanan atau faktur), penyimpanan (kartu stock),

penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya yang

disesuaikan dengan kebutuhan.(13)

Sistem pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal. Sistem

pelaporan internal adalah sistem pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan

manajemen apotek, yang terdiri dari keuangan, barang dan laporan lainnya.

Kemudian sistem pelaporan eksternal adalah pelaporan yang dibuat untuk

memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan meliputi pelaporan narkotika, psikotropika, dan termasuk

pelaporan lainnya.(13)

II.5. Pelayanan Farmasi Klinik

Pelayanan farmasi klinik di apotek merupakan salah satu bagian dari

pelayanan kefarmasian dan langsung bertanggung jawab kepada pasien yang

berkaitan dengan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan

kualitas hidup pasien. Pelayanan farmasi klinik meliputi antara lain,

pengkajian resep, dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling,


19

pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care), Pemantauan Terapi

Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat (MESO).(11)

II.5.1. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik

dan pertimbangan klinis.(11)

a. Proses kajian administratif resep meliputi:

1. Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.

2. Nama dokter, nomor surat izin praktik (SIP), alamat, nomor telepon

dan paraf.

3. Tanggal penulisan Resep.

b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:

1. Bentuk dan kekuatan sediaan.

2. Stabilitas

3. Kompatibilitas (ketercampuran obat).

c. Pertimbangan klinis meliputi:

1. Ketepatan indikasi dan dosis obat.

2. Aturan, cara dan lama penggunaan obat.

3. Duplikasi dan polifarmasi.

4. Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping obat,

manifestasi klinis lain).

5. Kontra indikasi.

6. Interaksi
20

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil pengkajian maka,

apoteker harus segera menghubungi dokter penulis resep.(11)

II.5.2. Dispensing

Berikut beberapa tahapan dispensing yang terdiri dari penyiapan,

penyerahan dan pemberian informasi obat. Setelah melakukan pengkajian

resep dilakukan hal sebagai berikut:(11)

a. Menyiapkan obat yang sesuai dengan permintaan resep. Selanjutnya

dihitung kebutuhan jumlah obat yang sudah dicantumkan pada resep.

Kemudian, diambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan obat

dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa dan keadaan

fisik obat.

b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan.

c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya memberikan petunjuk etiket

berwarna putih untuk obat dalam/oral, warna biru untuk obat luar dan

suntik, dan menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk

suspensi atau emulsi.

d. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah jika terdapat

obat yang berbeda, hal ini bertujuan untuk menjaga mutu obat dan

menghindari penggunaan yang salah.


21

Setelah tahapan penyiapan obat selesai, maka selanjutnya dilakukan

langkah - langkah sebagai berikut: (11)

1. Sebelum obat diserahkan kepada pasien, harus memeriksa kembali

terkait penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan serta jenis

dan jumlah obat (kesesuaian antara penulisan etiket dengan resep).

2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien.

3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien.

4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat.

5. Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal yang terkait

dengan obat antara lain manfaat obat, makanan dan minuman yang harus

dihindari, kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan lain-

lain.

6. Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang

baik, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat dan emosi yang tidak

stabil.

7. Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarganya.

8. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh

apoteker (apabila diperlukan).

9. Menyimpan resep pada tempatnya.

10. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien. Apoteker di apotek juga

dapat melayani obat non resep atau pelayanan swamedikasi. Apoteker

harus memberikan edukasi kepada pasien yang memerlukan obat non


22

resep untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat bebas atau bebas

terbatas yang sesuai.

II.5.3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)

Pelayanan informasi obat merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan

oleh apoteker dalam pemberian informasi obat yang tidak memihak,

dievaluasi dengan kritis yang disertai dengan bukti terbaik dalam segala

aspek penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau

masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep, obat bebas dan

herbal.(11)

Penyampaian informasi obat terdiri dari dosis, bentuk sediaan, formulasi

khusus, rute dan metode pemberian, farmakokinetik, farmakologi,

terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan

menyusui, efek samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika

atau kimia dari obat dan lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di

apotek meliputi:(11)

1. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.

2. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet, pemberdayaan

masyarakat (penyuluhan).

3. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.

4. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa farmasi

yang sedang praktik profesi.

5. Melakukan penelitian terkait dengan penggunaan obat.

6. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.


23

7. Melakukan program jaminan mutu.

Pelayanan informasi obat harus didokumentasikan, hal ini bertujuan

untuk membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif singkat.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi pelayanan informasi

obat :(11)

1. Topik pertanyaan.

2. Tanggal dan waktu pelayanan informasi obat diberikan.

3. Metode pelayanan informasi obat (lisan, tertulis, lewat telepon).

4. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan, informasi lain seperti

riwayat alergi, apakah pasien sedang hamil/menyusui, data

laboratorium).

5. Uraian pertanyaan.

6. Jawaban pertanyaan.

7. Referensi

8. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis, telepon) dan data apoteker

yang memberikan pelayanan informasi obat.

II.5.4. Konseling

Konseling merupakan salah satu proses interaksi yang bersifat aktif

antara apoteker dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,

pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku

dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.

Untuk mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime questions.

Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah, maka perlu dilanjutkan


24

dengan metode health belief model. Apoteker harus melakukan verifikasi

bahwa pasien atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.
(11)

II.5.4.1. Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling

Berikut ini beberapa kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi

konseling, antara lain:(11)

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau

ginjal, ibu hamil dan menyusui).

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya,

tuberkulosis, diabetes melitus, Aquired Immunodeficiency

syndrome/AIDS, epilepsi).

c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus (penggunaan

kortikosteroid dengan tappering down/off).

d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,

fenitoin, teofilin dan lainnya).

e. Pasien dengan polifarmasi, yaitu pasien yang menerima beberapa obat

untuk indikasi penyakit yang sama, hal ini menunjukkan adanya

pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat

disembuhkan dengan satu jenis obat.

f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.


25

II.5.4.2. Cara Kegiatan Konseling

Berikut beberapa cara kegiatan konseling dilakukan antara lain:(11)

1. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien

2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui three

prime questions, yaitu:

a. Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?

b. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat anda?

c. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan

setelah anda menerima terapi obat tersebut?

3. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada

pasien untuk bertanya mengenai masalah penggunaan obat.

4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah

penggunaan obat.

5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien.

Apoteker melakukan dokumentasi konseling dengan meminta tanda

tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami informasi yang

diberikan dalam konseling.(41)

II.5.5. Pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care)

Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan

pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan dirumah, khususnya untuk

kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.

Jenis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker,

meliputi:(11)
26

1. Penilaian/pencarian (assessment) mengenai masalah yang berhubungan

dengan pengobatan.

2. Identifikasi kepatuhan pasien.

3. Adanya bimbingan tentang pengelolaan obat atau alat kesehatan di

rumah, misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin.

4. Konsultasi masalah obat atau kesehatan secara umum.

5. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan obat

berdasarkan catatan pengobatan pasien.

6. Dokumentasi pelaksanaan pelayanan kefarmasian di rumah.

II.5.6. Pemantauan terapi obat (PTO)

Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan proses yang memastikan

bahwa seorang pasien mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau

dengan memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Berikut

kriteria pasien yang harus dilakukan pemantauan terapi obat (PTO), antara

lain(11)

a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.

b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.

c. Adanya multidiagnosis.

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.

e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.

f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi obat yang

merugikan.
27

II.5.6.1. Kegiatan pemantauan terapi obat (PTO)

Berikut kegiatan pemantauan terapi obat (PTO) dilakukan, antara lain:(11)

a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.

b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat pengobatan pasien yang

terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat

alergi. Data tersebut dapat diperoleh melalui wawancara dengan pasien

atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.

c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat. Masalah terkait obat antara

lain adalah adanya indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa

indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis

terlalu rendah, terjadinya reaksi obat yang tidak diinginkan atau

terjadinya interaksi obat.

d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan

menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan

terjadi.

e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi

rencana pemantauan dengan tujuan memastikan pencapaian efek terapi

dan meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.

f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah

dibuat oleh apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan

terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.

g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan terapi obat.


28

II.5.7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Monitoring efek samping Obat (MESO) merupakan salah satu kegiatan

pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak

diharapkan terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk

tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.

Faktor–faktor perlu diperhatikan dalam monitoring efek samping obat

(MESO) kerjasama dengan tim kesehatan lain, dan ketersediaan formulir

monitoring efek samping obat. Berikut kegiatan monitoring efek samping

obat (MESO) dilakukan, antara lain:(11)

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi

mengalami efek samping obat.

b. Mengisi formulir monitoring efek samping obat (MESO).

c. Melaporkan ke pusat monitoring efek samping obat.

II.6. Sumber Daya Kefarmasian

II.6.1. Sumber Daya Manusia

Pelayanan kefarmasian di apotek diselenggarakan oleh apoteker, dan

dapat dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian

yang memiliki surat tanda registrasi, surat izin praktik atau surat izin kerja.

Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker harus memenuhi

kriteria sebagai berikut:(11)

1. Persyaratan administrasi

a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi.

b. Memiliki surat tanda registrasi apoteker (STRA).


29

c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku.

d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA).

2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik, tanda pengenal.

3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional

Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang

berkesinambungan.

4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan

pengembangan diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop,

pendidikan berkelanjutan atau mandiri.

5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan

perundang undangan, sumpah apoteker, standar profesi (standar

pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang

berlaku.

II.6.1.1. Sarana dan prasarana

Apotek harus mudah diakses oleh masyarakat. Sarana dan prasarana

apotek dapat menjamin mutu sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan

medis habis pakai serta kelancaran praktik pelayanan kefarmasian. Berikut

sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menunjang pelayanan

kefarmasian di apotek yaitu meliputi sarana yang memiliki fungsi sebagai

berikut:(11)
30

1. Ruang penerimaan resep

Ruang penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari tempat

penerimaan resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1 (satu) set

komputer. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada bagian paling

depan dan mudah terlihat oleh pasien.

2. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

Ruang pelayanan resep dan peracikan atau produksi sediaan secara

terbatas meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan. Ruang

peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan peracikan,

timbangan obat, air minum (air mineral) untuk pengencer, sendok obat,

bahan pengemas obat, lemari pendingin, termometer ruangan, blanko

salinan resep, etiket dan label obat. Ruang ini diatur agar mendapatkan

cahaya dan sirkulasi udara yang cukup, dapat dilengkapi dengan

pendingin ruangan (air conditioner).

3. Ruang penyerahan obat

Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang dapat

digabungkan dengan ruang penerimaan resep.

4. Ruang konseling

Ruang konseling minimal memiliki satu set meja dan kursi konseling,

lemari buku, buku-buku referensi, leaflet, poster, alat bantu konseling,

buku catatan konseling dan formulir catatan pengobatan pasien.

5. Ruang penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan

Medis Habis Pakai


31

Ruang penyimpanan harus memperhatikan kondisi sanitasi, temperatur,

kelembaban, ventilasi, pemisahan untuk menjamin mutu produk dan

keamanan petugas. Ruang penyimpanan harus dilengkapi dengan

rak/lemari Obat, pallet, pendingin ruangan (AC), lemari pendingin,

lemari penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika, lemari

penyimpanan obat khusus, pengukur suhu dan kartu suhu.

6. Ruang arsip

Ruang arsip dibutuhkan untuk menyimpan dokumen yang berkaitan

dengan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis

habis pakai serta pelayanan kefarmasian dalam jangka waktu tertentu.

II.7. Landasan Teori

Standar pelayanan kefarmasian merupakan suatu tolak ukur yang

dipergunakan sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian. Standar pelayanan kefarmasian

telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

73 Tahun 2016 dengan tujuan untuk meningkatkan mutu Pelayanan

Kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan

melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional

dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).(11)

Berdasarkan penelitian tentang standar pelayanan kefarmasian pada

apotek menunjukkan hasil dalam kategori cukup, yaitu pelayanan

kefarmasian di Kota Banjarbaru terkait ruang konseling/pelayanan informasi

obat 38,1%.(6) Penerapan standar pelayanan kefarmasian di Kota Ketapang


32

dengan indikator penerapan standar pengelolaan sediaan farmasi, alat

kesehatan dan bahan medis habis pakai sebesar 94,04%, penerapan standar

pelayanan farmasi klinik sebesar 26,03%, penerapan standar sumber daya

kefarmasian sebesar 85,56%, dan termasuk dalam kategori cukup baik.(7)

Selain itu, penelitian di Kota Kendari mengenai waktu pelayanan obat 60%.
(8)
Oleh karena itu, penerapan pelayanan kefarmasian pada apotek masih

termasuk dalam kategori cukup baik.(6,7,8)

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa penerapan standar

pelayanan kefarmasian di apotek Kecamatan Pontianak Barat belum

sepenuhnya dilaksanakan. Penerapan standar pelayanan kefarmasian di

apotek tersebut pada pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan

Bahan Medis Habis Pakai sebesar 88% tergolong sangat baik, dan pelayanan

farmasi klinik 77% tergolong baik, beserta sumber daya kefarmasian 85%

termasuk sangat baik.(42) Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian di apotek

harus mengikuti standar pelayanan kefarmasian di apotek. (11) Pelayanan

kefarmasian di apotek harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi, Alat

Kesehatan, Dan Bahan Medis Habis Pakai, dan sumber daya kefarmasian,

sehingga pelayanan kefarmasian dapat berorientasi pada keselamatan pasien.

Oleh karena itu, pelayanan kefarmasian di apotek Kota Singkawang sangat

penting dilakukan.
33

II.8. Kerangka Konsep Penelitian

Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah :

Apotek di Kota Kesesuaian dengan Standar pelayanan

Singkawang kefarmasian di apotek Kota Singkawang tahun


2019 berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan


bahan medis habis pakai.
2. Penerapan pelayanan farmasi klinik.
3. Sumber daya kefarmasian.

II.9. Hipotesis Penelitian

Penerapan standar pelayanan kefarmasian oleh Apoteker Pengelola

Apotek di apotek Kota Singkawang tahun 2019 belum sepenuhnya

dijalankan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.

Anda mungkin juga menyukai